Sabtu, 28 Februari 2009

Berduka Cita



Berpulang to Rahmatulllah
RAHMATSYAH bin h ABURUDDIN (88)
father from Naim Emel Prahana
(senior journalist Lampung express and sekretaris Granat)

Pass away, Monday 16 Februaries 2009 blows 07.40 wib
At village Kotadonok, Kec Lebong Selatan, Kab Lebong, Bengkulu
Buried Monday, 16 Februaries 2009 at General Burial Kotadonok

Yang Berlangsungkawa
01. H Harun Muda Indrajaya - PU/Pimred LE
02. Ir MS Joko Umar Said - Wakil Gubernur terpilih Lampung
03. Indra Karyadi - Ketua DPRD provinsi Lampung
04. H Amir Hamzah SH - Ketua DPRD Kota Metro
05. H KRH Henry Yosodiningrat - Ketua Umum Granat Pusat
06. H Lukman Hakim SH M - Walikota Metro
07. H Djohan SE MM - wakil walikota Metro
08. Pimpinan DPRD - DPRD Kota Metro
09. Muspida Kota Metro - Pemerintah Kota Metro
10. H Zaini Nurman H - Sekda Kota Metro
11. H Ampian Bustami - Wakil Ketua DPRD Metro
12. AKBP Drs Amos Wau - Kepala Pendidikan Polri Lampung
13. AKBP Drs Waris Agono Msi - Kapolres Kota Metro
14. AKBP Drs Dedi - Kapolres Lampung Timur
15. Drs A Fikri Jahri - Kadis Budparpora Metro
16. Drs Senil Jahidan - Ketua PA Metro
17. Yahya Samsudin SH - Ketua PN Kotaagung, Tanggamus
18. WS Yoyok SH - Kepala Kejaksaan Negeri Bangka
19. Drs A Syafei - Kabag Perlengkapan Pemkot Metro
20. Drs Wahid Hasyim - Kabag Keuangan Pemkot Metro
21. Pramono SH - Kadis Pendidikan Kota Metro
22. DR Sowiyah - Kabid Dikdasmen Dinas Pendidikan Metro
23. Drs Dahari - Kadis Pendidikan Lebong
24. Drs H Masnuni - Kabag TU Dinas Pendidikan Metro
25. Ir Hendra Djais - anggota DPRD Metro
26. H Herman Sismono SSOs - Anggota DPRD Kota Metro
27. Drs H Nasriyanto Effendi - Anggota DPRD Kota Metro
28. Faizal - Anggota DPRD Rejang Lebong
29. Junaidi SE - Sekwan DPRD Kota Metro
30. Arizal SH - Kabag Umum DPRD Kota Metro
31. Drs Muchtarom - Disnaker Kota Metro
32. Welly Alhendri - Calon DPD RI Lampung
33. H Rio Teguh - Ketua PWI Cabang Lampung
34. Agus Chandra - Ketua PWI Perwakilan Metro
35. Apridinata - Telkomsel Medan
36. Damayanti - Jakarta
37. Heriansyah LE - Redaktur Lampung Ekspres
38. Effendi LE - Ketua PWI Lampung Utara
39. Dwi Ritanto SH - wartawan LE
40. Drs Malik Afero - mantan Ketua KPU Metro
41. Drs Agus Septiwan - mantan anggota KPU Metro
42. Ahmad Mujib - Wakil Sekretaris Granat
43. Andrian Sangaji - Seniman
44. Drs Badawi Idham - Ketua Kahmi Metro
45. KAHMI - Cabang Kota Metro
46. Maaroni - TNI Bandung
47. Rastoto - Pengurus FORKI Metro
48. Dencik Effendi - Pimred Edu Media
49. Rosita - wartawan Metro
50. Nuri - wartawan Metro
51. Iwan Edu - wartawan Metro
52. Dedi Pubian - wartawan Metro
53. Suprayogi SE - Wartawan Lampung Post Metro
54. Agus Chandra - Wartawan Lampung Post Metro
55. Dwi Riyanto SH - Wartawan Lampung Ekspres Metro
56. Yon Bayu - Wartawan Lampung Ekspres
57. H Dahlan Sikumbang - Wartawan Lampung Ekspres Lampung Tengah
58. Erwin - Wartawan Mingguan Sumatera Post Metro
59. Fajar - Pimred tabloid Fokus
60. Embun Putranto - Redaktur Pelaksana Radar Lampung
61. Drs Heri Wardoyo - Redaktur Lampung Post
62. Wan Nangama - Bandung
63. Suhairiah - Tanjungkarang
64. Drs Dahmir - Peg BKKBN Lebong
65. Rusmaini - Tanjungkarang
66. Thiny WS - Metro
67. Widoko - Seniman Teater Kotagajah
68. Drs Buyung Sukron - Ketua KPU Metro
69. H Senil Jahidan Mag - Ketua Pengadilan Agama Metro
70. Drs Ma’atif Setaf MA - Dosen IAIN Raden Intan Tanjungkarang
71. H Sutan Syahrier OE SH - Pengacara senior Lampung
72. Tety - Kotagajah, Lampung Tengah

