Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.
Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)
Sabtu, 20 September 2008
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 1)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
DENGAN perasaan berat-berat ringan untuk mengupas realitas kehidupan para wartawan dewasa ini—terkait parca gerakan reformasi tahun 1998-an. Wartawan yang menghidupkan serta menghiasi dunia pers itu, merupakan pelaku kontrol yang efektif mengkritisi pelaksanaan roda pemerintahan dari berbagai aspek. Misalnya, aspek hukum, aspek agama, aspek profesi (onal), aspek norma sosial, aspek politik, aspek seni dan budaya dan aspek lainnya.
Di dalam UU No 40/1999 tentang Pers, juga di dalam aturan main perusahaan pers sudah sangat diketahui dan jelas. Bahwa, wartawan itu memiliki pendapatan dari hasil kerjanya yang memberikan report kepada penerbitan pers berupa informasi-informasi yang dilakukannya secara rutin.
Tetapi, pada garis horizontal maupun vertikal hampir sebagian besar wartawan di Indonesia tidak memiliki pendapatan (gaji) tetap sebagai imbalan tugas yang dikerjakannya secara rutinitas tadi. Kondisi itu, akan diperburuk lagi setelah reformasi, usaha untuk menerbitkan media cetak, elektronik dan audio visual sungguh-sungguh mudah dan gampang. Artinya, modal tetap sebagai faktor utama terbiatnya sebuah media. Sudah tidak jadi standar lagi.
Dengan modal sejutaan, seseorang atau sekelompok orang yang sepakat menerbitkan media cetak. Sudah dapat memiliki dan menerbitkan koran. Terutama koran kategori Mingguan atau Tabloid. Modal nekat dibarengi perilaku urakan, kekerasan, intimidasi atas nama pers menjadi “modal utama” . Persoalan, apakah kru media cetaknya memiliki SDM yang maksimal, itu tidak penting dan memang tidak digubris.
Fenomena dunia pers dewasa ini seperti uraian singkat di atas. Sudah menjadi trade mark di dunia pers kita yang terus menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan yang luar biasa. Tanpa diimbangi pemenuhan tentang hak dan kewajiban. Seperti rangkuman hasil diskusi bertema “Wartawan Menjadi TS” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indoensia (AJI) bersama Bengkel Jurnalistik (Sabtu, 28/6-2008) lalu di Bandarlampung.
Berbagai kajian, masukan, saran dan kritik terhadap pers, khususnya personifikasi wartawan dikedepankan. Intinya, apa yang terjadi terhadap profesi wartawan saat ini merupakan akibat dari rendahnya kesejahteraan wartawan, kurangnya modal menerbitkan media cetak, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran profesi wartawan dan lainnya.
Barangkali, mendengar dan berupaya memahami bacaan terhadap perilaku insan pers kita (wartawan), siapapun menjadi gregetan banget! Terlebih lagi, wartawan-wartawan yang juga terjun ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai upaya menghindari benturan-benturan sanksi hukum atas perbuatan-perbuatan yang atas nama jurnalistik. Tetapi, di lapangan lebih kepada sikap dan fungsi aparat penegak hukum; arogan, premanisme dan ancaman.
Lampung Post Minggu (Minggua, 20/6) kemarin menurunkan berita utama halaman berjudul “Diintimidasi Wartawan, Kakek Nekat Minum Racun!” (hal 3). Dapat dibayangkan, apa kerja seorang wartawan sehingga mengintimidasi korban pelecehan seksual. Bahkan, sesumbar akan menghukum ayah korban pelecehan seksual tersebut (kejadian di Lampung Timur).
Saya pikir semua perilaku itu, termasuk di Lampung Timur tersebut merupakan tindakan kejahatan. Bukan tindakan jurnalistik. Perbuatan kejahatan yang berlindung di balik status pers—wartawan itu sebenarnya merupakan tindak kejahatan yang serius. Dan, merupakan akibat rekrutmen wartawan yang tidak bagus. Hanya rekrutmen berdasarkan;” Kamu mau jadi wartawan, syaratnya siap mengedarkan koran, dan kartu pers bisa dimiliki apabila kamu bayar sekian ratus ribu........dan sebagainya”.
Wartawan dengan pola rekrutmen tidak benar itu, dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, tidak diberi apa-apa. Kecuali kartu pers, bahkan, mereka tidak mengerti jurnalistik itu sendiri. Apalagi membuat berita yang layak dan merupakan karya jurnalistik.
Dunia pers kita semakin terseret ke dunia yang kacau balau. Sayangnya, begitu menjamur penerbitan media cetak. Fungsi Dewan Pers, Organisasi Kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik dan aturan hukum yang berlaku. Selalu gagal menghadang perilaku yang jelas-jelas melanggar hukum tersebut.
Saat ini, ada beberapa masalah pokok yang digandrungi wartawan yang kondisinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Pertama: dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan berperan sebagai aparat penegak hukum. Tindakan itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kedua, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan melakukan tindakan-tindakan premanisme. Seperti sebelum bertemu dengan pejabat, harus menenggak minuman keras terlebih dahulu. Dengan maksud agar memiliki tingkat keberanian yang luar biasa. Sampai-sampai mengkonsumsi narkoba (misal inek/ekstasi, shabu). Kecenderungan itu dilakukan pribadi-pribadi wartawan untuk ia berharap, agar dirinya ditakuti dan selalu berani.
Ketiga, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi-pribadi wartawan atas nama jurnalistik membawa pula bendera LSM. Maksudnya, data LSM itu disodorkan kepadanya sebagai jurnalis kemudian mendatangi pejabat atau dinas/instansi yang mempunyai masalah versi mereka.
Kondisi umum seperti itu memang tidak sehat, cenderung tidak menjalankan profesi jurnalistik walau mengatasnamakan pers. Misalnya ketika menjadi makelar proyek atau pengaman seorang rekanan untuk mendapatkan proyek. Jika tersandung masalah hukum. Begitu enteng dan mudahnya beralasan, bahwa mereka sedang menjalankan profesi jurnalistik? Padahal, itu hanyalah akal-akalan agar lepas dari jeratan hukum. Yang lebih kronisnya lagi, aparat penegak hukum (yang asli, polisi, kejaksaan dan TNI) begitu saja percaya diakalin demikian.
Keempat, banyak pribadi-pribadi wartawan itu menjadi mediator penyelesaian kasus-kasus dengan sejumlah imbalan uang. Mereka beranggapan dengan menyandang status wartawan (pers), orang akan ngeri dan takut dan kasusnya bisa diselesaikan. Termasuk wartawan yang menjadi ujung tombak untuk menggolkan diterimanya seseorang siswa di sekolah yang dikehendakinya.
Kecenderungan keempat di atas setiap hari kita hadapi, setiap hari kita baca beritanya ada saja wartawan yang berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan kegiatan yang bukan kegiatan jurnalistik.
Kelima, saat ini banyak pribadi-pribadi wartawan membuat LSM sendiri. Dengan statusnya sebagai wartawan—walau tidak / jarang membuat berita dan punya LSM. Kecenderungan selanjutnya mereka secara rutin rata-rata 2 X sebulan mengajukan proposal minta bantuan ke pemerintah daerah di mana mereka bertugas dan berdomisili. Bahkan, proposal yang mereka buat dan ajukan bisa melebar ke pemerintah daerah lainnya. Itu, bukan soal boleh atau tidaknya melakukan kegiatan demikian.
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang. (bersambung)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
DENGAN perasaan berat-berat ringan untuk mengupas realitas kehidupan para wartawan dewasa ini—terkait parca gerakan reformasi tahun 1998-an. Wartawan yang menghidupkan serta menghiasi dunia pers itu, merupakan pelaku kontrol yang efektif mengkritisi pelaksanaan roda pemerintahan dari berbagai aspek. Misalnya, aspek hukum, aspek agama, aspek profesi (onal), aspek norma sosial, aspek politik, aspek seni dan budaya dan aspek lainnya.
