Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).
Sastra Lampung Punah
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional , misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung.
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia:
Sabtu, 20 September 2008
Defemiliarisasi Tari Bedana
Defemiliarisasi Tari Bedana
Dalam acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remik, dangdut, poco- poco, cha- cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ! Mustahil rasanya untuk memilih, “Tari Bedana aja!” Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, “apa sih Tari Bedana itu?”
DO YOU KNOW? Tari Bedana adalah perwujudan luapan suka cita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas- batas tertentu ketika menari diiringi gamelon khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah- lembah hijau di bawah kaki gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang. Estetika Tari Bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung Tari Bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing “begitu ingin” larut dalam tari.
Tari Bedana yang diyakini bernafaskan keislaman ini merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Terdapat nilai akulturasi antara tata cara atau pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan berpegang teguh pada aturan Islam.
Budaya dengan unsur spiritualistik memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi_ meminjam bahasa Edward W. Said_ imperealisme kebudayaan, yang tertuang dalam bukunya “Kebudayaan dan Kekuasaan.” Sebelum sampai pada defenisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap agar kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, anti modernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al- turats atau tradisi diteliti dan diinventarisir.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian Tari Bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada Tari Bedana yang familiar dikonsumsi publik saat ini. Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar- benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan Tari Bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis- filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense). Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan.
Sebab maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang idealnya; berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally). Bukan sebaliknya. Karena pengaruh itulah Tari Bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransement dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika Tari Bedana kurang bagus untuk acara pesta muda- mudi nikahan tetangga atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogyanya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi. Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti Tari Komando misalnya, yang semua anak Pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian Tari Bedana bukan persoalan.
Tafsir dari Khesek Gantung ke Gantung
Seni islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial- budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika. Yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan. Sekarang ini Tari Bedana boleh terkesan ndeso, kampungan, atau ketinggalan zaman dibanding seni tari modern semacam cha- cha, dansa, dll (yang juga tari tradisi Brazil dan Inggris). Akan tetapi menurut prediksi Kuntowijoyo tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial- budaya berbasis kesadaran keagamaan. Keniscayaan dan jangan heran jika nanti Tari Bedana sebagai icon dan jenis tarian pavorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan faham Tari Bedana semakin langka.
Kalau boleh ditafsirkan, konseptual gerak Tari Bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang- gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama- sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu nafas islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ke tiga, sebuah pembangkangan kultural atau defemiliarisasi yang menarik. Akan tetapi setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi ke dua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudhu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan. Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan wudhu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik, terkait pada hipotesa ini terbuka ruang dialogis yang interpretatif. Tari Bedana memang tidak seterkenal poco- poco, hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khasanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi. Ini kemudian berimbas pada sosialisasi.
Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (kurang berakar) pada keramahan seni tradisi.
Logikanya adalah, kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensivitas publik yang banyak dipecundangi nafsu. Tetapi metodologis profetik yang digunakan untuk penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat. Utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CDnya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget takberaturan, lebih parah Orgen(an) dengan lagu Goyang Dombret, dimana sang biduanita bergoyang ke arah mikrofonnya dan disaksikan anak- anak usia sekolah. Ironinya lagi, hajatan itu dirumah tokoh adat Lampung! Diposting oleh KangEndri-Lampung
Dalam acara pesta muda mudi, ketika disuruh berdiri kemudian memilih musik untuk bergembira dan menari, apa yang akan Anda pilih? Pasti mengemuka pilihan; disko, remik, dangdut, poco- poco, cha- cha, ska, atau justru meneriakkan terserah DJ! Mustahil rasanya untuk memilih, “Tari Bedana aja!” Bahkan ketika pertanyaannya dibuat pilihan ganda sekalipun, mungkin malah muncul pertanyaan, “apa sih Tari Bedana itu?”
DO YOU KNOW? Tari Bedana adalah perwujudan luapan suka cita atas wiraga (gerak badan) untuk mencapai ekstase, dalam batas- batas tertentu ketika menari diiringi gamelon khasnya, jiwa kita seperti mengembarai lembah- lembah hijau di bawah kaki gunung Rajabasa, semua berubah indah. Riang. Estetika Tari Bedana membuat kedirian kita berasa selalu muda. Penuh antusiasme. Dan pada kesempatan lain, ketika menyaksikan langsung Tari Bedana dipentaskan dengan sunggingan senyum manis muli-mekhanai, kita serasa diguyur air pegunungan yang atis. Secara otomatis terpancing “begitu ingin” larut dalam tari.
Tari Bedana yang diyakini bernafaskan keislaman ini merupakan tari tradisional, mencerminkan tata kehidupan masyarakat Lampung yang ramah dan terbuka sebagai simbol persahabatan dan pergaulan. Terdapat nilai akulturasi antara tata cara atau pranata sosio- kultural adat gaul anak muda Lampung dengan berpegang teguh pada aturan Islam.
Budaya dengan unsur spiritualistik memiliki aspek lokalitas, mulai menjadi kebutuhan terpenting untuk membentengi_ meminjam bahasa Edward W. Said_ imperealisme kebudayaan, yang tertuang dalam bukunya “Kebudayaan dan Kekuasaan.” Sebelum sampai pada defenisi tentang seni Islam, perlu kiranya kita merujuk pada khazanah lama yang positif agar tidak terjebak pada nativisme budaya.
Penulis berharap agar kekayaan budaya Lampung, selain tidak ambigu, anti modernitas, dan terpenting jangan sampai budaya itu terputus. Kekhawatiran pada keterputusan budaya (cultural discontinuity) ini, perlu dirumuskan sistematika pelestarian yang terukur dan efektif. Dari sinilah permulaan dibutuhkannya al- turats atau tradisi diteliti dan diinventarisir.
Fundamen pemikiran untuk pelestarian Tari Bedana, termasuk semua khazanah budaya Lampung yang lain, secara kritis harus memperhitungkan pertama, oublie (yang dilupakan). Terkait pencermatan pada pertanyaan adakah yang dilupakan dalam ragam gerak yang terstruktur pada Tari Bedana yang familiar dikonsumsi publik saat ini. Ragam satu sampai sembilan dengan komposisi gerakan; khesek gantung, khesek injing, tahtim dan penghormatan, jimpang, ayun, humbak moloh, belitut, gelek, dan gantung adalah ragam struktur gerak elegan, tetapi masih perlu kajian empirik untuk benar- benar membuktikan tidak ada yang dilupakan.
Masuk pada pertanyaan kritis kedua, travesty atau adakah yang dipalsukan dalam gerakan Tari Bedana? Dari sini sebenarnya penulis berusaha mengkaji fungsinya secara ideologis- filosofis. Maka refleksi dari yang dilupakan dan yang dipalsukan itulah pisau analitik sebagai alat untuk sampai pada keindahan yang lain yang belum terpikirkan (impense). Sangat terbuka ruang kontemplatif agar embrional keramahan budaya lokal dapat lebih mempertegas bangunan peradaban Lampung di masa depan.
Sebab maraknya seni budaya yang diarahkan atau mengekor pada westernisasi, bahkan diadopsi secara sporadis, meminjam ramalan John Neisbit tentang kemungkinan yang terjadi pada banyak orang akibat derasnya arus informasi dan komunikasi tentang idealnya; berpikir secara lokal, bertindak secara global (think locally, act globally). Bukan sebaliknya. Karena pengaruh itulah Tari Bedana dipastikan tergeser oleh seni koreografi (seni kontemporer) lain yang lebih terkesan modern misalnya; ciliders, dance, aerobic, dan lain sebagainya. Berikut dentingan gamelan khas yang mengiringinya, mungkinkah agar eksis perlu aransement dan atau ditambah alat musik modern jika dinilai bebunyiannya terlalu kolot, ndesit, dan ortodoks?
Bahkan sebenarnya paradigma yang stigmatis, ketika Tari Bedana kurang bagus untuk acara pesta muda- mudi nikahan tetangga atau tari latar lagu pop alternatif. Tari Bedana dengan konsep keramahan budaya lokal seyogyanya dapat membentengi atau minimal menjadi alternatif seni koreografi. Persoalannya adalah sejauh mana tingkat sosialisasi dan berapa banyak anak muda yang menguasai wiraga itu? Seandainya seperti Tari Komando misalnya, yang semua anak Pramuka dari penggalang, penegak, sampai pandega begitu fasih menguasai gerakan berikut improvisasi dengan iringan musik apa pun, mungkin kelestarian Tari Bedana bukan persoalan.
Tafsir dari Khesek Gantung ke Gantung
Seni islam, dari defenisinya terlalu membuat bias, cenderung dikotomis. Maka meminjam motodologi almarhum Prof. Dr. Kuntowijoyo terkait dengan budaya profetik, sebuah strategi sosial- budaya dengan meletakkan tradisi lokal dalam muatan nilai keislaman agar manunggal sebagai nafas estetika. Yaitu sisi lain keindahan dan kebenaran yang mengajak ke jalan Tuhan. Sekarang ini Tari Bedana boleh terkesan ndeso, kampungan, atau ketinggalan zaman dibanding seni tari modern semacam cha- cha, dansa, dll (yang juga tari tradisi Brazil dan Inggris). Akan tetapi menurut prediksi Kuntowijoyo tahun 2020 adalah titik pangkal realisasi ide jika strategi profetik berhasil merealisasi program seni kemanusiaan sebagai kelanjutan dari berbagai aksi pembaharuan sosial- budaya berbasis kesadaran keagamaan. Keniscayaan dan jangan heran jika nanti Tari Bedana sebagai icon dan jenis tarian pavorit pengiring gembira. Padahal orang yang menguasai dan faham Tari Bedana semakin langka.
Kalau boleh ditafsirkan, konseptual gerak Tari Bedana dari ragam satu; kehesek gantung sampai pada ragam sembilan sebagai gerak penutup yang bernama gantung, memiliki makna keramahan dan kebahagiaan hidup. Sekaligus mengandung aspek moral tata laku antara bujang- gadis, berinteraksi saling melempar senyum tetapi tidak bersentuhan, bahkan tidak saling menatap atau implisit sama- sama menundukkan pandangan (ghodob absor), anggun dan santun, barangkali inilah salah satu nafas islam dalam Tari Bedana.
Selain itu, prosesi tahtim dan penghormatan yang terletak pada posisi ragam ke tiga, sebuah pembangkangan kultural atau defemiliarisasi yang menarik. Akan tetapi setelah mencermati lebih lanjut, sebelum ragam khesek injing pada posisi ke dua, gerakan khesek gantung menggambarkan aturan wudhu, arena bersuci untuk sampai pada ritual ibadah penyembahan pada Tuhan. Lihatlah ketika memutar tangan (khesek gantung) yang kemudian mengayunkan tangan. Di sini tahtim dan penghormatan (seolah mengusap wajah) menjadi sinergi untuk gerakan wudhu.
Dalam kerangka filosofis, tari ini mengandung keagungan profetik, terkait pada hipotesa ini terbuka ruang dialogis yang interpretatif. Tari Bedana memang tidak seterkenal poco- poco, hal ini didasari, selain intensitas manggung, kecintaan pada khasanah budaya lokal kita sebagai masyarakat Lampung layak dikritisi. Ini kemudian berimbas pada sosialisasi.
Masuk juga produksi karya berkesenian para seniman kita yang tidak (kurang berakar) pada keramahan seni tradisi.
Logikanya adalah, kekuatan seni yang berbasiskan kearifan budaya lokal dengan sentuhan nilai islami ternyata sulit mendapat tempat karena bersentuhan dengan sensivitas publik yang banyak dipecundangi nafsu. Tetapi metodologis profetik yang digunakan untuk penafsiran budaya, sebenarnya juga sudah menjadi ilmu alat mengkaji apakah seni ini mengajak pada ketuhanan atau mengajak pada penjajaan syahwat. Utamanya lagu- lagu dangdut atau pop Lampung dalam video CDnya, kenapa tak berlatar Tari Bedana? Lebih penting, pesta muda mudi ketika ada pernikahan, kenapa tidak menari Bedana saja ketimbang joget takberaturan, lebih parah Orgen(an) dengan lagu Goyang Dombret, dimana sang biduanita bergoyang ke arah mikrofonnya dan disaksikan anak- anak usia sekolah. Ironinya lagi, hajatan itu dirumah tokoh adat Lampung! Diposting oleh KangEndri-Lampung
Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Komunitas dan Blog Sastra dalam Ruang Imajiner
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.
Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.
Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.
Memperbincangkan sastra, selalu terbuka ruang dialogis bahkan dialektika. Sebab, dimensi kasusastraan dalam konteks penciptaan terpaut antara dunia yang nyata dan dunia yang maya.
Blog, baik itu di blogspot, multiply, wordpress, FS, dan semacamnya, menjadi bentuk komunikasi baru di tengah maraknya bacaan masyarakat. Arena ekspresi dan luapan rasa kedirian serta kemauan dan kemampuan menulis/ berpose sepuas- semaunya. Kini blog berkembang luar biasa pesat, diminati, dan dijamin “bebas” tanpa pembredelan.
Bahkan, pemerintah sudah menetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Tidak tanggung- tanggung, peresmiannya dilakukan oleh Menteri Negara Komunikasi dan Informatika (Meneg Kominfo) Muhammad Nuh, di hadapan 500 peserta Pesta Blogger 2007.
Saat ini hampir semua orang dengan berbagai profesi, sudah memiliki blog pribadi. Dunia maya (cyberspace) adalah dunia tanpa batas dan bisa memberi peluang kepada siapa pun untuk berkarya. Ada semacam kesan bahwa blog adalah pelarian bagi mereka yang sering dikecewakan oleh dunia cetak, komunitas sastra dunia maya terus tumbuh subur, blog dan website pribadi tak henti bermunculan dan secara rutin menampilkan karya-karya sastra si empunya.
Bukan hanya para penulis pemula, kaum muda, dan remaja saja. Tetapi sekelas Gonawan Mohamad, Joko Pinurbo, Sujiwo Tejo, Putu Wijaya, Helvy Tiana Rosa, Dewi Lestari, Emha, Seno Gumira Ajidarma, dan lain- lain semua punya alamat blog sendiri, meski ada yang dibikinkan atau dikelola orang lain. Ada kabar, film Ayat- Ayat Cinta, mampu memberikan bius untuk ditonton karena Hanung Bramantyo, sutradaranya sangat rutin memberikan deskripsi dan narasi pembuatan filmnya melalui blog di multiply.com, yang menurut penulis juga, sebuah doktrin untuk kita semakin penasaran pada film- film Hanun. Sedangkan komunitas, juga mendapatkan ruang apresiasi dalam manifestasi teks diwujudkan dengan bentuk Kongres Komunitas Sastra Indonesia, yang sudah membuat semarak peta sastra nasional. Pada perbincangan tentang komunitas sastra yang digelar Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus, Jawa Tengah, pada 19- 21 Januari 2008 lalu bertema Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia. Secara otomatis, komunitas, sebagai bagian integral dari kemunculan sastra menjadi perhatian serius.
Term berpikir saat ini mengarah, jika bernaung dalam wadah komunitas sastra menjadi oase prospek serta kegandrungan tersendiri di kalangan sastrawan (apalagi) sastrawan- sastrawan muda (atau yang baru mau jadi sastrawan). Sebagai langkah menjanjikan untuk produktifitas dan pangsa pasar karyanya.
Minimal membuat jejaring untuk ikutan nongol menyabet status sastrawan. Tentu saja jika disepakati sastrawan adalah juga profesi yang dapat membuat strata sosial seseorang terangkat. Yah, minimal tidak disebut pengangguran intelektual. Ada beberapa teman yang saya sendiri belum pernah membaca karyanya (dalam bentuk buku tentu saja), di KTP status pekerjaanya tertulis, “sastrawan”. Duh, risih rasanya telinga ketika ada yang menyebut secara narsis, “saya sastrawan”. Langsung ingat teman yang lucu dan imut- imut akibat nyentrik- kenesnya merendahkan kasta sakral seorang sastrawan. Yang memperoleh gelar mulia itu dengan bermodal kongkow- kongkow saja dalam komunitas sastrawan.
Blog (masuk di dalamnya media cetak yang menampung sastra) dan komunitas adalah proses penelusuran berkarya untuk menemukan makna (the meaning) memang, tetapi dalam relevansinya dengan sastra yang lahir dari blog dan komunitas, sebenarnya hanyalah ruang kosong hampa makna. Keduanya terarah secara sistemik untuk “menjadi” tokoh imajiner dari pikiran kosongnya sendiri. Tak jarang, karyanya kemudian sekedar menjadi teks cacimaki dan tumpukan keluh, kata hati norak.
Ada jebakan keterasingan dan semakin asketis, asosial, dan kesunyian dalam dunia nge-blog-nya. Ada dunia kecongkakan, eksklusif, ego sektoral, megalomaniak, dan metagila dalam ber-komunitas-nya. Blog dan komunitas, memiliki titik dan semangat membahayakan eksistensi sastra baik itu teks ataupun nilainya.
Peta sastra, jika dilakukan melalui komunitas seringkali terjebak pada siapa pengarangnya dan dimana aktifnya dengan menisbikan karya. Sedangkan jika melalui blog, yang lahir adalah kebinalan dan kegenitan sastra yang tendensius pada kefrustasiannya. Maka blog dan komunitas, seyogyanya hanya diletakan pada pijakan awal, sebagai media kontemplasi dan promosi, bukan penegasan peta sebuah karya sastra. Sebab dikhawatirkan.
yang ada dan dihadirkan hanyalah “kepentingan” kedirian yang naïf, imajiner, dan utopis, sedangkan yang real tergusur ke tombol del- recycle bin. Dan pada akhirnya empty recycle bin sastra berkualitas. Apalagi alasannya hanya karena tak punya blog dan tidak aktif berkomunitas.
Sastra itu Bertugas
Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra dari Chili, menegaskan bahwa para sastrawan adalah pendidik bangsa. Ejawantah dari kekuatan sastra dalam rangka praksis- sosial, ditransformasikan oleh Pramudya Ananta Tour dalam kalimat yang tajam yakni, sastra itu bertugas, mempunyai fungsi praktis.