Keterangan:
Dimuat di Harian Lampung Ekspres, Lampung Post dan Tabloid Edu Media Lampung
Sejarah Provinsi Sumatera Selatan
Yang Pernah Memimpin Sumatera Selatan
Sampai tahun 2008, sebanyak 13 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Setiap pemimpin punya catatan perjalanan tersendiri sesuai dengan zaman mereka. Masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani—yang sering disingkat AK Gani—sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945. Pengangkatan tokoh yang terlibat pergerakan kemerdekaan itu dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Provinsi Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan.
Setelah pengangkatan ini, Gani dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani mendapatkan wilayah kerja Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan, AK Gani menjalin hubungan dagang antara Palembang dan Singapura, bahkan dengan penyelundup senjata api.
Pada 1945 Gani dipercaya menjadi koordinator pertahanan untuk wilayah Sumatera. Pada tahun yang sama, Tentara Keamanan Rakyat terbentuk di Palembang. Setahun berikutnya Angkatan Laut RI dan Angkatan Udara RI. Pada Februari 1946 Palembang memiliki sekolah kader untuk calon perwira.
AK Gani yang memiliki latar belakang sebagai seorang dokter dan berpengalaman sebagai seorang aktor rupanya juga mempunyai keterampilan berdiplomasi. Kemampuan inilah yang mampu meredam aneka insiden yang hampir meletus di Sumsel. Faktor keamanan yang kuat juga turut mengambil peran dalam perkembangan ekonomi Sumsel.
Perekonomian di Sumsel tahun 1946 lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhir 1946 Palembang menjadi kota bandar yang ramai dikunjungi dengan pemasukan Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari dari kegiatan pelabuhan.
AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. AK Gani juga menerima kalung emas 24 karat dari masyarakat Sumatera dan mendapatkan julukan ”Pemimpin Gerilya Agung”.
Penghentian jabatan Gani itu sekaligus mengangkat kembali drg M Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani, November 1946.
Pada awal kepemimpinan AK Gani, M Isa sudah jadi tokoh terkemuka di pemerintah Palembang. Bersama AK Gani yang menjabat sebagai Gubernur Militer Istimewa Sumsel dan sejumlah petinggi di Sumsel, Gubernur Muda Sumsel M Isa ikut serta dalam perundingan Indonesia-Belanda yang membahas penghentian tembak-menembak, 24 Agustus 1949.
Masa kepemimpinan M Isa juga melewati perjuangan. Kondisi negara pada waktu itu belum stabil karena Belanda masih ”mengganggu” kemerdekaan Indonesia. Kekacauan di Indonesia, termasuk di Sumsel, membuat kepemimpinannya penting dalam kerangka perjuangan.
Sejumlah tokoh merasakan besarnya semangat perjuangan M Isa, seperti yang dituturkan tokoh Tionghoa, Tong Djoe. Pada masa perjuangan itu, masyarakat dari pelbagai kelompok etnis ikut berjuang, termasuk masyarakat Tionghoa lewat berbagai organisasi, seperti Persatuan Kaum Tani Tionghoa. M Isa mengakhiri kepemimpinannya pada tahun 1952.
Winarno memimpin Sumsel antara 1952-1957. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang sosok Winarno. Winarno digantikan HM Husein yang menjabat pada 1957-1958. Pada saat yang sama Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.
Tahun 1959 HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Dalam masa kepemimpinannya, Bastari banyak menata dan mendisiplinkan pegawainya. Sejumlah mantan pejuang juga menginginkan jabatan di dalam pemerintahan. Urusan inilah yang diatur oleh Bastari. Selain itu, ia merencanakan penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Pembangunan Jembatan Ampera juga dimulai pada masa Bastari, tahun 1962, dan selesai pada kepemimpinan gubernur berikutnya, tahun 1966.
Kepemimpinan Bastari berakhir pada 1963. Masa peralihan kepemimpinan Sumsel dipimpin oleh Sorimuda. Namun, ia tidak lama menjadi caretaker karena Menteri Dalam Negeri menunjuk Pembantu Utama Mendagri Bidang Pelaksanaan Brigadir Jenderal HA Abuyasid Bustomi sebagai penjabat gubernur.
Abuyasid menjabat tahun 1964-1967. Masa jabatan itu cukup singkat karena tahun 1967 Abuyasid ditarik ke Jakarta. Ia digantikan Ali Amin tahun 1967. Nama Ali Amin sebenarnya sudah pernah disebut-sebut ketika pemilihan calon gubernur pada tahun 1964. Dalam pemilihan kali itu, Ali Amin akhirnya menjadi Wakil Gubernur Sumsel. Ali Amin pernah menjabat Local Joint Committee (1949) antara lain bertugas mengurusi penghentian tembak-menembak antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Ali Amin pernah ditangkap Belanda sewaktu mengenakan emblem Merah Putih di pundak bajumya dalam perayaan ulang tahun negara Sumatera Selatan.
Sebagai gubernur, Ali Amin mendapatkan tugas yang berat karena harus menata daerah pascakerusuhan 1966. Sejumlah kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI, dan KAGI, masih aktif beraktivitas melanjutkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, 10 Januari 1966. Ali Amin menyelesaikan masa tugas sebagai gubernur pada 1968.
Asnawi Mangku Alam dari Kodam dipilih sebagai gubernur dan dilantik pada 10 Januari 1968. Putra Ulak Baru, Tepi Sungai Komering, ini menjalani sekolah rakyat sampai sekolah dagang menengah pada zaman penjajahan Belanda. Berlanjut semasa pemerintahan Jepang, yakni sekolah dokter hewan dan sekolah pegawai tinggi. Asnawi kemudian menempuh karier militer dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia, pertama dengan pangkat kapten. Asnawi ikut membantu Perang Kota. Jabatannya ketika itu adalah kepala intendans berpangkat letnan satu. Pangkat ini lebih rendah daripada pangkat awal kariernya karena ada penyesuaian gelar kepangkatan.
Pada awal kemerdekaan, Asnawi aktif di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Pada akhir karier militernya, Asnawi berhasil meraih pangkat brigadir jenderal purnawirawan. Seusai di militer, Asnawi diangkat menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Pada Januari 1968 Asnawi dilantik menjadi gubernur oleh Mendagri Basuki Rachmat. Jabatan gubernur dipegangnya selama dua kali masa pemerintahan, tahun 1968-1978.
Pertanian dikembangkan
”Destiny is yours,” tutur pria kelahiran 27 April 1921 saat ditanya tentang nasib yang membawa seorang putra petani menjadi gubernur. Kekayaan hasil perkebunan Sumsel semakin dikembangkan pada zaman Asnawi. Pada Agustus 1968 tercatat luas perkebunan yang digarap di Sumsel mencapai 500.000 hektar. Asnawi juga membuka perkebunan tebu 18.000 hektar.
Asnawi menyerahkan jabatan Kepala Daerah Sumsel kepada HA Sainan Sagiman. Sainan diangkat sebagai gubernur lewat surat keputusan presiden tanggal 16 Agustus 1978. Sainan menjabat gubernur selama 10 tahun hingga 1988. Ketika dilantik, Sainan berpangkat brigadir jenderal purnawirawan. Sebelum menjadi gubernur, Sainan juga pernah ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Perang Kota, Sainan menjabat sebagai perwira intel. Terakhir, ia bertugas di Kertapati.
Sainan termasuk sosok yang memerhatikan pendidikan. Dalam tahun anggaran 1979/1980, Sainan menaikkan bantuan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan anggaran yang diterima Unsri sebelumnya. Ia juga menganggarkan Rp 4 miliar untuk sektor pertanian pada 1980. Kemudian, Sumsel menjadi penyelenggara Festival Film Indonesia, Mei 1979.
Pada Juni 1987 Sainan bersama Dirut Pertamina AR Ramly meresmikan operasi komersial Lapangan Minyak Musi di Kabupaten Musi Rawas. Selain menghasilkan minyak, lapangan ini juga menghasilkan 36,5 juta kaki kubik gas alam. Pada Januari 1988, sembilan pabrik karet bongkah kesulitan mendapatkan bahan baku. Pada tahun yang sama, Sumsel mulai menutup diri sebagai lokasi transmigrasi umum. Sainan mengakhiri masa jabatan pada September 1988, diganti oleh Brigadir Jenderal H Ramli Hasan Basri. Ramli yang dicalonkan oleh DPP Golkar dilantik sebagai gubernur oleh Mendagri Rudini. Sektor pertanian didorong untuk berkembang pada masa pemerintahannya.
Sumsel mulai ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional sejak tahun 1990. Presiden Soeharto menggelar panen raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun, bencana kekurangan pangan juga pernah dialami warga Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, akhir tahun 1991. Untuk mendukung prestasi olahraga, Ramli membagikan bonus Rp 30 juta untuk atlet peraih medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XII. Ia juga menyediakan dana Rp 1,5 miliar untuk pembinaan olahraga tahun 1990.
Tanjung Api-api
Ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api muncul dalam masa pemerintahan Ramli pada tahun 1991. Ramli juga dikenal sebagian kalangan sebagai gubernur yang peduli terhadap persoalan sejarah dan kebudayaan. Bagi pengamat sejarah, ia termasuk orang yang sangat perhatian pada Kerajaan Sriwijaya. Kepedulian ini sangat berarti karena jarang pemimpin daerah yang memerhatikan sejarah.
Ramli mengakhiri jabatan pada 1998. DPRD Sumsel memastikan Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama TNI Rosihan Arsyad sebagai pengganti Ramli. Pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1949, yang juga dikenal sebagai penerbang di TNI AL, itu dilantik menjadi gubernur periode 1998-2003 setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel.
Rosihan menganggarkan Rp 3,9 miliar untuk pembinaan petani karet. Pemekaran daerah juga marak terjadi pada masa pemerintahannya. Perhatian pada transportasi juga jadi prioritas Rosihan. Dalam APBD 2001 anggaran sektor transportasi mencapai Rp 112 miliar dari total anggaran Rp 605,5 miliar. Perbaikan jalan diutamakan untuk lintas Sumatera.
Namun, pos anggaran sektor aparatur pemerintah dan pengawasan juga cukup besar, yakni Rp 29 miliar. Dana itu lebih besar daripada anggaran sektor kesehatan, peranan wanita, serta anak dan remaja Rp 20 miliar.
Pada masa pemerintahannya, ia merintis persiapan Sumsel sebagai tuan rumah PON XVI. Salah satunya dengan menyelenggarakan Kejurnas Sepatu Roda pada Juli 2002. Sejumlah sarana dan prasarana umum juga gencar dibangun saat itu, seperti pembangunan mal, hotel, dan pusat perniagaan. Pembangunan proyek yang pernah ditentang banyak pihak, disebut Rosihan, sebagai upaya peningkatan ekonomi. Terbukti, salah satu dampak positif pembangunan tersebut adalah munculnya aneka pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke jaringan Sumatera bagian selatan.
Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya dilanjutkan pasangan Syahrial Oesman-Mahyuddin.
Pada masa Syahrial, Sumsel dideklarasikan menjadi daerah lumbung energi nasional. Syahrial juga meluncurkan program pariwisata Visit Musi 2008 yang ditiru daerah lain. Pada sisa masa jabatan, Syahrial wajib mundur untuk mengikuti pilkada. Dia harus bertarung dengan lawannya, Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin untuk menjadi gubernur ke-14. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sumatera Selatan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang terletak d bagian selatan Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Selain itu ibukota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.
Disamping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak.
Sejarah
Propinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, ; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri china. Pada awal abad ke-15 berdirilah ; Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit ; yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. Kini, Sumatera Selatan menjadi propinsi terpandang dengan sumberdaya alam yang melimpah.

Kabupaten dan Kota

No Nama Kabupaten/Kota Ibukota
01 Kabupaten Banyuasin Banyuasin
02 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi
03 Kabupaten Lahat Lahat
04 Kabupaten Muara Enim Muara Enim
05 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
06 Kabupaten Musi Rawas Lubuk Linggau
07 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
09 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kayu Agung
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja
11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua
12 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura
13 Kota Lubuklinggau Lubuklinggau
14 Kota Palembang Palembang
15 Kota Pagaralam Pagaralam
16 Kota Prabumulih Prabumulih

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia

Lampung, Modal Daerah buat Republik Indonesia
Oleh Firdaus Augustian dan Ahmad Duki Hamim
Peminat Sejarah dan Ketua Pelaksana DHD Angkatan 45 Provinsi Lampung