Di dalam UU No 40/1999 tentang Pers, juga di dalam aturan main perusahaan pers sudah sangat diketahui dan jelas. Bahwa, wartawan itu memiliki pendapatan dari hasil kerjanya yang memberikan report kepada penerbitan pers berupa informasi-informasi yang dilakukannya secara rutin.
Tetapi, pada garis horizontal maupun vertikal hampir sebagian besar wartawan di Indonesia tidak memiliki pendapatan (gaji) tetap sebagai imbalan tugas yang dikerjakannya secara rutinitas tadi. Kondisi itu, akan diperburuk lagi setelah reformasi, usaha untuk menerbitkan media cetak, elektronik dan audio visual sungguh-sungguh mudah dan gampang. Artinya, modal tetap sebagai faktor utama terbiatnya sebuah media. Sudah tidak jadi standar lagi.
Dengan modal sejutaan, seseorang atau sekelompok orang yang sepakat menerbitkan media cetak. Sudah dapat memiliki dan menerbitkan koran. Terutama koran kategori Mingguan atau Tabloid. Modal nekat dibarengi perilaku urakan, kekerasan, intimidasi atas nama pers menjadi “modal utama” . Persoalan, apakah kru media cetaknya memiliki SDM yang maksimal, itu tidak penting dan memang tidak digubris.
Fenomena dunia pers dewasa ini seperti uraian singkat di atas. Sudah menjadi trade mark di dunia pers kita yang terus menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan yang luar biasa. Tanpa diimbangi pemenuhan tentang hak dan kewajiban. Seperti rangkuman hasil diskusi bertema “Wartawan Menjadi TS” yang diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalistik Indoensia (AJI) bersama Bengkel Jurnalistik (Sabtu, 28/6-2008) lalu di Bandarlampung.
Berbagai kajian, masukan, saran dan kritik terhadap pers, khususnya personifikasi wartawan dikedepankan. Intinya, apa yang terjadi terhadap profesi wartawan saat ini merupakan akibat dari rendahnya kesejahteraan wartawan, kurangnya modal menerbitkan media cetak, tidak adanya sanksi tegas terhadap pelanggaran profesi wartawan dan lainnya.
Barangkali, mendengar dan berupaya memahami bacaan terhadap perilaku insan pers kita (wartawan), siapapun menjadi gregetan banget! Terlebih lagi, wartawan-wartawan yang juga terjun ke dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai upaya menghindari benturan-benturan sanksi hukum atas perbuatan-perbuatan yang atas nama jurnalistik. Tetapi, di lapangan lebih kepada sikap dan fungsi aparat penegak hukum; arogan, premanisme dan ancaman.
Lampung Post Minggu (Minggua, 20/6) kemarin menurunkan berita utama halaman berjudul “Diintimidasi Wartawan, Kakek Nekat Minum Racun!” (hal 3). Dapat dibayangkan, apa kerja seorang wartawan sehingga mengintimidasi korban pelecehan seksual. Bahkan, sesumbar akan menghukum ayah korban pelecehan seksual tersebut (kejadian di Lampung Timur).
Saya pikir semua perilaku itu, termasuk di Lampung Timur tersebut merupakan tindakan kejahatan. Bukan tindakan jurnalistik. Perbuatan kejahatan yang berlindung di balik status pers—wartawan itu sebenarnya merupakan tindak kejahatan yang serius. Dan, merupakan akibat rekrutmen wartawan yang tidak bagus. Hanya rekrutmen berdasarkan;” Kamu mau jadi wartawan, syaratnya siap mengedarkan koran, dan kartu pers bisa dimiliki apabila kamu bayar sekian ratus ribu........dan sebagainya”.
Wartawan dengan pola rekrutmen tidak benar itu, dalam melaksanakan tugasnya di lapangan, tidak diberi apa-apa. Kecuali kartu pers, bahkan, mereka tidak mengerti jurnalistik itu sendiri. Apalagi membuat berita yang layak dan merupakan karya jurnalistik.
Dunia pers kita semakin terseret ke dunia yang kacau balau. Sayangnya, begitu menjamur penerbitan media cetak. Fungsi Dewan Pers, Organisasi Kewartawanan, Kode Etik Jurnalistik dan aturan hukum yang berlaku. Selalu gagal menghadang perilaku yang jelas-jelas melanggar hukum tersebut.
Saat ini, ada beberapa masalah pokok yang digandrungi wartawan yang kondisinya hampir merata di seluruh pelosok tanah air. Pertama: dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan berperan sebagai aparat penegak hukum. Tindakan itu semata-mata untuk mendapatkan sejumlah uang.
Kedua, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi wartawan melakukan tindakan-tindakan premanisme. Seperti sebelum bertemu dengan pejabat, harus menenggak minuman keras terlebih dahulu. Dengan maksud agar memiliki tingkat keberanian yang luar biasa. Sampai-sampai mengkonsumsi narkoba (misal inek/ekstasi, shabu). Kecenderungan itu dilakukan pribadi-pribadi wartawan untuk ia berharap, agar dirinya ditakuti dan selalu berani.
Ketiga, dalam menjalankan profesinya banyak pribadi-pribadi wartawan atas nama jurnalistik membawa pula bendera LSM. Maksudnya, data LSM itu disodorkan kepadanya sebagai jurnalis kemudian mendatangi pejabat atau dinas/instansi yang mempunyai masalah versi mereka.
Kondisi umum seperti itu memang tidak sehat, cenderung tidak menjalankan profesi jurnalistik walau mengatasnamakan pers. Misalnya ketika menjadi makelar proyek atau pengaman seorang rekanan untuk mendapatkan proyek. Jika tersandung masalah hukum. Begitu enteng dan mudahnya beralasan, bahwa mereka sedang menjalankan profesi jurnalistik? Padahal, itu hanyalah akal-akalan agar lepas dari jeratan hukum. Yang lebih kronisnya lagi, aparat penegak hukum (yang asli, polisi, kejaksaan dan TNI) begitu saja percaya diakalin demikian.
Keempat, banyak pribadi-pribadi wartawan itu menjadi mediator penyelesaian kasus-kasus dengan sejumlah imbalan uang. Mereka beranggapan dengan menyandang status wartawan (pers), orang akan ngeri dan takut dan kasusnya bisa diselesaikan. Termasuk wartawan yang menjadi ujung tombak untuk menggolkan diterimanya seseorang siswa di sekolah yang dikehendakinya.
Kecenderungan keempat di atas setiap hari kita hadapi, setiap hari kita baca beritanya ada saja wartawan yang berurusan dengan pihak berwajib karena melakukan kegiatan yang bukan kegiatan jurnalistik.
Kelima, saat ini banyak pribadi-pribadi wartawan membuat LSM sendiri. Dengan statusnya sebagai wartawan—walau tidak / jarang membuat berita dan punya LSM. Kecenderungan selanjutnya mereka secara rutin rata-rata 2 X sebulan mengajukan proposal minta bantuan ke pemerintah daerah di mana mereka bertugas dan berdomisili. Bahkan, proposal yang mereka buat dan ajukan bisa melebar ke pemerintah daerah lainnya. Itu, bukan soal boleh atau tidaknya melakukan kegiatan demikian.
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang. (bersambung)
Politik ‘Ketergantungan’ Politik
Politik ‘Ketergantungan’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya
Teolog- Seniman, Aktor Pencerahan Budaya
Endri Y. (Pecinta Sastra, tinggal di Lampung)
Pada zaman global, dimana sekat politik- geografis bukan lagi hambatan informasi. Saat inilah kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Tetapi kapital, informasi, media, dan manusianya, semua memiliki peran strategis- ketergantungan.
Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.
Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tercermin dalam ranah budaya yang inklud pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi- akulturasi pada hampir semua diri- budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Dapat dikatakan, nafas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan- medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas. Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika- liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan- pengembaraan intelektual
Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi- batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik- indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.
Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategoris, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual- eksklusif dan universal- inklusif.
Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.
Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.
Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).
Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Dimana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaiman dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan- kejahatan.
Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnama ‘pemberdayaan’ menjadi mitos, sekedar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu. Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.
Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); “Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030” khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.
Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.
Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting __perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa__ sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.
Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Karena karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.
Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau- Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.
Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.
Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog. Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi.
Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub- kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal- tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog. (*)
Endri Y. (Pecinta Sastra, tinggal di Lampung)
Pada zaman global, dimana sekat politik- geografis bukan lagi hambatan informasi. Saat inilah kebudayaan bukan hanya ditentukan akal budi manusia saja. Tetapi kapital, informasi, media, dan manusianya, semua memiliki peran strategis- ketergantungan.
Sedangkan esensi peta posisi budaya berada hanya pada hasil penciptaan para manusia yang telah tercerahkan. Dalam lingkup mencipta gerak budaya “yang tercerahkan” itu adalah seniman dan teolog. Keduanya menjadi pendulum kesejarahan yang terus diproduksi dan mereproduksi diri dalam hadirnya untuk memandu arah zaman.
Telaah Martin Buber yang terkenal, I require a you to become, becoming I, I say you. Jika dikaitkan dengan relevansi keterbukaan masyarakat yang tercermin dalam ranah budaya yang inklud pada kedirian, menemukan kebenarannya. Masuk di dalamnya akulturasi- akulturasi pada hampir semua diri- budaya sebagaimana filosofi Buber itu, “aku membutuhkan engkau untuk menjadi, sambil menjadi aku, aku berkata engkau”.
Dapat dikatakan, nafas semangat teolog adalah kemampuan untuk sejauh mungkin menembus medan- medan tersulit (fisik dan metafisik) untuk kemudian bersinergis “menjadi” manusia dengan dimensi watak ketuhanan. Sabar dan ikhlas. Memberi tanpa pamrih. Menebar cinta kasih. Kehidupannya lebur dalam lika- liku jalan immaterial. Dan tentu, selalu larut dalam pengembaraan- pengembaraan intelektual
Tidak jauh berbeda, seniman dalam ranah pengembara ke manifes mencerahkannya, senada dengan teolog. Ketika teolog bergerak pada ranah indrawi- batiniah ke ketentraman hidup “yang ada”. Seniman berjuang untuk mengantar estetika pada fisik- indrawi untuk eksis. Keduanya berkhidmat demi menjadi manfaat bagi manusia lain.
Adalah Gus Tf Sakai yang mengalirkan pembeda kategoris, antara agamawan dan seniman sebagai dua kutub pengarah dengan keberbagaiannya. Dia membuat eksistensi kesenimanan terlegitimasi untuk berbuat sesuatu dalam hidup dan kehidupan manusia, mengarahkan dan mengantarkan. Bedanya terletak pada beban nilai yang terbatas dan tidak terbatas. Kontekstual- eksklusif dan universal- inklusif.
Dalam paham ini, kedua pencerah (teolog dan seniman) itu sekarang berusaha melingkupi dan melampaui nilai yang dibawanya untuk kontekstual dan universal sekaligus.
Bagi seniman, yang dikenal berkarya dalam kandungan nilai universal mulai digagas karya seni yang kontekstual untuk kalangan sendiri, intern, dan spesifik. Indikator utamanya, marak komunitas dan karyanya tersegmentasi untuk komunitasnya. Pun teolog, yang tanda kajian- nasehatnya dulu eksklusif dan hanya beredar untuk kalangan sendiri kini melangkah ke aksi sosial, praksis semakin peduli pada universalisme kemanusiaan. Misalnya, peran agamawan yang aktif dalam kampanye hidup sehat, memberantas kemiskinan, dan semacamnya. Padahal dengan usaha mendekonstruksi teologi awalnya.
Radikalisasi Peran
Terkait dengan teori pemberontakan dengan anjuran cinta kasih sebagai manifestasi watak ketuhanan para teolog dan seniman ini, terjadi radikalisasi perubahan peran atau sekedar penyelarasan peran sesuai tuntutan zaman. Albert Camus, membuat peta ziarah intelektual atas kontemplasinya terhadap filsafat Eropa (Pemberontak, 2000) terjemahan dari buku (The Rebel, 1956).
Salah satu hasil permenungan Camus adalah Sade, yang membenarkan kebinalan manusia dalam term libido terkejam. Dimana logika itu pada dasarnya dibangun oleh hasrat, nafsu kebalikan dari pemikiran tradisional. Sade, sebagaiman dianalisis Albert Camus, memberikan pembenaran terhadap fitnahan, pencurian, dan pembunuhan dan kita diharapkan sabar terhadap kejahatan- kejahatan.
Dari sini, pengarusutamaan kepasrahan diri adalah kemutlakan absolut. Ketika seluruh institusi pengelompokan pengatasnama ‘pemberdayaan’ menjadi mitos, sekedar langkah- langkah dan celoteh utopis para agamawan atau seniman, rajutan kata- kata, teks- teks, karya- karya yang imajiner dan terkesan menipu. Sangat dibutuhkan peran radikal teolog dan seniman dalam ranah gerakan tersebut di atas. Bukan hanya berkutat pada kontekstual, universal, tetapi lebih pada praksis sosial dari produk pemikirannya. Yaitu terwujudnya kebudayaan global yang tercerahkan itu. Yang tentram dengan keberbagaiannya dan kebebasan nilainya.
Budaya, dalam kacamata untuk mengejawantahkan visi nun jauh ke depan, baik dalam rentang 10, 20, dan atau 30 tahun mendatang tentang prospek berkebudayaan perlu ada pembongkaran. Meminjam bahasa dalam judul buku terbitan Kompas, (September, 2007); “Membongkar Budaya, Visi Indonesia 2030” khususnya dalam rangka perancangan produk (product design) pencerahan teolog dan seniman, diperlukan rekonsiliasi dengan masa lalu.
Proyek rekonsiliasi berarti juga kesadaran untuk membangun spiritualitas. Dalam teori rekonsiliasi mempersyaratkan kesediaan memaafkan masa lalu.
Terkait dengan masa lalu, maka penting pula bagi kita untuk berjuang melawan lupa, meminjam bahasa Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting __perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa__ sebab, “lupa” bagi para pencerah itu (teolog dan seniman) adalah musuh yang paling nyata. Baik itu dilupakan, terlupakan, atau bahkan melupakan. Kata sakral dalam peran pemegang mandat kultural.
Dilupakan, adalah penolakan atau peniadaan yang menjadi musuh sejati para seniman dan teolog. Karena karya seni dan teologi tujuan utamanya meng-ada-kan. Membuat prasasti, mengukir sejarah, meninggalkan jejak, monumen, dan untuk menegaskan “kehadiran” sebagai zeitgeist zaman.
Persepsi Tubuh Kebudayaan
Adalah Maurice Merleau- Ponty (1908- 1961) seorang filosof besar perumus fenomenologi dan termasuk di dalam kajian filsafatnya ada pendedaran hakekat persepsi tubuh. Untuk sampainya pada pembacaan “persepsi tubuh kebudayaan kita” perlu diperhatikan bahwa, bagi Merleau Ponty istilah “persepsi” mempunyai arti lebih luas daripada mata mengamati suatu subyek. Sebetulnya istilah itu meliputi seluruh hubungan kita dengan dunia, khususnya pada taraf indrawi.
Dengan demikian persepsi secara langsung berkaitan dengan dunia, tubuh, dan intersubyektivitas. Bahkan lebih lanjut, persepsi digunakan untuk menunjukkan pertautan antara dunia dan tubuh, perpaduan tubuh dan dunianya. Persepsi dalam arti psikologis juga sebagai aktus kesadaran (pengamatan). Dari persepsi inilah kita dapat menyentuh langsung denyut nadi, sebagai penanda adanya kehidupan artefak dan karya pencerahan.
Denyut nadi itu adalah gerakan- gerakan lembaga, institusi, dan lain semacamnya yang menaungi atau dijadikan tempat bernaung karya seni dan teologi. Sedangkan tubuhnya adalah seniman dan teolog. Maka, bagaimana persepsi itu bergerak, sebagaimana pula tubuh itu menggerakkan.
Persepsi tidak akan bergerak jika tubuh tidak pernah beranjak dari tempat berdirinya. Penggerakan persepsi adalah juga pergerakan tubuh, adiluhungnya matan nilai- nilai altruis, semangat membuat transformasi sosial, membangun tanda- tanda, sampai pada penyuguhan hiburan serta ketentraman adalah muatan kebajikan produksi karya seni dan teologi.