Konsekwensi dari paham pemegang mandat “pendidik” hingga “bertugas” itulah, para sastrawan mulai aktif dalam komunitas- komunitas. Saat ini, setelah dominasi sastra koran (mungkin masih, sebab belum ada kajian intensif yang mencabut postulat itu) yang sebelumnya termediasi hanya dalam ranah cetakan berbentuk jurnal dan buku, muncul blog dalam rangka kreatifitas interpersonal untuk melawan dominasi media cetak. Jika ditilik kajian historis kesusastraan sekarang, parade diskusi yang mensosialisasikan cyberspace, bahkan diskusi maya (mailing list) belakangan ini diramaikan dengan blog dan komunitas. Inilah kemudian yang penulis maksud, mengarah pada peniadaan bahwa sastra itu bertugas.
Canon Sastra yang Membias
Canon sebagai peta arah rujukan perkembangan sastra, lantaran tenggelam pada isu komunitas dan blog, alat ukur baru pemetaan sastra semakin kabur dan bias. Dan semua yang terkait dalam sejarah sastra yang benar pun, masih menjadi polemik tak berkesudahan.
Menariknya, polemik itu jarang sekali yang serius berbasiskan kekuatan teks, melainkan sekedar ungkapan tendensius pada proses membenarkan diri (baca; komunitasnya) dan menyalahkan yang di luar dirinya. Parahnya lagi, jika ada unsur kekuasaan ekonomi-politik yang turut ambil bagian dalam arah perkembangan sastra. Akar masalahnya, tentu ranah pembeda dan pengkotakan sastra yang pernah menghangat, bahkan panas. Tetapi mengukir sejarah sastra misalnya, polemik kebudayaan, Manikebu, serta pengugatan pada Angkatan 45.
Sekarang pernyataan Sastrawan Ode Kampung (Boemipoetra) yang melawan eksploitasi seksual dalam karya sastra yang diarahkan pada Komunitas Utan Kayu (KUK) yang dituduh sebagai pengusung sastra kelamin (baca; fiksi alat kelamin/ FAK) , disebut salah satunya terdapat dalam karya Ayu Utami “Saman”. Ada anggapan Ayu Utami mampu menembus pentas sastra nasional, dengan novel perdananya itu lantaran bernaung dalam KUK.
Padahal, sebagaimana dihina Saut Situmorang, dominasi-tunggal atas dunia sastra kita adalah ambisi ekstra-literer dimulai dengan skandal menangnya novel jelek berjudul Saman di Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Lebih lanjut, dalam tulisan dari milis PPI-India yang diposting sendiri oleh Saut Situmorang itu, siapa saja bebas menafsirkan legenda yang diciptakan seputar Saman, sama seperti para penilai Prince Claus Award yang memenangkan Ayu Utami pada tahun 2000 untuk novel satu-satunya itu (sebelum munculnya Larung). Ayu Utami sekedar menghasilkan cakar-ayam, yang dinilai sebagai kolom di koran nasional tiap hari Minggu.
Maka, semakin ada kesadaran yang mulai membumi bahwa perumusan canon sastra, agar tak bias haruslah terpisah dari ekslusifitas baik dalam berkarya (melalui blog) atau pun bernaung (dalam komunitas). Lihat saja fakta menyeruaknya cacimaki sekarang, bermaksud membuat peta kesejarahan sastra tetapi terbelenggu dalam ruang ego sentris yaitu, blog dan komunitas. Sebenarnya blog dan komunitas hanyalah fakta ketakmampuan merealisasikan teks sastra yang menjadi penunjuk arah, tepatnya adalah sebagai ekspresi kegagalan.
Rabb, Aku dan Ramadhan
Rabb, Aku dan Ramadhan
Oleh Naim Emel Prahana
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pada suatu ketika, sebagai makhluk manusia yang diciptakan Rabb (Tuhan) yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakan-Nya. Adakalanya rasa takut menghadapi kewajiban seperti sholat, puasa di bulan ramadhan atau menghadapi sisa-sisa usia yang akan dijalani.
Dan, pada suatu ketika—banyak waktu ada keberanian dan kesiapan menghadapi semua persoalan-persoalan seperti di atas. Bagaimana menghadapi sesuatu yang merupakan kewajiban utama sebagai manusia yang beragama dan hanya menyembah kepada Allah SWT semata-mata? Setiap orang akan berbeda pola, cara dan mekanismenya selaras dengan pedoman Alquran dan Al-Hadist.
Keberanian dan kesiapan, bisa saja menjadi penghalang untuk beribadah dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada-Nya. Semisal karena terlalu berani dan siap, maka seringkali sifat takabur menghilangkan pikiran yang jernih, hati yang suci, mata yang terbatas jarak pandangnya, telinga yang sering terusik mendengar, mulut yang suka melebihi quota menyampaikan kata dan ucapan. Yang pada akhirnya menuntun tangan untuk melakukan yang tidak perlu dilakukan dan melangkah di jalan yang seharusnya tidak dilewati.
Ada banyak filosofi kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia, demikian pula karakter dan sifat yang diajari oleh Rasulullah saw. Yang hingga kini tetap up to date untuk dipedomani. Hanya, manusia saja yang sering mengabaikan dan menganggap akal pikiran dan ilmu pengetahuan lebih hebat daripada Allah sang pencipta langit dan bumi.
Seandainya dalam kehidupan di alam fana ini, ada yang menganggap segala sesuatu yang hebat selain Allah. Maka, jalan sesat dan jalan kelam akan menghadang perjalanan kehidupan sampai di alam baqa. Demikian pula ilmu pengetahuan manusia yang begitu hebat tentang sesuatu ilmu (ilmu agama), pada akhirnya sangat serakah, takabur dan mengaburkan arti nilai-nilai agama yang dikandungi di dalam kitab suci.
Oleh karena itu, satu dosa tidak dapat diberikan kepada semua orang. Tapi, hukuman akibat perbuatan dosa manusia dapat dijadikan satu moment, seperti bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor dsb). Manusia selalu memahami dan menyadarinya sebelum melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama Allah, tetapi kesadfaran dan pemahaman tersebut sering tidak dimunculkan dalam tatatertib kehidupoan sehari-hari. Yang mengakibatkan sesal selalu setelah kejadian berlangsung.
Banyak logika yang diciptakan manusia untuk mengingkari ajaran agamanya dan banyak sekali alibi untuk tidak menjalankan ibadah wajibnya. Sebagai contoh di bulan ramadhan ini. Tidak lagi menjadi rahasia, mereka yang sehat, segar bugar baik fisik maupun psikis meninggalkan puasa ramadhan dengan alasan sakit mag, dengan alasan melakukan perjalanan jauh (walau dengan pesawat terbang yang jarak tempuh ratusan kilometer hanya menghabiskan waktu sekian menit.
Sering juga alasan dikedepankan untuk tidak berpuasa karena lupa sahur, atau alasan lainnya yang sebenarnya diakui sendiri adalah sebagai kamuflase saja. Seakan-akan Tuhan tidak mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan. Padahal, Tuhan adalah pencipta manusia. Kalaulah kita mampu membohongi orangtua, anak, sahabat, aparat penegak hukum, pejabat atau siapa saja. Tapi, kita sebagai manusia tidak pernah dapat membohongi “diri sendiri” dan Tuhan.
Karena aku ‘manusia’ banyak melakukan keingkaran mengakibatkan menggunungnya kesalahan dan dosa. Maka Tuhan memberikan kesempatan untuk menyadari semua kesalahan dan doa tadi. Janji-Nya adalah paling benar dan sangat ditetapi Rabb. Maka selama 12 bulan dalam setahun, Tuhan memberikan sebulan penuh untuk manusia bercermin kembali tentang dirinya. Di bulan itu Rabb memberikan keutamaan, kesempurnaan yang diakhiri dengan hari yang fitri (suci bersih), yaitu Hari raya Idul Fitri.
Sekarang, kita kembali ke persoalan manusia itu sendiri. Sebagaimana Surat Al-Fatihah di atas, tentu saja Rabb tidak memberikan kebebasan kepada semua orang, kendati mengakui dan ber-KTP dengan agama Islam. Bulan suci ramadhan diperuntukkan kepada “orang-orang yang beriman”, demikian pula hari yang fitrah diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa wajib ramadhan dengan keimanannya.
“selamat berpuasa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, mari kita bersihkan semua tubuh (fisik) dan jiwa (psikis) kita dengan melakukan kegiatan rutin yang berisi nilai ibadah dan amal”
-------ke Lampost 29 Juli 2008
Pengembangan Kesenian Dalam Perkembangannya
Naim Emel Prahana
Budayawan dan penyair tinggal di Metro
TULISAN-tulisan berbentuk esay, opini, artikel atau laporan khusus di media massa sampai saat ini cukup banyak dan penulisnya beraneka ragam tingkatan dan kepetingan masing-masing. Pada umumnya merupakan bagian dari pencitraan diri dan kelompok dalam kancah kesenian itu sendiri. Toh, itu sangat-sangat wajar dan boleh dibenarkan dari kacamata tertentu.
Mengutip beberapa pernyataan lisan (bahkan tulisan), banyak juga yang bilang, orang-orang seni itu sulit untuk diatur, seperti orag-orang olahragawan dan wartawan. Yang belang demikian itu adalah salah satunya mantan ketua umum Dewan Kesenian Lampung—almarhum Herwan Achmad beberapa waktu silam di markasnya wartawan—Balai Wartawan di Bandarlampung.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat modern dewasa ini, mempersoalkan kesenian dalam pengelompokannya—bisa jadi sebagai kegelisahan dan ketidak-mapanan masyarakat mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisionilnya di tengah gegap gempita nilai-nilai kesenian pop (populer) melalui beragai medium. Ada dua hal yang harus kita fokuskan; pertama, kehadiran kesenian masyarakat modern (atau peradaban teknologi) tidak dapat dihindari. Kedua, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan sayap-sayap kesenian tradisionil, harus jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Nasional di daerah masing-masing.
Ada beberapa kata yang perlu disikapi pasca lahirnya Instruksi Mendagri No 5A/1993 tentang pembentukan lembaga kesenian di tiap-tiap provinsi (daerah). Lembaga itu diberi nama Dewan Kesenian ‘Daerah’—istilah ‘daerah’ itu diganti dengan nama daerah. Misalnya, Lampung—maka jadilah nama lembaga itu, Dewan Kesenian Lampung.
Kehadiran Dewan Kesenian (DK) di tiap-tiap daerah dimaksudkan, untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan, memajukan dan meningkatkan aktivitas berkesenian, agar menjadi salah satu potensi daerah yang mampu memberikan manfaat ganda (kepada pemerintah dan masyarakatnya).
Sayangnya, terjemahan tersebut tidak lengkap dibaca di kalangan eksekutif, bahkan di kalangan seniman sendiri. Yang pada akhirnya, terjadi conflict area tentang penanganan DK itu sendiri, termasuk anggarannya. Terutama bagi daerah yang belum semapan DKI Jakarta, DI Yogyakarta atau Provinsi Bali, Riau, Sumatera Barat dan daerah lainnya.
Jadi, mengharapkan peran pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerahnya atau mengharapkan peranan DK terhadap perkembangan kesenian, merupakan suatu rangkaian yang butuh kerja keras dan kejujuran kedua belah pihak. Sehingga nantinya, kesenian itu merupakan wujud cita rasa dan karsa masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu, DK merupakan wadah untuk berkesenian (dalam ruang lingkupnya terdapat juga sastra).
Dengan adanya ‘wadah’ itu tadi, kemungkinan untuk berkembang dan majunya suatu kesenian sangat besar sekali—asal DK itu diterjemahkan betul-betul menjadi “wadah kesenian”—kesenian di situ jangan diartikan hanya untuk seni—seniman lukis, tari, musik, arsitektur. Tetapi, jiwa sastra tergabung di dalam kata ‘kesenian’ itu sendiri. Demikian juga ketika penulis membawa pedoman DK tahun 1987—dikirim oleh Bang Leon Agusta dan Abdul Hadi WM, ketika keduanya masih menjadi petinggi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—yang pada awalnya AD/ART DKJ itu penulis ingin jadikan sebagai AD/ART Dewan Kesenian Metro (DKM) ketika itu masih dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenang sepintas sejarah berdirinya DK di Lampung yang dikenal dengan DKL itu, barulah terwujud tahun 1993 yang rapat-rapatnya dilakukan di Dinas Pendidikan, Kantor Depdikbud dan Kantor Parawisata. Penulis pikir, sejak kurun 1993 sampai sekarang ini, DKL sudah banyak berbuat berdasarkan persepsi para pengurusnya—dana, kalau mau menjangkau aktivitas berkesenian Lampung dari ujuang Way Kanan, Tulangbawang, Lampung Barat, memang agak sulit. Akibat kesulitan itu, terjadilah anggapan DKL belum berperan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa persoalan yang mengganjal ketika DKL, mungkin DK lainnya di daerah lain di luar Lampung tentang keberadaan lembaga kesenian itu. Antara dipimpin birokrat dan non birokrat. Persoaln itu terus bergulir sepanjang sejarah berdirinya DK. Sebenarnya, DK dipimpin birokrat atau tidak (dipimpin seniman), tidak jadi masalah, asal komitmen semua pihak; pemerintah dan seniman bersatu.
Karena DK lembaga pemerintah nonstruktural—kewajiban pemerintah menyiaplan anggaran DK, tidak otomatis DK itu dapat dipolitisir hanya demi kepentingan pemerintah. Situasi dan konisi seniman yang menurut seorang teman penyair Lampung, “nasib yang sangat kurang”—itu tidak berarti adanya kesalahan pemerintah. Tetapi, banyak faktor lain—yang kadang dari internal seniman itu sendiri. Kekayaan yang dimiliki seorang seniman adalah sense of art and culture—yang diyakini mampu memberikan nilai tambah kebutuhan kehidupannya. Jika tida, ya seniman tidak akan berhenti jadi seniman.
Realistis sekali, bahwa DKL dan DK-DK di provinsi lain pasca Instruksi Mendagri No 15A/1993 adalah produk orde baru (rezim Soeharto dengan Golkar + TNInya); orde baru lahir, karena ketidak puasan dengan orde lama (rezim Soekarno dengan manifes politiknya). Dan, bagaimana kelahiran gerakan Reformasi 1998? Itu, juga ketidak-puasannya dengan orde baru (rezim Soeharto dan kroni-kroninya).
Maka, rentetan sejarah panjang mengenai gerakan dan aktivitas berkesenian, sudah menjadi referensi kekayaan kesenian di Indonesia dengan ragam etnis dan budayanya, termasuk ragam keseniannya. Bagaimana rasanya ketika dicekal? Penulis dengan beberapa seniman di Metro (Lampung Tengah waktu itu) beberapa kali dicekal oleh pemerintah cq Pemerintah Lampung Tengah dengan kekuatan TNI di markas Kodim Lampung Tengah.
Tahun 1990-an penulis bersama Emha Ainun Najib dicekal tampil di kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), kemudian bersama Teaterawan Ganti Winarno yang punya teater Krakatoa—pun dicekal oleh Bupati Lampung Tengah waktu itu (Suwardi Ramli). Kemudian tahun 1992, ketika akan mengadakan Temu Penyair Se Sumbagsel di Metro pun dicekal—waktu itu termasuk Emha Ainun Najib. Mendengar kabar dicekal, Emha Ainun Najib yang baru turun di Bandara Branti, langsung balik arah—kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama di struktur organisasi kepemerintahan, ada dua dinas yang sama-sama bergerak. Pertama, Dinas Pendidikan dan kedua, Departemen Pendidikan dan kebudayaan—Depdikbud. Dua-duanya mempunyai bidang garap yang sama terhadap kesenian. Kesenian versinya pemerintah melalui dua dinas/instansinya. Tapi, pencekalan-pencekalan demikian, pada zamannya itu, tidaklah aneh. Sebab, ketika negara dengan kekuasaan pemerintahnya begitu kuat, maka karya seni dan sastra yang berkualitas bermunculan.
Yang lebih anehnya adalah pencekalan sesama seniman—sastrawan—budayawan, yang pernah penulis alami di Yogyakarta. Acara yang akan dilaksanakan bersama penyair Muawar Syamsudin, redi Panuju, Dono S, dan kawan-kawan, akhirnya dicekal oleh penyair Ragil Suwarno Pragolopati—yang kemudian penulis ajak berkelahi di sebuah masjid di bilangan Konwilhan Yogyakarta. Itu, memang terasa agak menjengkelkan. Sebab, saat itu ada upaya sistimatik dan terorganisir, untuk mengusir para seniman, penyair dan penulis yang bukan penduduk asli Yogyakarta.
Berkaca dari itu semua, sejak zaman orde baru, kebudayaan dalam struktur organisasi pemeirntahan terpisah dengan pariwisata—yang saat itu parawisata akrab dengan figur Joove Ave. Sedangkan digaris departemen kebudayaan ada nama-nama Fuad Hasan dan sebagainya. Itulah sejarah, apapun bentuknya sejarah itu adalah waktu yang sudah dilalui. Sebab, dalams ejarah manusia, tidak ada satupun manusia terhebat di dunia ini mampu menciptakan sejarah pada saat ia hidup.
Memang seharusnya, karena DK itu ditunjang dengan bantuan dana oleh pemerintah daerah masing-masing, besar kecilnya tergantung kepada kepasihan, kepahaman dan kesadaran para birokrat di daerah masing-masing. Dan, tugas seniman adalah memberikan masukan-masukan. Misalnya, betapa pentingnya pembangunan sarana dan prasarana berkesenian di daerah. Sebagai contoh, Lampung hingga saat ini belum memiliki gedung kesenian khusus (gedung khusus kesenian). Padahal, kota Baturaja—ibukota kabupaten OKU induk di Sumsel saja, sudah memiliki gedung kesenian (khusus) dengan kemegahannya.