Revolusi Indonesia berakar pada ide dan konsep-konsep yang lahir pada zaman Pergerakan Nasional (1908-1942-1945). Cita-cita budaya, sosial, ekonomi, kedaulatan rakyat, dan akhirnya konsepsi bangsa serta kemerdekaan mendasarinya. Cita-cita nasional yang mulai muncul itu merupakan suatu kesadaran baru yang berbeda dengan kesadaran dinastikal dalam kerajaan-kerajaan tradisional. Kesadaran baru itu mulai membayangkan adanya suatu kesatuan politik yang lebih luas dalam pengertian modern, yaitu suatu nation state yang meliputi wilayah jajahan Hindia Belanda.
Konsep nasionalisme dan antikolonialisme mengangkat peristiwa-peristiwa di sekitar kekosongan kekuasaan yang timbul pada pertengahan Agustus 1945 menjadi suatu revolusi yang berakibat baik nasional maupun internasional. Kekuatan-kekuatan sosial primordial (tradisional) yang bangkit dan bergolak pada nasionalisme dan tuntutan kemerdekaan (Onghokham PhD., Yale University, 1975, ahli Peneliti Utama LIPI, Tempo No 8 / 1985). Analisis text book politik boleh menginterpretasikan bagaimana Proklamasi 17 Agustus 1045 itu dirancang.
Karena dilatarbelakangi fakta Dokuritsu Zyoonbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yang diketuai Dr Radjiman Wedyoningrat dengan 60 orang anggotanya, termasuk Bung Karno, Bung Hatta, Moh Yamin, Wahid Hasyim, Abdul Kohar Muzakir, AM Das'ad, merupakan badan bentukan Pemerintah Jepang. Tanggal 14 Agustus 1945, Dr Radjiman Wedyoningrat, Ir Soekarno, dan Drs Moh Hatta dipanggil ke Dalat, kota kecil dekat Saigon, Pusat Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan.
Panggilan ini untuk menghadap Marsekal Terauchi, komandan Komando Angkatan Darat Jepang Wilayah Asia Selatan, menerima briefing kemerdekaan Indonesia. Tanggal 16 Agustus 1945, malam hari, di bawah jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda, Bung Karno, Bung Hatta, Sayuti Melik, Mr Ahmad Soebarjo, Prof Soepomo, Sukarni, pada saat bulan suci Ramadan, dipersiapkan naskah Proklamasi untuk dibacakan 17 Agustus 1945 (Ahmad Subarjo Djojoadisuryo, 1978).
Selanjutnya, dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu, yang dilakukan dalam semangat radikalisme, semua pihak dalam romantisme sejarahnya dapat menceritakan episode peran masing-masing dalam perjuangan itu. Biarlah, itu merupakan dramatisasi perjuangan penuh romantisme yang amat subyektif sifatnya. Karena bagaimanapun juga, sejarah selamanya akan melahirkan mitos dan legenda yang kini banyak kita temui pada biografi-biografi tertentu.
Antiklimaks dari perjuangan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 adalah penandatanganan penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda yang diwakili Perdana Menteri Dr Willem Drees dan Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dengan disaksikan Baginda Ratu Juliana kepada Pemerintah Indonesia Serikat (RIS) yang diwakili Drs Moh Hatta pada 27 Desember 1949. Penyerahan kedaulatan ini merupakan follow up dari rangkaian diplomasi tingkat tinggi di bawah payung Perserikatan Bangsa-Bangsa, proses panjang dimulai sejak Perjanjian Linggarjati, 25 Maret 1947.
Membuka secara transparan tentang Konferensi Meja Bundar di bawah payung PBB ini, harus dicermati hati-hati karena begitu sensitif. Republik Indonesia sebagai satu pihak yang berunding, posisinya sejajar dengan negara-negara boneka yang dibentuk Dr Van Mook, wakil gubernur jenderal Nederlands Indie yang tergabung dalam BFO (bijeenkomst foor Federal overleg) yang diketuai Sultan Hamid II (kepala negara Borneo Barat). KMB diikuti Indonesia bersama dengan negara-negara boneka bentukan Belanda ini menghadapi Pemerintah Belanda, terpaksa diikuti karena Pemerintah Belanda tidak mau berunding dengan Republik Indonesia sendiri. Dengan demikian, perundingan tersebut, tripartit, yang berkedudukan sama, yaitu Pemerintah Belanda, Pemerintah Republik Indonesia, dan BFO di bawah payung PBB.
Aceh sebagai Modal Daerah
Sejarah mencatat, selama perjuangan kemerdekaan Aceh telah memberikan kontribusi besar pada Republik Indonesia. Secara politis, perannya sangat berarti dalam suasana revolusi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya. Pertempuran di Aceh terjadi sejak awal kemerdekaan saat tentara Sekutu mengirimkan pasukannya untuk membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu yang ditawan Jepang. Tentara Sekutu ini Divisi India ke-26 di bawah Mayjen HM Chamber dan Brigjen TED Kelly yang dihadapi rakyat dan Angkata Pemuda Indonesia di bawah pimpinan Residen Teuku Nyak Arief.
Dengan diplomasi dan serangkaian provokasi, tentara Gurkha ini ditarik mundur dari Aceh. Kita tidak melihat bagaimana perjuangan bersenjata sesudah itu. Aceh tidak pernah secara keseluruhan jatuh ke tangan Belanda selama perjuangan kemerdekaan. Hanya daerah-daerah kota yang diduduki, tetapi di pedalaman, Pemerintahan Republik berjalan sebagaimana mestinya dan memberikan dukungan kepada Presiden Soekarno di Yoggakarta.
Tetapi ada yang paling monumental adalah partisipasi masyarakat Aceh mengumpulkan modal atas permintaan Presiden Soekarno, untuk membuktikan secara politis di dunia internasional bahwa Pemerintah Indonesia masih eksis. Modal ini akan digunakan membeli sebuah Dakota yang akan digunakan airlines yang akan menghubungkan kota-kota di Indonesia. Dengan kesadaran tinggi, seluruh masyarakat dan pedagang dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh dikumpulkan pada 16 Juni 1948 di Kotaraja diimbau mengumpulkan modal pembelian satu Dakota. Secara spontan, sekitar dua hari terkumpul Sing $130.000 dan 20 kg emas dan inilah yang menjadi modal untuk pembelian RI 001-Seulawah. Sejarah mencatat dalam tinta emas, Aceh merupakan damrah Modal untuk perjuangan Republik Indonesia.
Modal Daerah buat RI
Tanpa mengecilkan arti perjuangan bersenjata selama ini, kenyataannya antiklimaks perjuangan adalah diplomasi dengan campur tangan dunia internasional, mulai dari Perjanjian Linggarjati 25 Maret 1947, Perjanjian Renville di atas kapal US Navy USS Renville yang ditandatangani Mr. Amir Syarifuddin (mewakili Republik Indonesia) dan R. Abdulkadir Widjojoatmojo (mewakili Kerajaan Belanda/asli orang Indonesia), 17 Januari 1948. Persetujuan Roem-Royen, 7 Mei 1949, Indonesia diketuai Mr. Moh. Roem dan Belanda diketuai Dr Van Royen dan terakhir Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Dari satu perundingan ke perundingan lain, wilayah Republik Indonesia yang diakui de facto oleh Belanda makin menciut, sementara Wakil Gubernur Jenderal Nederlands Indie, Dr HJ van Mook, dengan usaha sistematis, membentuk negara-negara bonekanya yang tersebar dari Sumatera timur sampai Indonesia timur.
Kemudian, melalui aksi polisionalnya (yang kita katakan militernya) satu per satu kota-kota strategis didudukinya. Untuk diketahui, sampai 30 Desember 1948, wilayah Republik Indonesia yang tetap utuh adalah Yogyakarta (jatuh ke tangan Belanda, 19 Desember 1948) dan Aceh. Jakarta, sudah sejak 4 Januari 1946 di bawah kekuasaan Belanda.
Jawa Barat, sejak 4 Mei 1947 menjadi Negara Pasundan, Wali Negaranya R. Suria Kertalegawa dan wilayah lain diduduki Belanda, pasukan Siliwangi harus hijrah ke Yogyakarta. Jawa Tengah, terbentuk Negara Boneka Jawa Tengah sementara sebagian Jawa Tengah diduduki Belanda. Kalimantan Barat, terbentuk Negara Boneka Borneo Barat, 9 Mei 1947, dengan Wali Negara Sultan Abdul Hamid II, dan wilayah lainnya diduduki Belanda. Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur, Riau, Bangka-Belitung merupakan satuan negara yang berdiri sendiri bentukan H.J. van Mook. Sumatera Selatan, terbentuk Negara Boneka Sumatera Selatan dengan Wali Negaranya Abdul Malik dan kota-kota besar Sumatera Selatan diduduki Belanda. Kapten Alamsyah sebagai komandan Subteritorium Palembang, terpaksa hijrah ke Lampung karena Sumatera Selatan telah diduduki Belanda. Sumatera Timur, terbentuk Negara Sumatera Timur, 24 Maret 1948 dengan Wali Negaranya Dr. Teuku Mansyur dan kota-kota besarnya sudah diduduki Belanda. Jawa Timur, terbentuk Negara Jawa Timur, 3 Desember 1948 dengan Wali Negaranya RTP Ahmad Kusumonegoro, sebagian Jawa Timur diduduki Belanda. Indonesia Timur, termasuk Bali dan Nusa Tenggara, terbentuk Negara Indonesia Timur, 24 Desember 1946 dengan Presidennya Dr Sukawati. Bengkulu, Jambi, dan Riau sebagian diduduki Belanda. Daerah Sulawesi, seluruhnya jatuh ke tangan Belanda, terlihat secara jelas pelaksanaan eksekusi terhadap pahlawan nasional R.W. Monginsidi dilaksanakan melalui proses hukum di Makassar, 5 September 1949. Pelaksanaan eksekusi melalui peradilan, tentunya membuktikan jelas daerah ini diduduki Belanda.
Dengan demikian, melihat daerah-daerah ini yang tidak menjadi negara boneka bentukan Van Mook (mereka ini eksis) dan tidak diduduki Belanda, maka wilayah Republik Indonesia hanyalah Yogyakarta, Aceh, dan Keresidenan Lampung secara utuh. Pemerintahan Keresidenan Lampung berjalan dengan semangat dan dinamika revolusi. Residen Lampung waktu itu Mr A Abbas, yang dipaksa melepaskan jabatannya melalui petisi rakyat yang digerakkan Panitia Perbaikan Masyarakat (PPM), 9 September 1946. Dr. Baderil Munir menjadi residen Lampung menggantikan Mr A Abbas. Jabatan ini dipangku sampai 29 November 1947 dan penggantinya R.M. Sukadi Wiriahardja. Seluruh residen Lampung ini langsung berada di bawah Presiden Soekarno di Yogyakarta. Ketika itu, Negara Indonesia terbagi atas 8 (delapan) provinsi, yaitu: Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan.
Pasukan Kapten Alamsyah yang menjadi komandan Subteritorium Palembang berdasarkan Perjanjian Linggarjati harus menarik diri pasukannya dari Palembang yang telah dikuasai Belanda dan hijrah ke daerah Republik Indonesia yaitu ke Lampung. Pemerintahan Keresidenan Lampung terbentuk sejak 24 Agustus 1945 sampai dengan 31 Desember 1948, melaksanakan seluruh tugas-tugas pemerintahan secara normal, perdagangan ekspor dan impor berjalan normal melalui Pelabuhan Oost Haven (Panjang).
Pengadilan Negeri Tanjungkarang melaksanakan fungsi yudikatif secara normal, dengan Ketua Pengadilannya Mr. Mahadi, lengkap dengan majelis hakimnya, salah seorang di antaranya adalah Mr Gele Harun. Kepala Kepolisian Keresidenan Lampung pada saat terakhir menjelang agresi militer II adalah Komisaris Polisi Agus Tjik. Di samping itu Keresidenan Lampung diberi kuasa pemerintah pusat di Yogyakarta, untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia Lampung. Percetakan uangnya di Tangsi Polisi Durianpayoeng, sekarang Markas Poltabes Kota Bandar Lampung. Kepala Percetakan Oeang Repoeblik Indonesia Lampung ini adalah R.M. Aluwian, yang terbunuh di Gunung Meuraksa Talangpadang, pada saat mengungsi waktu Agresi Militer II Belanda Maret 1949, jenasah dan pemakamannya lenyap tidak diketahui sampai kini. Pembangunan pendidikan di Lampung terlihat sekali.
Pada saat itu, telah didirikan SMP Islam di Telokbetong dan SMP pemerintah yang untuk pertama kali menumpang di Sekolah Rakyat Xaverius Penengahan Tanjungkarang. Bagi Keresidenan Lampung, SMP Islam dan SMP pemerintah ini merupakan sejarah baru karena selama ini sekolah di Lampung sampai tahun 1945 hanyalah sebatas sekolah rakyat. Pada zaman kolonial Belanda, Lampung memiliki satu sekolah ELS di Tanjungkarang dan dua sekolah HIS di Telokbetong dan Menggala dan sekolah-sekolah Melayu, vervolk school dan volk school serta sekolah-sekolah partikelir lain yang ada di kota-kota dalam Keresidenan Lampung, termasuk HIS Ardjoena dan HIS Xaverius di Tanjungkarang.
Semua sekolah itu tingkatannya adalah sekolah dasar (primary school). Agresi Militer Belanda ke Lampung dilaksanakan 30 Desember 1948, masuk dari Pantai Kunyit Telokbetong. Tanggal 31 Desember 1948 Telokbetong jatuh, 1 Januari 1949 Kota Tanjungkarang jatuh ke tangan Belanda dan sebelumnya terjadi proses bumi hangus. Mr. Gele Haroen (seorang hakim di Pengadilan Negeri Tanjungkarang) saat itu mengambil alih Pemerintahan Keresidenan Lampung, membentuk Pemerintahan Darurat berkedudukan di Kotaagung, selanjutnya menyatakan diri sebagai residen Lampung. Adapun tugas-tugas pemerintahan di daerah pendudukan Belanda Tanjungkarang-Telokbetong dilaksanakan sebagian pejabat keresidenan yang bertahan di bawah supervisi Belanda. Pemerintahan itu kita kenal sebagai tijdlijk bestuur aangelegenheid (TBA). Untuk selanjutnya menyongsong Konferensi Meja Bundara (KMB) sekitar Juli 1949 terjadi perintah cease fire antara Tentara Belanda dan Indonesia. Untuk lebih melengkapi sampai penyerahan kedaulatan 29 Desember 1949, Bukit Kemuning, Way Kanan, sampai Lampung Barat sama sekali tidak pernah diduduki Belanda.
Kata Akhir
Provinsi Aceh sebagai daerah modal dengan RI 001 Seulawah-nya, begitu populer dalam cerita revolusi, tetapi yang tidak terpikir bahwa Lampung merupakan modal daerah buat Republik Indonesia. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana Republik Indonesia akan berunding dengan Belanda mulai dari Linggarjati, Renville, Roem-Royen sampai KMB, apabila daerah republik hanyalah Yogyakarta saja. Semua daerah di Indonesia, kecuali sebagian Aceh dan Sumatera Barat, semuanya telah diduduki Belanda atau menjadi negara boneka bentukan HJ van Mook, termasuk Jawa Barat, bumi Siliwangi. Sumatera Selatan sudah lama sebagian diduduki Belanda dan di sana ada Negara Sumatera Selatan.
Kita bersyukur Lampung dari awal kemerdekaan sampai sekarang tidak bergeming, tetap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak berpikir separatis membentuk negara bagian seperti daerah-daerah lain, termasuk Bangka-Belitung dan Negara Sumatera Timur, Negara Sumatera Selatan, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Borneo, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain.
Referensi dari harian Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2005