Di ranah tubuh budaya yang mampu menggiring manusia ke pergerakan menuju kutub- kutub matrial di luar kesejatiannya sebagai manusia, sangat diperlukan basis pengembang nilai, pengumpul tatal- tatal altruis yang berserakan untuk mampu menegasikan budaya ke proses pencerahan paripurna. Dan tidak ada yang lebih mampu untuk tugas estetis seberat itu selain seniman dan teolog. (*)
Sastrawan Lampung
Sastrawan Lampung
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
1. Agus S. Santo
2. Ahmad Rich
3. Ahmad Yulden Erwin
4. Alex R. Nainggolan
5. A.M. Zulqornain
6. Andriansyah
7. Anton Kurniawan
8. Ari Pahala Hutabarat
9. Aris Hadianto
10. Bahirul Al-Varizi
11. Bambang Karyawan HB
12. Binhad Nurrohmat
13. Budi Elpiji
14. Budi P. Hatees
15. Christian Heru Cahyo Saputro
16. Dadang Ruhiyat
17. Dahta Gautama
18. Dina Oktaviani
19. Djuhardi Basri
20. Dyah Merta
21. Edy Samudra Kertagama
22. Elya Harda
23. Fitri Yani
24. Gunawan Pharikesit
25. Hasanuddin Z. Arifin
26. Hendra Z.
27. Hendri Rosevert
28. Iin Mutmainnah
29. Imas Sobariah
30. Inggit Putria Marga
31. Isbedy Stiawan ZS
32. Iswadi Pratama
33. Ivan Sumantri Bonang
34. Iwan Nurdaya-Djafar
35. Jimmy Maruli Alfian
36. Kuswinarto
37. Lupita Lukman
38. M. Arman AZ.
39. Maulana Suryaning Widy
40. M. Yunus
41. Naim Emel Prahana
42. Nersalya Renata
43. Oyos Saroso HN
44. Panji Utama
45. Rahmadi Lestari
46. Ratno Fadillah
47. Rifian A. Chepy
48. Sugandhi Putra
49. Sutarman Sutar
50. Sutjipto
51. Syaiful Irba Tanpaka
52. Tarpin A. Nasri
53. Thamrin Effendi
54. Ucok Hutasuhut
55. Udo Z. Karzi
56. Y. Wibowo
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
1. Agus S. Santo
2. Ahmad Rich
3. Ahmad Yulden Erwin
4. Alex R. Nainggolan
5. A.M. Zulqornain
6. Andriansyah
7. Anton Kurniawan
8. Ari Pahala Hutabarat
9. Aris Hadianto
10. Bahirul Al-Varizi
11. Bambang Karyawan HB
12. Binhad Nurrohmat
13. Budi Elpiji
14. Budi P. Hatees
15. Christian Heru Cahyo Saputro
16. Dadang Ruhiyat
17. Dahta Gautama
18. Dina Oktaviani
19. Djuhardi Basri
20. Dyah Merta
21. Edy Samudra Kertagama
22. Elya Harda
23. Fitri Yani
24. Gunawan Pharikesit
25. Hasanuddin Z. Arifin
26. Hendra Z.
27. Hendri Rosevert
28. Iin Mutmainnah
29. Imas Sobariah
30. Inggit Putria Marga
31. Isbedy Stiawan ZS
32. Iswadi Pratama
33. Ivan Sumantri Bonang
34. Iwan Nurdaya-Djafar
35. Jimmy Maruli Alfian
36. Kuswinarto
37. Lupita Lukman
38. M. Arman AZ.
39. Maulana Suryaning Widy
40. M. Yunus
41. Naim Emel Prahana
42. Nersalya Renata
43. Oyos Saroso HN
44. Panji Utama
45. Rahmadi Lestari
46. Ratno Fadillah
47. Rifian A. Chepy
48. Sugandhi Putra
49. Sutarman Sutar
50. Sutjipto
51. Syaiful Irba Tanpaka
52. Tarpin A. Nasri
53. Thamrin Effendi
54. Ucok Hutasuhut
55. Udo Z. Karzi
56. Y. Wibowo
Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Metafora Birahi Laut Dino Umahuk*
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.
Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam
2005
Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.
SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib
Banda Aceh, 20 Juni 2007
Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.
Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.
Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:
Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri
Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.
Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta
Oleh: Ahmadun Yosi Herfanda
Laut adalah lambang kehidupan yang dinamis. Birahi laut berarti dinamika kehidupan yang penuh gairah. Dan, begitulah kurang lebih sajak-sajak Dino Umahuk dalam buku kumpulan sajaknya, Metafora Birahi Laut (Lapena, 2008), penuh imaji kehidupan yang bergairah sekaligus bergejolak, dalam metafor-metafor yang unik.
Berbagai tema tentang kehidupan, interaksi antara manusia (sang penyair) dengan alam, dengan sesama manusia, dalam rasa cinta dan gairah untuk mereguknya, dirangkum sang penyair dalam sajak-sajaknya. Kadang-kadang terbersit rasa duka, derita, suka cita. Namun, semua dalam gairah cinta, untuk mereguk makna hidup sampai akarnya. Dan, kegairahan itu mengkristal dalam sajak “Metafora Birahi Laut” (hlm 63) yang dipilih menjadi judul buku ini.
Coba kita simak sajak tersebut:
MEPOTAFORA BIRAHI LAUT
Ini birahi tumbuh dari laut
Ketika ombak pasang
Dan badai melarungkan segumpal kemesraan
Ke dalam jasad yang bernama Adam
Ini birahi datang dari laut
Ketika langit merah saga
Dan senja melabuhkan dahaga ke dada
Laki-laki bernama anak Maluku
Ini puisi tak sekadar kata
Ia tumbuh berbunga mantera
Ketika musim telah tiba
Janji kan dia tunaikan di rahim perempuan
Ini cinta tidak biasa
Ia lahir dari birahi laut
Ketika ombak bersetubuh dengan pantai
Dan dupa menguap dari ketiak malam
2005
Dalam kegairahan seperti ‘birahi laut’ itu Dino tampak begitu lahap untuk menulis apa saja, yang sempat dijumpai dan menggoda imaji puitiknya sepanjang pengembaraannya, sepanjang petualangannya menaklukkan tantangan hidup yang keras, puncak gunung, dan perempuan. ‘’Puisi-puisi Dino lahir karena adanya kegalauan yang sangat manusiawi dalam menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi atau dia alami sendiri,’’ tulis Ikranegara pada pengantar pendeknya.
Karena kegairahannya itu Dino mencatat apa saja sepanjang petualangannya. Sejak persoalan politik sampai kegelisahan individualnya, sejak persoalan yang sekular sampai yang bernuansa religius seperti “Sajak Lautan Sajadah” (hlm 37). Dalam sajak ini, penyair yang dalam sajak ‘’Membunuh Tirani’’ (hlm 59) menyebut dirinya sebagai ‘’lelaki malam yang lahir dari bisa ular’’ – yang melihat kehidupan sebagai padang penaklukan yang menggairahkan --berubah menjadi manusia religius yang memandang kehidupan (lautan) sebagai hamparan sajadah untuk ‘’kembali’’ berserah diri pada-Nya.
Sangat menarik untuk menyimak sajak tersebut, sbb.
SAJAK LAUTAN SAJADAH
Lautan adalah hamparan sajadah menapaki makrifat-Mu
Di wajah kesadaran yang Kau titipkan lewat rinai hujan
Air mata meninggikan derajat beberapa doa
Malam adalah jerat antara surga dan neraka
Di antara huruf Kaf dan Nun yang menjelma gedung-gedung
Kebebalan serupa batu cadas yang luruh di tetesan wudhu
Pada penghabisan kesekian dari sujud di Kursi-Mu
Alif Lam Mim bersekutu sebagai janji
Sebagai Adam yang mentahmidkan cahaya
Lautan adalah hamparan huruf-huruf mengeja ayat-Mu
Seperti tangis yang menunggu di pintu rahim
Usai berikrar meniti nasib
Banda Aceh, 20 Juni 2007
Pada sajak lainnya yang bernuansa religius, yakni ‘’Ajari Aku membaca-Mu’’ (hlm 16), Dino terkesan tak kuasa, atau gagap, dalam membaca tanda-tanda kebesaran dan kehendak Tuhan. Fenomena alam adalah ayat-ayat Tuhan (sunatullah) yang tidak tertulis dan bertebaran seluas hamparan sajadah kehidupan, tapi tak semua orang mampu menangkap maknanya.
