Senin, 31 Agustus 2009

‘Melanggengkan’ Pengkhianatan Terhadap Bangsa


Oleh Naim Emel Prahana

PADA hakekatnya, orang dalam pengertian ‘manusia’ (human) terlalu suka mengingkari kodratnya sebagi makhluk sosial (Social creature). Bahasa pembelaan yang sering diajukan kepada sesama manusia adalah kepentingan-kepentingan kehidupan. Pada umumnya, manusia sangat menyadari akan kesalahan, kekeliruan dan ambisi yang di luar jalur anatomi makhluk manusia tertsebut. Akan tetapi, kepahaman dan kesadaran itu sering dibungkus dengan logika dan retorika.

Logika dan retorik yang menjadi andalan untuk menyembunyikan tujuan kepentingan, sering menjebak seorang manusia ke dunia jiwa yang labil; temperamental, emosional dan membabi-buta melemparkan kesalahan diri sendiri kepada orang lain. Ada banyak contoh, terutama di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Padahal, ada konsep yang sangat brilian dan sederhana dalam kehidupan—di mana banyak orang menerapkan apa yang disebut dengan 3 sukses! Sukses cinta, sukses karir dan sukses organisasi. Ketiganya memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang menyelaraskan kehidupan sosial seseorang. Maka, kesalahan yang dikerjakan merupakan format koreksi bagi kebenaran selanjutnya.

Ketika mengeja pernyataan informal seorang pejabat yang mengatakan, “setiap orang di sini melakukan korupsi, termasuk saya........!” Pernyataan itu mengisyaratkan tentang kesalahan; apa yang ia lakukan sebagai seorang pejabat dilemparkankan kepada orang lain dalam dimensi yang tidak cerdas. Ketika berbicara “pada umumnya” dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Ada beberapa teori yang tidak pantas lagi dikutip atau dibawa-bawa dalam berbagai momentum pembelajaran dari manusia ke manusia lainnya.

Kerangka teori yang cenderung merupakan pameo orang-orang bijak—ahli pikir tempo dulu tentang “ masuk kandang kambing kita ikut mengembek, masuk kandang kerbau, kita ikut menguak dan seterusnya”. Secara psikologis pameo itu menvonis semua orang akan berlaku sama, di mana ia bertempat tinggal. Padahal, walaupun seluas tempat berpijak semuanya lumpur, keberadaan sebutir intan tetaplah intan yang berkilau.

Adakah suatu komunitas ideologi (agama) dianggap salah, karena ada orang yang menganut agama itu melakukan kejahatan (perbuatan) seperti teroris. Lalu, agama komunitas umat beragama dianggap sebagai kelompok radikal atau teroris—menurut teori negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Kenapa harus agamanya yang menjadi perhatian, bukan kepada perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dalam kontek tersebut presiden bukanlah penguasa tunggal, melainkan melainkan pemegang amanat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin sering membuat dia melakukan tindakan yang emosional dan menuding banyak pihak ‘yang’ akan melakukan kejahatan terhadap dirinya dan pemerintah. dengan tuduhan tersebut, ia leluasa memerintahkan TNI dan Polri untuk melakukan sweeping, pengamanan ekstra ketat dengan show power militer. Dengan show power kekuatan militer dan polisi itu, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan shock teraphy (warning) kepada masyarakat luas, agar jangan macam-macam. Dengan keheningan masyarakat yang mencekam akibat show kekuatan militer dan polisi itu, maka startegi mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun (misalnya) dalam suatu pemilihan presiden diyakini banyak terjadi pelanggaran yang dapat membatalkan kemenangan pasangan capres.

Pada zaman Orde Baru atau zaman keemasan Partai Golongan Karya (Golkar), militer seperti punya mata seribu. Bayangkan saja, ketika seorang wartawan membuat berita tentang kecurangan pemilu, pihak Intel Kodim langsung memanggil si wartawan dengan metoda introgasi yang tidak lazim. Misalnya meraka mengatakan, “berita yang akan kamu buat besok, lusa atau minggu depan maupun bulan depan, kami sudah tahu..!” Begitu hebat introgasi demikian. Sementara wartawan yang diintrogasikan itu, belum tahu berita apa yang akan ia dapatkan besok atau lusanya. Kenapa militer sudah tahu?

Apakah sekarang ini akan terulang lagi zaman keemasan seperti zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto? Akibatnya demokrtasi kita terus menerus eror disebabkan oleh Leader eror (pemimpin yang eror). Demokrasi di Indonesia yang memasuki zaman kebebasan, ternyata tidak mampu mengembalikan wajah asli bangsa Indonesia. Dengan sistem pemilihan secara langsung, akan tetapi tidak mencerdaskan anak-anak bangsa, karena peraturan tentang pemilihan secara langsung di Indonesia belum dapat dijalankan sepenuhnya.

Misalnya menyangkut kasus pelanggaran dan kejahatan terhadap hak suara pemilih yang harus dijamin bebas diberikan kepada siapapun calon pemimpin yang sedang bertarung. Ketika terjadi kasus pelanggaran pemilihan, proses hukumnya tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai ‘berita acara’ pemilihan. Bahkan, kecenderungan anggota KPU yang condong kepada pihak tertentu, telah menghambat proses demokrasi yang akan dibangun di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru.

Sistem dan pelaksanaan pemilihan di tingkat apapun di Indonesia merupakan potret pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Karena dalam proses dan pelaksanaan pemilihan langsung (pemilu, pilpres, dan pilkada) telah disuburkan kembali praktek suap, korupsi, kekerasan, pemitnahan orang lain, tidak adil, tidak jujur dan terlalu mengandalkan faktor uang, preemanisme, kekuasaan dan kewenangan.

Jika beberapa pasal di dalam UU pemilu dan KPU serta peraturan lainya tidak direvisi ditambah kurangkan, maka dalam perkembangan selanjutnya demokrasi di Indonesia akan mundur jauh ke belakang, karena menghidupkan kembali praktek-praktek pengkhianatan terhadap bangsa dan negara untuk kepentingan kelompok sendiri (kelompok tertentu) yang ingin berkuasa.

Bunga Rampai Penyair


Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Agustusan Mencari Roman Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana

SUATU ketika aku menyurui pantai Barat Sumatera dari Bengkunat—Krui—Lemong—Bintuhan (Kaur)—Manna sampai ke Bengkulu. Saat itu baru pertama melakukan perjalanan lewat pantai Barat. Kalau dari Lampung sepanjang jalan bagian kanan terhampar pepohonan lebat dan besar, mulai menjelang malam selalu berpapasan dengan trenggiling, babi hutan, harimau dahan (macan loreng) dan binatang liar lainnya, termasuk ular yang sering melintasi jalan dengan damai, bebas dan tenang.

Itu terjadi sekitar tahun 1999—2000-an, serangkaian perjalanan yang sangat menarik. Pesona alam, debur ombak dengan warna putih bersih menerpa bibir pantai sepanjang pantai yang dilewati. Kampung-kampung yang ada masih begitu asli. Di tengah jalan bila malam menjelang, banyak berpapasan dengan sapi, kerbau atau kambing—yang menjadikan ruas jalan tempat mereka tidur.

Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada toko-toko yang besar atau permanen, apalagi rumah makan seperti sekarang yang men jamur di jalan lintas di seluruh Indonesia. Selepas Lemong, memasuki perbatasan dengan daerah provinsi Bengkulu masih di daerah Bintuhan, Bengkulu Selatan yang kini menjadi kabupaten Kaur. Saat melintas desa-desa yang ada. Betapa indahnya kehidupan yang penuh dengan kedamaian, keharmonisan dan keakraban antara penduduk dan alam sekitarnya.

Waktu itu, aku berpikir daerah itu apakah masih masuk wilayah Republik Indonesia? Itulah pertanyaan yang menggelegak di benakku saat melihat pemandangan sepanjang kiri kanan jalan di perkampungan yang dilewati. Benar-benar tradisionil, rukun dan damai. Mata-mata yang curigai melihat pendatang nyaris tidak ada sama sekali, yang ada adalah mata penduduk yang begitu ramah, senyum di bibir begitu menyejukkan bagi pelintas daerah itu. Apalagi suara debur ombak Samudera Indonesia yang dahsyat itu.

Di mana Jakarta, di mana Bandarlampung, di mana Bandung, di mana surat kabar, di mana televisi dan di mana akan ditemukan rumah-rumah makan besar dengan karyawannya yang lincah dan berseragam. Semuanya tidak ada. Nyaris sunyi senyap, sepi sekali, walau banyak orang yang duduk-duduk di depan halaman rumah bila malam hari tiba. Penerangan dengan menggunakan lampu petromak menjadi sinar yang gemerlapan di malam hari.

