Kabupaten Bengkulu Utara
Lambang
Bengkulu Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 9.585,24 km² dan populasi 380.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Arga Makmur. Wilayah Bengkulu Utara yang mencakup Pulau Enggano merupakan kabupaten paling luas di provinsi Bengkulu.
[sunting] Sumber daya alam
Tanah Bengkulu Utara subur dan cocok untuk perkebunan. Kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi adalah andalan kabupaten ini, selain pernah menjadi tempat pendulangan emas oleh bangsa Inggris mendulang emas dan hingga kini masih didulang secara tradisional. Komoditas kayu gelondongan dan rotan juga dihasilkan di sini.
Sumber daya manusia
Mayoritas suku Rejang bersikap terbuka terhadap kedatangan masyarakat dari Jawa, Bali, Minang, Sunda, dan Batak. Program transmigrasi rutin diberlakukan sejak Gunung Agung di Bali meletus pada tahun 1963.
Pariwisata
Bengkulu Utara memiliki banyak tempat wisata alam dan budaya, di antaranya Tapak Balai di Palik, Batu Layang, Pantai Kota Agung, Sungai Suci, Makam Panglima Ratu Samban, Tebing Kaning, Sawah Kemumu, dan Palak Siring, yang merupakan salah satu habitat bunga Rafflesia.
Minggu, 21 September 2008
Kabupaten Bengkulu Utara
Kabupaten Seluma
Kabupaten Kaur
Kabupaten Muko-Muko
Kabupaten Muko-Muko
Nama Kabupaten Muko-Muko
PEMEKARAN kabupaten dan kota telah menyapa hampir seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Pada awal tahun 2003, provinsi ini bertambah tiga kabupaten baru yang ditetapkan dengan UU No 3/2003:
Kabupaten Bengkulu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.
Penduduk suku Jawa, Sunda, Minang
Bengkulu sejak zaman kolonial Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu. Belanda mulai mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1930.
Pengiriman transmigran ke Bengkulu marak lagi sejak 1967. Bahkan, Keppres RI No 2/ 1973 menetapkan Provinsi Bengkulu dan sembilan provinsi lainnya sebagai daerah transmigrasi di luar Pulau Jawa. Salah satu kabupaten tujuan transmigran adalah Bengkulu Utara dan kebijakan itu berlanjut hingga sekarang. Tahun 2004 Bengkulu masih mendapat tambahan transmigran.
Kecamatan 1. Lubuk Pinang
2. Teras Terunjam
3. Pondok Suguh
4. Mukomuko Selatan
5. Mukomuko Utara.
Produksi pertanian palawija
Perkebunan
Penduduk 2000, 137.994 jiwa
1. Terdiri dari 37,4 % suku Jawa
2. 6,3 % suku Sunda
3. 5, 4 % Minangkabau
4. sisanya suku Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai,
Lembak, dan lainnya.
Setiap keluarga migran disediakan tanah dua hektar. Mayoritas transmigran dari Jawa adalah petani. Kini sentra-sentra penduduk migran itu tumbuh menjadi sentra ekonomi.
Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian kabupaten baru ini. Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.
Tahun 2002, ketika masih menjadi wilayah Bengkulu Utara, Mukomuko menghasilkan 39.532 ton padi, terdiri atas 34.689 ton padi sawah dan 4.843 ton tadah hujan. Produksi padi tersebut 29 persen berasal dari Bengkulu Utara. Palawija yang dihasilkan wilayah ini merupakan 50 persen produksi Bengkulu Utara.
Produksi jagung 21.529 ton (69 persen), ubi kayu 24.608 ton (61 persen), kedelai 646 ton (64 persen), dan kacang hijau 763 ton (52 persen). Adapun ubi jalar dan kacang tanah di bawah 50 persen.
Penghasilan petani tiga tahun ke depan diramalkan meningkat bila pembangunan proyek irigasi bendungan Air Manjunto Kanan selesai sesuai rencana. Bendungan yang menaikkan air Sungai Air Manjunto ini akan melewati Desa Lalangluas, Salatiga, Lubuk Pinang, Lubuk Gedang, dan membasahi ladang-ladang tadah hujan di permukiman para transmigran yang ada di sana.
Konon, bendungan yang dananya berasal dari bantuan Jepang ini akan mampu mengairi sawah 4.919 hektar. Petani yang tadinya panen sekali setahun bisa menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun.
Lahan kering yang tadinya hanya mengandalkan air hujan akan terjangkau saluran irigasi teknis. Bulan Oktober 2003 Japan Bank International Corporation (JBIC) menyetujui untuk mengucurkan dana Rp 112 miliar selama tiga tahun anggaran dan pelaksanaannya dimulai akhir 2004 dan perkiraan selesai pertengahan 2008.
Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh, karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.
Bagi penduduk Mukomuko, perkebunan ini sangat berarti karena asap dapur 30.711 rumah tangga penggarap selalu mengepulkan asap.