Maka, sang penyair petualang, Dino Umahuk, pun minta pada Tuhan agar diajari untuk membacanya. Sedang Tuhan, sejak turunnya wahyu pertama ke-Islaman, sudah memerintahkan pada manusia (melalui Nabi Muhammad SAW) untuk membacanya – iqra bismi rabbikalladzi khalaq! Perintah membaca yang memiliki pengertian sangat luas.
Membaca apapun – teks tertulis maupun teks alam dan kehidupan yang terhampar penuh kekerasan -- tanpa kemampuan untuk memahami maknanya, tanpa bekal kearifan untuk memaknainya, dapat juga mengundang rasa putus asa, frustrasi, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri, seperti terbersit pada sajak ‘’Agama Bunuh Diri’’ (yang ditulis pada tahun 1999, hlm 15) berikut ini:
Bila nanti siang kau shalat jumat
Barangkali di masjid Al-Fatah
Atau hari minggu nanti kau ikut kebaktian atau misa
Mungkin di gereja Maranatha mungkin di Keuskupan
Tolong tanyakan pada Muhammad dan Isa yang agung itu
Apakah mereka mengajarkan agama Tuhan
Agar kita saling membunuh?
Kalau memang demikian
Mengapa agama melarangku bunuh diri
Untunglah Dino tidak benar-benar bunuh diri karena memang dilarang oleh agama. Untunglah Dino akhirnya menyadari bahwa manusia memang bodoh dan fana, dan hanya Tuhan yang Maha Tahu segalanya, dan memang selayaknyalah dia minta diajari oleh-Nya, seperti tersirat dalam sajak “Ajari Aku membaca-Mu’’, yang ditulisnya pada Maret 2007, sehingga dia memahami bahwa alam dan kehidupan adalah hamparan sajadah panjang untuk ‘’kembali’’ pada-Nya, seperti tersurat pada ‘’Sajak Lautan Sajadah’’. Periode penciptaan 2007 agaknya periode ‘’kesadaran’’ bagi Dino, dan sajak-sajak yang ditulisnya rata-rata bernuansa religius.
Seberagam tema yang dikemas dalam sajak-sajaknya, beragam pula pola pengucapan sajak-sajak Dino. Ada sajak-sajak yang begitu lugas dan kurang puitis, seperti ‘’Agama Bunuh Diri’’ (hlm 15), ada sajak yang memiliki baris-baris yang tidak seimbang kepanjangannya (ada baris-baris panjang, ada baris-baris yang hanya satu dua kata) seperti ‘’Sajak Kelelawar’’ (hlm 36), ada pula sajak-sajak yang sangat indah, rapi, sekaligus puitis serta simbolik, seperti ‘’Sajak Lautan Sajadah’’ dan ‘’Metafora Birahi Laut’’.
Agaknya, seperti juga kebanyakan penyair lain, proses kepenyairan Dino Umahuk adalah juga proses pencarian – pencarian jati diri sekaligus pencarian pola estetik. Syukurlah, melalui pencarian panjang selama hampir 10 tahun (1999-2007), akhirnya Dino menemukan yang dicarinya: jati diri yang religius dan pola pengucapan yang rapi, imajis dan simbolik, dengan citraan-citraan alam yang puitis. Karena itu, selamat untuk Dino Umahuk. Semoga dapat ikut memberi makna positif bagi tradisi kepenyairan di Indonesia untuk saat ini dan selanjutnya.
Pamulang, Maret 2008
*Disampaikan pada acara Bedah buku kumpulan puisi Dino Umahuk Metafora Birahi Laut dan kongkow-kongkow sahabat pencinta puisi Forum Lingkar Pena (FLP) Sabtu 15 Maret 2008 di Perpustakaan Diknas, library@senayan Jakarta
Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.
Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.
Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.
Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.
Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.
Peta Bahasa-Budaya Lampung
Peta Bahasa-Budaya Lampung
Oleh Esai Udo Z. Karzi
"Esai Udo Z. Karzi Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Budi P. Hatees, Asarpin, dan Irfan Anshory yang melalui tulisan mereka telah merangsang saya untuk kembali berwisata bahasa-budaya Lampung. Banyak hal yang ingin saya tanggapi sebenarnya. Tapi, dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menuliskan sedikit pengetahuan yang sebisa mungkin mendasarkan pada referensi yang pernah ada. Satu hal yang ingin saya katakan, saya hanya praktisi bahasa Lampung yang barangkali tidak terlalu hirau dengan tata bahasa Lampung. Beberapa akademisi toh sudah melahirkan beberapa penelitian bahasa dan budaya Lampung. Perpustakaan Universitas Lampung bisa menjadi saksi dari berapa banyak penelitian tentang bahasa-budaya Lampung ini.
Bahasa MDMD Pilihan kata dalam Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD), saya pungut dari bahasa keseharian di sebuah tempat bernama Liwa. Beberapa kata, ada juga yang disunting dan 'diperbaiki' Irfan Anshory (Talangpadang) dan karena itu beberapa kosa kata Lampung Talangpadang masuk ke situ. Kata-kata yang saya gunakan juga bukan kata yang – ada yang bilang – bahasa Lampung tinggi. Ah, sebenarnya bahasa Lampung cukup demokratis dengan tidak membeda-bedakan mana bahasa kasar dan mana bahasa halus. Saya penutur asli bahasa Lampung di Liwa (nama marga/kecamatan) di Kabupaten Lampung Barat.
Ada semacam konvensi yang menjadi ciri khas varian (sub dari sub dari subnya lagi) bahasa Lampung; yang membuat bahasa Lampung Liwa menjadi 'berbeda' dibanding dengan kecamatan tetangganya Kecamatan Batu Brak dan Belalau; Kecamatan Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan; serta Kecamatan Sukau dan masuk ke wilayah Sumatera Selatan, bahasa Lampung Ranau. Belum lagi, kalau bahasa Lampung di luar Lampung Barat.