Warga dan Heboh Lampung

Sebuah klip pemerkosaan beredar dari HP ke HP. Pelaku dan korbannya masih duduk di bangku SMP. Sungguh miris. Dalam klip video tersebut tergambar seorang anak perempuan, sebut saja namanya Cinta, dikerubuti dua teman prianya. Yang mereka lakukan sungguh tak pantas. Secara bersamaan, keduanya memperlakukan Cinta dengan kasar dan tidak patut dilakukan anak SMP. Jari salah satu pelaku masuk ke kemaluan Cinta, yang lainnya menciumi buah dadanya. Cinta yang tidur di tanah hanya bisa merintih “Sakit… sakit.”
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan detektif conan, Cinta dilecehkan teman-temannya itu selama setahun. Dia diancam harus melayani mereka agar rahasia Cinta tidak tersebar.
Semua berawal pada tahun 2006, ketika Cinta duduk di kelas I SMP I Blambangan Umpu, Way Kanan, Lampung Utara. Dia berpacaran dengan teman sekolahnya itu, sebut saja Yanto. Cara pacaran Cinta dan Yanto tidak hanya pegang tangan atau sekadar cium pipi, mereka sudah melakukan hal yang belum pantas dilakukan yaitu melakukan hubungan intim dan hal ini ketahuan oleh teman-teman sekelas karena dilakukan sehabis olahraga diruang kelas saat kelas sedang sepi.
Cara mereka berpacaran yang sudah kelewat batas itu akhirnya dilaporkan kepada ayah Yanto. Agar hubungan terlarang Yanto tak berlanjut, ayahnya memindahkan sekolahnya ke Kotabumi, Lampung.
Namun kepindahan Yanto tidak berakhir buat Cinta. Teman-teman Cinta satu sekolah yang mengetahui hal itu mengancam Cinta. Dia harus melayani mereka, jika tidak Cinta akan dilaporkan ke pihak sekolah. Cinta yang ketakutan akhirnya pasrah memenuhi hasrat seksual mereka. Sejak saat itu Cinta hampir setiap hari harus melayani teman-teman pria di SMP-nya baik perorangan maupun beramai-ramai.
Selama setahun Cinta diperlakukan seperti budak seks oleh beberapa teman pria di SMP-nya itu. Biasanya mereka melakukan hal itu di Lapangan Pendopo di Way Kanan, sekolah, bahkan di pinggir kali. Nah, di Lapangan Pendopolah klip video yang tersebar di Kabupaten Way Kanan diambil. Dengan video tersebut, berkali-kali Cinta diancam jika tidak memenuhi keinginan mereka.
“Tidak selalu dibegitukan, kadang Cinta hanya disuruh melepas seluruh bajunya hingga telanjang dan duduk-duduk secara bergantian di pangkuan mereka, kadang bila belajar bersama Cinta diajak ikut dan belajar bersama dalam keadaan telanjang atau hanya disuruh mandi sambil ditontonin,” kata sumber yang enggan disebutkan namanya.
Setelah hampir setahun, rupanya anak-anak SMP itu sudah mulai bosan dengan Cinta. Mereka mulai memeras dan meminta uang pada gadis malang tersebut. Jika tidak dipenuhi, klip video tersebut akan disebar.
Tentu saja Cinta yang saat ini sudah duduk di kelas II tidak bisa memenuhinya karena yang dimiliki Cinta hanya tubuhnya saja. Karena itu pula klip video itu tersebar dan akhirnya diselidiki oleh Polres Way Kanan

Anggota DPRD PDIP vs Guru SD

Video Porno Lampung Terus Beredar!
Anggota DPRD PDIP vs Guru SD
Adegan dalam Video porno anggota DPRD dari PDIP Way Kanan, Lampung bernama Edi Waluyo dan Sasi Utami, Guru SDN Purwo Agung membuat masyarakat Lampung gempar, apalagi video porno itu beredar luas di internet dan HP berkamera. Sementara pihak PDIP Pusat melalui Gayus mengatakan, pihaknya sangat menyayangkan video yang melibatkan kader PDIP di DPRD Way Kanan itu.
Dikatakannya, DPP PDIP akan menjatuhkan sanksi yang pantas terhadap hasil investigasi tersebut. Sementara itu, Dinas Pendidikan (Disdik) Way Kanan, Lampung, mengaku panas dengan pemberitaan berbagai media massa yang membawa nama stafnya, Sasi Utami, guru SDN Purwo Agung Way Kanan yang beradegan mesum dengan Edi Waluyo, anggota DPRD Fraksi PDIP dalam video kamera telepon selular (HP).
“Sas seharusnya menjadi contoh di masyarakat karena seorang guru. Kalau memang kasus ini benar-benar terjadi sangat mengecewakan,” kata Kadis Pendidikan Way Kanan Herwan Sahri saat dihubungi melalui telepon.
Herwan menganggap perselingkuhan yang menjadi pembicaraan masyarakat Lampung termasuk dalam kategori perbuatan tercela. Ketika ditanya apakah sudah melihat langsung video tersebut, Herwan manyatakan belum. Pihaknya masih menganggap pemberitaan di media massa perlu diklarifikasi.
“Saya belum yakin apakah video itu bergambar Sasi. Karena belum melihat langsung,” tegasnya. Disdik juga telah membentuk tim penyidik untuk mengkroscek langsung keterangan dan data di kediamana Sasi, di Desa Bumi Mas, Batang Hari, Lampung Timur, untuk melengkapi data hari ini
Namun demikian, Herwan juga meminta kepada Sasi untuk segera memberikan klarifikasi pemberitaan ini kepada Disdik. “Sasi harus segera memberikan ketarangan. Jangan berlarut-larut. Kalau memang dia benar-benar selingkuh maka harus mempertanggungjawabkan perbuatan. Bila terbukti, maka sanksinya dipecat,” tandas Herwan.

