Kamis, 16 Desember 2010

Pahami Bhinneka Tunggal Ika


Kolom Naim Emel Prahana
AKHIRNYA hubungan antara Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dengan kraton Ngayokyakarta memburuk dan tentu luka bagi rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta semakin menumbuhkan semangat perlawanan terhadap pemerintah Indonesia. Itu wajar, sikap fanatisme daerah yang sangat berperan menjadikan kepulauan Nusantara ini jadi Negara kesatuan Republik Indonesia.
Sayangnya pemahaman petinggi di negara ini, khususnya Kepala Negara (SBY) tidak terlalu dalam memahami ‘istimewa’-nya Yogyakarta dibandingkan provinsi lainnya. Keistimewaan itu mempunyai latar belakang yang sangat besar nilainya dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan (Belanda dan Jepang).
Di dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, pemerintah sejak proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sangat menghargai sistem-sistem, tradisi, adat istiadat yang hidup dan berkembang di masyarakat. Baik secara de yure atau de facto, pemerintah RI mengakui kehadiran sultan-sultan di beberapa daerah. Seperti Sultan Tidore dan lainnya. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah provinsi tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/Dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC , Hindia Perancis (Republik Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara
Tanggal 18 atau 19Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka dan Jawa Saiko Sikikan beserta stafnya Pada 19 Agustus 1945 Yogyakarta Kooti Hookookai mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi  Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945)
Masih terlalu banyak untuk memahami Yogyakarta. Oleh karena itu, pemerintahan SBY harus berhati-hati menciptakan sejarah bersama Partai Demokrat, karena sejarah tidak bisa direkayasa atau diciptakan. Ia berjalan bersama berjalannya waktu.

Menuju Indonesia Otoriter


Kolom Naim Emel Prahana
MELIHAT sepak terjang pemerintah melalui organ-organ pemerintahan yang ada menanggapi, memperhatikan, menangani menindak lanjuti berbagai persoalan bangsa selalu pada posisi ‘membenarkan’ diri sendiri dan menuntaskan berbagai kasus dengan pola “mati suri”. Jelas para penguasa di negeri ini yang diback up partai politik (parpol) pemenang pemilu, mengarahkan sistem pemerintahan Indonesia masa depan adalah otoriter.
Otoriter yang biasanya dikuasai para militer, dikhawatirkan akan memporak-porandakan sistem demokrasi Indonesia yang sedang tumbuh subur mencari jatidiri demokrasinya. Dan itu, kelak akan menjadi persoalan rakyat dan kemungkinan munculnya berbagai aliran dan kelompok rakyat untuk menyuarakan keadilan dan kebenaran, terjadi di mana-mana. Karakter pemerintah yang akan tumbuh seperti itu harus dicegah sedini mungkin, jika mau bangsa dan negara ini tetap utuh dalam pangkuan negara kesatuan dan persatuan yang disimbolkan dalam Bhinneka Tunggal Ika.
Saat ini dapat disaksikan secara nyata, bagaimana para politisi membela dan membenarkan diri sendiri terhadap kasus-kasus bangsa yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Kasus yang dibenarkan para elite politik ternyata oleh kader-kader dan pengurus parpol sampai tingkat desa semakin ‘dibenarkan’ dengan pola show power dan berbagai bentuk manuver.
Misalnya menjadi mediator pelepasan para penjahat, bentrok antar warga, penundaan kasus penahanan para anggota keluarga pejabat dan mantan pejabat atau pengusaha maupun para tokoh publik. Itu semua bertujuan untuk menguatkan status kekuatan parpol dan penguasa. Sementara rakyat pencari keadilan dan kebenaran sejati, ditinggalkan begitu saja berhadapan dengan oknum aparat penegak hukum yang selalu melanggar hukum dalam penegakan hukumnya.
Pemerintah melalui aparat penegak hukum dekade sekarang ini terus menanamkan, bahwa pejabat, penguasaha dan elite politik adalah warga yang benar. Pernyataan dan kenyataan hidup mereka adalah benar. Sehingga, jika mereka tersandung kasus. Harusnya dilepaskan, ditangguhkan penahanannya (bahasa halus melepaskan tahanan dari jeratan hukum).
Negosiasi soal hukum ternyata sudah sangat tebal dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini. Begitu dahsyatnya UU Lalulintas yang baru, ternyata di lapangan negosiasi itu sangat penting. Dan, pemasukan juga sangat penting. Dua kepentingan dijadikan satu di balik bungkus UU Lalulintas yang baru.
Demikian masalah yang lain yang kerap terjadi di tengah masyarakat kita. Adalah suatu kesulitan besar untuk menciptakan rasa aman, damai, adil dan tentram di tengah masyarakat saat ini. Itu semua berawal dari ‘kepentingan’ lebih besar kekuasannya dibandingkan hukum. Di mana-mana, persoalannya sama, aspek kehidupan apa saja tetap sama. Seperti di dunia pendidikan, apalagi politik. Semua terjadi bukan hanya begitu saja. Ada yang membuat skenario besar di balik itu semua.
Untuk sekarang atau lima tahun ke depan, protype pemimpin bangsa yang benar-benar negarawan, masih sulit dicari dan mungkin baru dilahirkan di muka bumi ini. Itu adalah gambaran nyata peta para tokoh bangsa ini.