Kebiasaan ‘buruk’ orang Liwa adalah suka menyederhanakan kata bahasa Lampung dan membuatnya lebih gampang diucapkan. Misalnya, kata lawang (Pubian), luangan (Belalau) menjadi longan (gila); haku menjadi aku (kata saya); hamu menjadi amu (katamu); hani menjadi ani (katanya); haga menjadi aga (mau, ingin); kuwawa menjadi kawa (berani); radu menjadi adu (sudah); sinji menjadi inji (ini); dan sebagainya. Saya ingat misalnya, pernah bersitegang soal kata 'sulan'. Bagi orang Krui (calon Kabupaten Pesisir Barat), 'sulan' berarti tikar, tempat duduk, ditiduri juga boleh. Tapi bagi orang Liwa sulan berarti tempat tidur atau kasur. Sedangkan tikar disebut orang Liwa dengan 'jengan'. Ada lagi, 'culuk'. Di Liwa, 'culuk' dengan pengucapan yang berbeda bisa bermakna beda juga; bisa berarti tangan, bisa pula berarti korek api. Tapi di Sukau, korek api disebut 'kusut'. Sementara bahasa Pubian (Gedongtataan), 'culuk' malah berarti 'jari telunjuk'. Wah, sesama orang Lampung bisa saling menyesatkan kalau berbicara. Hahahaa... Bahasa Lampung Bahasa Lampung yang dituturkan di Liwa, hanya salah satu varian saja dari bahasa Lampung. Meskipun banyak sekali dialek dan subdialek bahasa Lampung, tidak bisa dinafikan bahasa Lampung itu sama: bahasa Lampung. Karena itu bahasa Abung, Tulangbawang, Komering, Ranau, Kayu Agung, Way Kanan, Cikoneng, dan sebagainya tetap memiliki hak yang sama untuk disebut sebagai bahasa Lampung. Dalam bahasa Sunda, ada awi (bambu), dalam bahasa Sumbawa terdapat punti (pisang), dalam bahasa Batak ada bulung (daun). Jika dalam bahasa Lampung terdapat pula awi, punti, dan bulung bukan berarti bahasa Lampung bahasa hibrida (nyontek dari mana-mana), tetapi ini berarti membuktikan bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik. Jadi, bukan Lampung nyontek Batak atau Batak nyontek Lampung, tetapi karena semuanya memang satu asal. Kemudian, Asarpin menyebutkan kata 'babai' untuk menunjukkan perempuan. Dalam soal ini Asarpin bisa keliru. Sebab, "babai" sebenarnya berarti menggendong/memomong anak. Yang dimaksudkan mungkin "bebai". Dalam bahasa Tagalog bebai berarti perempuan agung, hanya dipakai untuk menyebutkan perempuan yang terhormat. Bisa jadi ini arti aslinya dalam bahasa Austronesia purba. Bahasa Lampung memanggil ibu dengan ‘ina’ yang dalam bahasa Austronesia berarti 'orang diagungkan'. Jadi, agak gegabah jika Asarpin mengatakan bebai (perempuan) sama dengan babui (babi). Dalam buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), Prof. Dr. Slametmuljana tidak menyinggung-nyinggung bahasa Lampung. Mungkin dia tidak sempat meneliti bahasa Lampung. Dia membandingkan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan beberapa bahasa lain sama dengan bahasa-bahasa di Indocina (Khmer, Palaung, Shan, dan lain-lain). Slametmuljana tidak mengatakan bahasa-bahasa Nusantara mengambil dari mereka, tetapi dia membuktikan suku-suku Nusantara berasal dari sana satu akar dengan mereka (bukan meniru mereka); sesama ahli waris Austronesia purba. Istilah bahasa hibrid untuk bahasa Lampung harus ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiahnya. Bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu karena masih banyak menyimpan kosakata Austronesia purba. Dalam Perbendaharaam Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Pustaka Rakjat, Djakarta, 1956 hal 16-31), Prof. Dr. Otto Demwolff dari Jerman mendaftar kosakata yang dilestarikan bahasa Lampung: apui (api), bah (bawah), balak (besar), bingi (malam), buok (rambut), heni (pasir), hirung/irung (hidung), hulu/ulu (kepala), ina (ibu), ipon (gigi), iwa (ikan), luh (air mata), pedom (tidur), pira (berapa), pitu (tujuh), telu (tiga), walu (delapan), dan sebagainya. Di atas semua itu sebenarnya saya hendak mengatakan bahasa Lampung bisa modern, bergaya, dan berdaya. Tak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Bagi saya keberagaman bahasa Lampung toh justru memperkaya khazanah budaya Lampung. Kalaulah di Kota Bandar Lampung dan Metro kita sulit mendengar orang berbicara Lampung, maka satu-satunya jalan untuk mengenalkan orang (siswa) pada bahasa Lampung, ya harus dengan teks (tulisan). Lain soal kalau di kabupaten-kabupaten yang bahasa Lampungnya masih dituturkan sehari-hari. Aksara Kaganga Kalau Asarpin masih meragukan keaslian aksara Kaganga dan menduga sebagai asimilasi huruf Batak dan Bugis, saya justru mengatakan aksara Lampung, Batak dan Bugis memang bersaudara. Sebab, salah satu teori asal-usul suku Lampung menyebutkan suku Lampung memang mempunyai hubungan darah dengan Batak dan Bugis, di samping tentu saja Pagaruyung di Sumatera Barat. Aksara Lampung itu sebagaimana dipelajari siswa di sekolah sekarang ini sesungguhnya sudah beberapa kali mengalami proses pembakuan oleh akademisi dan para tetua adat. Terdapat 20 huruf induk yang bisa dihapal (seperti huruf Arab): ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gra.
Kalau diperhatikan, Lampung juga mengenal huruf r (ra), meski hampir tidak ada kata Lampung yang menggunakan huruf r. Lalu, huruf terakhir, ketika saya browsing saya malah menemukan huruf gra bukan kh atau gh. Sehingga, saya katakanlah sebagai pengguna jadi huruf, cukup mengernyitkan kening juga. Kok gra bukan kha atau gha yang sering diributkan selama ini. Soal huruf kh atau gh. Keputusan guru-guru bahasa Lampung sebenarnya membakukan dengan huruf gh bukan kh. Tapi, sampai sekarang tetap saja ada yang memakai kh. Ketika saya membaca buku Pelajaran Bahasa Lampung terbitan Gunung Pesagi, saya juga menemukan dualisme pemakaian huruf. Semua sebenarnya sudah diganti dengan gh, tetapi di beberapa tempat di buku-buku itu masih terselip huruf kh. Dan, sampai sekarang, masih saja terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai. Lalu, ketika saya pulang ke Liwa, saya kok tidak asing dengan orang Jawa yang pasih berbahasa Lampung. Ada yang berhasil bertutur hampir 100% dengan penutur asli bahasa Lampung, ada yang kedengaran tetap terasa dialek Jawanya, dan ada juga pasih berbahasa Lampung, tetapi tetap menggunakan huruf r dan tidak bisa mengucapkan huruf gh. Dengan melihat itu, saya pun memutuskan menuliskan huruf r menggantikan huruf gh itu. Tentu saja, dalam pelisanan perlu dijelaskan, bahwa r dibaca gh. Entah mengapa, pemakaian huruf r ini seperti mendapat pembenaran ketika Lampung Post yang bekerja sama dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila menyelenggarakan rubrik Pah Bubahasa Lampung (Ayo Berbahasa Lampung); secara konsisten memakai huruf r. Dengan argumen, satu huruf satu bunyi. Menyebut beberapa literatur seperti H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; dan Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; semua ilmuwan itu memakai r, bukan ch, kh atau gh. Dan, semuanya menyatakan kekagumannya terhadap bahasa Lampung yang memiliki aksara sendiri. Kata mereka, *****a sedikit suku-suku Nusantara yang memiliki aksara. Salah satunya yang memiliki aksara sendiri, yaitu bahasa Lampung. Menurut Irfan Anshory, penggunaan huruf r pada bahasa Lampung hanya masalah ejaan. Bukan mengubah fonem. Kalimat "radu ruwa rani mak ratong" tetap diucapkan seperti biasanya orang Lampung berbicara. Di Talangpadang dan beberapa tempat lain ejaan r sudah lama dipakai dalam penulisan adok (gelar), misalnya Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, dan lain-lain. Pemakaian huruf ejaan r justru mengembalikan ke bahasa Arab asli: riwayat, kabar, kursi, laher, sabar, water, bulan muharam, rejob, dan sebagainya. Ejaan kh dipakai dalam dalam menuliskan yang memang memakai ‘kha’ dalam bahasa Arab: akhir, khusus, khas, dan sebagainya. Budaya Lampung Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi (lihat: http://id.wikipedia.org). Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampungmiskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung. Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampungterpecah-pecah. Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin. Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi. Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung. Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan. Peta Bahasa-Budaya Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung Bengkulu. Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud sudah ada. Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana. Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain -- tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah. Pertanyaannya, siapakah yang akan menjalankan peran ini jika Unila saja menghapus Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung? n * Udo Z. Karzi, buku puisi Lampungnya, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) meraih Hadiah Sastera Rancage 2008 untuk kategori Sastra Lampungt. "
Oleh Esai Udo Z. Karzi
"Esai Udo Z. Karzi Sebelumnya, saya ingin berterima kasih kepada Budi P. Hatees, Asarpin, dan Irfan Anshory yang melalui tulisan mereka telah merangsang saya untuk kembali berwisata bahasa-budaya Lampung. Banyak hal yang ingin saya tanggapi sebenarnya. Tapi, dalam ruang yang terbatas ini, saya hanya ingin menuliskan sedikit pengetahuan yang sebisa mungkin mendasarkan pada referensi yang pernah ada. Satu hal yang ingin saya katakan, saya hanya praktisi bahasa Lampung yang barangkali tidak terlalu hirau dengan tata bahasa Lampung. Beberapa akademisi toh sudah melahirkan beberapa penelitian bahasa dan budaya Lampung. Perpustakaan Universitas Lampung bisa menjadi saksi dari berapa banyak penelitian tentang bahasa-budaya Lampung ini.