Ayah, Kampung dan Perjalanan







SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukitkemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Ayah, Kampung dan Perjalanan


SIANG itu aku sudah berada di seputaran tugu Radin Intan Rajabasa, Bandarlampung. Dengan menyandang tas ukuran cukup besar, aku melangkah melewati pos polisi Tugu Radin Intan menuju loket penjualan karcis tujuan Bengkulu dan sekitarnya. Memang, jaraknya tidak jauh dari tempat aku turun dari bis AC Metro—Rajabasa.
Keraguanku saat berada beberapa metrer dari loket yang bis yang berjejer di Jl Soekarno Hatta itu muncul. Tapi, ada satu kebulatan tekadku. Aku memilih loket yang bertuliskan PO Rejang Permata. Di halaman loket itu sudah ada sebuah minibus travel Rejang Permata berwarna kuning.
Dengan langkah pasti aku memasuki loket PO Rejang Permata. Setelah berdialog sebentar seputar transportasi ke Bengkulu. Ternyata kalau travel yang menggunakan minibus hanya sampai Bengkulu saja. Sedangkan kalau mau ke Curup, harus menggunakan bis Rejang Permata. ”Ok, aku pilih bis Rejang Permata dengan ongkos Rp 175.000,-
Sesudah membayar ongkos, sambil menunggu kedatangan bis Rejang Permata dari Jakarta. Aku pun memesan segelas kopi. Kebetulan di samping loket itu ada rumah makan (RM) Minang. Meneguk segelas kopi di siang itu membuat aku melayangkan pikiran entah ke mana saja. Terutama membayangkan perjalanan pulang kampung dengan bis yang sudah puluhan tahun tidak pernah kurasakan. Tentu, aku juga membayangkan bagaimana lelahnya perjalanan yang akan kutempuh hingga sampai kampung halaman di Kotadonok, Lebong, Bengkulu.
Kepulangan kali ini memang aku sendirian. Sebab, tujuanku pulang dikarenakan Ayahanda tercinta sedang sakit parah. Untuk itu aku membawa pakaian cukup banyak, sebab tidak tahu berapa lama aku berada di kampung nantinya. Tak terasa, kopi yang kupesan sudah hampir habis dengan beberapa batang rokok kesukaanku, rokok Gudang Garam Filter.
Sekitar pukul 14.40 WIB, bis yang kutunggu sudah datang. Warna bis PO Rejang Permata bernomor polisi BD itu, juga kuning. Dari luar kelihatannya bis Rejang Permata cukup bagus. Maka, akupun bergegas naik ketika sang kondekturnya meminta aku naik. Sesampai di dalam bis, aku kaget, mataku terbelalak.
Apa sebab, penumpang bis yang besar itu hanya sekitar 10 orang. Aku pun makin kaget, ketika duduk di salah satu bangku bis Rejang Permata. Ternyata, bangku bisnya (walau pakai AC) tidak bisa distel. Berupa bangku mati. Kelihatannya bis Rejang Permata adalah bekas bis Bengkulu Indah yang hanya diganti catnya saja.
”Ah, biarlah,” kata hatiku mencoba menahan penyesalan.
Bis Rejang Permata di loket Bandarlampung tidak lama, lalu berangkat ke arah utara menempuh jalur Lintas Sumatera (lintas tengah) yang akan melewati Gunungsugih, Kotabumi, Bukit Kemuning, Blambangan Umpu, Martapura, Baturaja, Tanjung Enim, Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi dan Lubuk Linggau. Kemudian, sudah pasti menuju Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong.
Ada kebiasaan burukku kalau naik angkutan umum maupun mobil pribadi. Aku suka dan selalu tidur selama perjalanan. Begitu pula saat bis Rejang Permata meninggalkan Kota Bandarlampung, aku pun sudah memejamkan mata. Memang tidur selama perjalanan sangat nikmat sekali, termasuk kalau berpergian dengan pesawat udara. Tidur itu pasti. Faktor lain kenapa aku harus tidur? Karena dulu dalam setiap perjalanan, aku sering mengalami mual atau mabuk perjalanan. Tapi, kalau tidur kan tidak banyak yang dilihat di luar mobil.
****
Perjalanan pulang kampung kali ini memang menyiksaku. Sebab, bis Rejang Permata masih sering berhenti di perjalanan, mencari penumpang tambahan dan di beberapa tempat, mobil berhenti untuk makan. Seperti di Bukit Kemuning, Baturaja, Muara Enim, Tebing Tinggi.
Alu menggerutu selama perjalanan di dalam bis Rejang Permata, karena di mana-mana di atas tempat duduk dari plafon bis bocor. Bahkan, di atas tempat dudukku air terus menetes, apalagi selama perjalanan hujan turun dengan deras sekali. Sampai-sampai kaki celana jeans sebelah kiri dari lutut ke bawah basah semua. Itu terjadi, karena selama perjalanan aku tidur dan tidak meresakan tetesan air dari plapon ruang penumpang bis Rejang Permata itu.
Yang lebih parah lagi, ketika sampai di kampung aku ketahui, sepatuku di bagian depannya terkuak akibat kena air terus menerus semalaman suntuk. ”Ah, perjalanan yang asyik tapi menyebalkan sekali. Namun, semua terpaksa aku jalani karena ingin cepat sampai kampung melihat kondisi Ayahanda tercinta yang usianya sudah mencapai 88 tahun.”
Sekitar pukul 06.30 WIB Jumat pagi (6/2) bis Rejang Permata sudah sampai di Kota Lubuk Linggau. Di kota ini berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Curup. Kota yang terkenal dengan suhu dinginnya. Perjalanan melewati bujuran Bukit Barisan memang membuat penumpang angkutan umum sering mabuk perjalanan. Untung pada saat kami melewati jalan yang berliku antara Lubuk Linggau dan Curup.
Sekitar pukul 07.25 WIB pagi Jumat itu aku sudah turun di Terminal Simpang Nangko Kota Curup. Keadaan di terminal itu masih sepi, kabut embun pagi masih menyelimuti Kota Curup. Beruntung aku mengenakan jacket kulit, sehingga udara dingin tidak mampu menembus ke dalam tubuhku. Tidak jauh dari loket bis Rejang Permata ada beberapa unit angkutan kota (angkot) Kota Curup yang masih menggunakan mobil dengan belakangnya terbuka dengan pintu masuk bagian belakang.
Tak berapa lama kemudian, aku menelepon adikku yang paling bungsu, kebetulan ia tinggal di Curup, karena profesinya sebagai PNS (guru). Tak lama setelah menelepon, suami adikku bernama Nizam Asri datang membawa mobilnya. Kami pun segera ke Air Weles Bawah—di rumahnya.
Di rumah adikku yang paling bungsu di Kompleks Taman Gading Indah Air Weles Bawah, Curup Timur, sebelum ke kampung. Karena adikku ingin pulang juga sekaligus mengantarkan aku. Aku sempat sholat Jumat di masjid terdekat dari rumah adikku itu. Usai sholat Jumat, barulah kami berangkat ke kampung yang akan menempuh jarak 40 km sampai di Kotadonok.
Perjalanan pun melewati lereng pebukitan Bukit Barisan, terutama setelah melewati Jembatan Tabarenah yang terkenal dengan perjuangan heroik para pejuang Indonesia zaman class ke II sekitar tahun 1948 dan zaman pemberontakan PRRI. Suhu dingin terasa merambah tulang belulalangku, karena udara dingin sejak di Kota Curup terus sampai di Kotadonok.
Satu persatu desa yang ada kami lewati, seperti Pal VII, Pal 100, Simpang Bukit Daun, Air Bening, Air Dingin, Tikuto, Rimbo Pengadang, Talangratu (Tlang Bratau) dan sampailah kami di kampung—Kotadonok sekitar pukul 13.00 WIB.
Rumah kami berada di lereng bukit, tapi lokasinya berada di tengah desa yang rumah penduduknya cukup padat dengan rumah-rumah tua yang berarsitektur seni tradisionil Rejang. Untuk sampai ke rumah kami, kami harus menaiki tangga yang dibuat dari tanah. Anak tangganya ada sekitar 25 petak. Sebelum masuk halaman rumah kami, aku harus melewati halaman rumah kakekku, H Aburuddin (alm).
*****
”Assalammualaikum...........” itulah kalimat pertama yang selalu aku ucapkan ketika sampai dan masuk ke dalam rumah kami di kampung. Keadaan rumah keluarga besar kami tak pernah berubah. Beberapa kursi lama yang terbuat dari rotan yang aku ingat sudah ada ketika aku masih duduk di bangku SD, masih ada beberapa di ruang tamu. Hanya kondisinya sudah tidak layak dipajang lagi.
Aku dengan adikku melangkah ke ruang utama keluarga. Di situ pun tidak ada perubahan. Sebuah bufet tua yang masih bagus. Hanya kacanya yang pecah. Di dinding rumah yang terbuat dari papan berkualitas yang dibuat sekitar tahun 1940 masih tetap bagus, warna kecoklatan dan mengkilat masih terlihat jelas.
Sambil melangkah ke ruang keluarga, di dinding aku melihat foto-foto close up kami 7 (tujuh) beradik masih tergantung rapih yang dulu dipasang oleh adikku yan paling bungsu. Kemudian ada beberapa foto keponakan yang sekarang sudah berada di rantau dengan biang kerja masing-masing.
”Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh........” terdenga suara menjawab dari ruang keluarga. Ketika tirai gorden aku singkap. Aku melihat dengan jelas Ayahanda terbaring di atas kasur berlapis tiga. Badannya kurus, matanya tetap tajam,. Rambutnya sudah putih semua. Lalu, kudekati dan bersujud di sisinya. Aku cium kening Ayahanda dengan kasih sayang.
Lalu, aku mencium ibundaku yang duduk bersandar di dinding di bawah jendela. Ibuku menangis ketika aku peluk. Lalu, kupeluk juga kakakku yang paling tua, Huzzaima, kemudian kakak kedua tertua, Zahara. Mereka menangis, lalu mengatakan;
”Inilah keadaan Ayahanda....,” ujar mereka sambil berdiri.
Kemudian aku duduk kembali di sisi kasur tempat Ayahanda terbaring. Hatiku sangat sedih dan prihatin melihat kondisinya. Apalagi ketika ia bicara.
” Ya, kondisiku makin parah. Semuanya gak bisa digherakkan,” ucap Ayahanda dengan suara pelan. Tapi, jelas terdengar.
Tidak banyak yangt bisa aku ucapkan saat itu, kecuali memberi semangat kepada Ayahanda dan Ibunda, agar semuanya tenang, sabar, tabah, dan yakin bahwa semuanya akan baik dan Ayahanda pasti sembuh, kataku.
Singkat cerita sejak itu aku harus tinggal beberapa hari di kampung, menunggu perkembangan kesehatan Ayahanda. Tidak terasa aku di kampung selama 11 hari. Akupun pamit pulang karena melihat perkembangan kondisi kesehatan Ayahanda belum ada perubahan. Kepulanganku hanya sementara, sebab anggaran sudah menipis.
****
Aku berangkat dari kampung dan pulang ke Metro, Lampung terpaksa menggunakan pesawat udara dari Bandara Fatmawati (Padang Kemiling) Bengkulu. Untuk itu, aku harus memesan tiket di Curup di Jl Merdeka. Harga tiket hanya Rp 290.000,- sementara ongkos travel ke Bengkulu Rp 50.000,-
Sesuai jadwal pesawat lepas landas dari Bandara Fatmawati pukul 12.40 WIB. Ternyata didelay (dicancel) sampai pukul 14.20 WIB. Setelah waktunya tiba, ternyata pesawat Sriwijaya Airline belum sampai dari Jakarta. Para penumpang akhirnya diberitahu dan diberi jatah makan nasi bungkus. Dalam hati aku kesal, tapi aku mencoba untuk tenang. Sebab, belum pernah aku mengalami hal seperti itu, apalagi karyawan loket Sriwijaya Airline memberi para penumpang makan.
Walaupun sudah tidak betah berada di ruang tunggu/keberangkatan Bandara Fatmawati, tapi aku mencoba menguatkan diri untuk bertahan. Sebab, Sriwijaya Airline akhirnya tiba pukul 16.00 WIB dan berangkat ke Jakarta pukul 16.30 WIB. Kekesalanku beralasan, semula aku berpikir dengan menggunakan pesawat udara yang waktu tempuh Bengkulu—Jakarta sekitar 70 menit dan jika aku naik bis (lewat darat) dari Jakarta ke Lampung hanya 6 jam. Berarti perjalananku sampai di rumah dari Bengkulu hanya 10 jam (ditambah waktu dari Kotadonok ke Curup dan Curup ke Bengkulu).
Tapi, dengan jadwal yang molor itu, perjalananku menjadi 12 jam lebih. Berarti hanya selisih sekitar 7 jam kalau naik bis dari Curup—Lampung. Padahal, kalau jadwal penerbangan tidak didelay, selisih waktu sangat banyak sekitar 17 jam. ”Tapi, tak apalah. Hitung-hitung pengalaman berharga.”
Sampai saat ini untuk pergi dan pulang dari/ke kampung, aku sudah menggunakan berbagai jenis angkutan dan hampir semuanya. Seperti antara tahun 1979—1983 aku sering naik Kereta Api dan bis. 1984—2000 aku lebih banyak membawa mobil sendiri dengan route yang paling sering dilewati adalah Lintas Barat: Kotabumi—Bukit Kemuning—Liwa—Krui—Bintuhan—Manna—Bengkulu—Curup—kampung (Kotadonok) atau pernah melewati route Kotabumi—Bukit Kemuning—Martapura—Baturaja—Pagar Alam—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Jalur atau route ini cukup menegangkan, karena harus melewati jalan tanjakan dan berliku sebelum kota Pagar Alam yang disebut Jurang Lematang. Jalur itu sulit dilewati bis ukuran besar, kecuali supirnya nekad.
Sekarang jalan di sana sudah dibesarkan dan sudeah dibangun berbagai lokasi objek wisata. Hanya, menurut informasinya tingkat kriminalitas perampokan kendaraan, terutama jalur Kepahiang—Pagar Alam—Baturaja. Sama halnya jalur antara Muara Enim—Tebing Tinggi bewberapa tahun silam dan sekarang menurut informasinya masih ada kejadian-kejadian di lintas tengah itu.
Aku pernah melewati jalur (route) Metro—Kotaagung (Tanggamus, Lampung), Krui, Bintuhan—Manna—Bengkulu—Kepahiang—Curup dan Kotadonok. Tapi kalau dari Metro jarak tempuh dan waktu sampa dengan melalui Krui. Tapi, kalau dari Kota Bandarlampung jarak dan waktu tempuh relatif singkat. Route yang paling singkat dan cepat dari Lampung ke Curup hanyalah melalui Pagar Alam via Baturaja atau Lahat.
Kalau dari Baturaja—Simpang Meo—Pagar Alam, situasi keamanan di perjalanan sangat rawan. Terutama 10 km memasuki Simpang Meo dan dari Simpang Meo ke kampung Semendo. Kejahatan di daerah itu sangat tinggi, khususnya kejahatan terhadap kendaraan. Baik mobil pribadi maupun mobil umum. Kalau saya sarankanjangan melewati jalur Simpang Meo ke Pagar Alam. Berbahaya dan rawan kejahatan. Terutama di malam hari.
Oleh karena itu semua kendaraan yang melintasi jalur itu atau Lintas Tengah, jika malam hari kendaraannya konvoi. Jarang yang berani berjalan sendirian membawa mobil tanmpa ada mobil lain yang searah perjalanannya.