Produksi 1. Sawit tahun 2002 108.089 ton (62%) dari produksi
seluruh Bengkulu Utara.
2. Klapa 3.395.800 ton (52 %)
3. karet 36.571 ton (32%)
4. lada 79 ton (26 %)
5. kayu manis 936 ton (68%,
6. kopi 1.765 ton (18 %).
7. ikan 52.869 ton senilai Rp 158,6 miliar
Nelayan sebanyak 2.134 rumah tangga nelayan (2002)
Perikanan darat 173 ha
dipastikan mengalami peningkatan bila bendungan irigasi Air Manjunto terealisasi. Tahun 2002, dari kolam ikan petani dihasilkan 279 ton ikan yang bernilai sekitar Rp 2 miliar.
Ternak 1. 8.295 ekor sapi (2002)
2. 5.550 kerbau
3. 12.985 kambing
Kecamatan 5 kecamatan
1. Lubuk Pinang
2. Muko-Muko Selatan
3. Muko-Muko Utara
4. Pondok Suguh
5. Teras Terunjam
Nama Kabupaten Muko-Muko
PEMEKARAN kabupaten dan kota telah menyapa hampir seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Pada awal tahun 2003, provinsi ini bertambah tiga kabupaten baru yang ditetapkan dengan UU No 3/2003:
Kabupaten Bengkulu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.
Penduduk suku Jawa, Sunda, Minang
Bengkulu sejak zaman kolonial Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu. Belanda mulai mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1930.
Pengiriman transmigran ke Bengkulu marak lagi sejak 1967. Bahkan, Keppres RI No 2/ 1973 menetapkan Provinsi Bengkulu dan sembilan provinsi lainnya sebagai daerah transmigrasi di luar Pulau Jawa. Salah satu kabupaten tujuan transmigran adalah Bengkulu Utara dan kebijakan itu berlanjut hingga sekarang. Tahun 2004 Bengkulu masih mendapat tambahan transmigran.
Kecamatan 1. Lubuk Pinang
2. Teras Terunjam
3. Pondok Suguh
4. Mukomuko Selatan
5. Mukomuko Utara.
Produksi pertanian palawija
Perkebunan
Penduduk 2000, 137.994 jiwa
1. Terdiri dari 37,4 % suku Jawa
2. 6,3 % suku Sunda
3. 5, 4 % Minangkabau
4. sisanya suku Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai,
Lembak, dan lainnya.
Setiap keluarga migran disediakan tanah dua hektar. Mayoritas transmigran dari Jawa adalah petani. Kini sentra-sentra penduduk migran itu tumbuh menjadi sentra ekonomi.
Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian kabupaten baru ini. Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.
Tahun 2002, ketika masih menjadi wilayah Bengkulu Utara, Mukomuko menghasilkan 39.532 ton padi, terdiri atas 34.689 ton padi sawah dan 4.843 ton tadah hujan. Produksi padi tersebut 29 persen berasal dari Bengkulu Utara. Palawija yang dihasilkan wilayah ini merupakan 50 persen produksi Bengkulu Utara.
Produksi jagung 21.529 ton (69 persen), ubi kayu 24.608 ton (61 persen), kedelai 646 ton (64 persen), dan kacang hijau 763 ton (52 persen). Adapun ubi jalar dan kacang tanah di bawah 50 persen.
Penghasilan petani tiga tahun ke depan diramalkan meningkat bila pembangunan proyek irigasi bendungan Air Manjunto Kanan selesai sesuai rencana. Bendungan yang menaikkan air Sungai Air Manjunto ini akan melewati Desa Lalangluas, Salatiga, Lubuk Pinang, Lubuk Gedang, dan membasahi ladang-ladang tadah hujan di permukiman para transmigran yang ada di sana.
Konon, bendungan yang dananya berasal dari bantuan Jepang ini akan mampu mengairi sawah 4.919 hektar. Petani yang tadinya panen sekali setahun bisa menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun.
Lahan kering yang tadinya hanya mengandalkan air hujan akan terjangkau saluran irigasi teknis. Bulan Oktober 2003 Japan Bank International Corporation (JBIC) menyetujui untuk mengucurkan dana Rp 112 miliar selama tiga tahun anggaran dan pelaksanaannya dimulai akhir 2004 dan perkiraan selesai pertengahan 2008.
Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh, karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.
Bagi penduduk Mukomuko, perkebunan ini sangat berarti karena asap dapur 30.711 rumah tangga penggarap selalu mengepulkan asap.
Produksi 1. Sawit tahun 2002 108.089 ton (62%) dari produksi
seluruh Bengkulu Utara.
2. Klapa 3.395.800 ton (52 %)
3. karet 36.571 ton (32%)
4. lada 79 ton (26 %)
5. kayu manis 936 ton (68%,
6. kopi 1.765 ton (18 %).