Itulah suatu kenyataan Indonesia di tengah negara Indoneia ini yang kalau tidak orang Belanda atau Inggris yang membangun dan mengembangkan daerah itu tempo hari, entah apa jadinya kampungku di Indonesiaku ini.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku kembali menempuh jalur itu. Giliranku yang terpana dan kaget. Kenapa tidak, dulunya sepanjang areal TNBBS pohon besar di pinggir jalan hingga memenuhi perut alam di situ. Ternyata 2004-an sudah lenyap sama sekali. Binatang yang menemani perjalanan panjang seperti simpai, monyet, beruk, siamang, kera, babi hutan, rusa, trenggiling atau lainnya sudah sangat jarang ditemukan sepanjang jalan yang dilewati. Pada kemanakah mereka semua, termasuk pohon-pohon besar yang menjadi paru-paru dunia itu? Semua lenyap.

Beberapa meter dari pinggir jalan ketika melongok ke dalam hutan, ternyata tidak ada lagi pepohonan dengan batang-batang kayunya yang berdiameter besar. Yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan semak belukar. Bulu romaku berdiri menyaksikan realitas hutan rimba kita itu. Sementara penduduk yang hidup di kampung-kampung sepanjang pantai barat itu, tidak ada yang begitu drastis menjadi penduduk (orang) kaya.

Apalagi sekarang, deru mesin pemotong kayu besar, hamparan kebun kelapa sawit, kebun – kebun karet dan sebagainya telah memaksa kita selama perjalanan mengusap keringat terus menerus karena terik panas yang menyengat. Di beberapa bibir pantai, sudah berdiri rumah-rumah makan gaya lintas Sumatera. Di beberapa muara sungai sudah ada tempat cucian mobil dan usaha penambangan batu dan pasir secara bnesar-besaran.

Bila malam hari anak-anak remaja berlalulalang antar kampung dengan motor baru mereka. Sangat cepat pengaruh gaya hidup kaum selebritis merambah ke kampung-kampung yang berada nun jauh di bibir pantai dan bibir hutan Sumatera itu. Suasana pun sudah berubah banyak. Cata berpakaian anak-anak muda di kampung-kampung yang jauh itu, tidak ubahnya seperti ditampilkan para artis sinetron di televisi.

Tapi, ketika berada di sana pertanyaan tetap muncul walau aku tahum bahwa di sana masih menjadi bagian dari kampung-kampung di Indonesia yang tidak pernah disentuh ban-ban mobil para pejabat, apalagi kelas menteri apalagi presiden. Wajar kalau mereka bermimpi terus menerus, bahwa mereka inginkan suasana seperti zaman penjajahan Inggris atau Hindia Belanda.

Atau mungkin kalau diterjemahkan, mereka ingin merdeka sendiri, mereka ingin menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Padahal, mereka pernah mengeyam hidup pada saat revolusioner Bung Karno. Karena Bung Karno, Bung Hatta atau Sutan Syahrir memang pernah mendatangi daerah itu.

Persoalannya kini, ketika semaraknya Agustusan 2009 di mana banyak pemerintah daerah menggelar peringatan HUT RI ke 64 dengan semua kemewahan, termasuk pesta kembang api yang nilainya puluhan juta rupiah itu. Tapi, roh Indonesia di dalam kegiatan-kegiatan peringatan itu nyaris tidak ada sama sekali. Kegiatan pameran pembangunan, kegiatan pawai pembangunan dengan lendaraan hiasnya sudah sesak dengan muatan politik masing-masing daerah.

Bendera Indopnesia “Merah Putih” memang ada dan di luar, banyak dijual di pinggir-pinggi jalan, akan tetapi tidak ditempelkan roh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga bendera-bendera itu tinggal menjadi pemanis hiasan bagi pemiliknya atau pemasangnya. Bahkan, dijadikan simbol (icon) iklan-iklan ucapan atau kegiatan lainnya di media massa. Sungguh kronis jiwa kebangsaan masyarakat Indoneia saat ini.

Pantau Tayangan TV


Kolom Naim Emel Prahana
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Depkominfo selama bulan Ramadhan melakukan pemantauan terhadap tayangan-tayangan tak pantas di media televisi maupun di media cetak, yang diduga jauh dari koridor pendidikan.
Pemantauan itu menurut KH Ma`ruf Amin bersifat kerjasama yang nantinya tidak hanya sebatas himbauan seperti tahun lalu. Namun, akan ada tindakan sanksi. MUI, KPI dan Depkominfo nantinya jika ada yang melanggar, akan direkomendasikan untuk diambil langkah-langkah selanjutnya, seperti sanksi dan sebagainya.
Pihak KPI, MUI dan Depkominfo akan mengamati dan melihat tayangan-tayangan di televisi serta media cetak. Tentang kriterianya yang tidak diperkenankan adalah yang mengandung kekerasan, baik fisik maupun psikis, mistik, horor, pornografi dan pornoaksi.
Apa yang akan dilakukan MUI itu patut kita dukung, sebab selama ini banyak tayangan acara di televise swasta di Indonesia sudah jauh menyimpang dari norma-norma kebiasaan, maupun norma agama, social dan pendidikan masyarakat Indonesia. Barangkali, apa yang akan dilakukan MUI cs situ—walau dinilai terlambat, karena memfokuskan pada bulan ramdhan. Tetapi, patut mendapat dukungan seluruh masyarakat di Indonesia.
Persoalan yang akan muncul adalah sanksi yang akan diberikan atau dijatuhi nantinya, apakah dapat menjadi dampak jera atau tidak akan diulangi lagi oleh televise? Itu yang menjadi pertanyaan besar di masyarakat saat ini. Karena, khususnya tayangan film sinetron yang ada di televise beberapa tahun terakhir ini, sudah tidak mengindahkan banyak norma yang dipatuti dan dihormati di Indonesia.
Misalnya fil m sinetron Hareem yang kini diganti judulnya Inayah yang ditayangkan di Indosiar. Sinetron Manohara, lalu acara The Master atau acara-acara hipnotis seperti yang diisi oleh paranormal tersebut. Sementara tayangan acara bermaterikan pendidikan sudah mulai terkikis. Apalagi, film-film sinetron di televise sawsta yang mengeksploatasi dan mendramatisir pergaulan-pergaulan bebas para remaja.
Tayangan-tayangan yang sudah ke luar dari koridor norma-norma yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, termasuk tayangan iklan yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan di media massa (elektronik dan cetak).
Masyarakat Indoneia harus mewaspadai beberapa acara yang ditayangkan di televise, karena siapa tahu tayangan-tayangan acara itu, seperti film, iklan dan acara lainnya tersebut merupakan paket pesanan pihak-pihak luar (asing) atau pihak tertentu yang akan menghancurkan nilai budaya masyarakat Indonesia.
Artinya, pengawasan dan sanksi bagi yang melanggar yang akan dijatuhkan oleh MUI, KPI dan Depkominfo jangan hanya sebatas pada bulan Ramadhan saja, tetapi harus terus dilanjutklan secara berkesinambungan. Sehingga beberapa tayangan di televise dan media massa tidak dijadikan publikasi dan propaganda anti norma agama, anti norma social, anti norma budaya dan normal lainnya termasuk norma adapt istiadat tang berlaku dan dipatuti oleh masyarakat di daerah-daerah tertentu.
Kita dukung upaya MUI, KPI dan Depkominfo itu untuk melestarikan masyarakat Indonesia yang benar-benar adalah masyarakat Indonesia dengan aktrivitasnya.