Sabtu, 14 Februari 2009

Kotadonok 2009 dalam Album





Kotadonok 2009 dalam Album

Kotadonok 2009 dalam Album

Runtuhnya Peradaban Masyarakat Rejang


Oleh Naim Emel Prahana

Keganasan produk teknologi canggih, informasi dan komunikasi sudah banyak merusak sistem dan nilai-nilai luhur masyarakat di hampir semua bangsa. Hanya sedikit bangsa (masyarakat) yang mampu mengendalikan teknologi canggih tersebut. Yang mampu memanfaatkan dan menggunakan produk teknologi yang tersebut dengan baik, efisien dan menjadi sarana pendukung untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan status sosial ekonomi.
Rumusan ’kemajuan’ memang masih dalam perdebatan. Secara definitif sudah jelas, akan tetapi secara subtsnasi mungkin masih diraba-raba ke mana arah kata maju (kemajuan) itu. Hampir sama dengan arti kata modern (modernis). Kalau dikaitkan dengan sarana transportasi, kemajuan itu tersirat pada rentang waktu yang digunakan dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Perjalanan menunaikan ibadah haji tempo dulu dapat menghabiskan waktu sampai sebulan penuh. Belum lagi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Sekarang, perjalanan haji dari Indonesia ke tanah Arab Saudi hanya membutuhkan beberapa jam saja. Seperti halnya untuk mendapatkan akses informasi dari berbagai belahan dunia, cukup mengklik beberapa kata di internet.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi; darat, laut dan udara serta produk transportasinya sendiri sudah sedemikian berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Kalau dulu masyarakat di pesesaan yang memiliki pesawat televisi boleh dikatakan tidak ada, padahal saat itu masyarakatnya terbilang makmur, tidak kekurangan sandang dan pangan. Tetapi, sekarang di tengah arus krisis multidimesional dan tinkat ekonomi masyarakat terus merosot.
Hampir setiap rumah penduduk di desa memiliki pesawat televisi—bahkan, di desa-desa di lereng pegunungan yang sulit ditembus jaringan satelit, mampu membeli parabola untuk penangkap siaran televisi. Secara tersirat masalah di atas, kemajuan itu disatu sisi, kemunduran di banyak sisi atau sebaliknya. Itulah yang dialami masyarakat Indonesia saat ini. Terutama masyarakat di pedesaan.
Salah satu hasil studi dan penelitian yang menarik yang saya dan kawan-kawan lakukan selama hampir 10 tahun terhadap masyarakat Redjang (Rejang, pen) di Kabupaten Rejang Lebong (kini menjadi 3 kabupaten; Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang). Adalah merosotnya peradaban masyarakat Rejang yang dahulu kala telah memiliki nilai dan status yang baik di antara sukubangsa lainnya di Indonesia.
Baik di bidang managemen pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, keagamaan, sosial budaya dan pendidikan. Setelah tahun 1970-an, masyarakat Rejang mengalami kemunduran, terutama pola pikir dan pandangan hidup yang mempengaruhi secara langsung adat kebiasaan sehari-hari dan peradaban masyarakat Rejang secara umum.