Substansi kesenian itu memang luas, tidak sekedar menapilkan karya-karya seni, kemudian jika ada penawaran maka akan dilego (dijual) dengan harga pantas; bukan hanya sekedar untuk mengisi daerah tujuan wisata (DTW)—sebagai salah satu bentuk penggalioan PAD, atau bukan hanya ada atau tidaknya DK. Tetapi, lebih luas lagi. Di masyarakat tradisional, kesenian sangat sederhana mereka baca dan mereka jalankan. Adalah suatu prestasi bagi senimannya, jika kesenian yang mereka pahami dan mereka kuasai, diundang dan diberi penghargaan berupa uang atau piagam. Kebanggan itu akan menjadi cambuk untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas berkesenian mereka. Itu salah satu contoh.
Jadi, pengembangan kesenian saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara—tanpa meninggalkan unsur-unsur seni dalam berkeseniannya itu. Terutama menghadapi perkembangan kesenian di abad teknologi saat ini. Berkesenian dalah penciptaan jati diri melalui kesadaran nurani. Semua orang mempunyai jiwa seni, akan tetapi tidak semua orang mampu mensosialisasikan jiwa seninya itu. Ketika orang itu mampu mengemukakan jiwa seninya dan orang yang melihat (menonton) karya seninya itu menyadari betapa pentingnya seni dalam kehidupan, maka kekuasaan apapun dapat dikalahkan.
Oleh sebab itu, kesenian yang hanya ‘format’ atau ‘formalitas’ tidak akan bertahan dan tidak akan memiliki nilai seni—seperti zaman orde baru, banyak sekali isteri pejabat yang tiba-tiba jadi penyair, seperti isteri Bob Hasan—si Pratiwi dengan berbagai acara pembacaan puisi dan meluncurkan antologi puisi. Sementara itu, penulis dan penyair aslinya masih jungkirbalik memikirkan, apakah karya puisinya itu berkualitas atau tidak. Belum terpikirkan, apakah aku si penyair itu akan populer atau tidak.
Pada akhirnya, sebagai catatan bahwa, seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, tidak pernah dilahirkan oleh Dewan Kesenian. Sebab, merekalah yang melahirkan DK tersebut. Soal mengembangkan seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, barulah tugas DK, setidak-tidaknya melihat bagaimana perkembangan kesenian saat ini.
Oleh Naim Emel Prahana
1. Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
3. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
4. Yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
5. Hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
6. Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
7. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Pada suatu ketika, sebagai makhluk manusia yang diciptakan Rabb (Tuhan) yang memiliki kelebihan dari makhluk lain yang diciptakan-Nya. Adakalanya rasa takut menghadapi kewajiban seperti sholat, puasa di bulan ramadhan atau menghadapi sisa-sisa usia yang akan dijalani.
Dan, pada suatu ketika—banyak waktu ada keberanian dan kesiapan menghadapi semua persoalan-persoalan seperti di atas. Bagaimana menghadapi sesuatu yang merupakan kewajiban utama sebagai manusia yang beragama dan hanya menyembah kepada Allah SWT semata-mata? Setiap orang akan berbeda pola, cara dan mekanismenya selaras dengan pedoman Alquran dan Al-Hadist.
Keberanian dan kesiapan, bisa saja menjadi penghalang untuk beribadah dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa kepada-Nya. Semisal karena terlalu berani dan siap, maka seringkali sifat takabur menghilangkan pikiran yang jernih, hati yang suci, mata yang terbatas jarak pandangnya, telinga yang sering terusik mendengar, mulut yang suka melebihi quota menyampaikan kata dan ucapan. Yang pada akhirnya menuntun tangan untuk melakukan yang tidak perlu dilakukan dan melangkah di jalan yang seharusnya tidak dilewati.
Ada banyak filosofi kehidupan yang diberikan-Nya kepada manusia, demikian pula karakter dan sifat yang diajari oleh Rasulullah saw. Yang hingga kini tetap up to date untuk dipedomani. Hanya, manusia saja yang sering mengabaikan dan menganggap akal pikiran dan ilmu pengetahuan lebih hebat daripada Allah sang pencipta langit dan bumi.
Seandainya dalam kehidupan di alam fana ini, ada yang menganggap segala sesuatu yang hebat selain Allah. Maka, jalan sesat dan jalan kelam akan menghadang perjalanan kehidupan sampai di alam baqa. Demikian pula ilmu pengetahuan manusia yang begitu hebat tentang sesuatu ilmu (ilmu agama), pada akhirnya sangat serakah, takabur dan mengaburkan arti nilai-nilai agama yang dikandungi di dalam kitab suci.
Oleh karena itu, satu dosa tidak dapat diberikan kepada semua orang. Tapi, hukuman akibat perbuatan dosa manusia dapat dijadikan satu moment, seperti bencana alam (gempa, banjir, tanah longsor dsb). Manusia selalu memahami dan menyadarinya sebelum melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama Allah, tetapi kesadfaran dan pemahaman tersebut sering tidak dimunculkan dalam tatatertib kehidupoan sehari-hari. Yang mengakibatkan sesal selalu setelah kejadian berlangsung.
Banyak logika yang diciptakan manusia untuk mengingkari ajaran agamanya dan banyak sekali alibi untuk tidak menjalankan ibadah wajibnya. Sebagai contoh di bulan ramadhan ini. Tidak lagi menjadi rahasia, mereka yang sehat, segar bugar baik fisik maupun psikis meninggalkan puasa ramadhan dengan alasan sakit mag, dengan alasan melakukan perjalanan jauh (walau dengan pesawat terbang yang jarak tempuh ratusan kilometer hanya menghabiskan waktu sekian menit.
Sering juga alasan dikedepankan untuk tidak berpuasa karena lupa sahur, atau alasan lainnya yang sebenarnya diakui sendiri adalah sebagai kamuflase saja. Seakan-akan Tuhan tidak mengetahui apa yang kita lakukan, apa yang kita pikirkan. Padahal, Tuhan adalah pencipta manusia. Kalaulah kita mampu membohongi orangtua, anak, sahabat, aparat penegak hukum, pejabat atau siapa saja. Tapi, kita sebagai manusia tidak pernah dapat membohongi “diri sendiri” dan Tuhan.
Karena aku ‘manusia’ banyak melakukan keingkaran mengakibatkan menggunungnya kesalahan dan dosa. Maka Tuhan memberikan kesempatan untuk menyadari semua kesalahan dan doa tadi. Janji-Nya adalah paling benar dan sangat ditetapi Rabb. Maka selama 12 bulan dalam setahun, Tuhan memberikan sebulan penuh untuk manusia bercermin kembali tentang dirinya. Di bulan itu Rabb memberikan keutamaan, kesempurnaan yang diakhiri dengan hari yang fitri (suci bersih), yaitu Hari raya Idul Fitri.
Sekarang, kita kembali ke persoalan manusia itu sendiri. Sebagaimana Surat Al-Fatihah di atas, tentu saja Rabb tidak memberikan kebebasan kepada semua orang, kendati mengakui dan ber-KTP dengan agama Islam. Bulan suci ramadhan diperuntukkan kepada “orang-orang yang beriman”, demikian pula hari yang fitrah diberikan kepada orang-orang yang melaksanakan puasa wajib ramadhan dengan keimanannya.
“selamat berpuasa semoga senantiasa dalam lindungan Allah SWT, mari kita bersihkan semua tubuh (fisik) dan jiwa (psikis) kita dengan melakukan kegiatan rutin yang berisi nilai ibadah dan amal”
-------ke Lampost 29 Juli 2008
Pengembangan Kesenian Dalam Perkembangannya
Naim Emel Prahana
Budayawan dan penyair tinggal di Metro
TULISAN-tulisan berbentuk esay, opini, artikel atau laporan khusus di media massa sampai saat ini cukup banyak dan penulisnya beraneka ragam tingkatan dan kepetingan masing-masing. Pada umumnya merupakan bagian dari pencitraan diri dan kelompok dalam kancah kesenian itu sendiri. Toh, itu sangat-sangat wajar dan boleh dibenarkan dari kacamata tertentu.
Mengutip beberapa pernyataan lisan (bahkan tulisan), banyak juga yang bilang, orang-orang seni itu sulit untuk diatur, seperti orag-orang olahragawan dan wartawan. Yang belang demikian itu adalah salah satunya mantan ketua umum Dewan Kesenian Lampung—almarhum Herwan Achmad beberapa waktu silam di markasnya wartawan—Balai Wartawan di Bandarlampung.
Apa yang terjadi di tengah masyarakat modern dewasa ini, mempersoalkan kesenian dalam pengelompokannya—bisa jadi sebagai kegelisahan dan ketidak-mapanan masyarakat mempertahankan nilai-nilai kesenian tradisionilnya di tengah gegap gempita nilai-nilai kesenian pop (populer) melalui beragai medium. Ada dua hal yang harus kita fokuskan; pertama, kehadiran kesenian masyarakat modern (atau peradaban teknologi) tidak dapat dihindari. Kedua, mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan sayap-sayap kesenian tradisionil, harus jadi bagian tak terpisahkan dari proses pembangunan Nasional di daerah masing-masing.
Ada beberapa kata yang perlu disikapi pasca lahirnya Instruksi Mendagri No 5A/1993 tentang pembentukan lembaga kesenian di tiap-tiap provinsi (daerah). Lembaga itu diberi nama Dewan Kesenian ‘Daerah’—istilah ‘daerah’ itu diganti dengan nama daerah. Misalnya, Lampung—maka jadilah nama lembaga itu, Dewan Kesenian Lampung.
Kehadiran Dewan Kesenian (DK) di tiap-tiap daerah dimaksudkan, untuk membantu pemerintah daerah dalam rangka mengembangkan, memajukan dan meningkatkan aktivitas berkesenian, agar menjadi salah satu potensi daerah yang mampu memberikan manfaat ganda (kepada pemerintah dan masyarakatnya).
Sayangnya, terjemahan tersebut tidak lengkap dibaca di kalangan eksekutif, bahkan di kalangan seniman sendiri. Yang pada akhirnya, terjadi conflict area tentang penanganan DK itu sendiri, termasuk anggarannya. Terutama bagi daerah yang belum semapan DKI Jakarta, DI Yogyakarta atau Provinsi Bali, Riau, Sumatera Barat dan daerah lainnya.
Jadi, mengharapkan peran pemerintah terhadap pengembangan kesenian di daerahnya atau mengharapkan peranan DK terhadap perkembangan kesenian, merupakan suatu rangkaian yang butuh kerja keras dan kejujuran kedua belah pihak. Sehingga nantinya, kesenian itu merupakan wujud cita rasa dan karsa masyarakat yang mempunyai nilai-nilai luhur untuk kebaikan dan kebajikan. Oleh karena itu, DK merupakan wadah untuk berkesenian (dalam ruang lingkupnya terdapat juga sastra).
Dengan adanya ‘wadah’ itu tadi, kemungkinan untuk berkembang dan majunya suatu kesenian sangat besar sekali—asal DK itu diterjemahkan betul-betul menjadi “wadah kesenian”—kesenian di situ jangan diartikan hanya untuk seni—seniman lukis, tari, musik, arsitektur. Tetapi, jiwa sastra tergabung di dalam kata ‘kesenian’ itu sendiri. Demikian juga ketika penulis membawa pedoman DK tahun 1987—dikirim oleh Bang Leon Agusta dan Abdul Hadi WM, ketika keduanya masih menjadi petinggi DKJ (Dewan Kesenian Jakarta)—yang pada awalnya AD/ART DKJ itu penulis ingin jadikan sebagai AD/ART Dewan Kesenian Metro (DKM) ketika itu masih dalam wilayah administratif Kabupaten Lampung Tengah.
Mengenang sepintas sejarah berdirinya DK di Lampung yang dikenal dengan DKL itu, barulah terwujud tahun 1993 yang rapat-rapatnya dilakukan di Dinas Pendidikan, Kantor Depdikbud dan Kantor Parawisata. Penulis pikir, sejak kurun 1993 sampai sekarang ini, DKL sudah banyak berbuat berdasarkan persepsi para pengurusnya—dana, kalau mau menjangkau aktivitas berkesenian Lampung dari ujuang Way Kanan, Tulangbawang, Lampung Barat, memang agak sulit. Akibat kesulitan itu, terjadilah anggapan DKL belum berperan sebagaimana mestinya.
Ada beberapa persoalan yang mengganjal ketika DKL, mungkin DK lainnya di daerah lain di luar Lampung tentang keberadaan lembaga kesenian itu. Antara dipimpin birokrat dan non birokrat. Persoaln itu terus bergulir sepanjang sejarah berdirinya DK. Sebenarnya, DK dipimpin birokrat atau tidak (dipimpin seniman), tidak jadi masalah, asal komitmen semua pihak; pemerintah dan seniman bersatu.
Karena DK lembaga pemerintah nonstruktural—kewajiban pemerintah menyiaplan anggaran DK, tidak otomatis DK itu dapat dipolitisir hanya demi kepentingan pemerintah. Situasi dan konisi seniman yang menurut seorang teman penyair Lampung, “nasib yang sangat kurang”—itu tidak berarti adanya kesalahan pemerintah. Tetapi, banyak faktor lain—yang kadang dari internal seniman itu sendiri. Kekayaan yang dimiliki seorang seniman adalah sense of art and culture—yang diyakini mampu memberikan nilai tambah kebutuhan kehidupannya. Jika tida, ya seniman tidak akan berhenti jadi seniman.
Realistis sekali, bahwa DKL dan DK-DK di provinsi lain pasca Instruksi Mendagri No 15A/1993 adalah produk orde baru (rezim Soeharto dengan Golkar + TNInya); orde baru lahir, karena ketidak puasan dengan orde lama (rezim Soekarno dengan manifes politiknya). Dan, bagaimana kelahiran gerakan Reformasi 1998? Itu, juga ketidak-puasannya dengan orde baru (rezim Soeharto dan kroni-kroninya).
Maka, rentetan sejarah panjang mengenai gerakan dan aktivitas berkesenian, sudah menjadi referensi kekayaan kesenian di Indonesia dengan ragam etnis dan budayanya, termasuk ragam keseniannya. Bagaimana rasanya ketika dicekal? Penulis dengan beberapa seniman di Metro (Lampung Tengah waktu itu) beberapa kali dicekal oleh pemerintah cq Pemerintah Lampung Tengah dengan kekuatan TNI di markas Kodim Lampung Tengah.
Tahun 1990-an penulis bersama Emha Ainun Najib dicekal tampil di kampus Universitas Muhammadiyah Metro (UMM), kemudian bersama Teaterawan Ganti Winarno yang punya teater Krakatoa—pun dicekal oleh Bupati Lampung Tengah waktu itu (Suwardi Ramli). Kemudian tahun 1992, ketika akan mengadakan Temu Penyair Se Sumbagsel di Metro pun dicekal—waktu itu termasuk Emha Ainun Najib. Mendengar kabar dicekal, Emha Ainun Najib yang baru turun di Bandara Branti, langsung balik arah—kembali ke Jakarta.
Pada saat yang sama di struktur organisasi kepemerintahan, ada dua dinas yang sama-sama bergerak. Pertama, Dinas Pendidikan dan kedua, Departemen Pendidikan dan kebudayaan—Depdikbud. Dua-duanya mempunyai bidang garap yang sama terhadap kesenian. Kesenian versinya pemerintah melalui dua dinas/instansinya. Tapi, pencekalan-pencekalan demikian, pada zamannya itu, tidaklah aneh. Sebab, ketika negara dengan kekuasaan pemerintahnya begitu kuat, maka karya seni dan sastra yang berkualitas bermunculan.
Yang lebih anehnya adalah pencekalan sesama seniman—sastrawan—budayawan, yang pernah penulis alami di Yogyakarta. Acara yang akan dilaksanakan bersama penyair Muawar Syamsudin, redi Panuju, Dono S, dan kawan-kawan, akhirnya dicekal oleh penyair Ragil Suwarno Pragolopati—yang kemudian penulis ajak berkelahi di sebuah masjid di bilangan Konwilhan Yogyakarta. Itu, memang terasa agak menjengkelkan. Sebab, saat itu ada upaya sistimatik dan terorganisir, untuk mengusir para seniman, penyair dan penulis yang bukan penduduk asli Yogyakarta.
Berkaca dari itu semua, sejak zaman orde baru, kebudayaan dalam struktur organisasi pemeirntahan terpisah dengan pariwisata—yang saat itu parawisata akrab dengan figur Joove Ave. Sedangkan digaris departemen kebudayaan ada nama-nama Fuad Hasan dan sebagainya. Itulah sejarah, apapun bentuknya sejarah itu adalah waktu yang sudah dilalui. Sebab, dalams ejarah manusia, tidak ada satupun manusia terhebat di dunia ini mampu menciptakan sejarah pada saat ia hidup.
Memang seharusnya, karena DK itu ditunjang dengan bantuan dana oleh pemerintah daerah masing-masing, besar kecilnya tergantung kepada kepasihan, kepahaman dan kesadaran para birokrat di daerah masing-masing. Dan, tugas seniman adalah memberikan masukan-masukan. Misalnya, betapa pentingnya pembangunan sarana dan prasarana berkesenian di daerah. Sebagai contoh, Lampung hingga saat ini belum memiliki gedung kesenian khusus (gedung khusus kesenian). Padahal, kota Baturaja—ibukota kabupaten OKU induk di Sumsel saja, sudah memiliki gedung kesenian (khusus) dengan kemegahannya.
Substansi kesenian itu memang luas, tidak sekedar menapilkan karya-karya seni, kemudian jika ada penawaran maka akan dilego (dijual) dengan harga pantas; bukan hanya sekedar untuk mengisi daerah tujuan wisata (DTW)—sebagai salah satu bentuk penggalioan PAD, atau bukan hanya ada atau tidaknya DK. Tetapi, lebih luas lagi. Di masyarakat tradisional, kesenian sangat sederhana mereka baca dan mereka jalankan. Adalah suatu prestasi bagi senimannya, jika kesenian yang mereka pahami dan mereka kuasai, diundang dan diberi penghargaan berupa uang atau piagam. Kebanggan itu akan menjadi cambuk untuk meningkatkan aktivitas dan kreativitas berkesenian mereka. Itu salah satu contoh.