Bantuan Hibah


Kolom Naim Emel Prahana
BANYAK cara pemerintah daerah untuk memperdayai masyarakatnya dengan aneka ragam jenis bantuan sosial, rumah ibadah, kemasyarakatan dan lainnya. Tentu saja bantuan-bantuan tersebut sangat menggiurkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang ditetapkan sebagai penerima.
Namun, lebel atau merek bantuan yang dikucurkan itu sering menipu dan menjebak masyarakat penerimanya. Di Metro, Pemerintah Kota (Pemkot) itu sejak 3 (tiga) tahun silam mengucurkan apa yang disebut produk bantuan Kelompok Masyarakat (Pokmas), pada tahun pertama diluncurkannya produk Pokmas. Ternyata banyak kelemahan dan kekurangan yang akihirnya membuat lumbung oknum-oknum tertentu di Pokmas menjadi kaya raya.
Lama kelamaan apa karena kekecewaan produk Pokmas yang tidak berjalan sebagaimana mestinya itu. Maka, sejak 2008 ayau mulai ditintis sejak 2007, Pemkot Metroi meluncurkan dana bantuan kepada kelompok masyarakat dalam organisasi kemasyarakatan, rumah ibadah, pendidikan dan sebagainya.
Produk itu bernama HIBAH, yang kalau kita definisikan kata ‘hibah’ maka terjadi suatu pemberian tanpa pamrih, tanpa ikatan, tanpa laporan pertanggungjawaban sebagaimana mestinya kalau menggunakan anggaran APBD. Produk bantuan hibah, ternyata hanyalah lebel yang menjerat masyarakat untuk bersusah payah menghabiskan dana bantuan itu hanya untuk urusan birokrasi pewngurusan administrasi yang bertele-tele.
Menghabiskan waktu, menghabiskan dana dan menghabiskan kesabaran akibat rumitnya birokrasi mendapatkan bantuan dana hibah itu. Ada dua bagian yang mengurus dana bantuan hibah itu. Pertama di bagian Kesra dan kedua langsung di bagian BPKD sub unitnya.
Anehnya, birokrasi pengurusan dana bantuan hibah di kedua unit kerrja masing-masing itu tidak seragam. Persyaratan umum pada unit kerja bagian pertama di atas (Kesra) untuk mendapatkan dana bantuan hibah yang penerimanya sudah ditetapkan oleh Walikota, cukup berat. Misalnya NPHD (naskah perjanjian Hibah Daerah) antara Kabag Kesra an Walikota dengan penerima. Yang membuat si penerima dan bebas memalsukan kop surat Sekretariat Daerah Kota Metro.
Kemudian, syarat yang aneh lagi. Siapapun yang menerima dana hibah dari bagian Kesra Pemkot Metro, semua surat-menyurat sampai kepada stempel dan rekening bank harus bernama POKMAS. Walaupun bantuan itu diberikan kepada masjid, langgar, vihara, gereja, guru-guru honor di TPA. Semuanya harus pakai kop Pokmas dan bukan hanya kop surat, stempel. Namun, prosedur yang harus dilalui si penerima, juga harus minta tandatangan kepada ketua Pokmas dan tim pengawas Pokmas. Walaupun dana bantuan itu bukan digunakan untuk proyek fisik.
Aneh lagi, bantuan honor guru TPA yang cuma Rp 300 ribu itu, ternyata uangnya hanya habis untuk masalah administrasi. Bayangkan, buat stempel guru TPA Pokmas, kop surat pokmas, stempel pokmas, rekening bank pokmas, materai 6000 lima lembar, map dan membuat proposal masing-masing dijilid 10 bundel.
“Perasaan kita bagaimana itu bisa dikategorikan kepada dana hibah?” Kalau unsur hibah yang dicantumkan, tidak melekat sama sekali. Kemudian, apa hubungannya sebuah langgar yang dibangun secara pribadi dengan Pokmas yang harus menandatangani semua berkas surat?

GOR Saburai Bandarlampung

Kolom Naim Emel Prahana
WALAUPUN rumah pengasingan Bung Karno yang aslinya di Bengkulu sudah dirombak total. Akan tetapoi, tulisan anak-anak Kampung Anggut di Bengkulu terakhir masih bisa dibaca tahun 1984 yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan dan menghormati sejarah bangsanya!”
Tetapi, kalimat di dinding rumah pembungan Bung Karno yang ditulis dengan arang itu masih tetap mengiang di telinga kita dan menjadi beban pikiran rakyat Indonesia. Banyak sekarang ini generasi muda yang tidak memahami sejarah dan apalagi untuk dijadikan referensi kehidupan pembangunan di kemudiannya.
Seakan-akan generasi sekarang terputus dengan generasi sebelumnya. Padahal, rakyat Indonesia adalah rakyat yang cinta akan adat istiadat, patuh, menurut dan taat akan nilai-nilai adat istiadat itu. Sebab, hukum nasional kita berpijak dan berdasarkan nilai-nilai tradisional yang hidup dan terus hidup di tengah masyarajatnya.
Berkaitan dengan itu, apa yang dilontarkan dalam gagasan Gubernur Lampung, Syachroedin ZP atau lebih dikenal dengan sapaan Kiyai Oedin yang tidak main-main untuk membangun dan mengembangkan Lampung dalam periode kedua masa jabatannya sebagai gubernur Lampung, untuk menukar-gulingkan GOR Saburai dengan mendirikan Mal besar di kawasan tersebut.
GOR Saburai sendiri akan dipindahkan ke Kemiling. Nampaknya, itu ide yang tidak populer dan tidak bijak. GOR Saburai di Enggal sudah menjadi icon dunia seni dan olahraga di Lampung. Sudah sangat akrab dengan masyarakat Lampung, di samping letaknya yang sangat strategis.
Kenapa harus dipindahkan? Bagaimana dengan roh GOR Saburai itu sendiri selama ini? Apakah setelah GOR Saburai dipindahan karena sudah disetujui oleh DPRD Lampung, akan bisa menjadi icon dengan kekuatan sihirnya terhadap masyarakat luas?
Membangun daerah bukan bebrati merobohkan bangunan-bangunan yang bernilai sejarah dan juga bukan berarti menghilangkan bangunan yang sudah memiliki icon dan mengandung filosofi dan nilai sejarah. Masih banyak kawasan lain yang bisa untuk dijadikan kawasan perdagangan.
GOR Saburai harus tetap ada di Enggal, karena GOR itu adalah lambang keperkasaan Kota Tanjungkarang, Telukbetung, Panjang dan kedaton bahkan kekuatan magis masyarakat yang tinggal di kota lainnya di Lampung. Kiyai Oedin harus membatalkan niatnya untuk m,emindahkan GOR Saburai itu, walaupun sudah disetujui oleh DPRD Lampung. Karena, anggota DPRD Lampung belum tentu mewakili rakyat Lampung. Hal itu dapat dibuktikan.
Filosofi sebuah kota (seperti Bandarlampung), tidak harus dipenuhi oleh toko-toko, pusat-pusat perbelanjaan modern. Tetapi, harus diperhatikan ekosistem yang akan melindungi kehidupan masyarakat kotanya. Misalnya dengan hutan kota seperti yang ada di sekitar GOR Saburai.
Masyarakat seniman dan kebudayaan di Lampung harus menggugat Kiyai Oedin dalam kasus tukar guling GOR Saburai itu dengan pusat perbelanjaan modern. Kalau semua pusat perbelanjaan didirikan di tengah kota, bagaimana pengembangan pembangunan kota selanjutnya, terutama di pinggiran kota yang rakyatnya masih butuh toko-toko kebutuhan sandang pangan dan papan. Dan, perlu diingatkan bahwa keinginan Kiyai Oedin itu belum tentu menjadi keinginan pemerintah Lampung.

Pengecut


Kolom Naim Emel Prahana
STATEMEN Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah tentang kasus pelecehan Lagu Indonesia Raya beberapa hari lalu dan kembali disiar ulang oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, yang meminta agar agar publik tidak terpancing dan mencampuradukkan apa yang dilakukan oleh orang-orang iseng (individual) dengan pemerintahan karena hal itu dapat mengganggu hubungan dwipihak yang lebih luas.
Kendati Teuku Faizasyah atas nama pemerintah agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya dicabut. Namun, pernyataan meredamkan rakyat Indonesia adalah sikap pengecut. Teuku Faizasyah yang menghatakan atas nama pemerintah. Pemerintah mana yang diwakilinya dalam konteks tersebut.
Yang jelas, pemerintah maupun rakyat Malaysia sudah secara rutin melakukan pelecehan, penghinaan dan pengambilan paksa harta benda masyarakat Indonesia. Apakah pantas mengatakan jangan terpancing?
Ada dua perbuatan antar negara yang tidak dapat dimaafkan, pertama pembakaran bendera kebangsaan dan menghancurkan lirik lagu kebangsaan suatu negara dan kedua adalah intervensi untuk merebut wilayah kekuasaan negara lain dengan cara paksa maupun secara tidak langsung menggunakan berbagai pola, termasuk politik.
Hukum yang berlaku di dunia internet, jika suatu tulisan sudah dimuat dan ditayangkan, maka kemungkinan akan menyebar ke berbagai situs, sudah pasti. Bahkan, akan diprint untuk dinyatakan dalam bentuk teks. Kendati situs Topix Forum World Malaysia yang memuat persoalan tersebut sudah ditutup, tapi akses sebelumnya sudah berjalan. Apalagi pelecehan itu diketahui pertama kalinya pada tanggal 28 Juli 2009 lalu.
Sebagai contoh pembelaan terhadap rakyat, bendera, lagu kebangsaan seperti apa yang dilakukan oleh AS (Amerika Serikat). Pemerintah AS, kalau sudah menyangkut nyawa seorang warganya, mereka akan mengerahkan semua kemampuan militer, untuk menghancurkan pihak yang mensandera atau menyakiti rakyatnya. Walaupun yang akan diselamatkan itu hanya satu orang.
Bagaimana dengan Indonesia, sudah berapa banyak TKI—TKW kita yang mati, disiksa—dianaiyai, diperkosa dan diperlakukan semena-mena oleh rakyat negara lain, termasuk Malaysia, Singapura, Hongkong dan Asrab Saudi. Apa pernah Indonesia bertindak? Pemerintah bertindak hanya sebatas mengembalikan mayat TKI—TKW yang sudah mati yang disebabkan penganiayaan oleh rakyat negara asing. Upaya itupun banyak gagalnya, karena kualitas diplomasi pemimpin Indonesia sangat rendah di forum Internasional. Apalagi pemimpin di era presiden SBY, yang Cuma bisa marah kalau ada rakor kalau ada kepala daerah yang ngantuk.
Rakyat Indonesia tidak boleh dilarang untuk membela bangsa dan negaranya dengan berbagai ekspresi sampai kepada keinginan untuk menyerang Malaysia. Itu, hak rakyat Indonesia. Pemerintah harus mendukungnya.
Andaikan pemerintah Indonesia menarik semua TKI—TKW di malaysia dan Singapura, maka kedua negara itu akan menerima akibat kekurangan tenaga kerja yang selama ini banyak dikerjakan oleh orang Indonesia. Dengan kekurangan itu, besar kemungkinan ekonomi Malaysia dan Singapura akan berubah menjadi krisis ekonomi.
Kita berharap kepada presiden Sby dan para menteri serta anggota DPR-RI, agar benar-benar berani bertindak, tidak perlu banyak basa-basi. Karena basa-basi itu adalah pengecut dan tidak mempunyai keberanian apapun, kecuali kelicikan.