Bahasa MDMD Pilihan kata dalam Mak Dawah Mak Dibingi (MDMD), saya pungut dari bahasa keseharian di sebuah tempat bernama Liwa. Beberapa kata, ada juga yang disunting dan 'diperbaiki' Irfan Anshory (Talangpadang) dan karena itu beberapa kosa kata Lampung Talangpadang masuk ke situ. Kata-kata yang saya gunakan juga bukan kata yang – ada yang bilang – bahasa Lampung tinggi. Ah, sebenarnya bahasa Lampung cukup demokratis dengan tidak membeda-bedakan mana bahasa kasar dan mana bahasa halus. Saya penutur asli bahasa Lampung di Liwa (nama marga/kecamatan) di Kabupaten Lampung Barat.
Ada semacam konvensi yang menjadi ciri khas varian (sub dari sub dari subnya lagi) bahasa Lampung; yang membuat bahasa Lampung Liwa menjadi 'berbeda' dibanding dengan kecamatan tetangganya Kecamatan Batu Brak dan Belalau; Kecamatan Pesisir Tengah, Utara, dan Selatan; serta Kecamatan Sukau dan masuk ke wilayah Sumatera Selatan, bahasa Lampung Ranau. Belum lagi, kalau bahasa Lampung di luar Lampung Barat.
Kebiasaan ‘buruk’ orang Liwa adalah suka menyederhanakan kata bahasa Lampung dan membuatnya lebih gampang diucapkan. Misalnya, kata lawang (Pubian), luangan (Belalau) menjadi longan (gila); haku menjadi aku (kata saya); hamu menjadi amu (katamu); hani menjadi ani (katanya); haga menjadi aga (mau, ingin); kuwawa menjadi kawa (berani); radu menjadi adu (sudah); sinji menjadi inji (ini); dan sebagainya. Saya ingat misalnya, pernah bersitegang soal kata 'sulan'. Bagi orang Krui (calon Kabupaten Pesisir Barat), 'sulan' berarti tikar, tempat duduk, ditiduri juga boleh. Tapi bagi orang Liwa sulan berarti tempat tidur atau kasur. Sedangkan tikar disebut orang Liwa dengan 'jengan'. Ada lagi, 'culuk'. Di Liwa, 'culuk' dengan pengucapan yang berbeda bisa bermakna beda juga; bisa berarti tangan, bisa pula berarti korek api. Tapi di Sukau, korek api disebut 'kusut'. Sementara bahasa Pubian (Gedongtataan), 'culuk' malah berarti 'jari telunjuk'. Wah, sesama orang Lampung bisa saling menyesatkan kalau berbicara. Hahahaa... Bahasa Lampung Bahasa Lampung yang dituturkan di Liwa, hanya salah satu varian saja dari bahasa Lampung. Meskipun banyak sekali dialek dan subdialek bahasa Lampung, tidak bisa dinafikan bahasa Lampung itu sama: bahasa Lampung. Karena itu bahasa Abung, Tulangbawang, Komering, Ranau, Kayu Agung, Way Kanan, Cikoneng, dan sebagainya tetap memiliki hak yang sama untuk disebut sebagai bahasa Lampung. Dalam bahasa Sunda, ada awi (bambu), dalam bahasa Sumbawa terdapat punti (pisang), dalam bahasa Batak ada bulung (daun). Jika dalam bahasa Lampung terdapat pula awi, punti, dan bulung bukan berarti bahasa Lampung bahasa hibrida (nyontek dari mana-mana), tetapi ini berarti membuktikan bahasa-bahasa Nusantara memang satu rumpun, yaitu rumpun Austronesia dari Madagaskar sampai pulau-pulau di Pasifik. Jadi, bukan Lampung nyontek Batak atau Batak nyontek Lampung, tetapi karena semuanya memang satu asal. Kemudian, Asarpin menyebutkan kata 'babai' untuk menunjukkan perempuan. Dalam soal ini Asarpin bisa keliru. Sebab, "babai" sebenarnya berarti menggendong/memomong anak. Yang dimaksudkan mungkin "bebai". Dalam bahasa Tagalog bebai berarti perempuan agung, hanya dipakai untuk menyebutkan perempuan yang terhormat. Bisa jadi ini arti aslinya dalam bahasa Austronesia purba. Bahasa Lampung memanggil ibu dengan ‘ina’ yang dalam bahasa Austronesia berarti 'orang diagungkan'. Jadi, agak gegabah jika Asarpin mengatakan bebai (perempuan) sama dengan babui (babi). Dalam buku Asal Bangsa dan Bahasa Nusantara (Balai Pustaka, 1964), Prof. Dr. Slametmuljana tidak menyinggung-nyinggung bahasa Lampung. Mungkin dia tidak sempat meneliti bahasa Lampung. Dia membandingkan bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan beberapa bahasa lain sama dengan bahasa-bahasa di Indocina (Khmer, Palaung, Shan, dan lain-lain). Slametmuljana tidak mengatakan bahasa-bahasa Nusantara mengambil dari mereka, tetapi dia membuktikan suku-suku Nusantara berasal dari sana satu akar dengan mereka (bukan meniru mereka); sesama ahli waris Austronesia purba. Istilah bahasa hibrid untuk bahasa Lampung harus ditolak karena tidak memiliki dasar ilmiahnya. Bahasa Lampung tergolong bahasa tua dalam rumpun Melayu karena masih banyak menyimpan kosakata Austronesia purba. Dalam Perbendaharaam Kata-kata dalam Berbagai Bahasa Polinesia, Pustaka Rakjat, Djakarta, 1956 hal 16-31), Prof. Dr. Otto Demwolff dari Jerman mendaftar kosakata yang dilestarikan bahasa Lampung: apui (api), bah (bawah), balak (besar), bingi (malam), buok (rambut), heni (pasir), hirung/irung (hidung), hulu/ulu (kepala), ina (ibu), ipon (gigi), iwa (ikan), luh (air mata), pedom (tidur), pira (berapa), pitu (tujuh), telu (tiga), walu (delapan), dan sebagainya. Di atas semua itu sebenarnya saya hendak mengatakan bahasa Lampung bisa modern, bergaya, dan berdaya. Tak hanya lisan, tetapi juga tulisan. Bagi saya keberagaman bahasa Lampung toh justru memperkaya khazanah budaya Lampung. Kalaulah di Kota Bandar Lampung dan Metro kita sulit mendengar orang berbicara Lampung, maka satu-satunya jalan untuk mengenalkan orang (siswa) pada bahasa Lampung, ya harus dengan teks (tulisan). Lain soal kalau di kabupaten-kabupaten yang bahasa Lampungnya masih dituturkan sehari-hari. Aksara Kaganga Kalau Asarpin masih meragukan keaslian aksara Kaganga dan menduga sebagai asimilasi huruf Batak dan Bugis, saya justru mengatakan aksara Lampung, Batak dan Bugis memang bersaudara. Sebab, salah satu teori asal-usul suku Lampung menyebutkan suku Lampung memang mempunyai hubungan darah dengan Batak dan Bugis, di samping tentu saja Pagaruyung di Sumatera Barat. Aksara Lampung itu sebagaimana dipelajari siswa di sekolah sekarang ini sesungguhnya sudah beberapa kali mengalami proses pembakuan oleh akademisi dan para tetua adat. Terdapat 20 huruf induk yang bisa dihapal (seperti huruf Arab): ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gra.