Terjebak Arus Informasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi mundurnya nilai-nilai adat, kebiasaan dan peradaban masyarakat Rejang adalah informasi yang datang ke daerah Rejang. Informasi yang dimaksud adalah informasi dari media elektronik (televisi, radio) dan informasi orang-orang Rejang di perantauan yang sering kembali ke kampung halamannya. Terutama di daerah Lebong.
Kita ketahui sejak awal, selain mayoritas penduduk Lebong (Kabupaten Lebong sekarang) adalah sukubangsa Rejang. Terdapat pula sukubangsa Jawa, Sunda, Padang, Batak dan Palembang. Interaksi antarsuku memang tidak mengalami kesulitan. Akan tetapi, masyarakat Rejang sangat lamban menyerap pola kerja masyarakat dari suku lainnya di daerah Lebong. Masyarakat Rejang pada umumnya terjebak dengan pandangan hidup praktis, tetapi tidak ekonomis dan tidak efektif.
Sampai tahun 1970 masyarakat Rejang di Lebong dikenal sebagai masyarakat petani yang ulet, tekun, irit dan sangat kuat nilai ikatan kekeluargaannya. Terutama dalam makna gotong royong dalam bidang apapun. Di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Rejang sangat setia dan taat akan nilai-nilai sosial, agama, seni, budaya dan hukum. Dengan perubahan zaman, terutama berhembusnya filosofi global ke daerah itu, membuat masyarakat Lebong terperangah, kaget dan seakan-akan menemukan dunia baru yang penuh dengan janji-janji kehidupan yang layak.
Dalam normal sosial keagamaan masyarakat Rejang yang dipedomani dan dipatuhi dalam kehidupan saehari-hari adalah pantang anggota masyarakatnya yang kawin cerai. Pantang bagi mereka untuk melakukan perbuatan sumbang besar maupun sumbang kecil di tengah masyarakatnya. Sebab, jika terjadi maka sanksi sosialnya sangat keras dan statis sesuai format nilai-nilai yang mereka ketahui dan jalani selama itu.
Termasuk dalam pergaulan sehari-hari para remaja. Filosofi bahwa pernikahan itu adalah kemampuan dan kemandirian, sangat dijunjung tinggi dan dipatuhi semua lapisan masyarakat. Perbuatan jahat, seperti maling, merampok, membunuh atau pelecehan seksual sampai pemerkosaan akan menjadi traumatik setiap anggota masyarakat Rejang. Akibatnya, perbuatran-perbuatan seperti itu sangat kecil sekali kemungkinan dilakukan anggota masyarakatnya.
Tembok tebal dan kokoh masyarakat Rejang akhirnya satu senti per senti mulai rontoh, banyak anggota masyarakat Rejang yang melanggar norma-norma sosial keagamaan, hukum adat, hukum positif dan normal lainnya. Hal itu diakibatkan perngaruh kehidupan dari luar struyktur masyarakat Rejang. Diawali dengan pernikahan (perkawinan) dengan orang luar dari sukubanghsa Rejang yang hanya mengejar penampilan (format), gaya hidup atau gengsi sosial.
Gadis-gadis Rejang banyak yang tertipu oleh penampilan para pengemudi mobil. Mereka tidak lagi mempedulikan, siapa lelaki yang berkenalan dengan dirinya yang setiap kali bertemu memberikan uang atau oleh-oleh. Tanpa disadari akhirnya ikut berpetualang bersama sang supir mobil ke berbagai desa atau ke luar daerah sukubangsa Rejang. Mereka baru menyadari kalau lelaki yang sering mengencaninya itu adalah seorang lelaki yang sudah beristeri dan punya anak.
Penyesalan memang di belakang. Namun banyak kebanyakan gadis Rejang, penyesalan itu tidak membuat mereka kembali (sadar), bahkan melanjutkan kehancuran moral dalam kehidupan prostitusi terselubung. Baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah Lebong. Yang lebih buruk lagi adalah keluarga si gadis. Mereka menerima dengan kebanggaan hasil-hasil yang diperoleh oleh anak gadis mereka, tanpa ada keinginan untuk menyelidiki; darimana asal harta benda atau uang yang dibawa anak mereka.
Secara umum pada gilirannya masyarakat Lebong menjadi masyarakat yang konsumtif, materialistis dan patembayan. Pola kehidupan demikian sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Rejang di tanah Rejang dan Lebong. Karena, nilai kreativitas, idealisme, moralitas dan mentalitas menjadi rapuh dan tidak mampu membendung infiltrasi budaya luar masuk ke susunan masyarakat Rejang.
Oleh karena itu, harus ada lembaga sensor atau filter terhadap infiltrasi budaya luar yang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat Rejang itu sendiri. Kita dapat melihat sekarang, kebiasaan-kebiasaan yang sangat positif, disamping itu memberi dukungan terhadap pelestarian hasil karya masyarakar Rejang sudah ditinggalkan. Misalnya ke kebun, sawah atau ladang, masyarakat Rejang yang umumnya bermatapencarian dari sektor pertanian. Tidak lagi membawa pane (bronang). Semua diganti dengan tas kulit imitasi seperti layaknya anak sekolah.
Ditinggalkannya pane, seperti mereka melupakan alat penangkap ikan kewea (pancing) yang terbuat dari sebatang pohon bambu biyes atau buluak pukua cino. Batang bambu biyes itu memang kuat, lentur dan tidak mudah patah kendati batangnya kecil-kecil. Sehari-hari kita melihat orang Rejang memancing menggunakan alat pancing yang berasal dari kota. Termasuk makanannya. Padahal, pancing demikian hanya untuk ikan-ikan peliharaan di kolam. Sedangkan ikan air tawar yang ada di sungai dan danau mempunyai sifat dan kiarakter tersendiri terhadap makanan ikan-ikan tersebut.
Ini bukan berarti melarang penggunaan alat pancing modern (canggih). Namun, kita hanya melihat dari sudut budaya dan tradisi yang sangat melekat di masyarakat Rejang. Hal itu mengisyaratkan masyarakat Rejang sudah melupakan kaidah-kaidah norma yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri.

Pergaulan Muda-Mudi
Melihat kenyataan (realitas) sosial kehidupan masyarakat Rejang awal tahun 2009, semua orang pasti mengatakan sangat prihatin. Nilai-nilai adab, sopan santun, etika dan nilai keagamaan sudah ditinggalkan hampir sebagian besar anggota masyarakatnya, terutama di kalangan generasi muda.
Gadis-gadis yang mengenakan celana pendek ketat, baju kaos ketat yang memperlihatkan paha, lekuk tubuh, pusar, perut, pinggang dan menampakkan dengan jelas celana dalam merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Rejang selama ini. Namun, sekarang hal itu sepertinya sudah tidak ada larangan dan sanksi sosial. Akibatnya, anak-anak gadis dengan bebas memperagakan bagian tubuhnya yang mempengaruhi pria untuk menikmatinya.
Kita tidak tahu persis persentasenya, yang jelas dari keterangan-keterangan dan cerita masyarakat Rejang saat ini, tentang mudahnya melakukan perkawinan dan perceraian yang bukan hanya berlaku di kalangan remaja (generasi muda). Tetapi, di tingkat orangtua pun sudah sedemikian merosotnya nilai-nilai sakral suatu perkawinan. Kita tidak tahu lagi, bagaimana 5 atau 10 tahun mendatang. Sekarang saja sudah sangat memkhawatirkan.
Orang Rejang pada saat sekarang pergi ke kebun, ladang atau sawah mengenakan baju bagus. Hal itu tidak pernah dilakukan selama ini di tanah Rejang. Bahkan, sekarang jika ada orang Rejang yang berkebun dan menginap di kebunnya sampai sebulan penuh menjadi cemoohan. Padahal, pekerjaan demikianlah yang dilakukan masyarakat Rejang selama ini untuk menghidupi keluarga mereka.

Kotadonok 2009






Oleh Naim Emel Prahana

SUHU dingin masih tetap menyelimuti daerah Lebong pada umumnya, khususnya di beberapa desa yang berada di lereng bukit pegunungan Bukit Barisan, seperti Air Dingin, Rimbo Pengadsang, Tikuto, Talangratu, Trans Mangkurajo, Sawahmangkurajo dan Kotadonok. Curah hujang yang tetap tinggi memang secara permanent tidak menghambat aktivitas masyarakat. Namun, secara langsung mengurangi beberapa aspek kehidupan.
Secara umum Kutei Donok (Desa Donok/Tengah) yang sekarang lebih populer disebut Desa Kotadonok mengalami mengalami kemunduran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada proses pembangunan infrastruktur, itupun tidak membawa desa dan masyarakat Kotadonok lebih maju dibandingkan desa-desa lain.