Virus Indonesia


Kolom Naim Emel Prahana
DISAAT masyarakat Indonesia gila akan kecanggihan, kepraktisan dan efektivitas penggunaan komputer dan perangkat pendukung lainnya. Justru orang Indonesia di balik layar dunia maya meluncurkan produk virus yang diyakini lebih berbahaya dari virus manapun di dunia ini untuk dunia komputer dan teknologinya.
Virus Buatan Indonesia Lebih Berbahaya dari Asing! Itulah judul berita yang dilansir ANTARA News 23 Agustus 2009 lalu yang beritanya sudah dibaca sebanyak 3906 kali oleh penggemar dunia maya.
Virus buatan Indonesia dianggap berbahaya dari virus produksi asing, karena bisa menghilangkan data file pengguna. Sementara, virus asing tidak sampai menghilangkan file penting penggunanya. Produsen virus tersebut hanya ingin menunjukkan kelemahan windows yang ada saat ini.
Hal itu dijelaskan oleh Technical Security Consultant, ESET Indonesia (perusahaan di bidang keamanan digital), Yudhi Kukuh beberapa waktu lalu di Surabaya. Diuraikan oleh Yudhi, dari sejumlah virus yang menyebar di seluruh jaringan komputer di dunia, virus asal Indonesia hanya menyumbang 0,1 persen. Meski penguasaannya terbilang minim secara internasional, pengguna komputer perlu menyadari pentingnya antivirus untuk melindungi data.
Sampai saat ini, variasi virus di dunia sangat beragam. Akan tetapi, kini yang menjadi trend dan berbahaya adalah virus configure. Virus itu sifatnya bisa menggandakan diri, sehingga kini variannya bisa mencapai turunan ke 30 (configure varian AQ). Mayoritas, selama ini yang menyerang komputer di antaranya configure generic, configure` varian A, dan configure varian AA.
Ragam virus lokal yang juga membahayakan data pengguna komputer seperti babon, aksika, coolface & coolface MP3 player, W32/Kill AV, pendekar blank, pacaran, blue fantassy, Windx-Matrox. Selain itu, ada juga virus amburadul, FD Shield, Purwo C, dan Nadia Saphira.
Sementara itu pengguna antivirus ESET di Indonesia, Marketing Communications ESET Indonesia kata Chrissie Maryanto, saat ini pasar terbesar sebanyak 60 persen berada di Jakarta, 30 persen di Surabaya, dan 10 persennya menyebar di kota lain. Dari jumlah tersebut, segmentasi pasar kami terdiri dari 80 persen kalangan korporasi dan 20 persen pelaku usaha ritel.
Dari persoalan yang dihadapi, maka nilai-nilai Alqur’an sangat relevan terhadap apapun kejahatan yang makin berkembang dan makin hebat di muka bumi ini. Alqur’an mengajarkan, bahwa semua perbuatan pasti ada akibatnya dan semua penyakit pasti ada obatnya.
Terkait dengan hal itu, sangat dibutuhkan manajemen penggunaan dan pemanfaatkan sarana dan prasarana teknologi seperti komputer, foto digital dan sebagainya. Sehingga, pengguna mampu mengecilkan kemungkinan diintervensi oleh produk-produk jahat yang melepaskan produknya tanpa tanggungjawab.
Oleh karena itu, semua virus yang berhubungan dengan teknologi digital dewasa ini memang diciptakan demikian, karena adanya persusahaan yang ingin juga mengeruk keuntungan menjual produk anti virus. Itulah yang disebut oleh Islam, setiap penyakit pasti ada obatnya.

Kriminalitas Lebaran


kolom Naim Emel Prahana
KETIKA kebutuhan seseorang harus ada dan terpenuhi, kemudian pada saat yang sama mereka tidak memiliki apa-apa, maka tindak kejahatan (kriminalitas) cenderung akan dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan tersebut.
Sebagai momentum kebutuhan yang membuat banyak orang kalangkabut adalah momentum lebaran, tahun baru atau hajatan keluarga. Kejahatan seperti slogan Bang Napi di televisi, bukan hanya karena niat, tetapi kesempatan akan menjadikan perbuatan itu terjadi.
Seperti tahun sebelumnya di Indonesia, sebentar lagi masyarakat masyoritas dari penduduk di Indonesia yang beragama Islam akan menghadapi hari yang fitri yaitu Hari Raya Idul Fitri atau populer diakrabkan pengucapannya oleh masyarakat dengan lebaran. Yang kemudian dipelesetkan menjadi waktu ‘berhabis-habisan’—yang mengambil dari imbuhan kata lebaran berarti ‘lebar’ dengan akhiran ‘an’ maka lebar (habis-habisan).
Segala sesuatu yang dimiliki dimunculkan, semua pakaian berbau baru, semua makan masuk dalam kelompok ‘wah’ dan sebagainya bernafas ‘baru’. Walaupun sebenarnya makna lebaran bukan itu. Yang paling utama adalah mengisi haris kemenangan setelah berjuang dan berkorban selama puasa bulan ramadhan. Kemudian harus membersihkan diri dengan sholat Idul Fitri dan membayar zakat.
Sekali lagi, karena masyarakat Indonesia dalam keadaan bimbang dan bingung akibat lamanya dijajah bangsa asing, maka banyak informasi yang diterima sering tidak disaring lagi, lalu ditelan mentah-mentah yang dianggap sebagai kewajiban. Pada kesempatan lain di pihak lain di tengah masyarakat, ada masyarakat yang serba kekurangan atau serba ingin bermewah-mewahan ketika lebaran.
Termasuk kelompok masyarakat yang biasa disebut dengan ‘penjahat’ atau kriminal. Mereka selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan dan keriuhan pemenuhan kebutuhan. Misalnya menjelang lebaran, masyarakat antri belanja, masyarakat menghabiskan semua uangnya untuk lebaran.
Karena ‘kesempatan’ ada, maka kejahatan akan mengintai masyarakat lainnya setiap saat. Baik di pasar, jalan raya, di rumah atau di mana dan kapanpun kesempatan untuk melakukan kejahatan itu ada. Untuk itu, perlu dilakukan langkah antisipasi agar kejahatan tidak menimpa atau terjadi dengan kita sebagai warga.
Tentu hal itu mudah dilakukan, tetapi sulit diwaspadai, karena momentum lebaran biasanya orang pada lupa, karena otak sudah disesaki oleh keinginan yang baru serba baru, sehingga ketika bersilaturrahmi sesama tetangga ada kebanggaan. Walau kebanggan itu adalah semu.
Biasanya menjelang lebaran tingkat kriminalitas (kejahatan) akan meningkat. Korbannyapun meningkat dengan kerugianpun meningkat tajam. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus bekerjasama mengantisipasi munculnya kejahatan musiman tersebut, sekaligus menandai pelaku kejahatan untuk dibasmi.
Terutama mewaspadai dan mengantisipasi kejahatan yang masuk kelompok sadis, bengis, kejam dan tidak berprikemanusiaan, hanya karena sebuah motor. Maka tak segan-segan membunuh korbannya dalam aksi kejahatan begal atau rampok di jalanan. Pemerintah adan aparat penegak hukum jangan bosan-bosan mengingat masyarakat akan bahaya kejahatan menjelang lebaran seperti sebentar lagi kita hadapi.

