Senin, 20 September 2010

trip goes village

trip goes village

Perjalanan Pulang Kampung

Pahlawan Devisa

ARUS puncak kembalinya pemudik ke tempat kerja sudah berlangsung sejak Sabtu—Minggu kemarin. Ada yang membawa anggota keluarga baru dan ada yang tidak kembali lagi ke kota tempat kerjanya, terutama ke Jakarta. Suasana lebaran setiap tahun sangat momental sekali dan menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya umat Islam yang akan merayakan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya, tetapi umat lainpun ikut mudik. Karena momentum libur bagi mereka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pulang ke kampung halaman.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.

Lama & Baru Tetap Kapolri


Lama & Baru Tetap Kapolri
KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri konon kabarnya sudah diajukan oleh Presiden SBY ke DPR. Beberapa nama mencuat, namun beberapa nama tenggelam. Sebelum kepastian, tentunya kjabar selalu saja bersimpang ‘siaur’ jalan. Hal itu, di negeri kita ini adalah sangat wajar dan lumrah. Para pengamatpun menggelitik sana-sini. Seperti halnbya masalah pengganti Jaksa Agung. Bedanya, kalau posisi Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar Kejaksaan. Akan tetapi, jabatan Kapolri sepertinya harus dari internal Polri.
Polri yang dikatakan sudah menanggalkan atribut militernya, juga sudah berganti-ganti peraturan maupun jenjang kepangkatan yang ada. Polri tetaplah ‘polri” yang dikenal sebagai polisi. Zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada wacana jabatan Kapolri hingga Kapolda, Kapolres atau Kapolsek bisa dijabat oleh sipil beneran. Artinyanya di luar dari internal Polri. Tapi, sampai saat ini ide kontoversial namun cemerlang dari Gus Dur itu belum sempat dilaksanakan, keburu Gus Dur digulingkan oleh MPR.
Atau wacana demi wacana membuka perjalanan (sejarah) polri di Indonesia, termasuk pergantian istilah jenjang kepangkatan dan baju seragam. Polri paling banyak melakukan perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan yang mana yang diharapkan oleh masyarakat terjadi ditubuh polri? Atau perubahan yang mana yang dirasakan masyarakat polri sendiri, untuk mengembalikan  harkat dan martabatnya di depan dan di tengah masyarakat? Tentunya, banyak pertanyaan-pertanyaan tidak terlontar, karena pertanyaan-pertanyaan yang akandilontar sudah diketahui pasti jawabannya tetap ‘klasik’.
Banyak alasan pada akhirnya rakyat tidak mau menjadi saksi berbagai kasus, apalagi dipersidangan. Semua akibat citra polri yang betul-betul jatuh di mata masyarakat. Kapolri atau Jaksa Agung yang sekarang akan diganti, jika tidak mendapat gugatan sengit dari mantan Menhankum, Yusril Ihza Mahendra. Mungkin SBY akan tetap menggunakan kedua petinggi tersebut. Apalagi, SBY saat ini dikelilingi staf khusus, staf ahli dan jubir, rata-rata berusia muda yang punya kepentingan dalam komunitas-komunitas masing-masing sebelumnya.
Kembali kepada sebentar lagi akan adanya Kapolri baru, kabarnya antara Nana Soekarna dan Imam Soedjarwo, menunggu keputusan DPR-RI—yang juga sangat kental aroma politik dan kepentingan masing-masing. Memang, di tubuh Polri banyak perwira tinggi (pati) yang perjalanan karier mereka banyak yang menonjol dan berhasil. Tetapi, kembali kepada kepentingan, kekuasaan dan siapa yang memback up semua kekuasaan, itulah yang akan memenangkan pertarungan kepentingan tersebut.
Setiap pergantian rezim (presiden, red), pasti berganti pula cukong yang ada di belakangnya. Politik yang dijalankan oleh penguasa pada akhirnya dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Atau oleh kaum kapitalism. Kita ingat bagaimana berkuasa dan ditakutinya Om Liem (Liem Siong Liong), bagaimana ketakutan masyarakat terhadap nama dan jaringan Bob Hasan dan pengusaha hitam (istilah menyebut pengusaha asal India), bagaimana kekuasaan Tommy Winata (TW) dan lain sebagainya.
Suatu bukti, bahwa sejarah dalam pergantian pucuk pimpinan loembaga tinggi negara selalu berseteru kepentingan-kepentingan komunitas para kapitalis dan partai politik. Di situlah kelemahan sistem yang ada di Indonesia. Sehingga siapapun pengganti Kapolri, tetaplah menjadi Kapolri dengan pola yang sama. Hanya nama Kapolrinya saja yang berubah.