7. ikan 52.869 ton senilai Rp 158,6 miliar
Nelayan sebanyak 2.134 rumah tangga nelayan (2002)
Perikanan darat 173 ha
dipastikan mengalami peningkatan bila bendungan irigasi Air Manjunto terealisasi. Tahun 2002, dari kolam ikan petani dihasilkan 279 ton ikan yang bernilai sekitar Rp 2 miliar.
Ternak 1. 8.295 ekor sapi (2002)
2. 5.550 kerbau
3. 12.985 kambing
Kecamatan 5 kecamatan
1. Lubuk Pinang
2. Muko-Muko Selatan
3. Muko-Muko Utara
4. Pondok Suguh
5. Teras Terunjam
Kabupaten Rejang Lebong
Kabupaten Rejang Lebong
Nama Rejang Lebong
Luas wilayah 4.109,8 km²
Penduduk 450.000 jiwa.
Ibukota Curup
Lokasi Terletak di pegunungan Bukit Besar.
Penduduk asli 1. Suku Rejang
Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi
2. Suku Lembak
Kecamatan 15 buah kecamatan
Perbatasan Utara dengan Kota Lubuklinggau dan Kab Musi Rawas
Selatan dengan kab Kepahiang
Timur dengan kab Lebong & prop Jambi
Barat dengan kabupaten Lahat.
Jarak ke provinsi 85 km dari kota Bengkulu
Mata pencarian 1. bertani
2. dagang
3. PNS dan
4. lain-lain.
Perkebunan rakyat 1. perkebunan kopi
2. karet
3. palawija
Nama Rejang Lebong
Luas wilayah 4.109,8 km²
Penduduk 450.000 jiwa.
Ibukota Curup
Lokasi Terletak di pegunungan Bukit Besar.
Penduduk asli 1. Suku Rejang
Suku Rejang mendiami kecamatan Kota Padang, Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi
2. Suku Lembak
Kecamatan 15 buah kecamatan
Perbatasan Utara dengan Kota Lubuklinggau dan Kab Musi Rawas
Selatan dengan kab Kepahiang
Timur dengan kab Lebong & prop Jambi
Barat dengan kabupaten Lahat.
Jarak ke provinsi 85 km dari kota Bengkulu
Mata pencarian 1. bertani
2. dagang
3. PNS dan
4. lain-lain.
Perkebunan rakyat 1. perkebunan kopi
2. karet
3. palawija
Kabupaten Lebong
KABUPATEN LEBONG
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy.
Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.
The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s
mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.
A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.
The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.
Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or tourism.
Tags: al-azhar, al-azhar university, asal usul burung, bahaya islam liberal, bangsa punah, batu sangkar, bengkulu, egypt, ekonomi indonesia, ekonomi rakyat, fakta penciptaan, foto, gitar jang, indonesia, islam di indonesia, ismail raji al-fruqi, kairo, kepalsuan kristen, ketuhanan trinitas, kitab palsu, kristenisasi, legau jang, legau taneak jang, lembah sungai nil, mahmud syaltut, mengenal yahudi, mesir, mesir kuno, monumen islam, mp3, penciptaan, penemuan planet, peninggalan mesir, peradaban, peradaban manusia, peradaban mesir, perang dunia kedua, perang pemikiran, perang salib, prancis & agama, profil bengkulu, rasulullah, rejang, rejang lebong, rencana gereja, satelit pemburu, sejarah dunia, suku rejang, sumbar, tauhid, teori evolusi, tokoh islam, tokoh islam 2, tokoh kimia, turki utsmani, wisata mesir
Lebong-Bengkulu
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom
It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy. Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.
The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.
A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.
The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.
Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or touris
Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003, Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy.
Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.
The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s
mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.
A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.
The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.
Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or tourism.
Tags: al-azhar, al-azhar university, asal usul burung, bahaya islam liberal, bangsa punah, batu sangkar, bengkulu, egypt, ekonomi indonesia, ekonomi rakyat, fakta penciptaan, foto, gitar jang, indonesia, islam di indonesia, ismail raji al-fruqi, kairo, kepalsuan kristen, ketuhanan trinitas, kitab palsu, kristenisasi, legau jang, legau taneak jang, lembah sungai nil, mahmud syaltut, mengenal yahudi, mesir, mesir kuno, monumen islam, mp3, penciptaan, penemuan planet, peninggalan mesir, peradaban, peradaban manusia, peradaban mesir, perang dunia kedua, perang pemikiran, perang salib, prancis & agama, profil bengkulu, rasulullah, rejang, rejang lebong, rencana gereja, satelit pemburu, sejarah dunia, suku rejang, sumbar, tauhid, teori evolusi, tokoh islam, tokoh islam 2, tokoh kimia, turki utsmani, wisata mesir
Lebong-Bengkulu
Spirits in the immaterial world
Lebong, a regency in bloom
It would be easy to draw a comparison between the economic potential of a region and the blooming of a flower, especially in a fertile and green regency such as Kabupaten Lebong on the southwest of Sumatra island. But there is a specific reason why this part of Bengkulu province can lay claim to such an analogy. Not only are the slopes of its forest-covered mountains home to many variations of wild orchids, but they are also home to the world’s largest flower, the Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles and botanist Joseph Arnold first discovered the extraordinary flower, which has a diameter of 3 feet and can weigh up to 15 pounds, when the famed founder of Singapore was appointed Governor-General of what was then Bencoolen. Both British and Dutch rulers of the region came and went, but the Rafflesia continues to grace the regency to this day.