Latah Fatwa


Kolom Naim Emel Prahana
PEMERINTAH dan para pemimpin lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang berafiliasi dengan pemerintah cenderung sangat senang melihat masyarakat tidak tentram, ragu, bingung dan terkonflik. Berbagai isu dilontarkan untuk menutupi kelemahan-kelemahan pada kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah maupun lembaga, badan atau lembaga atau badan non pemerintah yang berafialiasi dengan pemerintah.
Masyarakat Indonesia sejak lama sudah diincar oleh kebodohan yang disengaja oleh pemerintah. Misalnya berbagai fatwa yang hukum dalam agama sudah dijelas, difatwakan seakan-akan hukum yang ada pada agama tidak perlu dianuti dan yang harus diaikuti adalah fatwa MUI.
Setelah golongan putih (Golput), merokok, facebook diharamkan oleh MUI. Kini, MUI Madura memfatwakan haramnya warga miskin yang melakukan kegiatan pengemisan di muka umum. Fatwa itu sontak mengagetkan masyarakat Indonesia yang dikenal dengan masyarakat yang miskin secara struktural.
Sementara kegiatan lain masyarakat yang tengah menunggu fatwa, nampaknya akan dikeluarkan oleh MUI atau lembaga kompetensi lainnya yang memiliki legilitas keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia.
Dalam KUHP memang ada pasal yang menyebutkan perbuatan ‘pengemis’ itu dikategorikan perbuatan yang melanggar norma dan kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. Persoalannya sekarang bukan hanya mengeluarkan fatwa atau melarang. Tetapi, mengenai keberadaan kaum papa (pengemis) di mata pemerintah, sudah sejauhmana diupayakan untuk ditanggulangi dan diberi kehidupan yang layak di wilayah Indonesia yang luas, kaya potensi alam, sumber mineral, gemah ripah loh jinawi.
Sejauh itu pula selama ini belum ada upaya pemerintah merehabilitasi status miskin yang disandang kaum papa ‘pengemis’ itu. Seperti halnya upaya pemerintah melakukan pembinaan terhadap para pekerja seks komersil (PSK) yang ditangkap atau para narapidana yang dibina untuk mampu berkarya usai menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Tapi, terhadap pengemis nampaknya belum pernah ada upaya ke arah itu, kecuali penggarukan (penangkapan) dan kemudian dibawa oleh Pol PP atau Polisi ke kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Hanya untuk didata dan dipulangkan ke kampung asalnya tanpa bekal sedikitpun.
Pengemis, PSK, pengangguran perlu menjadi perhatian utama pemerintah, agar mereka akan menjadi sumberdaya manusia yang trampil, setidak-tidaknya mampu hidup mandiri walau dalam taraf kehidupan sosial ekonomi yang pas-pas saja. Nilai kemanusia dan pendidikan (pembinaan) dalam hal itu sangat dibutuhkan. Mereka adalah manusia juga seperti warga negara lainnya di tanah air ini.
Dengan catatan, pembinaan dan mendidik pengemis, pengangguran dan PSK atau napi jangan hanya ketika ada perlunya seperti menjelang pemilu, pilpres, pilkada atau pemilihan lainnya yang membutuhkan dukungan suara rakyat. Tetapi, tingkat kepedulian itu harus dilepaskan dari unsur politis. Sehingga orang miskin di Indonesia tidak tergiur hengkang bekerja sebagai TKI—TKW ke luar negeri yang pendapatannya belum tentu meningkatkan status sosial ekonomi keluarga mereka di kampung halaman para TKI—TKW.

Jumat, 28 Agustus 2009

KPU Metro Digugat





Telah Melanggar Aturannya Sendiri
Metro, LE
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Metro secara resmi, Selasa (24/8) kemarin digugat melalui Pengadilan Negeri (PN) Metro oleh H Hermansyah DIK SH pengacara anggota legislatif terpilih Kota Metro, Rozy Yassin dengan nomor register No 06/Pdt.G/2009/PN.M tertanggal 24 Agustus 2009.
Dalam gugatan tersebut, penggugat an Rozy Yassin melawan KPU sebagai tergugat I dan DPD Partai Golkar Metro sebagai tergugat II (turut tergugat).
Dalam keterangan persnya, Hermansyah DIK SH di Griya Kebun 38 Metro, Selasa (24/8) usai berbuka puasa kemarin mengatakan, KPU telah menciderai demokrasi dengan putusan-putusan yang tumpang tindih dan tidak terdaftar di sekretariat KPU setempat.
“Klien saya tidak terbukti melakukan money politic, coba perhatikan berita acara Gakkumdu tanggal 8 April 2009 pukul 14.00 WIB,” tegas Hermansyah SH yang didampingi kliennya Rozy Yassin kemarin.
Dalam berita acara itu, ujar Hermansyah—yang juga adik kandung pengacara kondang H KRH Henry Yosodiningrat SH, pihak Gakkumdu belum dapat ditindak-lanjuti ke tingkat penyidikan karena kurang bukti.
Di sisi lain, ungkap Hermansyah KPU Kota Metro telah menetapkan Rozy Yassin sebagai caleg terpilih dari Partai Golkar untuk daerah pemilihan Metro Timur (dapil 2) pada pemilu legislatif 2009 dengan nomor urut 5 (lima).
Surat pemberitahuan penetapan terpilih anggota DPRD Kota Metro tanggal 23 Mei 2009 itu adalah yang sah. Dan, Rozy Yassin telah memenuhi kelengkapan persyaratan yang diminta KPU setempat, sebagaimana surat KPU nomor 270/361/KPU.8-N/2009 tanggal 21 Juli 2009.
Namun, Hermansyah mempertanyakan surat DPD II Partai Golkar Metro No B-31/DPDPG-II/KM/VI/2009 tanggal 19 Mei 2009 tentang perubahan caleg terpilih. Surat yang ditandatangani Abdul Karim Ismail (Ketua) dan Subagyo (sekretaris).
“Ketika seorang caleg terpilih menjadi anggota legislatif, maka kekuasaan parpol sudah tidak ada lagi. Kenapa Golkar Metro mencampuri urusan KPU dan kenapa KPU mau merubah hasil penghitungan suara tersebut,” tegas Hermansyah.
Pengacara Rozy Yassin itu menduga kalau Rozy Yassin sebelum dilantik diganti dengan Dra Hj Endang Rahayuningsih yang hanya memperoleh 316 suara sedangkan Rozy Yassin mendapat 325 suara, adalah intervensi Ketua DPD I Partai Golkar Lampung.
“Malam kemarin saya telepon Alzier, tapi saat bicara saya pikir mengapa harus berdebat dengan Alzier yang tidak ada gunanya,” kata Hermansyah
ditambahkan oleh Hermansyah, terlalu banyak aturan KPU dan UU yang dilanggar oleh KPU Kota Metro, termasuk hampir semua surat-surat maupun keputusan yang dibuat mereka, tanpa melalui mekanisme yang benar dan tidak tercatat di sekretariat KPU.
“Hal itu sesuai dengan isi surat (laporan) sekretaris KPU ke Walikota Metro tanggal 6 Agustus 2009 nomor 270/382/KPU.8-M/2009, laporan itu menyebutkan surat atau keputusan KPU yang sudah dikeluarkan ketua KPU Metro tidak diketahui sekretaris selaku administrator di KPU Metro,” jelas Hermansyah. (DA-17)

caption foto berita diatas
KETERANGAN PERS—Pengacara Rozy Yassin, H Hermansyah DIK SH tengah memberikan keterangan pers kepada wartawan media masa cetak dan elektronik, Selasa (24/8) pukul 18.30 WIB di Griya Kebun 38 Metro sehubungan gugatan Rozy Yassin terhadap KPU Kota Metro yang dinilai melanggar perundang-undangan. FOTO: NAIM EP/LE

-----------------------------------

Berita Foto 1
PASAR SENJA—Di situasi ekonomi rakyat makin sulit, ternyata jajanan makanan tradisional menjadi pilihan masyarakat dan diserbu pembeli. Kota Metro setiap tahun disaat bulan Ramadhan selalu mengadakan Pasar Senja. Pasar yang menyediakan aneka makanan ringan seperti berbagai jenis kue, minuman segar, Selasa (24/8) kemarin ditinjau Walikota Metro dan jajarannya. Sekaligus ajang belanja para pegawai untuk santapan berbuka puasa. FOTO : NAIM EP/LE

Berita Foto 2
BUNGKUS—Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kota Metro, Yusuf Kota Alam SH sedang meminta dibungkuskan beberapa jajanan untuk dibawa pulang. Gambar di atas diambil ketika Kepala BKD itu mengikuti Walikota Metro meninjau Pasare Senja yang berlokasi di pinggir lapangan Samber Metro. FOTO : NAIM EP/LE


Dua Pria Terkapar Ditujuh
Metro Pusat, LE
Dua pemuda warga Proliman Yosomulyo 21, Metro Pusat, Senin (17/8) lalu terkapar ditujah oleh seseorang yang menggunakan sepeda motor dan helm, mengakibatkan kedua pemuda tersebut diangkut ke RSU A Yani Metro.
Menurut para saksi mata masyarakat Yosomulyo di lokasi kejadian pertigaan Patung Yosomulyo, kejadian yang berlangsung sekitar pukul 17.00 WIB usai pegelaran jaranan di sekitar pertigaan Patung, awalnya kejar-kejaran motor.
Entah bagaimana dua pemuda yang diduga bernama Yan (30) dan Jon (27 warga Proliman tiba-tiba menghentikan motornya di pertigaan Patung dengan tubuh berlumuran darah dan larah ke arah steam (cucian motor) di seberang jalannya.
Namun, kedua pemuda yang sudah terluka parah di bagian perut dan tangan itu terus dikejar dua pemuda lainnya tanpa melepaskan helm yang melekat di kepalanya.
Akibatnya, dari tubuh kedua korban mengucur darah dan hingga ke cucian motor. Darah segar terlihat berceceran sepanjang 30 meter. Untung, keduanya ada yang menoilong. Kemudian tak lama datang aparat kepolisian ke TKP.
Walaupun banyak saksi mata yang melihat kejadian tersebut, karena bubaran jaranan, sayangnya mereka enggan memberi keterangan ke polisi, sehingga polisi kesulitan mengejar pelaku (tersangka).
Selang sekitar 40-an menit dari kejadian, polisi sudah bisa mengendus identifikasi pelaku penusukan yang diduga dilakukan oleh warga Yosomulyo itu sendiri—yang kuat dugaan merupakan residivis pelaku pemerkosaan beberapa waktu lalu.
Sumber koran ini di lokasi tidak mendapat keterangan lebih banyak tentang identititas pelaku penusukan tersebut, termasuk motif penusukan itu sendiri.
Sampai berita ini diturunkan pihak polisi belum memberikan keterangan apakah pelaku penusukan yang sudah diidentifikasi itu sudah diamankan atau belum. (DA-17)