Pemukiman
Pertambahan jumlah rumah penduduk tidak signifikan, bahkan banyak rumah-rumah lama (tua) yang terbengkalai. Pertambahan bangunan rumah yang ada, masih memanfaatkan pekarangan rumah-rumah lama. Rumah-rumah yang dibangun 5 tahun terakhir pada uymumnya berukuran kecil dan sangat sederhana. Hal itu dimungkinkan karena tingkat kemiskinan di desa itu semakin meningkat. Terutama setelah Lebong menjadi kabupaten konservasi tahun 1999.
Penduduk Desa Kotadonok masih mengalami beberapa kesulitan, air bersih. Walau sumber air dari sungai-sungai kecil (bioa tik) masih melimpah ruah dari pegunungan yang melingkari Desa Kotadonok. Namun, kebersihan sumber air sangat tidak menjamin dari segi kesehatan. Bahkan, keberadaan PAM (perusahaan air minum) swasta tidak banyak membantu penduduk untuk memperoleh air bersih. Karena, biaya penyambungan dan taruifnya sangat mahal, tidak terjangkau oleh penduduk Kotadonok.
Lingkungan pemukiman penduduk di Kotadonok (Kotadonok I dan Kotadonok II/Sukasari) ternyata semakin kumuh. Sampah berserakan di depan rumah, di pinggir jalan, dan saluran air di sisi jalan banyak yang tersumbat akibat pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk serta tertutup oleh timbunan tanah galian; baik ketika pembangunan (pengaspalan) jalan maupun longsor. Desa Kotadonok seperti desa yang tidak terurus. Berbagai kesulitan menghadang dan dialami oleh penduduknya.
Bangunan-bangunan bersejarah, seperti rumah kediaman pribadi mantan gubernur Sumatera Selatan, M Husein, rumah pangeran Kotadonok, Balai Desa, Balai Pertemuan, Masjid Nurul Iman dan deretan rumah-rumah tua di kawasan Peken (Pekan) Kotadonok, termasuk bangunan SDN 1 (SD tertua). Masyarakat atau penduduk Kotadonok yang mayoritas sukubangsa Rejang asli sebagaimana karakter umum sukubangsa Rejang tergoilong masyarakat yang pemalas dan terbecah belah akibat pandangan hidup dari pengaruh peradaban masyarakat luar (misalnya masyarakat kota).
Desa dan masyarakat pelopor kemajuan di Rejang Lebong itu, kini semakin memperihatinkan. Tradisi positif (adat istiadat) yang selama ini menyelamatkan masyarakat Kotadonok, kini sudah ditinggalkan. Baik dari kalangan tua maupun dari kalangan anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Akibat langsung kemunduran itu terjadi terhadap situasi dan kondisi lingkungan pemukiman yang dulunya asri, kini semberawut. Lahan-lahan kosong yang ditinggalkan menjadikan lingkungan desa itu semakin tidak teratur, tidak terawat dan tidak ada upaya pemeiliharaan.
Perebutan lahan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan memicu sengketa antar keluarga dan kerabat. Penggerusan tebing-tebing dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan status sosial lebih baik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Penggerusan tebing-tebing untuk menambah luasnya pekarangan rumah tersebut mengakibatkan terjadinya pencaplokan tanah milik penduduk lainnya. Pencaplokan tanah milik penduduk lainnya pernah dilakukan oleh keluarga almarhum Kamaludin yang mencaplok tanah tebing milik keluarga H Aburuddin mengakibatkan tiang rumah tua milik H Aburudin berada di sisi tebing dan jurang. Setiap saat akan roboh karena pengerukan tanah.
Hal yang sama dilakukan pula oleh keluarga Zainab—Amin yang melebarkan luas pekarangan rumahnya dengan mengeruk tebing (tanah) milik keluarga Rahmat dan milik keluarga Meraiji. Solidaritas warga yang tinggi di Kotadonok, menyebabkan penyerobotan tanah seperti itu didiamkan saja. Akan tetapi, dari sisi negatrifnya, pengerukan tanah demikian akan membahayakan rumah yang berada di atas tebing, karena kemungkinan longsor mudah terjadi. Masalahnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di Desa Kotadonok dibangun di atas tebing. Baik di sebelah kanan jalan maupun di sebelah kiri jalan.
Untuk menghindari kemungkinan longsor hebat, di desa Kotadonok perlu ditata ulang status tanah dan kepemilikannya. Terutama penataan atau penertiban ulang bangunan yang ada. Sekaligus memberikan manfaat atas perlestarian lingkungan pemukiman dan lingkungan alam.
Kemerosotan pembangunan, penataan dan lingkungan di Desa Kotadonok mulai terasa terjadi sekitar 20 tahun terakhir, apalagi desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang usianya relatif muda dan miskin pengalaman organisasi, sehingga tidak mampu membangun alam pedesaannya yang sudah lama ditata rapih. Saat ini di awal 2009 hampir semua penduduk Kotadonok mengeluhkan kepemimpinan kepala desa mereka. Sayangnya, semua keluhan itu berawal ketika memilih kepala desa yang salah dan akibat money politic saat berlangsungnya pemilihan kepala desa (pilkades).

Dikembalikan Seperti Semula
Banyaknya bangunan lama terbengkalai di desa Kotadonok membuat banyak pihak merasa prihatin, terutama orang Kotadonok yang tinggal di perantauan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengembalikan status lahan dan bangunan tua yang memiliki nilai sejarah pada posisi semula.
Bangunan yang harus dikembalikan posisi semulanya adalah Pasar (Pekan) Lama Kotadonok yang sejak 20 tahun silam telah dibangun rumah oleh keluarga almarhum Ramli dan Sairun. Padahal, tanah tempat bangunan rumah itu adalah tanah desa atau tanah marga. Beberapa kali masyarakat menggugat rumah almarhum Ramli yang kini ditempati anaknya, namun selalu gagal karena praktek suami kepada Tuai Kutei, Kepalo Sadei (barap) dan para tokoh masyarakat yang diundang untuk bermusyawarah.
Kemudian kompleks Pekan Kotadonok, lahannya juga sudah dibangun sekolah dasar (SD). Sehingga pemandangan yang ada sangat tidak bagus, apalagi di sekitarnya berdiri bangunan rumah-rumah tua yang dibangun ratusan tahun silam.
Jika keadaannya dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan terjadi konflik antara warga dengan pemilik bangunan rumah. Kekhawatiran itu sudah terlihat beberapa tahun terakhir ini. Terutama di kalangan generasi muda yang masih mencintai alam dan peradaban masyarakatnya yang asli di Kotadonok. Roh Kotadonok yang dulunya begitu terhormat di mata masyarakat luar, kini hanya tinggal kenangan. Kerinduan akan lingkungan perkampoungan dan alam yang asri seperti sampai tahun 1970 hanyalah sebuah impian yang tidak mungkin akan terjadi lagi dan tidak mungkin akan dinikmati anak cucu orang Kotadonok sekarang dan masa akan datang.
Apalagi setelah pemekaran desa Kotadonok menjadi Desa Kotadonok dan desa Sukasari. Desa Sukasari tidak memiliki nilai historis terhadap perjalanan sejarah sukubangsa Rejang di Lebong. Sebab, lokasi desa Sukasari sekarang ini, dulunya bernama Tlang Ja’ang (Talang Jarang). Seharusnya nama Sukasari itu tidak ada dan diganti dengan nama Tlang Ja’ang. Belum ada kata terlambat, sebab penggantian nama Sukasari tinggal keinginan dan kemauan pemerintah kabupaten Lebong.
Substansi nama Sukasari tidak ada sama sekali, sehingga ada kesan pemberian nama Sukasari itu adalah rencana yang terorganisir dan rapih untuk menghapus jejak masyarakat Rejang di Kotadonok. Sebab, tidak ada nilai filosofi sukubangsa Rejang. Tempo dulu sebutan-sebutan untuk beberapa kawasan di Kotadonok memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi.
Misalnya kawasan Bioa Tiket, Tlang Ja’ang, Pacua Telai, Trang Kekek, Skula Bu’uk, Umeak Peken, Sadei, Ujung Semapak, Bioa Tamang, pondok Lucuk, Tepat Taukem, dan kawasan Mesjid dan lainnya. Semua nama-nama kawasan itu memiliki makna dan nilai sejarah.

Kotagajah


By Naim Emel Prahana

Estimated village Kotagajah built around year 1929 at first be to rush by kolonis from Telukbetung-Gunungsugih to Gedongdalem and Sukadana. Because follow tongue explanation parents, like to unfolded by mbah pulse from village Sumberejo BD 43 districts Batanghari. At that time, recall mbah pulse, metro opened in the year 1932 penetrated roads from Adipuro (Trimurjo) or Kotagajah to Metro not yet there. To carry away need ingredients kolonis at metro imported from pass road Kotagajah-Gedongtataan in, Rancangpurwo and new enter Metro.
So, said grandfather Nadi, Kotagajah there [are] before bedeng (bd) 15 at Metro opened officially. Mean Kotagajah grow and bloom, because located in stripe rushes by. But, Kotagajah as definitive village meresmikan by regent KDH Lampung Tengah based on number letter of appointment 25 year 1973. The opening self done in the year 1974. Kotagajah be potential region floats middle. At first the status" village" , now year 1997 rapidly grow to be strategic city. And year 2001 turn into definitive district be woman chief of a district leadership, Dra Bahagiati.
Location kotagajah even also very strategic, present menjalur traffic intersection like fun all day long. kotagajah has vast the area 1.372 km2 consist of 18 kebayan, 74 fruit RT, 36 fruit RW and 18 LK. Until beginning 1997 citizens Kotagajah as much as 14.258 soul.
kotagajah has various tool and infrastructure. at educational found 6 bursery school, 7 Fruit sd, 1 fruit SD private, 1 SMP negeri, 6 SMP private with 2 hovels Pesantren. Also, found public service likes chief of a district office, post and gyro, kua, transmigration office and mess transmigration, puskesmas, office p3a, village meeting hall, office PU, BRI, theater, village meeting hall, with big stores. And, found a private hospital Mardi Waluyo. Medical energy house ill that private consists of 2 doctors, 1 midwife, a nurse and 6 witch-doctors.
Kotagajah has also 2 theater and at intersection five, precisely in the middle of Kotagajah with solid traffic current, stand police station sector office Kotagajah. Membidang banking has stood bebebrapa bank, among others BRI unit Kotagajah, BPR order Artha, BPR Kotaliman and BPR build self-supporting. And found 5 cooperations among others kud farmer work, kopas balak, ajb bative, kopas and koveri.
facilities other that has among others, found PDAM, telephone tool with electricity from KLP Sinar Siwo Mego centre at Kotagajah. As potential city bloom fast here also there [are] 4 restaurant each rm healthy RM Ma'il, RM field. Kotagajah more time more bloom to so city. Terminal conditon to various direction likes direction Labuhanmeringgai, Menggala, Bandarjaya, Kotabumi, Bandarlampung, Raman north, Gayabaru and Metro.
Follow village head Bus in the year 1997 Kotagajah has 10 rice rice mill factories (huller) and bebebrapa factory berstatus household industry industrial. Market Kotagajah every the day enough crowded, because purchase at market Kotagajah every household industry the day. Market Kotagajah every day enough crowded, because the purchase at market Kotagajah come from various vinicity region. Traffic smoothness passes Kotagajah supported by good road condition and augmenting with sppbu (pom petrol).

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera
Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.
Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.
Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.
Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.
Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).
Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karyakarya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.
Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10 Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.
Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .
Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.
Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara), D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).
Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.
Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.
Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan
diterbitkan.
Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.
Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.
Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.
Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.
Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.
Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.
Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10
Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AmuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).
Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.
Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.
Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.
Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.
Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, para perantau: Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z dan Djuhardi Basri. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.
Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku
Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin. (Staf teknis Balai Bahasa Medan). (wns)