Naturally a flower does not an economy make, especially since it only blossoms for up to 15 days in the months between September and December. For economic prospects the recently elected Bupati Dalhadi Umar is looking towards a much more valuable commodity. Three million tons of pure gold deposits are contained in the earth beneath these Rafflesias. It was extracted by the Dutch right up to their departure during the second World War, and since then, some local tribes have been only marginally sifting for the precious metal. "The 33 kilograms of gold on top of the National Monument in the capital Jakarta actually comes from Kabupaten Lebong," states a proud Umar.
The deposits are far from depleted, but the structure to coordinate private mining had not been in place before local governments were given greater control of their regions. "Now we have full support from the Governor in Bengkulu," says Bupati Umar, "to make sure that with all the limitations we had, we will do our best to help investors process licenses in a short term, and that they need not pay for everything until they start their operations." The provincial capital’s port at Bengkulu is capable of becoming an appropriate transshipment gateway for Lebong’s mining activities. Lebong also boasts deposits of granite stone, for which interested parties from Japan and Korea have conducted special surveys. The Bupati points out that state oil and gas company, Pertamina, is also looking into the possibility of developing a gas extraction and thermal power plant in the region, which could meet the energy needs of local businesses and citizens.
A formalization of Lebong’s mining sector would supplement its agricultural activities, on which 89 percent of the population is dependent. Robusta and Arabica coffee are the most cultivated commodities and make up 60 percent of all agricultural production in Kabupaten Lebong. Other crops include tea, young bamboo, chili, corn, and potatoes as well as avocados, pineapple, bananas, and oranges. The regency is seeking domestic or foreign partners to upgrade its farming and harvesting techniques, aiding the diversification of current crops and plantations.
The province of Bengkulu has a population of around one million. In the early stages of its history, Bengkulu was home to the Kingdom of Selebar, which served as a vassal state for the Javanese Kingdom of Banten. It was a main source of pepper, cloves, nutmeg, and coffee, commodities upon which Banten thrived. On July 12, 1685, Selebar signed a treaty with the British East India Company according to which the British had the right to establish a fortified trading post at Selebar. Thus the birth of Fort Marlborough, famous for being the second strongest fort in Asia after Fort George in Madras, India. Built between 1713 and 1719, it served as the seat of British power and influence in the western parts of the archipelago until 1825, when, under the terms of the Treaty of London, England handed over the territory to the Dutch, ending 139 years of British rule in Bengkulu. Restored in 1984, Fort Marlborough is now a popular tourist attraction.
Lebong has what it takes to expand upon Marlborough and take off as an alternative tourist destination in its own right. Its Bukit Barisan mountain range is home to the Rejang people, an ethnic group whose spiritual connection with their environment has transcended far beyond Sumatra, and even formed the basis of various literary works. The Rejang have their own language and alphabet (Kalui), and still practice a form of animism that is a central part of their daily lives. They believe that potent spirits live in the lakes of the surrounding mountains, ones that even visitors might be able to encounter, if they believe strongly enough. One particular spirit named Masumai is able to take the form of a tiger or a man. The use of magic and silent power in this unseen world serves a great range of purposes, ranging from ritual oaths to divination at holy shrines. This proximity to nature is said to safeguard man’s passage through life, leading him in the right direction. For Bupati Dalhadi Umar, that prosperous destination will always be Lebong, whether it is reached through agriculture, mining, or touris
Kabupaten Lebong
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003, Kabupaten ini terletak di posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kepahiang
Kabupaten Kepahiang adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Nama Daerah : Kabupaten Kepahiang Ibukota: Kepahiang Provinsi : Bengkulu Berdiri : UU No.39 Tahun 2003, 7 Januari 2004 Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan) Visi (2005-2010) : “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisata berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara, berbatasan dengan kecamatan Curup, kecamatan Sindang Kelingi dan kecamatan Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong - Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. - Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. - Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati, Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kabupaten Rejang Lebong.
Ibukota : Kepahiang
Berdiri : UU No 39/2003
Tanggal :7 Januari 2004
Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan)
Visi (2005-2010): “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisa -
berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Curup,kec Sindang Kelingi dan kec Padang Ulaktanding, kab Rejang Lebong
- Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi,Kab Lahat
Provinsi Sumatera Selatan.
- Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung,
Kab Bengkulu Utara.
- Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati,
Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kab Rejang Lebong
Luas Wilayah : 66.500 hektar
Jumlah Penduduk : 136.894 jiwa
Jumlah Kecamatan: 8 Kecamatan
Jumlah Desa : 91 Desa
Potensi Investasi: Pariwisata, Pertanian, Perkebunan dan Perikanan (Mencakup
agribisnis dan agroindustri)
Zaman Perjuangan
Zaman perjuangan melawan kolonial Belanda menjadi saksi sejarah mulai dikenalnya nama Kepahiang. Pada masa itu, Kota Kepahiang dikenal sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, yang disebut Afdeling Rejang Lebong beribukota di Kepahiang. Sesaat setelah peralihan kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang, hingga kemudian Jepang menjajah bumi pertiwi 3,5 tahun lamanya, kota Kepahiang tetap merupakan pusat pemerintahan bagi Kabupaten Rejang Lebong.
Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yakni sejak 18 agustus 1945 hingga 1948, kepahiang tetap menjadi ibukota Kabupaten Rejang Lebong sekaligus sebagai basis kota perjuangan. Sebab, mulai dari pemerintahan sipil dan seluruh kekuatan perjuangan, yang terdiri dari Laskar Rakyat, Badan Perlawanan Rakyat (BPR dan TKR yang kemudian sebagai cikal bakal TNI), semuanya berpusat di Kepahiang.
Di penghujung 1948, merupakan masa yang tak mungkin bisa dilupakan oleh masyarakat Kepahiang. Karena pada tahun itulah, khususnya menjelang agresi Militer Belanda kedua, seluruh fasilitas vital kota Kepahiang dibumihanguskan. Dimulai dari Kantor Bupati, Gedung Daerah, Kantor Polisi, Kantor Pos dan Telepon, Penjara serta jembatan yang akan menghubungkan Kota Kepahiang dengan tempat-tempat lainnya, terpaksa dibakar, guna mengantisipasi gerakan penyerbuan tentara kolonial Belanda yang terkenal bengis masuk ke pusat-pusat kota dan pemerintahan serta basis perjuangan rakyat.
Setahun kemudian, tepatnya 1949, seluruh aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong berada dalam pengasingan di hutan-hutan. Sehingga pada waktu terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, yang oleh masyarakat waktu itu disebut kembali ke kota, terjadilah keharuan yang sulit dibendung. Sebab, aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tidak dapat lagi kembali berkantor ke kota Kepahiang karena seluruh fasilitas pemerintahan daerah telah dibumihanguskan.
Namun, semangat mereka pantang surut. Dengan sisa-sisa kekuatan, serta semangat yang membaja, seluruh aparatur pemerintahan daerah terpaksa menumpang ke Kota Curup, karena disini masih tersisa sebuah bangunan Pesanggrahan (kini tempat bersejarah itu dibangun menjadi Gedung Olah Raga Curup).
Pudarnya Peran Kepahiang
Pada 1956, kota Curup ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan undang-undang. Sejak itu pula, peran Kepahiang mulai memudar, bahkan ada yang menyebut mahkota kejayaan Kabupaten Kepahiang surut. Sebab, dengan penetapan Curup sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, maka kota Kepahiang sendiri ditetapkan sebagai ibukota kecamatan, bagian dari wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Pada masa-masa berikutnya, lantaran memiliki nilai historis tinggi, sejumlah tokoh masyarakat Kepahiang, pernah memperjuangkan Kepahiang menjadi ibukota Provinsi dan Kota Administratif.
Sayangnya, perjuangan mulia tersebut kandas di tengah jalan lantaran pemerintah pusat tak merespons keinginan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Bangkitnya Kepahiang
Ketika era Reformasi bergulir pada 1998, gaungnya pun sempat menggema ke bumi Kepahiang. Oleh masyarakat Kepahiang, momentum ini merupakan kesempatan emas memperjuangkan kembali kebangkitan sekaligus awal kemandirian Kepahiang. Situasi kian terbuka lebar, setelah pemerintah dan DPR RI melahirkan produk Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga lazim disebut sebagai undang-undang tentang otonomi daerah. Setalah melalui tahap penyamaan persepsi dan konsolidasi, maka masyarakat Kepahiang sepakat untuk mngusulkan daerah ini menjadi Kabupaten baru.
Maka, sejak Januari 2000, para tokoh dan segenap komponen masyarakat Kepahiang, baik yang berdomisili di Kepahiang sendiri maupun yang berada diluar daerah, seperti di Curup, Bengkulu, Jakarta, Bandung, serta kota-kota lainnya, sepakat untuk mengembalikan mahkota Kepahiangsebagai Kabupaten kembali.
Sebagai realisasi dari kesepakatan bersama para tokoh masyarakat Kepahiang, maka dibentuklah badan perjuangan dengan nama Panitia Persiapan Kabupaten Kepahiang (PPKK). Follow up dari aktivitas badan perjuangan tersebut, maka secara resmi PPKK telah menyampaikan proposal pemekaran Kabupaten. Akan tetapi, rupanya perjuangan memekarkan Kepahiang menjadi kabupaten tak semulus yang diharapkan.