Berbuka di Taman Kota Metro



Arena Buka Puasa
Minuman Segar dan Jagung Bakar
TERNYATA Taman Kota Metro cukup paham akan kebutuhan umat Islam yang setiap sorenya di bulan Ramadhan akan berbuka puasa. Di pinggiran Taman sebelah Timur—depan Gedung Bank Lampung, banyak warga yang menyediakan konsumsi buka puasa. Mulai dari aneka jenis minuman segar, kopi dan sampai jagung baker.
Yang pengen berbuka di luar rumah atau sedang dalam perjalanan, nggak usah repot cari bukaan. Di Taman Kota banyak yang menyediakan bahan minuman dan makanan untuk berbuka puasa. Harganya pun cukup murah dan meriah, sembari memuaskan pandangan mata di kala senja datang.
Jagung baker misalnya dengan aneka rasa dijual seharga Rp 3.000,- per bijinya. Bias dibawa pulang atau santap di tempat. Para penjual menyediakan tempat duduk berupa bangku panjang serta pilihan minuman lain seperti the botol, pocari sweat dan sebagainya.
Yang menarik lagi, warga yang ingin berbuka dapat membawa anak dan keluarganya sambil bersantai. Tidak jauh dari Taman, jika waktu sholat magrib dan isya datang, dapat sholat di Masjid Taqwa—masjid terbesar di Lampung tersebut. Silakan mampir di Metro. (DA-17)

Kunjungan Lurah Se Kota Bengkulu





Foto Agustusan 2009 RT 09 Yosomulyo





foto





Foto Kehidupan 2009

Bunga Rampai Penyair


Bunga Rampai Penyair
(Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Kamis, 13 Agustus 2009

Haruskah Mati Tiap Malam

Surat Pembaca

Kalau boleh saya mengatakan, “PLN, Haruskah Hidup Jam 01.00 WIB”. pertanyaan yang sangat jelas arah dan maksudnya usai Pemilu legislatif dan pilpres 2009. Semuanya didominasi kemenangan Partai Demokrat (PD) yang janji-janjinya melalui iklan politik di televisi, surat kabar dan pernyataan SBY sendiri begitu membesarkan hati dan imbalannya PD memenangi pemilu dan pilpres 2009.
Tapi, apa imbalan yang diberikan kepada rakyat? Baru saya merayakan kemenangannya, rakyat hanya diberi imbalan listrik yang mati terus-menerus. Jadwal pemadaman yang dimuat di media massa cetak tetap saja tidak mampu mengalahkan PEMADAMAN yang tak terjadwal.
Akhir-akhir ini PLN di Lampung, khususnya di Kota Metro, terutama di beberapa kelurahan di Kecamatan Metro Pusat lampu listrik (PLN) terlalu sering dan keenakan dipadamkan. PEMADAMAN sering terjadi setiap hari antara pukul 08.00 s/d 15.00 WIB. Lalu malam harinya pukul 17.30 sd pukul 01.00 WIB. Daripada kotak-katik PEMADAMAN, apakah tidak baiknya pemerintah cq PLN membuat jadwal PEMADAMAN 1 minggu dan hidupnya hanya siang minggu saja atau mati 6 hari hidup 1 hari. Kan, persoalannya makin jelas dan rakyat tidak disiksa dengan kesewenangan PLN untuk MATI dan HIDUPKAN listrik di luar jadwal atau SEENAKNYA.
Kalau tidak, seyogyanya pemerintah provinsi Lampung dan kabupaten/kota menganggarkan pembangunan listrik PLTD untuk tidak tergantung kepada PLN, sehingga aktivitas rakyat tidak dirugikan sebagaimana terjadi saat ini.
Terima kasih.
Naim Emel Prahana

TKI Juga Manusia


Oleh Naim Emel Prahana

Indonesia labour (tenaga kerja Indonesia) juga manusia. Jangan hanya memandang mereka yang bekerja di luar negeri dari kacamata devisa (uang) saja. Tetapi, bagaimana TKI itu dapat dijamin selama mengerahkan tenaga kerjanya di luar negeri dengan manusia itu sama di mata Tuhan.
Selama ini pemerintah dan masyarakat hanya berdebat soal TKI yang mengalami nasib buruk di tangan para majikannya di luar negeri. Sejauh itu, belum ada perhatian serius pemerintah untuk bagaimana melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia, di mana dan kapanpun. Jumlah TKI yang bernasib buruk di luar negeri selama ini, memang tidak sebanyak jumlah TKI yang ada di luar negeri. Tetapi, jumlah mereka yang diperlakukan tidak manusia cukup besar.
Setelah kejadian beruntun menimpa TKI—khususnya TKW terutama di Malaysia, Singapura, Hongkong dan Arab Saudi, Depnakerstrans akhirnya memutuskan untuk menghentikan pengiriman TKI. Kebijakan itu banyak ditantang oleh pihak-pihak yang selama ini mengeruk keuntungan dengan pengiriman TKI ke luar negeri, seperti Perusahaan Jasa Tenbaga kerja Indonesia (PJTKI) di Indonesia dan perusahaan penyalur tenaga kerja di luar negeri.
Pokok persoalannya memang kembali kepada perlindungan ‘manusia’ yang melekat pada TKI—TKW dan faktor penyebab banyaknya TKI ke luiar negeri, sementara kekayaan alam Indonesia melimpah ruah. Mungkin, kita tidak tidak sependapat dengtan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat, yang hanya melihat dari pangsa pasar TKI di luar negeri cukup besar. Khususnya pangsa (bursa) pembantu rumah tangga (PRT).
Apapun alasannya, penghentian pengiriman TKI ke luar negeri jangan hanya sebatas ke Malaysia, tetapi ke semua negara tujuan pengiriman TKI selama ini. Penghentian pengiriman TKI jangan didasarkan penolakan negara tujuan pengiriman TKI. Sebab, penolakan penghentian pengiriman TKI itu, tidak mendasar. Indonesia punya hak mengatur dan menjaga keselamatan atas setiap warganegaranya yang akan bekerja ke luar negeri.
Jika ada pihak-pihak menolak penghentian pengiriman TKI, semata-mata hanya mereka khawatir pendapatan yang besar sebagai lembaga jasa pengiriman TKI akan tidak ada lagi. Artinya, PJTKI dan lembaga sejenisnya itu, hanya memikirkan kepentingan pribadi, bukan kepentingan negara dan bangsa. Apalagi memikirkan kepentingan orang Indonesia—bangsanya sendiri.
Sebagai catatan, perbedaan antara orang Indonesia yang bekerja (dikirim) ke luar negeri dengan orang asing yang masuk ke Indonesia atau ke negeri lain. Terletak pada tujuan dan strategi pemerintah (negara asal imigran). Orng China pergi ke negara lain bertujuan untuk menjadi warga yang menguasai ekonomi di msuatu negara dan menjadi tumpuan pemerintahnya, jika erjadi perang. Mereka akan dapat dijadikan pasukan khusus yang menyerang dari dalam negeri di mana mereka berdiam.
Sedangkan orang Indonesia ke luar negeri, kebanyakan menjadi budak—status budak sangat dekat dengan perlakuan yang tidak manusiawi yang harus mereka terima. Kita tidak perlu lagi dengan BNP2TKI, PJTKI atau sebangsanya. Karena lembaga-lembaga itu tidak melihat TKI—TKW sebagai manusia, melainkan hanya melihat dari sisi komoditas belaka.
Di kampung-kampung, asal para TKI—TKW yang dikirim ke luar negeri tidak pernah tercatat oleh pemerintah, apalagi PJTKI atau BNP2TKI. Jika kita bertanya kepada tetangga para TKI—TKW, juga bertanya kepada keluarga mereka yang ditinggalkan oleh TKI—TKW soal kesejahteraan dari hasil kerja TKI—TKWI di luar negeri. Ternyata, tidak ada perubahan.
Bahkan, sawah, sapi, kerbau atau hutang tetap tidak terbayarkan. Padahal asumsinya, bekerja di luar negeri itu berlimpahan uang. Kenyataannya, sebagian besar keluarga TKI—TKW tidak mengalami peningkatan ekonomi dan sosial. Bahkan, banyak keluarga TKI—TKW yang berantakan. Perceraian salah satu akibat kepergian TKI—TKW ke luar negeri, sudah tidak asing lagi di kampung asal TKI—TKW selama ini.
Akibat buruk yang lebih besar adalah penghinaan terhadap bangsa Indonesia oleh bangsa lain, terutama kasus-kasus pelecehan seksual, penganiyaan, penyiksaan, pemerasaan para majikan di tempat TKI—TKW bekerja. Belum lagi penindasan dan pemerasan yang dilakukan oleh PJTKI yang semata-mata melihat TKI—TKW sebagai tambang emas. Bukan sebagai manusia yang harus dilindungi dan dihormati. Mungkinkah bangsa Indonesia adalah benar bangsa yang suka dijajah?
Untuk menanggulangi kemiskinan dan pengangguran akibat penghentian pengiriman TKI—TKW ke luar negeri, pemerintah harus menyiapkan lapangan pekerjaan yang memadai di dalam negeri. Kemudian pemerintah maupun swasta di dalam negeri dlam rekrutmen tenaga kerja, tidak boleh pilih kasih. Artinya, selama ini banyak perusahaan menerima karyawan (tenaga kerja) dengan sistim pilih kasih.
Di dunia perbankan, tenaga kerja yang banyak diterima berasal dari WNI keturunan Tionghoa. Di lowongan pekerjaan pada dinas-dinas, instansi dan badan pemerintah yang banyak diterima adalah kroni-kroni para pejabat. Kesempatan tenaga kerja berasal dari keluarga kurang mampu hanya pada pekerjaan-pekerjaan kasar; buruh, sopir, pembantu dan sebagainya. Jadi, pemerataan penerimaan tenaga kerja di Indonesia masih like and dislike.
Kondisi itulah yang membuat banyak anggota keluarga orang Indonesia—terutama dari keluarga yang tidak mampu, nekat bekerja di luar negeri. Apalagi sistem yang dijalankan PJTKI sangat menggiurkan. Sebagai contoh, sebuah PJTKI (cabang dari Jakarta) di Kabupaten/Kota di Lampung rekrutmen calon TKI—TKW mereka lakukan dengan cara menyebarluaskan makelar-makelar ke desa-desa.
Setiap makelar yang mendapatkan seorang PJTKI diberi imbalan Rp 50.000,- sampai Rp 150.000,-sementara, koordinator cabang PJTKInya mendapat uang berkisar antara Rp 7.000.000,- sampai Rp 10.000.000,- per calon TKI—TKW. Penulis pernah berbincang lama dengan koordinator PJTKI di Kota Metro. Kewajiban koordinator cabang PJTKI di daerah (kabupaten/kota) hanya membawa TKI ke Jakarta. Sedangkan yang membawa TKI—TKW dari kampung-kampung dibebankan kepada makelar.
Menyangkut keberadaan cabang PJTKI, apakah legal atau ilegal di kabupaten/kota, selama ini pemerintah daerah tidak pernah mau tahu. Sepertinya pemerintah menutup mata pengiriman TKI—TKW dari daerah-daerah mereka. Bahkan, PJTKI pun tidak pernah memberikan data tentang jumlah TKI—TKW yang mereka ekspor ke Jakarta kemudian di ekspor lagi ke luar negeri. Intinya, pengiriman TKI—TKW ke luar negeri penuh dengan praktek pemerasan dan penindasan serta penipuan.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?