Jadi, pengembangan kesenian saat ini dapat dilakukan dengan berbagai cara—tanpa meninggalkan unsur-unsur seni dalam berkeseniannya itu. Terutama menghadapi perkembangan kesenian di abad teknologi saat ini. Berkesenian dalah penciptaan jati diri melalui kesadaran nurani. Semua orang mempunyai jiwa seni, akan tetapi tidak semua orang mampu mensosialisasikan jiwa seninya itu. Ketika orang itu mampu mengemukakan jiwa seninya dan orang yang melihat (menonton) karya seninya itu menyadari betapa pentingnya seni dalam kehidupan, maka kekuasaan apapun dapat dikalahkan.
Oleh sebab itu, kesenian yang hanya ‘format’ atau ‘formalitas’ tidak akan bertahan dan tidak akan memiliki nilai seni—seperti zaman orde baru, banyak sekali isteri pejabat yang tiba-tiba jadi penyair, seperti isteri Bob Hasan—si Pratiwi dengan berbagai acara pembacaan puisi dan meluncurkan antologi puisi. Sementara itu, penulis dan penyair aslinya masih jungkirbalik memikirkan, apakah karya puisinya itu berkualitas atau tidak. Belum terpikirkan, apakah aku si penyair itu akan populer atau tidak.
Pada akhirnya, sebagai catatan bahwa, seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, tidak pernah dilahirkan oleh Dewan Kesenian. Sebab, merekalah yang melahirkan DK tersebut. Soal mengembangkan seniman; penyair, cerpenin, esay, teaterawan/dramawan, musikus, penari, sineas dan lainnya, barulah tugas DK, setidak-tidaknya melihat bagaimana perkembangan kesenian saat ini.
Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’
Komitmen Partai: Golkar Apa ‘Golkar?’
Oleh Naim Emel Prahana
POLITIK memang, selalu menyisakan intrik-intrik dan konflik sosial. Padahal, politik tidak semuanya dapat dijalankan sebagaimana substansi politik yang sesungguhnya. Bila membicarakan politik—selalu saja fokusnya ke pengambilalihan kekuasaan dengan trik dan strategi politik para pengurus partai politik.
Padahal diketahui, di dalam hidup masyarakat politik itu dikenal sebagai cara dan upaya menghadapi berbagai persoalan, untuk dapat dicarikan solusinya. Sehingga, tidak semua orang dapat dan bisa ditunjuk untuk berbicara terhadap pihak lain mernyangkut penyelesaian suatu persoalan antar kelompok, antar individu dalam masyarakat dan antar masyarakat suatu desa dengan desa lain.
Bila itu semua dapat dipahami sekitar 60—80% anggota masyarakat suatu wilayah (desa, kampung, kelurahan, kecamatan atau wilayah lebih luas lagi). Niscaya politik bukanlah hanya untuk merebut kekuasaan. Tetapi, politik lebih cenderung digunakan sebagai cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang sudah dan sedang terjadi.
Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya dicekoki atau diberi pemahaman sebatas bahwa politik itu hanya suatu cara bagaimana merebut kekuasaan. Padahal, tidak demikian. Oleh karena itu, dalam penyelesaian menggunakan cara politik. Orang yang diberi tugas benar-benar orang yang mampu mengutarakan dan menyampaikan bahasa komunikasi yang tepat, baik serta bijak dan lainnya.
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas. Untuk membuka cakrawala berpola pikir masyarakat menghadapi hajat daerah dan nasional. Maka, baik pula kita coba menelaah hasil-hasil pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Terutama pasca diperbolehkannya calon alternatif (jalur independen) untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota).
Fenomena menarik untuk dilihat dari kacamata masing-masing dewasa ini adalah kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golongan Karya atau populernya Golkar di beberapa pilkada. Golkar yang pernah mendominasi pemerintahan Indonesia selama 32 tahun. Pada akhirnya harus menerima kenyataan. Kenyataan yang bisa dikelompokkan kepada citra partai yang kian memudar dan obsesi pengurus partai yang banyak melanggar komitmen partai Golkar itu sendiri.
Komitmen partai Golkar yang sudah dituangkan dalam AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO), juga petunjuk-petunjuk pelaksana (Juklak) yang sudah dikeluarkan dan diberlakukan itu. Ternyata dilanggar sendiri oleh pengurus Golkar. Baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Akibat dengans engaja melanggar aturan partai itu, tentunya tidak semua fungsionaris dan kader Golkar menyetujui adanya unsur sengaja dalam bentuk pelanggaran aturan organisasi tersebut.
Sekarang, timbul pertanyaan; mungkin karena hal itu menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan para petarun (calon) yang diusung oleh Golkar pada beberapa Pilkada akhir-akhir ini? Bisaja jadi sebagai salah satu penyebab. Dengan asumsi, bahwa faktor penyebab lainnya masih banyak dan mungkin mendominasi akibat yang diterima oleh Golkar saat ini.
Adalah satu hal yang dianggap sepele oleh pengurus Golkar akhir-akhir ini adalah persyaratan mutlak Ketua DPP, DPD I Provinsi, DPD II Kabupaten/kota adalah minimal si calon ketua mempunyai pendidikan S-1 (sarjana). Sejalan dengan itu, saat ini ada beberapa daerah, di mana ketua DPD Golkar itu dipilih—lebih tepatnya ditunjuk dengan kekuasaan orang-orang yang dilihat hanya dari sisi ekonomi, populeritas atau sepakterjangnya yang berani. Klausula minimal pendidikan yang harus ada, dikesampingkan begitu saja. Hal itu termasuk di Lampung.
Berkaitan dengan itu, ada syarat lain yang selalu dinodai oleh pelanggaran pengurus dan oleh kader partai, yaitu untuk menjadi ketua partai ada syarat minimal seseorang itu pernah menjadi pengurus sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Berarti, unsur yang dikedepankan itu mengisyaratkan, bahwa (1) yang tidak memiliki pendidikan S-1 secara otomatis tidak dapat dipilih dan diangkat serta disahkan menjadi ketua partai (sesuai tingkatannya). Ke (2) dengan syarat minimal pernah duduk sebagai pengurus setidak-tidaknya 1 (satu) tahun memberikan hak otomatis, bahwa seseorang yang tidak pernah jadi pengurus partai Golkar, tidak dapat diterima dan didudukkan sebagai pengurus DPP, DPD I dan DPDI kabupaten/kota.
Kenyataan, berbicara lain. Kecenderungan melanggar AD/ART, PO dan Juklak Partai Goplkar oleh orang Golkar sendiri, merupakan mata rantai sebab yang menyebabkan Golkar menghadapi citra diri yang terus merosot di mata masyarakat. Akibatnya, petarung mereka di beberapa pilkada harus puas dengan kemenangan petarung dari partai lain.
Di sisi lain, politik devide et impera dalam tubuh partai atau dalam kepengurusan Golkar, jelas mempunyai dampak sangat tidak menguntungkan Golkar dalam beberapa momentum pilkada. Mungkin juga momentum pemilu 2009 dan pilpres. Perjalanan berikutnya akan berhembus wacana-wacana untuk mengganti Ketua Umum DPP Golkar sejak 2007 lalu. Bagaimana untuk melakswanakan Munaslub—mengganti Ketua Umum DPP Golkar.
Asumsinya, jika Golkar sudah tidak mematahui aturannya sendiri, maka sangat jelas kalau Golkar tidak akan peduli dengan komitmen politik terhadap rakyat. Jika ini benar, maka sangat beralasan kalau rakyat meninggalkan Golkar secara perlahan tapi pasti. Diyakini bahwa hingga sekarang fungsionaris Partai Golkar, baik di pusat dan daerah masih mengidam-idamkan mereka seperti zaman orde baru.
Di mana, zaman itu Golkar berlindung di balik kekuatan TNI dan kekuasaan pemerintah. Sekarang, era reformasi keinginan seperti itu tidak akan dapat diulangi lagi, pendidikan politik rakyat sudah cukup baik—kendati belum baik benar.
Persoalannya, mampukah orang-orang Golkar mematuhi aturannya sendiri atau aturan itu mereka kedepankan hanya untuk kader partyai tingkat bawah saja dan tidak berlaku bagi kader partai yang memegang kekuasaan partai. Satu hal lagi yang menarik kita cermati Partai Golkar ini adalah selera pengurus pusat yang begitu rendah, jika berhadapan dengan upeti dari pimpinan partai dari daerah.
Misalnya, ketika disodorkan biaya untuk umroh atau lainnya, membuat oknum pengurus pusat silau dan membiarkan fakta dan data kebenaran di lapangan menjadi basi dengan membenarkan tindakan Ketua DPD I atau DPDII untuk melakukan aksi-aksi pembabatan dan pemalakan liar terhadap kader partai yang ada di lembaga legislatif.
Jadi, menurut hemat saya. Di tubuh Golkar harus ada perubahan yang besar-besaran dan yang patut dijadikan pengurus adalah orang-orang yang bukan type bunglon atau mereka yang selalu mengedepankan laporan asbun. Saat ini Golkar menghadapi orang-orangnya sendiri yang mematahkan aturan serta managemen partai yang sudah baik menjadi tidak dapat dipergunakan. Itu semua karena ambisi politik yang salah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
-------------opini 2
The Young Sumatera, Bangkitlah
Oleh Naim Emel Prahana
MEMBAYANGKAN seandainya Indonesia tanpa Pulau Sumatera, apa jadinya! Apa jadinya pula kalau pemberotakan PRRI Semesta memenangkan konflik bersenjata dengan Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta dimenangkang PRRI Permesta yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lagu Indonesia sepertinya mengalami kerusakan atau robek di sana-sini.
Perandaian atau andaikan itu, kini dan akan datang masih tetap ada kemungkinan-kemungkinan terjadinya suatu persoalan bangsa dan negara ini yang lebih serius lagi dibandingkan dengan apa yang sudah dan sedang terjadi saat ini. Contohnya, konflik antara Aceh dan RI. Pemerintah Indonesia saja sudah tak mampu mengatasinya, tanpa keterlibatan pihak ketiga.
Namun, dalam situasi dan kondisi ini kita tidak boleh terjebak isu kedaerahan yang akan mendangkalkan filosofi national building. Mengingati pemerintah RI dari dan dengan berbagai momentum sejarah bangsa yang kita ketahui dan pelajari selama ini sebagai basis nilai-nilai kebangsaan.
Indonesia pernah dikhawatirkan akan menghadapi persoalan seperti Yugoslawakia, dan seperti Uni Soviet yang terpecah belah menjadi bagian-bagian negara yang berdaulat penuh. Artinya, Indonesia lebih rawan, jika jiwa nasionalisme di tengah masyarakat saat ini terus merosot. Nilai-nilai kebangsaan meluntur berbarengan gencarnya pengaruh budaya asing (infiltrasi).
Salah satu bagian terpenting dari Indonesia tentunya Pulau Sumatera dengan sekian sukubangsa yang ada, sekian kebudayaan yang mandiri, sekian hukum adat yang berlainan satu dengan lainnya. Sumatera menjadi penyanggah utama kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Tapi, Sumatera lebih banyak tertinggalnya dibanding Pulau Jawa.
Sementara itu, situasi dan kondisi Pulau Sumatera pun semakin runyam dengan tingkat kerusakan lingkungan alamnya yang sangat tinggi dan luas dirasakan oleh masyarakat, bahkan masyarakat dunia. Seperti pembakaran hutan dengan produksi asapnya sampai ke seluruh Asia Tenggara. Pembukaan areal perkebunan besar setelah PP 20 tahun 1970 disahkan pemerintah Orde Baru—sekaligus menyemai, mengembang-biaknya praktek illegal logging.
Sementara ini, masyarakat yang mayoritas di Sumatera tidak paham betul dampak fatal akibat ilegal logging, pembakaran hutan dan pembukaan lahan pertanian baru oleh masyarakat pedesaan. Sumatera tinggal menunggu kehancuran lingkungan. Pertsoalaannya tinggal hitungan waktu saja lagi. Kerusakan itu akan lebih cepat dari perkiraan ketika penagakan hukum di Sumatera makin lemah oleh berbagai faktor.
Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari The Crisis of Indonesia. Kawasan-kawasan Taman Nasional seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional di Aceh dan lainnya. Sudah menjadi lahan empuk para pengusaha pengelola hutan yang diback-up habis oleh oknum-oknum. Mulai dari oknum pejabat pusat hingga Desa, mulai dari oknum yang ada di Mabes Polri, TNI dan Kehutanan hingga ke Polsek-Polsek, Koramil dan Petugas Jagawanan.
Bayangkan saja, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebutkan dalam setahunnya kerugian akibat illegal logging lebih dari Rp 27 triliun. Sedangkan Polri menyebutkan kerugian akibat illegal logging setahunnya mencapai Rp 30 triliun. Bukankah itu angka fantastis di negara yang masih diliputi krisis multidimensional? Artinya, setahun Indonesia kehilangan kayu-kayunya akibat pembalakan liar (illegal logging) mencapai 23,33 juta kubik kayu.
Kerusakan dan kehancuran serta kerugian akibat illegal logging, sangat terasa. Korban harta benda yang dimiliki masyarakat akibat longsor, banjir dan perubahan iklan (suhu) di Indonesia yang makin tak menentu, sekaligus menhilangkan dan melenyapkan devisa negara dari hasil-hasil hutan. Masalahnya semakin berat dan rumit untuk direhabilitasi karena rusaknya berbagai infrastruktur, konflik sosial di sekitar wilayah hutan yang rusak tersebut.
Sedangkan sektor perekonomian masyarakat menjadi bulan-bulanan arus globalisasi yang dimainkan para kapital-kapital yang berkalaborasi dengan oknum-oknum di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kerusakan dan kehancuran hutan tidak akan terjadi manakala tidak ada unsur KKN yang menjamur sejak era reformasi 1998.
Tidak heran dan sudah terbukti, jika pembalakan liar, itu disamakan dengan korupsi yang menjasdi cikal bakal kesdengsaraan rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Penegakan aturan hukum terhadap praktek pembalakan liar, masih terasa sulit. Misalnya para tersangka pembalakan liar—yang merupakan pekerja di lapangan. Mereka adalah rakyat yang ada di sekitar hutan yang diillegal logging itu. Dapat dilepas begitu saja dengan memberikan imbalan kepada penyidik atau aparat penegakan hukum.
Sementara, para pengusaha atau cukong di belakang aksi pembalakan liar, jarang yang dapat disentuh oleh aparat. Kendati, sebagian besar cukong pembakalan liar, sudah sangat diketahui oleh aparat penegakan hukum. Tapi, karena imbalan yang terus menerus memberikan rezki kepada aparat penyidik/aparat penegak hukum. Akan semakin jauh untuk menyentuh para cukuong pembalakan liar tersebut.
Kasus pencopotan Kapolda Kalimantan Barat yang terlibat pembalakan liar oleh Kapolri belum lama ini, menjadi bukti nyata bagaimana keterlibatan aparat penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar yang saat ini masing berlangsung terus. Ditamba lagi pemecatan Kapolres Ketapang, AKBP Guztav Leo—terkait pemba;lakan liar di Kalimantan Barat. Juga, ada kasus pemberhentian Kapolsek Tenayan, Riau, Iptu Ardinal Efendi dan dicopotnya Kapolsek kesatuan Polisi Pengamatan pelabuhan Pekanbaru, AKP Seno Mulya terkait penyelundupan barang dan kayu di alur Sungai Siak Pekanbaru, Riau.
Saya pikir satu kasus tentang pembalakan liar, khususnya di Sumatera ini, perlu direnungi dan direspon oleh generasi mudanya. Kita tidak lagi hanya menggelar seminar, lokakarya atau berdebat tentang aksi pembalakan liar. Karena, kita butuh aksi nyata menghentikan praktek pembalaan liar itu dengan memikul aturan-aturan yang ada. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
----------opini 3
Politik ‘Tergantung’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Oleh Naim Emel Prahana
POLITIK memang, selalu menyisakan intrik-intrik dan konflik sosial. Padahal, politik tidak semuanya dapat dijalankan sebagaimana substansi politik yang sesungguhnya. Bila membicarakan politik—selalu saja fokusnya ke pengambilalihan kekuasaan dengan trik dan strategi politik para pengurus partai politik.
Padahal diketahui, di dalam hidup masyarakat politik itu dikenal sebagai cara dan upaya menghadapi berbagai persoalan, untuk dapat dicarikan solusinya. Sehingga, tidak semua orang dapat dan bisa ditunjuk untuk berbicara terhadap pihak lain mernyangkut penyelesaian suatu persoalan antar kelompok, antar individu dalam masyarakat dan antar masyarakat suatu desa dengan desa lain.
Bila itu semua dapat dipahami sekitar 60—80% anggota masyarakat suatu wilayah (desa, kampung, kelurahan, kecamatan atau wilayah lebih luas lagi). Niscaya politik bukanlah hanya untuk merebut kekuasaan. Tetapi, politik lebih cenderung digunakan sebagai cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang sudah dan sedang terjadi.
Sayangnya, selama ini masyarakat Indonesia hanya dicekoki atau diberi pemahaman sebatas bahwa politik itu hanya suatu cara bagaimana merebut kekuasaan. Padahal, tidak demikian. Oleh karena itu, dalam penyelesaian menggunakan cara politik. Orang yang diberi tugas benar-benar orang yang mampu mengutarakan dan menyampaikan bahasa komunikasi yang tepat, baik serta bijak dan lainnya.
Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas. Untuk membuka cakrawala berpola pikir masyarakat menghadapi hajat daerah dan nasional. Maka, baik pula kita coba menelaah hasil-hasil pemilihan kepala daerah di beberapa daerah di Indonesia. Terutama pasca diperbolehkannya calon alternatif (jalur independen) untuk mendaftarkan diri sebagai bakal calon kepala daerah di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota).
Fenomena menarik untuk dilihat dari kacamata masing-masing dewasa ini adalah kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golongan Karya atau populernya Golkar di beberapa pilkada. Golkar yang pernah mendominasi pemerintahan Indonesia selama 32 tahun. Pada akhirnya harus menerima kenyataan. Kenyataan yang bisa dikelompokkan kepada citra partai yang kian memudar dan obsesi pengurus partai yang banyak melanggar komitmen partai Golkar itu sendiri.