Kalau diperhatikan, Lampung juga mengenal huruf r (ra), meski hampir tidak ada kata Lampung yang menggunakan huruf r. Lalu, huruf terakhir, ketika saya browsing saya malah menemukan huruf gra bukan kh atau gh. Sehingga, saya katakanlah sebagai pengguna jadi huruf, cukup mengernyitkan kening juga. Kok gra bukan kha atau gha yang sering diributkan selama ini. Soal huruf kh atau gh. Keputusan guru-guru bahasa Lampung sebenarnya membakukan dengan huruf gh bukan kh. Tapi, sampai sekarang tetap saja ada yang memakai kh. Ketika saya membaca buku Pelajaran Bahasa Lampung terbitan Gunung Pesagi, saya juga menemukan dualisme pemakaian huruf. Semua sebenarnya sudah diganti dengan gh, tetapi di beberapa tempat di buku-buku itu masih terselip huruf kh. Dan, sampai sekarang, masih saja terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai. Lalu, ketika saya pulang ke Liwa, saya kok tidak asing dengan orang Jawa yang pasih berbahasa Lampung. Ada yang berhasil bertutur hampir 100% dengan penutur asli bahasa Lampung, ada yang kedengaran tetap terasa dialek Jawanya, dan ada juga pasih berbahasa Lampung, tetapi tetap menggunakan huruf r dan tidak bisa mengucapkan huruf gh. Dengan melihat itu, saya pun memutuskan menuliskan huruf r menggantikan huruf gh itu. Tentu saja, dalam pelisanan perlu dijelaskan, bahwa r dibaca gh. Entah mengapa, pemakaian huruf r ini seperti mendapat pembenaran ketika Lampung Post yang bekerja sama dengan Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung FKIP Unila menyelenggarakan rubrik Pah Bubahasa Lampung (Ayo Berbahasa Lampung); secara konsisten memakai huruf r. Dengan argumen, satu huruf satu bunyi. Menyebut beberapa literatur seperti H. N. van der Tuuk, “Het Lampongsch en Zijne Tongvallen”, TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), deel 18, 1872, pp. 118-156; C. A. van Ophuijsen, “Lampongsche Dwerghert-Verhalen”, BKI (Bijdragen Koninklijk Instituut), deel 46, 1896, pp. 109-142; dan Dale Franklin Walker, “A Grammar of the Lampung Language”, Ph.D. Thesis, Cornell University, 1973; semua ilmuwan itu memakai r, bukan ch, kh atau gh. Dan, semuanya menyatakan kekagumannya terhadap bahasa Lampung yang memiliki aksara sendiri. Kata mereka, *****a sedikit suku-suku Nusantara yang memiliki aksara. Salah satunya yang memiliki aksara sendiri, yaitu bahasa Lampung. Menurut Irfan Anshory, penggunaan huruf r pada bahasa Lampung hanya masalah ejaan. Bukan mengubah fonem. Kalimat "radu ruwa rani mak ratong" tetap diucapkan seperti biasanya orang Lampung berbicara. Di Talangpadang dan beberapa tempat lain ejaan r sudah lama dipakai dalam penulisan adok (gelar), misalnya Radin Surya Marga, Minak Perbasa, Kimas Putera, dan lain-lain. Pemakaian huruf ejaan r justru mengembalikan ke bahasa Arab asli: riwayat, kabar, kursi, laher, sabar, water, bulan muharam, rejob, dan sebagainya. Ejaan kh dipakai dalam dalam menuliskan yang memang memakai ‘kha’ dalam bahasa Arab: akhir, khusus, khas, dan sebagainya. Budaya Lampung Lampung sebagai sebuah nama sesungguhnya bermakna ambigu. Namun setidaknya, ada empat nama yang bisa dilekatkan pada Lampung itu: suku, bahasa, budaya, dan provinsi (lihat: http://id.wikipedia.org). Kalau kita bicara Provinsi Lampung, akan lebih mudah merumuskannya. Namun, kalau hendak membahas suku, bahasa, dan budaya Lampung, maka sungguh sulit. Buku Adat Istiadat Lampung yang disusun Prof Hilman Hadikusuma dkk (1983), akan terasa sangat minim untuk memahami Lampung secara kultural. Sampai saat ini, relatif belum ada yang berhasil memberikan gambaran yang menyeluruh, sistematis, dan meyakinkan tentang kebudayaan Lampung. Kebudayaan Lampungmiskin telaah, riset, dan studi. Yang paling banyak lebih berupa klaim atau sebaliknya, malah upaya untuk meniadakan atau setidaknya mengerdilkan kebudayaan Lampung. Bahasa-budaya Lampung sesungguhnya tidak sama dan sebangun dengan Provinsi Lampung. Secara geografis, yang disebutkan sebagai wilayah penutur bahasa Lampung dan pendukung kebudayaan Lampung itu ada di empat provinsi, yaitu Lampung sendiri, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Banten. Ini bisa dilihat dari beberapa pendapat yang membuat kategorisasi masyarakat adat Lampung. Kategorisasi atau pembagian sebenarnya penting untuk studi (ilmiah) dan bukannya malah membuat orang Lampungterpecah-pecah. Secara garis besar masyarakat adat Lampung terbagi dua, yaitu masyarakat adat Lampung Pepadun dan masyarakat adat Lampung Sebatin. Masyarakat beradat Pepadun terdiri dari: Pertama, Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi. Kedua, Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga. Ketiga, Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung. Keempat, Sungkay-WayKanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay-WayKanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Belambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui. Sedangkan masyarakat beradat Sebatin terdiri dari: Pertama, Peminggir Paksi Pak (Ratu Tundunan, Ratu Belunguh, Ratu Nyerupa, Ratu Bejalan di Way). Kedua, Komering-Kayuagung, yang sekarang termasuk Propinsi Sumatera Selatan. Masyarakat Peminggir mendiami sebelas wilayah adat: Kalianda, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semangka, Belalau, Liwa, dan Ranau. Lampung Sebatin juga dinamai Peminggir karena mereka berada di pinggir pantai barat dan selatan. Peta Bahasa-Budaya Dari kategorisasi itu, terlihat ada Ranau, Komering, dan Kayu Agung di wilayah Provinsi Sumatera Selatan yang sejatinya orang Lampung (beretnis Lampung). Di Provinsi Banten ada wilayah Cikoneng yang beretnis Lampung dan bertutur dengan bahasa Lampung. Satu lagi, yang agaknya perlu penelitian, di Bengkulu ada wilayah yang bertutur dengan bahasa Lampung. Mereka menyebut diri Lampung Bengkulu. Dengan demikian, peta Provinsi Lampung tidak akan memadai untuk membicarakan, termasuk memberdayakan dan mengembangkan, bahasa-budaya Lampung. Untuk bisa melihat Lampung secara utuh dalam pengertian suku, bahasa, dan budaya yang dibutuhkan adalah peta bahasa-budaya Lampung. Sebenarnya, tidak perlu membuat yang baru karena sebenarnya peta dimaksud sudah ada. Kebudayaan Lampung itu riil, misalnya mewujud dalam tubuh suku Lampung, sistem kebahasaan, keberaksaraan, adat-istiadat, kebiasaan, dan sebagainya. Jadi, tidak perlu merasa rendah diri mengatakan tidak ada kebudayaan Lampung atau kebudayaan Lampung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh kebudayaan lain, sehingga tidak tampak lagi kebudayaan Lampung itu yang mana. Yang terjadi adalah selalu ada tendensi untuk meniadakan atau setidaknya membonsai bahasa-budaya Lampung. Kalaulah bahasa-budaya Lampung itu relatif tidak dikenal dan sering luput dari perbincangan di tingkat nasional; katakanlah di banding dengan budaya Jawa, Sunda, Minang, Batak, Bugis, Bali, Dayak, dan lain-lain -- tidak lain tidak bukan karena relatif belum ada kajian dan ilmuwan yang mampu membedah kebudayaan Lampung secara lebih komprehensif, sistematis, dan tentu saja ilmiah. Pertanyaannya, siapakah yang akan menjalankan peran ini jika Unila saja menghapus Program Studi Bahasa dan Sastra Lampung? n * Udo Z. Karzi, buku puisi Lampungnya, Mak Dawah Mak Dibingi (2007) meraih Hadiah Sastera Rancage 2008 untuk kategori Sastra Lampungt. "
Langganan:
Postingan (Atom)