Benarkah 'Drakula' pelaku dua peledakan bom di Jakarta?
Radio Nederland Wereldomroep
20 July 2009

Pernyataan Presiden SBY yang mengaitkan bom Marriot-Ritz-Carlton dengan pilpres menjadi dubius. Banyak yang menilai SBY membuat blunder, tetapi menurut Wimar Witoelar, mantan jubir Presiden Gus Dur dan komentator, pernyataan SBY itu penting.




Wimar Witoelar [WW]: Pertama kali dalam hidup, saya lihat Presiden SBY ini mengetahui persoalan dan tahu kapan dia harus tegas, begitu ya. Karena ini suatu hal yang perlu dimarahin oleh seorang pemimpin nasional. Masalah kita adalah bomnya, bukan pernyataan SBY. Biar aja. Tapi dia sebagai presiden menetapkan kita tidak akan terima teroris dan masih ada di antara kita, orang-orang yang melakukan kejahatan yang masih berkeliaran di masyarakat, dan yang jahat itu yang melakukan bom tentu, tapi yang juga membiarkan bom dan menggunakan peristiwa bom ini untuk melakukan serangan-serangan terhadap presiden.

Aboeprijadi Santoso [AS]: Tapi juga beliau memberi sugesti bahwa dalam kasus bom ini pilpres tersangkut dengan menyindir salah seorang yang dikatakan pernah menghilangkan orang. Prabowo, kan?

WW: Jelas, jelas yang dimaksud. Anda sebut namanya, saya takut sebut namanya. Drakula ya.

AS: Oh, itu drakulanya?

WW: Drakula itu tidak perlu kita sebut, ya.

AS: Apa maknanya nih, penyindiran terhadap drakula?

WW: Peringatan. Supaya orang itu jangan lengah. Jangan anggap semua warga negara itu sama. Ada warga negara yang lolos dari pengadilan HAM 10 tahun yang lalu.

Demikian Wimar Witoelar ketika menghadiri aksi solidaritas dan dukacita di muka Hotel Marriot. Juga pengacara Todung Mulya Lubis yang membacakan pernyataan Masyarakat Anti Kekerasan.


Beban pembuktian

Todung Mulya Lubis [TML]: Mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mewujudkan sumpahnya untuk secepat mungkin menangkap dan mengadili pelaku, jaringan, dan otak di belakang setiap aksi kekerasan.

AS: Bapak Todung Mulya Lubis, jadi mana yang prioritas ini? Kita mencari pelakunya atau kita mencari ketenangan?

TML: Kita kecolongan. Itu yang harus kita bayar dengan sangat mahal. Dan menurut saya presiden tidak bisa melepaskan tanggung jawab.

AS: Lalu Presiden SBY menanggapi ini kita khawatirkan bisa menjadi drakula.

TML: Ya memang ini kan satu tudingan.

AS: Siapa sebenarnya drakula ini? Ikut pilpres?

TML: Ikut pilpres. Tapi kan tudingan ini sudah dibantah. Nah, karena itu sekarang beban pembuktian ada pada presiden.

AS: Ini blunder yang jadi bumerang bagi SBY?

TML: Bisa jadi blunder kalau itu tidak bisa dibuktikan.

Demikian laporan koresponden Aboeprijadi Santoso dari Jakarta.

Laporan ini bisa didengar di website Radio Nederland Wereldomroep

Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD


Menanti Lagi Tangan Dingin Mahfud MD
Perspektif Online
31 July 2009

oleh: Didiet Adiputro

Rangkaian pemilu 2009 sudah berakhir. Suatu hal yang kita syukuri adalah bahwa pada umumnya semua berjalan tenang, lancar dan damai. Juga ada kesan kebebasan tanpa paksaan. Jelas hanya ada satu kemenangan yaitu kemenangan rakyat. Akan tetapi kemenangan rakyat ini sedikit terusik oleh banyaknya sengketa pemilu yang dipersoalkan para elit, entah siapa yang salah tapi hebatnya rakyat tetap tenang menyadari kekurangan dalam penyelenggaraan Pemi;u, sementara para elit terus meradang makin keras setelah hasil diumumkan.

Sengketa pilpres mengkonfrontasikan pihak pemenang yakni SBY–Boediono terhadap pasangan lain yaitu Mega–Pro dan JKWiranto. Namun demikian friksi ini tidak terlalu kencang berhembus di masyarakat, karena telah terbukti SBY mampu menang mutlak satu putaran.

Namun ada peristiwa lain yang dapat menggoncangkan konstalasi politik belakangan ini. Yaitu putusan Mahkamah Agung yang menganulir keputusan penetapan jumlah kursi bagi anggota DPR yang telah ditetapkan KPU. Dengan sendirinya berarti MA telah membatalkan aturan KPU ttg tata cara penghitungan kursi tahap II bagi anggota DPR yang diatur dalam peraturan KPU no 15/2009. Hal ini diputuskan setelah adanya judicial review oleh beberapa anggota partai khususnya kader Partai Demokrat.

Sayangnya pembatalan peraturan ini diumumkan MA setelah perhitungan suara selesai. Tak mengherankan bahwa keputusan ini membuat berang partai–partai yang perolehan kursinya akan menurun bila keputusan MA dijalankan.

Tekanan dan intimidasi terhadap KPU sebagai pelaksana undang-undang mulai bermunculan untuk mengacuhkan putusan MA. Misalnya Partai Gerindra yang diprediksi kehilangan 16 kursi , PPP 17 kursi, PKS 7 kursi.

Sementara kubu yang akan diuntungkan dari putusan ini adalah Partai Demokrat yang bertambah 31 kursi, Golkar 19 kursi, dan PDIP 16 kursi. Mereka ini mendukung KPU melaksanakan putusan MA. Yang uniknya, ketiga partai besar pengusung capres yang berbeda ini sepakat membentuk Koalisi Konstitusi dan Keadilan yang mengusulkan KPU menaati keputusan MA. Jadi kepentingan pragmatis caleg dan partai politik yang telah berinvestasi banyak sangat terlihat disini. Koalisi pilpres nampaknya ingin ditahan sebentar .