Komitmen partai Golkar yang sudah dituangkan dalam AD/ART dan Peraturan Organisasi (PO), juga petunjuk-petunjuk pelaksana (Juklak) yang sudah dikeluarkan dan diberlakukan itu. Ternyata dilanggar sendiri oleh pengurus Golkar. Baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Akibat dengans engaja melanggar aturan partai itu, tentunya tidak semua fungsionaris dan kader Golkar menyetujui adanya unsur sengaja dalam bentuk pelanggaran aturan organisasi tersebut.
Sekarang, timbul pertanyaan; mungkin karena hal itu menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan para petarun (calon) yang diusung oleh Golkar pada beberapa Pilkada akhir-akhir ini? Bisaja jadi sebagai salah satu penyebab. Dengan asumsi, bahwa faktor penyebab lainnya masih banyak dan mungkin mendominasi akibat yang diterima oleh Golkar saat ini.
Adalah satu hal yang dianggap sepele oleh pengurus Golkar akhir-akhir ini adalah persyaratan mutlak Ketua DPP, DPD I Provinsi, DPD II Kabupaten/kota adalah minimal si calon ketua mempunyai pendidikan S-1 (sarjana). Sejalan dengan itu, saat ini ada beberapa daerah, di mana ketua DPD Golkar itu dipilih—lebih tepatnya ditunjuk dengan kekuasaan orang-orang yang dilihat hanya dari sisi ekonomi, populeritas atau sepakterjangnya yang berani. Klausula minimal pendidikan yang harus ada, dikesampingkan begitu saja. Hal itu termasuk di Lampung.
Berkaitan dengan itu, ada syarat lain yang selalu dinodai oleh pelanggaran pengurus dan oleh kader partai, yaitu untuk menjadi ketua partai ada syarat minimal seseorang itu pernah menjadi pengurus sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Berarti, unsur yang dikedepankan itu mengisyaratkan, bahwa (1) yang tidak memiliki pendidikan S-1 secara otomatis tidak dapat dipilih dan diangkat serta disahkan menjadi ketua partai (sesuai tingkatannya). Ke (2) dengan syarat minimal pernah duduk sebagai pengurus setidak-tidaknya 1 (satu) tahun memberikan hak otomatis, bahwa seseorang yang tidak pernah jadi pengurus partai Golkar, tidak dapat diterima dan didudukkan sebagai pengurus DPP, DPD I dan DPDI kabupaten/kota.
Kenyataan, berbicara lain. Kecenderungan melanggar AD/ART, PO dan Juklak Partai Goplkar oleh orang Golkar sendiri, merupakan mata rantai sebab yang menyebabkan Golkar menghadapi citra diri yang terus merosot di mata masyarakat. Akibatnya, petarung mereka di beberapa pilkada harus puas dengan kemenangan petarung dari partai lain.
Di sisi lain, politik devide et impera dalam tubuh partai atau dalam kepengurusan Golkar, jelas mempunyai dampak sangat tidak menguntungkan Golkar dalam beberapa momentum pilkada. Mungkin juga momentum pemilu 2009 dan pilpres. Perjalanan berikutnya akan berhembus wacana-wacana untuk mengganti Ketua Umum DPP Golkar sejak 2007 lalu. Bagaimana untuk melakswanakan Munaslub—mengganti Ketua Umum DPP Golkar.
Asumsinya, jika Golkar sudah tidak mematahui aturannya sendiri, maka sangat jelas kalau Golkar tidak akan peduli dengan komitmen politik terhadap rakyat. Jika ini benar, maka sangat beralasan kalau rakyat meninggalkan Golkar secara perlahan tapi pasti. Diyakini bahwa hingga sekarang fungsionaris Partai Golkar, baik di pusat dan daerah masih mengidam-idamkan mereka seperti zaman orde baru.
Di mana, zaman itu Golkar berlindung di balik kekuatan TNI dan kekuasaan pemerintah. Sekarang, era reformasi keinginan seperti itu tidak akan dapat diulangi lagi, pendidikan politik rakyat sudah cukup baik—kendati belum baik benar.
Persoalannya, mampukah orang-orang Golkar mematuhi aturannya sendiri atau aturan itu mereka kedepankan hanya untuk kader partyai tingkat bawah saja dan tidak berlaku bagi kader partai yang memegang kekuasaan partai. Satu hal lagi yang menarik kita cermati Partai Golkar ini adalah selera pengurus pusat yang begitu rendah, jika berhadapan dengan upeti dari pimpinan partai dari daerah.
Misalnya, ketika disodorkan biaya untuk umroh atau lainnya, membuat oknum pengurus pusat silau dan membiarkan fakta dan data kebenaran di lapangan menjadi basi dengan membenarkan tindakan Ketua DPD I atau DPDII untuk melakukan aksi-aksi pembabatan dan pemalakan liar terhadap kader partai yang ada di lembaga legislatif.
Jadi, menurut hemat saya. Di tubuh Golkar harus ada perubahan yang besar-besaran dan yang patut dijadikan pengurus adalah orang-orang yang bukan type bunglon atau mereka yang selalu mengedepankan laporan asbun. Saat ini Golkar menghadapi orang-orangnya sendiri yang mematahkan aturan serta managemen partai yang sudah baik menjadi tidak dapat dipergunakan. Itu semua karena ambisi politik yang salah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
-------------opini 2
The Young Sumatera, Bangkitlah
Oleh Naim Emel Prahana
MEMBAYANGKAN seandainya Indonesia tanpa Pulau Sumatera, apa jadinya! Apa jadinya pula kalau pemberotakan PRRI Semesta memenangkan konflik bersenjata dengan Pemerintah RI di bawah Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta dimenangkang PRRI Permesta yang berpusat di Bukittinggi, Sumatera Barat. Lagu Indonesia sepertinya mengalami kerusakan atau robek di sana-sini.
Perandaian atau andaikan itu, kini dan akan datang masih tetap ada kemungkinan-kemungkinan terjadinya suatu persoalan bangsa dan negara ini yang lebih serius lagi dibandingkan dengan apa yang sudah dan sedang terjadi saat ini. Contohnya, konflik antara Aceh dan RI. Pemerintah Indonesia saja sudah tak mampu mengatasinya, tanpa keterlibatan pihak ketiga.
Namun, dalam situasi dan kondisi ini kita tidak boleh terjebak isu kedaerahan yang akan mendangkalkan filosofi national building. Mengingati pemerintah RI dari dan dengan berbagai momentum sejarah bangsa yang kita ketahui dan pelajari selama ini sebagai basis nilai-nilai kebangsaan.
Indonesia pernah dikhawatirkan akan menghadapi persoalan seperti Yugoslawakia, dan seperti Uni Soviet yang terpecah belah menjadi bagian-bagian negara yang berdaulat penuh. Artinya, Indonesia lebih rawan, jika jiwa nasionalisme di tengah masyarakat saat ini terus merosot. Nilai-nilai kebangsaan meluntur berbarengan gencarnya pengaruh budaya asing (infiltrasi).
Salah satu bagian terpenting dari Indonesia tentunya Pulau Sumatera dengan sekian sukubangsa yang ada, sekian kebudayaan yang mandiri, sekian hukum adat yang berlainan satu dengan lainnya. Sumatera menjadi penyanggah utama kehidupan masyarakat di Pulau Jawa. Tapi, Sumatera lebih banyak tertinggalnya dibanding Pulau Jawa.
Sementara itu, situasi dan kondisi Pulau Sumatera pun semakin runyam dengan tingkat kerusakan lingkungan alamnya yang sangat tinggi dan luas dirasakan oleh masyarakat, bahkan masyarakat dunia. Seperti pembakaran hutan dengan produksi asapnya sampai ke seluruh Asia Tenggara. Pembukaan areal perkebunan besar setelah PP 20 tahun 1970 disahkan pemerintah Orde Baru—sekaligus menyemai, mengembang-biaknya praktek illegal logging.
Sementara ini, masyarakat yang mayoritas di Sumatera tidak paham betul dampak fatal akibat ilegal logging, pembakaran hutan dan pembukaan lahan pertanian baru oleh masyarakat pedesaan. Sumatera tinggal menunggu kehancuran lingkungan. Pertsoalaannya tinggal hitungan waktu saja lagi. Kerusakan itu akan lebih cepat dari perkiraan ketika penagakan hukum di Sumatera makin lemah oleh berbagai faktor.
Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari The Crisis of Indonesia. Kawasan-kawasan Taman Nasional seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Kerinci Seblat, Taman Nasional di Aceh dan lainnya. Sudah menjadi lahan empuk para pengusaha pengelola hutan yang diback-up habis oleh oknum-oknum. Mulai dari oknum pejabat pusat hingga Desa, mulai dari oknum yang ada di Mabes Polri, TNI dan Kehutanan hingga ke Polsek-Polsek, Koramil dan Petugas Jagawanan.
Bayangkan saja, dalam laporan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menyebutkan dalam setahunnya kerugian akibat illegal logging lebih dari Rp 27 triliun. Sedangkan Polri menyebutkan kerugian akibat illegal logging setahunnya mencapai Rp 30 triliun. Bukankah itu angka fantastis di negara yang masih diliputi krisis multidimensional? Artinya, setahun Indonesia kehilangan kayu-kayunya akibat pembalakan liar (illegal logging) mencapai 23,33 juta kubik kayu.
Kerusakan dan kehancuran serta kerugian akibat illegal logging, sangat terasa. Korban harta benda yang dimiliki masyarakat akibat longsor, banjir dan perubahan iklan (suhu) di Indonesia yang makin tak menentu, sekaligus menhilangkan dan melenyapkan devisa negara dari hasil-hasil hutan. Masalahnya semakin berat dan rumit untuk direhabilitasi karena rusaknya berbagai infrastruktur, konflik sosial di sekitar wilayah hutan yang rusak tersebut.
Sedangkan sektor perekonomian masyarakat menjadi bulan-bulanan arus globalisasi yang dimainkan para kapital-kapital yang berkalaborasi dengan oknum-oknum di berbagai instansi pemerintah maupun swasta. Kerusakan dan kehancuran hutan tidak akan terjadi manakala tidak ada unsur KKN yang menjamur sejak era reformasi 1998.
Tidak heran dan sudah terbukti, jika pembalakan liar, itu disamakan dengan korupsi yang menjasdi cikal bakal kesdengsaraan rakyat kecil yang menjadi mayoritas penduduk di Indonesia. Penegakan aturan hukum terhadap praktek pembalakan liar, masih terasa sulit. Misalnya para tersangka pembalakan liar—yang merupakan pekerja di lapangan. Mereka adalah rakyat yang ada di sekitar hutan yang diillegal logging itu. Dapat dilepas begitu saja dengan memberikan imbalan kepada penyidik atau aparat penegakan hukum.
Sementara, para pengusaha atau cukong di belakang aksi pembalakan liar, jarang yang dapat disentuh oleh aparat. Kendati, sebagian besar cukong pembakalan liar, sudah sangat diketahui oleh aparat penegakan hukum. Tapi, karena imbalan yang terus menerus memberikan rezki kepada aparat penyidik/aparat penegak hukum. Akan semakin jauh untuk menyentuh para cukuong pembalakan liar tersebut.
Kasus pencopotan Kapolda Kalimantan Barat yang terlibat pembalakan liar oleh Kapolri belum lama ini, menjadi bukti nyata bagaimana keterlibatan aparat penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar yang saat ini masing berlangsung terus. Ditamba lagi pemecatan Kapolres Ketapang, AKBP Guztav Leo—terkait pemba;lakan liar di Kalimantan Barat. Juga, ada kasus pemberhentian Kapolsek Tenayan, Riau, Iptu Ardinal Efendi dan dicopotnya Kapolsek kesatuan Polisi Pengamatan pelabuhan Pekanbaru, AKP Seno Mulya terkait penyelundupan barang dan kayu di alur Sungai Siak Pekanbaru, Riau.
Saya pikir satu kasus tentang pembalakan liar, khususnya di Sumatera ini, perlu direnungi dan direspon oleh generasi mudanya. Kita tidak lagi hanya menggelar seminar, lokakarya atau berdebat tentang aksi pembalakan liar. Karena, kita butuh aksi nyata menghentikan praktek pembalaan liar itu dengan memikul aturan-aturan yang ada. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
----------opini 3
Politik ‘Tergantung’ Politik
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU boleh, saya suka dengan kecepatan berpikir dan mengatasi masalah. Hanya, harus diimbangi dengan kenyataan tapa latar belakang pembunuhan karakter. Hal ini terkait dengan kenaikan harga BBM oleh pemerintah per 23 Mei 2008 lalu. Yang sebelum sampai sekarang disambut hangat oleh masyarakat dengan unjukrasa.
Pemerintah adalah penguasa suatu negara. Bisa jadi penjajah masyarakatnya sendiri. Hanya ada beberapa negara saja yang mampu mendekati penerapan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan kepemerintahannya. Bagi negara-negara yang hanya berteriak tentang sistem demokrasi. Tidak lebih tidak kurang para penguasanya (baca ‘pemimpin’) adalah sekumpulan penjajah.
Politik yang sangat terkenal di zaman penjajahan adalah politik ketergantuangan. Di mana, penguasa (pemerintah) membuat strategi dan meminit penyelenggaraan sistem pemerintahannya melalui pola ‘ketergantungan’.
Semakin besar ketergantungan rakyat kepada pemerintah, maka semakin kuatlah kedudukan dan kekuasaan pemerintah (penguasanya). Demokrasi hanyalah bagian dari diplomasi untuk menundukkan (menaklukkan) rakyat. Terutama rakyat yang sudah terbuka tingkat pendidikannya.
Jika rakta alias masyarakat suatu negara tidak begitu tergantung kepada pemerintahnya, maka posisi, kedudukan dan kekuasaan para penguasa akan menjadi lemah. Dan, bagaimana dengan negara Indonesia? Bacaan rakyat sudah terlalu menderita, luka, sengsara dan makin miskin serta melarat berkepanjangan. Sementara itu, pemilik modal, termasuk pejabat publik semakin mewah dalam kehidupan kekuasaan mereka.
Adalah hal yang keliru, ketika pemerintah Indonesia menaikkan harga BBM yangs erta merta diikuti kucuran dana BLT dan kucuran dana bantuan bagi pelajar dan mahasiswa yang cukup signifikan jumlahnya.
Di mana, versi pemerintah mengatakan ada 400.000 mahasiswa miskin di Indonesia. Mereka akan dibantu dengan program beasiswa senilai Rp 500.000,- per mahasiswa per semester (6 bulan). Berarti, setiap bulannya mahasiswa hanya menerima sekitar Rp 83.000,- (delapan puluh tiga ribu rupiah).
Rasanya, program Mendiknas itu hanyalah akal-akalan. Uang Rp 83.000,- sebulan, apa yang dapat dinikmati? Kalau mahasiswa miskin, maka mereka tidak pernah dapat dan mampu kuliah. Seorang mahasiswa setiap bulannya mengeluarkan anggaran rata-rata di atas Rp 500 ribu.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan itu, antara lain untuk sewa kamar/kost, uang makan, uang transportasi, uang buku, dan uang kebutuhan skundair lainnya. Jika mahasiswa memiliki sepeda motor, maka biaya yang dibutuhkan semakin besar. Demikian pula kalau mahasiswa tidak memiliki motor. Artinya, naik angkutan kota, bisa bis atau angkot. Maka, biaya yang harus dikeluarkan tiap bulan sangat besar. Belum lagi biaya untuk alat tulis (ATK= alat tulis kuliah).
Wajar banyak pengamat mengatakan, kucuran dana Rp 500 ribu per mahasiswa per 1 semester pasca kenaikan harga BBM adalah politik pemerintah untuk menjinakkan mahasiswa. Dengan akumulasi bantuan demikian. Terlihat besar, tetapi jika dinyatakan dalam angka realitas kehidupan mahasiswa tiap hari dan bulannya. Angka besar itu hilang dalam pengurusan dan pengucapan belaka.
Beasiswa untuk mahasiswa miskin itu sangat tidak manusia dan tidak relevan dengan UUD 1945. tujuannya hanya untuk mempertahankan kekuasaan rezim penguasa. Namun, lain halnya jika program bantuan beasiswa itu dikemas dalam bentuk program lain. Hasilnya mungkin dapat dirasakan mahasiswa yang kurang mampu.
Apalagi lagi mekanisme pemberian bantuan beasiswa, kriteria mahasiswa miskin yang dimaksud pemerintah dan sebagainya belum jelas sama sekali. Apapun bantahan Mendiknas, Bambang Sudibyo tentang beasiswa sebesar Rp 500.000 per semester bagi 400.000 mahasiswa itu, tetap saja diragukan tujuan pemberiannya.
Bisa jadi hal itu adalah suap terhadap PT dan civitas akademikanya. Hal itu dikatakan dan diakui oleh Mendiknas saat berada di Bali. Kata Bambang, ''Pemberian bantuan kepada mahasiswa kurang mampu ini merupakan alat untuk meredam aksi mahasiswa yang menolak kenaikan harga BBM''
Oleh karena itu, masyarakat kampus harus ekstra hati-hati menyikapi, apalagi menerima bantuan beasiswa tersebut. Sudah banyak program bantuan untuk mahasiswa selama ini. Namun, pada kenyataannya hanyalah merupakan paket ‘peredam” aksi-kasi mahasiswa. Dan, bantuannya tidak pernah efektif. Karena dijadikan lahan proyek oleh oknum-oknum dilingkungan Depdiknas.
Seperti halnya bantuan-bantuan sejenis BOS, DAK, POP, Schoolgrand dan sebagainya—pada akhirnya menjadi sawah ladang oknum-oknum pejabat dilingkungan Depdiknas hingga Dinas Pendidikan di kabupaten/kota, yang berkabolarasi dengan kepala-kepala sekolah. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers
RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.
Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers
RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.
Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.