Sebab, meskipun Kepahiang merupakan daerah pertama di Provinsi yang memperjuangkan pemekaran era reformasi, toh Kabupaten Rejang Lebong tak serta-merta menyetujui aspirasi para tokoh masyarakat kepahiang tersebut. Dengan kata lain, Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten induk) justru keberatan melepas Kepahiang, karena daerah ini merupakan wilayah paling potensial di Rejang Lebong.
Surutkah keinginan masyarakat Kepahiang menghadapi kenyataan ini? Justru tidak. Dengan kesabaran, niat tulus dan ikhlas, disertai lobi-lobi serta diplomasi intensif, akhirnya Kabupaten Kepahiang berhasil diwujudkan. Maka, sejak itu pula mahkota Kepahiang yang pernah "hilang" dapat direbut kembali.
Ibarat kata, pinang telah pulang ke tampuknya. Harapan itu pun kemudian berubah suka cita, ketika pada 7 Januari 2004, Kepahiang diresmikan sebagai kabupaten otonom oleh Menteri Dalam Negeri RI (saat itu), Jend. TNI (purn.) Hari Sabarno di Jakarta. Peresmian itu dikukuhkan berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu. Ditunjuk sebagai Kepala Daerah pertama (caretaker) Kabupaten Kepahiang adalah Ir. Hidayatullah Sjahid, MM., yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.28-8 Tahun 2004, pada 6 Januari 2004, tentang Pengangkatan Penjabat Bupati Kepahiang, Provinsi Bengkulu.
Pelantikannya sendiri dilakukan oleh Gubernur Bengkulu atas nama Menteri Dalam Negeri pada 14 Januari 2004. Hingga kini, Kabupaten Kepahiang telah dipimpin tiga orang Kepala daerah, Yaitu :
1.Ir. Hidayatullah Sjahid, MM
Periode 14 Januari 2004-29 April 2005, sbg Penjabat Bupati Kepahiang(caretaker).
2.Drs. Husni Hasanuddin
periode 30 April 2005-6 Agustus 2005, sbg Penjabat bupati (caetaker)
3.Drs. H. Bando Amin C. Kader Rio Rajo Dipati Junjung, MM
periode 7 Agustus 2005-7 Agustus 2010, sbg bupati Kepahiang definitif berdasarkan hasil Pilkada Kepahiang 2005.
Kabupaten Kepahiang adalah salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu. Nama Daerah : Kabupaten Kepahiang Ibukota: Kepahiang Provinsi : Bengkulu Berdiri : UU No.39 Tahun 2003, 7 Januari 2004 Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan) Visi (2005-2010) : “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisata berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara, berbatasan dengan kecamatan Curup, kecamatan Sindang Kelingi dan kecamatan Padang Ulak Tanding, kabupaten Rejang Lebong - Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. - Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara. - Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati, Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kabupaten Rejang Lebong.
Ibukota : Kepahiang
Berdiri : UU No 39/2003
Tanggal :7 Januari 2004
Motto : Kepahiang Kabupaten Alami (Asri Laksana Emas Dan Intan)
Visi (2005-2010): “Kabupaten Kepahiang terdepan dalam industri dan pariwisa -
berbasis pertanian dan SDM, dengan program IKUTT (Ikan, Kebun, Tanaman pangan, Hortikultura, dan Ternak)”
Batas Wilayah : - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Curup,kec Sindang Kelingi dan kec Padang Ulaktanding, kab Rejang Lebong
- Sebelah Timur, berbatasan dengan kecamatan Ulu Musi,Kab Lahat
Provinsi Sumatera Selatan.
- Sebelah Selatan, berbatasan dengan kecamatan Taba Penanjung,
Kab Bengkulu Utara.
- Sebelah Barat, berbatasan dengan kecamatan Pagar Jati,
Kabupaten Bengkulu Utara dan Bermani Ulu, Kab Rejang Lebong
Luas Wilayah : 66.500 hektar
Jumlah Penduduk : 136.894 jiwa
Jumlah Kecamatan: 8 Kecamatan
Jumlah Desa : 91 Desa
Potensi Investasi: Pariwisata, Pertanian, Perkebunan dan Perikanan (Mencakup
agribisnis dan agroindustri)
Zaman Perjuangan
Zaman perjuangan melawan kolonial Belanda menjadi saksi sejarah mulai dikenalnya nama Kepahiang. Pada masa itu, Kota Kepahiang dikenal sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, yang disebut Afdeling Rejang Lebong beribukota di Kepahiang. Sesaat setelah peralihan kekuasaan dari penjajahan Belanda ke Jepang, hingga kemudian Jepang menjajah bumi pertiwi 3,5 tahun lamanya, kota Kepahiang tetap merupakan pusat pemerintahan bagi Kabupaten Rejang Lebong.
Bahkan, setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yakni sejak 18 agustus 1945 hingga 1948, kepahiang tetap menjadi ibukota Kabupaten Rejang Lebong sekaligus sebagai basis kota perjuangan. Sebab, mulai dari pemerintahan sipil dan seluruh kekuatan perjuangan, yang terdiri dari Laskar Rakyat, Badan Perlawanan Rakyat (BPR dan TKR yang kemudian sebagai cikal bakal TNI), semuanya berpusat di Kepahiang.