Kemelut politik ini tampaknya bisa menemukan titik final dengan terbit putusan MK tentang hal ini. Meskipun MK tidak boleh menilai vonis MA, tapi vonis MA tersebut bisa digugat KPU ke MK sebagai sengketa hasil pemilu. MK bisa mengadili keputusan KPU tentang penerapan vonis MA, tanpa menilai vonis MA itu sendiri. Jadi MK hanya berwenang menilai keputusan KPU. Keputusan MK ini harus diupayakan terbit secepat mungkin, karena jika KPU mendiamkan putusan MA ini , maka dengan sendirinya putusan ini mulai berlaku efektif setelah 90 hari.

Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi

Kita tunggu gebrakan selanjutnya dari para hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan kemelut ini. Sejauh ini mereka selalu membuat keputusan brilliant di saat–saat penting. Mulai dari memperbolehkan calon independen, pemakaian sistem suara terbanyak dalam pemilu , sampai yang terbaru dengan memperbolehkan pemilih memakai KTP dalam pilpres.

Hapuskan Program Gratis


APAKAH dimaksud dengan Gratis itu “Cuma-Cuma” atau “tidak dikenakan beban apapun dalam semua urusannya?” kalau pertanyaan masyarakat itu kemudian memunculkan gonjang-ganjing pembicaraan di tengah masyarakat dewasa ini. Pantas disimak dan diperhatikan. Khususnya program gratis di dunia pendidikan dan kesehatan.
Karena, program gratis untuk sekolah SD—SMA (negeri) itu, kenyataannya tidaklah gratis. Berbagai pungutan terjadi dengan berbagai alasan. Apalagi sekolah RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) yang saat ini banyak disoroti berbagai kalangan. Di sekolah reguler saja, pungutan yang join dengan komite sekolah masih tetap dilakukan. Kemungkinan terjadinya pungutan itu memang ada peluang dari pasal-pasal peraturannya sendiri. Sehingga celah itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh oknum kepala sekolah dan beberapa anggota dewan guru.
Hal yang sama juga berlaku di dunia kesehatan; puskesmas dan rumah sakit-rumah sakit yang tidak ada sama sekali realitas program gratis tersebut. Semua warga yang berobat harus mengeluarkan isi kantong, agar bisa dilayani; baik di rumah sakit, puskesmas atau sekolah-sekolah yang ditentukan untuk melaksanakan prgram gratis bagi masyarakat.
Tidak diketahui persis, kapan permainan retorika gratis itu diterus pemerintah. makin lama retorika gratis itu makin membuat masyarakat bingung dan diberatkan beban kehidupan sosial mereka. Sementara itu, segelintir keluarga masyarakat yang punya (baik jabatan, materi, kekuasaan) terkadang sering menikmati pelayanan gratis di sekolah dan di rumah sakit atau puskesmas
Anak keluarga pejabat, pengusaha dan keluarga the haves untuk masuk ke sekolah, cukup dengan telepon, demikian juga dengan pelayanan rumah sakit. Tapi, kalau warga biasa. Maka, harus benar-benar menjalani proses birokrasi di balik program pendidikan gratis dan kesehatan gratis.
Seyogyanya pemerintah, khususnya pemerintah daerah di era otonomi ini menjelaskan kriteria program gratis tersebut beserta batasan-batasannya. Jika di sekolah ada program gratis karena sudah disuplai habis-habisan oleh pemerintah pusat. Ada apa dengan formulir bantuan “katanya” sukarela. Tetapi, dipungut setiap siswa yang masuk di SMP dan SMA Negeri yang RSBI. Anehnya lagi, bantuan berupa pungutan itu dilakukan setiap tahun kepada siswa yang belajar di sekolah RSBI.
Sekarang, pihak mana yang mengaudit penggunaan dana-dana bantuan dari pemerintah pusat dan dana-dana bantuan pungutan yang dilakukan sekolah bersama komite sekolah? Selama ini tidak pernah diaudit oleh siapapun, kecuali kalau sudah timbul permasalahan penggunaan keuangan itu sendiri, setelah memasuki ruang publik (masyarakat).
Kalau tidak, maka ratusan miliar dana bantuan yang diberikan dan dikelola oleh sekolah, tetap hening, sepi, dan lengang. Kecuali suara mesin mobil baru kepala-kepala sekolah dan bendaharanya berikut para oknum pejabat di Dinas Pendidikan yang selalu mendapat cipratan uang-uang ‘siluman’.
Untuk itu, agar kebangkitan dunia pendidikan dan kualitas dunia kesehatan di Indonesia membaik. Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah konkrit untuk menyelamatkan uang negara yang dipergunakan dunia pendidikan tanpa pertanggungjawaban yang baik dan tanpa pengawasan yang jelas. Pihak mana yang ikut andil mengawasi dan berhak mengoreksi. Walaupun dalam juklaknya ada, tetapi kenyataannya tidak ada. Hapuskan saja program gratis itu.

Konflik Jabatan

RUSAKNYA hubungan antar makhluk ciptaan Allah di muka bumi ini, nyaris 99% disebabkan oleh manusia dengan kata lain kalau dalam kamus kecelakaan (musibah) sering disebut dengan human eror. Ternyata human eror itu terjadi dan sering terjadi pada pasangan kepala daerah. Misalnya bupati dan wakilnya, walikota dan wakilnya, gubernur dan wakilnya. Terutama menjelang akhir jabatan periode kepala daerah.
Dalam sepuluh tahun terakhir ini di Lampung hampir semua pasangan kepala daerah yang diujung jabatan mereka, terjadi konflik yang kurang baik untuk penyelengara pemerintahan di daerah. Kita sebut saja di Way Kanan, Tanggamus, Tulangbawang, Kota Metro, Lampung Tengah, Lampung Barat dan untuk tingkat provinsi. Seharusnya tidak terjadi disharmonisasi hubungan pasangan menjelang akhir periode jabatan mereka. Kendati, masing-masing ingin mencalonkan diri menjadi orang nomor satu di daerahnya. Selalu yang menjadi korban adalah masyarakat luas, karena mesin penyelenggara roda pemerintahan di daerah terasa terhambat karena konflik tersebut.
Masih sangat jelas ingatan kita, bagaimana konflik bupati dan wakil bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurnajaya dengan Syamsi Achmad yang waktu dipasangkan diyakini ‘duo’ Achmad itu akan selalu berkasih sayang dalam menjalankan roda pemerintahan. Ternyata, godaan kursi nomor satu di daerah kekuasaan mereka lebih penting dibandingkan dengan hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang proporsional serta profesional.
Juga, terjadi konflik yang luar biasa tajamnya antara walikota Metro Mozes Herman dengan Lukman Hakim menjelang akhir perioda jabatan mereka 2004. Kini, antara Lukman Hakim—yang dulu semasa walikota Mozes Herman adalah wakil—yangmenjadi walikota hubungannya dengan wakilnya Djohan diakhir periode jabatannya sudah merah menyala—tinggal menunggu ledakan rusaknya hubungan keduanya.
Masih di Lampung, bagaimana hubungan Tamanuri dengan wakilnya selama dua periode jabatannya sebagai bupati Way Kanan—sampai-samnpai saling lapor melaporkan. Betulkah jabatan kepala daerah yang lima tahun itu adalah segala-galanya dalam hidup seorang pejabat politis di negeri ini? Sehingga persaudaraan dan kepentingan daerah diabaikan karena memburu kursi BE 1 di daerah masing-masing.
Demikian pula hubungan yang sangat harmonis antara Fauzan Sa’ie dengan Bambang Kurniawan diawal periode jabatan mereka, akhirnya menjadi bara api dalam sekam dan membakar hubungan keduanya. Pertarungan konflik itu akhirnya dimenangkan oleh wakil bupati, Bambang Kurniawan ST. Demikian pula masa bupati Lampung Selatan antara Zulkifli Anwar dengan Muchtar Husein—yang akhirnya dimenangkan oleh Zulkifli Anwar. Di Lampung Tengah, Andy Achmad pun mengalahkan Syamsi Achmad, di Way Kanan Tamanuri mengalahkan wakilnya. Hanya di Metro konflik antara walikota dan wakil walikotanya dimenangkan oleh wakil walikotanya. Apakah pada pilkada tahun 2010 mendatang, wakil walikota, Djohan yang sudah lama berancang-anjang ingin merebut kursi BE 1 di Kota metro mampu mengalahkan Lukman Hakim. Sebagaimana Lukman Hakim tahun 2004 mampu mengalahkan Mozes Herman? Kita tunggu konflik yang terus menajam antara keduanya.
Bagaimana dengan Bandarlampung, apakah Khaelani mampu mengalahkan Eddy Sutrisno dalam pilkada 2010 mendatang atau malah menjadi bulan-bulanan Mas Tris ada puncak konflik keduanya? Wait and see.