Defisit Moralisme Kekuasaan
Defisit Moralisme Kekuasaan
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers
Negeri kita saat ini benar-benar seperti potret “panggung sandiwara”, sekian ratus pemimpinnya yang mengenakan topeng-topeng. Yang sulit dikenal raut wajahnya ketika marah, benci dan tersenyum. Sudah tak ada bedanya dengan penampilan kebanyakan wanita-wanitanya yang berbaju dan bercelana super ketat. Tapi, tubuhnya sudah sedemikian rapuh. Sehingga tidak ada isi otot dan bagian tubuh lainnya. Semua sudah sangat kendur.
Hampir tiada waktu, masyarakat dipertontonkan sandiwara perdebatan dalam naskah ‘permainan’ para badut. Padahal, masyarakat sudah lama memandang dengan sikap sinisme dan apatisme. Jika pandangan masyarakat itu sudah hampir menyentuh semua lapisan. Maka, apapun yang direncanakan, diprogramkan dan dilaksanakan. Pastilah gagal. Dan, kegagalan itu dalam naskah panggung sandiwara adalah tujuan para pemainnya.
Paradigma kekusaan yang dipertontonkan, kendati ancaman kritik pedas dari masyarakat. Namun, filosofi “biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu” sudah menjadi trade mark petinggi di negeri ini. Seperti kasus BLBI—ke dihentikannya kasus bertiras puluhan triliun itu kemudian kasus suap 600 ribu dolar dan sidang kasus tersebut yang melibatkan jaksa terbaik di Indonesia. Ternyata masih meragukan mengenai penegakan hukum kita. Rasa keadilan dan ketertindasan rakyat akibat kasus BLBI, Ayin hanya diancam hukuman 5 tahun penjara.
Sedangkan, eberapa jaksa agung muda yang terlibat kasus tersebut, hanya dikenakan sanksi administrasi internal Kejaksaan Agung belaka. Ironis memang, di tengah gencarnya propaganda pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi hanya dijadikan mainan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi dan suap merajalela, baik di DPR-RI, Mahkamah Agung, hingga ke dinas/istansi maupun badan serta perusahaan negara. Politik uang telah memberikan gambaran betapa bobroknya para elite pemimpin bangsa yang tengah berkuasa. Ilmu para koruptor kelas elite negeri kita ini, selalu menantang dan menyuarakan anti korupsi. Dan, jika tertangkap ulah nyeleneh dipertontonkan. Seperti, alasan sakit menjadi senjata mengulur-ulur waktu pemeriksaan terhadap diri mereka.
Moralisme para petinggi—pemimpin—politis negeri, sudah demikian lemah, sehingga tidak mampu melawan godaan materi atau harta benda duniawi. Alasan apapun, tidak akan mampu melawan alasan dan faktor moral yang lemah. Korupsi bukanlah akibat tekanan ekonomi belaka atau karena minimnya pemahaman agama. Korupsi disertai kolusi dan nepotisme, merupakan gaya hidup manusia Indonesia yang terkena dampak globalisasi dan disebabkan tidak mampu untuk mencitrakan diri dalam dirinya sendiri.
Soal kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti diungkapkan oleh seorang dosen Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dalam diskusi belum lama ini, kecenderungan melakukan korupsi (+kolusi dan nepotisme) sangat kecil. Ditambah lagi karena merosotnya nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Indonesia.
Sulitnya kebutuhan hidup mempunyai kecenderungan yang sangat kecil terhadap praktek korupsi. Sebab, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mapan dalam kehidupannya. Karena mereka memiliki status sosial yang tinggi, seperti pejabat gubernur, bupati, walikopta beserta wakilnya beserta pejabat teras daerah lainnya. Termasuk para menteri dan pembantunya dan para pengusaha.
Kalau dikatakan mereka terdesak kebutuhan hidup. Sangatlah tipis teori tersebut. Faktor agama karena mereka tidak mau menyadari apa yang mereka sadari tentang perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Kemudian, adalah betul faktor keserakahan. Akan tetapi, serakah tanpa jabatan sosial, maka korupsi tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Korupsi yang dikenal sekarang—konotasinya berkaitan dengan uang. Padahal awalnya hanyalah akibat korupsi bentuk lain, yaitu korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi wewenang, korupsi undang-undang (peraturan) dan korupsi lainnya—yang kemudian dikenal dengan kolusi dan nepotisme.
Kalau di zaman orde baru tindak korupsi dilakukan secara teratur dan terorganisir dalam satu mata rantai kekuasaan. Tetapi, pasca reformasi, tindak pidana korupsi tidak lagi terorganisir sebagaimana di zaman orba. Akan tetapi, bisa diorganisir, terjadi karena individual dan kolektif tapi bukan suatu jaringan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi sepertinya naskah film kolosal yang melibatkan banyak orang dan orangnya berasal dari klasifikasi sosial apapun. Korupsi selalu terencana dan terprogram dengan baik. Tidak mungkin korupsi itu hanya terjadi secara spontan yang nama spontan masuk dalam kategori maling, pencuri atau tindak kriminal biasa. Sedangkan korupsi—walau ada unsur ‘maling’ atau mengambil barang milik orang/badan/negara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Tetapi, pengelompokannya tidak seperti tindak pidana mencuri ayam atau uang milik pemilik warung.
Sebenarnya, perbuatan korupsi itu diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk meminit kebutuhan hidup (life style) akibat pengaruh perkembangan dunia yang sedang dan sudah terjadi. Terutama gaya hidup yang memprioritaskan kebutuhan skundair atau tersier sebagai kebutuhan utama. Misalnya gaya hidup belanja di supermarket besar, gaya hidup weekend yang berlebihan dan trend pergaulan yang memakan biaya tinggi dan sebagainya.
Korupsi itu dapat terjadi kepada siapa saja, tidak hanya pejabat (pegawai pemerintah) tetapi siapapun yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan hidupnya. Maka, pintu perbuatan korupsi akan mudah terbuka. Apalagi di tubuh partai politik yang rentan dengan gaya hidup selebritisnya. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demikian pula yang dimaksud dengan korupsi berjemaah. Artinya, sebagian besar masyarakat kita sudah mengalami kekurangan pemahaman soal etika moral dalam hidupnya (defisit). Karena estetika, etika dan moralnya terus berkurang, tidak pernah surplus. Akibatnya adalah ketidakmampuannya menghadapi rayuan duniawi dengan gaya hidup masyarakat yang gemerlapan.
Tidak ada jalan lain, untuk memulai jalan pintyas memberantas praktek korupsi (+kolusi dan nepotisme), mulai dari kontrol aktif masyarakat yang sudah demokratif, agar ruang demokrasi itu dapat digunakan sebaik mungkin untuk dijadikan deliberasi. Deliberasi adalah bentuk keterlibatan aktif rakyat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan jalannya pemerintahan (negara).
Mungkin ada baiknya mengutip pernyataan bijak soal moralitas tadi, menurut Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.artinya penyelewengan moral itu yang sekian lama ditutup-tutupi penguasa dan kroninya, harus dibongkar habis melalui peran aktif masyarakat.
Moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan ( When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened), demikian Herbert Hooenr presiden ke 31 AS mengungkapkan persoalan baik tidaknya pemerintah yang dikaitkan dengan martabat (moral). Ungkapan tajam Herbert itu dikatakannya tahun 1961. lalu, diktuip oleh harian The New York Time (edisi 9 Agustus 1961).
Komentar terkejam diperlihatkan oleh William Gladsrone—salah seorang Perdana Menteri Inggris tahun 60-an, yang mengatakan sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sedangkan Karl Marx mendudukan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan. Harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri.
Sejak saat itulah defisit yang akhirnya mengalirkan inflasi moralisme membuahkan praktek yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
(Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya)—kata Direktur Social Development Center Jakarta beberapa waktu lalu yang mengutip teori Karl Marx.
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers
Negeri kita saat ini benar-benar seperti potret “panggung sandiwara”, sekian ratus pemimpinnya yang mengenakan topeng-topeng. Yang sulit dikenal raut wajahnya ketika marah, benci dan tersenyum. Sudah tak ada bedanya dengan penampilan kebanyakan wanita-wanitanya yang berbaju dan bercelana super ketat. Tapi, tubuhnya sudah sedemikian rapuh. Sehingga tidak ada isi otot dan bagian tubuh lainnya. Semua sudah sangat kendur.
Hampir tiada waktu, masyarakat dipertontonkan sandiwara perdebatan dalam naskah ‘permainan’ para badut. Padahal, masyarakat sudah lama memandang dengan sikap sinisme dan apatisme. Jika pandangan masyarakat itu sudah hampir menyentuh semua lapisan. Maka, apapun yang direncanakan, diprogramkan dan dilaksanakan. Pastilah gagal. Dan, kegagalan itu dalam naskah panggung sandiwara adalah tujuan para pemainnya.
Paradigma kekusaan yang dipertontonkan, kendati ancaman kritik pedas dari masyarakat. Namun, filosofi “biarkan anjing menggonggong, kafilah terus berlalu” sudah menjadi trade mark petinggi di negeri ini. Seperti kasus BLBI—ke dihentikannya kasus bertiras puluhan triliun itu kemudian kasus suap 600 ribu dolar dan sidang kasus tersebut yang melibatkan jaksa terbaik di Indonesia. Ternyata masih meragukan mengenai penegakan hukum kita. Rasa keadilan dan ketertindasan rakyat akibat kasus BLBI, Ayin hanya diancam hukuman 5 tahun penjara.
Sedangkan, eberapa jaksa agung muda yang terlibat kasus tersebut, hanya dikenakan sanksi administrasi internal Kejaksaan Agung belaka. Ironis memang, di tengah gencarnya propaganda pemberantasan korupsi. Kasus-kasus korupsi hanya dijadikan mainan aparat penegak hukum itu sendiri.
Korupsi dan suap merajalela, baik di DPR-RI, Mahkamah Agung, hingga ke dinas/istansi maupun badan serta perusahaan negara. Politik uang telah memberikan gambaran betapa bobroknya para elite pemimpin bangsa yang tengah berkuasa. Ilmu para koruptor kelas elite negeri kita ini, selalu menantang dan menyuarakan anti korupsi. Dan, jika tertangkap ulah nyeleneh dipertontonkan. Seperti, alasan sakit menjadi senjata mengulur-ulur waktu pemeriksaan terhadap diri mereka.
Moralisme para petinggi—pemimpin—politis negeri, sudah demikian lemah, sehingga tidak mampu melawan godaan materi atau harta benda duniawi. Alasan apapun, tidak akan mampu melawan alasan dan faktor moral yang lemah. Korupsi bukanlah akibat tekanan ekonomi belaka atau karena minimnya pemahaman agama. Korupsi disertai kolusi dan nepotisme, merupakan gaya hidup manusia Indonesia yang terkena dampak globalisasi dan disebabkan tidak mampu untuk mencitrakan diri dalam dirinya sendiri.
Soal kesulitan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti diungkapkan oleh seorang dosen Universitas Muhammadiyah Metro (UMM) dalam diskusi belum lama ini, kecenderungan melakukan korupsi (+kolusi dan nepotisme) sangat kecil. Ditambah lagi karena merosotnya nilai-nilai pendidikan agama dalam masyarakat Indonesia.
Sulitnya kebutuhan hidup mempunyai kecenderungan yang sangat kecil terhadap praktek korupsi. Sebab, korupsi dilakukan oleh orang-orang yang mapan dalam kehidupannya. Karena mereka memiliki status sosial yang tinggi, seperti pejabat gubernur, bupati, walikopta beserta wakilnya beserta pejabat teras daerah lainnya. Termasuk para menteri dan pembantunya dan para pengusaha.
Kalau dikatakan mereka terdesak kebutuhan hidup. Sangatlah tipis teori tersebut. Faktor agama karena mereka tidak mau menyadari apa yang mereka sadari tentang perbuatan buruk yang merugikan orang banyak. Kemudian, adalah betul faktor keserakahan. Akan tetapi, serakah tanpa jabatan sosial, maka korupsi tidak akan terjadi seperti sekarang ini.
Korupsi yang dikenal sekarang—konotasinya berkaitan dengan uang. Padahal awalnya hanyalah akibat korupsi bentuk lain, yaitu korupsi waktu, korupsi jabatan, korupsi wewenang, korupsi undang-undang (peraturan) dan korupsi lainnya—yang kemudian dikenal dengan kolusi dan nepotisme.
Kalau di zaman orde baru tindak korupsi dilakukan secara teratur dan terorganisir dalam satu mata rantai kekuasaan. Tetapi, pasca reformasi, tindak pidana korupsi tidak lagi terorganisir sebagaimana di zaman orba. Akan tetapi, bisa diorganisir, terjadi karena individual dan kolektif tapi bukan suatu jaringan korupsi.
Saat ini tindakan korupsi sepertinya naskah film kolosal yang melibatkan banyak orang dan orangnya berasal dari klasifikasi sosial apapun. Korupsi selalu terencana dan terprogram dengan baik. Tidak mungkin korupsi itu hanya terjadi secara spontan yang nama spontan masuk dalam kategori maling, pencuri atau tindak kriminal biasa. Sedangkan korupsi—walau ada unsur ‘maling’ atau mengambil barang milik orang/badan/negara untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok. Tetapi, pengelompokannya tidak seperti tindak pidana mencuri ayam atau uang milik pemilik warung.
Sebenarnya, perbuatan korupsi itu diakibatkan karena ketidakmampuan seseorang atau kelompok untuk meminit kebutuhan hidup (life style) akibat pengaruh perkembangan dunia yang sedang dan sudah terjadi. Terutama gaya hidup yang memprioritaskan kebutuhan skundair atau tersier sebagai kebutuhan utama. Misalnya gaya hidup belanja di supermarket besar, gaya hidup weekend yang berlebihan dan trend pergaulan yang memakan biaya tinggi dan sebagainya.
Korupsi itu dapat terjadi kepada siapa saja, tidak hanya pejabat (pegawai pemerintah) tetapi siapapun yang tidak mampu mengendalikan kebutuhan hidupnya. Maka, pintu perbuatan korupsi akan mudah terbuka. Apalagi di tubuh partai politik yang rentan dengan gaya hidup selebritisnya. Demi memuluskan jalan menuju kekuasaan atau demi mempertahankan kekuasaan, teman yang baik pun boleh dikhianati. Karena dalam arena kekuasaan dan politik khususnya selalu berlaku adagium, "tidak ada teman abadi, yang ada adalah kepentingan". Atau dalam politik, kepentingan adalah panglima.
Demikian pula yang dimaksud dengan korupsi berjemaah. Artinya, sebagian besar masyarakat kita sudah mengalami kekurangan pemahaman soal etika moral dalam hidupnya (defisit). Karena estetika, etika dan moralnya terus berkurang, tidak pernah surplus. Akibatnya adalah ketidakmampuannya menghadapi rayuan duniawi dengan gaya hidup masyarakat yang gemerlapan.
Tidak ada jalan lain, untuk memulai jalan pintyas memberantas praktek korupsi (+kolusi dan nepotisme), mulai dari kontrol aktif masyarakat yang sudah demokratif, agar ruang demokrasi itu dapat digunakan sebaik mungkin untuk dijadikan deliberasi. Deliberasi adalah bentuk keterlibatan aktif rakyat dalam mengontrol dan mengawasi pelaksanaan jalannya pemerintahan (negara).
Mungkin ada baiknya mengutip pernyataan bijak soal moralitas tadi, menurut Immanuel Kant, hukum moral merupakan suatu kewajiban dan hukum batas moral. Duty and obligation are the only names 'for' our relation to the moral law.artinya penyelewengan moral itu yang sekian lama ditutup-tutupi penguasa dan kroninya, harus dibongkar habis melalui peran aktif masyarakat.
Moralitas seluruh bangsa akan teracuni jika tidak ada martabat dalam pemerintahan ( When there is a lack of honor in government, the morals of the whole people are piosened), demikian Herbert Hooenr presiden ke 31 AS mengungkapkan persoalan baik tidaknya pemerintah yang dikaitkan dengan martabat (moral). Ungkapan tajam Herbert itu dikatakannya tahun 1961. lalu, diktuip oleh harian The New York Time (edisi 9 Agustus 1961).
Komentar terkejam diperlihatkan oleh William Gladsrone—salah seorang Perdana Menteri Inggris tahun 60-an, yang mengatakan sejarah pemerintahan merupakan salah satu wajah paling bejat dari umat manusia. Sedangkan Karl Marx mendudukan moralitas manusia ke dalam bangunan atas ideologis yang hanya berfungsi melegitimasikan struktur-struktur kekuasaan yang mapan. Harapan bahwa perbaikan moralitas para penguasa akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat, dianggap naif, kolot, tidak realistis, bahkan dicurigai sebagai ideologis sendiri.
Sejak saat itulah defisit yang akhirnya mengalirkan inflasi moralisme membuahkan praktek yang sama oleh inflasi penyelewengan, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa dan pengabaian terhadap nasib rakyat yang kurang beruntung.
(Bagaimanapun, moralitas tetap menjadi sosok yang abstrak, entah betapapun kerasnya ia disuarakan dan sangat gencar dalam wacana dan diskursus publik. Sebab, moralitas dalam konteks apa pun, terutama dalam konteks kekuasaan, bukan menyentuh unsur privat, melainkan justru bersentuhan dengan moralitas publik, seperti kejujuran, keterbukaan, keadilan, kesejahteraan dan kebaikan. Moralitas itu menjadi bermanfaat sejauh diakomodasikan dalam bentuk kontrol dan kritik publik dengan aturan main lain yang sifatnya "mengikat" diikuti segala sanksi hukumnya)—kata Direktur Social Development Center Jakarta beberapa waktu lalu yang mengutip teori Karl Marx.
Catatan Panjang Korupsi Kita
Catatan Panjang Korupsi Kita
Oleh Naim Emel Prahana
JALAN panjang mencapai hasil optimal penegakan supremasi hukum di Indonesia, masih sangat panjang. Seperti jalan yang sudah ditempuh dalam kaitannya “pemberantasan korupsi”. Ada banyak faktor yang perjalanan ke suprtemasi hukum secara ideal bisa dicapai bangsa ini.