Di penghujung 1948, merupakan masa yang tak mungkin bisa dilupakan oleh masyarakat Kepahiang. Karena pada tahun itulah, khususnya menjelang agresi Militer Belanda kedua, seluruh fasilitas vital kota Kepahiang dibumihanguskan. Dimulai dari Kantor Bupati, Gedung Daerah, Kantor Polisi, Kantor Pos dan Telepon, Penjara serta jembatan yang akan menghubungkan Kota Kepahiang dengan tempat-tempat lainnya, terpaksa dibakar, guna mengantisipasi gerakan penyerbuan tentara kolonial Belanda yang terkenal bengis masuk ke pusat-pusat kota dan pemerintahan serta basis perjuangan rakyat.
Setahun kemudian, tepatnya 1949, seluruh aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong berada dalam pengasingan di hutan-hutan. Sehingga pada waktu terjadi penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Pemerintah Republik Indonesia, yang oleh masyarakat waktu itu disebut kembali ke kota, terjadilah keharuan yang sulit dibendung. Sebab, aparatur Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong tidak dapat lagi kembali berkantor ke kota Kepahiang karena seluruh fasilitas pemerintahan daerah telah dibumihanguskan.
Namun, semangat mereka pantang surut. Dengan sisa-sisa kekuatan, serta semangat yang membaja, seluruh aparatur pemerintahan daerah terpaksa menumpang ke Kota Curup, karena disini masih tersisa sebuah bangunan Pesanggrahan (kini tempat bersejarah itu dibangun menjadi Gedung Olah Raga Curup).
Pudarnya Peran Kepahiang
Pada 1956, kota Curup ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan undang-undang. Sejak itu pula, peran Kepahiang mulai memudar, bahkan ada yang menyebut mahkota kejayaan Kabupaten Kepahiang surut. Sebab, dengan penetapan Curup sebagai ibukota Kabupaten Rejang Lebong, maka kota Kepahiang sendiri ditetapkan sebagai ibukota kecamatan, bagian dari wilayah Kabupaten Rejang Lebong. Pada masa-masa berikutnya, lantaran memiliki nilai historis tinggi, sejumlah tokoh masyarakat Kepahiang, pernah memperjuangkan Kepahiang menjadi ibukota Provinsi dan Kota Administratif.
Sayangnya, perjuangan mulia tersebut kandas di tengah jalan lantaran pemerintah pusat tak merespons keinginan dan aspirasi masyarakat tersebut.
Bangkitnya Kepahiang
Ketika era Reformasi bergulir pada 1998, gaungnya pun sempat menggema ke bumi Kepahiang. Oleh masyarakat Kepahiang, momentum ini merupakan kesempatan emas memperjuangkan kembali kebangkitan sekaligus awal kemandirian Kepahiang. Situasi kian terbuka lebar, setelah pemerintah dan DPR RI melahirkan produk Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang juga lazim disebut sebagai undang-undang tentang otonomi daerah. Setalah melalui tahap penyamaan persepsi dan konsolidasi, maka masyarakat Kepahiang sepakat untuk mngusulkan daerah ini menjadi Kabupaten baru.
Maka, sejak Januari 2000, para tokoh dan segenap komponen masyarakat Kepahiang, baik yang berdomisili di Kepahiang sendiri maupun yang berada diluar daerah, seperti di Curup, Bengkulu, Jakarta, Bandung, serta kota-kota lainnya, sepakat untuk mengembalikan mahkota Kepahiangsebagai Kabupaten kembali.
Sebagai realisasi dari kesepakatan bersama para tokoh masyarakat Kepahiang, maka dibentuklah badan perjuangan dengan nama Panitia Persiapan Kabupaten Kepahiang (PPKK). Follow up dari aktivitas badan perjuangan tersebut, maka secara resmi PPKK telah menyampaikan proposal pemekaran Kabupaten. Akan tetapi, rupanya perjuangan memekarkan Kepahiang menjadi kabupaten tak semulus yang diharapkan.
Sebab, meskipun Kepahiang merupakan daerah pertama di Provinsi yang memperjuangkan pemekaran era reformasi, toh Kabupaten Rejang Lebong tak serta-merta menyetujui aspirasi para tokoh masyarakat kepahiang tersebut. Dengan kata lain, Kabupaten Rejang Lebong (kabupaten induk) justru keberatan melepas Kepahiang, karena daerah ini merupakan wilayah paling potensial di Rejang Lebong.
Surutkah keinginan masyarakat Kepahiang menghadapi kenyataan ini? Justru tidak. Dengan kesabaran, niat tulus dan ikhlas, disertai lobi-lobi serta diplomasi intensif, akhirnya Kabupaten Kepahiang berhasil diwujudkan. Maka, sejak itu pula mahkota Kepahiang yang pernah "hilang" dapat direbut kembali.