Dari sekian upaya sejak masa orde lama hingga masa reformasi, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin ‘mengambang’ penanganannya. Diketahui ada beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang masih dipelihara pemerintah. Antara lain; 1. Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); 3. Kepolisian; 4. Kejaksaan; 5. BPKP. Sedangkan lembaga non-pemerintah seperti Media massa dan Organisasi massa—semisal ICW.
Dengan dasar hukum sejak orde lama Orde Lama awalnya menggunakan pasal KUHP dan UU 24/1960, 0rde baru menerbitkan dasar hukum UU 3/1971 , dan masa Reformasi meluncurkan pula dasar hukum pemberantasan korupsi dengan UU 31/1999 serta UU 20/2001.
Penanganan kasus korupsi yang membentang luas, butuh waktu, tenaga, pikiran dan dana, itu jika diefektifkan melalui suatu mekanisme dan sistem yang terpadu. Terutama antara lembaga pemerintah untuk pemberantasan korupsi (Tim Tastipikor, KPK, Kejaksaan, Polisi dan BPKP—yang sangat membutuhkan kesepahaman, untuk menghindari missaction (salah pengertian dalam penanganan di lapangan).
Namun, lembaga-lembaga di atas pun harus menghadapi sindikat peradilan hingga ke MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Dua kutub lembaga penegakan hukum di Indonesia itu, sepertinya tidak menghiraukan referensi hukum yang pernah diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Akhirnya memunculkan image yang makin buruk di masyarakat.
Tanpa mengurangi arti dari tulisan ini, untuk tidak menyebut satu per satu kasus korupsi yang tertangani dan tersebar diberbagai sektor dan kasus korupsi yang tak pernah selesai diungkapkan dalam proses pemberantasan korupsi.
Karena, korupsi sangat erat dengan dunia birokrat, politik, pengusaha (pejabat publik (?)). Sodoran-sodoran atau pledoi (pembelaan) terhadap upaya pengungkapan dan proses hukum kasus korupsi, selalu menghiasi sistem demokrasi di Indonesia.
Jika menelaah unsur hukum dalam tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;-Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);-penggelapan dalam jabatan;-pemerasan dalam jabatan;-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Seharusnya, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa mencapai 80%, yang hasil itu akan mempengaruhi penuntasan krisis multidimesional yang menimpa bangsa ini sejak 1999. Sayangnya, seperti di Jakarta, setiap hari penegakan disiplin lalulintas. Toh, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Yang akhirnya jalan macet tidak pernah tuntas dan itu merembet ke daereah hingga penyelenggaraan pemerintah terdepan, yaitu di kelurahan/pedesaan. Dalam mengelola/menggunakan berbagai dana bantuan.
Mungkin benar adanya, kondisi yang macet menuju penegakan supremasi hukum di Indonesia disebabkan hal klasik, yang sepanjang waktu diperdebatkan. Sampai kepada menerbitkan payung hukumnya berulang-ulang. Berarti, kelemahan yang sudah diketahui secara pasti, bisa jadi penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi tak pernah terselesaikan—termasuk erat kaitannya dengan pejabat publik tadi.
Kelemahan-kelemahan itu, adalah pendukung maraknya korupsi seperti, keadaan yang mendukung munculnya tindak pidana korupsi, ditingkat kekuasaan pengambil keputusan di alam demokrasi, tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, transparansi yang didengung-dengungkan pemerintah hanya slogan—sebenarnya nontranparancy. Kemudian dalam pemilu (termasuk pilkada) kehidupan politik terlalu besar mengeluarkan dana, tingginya volume KKN dalam hal peluncuran proyek-proyek besar yang anggarannya dari rakyat.
Kemudian, istilah pemerintah adalah kekuasaan, kekuasaan itu adalah benar, menjadikan makin lemahnya tertib hukum, rendahnya kadar profesi hukum dan kebebasan berpendapat melalui ‘kebebasan’ media massa terkebiri dengan kecondongan-kecondongan media massa saat ini kepada pemerintah atau pengusaha besar. Pemerintah selalu mengalihkan perhatian atas kasus-kasus yang terjadi dilingkungan dinas/instansi pemerintah atau menyangkut para pejabat dan keluarganya.
Sebenarnya, masyarakat sudah lama menginginkan perjuangan melawan tindak pindana korupsi berhasil mengamankan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, sampai saat ini. Namun, seperti diketahui berbagai lembaga, di samping lembaga pemerintah dan lembaga pemerintah nonstruktural serta lembaga non pemerintah dibentuk. Hasilnya belum terlihat sampai di level menengah.
Itu bersebab, sudah beberapa kali Transparency International dan PBB mengeluarkan daftar negara tertkorup di dunia dan negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi. Posisi Indonesia sangat, sangat memprihatinkan. Begitu luas cakupan tindak korupsi tersebut.
Kronisnya lagi, harapan untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia, selalu terganjal dialetika publik pemerintah. Puluhan jenis dan bentuk korupsi dengan ratusan modusnya; dari tingkat korupsi terberat hingga paling ringan yang gentanyangan di tengah masyarakat. Sampai kepada mengkorupsikan kriminalitas.
Oleh karenanya, pengutamaan penanganan kasus korupsi yang menjadi simbol hukum, ternyata penanganan kasus korupsi terlihat sebagai suatu proyek raksasa; di mana kebun-kebun besar yang digarap itu, ditargetkan akan menghasilkan panen yang cukup besar. Sama seperti proyek-proyek pemerintah yang selalu ‘mengambang’ jika ditemukan indikasi mark up, KKN dan korupsi.
Lebih parah lagi, ketika penanganan kasus korupsi masuk ke lembaga legislative, unsure kepentingan politik lebih besar ketimbang unsur kepentingan masyarakat luas. Kita belum tahu, bagaimana kelanjutan episode kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap atas kasus BLBI untuk Bank BDNI miliknya Syamsul Nursalim beberapa hari lalu.
Karena cakupan korupsi itu sangat luas. Artinya tidak terbatas defenisi Korupsi dari bahasa Latin corruptio (corrumpere=busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Tetapi, bagaimana membuat solusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi itu terkait erat dengan perilaku pejabat publik; politikus (politisi/pegawai negeri), dengan sadar secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Jika demikian, maka sampai kepada kesimpulan bahwa, kejahatan korupsi merupakan tantangan paling serius terhadap pembangunan. Dan, kalau dikaitkan dengan politik, maka korupsi itu menghambat jalannya demokrasi dan good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih)
Sepertinya, tindakan KPK masa Antasari harus didukung penuh, support (dukungan) itu setidaknya tidak membuat KPK dengan Antasari bangga. Sebab, seorang jaksa yang ditangkap. Akan muncul lagi jaksa-jaksa lain, hakim-hakim lain, polisi-polisi lain, pejabat pemerintah lain yang melakukan tindak yang sama (korupsi).
Artinya, jangan abaikan kepercayaan masyarakat atau jangan pula hanya sesaat melakukan gebrakan. Ketika pemerintah (dari presiden hingga menteri) turun tangan, lalu macet lagi ‘gebrakan’ tersebut. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Oleh Naim Emel Prahana
JALAN panjang mencapai hasil optimal penegakan supremasi hukum di Indonesia, masih sangat panjang. Seperti jalan yang sudah ditempuh dalam kaitannya “pemberantasan korupsi”. Ada banyak faktor yang perjalanan ke suprtemasi hukum secara ideal bisa dicapai bangsa ini.
Dari sekian upaya sejak masa orde lama hingga masa reformasi, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia semakin ‘mengambang’ penanganannya. Diketahui ada beberapa lembaga pemberantasan korupsi yang masih dipelihara pemerintah. Antara lain; 1. Tim Tastipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi); 2. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi); 3. Kepolisian; 4. Kejaksaan; 5. BPKP. Sedangkan lembaga non-pemerintah seperti Media massa dan Organisasi massa—semisal ICW.
Dengan dasar hukum sejak orde lama Orde Lama awalnya menggunakan pasal KUHP dan UU 24/1960, 0rde baru menerbitkan dasar hukum UU 3/1971 , dan masa Reformasi meluncurkan pula dasar hukum pemberantasan korupsi dengan UU 31/1999 serta UU 20/2001.
Penanganan kasus korupsi yang membentang luas, butuh waktu, tenaga, pikiran dan dana, itu jika diefektifkan melalui suatu mekanisme dan sistem yang terpadu. Terutama antara lembaga pemerintah untuk pemberantasan korupsi (Tim Tastipikor, KPK, Kejaksaan, Polisi dan BPKP—yang sangat membutuhkan kesepahaman, untuk menghindari missaction (salah pengertian dalam penanganan di lapangan).
Namun, lembaga-lembaga di atas pun harus menghadapi sindikat peradilan hingga ke MA (Mahkamah Agung), MK (Mahkamah Konstitusi) dan KY (Komisi Yudisial). Dua kutub lembaga penegakan hukum di Indonesia itu, sepertinya tidak menghiraukan referensi hukum yang pernah diproses dan diputuskan oleh pengadilan. Akhirnya memunculkan image yang makin buruk di masyarakat.
Tanpa mengurangi arti dari tulisan ini, untuk tidak menyebut satu per satu kasus korupsi yang tertangani dan tersebar diberbagai sektor dan kasus korupsi yang tak pernah selesai diungkapkan dalam proses pemberantasan korupsi.
Karena, korupsi sangat erat dengan dunia birokrat, politik, pengusaha (pejabat publik (?)). Sodoran-sodoran atau pledoi (pembelaan) terhadap upaya pengungkapan dan proses hukum kasus korupsi, selalu menghiasi sistem demokrasi di Indonesia.
Jika menelaah unsur hukum dalam tindak pidana korupsi; perbuatan melawan hukum; - penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;-memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;-merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;-Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:-memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);-penggelapan dalam jabatan;-pemerasan dalam jabatan;-ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);-menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Seharusnya, pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia bisa mencapai 80%, yang hasil itu akan mempengaruhi penuntasan krisis multidimesional yang menimpa bangsa ini sejak 1999. Sayangnya, seperti di Jakarta, setiap hari penegakan disiplin lalulintas. Toh, kemacetan tetap terjadi di mana-mana. Yang akhirnya jalan macet tidak pernah tuntas dan itu merembet ke daereah hingga penyelenggaraan pemerintah terdepan, yaitu di kelurahan/pedesaan. Dalam mengelola/menggunakan berbagai dana bantuan.
Mungkin benar adanya, kondisi yang macet menuju penegakan supremasi hukum di Indonesia disebabkan hal klasik, yang sepanjang waktu diperdebatkan. Sampai kepada menerbitkan payung hukumnya berulang-ulang. Berarti, kelemahan yang sudah diketahui secara pasti, bisa jadi penegakan hukum atas kasus tindak pidana korupsi tak pernah terselesaikan—termasuk erat kaitannya dengan pejabat publik tadi.
Kelemahan-kelemahan itu, adalah pendukung maraknya korupsi seperti, keadaan yang mendukung munculnya tindak pidana korupsi, ditingkat kekuasaan pengambil keputusan di alam demokrasi, tidak bertanggungjawab langsung kepada rakyat, transparansi yang didengung-dengungkan pemerintah hanya slogan—sebenarnya nontranparancy. Kemudian dalam pemilu (termasuk pilkada) kehidupan politik terlalu besar mengeluarkan dana, tingginya volume KKN dalam hal peluncuran proyek-proyek besar yang anggarannya dari rakyat.
Kemudian, istilah pemerintah adalah kekuasaan, kekuasaan itu adalah benar, menjadikan makin lemahnya tertib hukum, rendahnya kadar profesi hukum dan kebebasan berpendapat melalui ‘kebebasan’ media massa terkebiri dengan kecondongan-kecondongan media massa saat ini kepada pemerintah atau pengusaha besar. Pemerintah selalu mengalihkan perhatian atas kasus-kasus yang terjadi dilingkungan dinas/instansi pemerintah atau menyangkut para pejabat dan keluarganya.
Sebenarnya, masyarakat sudah lama menginginkan perjuangan melawan tindak pindana korupsi berhasil mengamankan bangsa ini dari keterpurukan ekonomi, sampai saat ini. Namun, seperti diketahui berbagai lembaga, di samping lembaga pemerintah dan lembaga pemerintah nonstruktural serta lembaga non pemerintah dibentuk. Hasilnya belum terlihat sampai di level menengah.
Itu bersebab, sudah beberapa kali Transparency International dan PBB mengeluarkan daftar negara tertkorup di dunia dan negara yang paling bersih dari tindak pidana korupsi. Posisi Indonesia sangat, sangat memprihatinkan. Begitu luas cakupan tindak korupsi tersebut.
Kronisnya lagi, harapan untuk tegaknya supremasi hukum di Indonesia, selalu terganjal dialetika publik pemerintah. Puluhan jenis dan bentuk korupsi dengan ratusan modusnya; dari tingkat korupsi terberat hingga paling ringan yang gentanyangan di tengah masyarakat. Sampai kepada mengkorupsikan kriminalitas.
Oleh karenanya, pengutamaan penanganan kasus korupsi yang menjadi simbol hukum, ternyata penanganan kasus korupsi terlihat sebagai suatu proyek raksasa; di mana kebun-kebun besar yang digarap itu, ditargetkan akan menghasilkan panen yang cukup besar. Sama seperti proyek-proyek pemerintah yang selalu ‘mengambang’ jika ditemukan indikasi mark up, KKN dan korupsi.
Lebih parah lagi, ketika penanganan kasus korupsi masuk ke lembaga legislative, unsure kepentingan politik lebih besar ketimbang unsur kepentingan masyarakat luas. Kita belum tahu, bagaimana kelanjutan episode kasus jaksa Urip Tri Gunawan yang diduga menerima suap atas kasus BLBI untuk Bank BDNI miliknya Syamsul Nursalim beberapa hari lalu.
Karena cakupan korupsi itu sangat luas. Artinya tidak terbatas defenisi Korupsi dari bahasa Latin corruptio (corrumpere=busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Tetapi, bagaimana membuat solusi pemberantasan korupsi itu sendiri. Sebab, korupsi itu terkait erat dengan perilaku pejabat publik; politikus (politisi/pegawai negeri), dengan sadar secara tidak wajar dan ilegal memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan kepada mereka.
Jika demikian, maka sampai kepada kesimpulan bahwa, kejahatan korupsi merupakan tantangan paling serius terhadap pembangunan. Dan, kalau dikaitkan dengan politik, maka korupsi itu menghambat jalannya demokrasi dan good and clean governance (tata pemerintahan yang baik dan bersih)
Sepertinya, tindakan KPK masa Antasari harus didukung penuh, support (dukungan) itu setidaknya tidak membuat KPK dengan Antasari bangga. Sebab, seorang jaksa yang ditangkap. Akan muncul lagi jaksa-jaksa lain, hakim-hakim lain, polisi-polisi lain, pejabat pemerintah lain yang melakukan tindak yang sama (korupsi).
Artinya, jangan abaikan kepercayaan masyarakat atau jangan pula hanya sesaat melakukan gebrakan. Ketika pemerintah (dari presiden hingga menteri) turun tangan, lalu macet lagi ‘gebrakan’ tersebut. (penulis peminat masalah hukum, sosial politik dan praktisi pers)
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 3/habis)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya.
Keempat, kebebasan pers yang mengacu kepada UU No 40/1999 tidak disertai peningkatan kualitas sebagian besar penerbitan pers di tanah air. Terbitnya surat-surat kabar mingguan di daerah atau di Jakarta kebanyakan tidak mempedulikan rambu-rambu pers yang ada. Dan, sebuah mingguan diterbitkan tanpa tiang pancang yang kokoh. Wajar, apabila beberapa kali terbit, langsung nyungsep (tenggelam, red) ke dasar sungai.
Fenomena dunia pers Indonesia saat ini memang menjadi perhatian hampir semua pihak dan insan pers beserta perangkat organisasinya pada akhirnya, banyak yang tidak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi pada pers. Baik masalah internal maupun menghadapi masalah eksternal. Persoalan (masalah) internal dapat dikelompokkan lagi ke beberapa faktor.
Pembentuakan—pemekaran organisasi wartawan hingga ke tingkat kabupaten/kota, nyatanya tidak membawa angin segar terhadap kehidupan insan pers dengan kualitas profesi dan pelaksanaan tugas yang proporsional. Itu berarti pencerahan dan peningkatan kehidupan pers di daerah terabaikan secara otomatis, manakala kepentingan oknum-oknum pengurus organisasi kewartawanan lebih dominan ketimbang mengurus kepentingan organisasi wartawan.
Kelima, kehidupan insan pers yang menjadi penghuni pers saat ini cenderung mencari keselamatan diri sendiri. Baik organisasi wartawannya maupun insan persnya sendiri. Upaya menyelamatkan diri sendiri itu terlihat jelas. Di daerah, seorang wartawan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan sandaran pribadi kepada pemerintah (unsur muspida), atau kepada oknum-oknum pejabatnya. Dengan asumsi, jika mereka lebih dekat dengan pemerintah beserta unsurnya dan kepada individu pejabat di daerah mereka dapat menuntaskan persoalan himpitan ekonomi sampai kepada faktor keamanan dan kenyamanan menjalankan profesi jurnalistik.
Asumsi itu mendapat sambutan baik dari para pejabat di daerah. Karena, tidak sedikit pejabat di daerah menganggap seseorang wartawan itu ‘sukses’ dan ‘berhasil’ manakala pemberitaan-pemberitaannya sesuai dengan kehendak para pejabat. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kontrol sosial pelaksanaan roda pemerintahan di daerah, apalagi menyangkut kebijakan oknum pejabat. Arti kata, keberhasilan dan kesuksesan seseorang wartawan di daerah menurut sebagian besar pejabat adalah ketika seseorang wartawan mampu membungkamkan dirinya untuk tidak melakukan pemberitaan sebagaimana mestinya.
Strategi pemerintah daerah beserta pejabatnya untuk meredam ketajaman pena wartawan, diakui tidak lagi seperti di zaman orde baru. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat membelenggu kehidupan pers itu sendiri. Untuk media-media massa yang terbit rutin, diupayakan terjalinnya kerjasama melalui kontrak kerja ‘berlangganan’ untuk sekian oplahnya setiap hari. Jika kontrak kerjasama itu tercapai, maka habislah profesi wartawan yang medianya sudah teken MoU dengan pemerintah daerah.
Berita-berita yang muncul senantiasa informasi-informasi tentang puji-pujian terhadap pelaksanaan program-program pemerintah, terhadap pejabat tertentu dan menutup pintu erat-erat tertutup aspirasi masyarakat tentang kejanggalan-kejanggalan program tertentu pemerintah. Di situ terjadi pembelengguan diri sediri oleh wartawan karena faktor finansil dan kenyamanan melaksanakan profesi. Berarti, si wartawan-wartawan seperti itu telah secara langsung menjual harga dirinya, profesionalismenya dan moralnya kepada kepentingan-kepentingan sesaat.
Demikian halnya terhadap keberadaan wartawan di tengah meriahnya pilkada di suatu daerah. Dengan mencondongkan atau membungkukkan diri kepada salah satu calon. Ditargetkan tujuan-tujuan tertentu dari sikap tersebut. Pertama, mengharapkan kucuran dana selama proses pilkada berlangsung—setidak-tidaknya dapat menerbitkan medianya sesuai jadwal dan kebutuhan sang calon kepala daerah yang memberikan dana. Kedua, dengan diterbitkan medianya melalui dana kucuran sang calon kepala daerah. Imbalannya adalah, bagaimana melakukan teror dan penyebaran informasi buruk kepada calon kepala daerah lainnya.
Atau memberikan porsi ‘mengada-ada’ berita besar si calon yang memberikan kucuran dana. Dengan membesar-besarkan si calon dan mengecilkan calon lainnya sekecil-kecilnya di mata publik. Kecenderungan yang terjadi saat ini di dunia pers kita, sangat memilukan. Trotorar pers yang sudah diundangkan atau peraturan kode etiknya sudah tidak diperhatikan lagi. Oleh karena itu, pemberitaan pers di era pilkada mempunyai peran besar terciptanya konflik di tengah masyarakat. Sebab, berita dan informasi yang disajikan banyak yang menyesatkan.
Dari sekian peristiwa, kejadian dan fenomena yang terjadi di dunia pers kita dewasa ini, perlu dibangun kembali kesepakatan untuk mendapatkan komitmen hukum yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pribadi-pribadi wartawan atau perusahaan pers yang menerbitkan media massa cetak, elektronik maupun visual.
Toleransi terhadap pribadi-pribadi wartawan yang merusak citra pers Nasional kita, harus ada ambang batasnya. Jika tidak ingin melihat kehancuran sistem pers kita di masa akan datang. Pasal standarisasi karya jurnalistik yang dibuat wartawan; harian, mingguan, tabloid atau majalah
Sebelum insan pers menuntut kebebasan, sangat diperlukan evaluasi di tubuh pers itu sendiri sebagaimana saya paparkan di atas. Dengan evaluasi, akan ditemukan pola apa untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pers tersebut sebagaimana layaknya sebuah institusi yang berbasis profesi. Profesi itu mempunyai kode etik yang sudah disepakati. Jadi, mereka yang menyandang kartu pers yang tidak sama sekali membuat berita kurun waktu tertentu (misalnya, sebulan atau triwulan). Tanpa kompromi harus dikeluarka dari dunia pers. (habis)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya.
Keempat, kebebasan pers yang mengacu kepada UU No 40/1999 tidak disertai peningkatan kualitas sebagian besar penerbitan pers di tanah air. Terbitnya surat-surat kabar mingguan di daerah atau di Jakarta kebanyakan tidak mempedulikan rambu-rambu pers yang ada. Dan, sebuah mingguan diterbitkan tanpa tiang pancang yang kokoh. Wajar, apabila beberapa kali terbit, langsung nyungsep (tenggelam, red) ke dasar sungai.
Fenomena dunia pers Indonesia saat ini memang menjadi perhatian hampir semua pihak dan insan pers beserta perangkat organisasinya pada akhirnya, banyak yang tidak berdaya menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi pada pers. Baik masalah internal maupun menghadapi masalah eksternal. Persoalan (masalah) internal dapat dikelompokkan lagi ke beberapa faktor.
Pembentuakan—pemekaran organisasi wartawan hingga ke tingkat kabupaten/kota, nyatanya tidak membawa angin segar terhadap kehidupan insan pers dengan kualitas profesi dan pelaksanaan tugas yang proporsional. Itu berarti pencerahan dan peningkatan kehidupan pers di daerah terabaikan secara otomatis, manakala kepentingan oknum-oknum pengurus organisasi kewartawanan lebih dominan ketimbang mengurus kepentingan organisasi wartawan.
Kelima, kehidupan insan pers yang menjadi penghuni pers saat ini cenderung mencari keselamatan diri sendiri. Baik organisasi wartawannya maupun insan persnya sendiri. Upaya menyelamatkan diri sendiri itu terlihat jelas. Di daerah, seorang wartawan berupaya dengan segala cara untuk mendapatkan sandaran pribadi kepada pemerintah (unsur muspida), atau kepada oknum-oknum pejabatnya. Dengan asumsi, jika mereka lebih dekat dengan pemerintah beserta unsurnya dan kepada individu pejabat di daerah mereka dapat menuntaskan persoalan himpitan ekonomi sampai kepada faktor keamanan dan kenyamanan menjalankan profesi jurnalistik.
Asumsi itu mendapat sambutan baik dari para pejabat di daerah. Karena, tidak sedikit pejabat di daerah menganggap seseorang wartawan itu ‘sukses’ dan ‘berhasil’ manakala pemberitaan-pemberitaannya sesuai dengan kehendak para pejabat. Tidak boleh ada kritik, tidak boleh ada kontrol sosial pelaksanaan roda pemerintahan di daerah, apalagi menyangkut kebijakan oknum pejabat. Arti kata, keberhasilan dan kesuksesan seseorang wartawan di daerah menurut sebagian besar pejabat adalah ketika seseorang wartawan mampu membungkamkan dirinya untuk tidak melakukan pemberitaan sebagaimana mestinya.
Strategi pemerintah daerah beserta pejabatnya untuk meredam ketajaman pena wartawan, diakui tidak lagi seperti di zaman orde baru. Namun, dampak yang ditimbulkan sangat membelenggu kehidupan pers itu sendiri. Untuk media-media massa yang terbit rutin, diupayakan terjalinnya kerjasama melalui kontrak kerja ‘berlangganan’ untuk sekian oplahnya setiap hari. Jika kontrak kerjasama itu tercapai, maka habislah profesi wartawan yang medianya sudah teken MoU dengan pemerintah daerah.
Berita-berita yang muncul senantiasa informasi-informasi tentang puji-pujian terhadap pelaksanaan program-program pemerintah, terhadap pejabat tertentu dan menutup pintu erat-erat tertutup aspirasi masyarakat tentang kejanggalan-kejanggalan program tertentu pemerintah. Di situ terjadi pembelengguan diri sediri oleh wartawan karena faktor finansil dan kenyamanan melaksanakan profesi. Berarti, si wartawan-wartawan seperti itu telah secara langsung menjual harga dirinya, profesionalismenya dan moralnya kepada kepentingan-kepentingan sesaat.
Demikian halnya terhadap keberadaan wartawan di tengah meriahnya pilkada di suatu daerah. Dengan mencondongkan atau membungkukkan diri kepada salah satu calon. Ditargetkan tujuan-tujuan tertentu dari sikap tersebut. Pertama, mengharapkan kucuran dana selama proses pilkada berlangsung—setidak-tidaknya dapat menerbitkan medianya sesuai jadwal dan kebutuhan sang calon kepala daerah yang memberikan dana. Kedua, dengan diterbitkan medianya melalui dana kucuran sang calon kepala daerah. Imbalannya adalah, bagaimana melakukan teror dan penyebaran informasi buruk kepada calon kepala daerah lainnya.
Atau memberikan porsi ‘mengada-ada’ berita besar si calon yang memberikan kucuran dana. Dengan membesar-besarkan si calon dan mengecilkan calon lainnya sekecil-kecilnya di mata publik. Kecenderungan yang terjadi saat ini di dunia pers kita, sangat memilukan. Trotorar pers yang sudah diundangkan atau peraturan kode etiknya sudah tidak diperhatikan lagi. Oleh karena itu, pemberitaan pers di era pilkada mempunyai peran besar terciptanya konflik di tengah masyarakat. Sebab, berita dan informasi yang disajikan banyak yang menyesatkan.
Dari sekian peristiwa, kejadian dan fenomena yang terjadi di dunia pers kita dewasa ini, perlu dibangun kembali kesepakatan untuk mendapatkan komitmen hukum yang jelas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pribadi-pribadi wartawan atau perusahaan pers yang menerbitkan media massa cetak, elektronik maupun visual.
Toleransi terhadap pribadi-pribadi wartawan yang merusak citra pers Nasional kita, harus ada ambang batasnya. Jika tidak ingin melihat kehancuran sistem pers kita di masa akan datang. Pasal standarisasi karya jurnalistik yang dibuat wartawan; harian, mingguan, tabloid atau majalah
Sebelum insan pers menuntut kebebasan, sangat diperlukan evaluasi di tubuh pers itu sendiri sebagaimana saya paparkan di atas. Dengan evaluasi, akan ditemukan pola apa untuk memperbaiki sistem dan mekanisme pers tersebut sebagaimana layaknya sebuah institusi yang berbasis profesi. Profesi itu mempunyai kode etik yang sudah disepakati. Jadi, mereka yang menyandang kartu pers yang tidak sama sekali membuat berita kurun waktu tertentu (misalnya, sebulan atau triwulan). Tanpa kompromi harus dikeluarka dari dunia pers. (habis)
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Wartawan: Hukum, Pilkada dan Narkoba (bagian 2)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.
Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi pers pemerhati masalah sosial budaya dan hukum
Tetapi, bisakah kita sinkronisasikan kegiatan-kegiatan non jurnalistik atas nama jurnalistik itu ke dalam bentuk kegiatan rutin wartawan? Belum lagi pribadi-pribadi wartawan yang jelas, konkrit dan nyata melakukan tindakan sebagai pelaku penyebar ancaman kepada para pejabat yang tujuannya hanyalah sejumlah uang.
DI SISI lain, wartawan dan atau pers, juga menghadapi ancaman yang serius dalam menjalankan kegiatan rutinnya. Terutama menyangkut kritik sosial yang ditujukan kepada pemerintah atau pengusaha yang notabene berada dalam lingkungan kekuasaan dan politik.
Dan itu, pernah dialami majalah dan koran Tempo ketika menghadapi bagaimana lingkaran ancaman berhadapan dengan pengusaha yang sangat dekat dengan susu kekuasaan seperti dengan Polri. Pasal-pasal jurnalistik dalam kasus majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, sangat tidak dipahami pihak pengadilan yang hanya menerapkan pasal-pasal ‘kerjasama’ dan KUHP. Padahal, jurnalistik memiliki pedoman dan acuan sebagaimana UU No 40/1999.
Kita menginginkan pelaksanaan profesi jurnalistik, selain diawasi oleh UU Pers, Dewan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Masyarakat pun harus mampu mengkritisi dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jurnalistik yang memiliki kecenderungan pelaksanaannya di luar aturan profesi.
Adalah sesuatu hal yang salah manakala wartawan mengaku sebagai pengawas penggunaan bantuan-bantuan pemerintah seperti dana DAK, BOS, Schoolgrand dan dana lainnya dengan meminta imbalan sejumlah uang. “Kalau tidak akan diberitakan!” demikian penyebaran ancaman kepada sekolah-sekolah, terutama di pelosok pedesaan.
Ketika kita membicarakan diri wartawan dan mengevaluasi kebebasan pers. Itu, bukan berarti kita menepuk “air didulang”. Tetapi, lebih kepada peringatan-peringatan atas kasus-kaus yang sudah dan mungkin akan terulang kembali kejadiannya. Walaupun tidak dapat dikesampingkan, soal kesejahteraan wartawan dalam menjalankan profesi persnya menjadi salah satu faktor; kenapa wartawan berbuat nekat dan mengklaim dirinya sebagai aparat penegak hukum, pengadil dan penjatuh sanksi hukuman.
Memang tepat Kode Etik Jurnalistik itu harus benar-benar meresap dalam sanuibari setiap insan pers dan warga masyarakat. Ketika terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Kemanakah warga akan memberikan laporan, mengadu atau melakukan gugatan—jikapelanggaran itu sudah memasuki wilayah tindak pidana kriminal. Misalnya pemerasan, intimidasi, pelecehan seksual, penyalahgunaan dan peredaran narkoba dan sebagainya.
Perusahaan pers pun harus memberikan hak-hak wartawan semaksimal mungkin, walau kondisi permodalannya tidak cukup untuk diandalkan. Namun, mengeksploatasi wartawan tanpa memberikan kewajiban perusahaan pers, akan menjadi percepatan terjadinya tindak kriminal dilakukan insan pers atau terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik—kemudian menjurus kepada delik-delik pers.
Demikian pula pimpinan-pimpinan perusahaan pers harus melakukan filterisasi dalam rekrutmen wartawan atau karyawan persnya. Bagaimanapun sekarang, wartawan itu dituntut untuk dapat memahami dan menjalankan (mengoperasikan) teknologi yang dipergunakan oleh pers. Misalnya mampu mengetik di komputer, memahami dan dapat menjalankan proses internet dan memahami rambu-rambu pers yang sudah ada.
Jika tidak, maka kebebasan pers yang dituntut insan pers selama ini akan menjadi bumerang. Artinya, kebebasan pers itu akan dijadikan tameng untuk melagalkan tindakan-tindakan nonjurnalistik. Misalnya, wartawan juga merangkap jadi LSM, menjadi pemborong, menjadi makelar kasus, menjadi bandar narkoba dan sebagainya.
Dalam prosesi demokrasi, seperti pemelihan kepala daerah (pilkada) atau pemelihan umum (pemilu). Selayaknya insan pers tidak meninggalkan filosofi, bahwa wartawan adalah melaksanakan kegiatan rutinnya bidang jurnalistik. Kendati (bolah-boleh saja) ia dibebani banyak hal oleh pimpinan media massanya. Misalnya mendapatkan iklan, melemparkan sekian eksamplar korannya atas hasil wawancara dengan tokoh dan sebagainya.
Tetapi, tugas utamanya secara rutin memberikan informasi kepadsa masyarakat melalui media masanya jangan sampai lupa. Kemudian, pemahaman selaku TS I tim sukses) salah satu calon kepala daerah, tidak serta merta menjual ideologinya. Tidak serta merta membuat berita pilkada melulu pada balon pilkadanya yang ditim-sukseskan.
Sejauh ini, tidak ada larangan kepada insan pers untuk menjadi anggota tim TS para calon kepala daerah. Akan tetapi, tidak boleh meninggalkan prinsip-prinsip jurnalistik (termasuk filosofi jurnalistik beserta peraturan peundang-undangannya). Kita pahami, dirambahkan ke wilayah hukum politik praktis oleh seseorang wartawan, karena benturan ekonomi yang dihadapinya.
Oleh karenanya, segenap insan pers harus membangun komitmen menghadapi wartawan-wartawan yang nakal yang melakukan tindak perbuatan pidana dengan segala macam modus operandinya. Pertama: penerbitan pers harus benar-benar selektif merekrut dan menerima menetapkan wartawan medianya. Faktor pendidikan, moral, mental dan perilaku calon wartawan harus jadi perhatian utama.
Kedua: penerbitan pers harus melihat kemampuan dan ketrampilan si calon wartawannya (wartawannya). Jika tidak mampu menguasai sarana dan prasarana teknologi komunikasi. Barangkali perlu untuk tidak direkrut, daripada nantinya akan membuat media massa tempat ia bekerja mengalami kesulitan.
Sebagai catatan, hingga saat ini lebih dari 50% jumlah wartawan—khususnya di Lampung menjadi pelaku tindak pidana dengan berbagai pola tindakan yang dilakukan. Salah satu contohnya melakukan pemerasan terhadap kepala-kepala sekolah, khususnya di pedesaan menyangkut pengelolaan dan penggunaan dana BOS, DAK dan dana bantuan lainnya.
Pada saat itu, banyak wartawan bertindak sebagai polisi, jaksa, bahkan menjadi hakim—yang dapat membuat orang itu menjadi salah. Situasi dan kondisi demikian kita sadari sepenuhnya, bahwa mereka hanya menginginkan sejumlah uang. Kadang hanya cukup untuk rokok sebungkus, wartawan tertentu itupun sudah pergi.
Ketiga: wartawan yang sudah banyak melakukan kerusakan menjadi klop ketika media tempatnya bekerja pun seenaknya terbit. Terbiutnya media massa (cetaknya) digantungkan kepada musim proyek, musim pilkada, musim kucuran dana koperasi, musim kucuran dana bantuan dari pusat untuik daerah (dan untuk sekolah-sekolah), terbit ketika APBD sudah disahkan. Akibat proses penerbitan media massa di Indonesia kurang bagus sejak diberlakukannya UU No 40/1999, maka penerbitan media cetak (khususnya) mengalami kesemberonoan, kesewenang-wenangan. Tanpa mengindahkan etika pers yang ideal.
Contohnya, penggunaan bahasa yang tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim. Kita disodorkan karya-karya terburuk di bidang bahasa oleh para wartawan media massa tertentu saat ini yang jumlahnya cukup banyak. Di Lampung saja, tidak ada satupun media cetak kelompok terbitan mingguan atau tabloid yang eksis terbit tiap minggu. Padahal, media cetaknya menulis format nama yang jelas “Surat Kabar Mingguan” , Tabloid yang terbit tiap minggu, 2 X seminggu, 1 X sebulan. Nyatanya, mereka sendiri melanggar komitmen jadwal penerbitan. Sampai kepada pelanggaran UU No 40/1999 tentang kewajiban mencantumkan nama dan alamat percetakannya. (bersambung)
Langganan:
Postingan (Atom)