Ibarat kata, pinang telah pulang ke tampuknya. Harapan itu pun kemudian berubah suka cita, ketika pada 7 Januari 2004, Kepahiang diresmikan sebagai kabupaten otonom oleh Menteri Dalam Negeri RI (saat itu), Jend. TNI (purn.) Hari Sabarno di Jakarta. Peresmian itu dikukuhkan berdasarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2003, tentang Pembentukan Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang di Provinsi Bengkulu. Ditunjuk sebagai Kepala Daerah pertama (caretaker) Kabupaten Kepahiang adalah Ir. Hidayatullah Sjahid, MM., yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 131.28-8 Tahun 2004, pada 6 Januari 2004, tentang Pengangkatan Penjabat Bupati Kepahiang, Provinsi Bengkulu.
Pelantikannya sendiri dilakukan oleh Gubernur Bengkulu atas nama Menteri Dalam Negeri pada 14 Januari 2004. Hingga kini, Kabupaten Kepahiang telah dipimpin tiga orang Kepala daerah, Yaitu :
1.Ir. Hidayatullah Sjahid, MM
Periode 14 Januari 2004-29 April 2005, sbg Penjabat Bupati Kepahiang(caretaker).
2.Drs. Husni Hasanuddin
periode 30 April 2005-6 Agustus 2005, sbg Penjabat bupati (caetaker)
3.Drs. H. Bando Amin C. Kader Rio Rajo Dipati Junjung, MM
periode 7 Agustus 2005-7 Agustus 2010, sbg bupati Kepahiang definitif berdasarkan hasil Pilkada Kepahiang 2005.
Sabtu, 20 September 2008
Sastra Dan Komunitas
Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.
Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.
Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.
Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.
Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.
Gashuku dan Ujian Inkai Metro
Direncanakan tanggal 5 Agustus 2008 mendatang, Pengcab Inkai Kota Metro akan melaksanakan ujian kenaikan dan gashuku yang diperkirakan akan diikuti sekitar 300 peserta.
Hal itu diungkapkan oleh Komisi Ujian Pengcab Inkai Metro, Rastoto kepada LE, Kamis (24/7) kemarin.
Dalam penjelasannya, Rastoto mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan surat undangan yang disertai komunikasi via handphone kepada kapten-kapten ranting yang ada di Lamteng, Lamtim dan Kota Metro.
“Hingga saat ini ranting Inkai di wilayah Timur tersebar di beberapa tempat,” ujar Rastoto yang saat ini masih menyandang sabuk hitam Dan I.
Dikatakannya, ranting Inkai yang masih aktif dan rutin melaksanakan kegiatan latihan, antara lain di Sekampung, Purbolinggo, Batanghari (Lamtim), Trimurjo ( 4 ranting), Padangratu, Seputih Raman (Lamteng) dan Kota Metro.
Untuk Kota Metro, ujar dia terdapat ranting Kartikatama, Kampus, Ganesha dan beberapa tempat lainnya.
Menyinggung keikutsertaan atlet karate Inkai di beberapa even, baik daerah maupun nasional, Rastoto mengakui masih banyak kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki sebagaimana mestinya.
“Dan, itu nanti merupakan tugas dan tanggungjawab majelis sabuk hitam,” ujarnya. (DA-17)
Direncanakan tanggal 5 Agustus 2008 mendatang, Pengcab Inkai Kota Metro akan melaksanakan ujian kenaikan dan gashuku yang diperkirakan akan diikuti sekitar 300 peserta.
Hal itu diungkapkan oleh Komisi Ujian Pengcab Inkai Metro, Rastoto kepada LE, Kamis (24/7) kemarin.
Dalam penjelasannya, Rastoto mengatakan, pihaknya sudah mempersiapkan surat undangan yang disertai komunikasi via handphone kepada kapten-kapten ranting yang ada di Lamteng, Lamtim dan Kota Metro.
“Hingga saat ini ranting Inkai di wilayah Timur tersebar di beberapa tempat,” ujar Rastoto yang saat ini masih menyandang sabuk hitam Dan I.
Dikatakannya, ranting Inkai yang masih aktif dan rutin melaksanakan kegiatan latihan, antara lain di Sekampung, Purbolinggo, Batanghari (Lamtim), Trimurjo ( 4 ranting), Padangratu, Seputih Raman (Lamteng) dan Kota Metro.
Untuk Kota Metro, ujar dia terdapat ranting Kartikatama, Kampus, Ganesha dan beberapa tempat lainnya.
Menyinggung keikutsertaan atlet karate Inkai di beberapa even, baik daerah maupun nasional, Rastoto mengakui masih banyak kelemahan-kelemahan yang harus diperbaiki sebagaimana mestinya.
“Dan, itu nanti merupakan tugas dan tanggungjawab majelis sabuk hitam,” ujarnya. (DA-17)
Langganan:
Postingan (Atom)