Jumat, 26 November 2010

BNK Ajak Siswa Jaga Lingkungan

Metro Selatan, LE
Badan Narkotika Kota (BNK) Metro, mengajak segenap lapisan yang berperan di sekolah, khususnya anak didik, untuk menjaga lingkungan sekolah masing-masing dari inceren para bandar, penjual dan pemasok narkoba.
Hal itu dikatakan Wakil Sekretaris BNK Metro, Naim Emel Prahana, Selasa (18/5) dihadapan sekitar 500 siswa SMU dan SMK Kartikatama, Metro.
Menurut penerima penghargaan Warga Pratama dari BNN tahun 2009 itu, anak seusia siswa SMP dan SMA menjadi sasaran pemasok narkoba, karena jiwa mereka masih labil dan mudah dipengaruhi.
Oleh karena itu, ujar Bang Naim panggilan akrab aktivis Granat itu, lingkungan harus dijaga dengan baik, termasuk lingkungan sekolah.
“Jangan sampai pihak sekolah dan siswanya lengah, kalau sudah diterobos pemasok narkoba yang memiliki jaringan luas dan sangat rapih, sekolah akan jadi rapuh,” terang Bang Naim.
Ditambahkannya, kunci untuk menolak pengaruh narkoba, sebenarnya sederhana sekali, namun akan terasa berat. Pertama, jangan pernah bohong, kedua laksanakan ibadah dengan baik dan benar.
Naim kembali menegaskan, persoalan narkoba, terutama setelah diberlakukannya UU No 35/2009, semakin berat tantangannya bagi pemerintah maupun masyarakat untuk mengantisipasinya.
“Kepedulian adalah sikap yang paling bijak untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih dari pengaruh narkoba,” kata dia.
Penyuluhan narkoba di sekolah SMP dan SMA di Kota Metro yang merupakan program rutin BNK setempat dan digelar setiap tahunnya secara bergiran.
Tahun 2010, penyuluhan narkoba di sekolah-sekolah tingkat pertama dan atas sudah dilakukan sejak Senin (17/5) lalu. Setiap harinya dilakukan penyuluhan di dua sekolah.
Tim penyulouhan narkoba BNK Metro tahun ini menurunkan personil dari unsur Polri, Dinkes dan Granat dan pelaksanaannya akan berakhir Kamis (20/5) lusa. (DA-4)

Kamis, 25 November 2010

Getting Started Guide

Getting Started Guide

Segelas Kopi Lampung

Naim Emel Prahana
BANYAK fans kopi asli, khususnya Lampung jika berpergian selalu membawa beberapa bungkus kopi asli produksi Lampung. Yang jika di Jakarta akan bersaing dengan kopi-kopi instan berupa sansetan (bungkusan) kecil kopi. Betapa sulitnya menikmati kopi asli di jakarta sebagai ibukota republik ‚kopi’ ini. Produk kopi asli Lampung memang sudah masuk ke departemen store—swalayan, mall. Namun, kenapa di tingkat menengah ke bawah kopi asli Lampung yang beberapa hasil produk itu tidak ada.
May be, this dream flies to sky without basement? (mungkin, ini adalah mimpi terbang ke langit tanpa landasan?). paling tidak, memang hasrat untuk go internasional besar sekali bagi pengelola kopi Lampung, termasuk AEKI Lampung. Ibarat pepatah mengatakan, “ingin menjangkau puncak gunung, apadaya tangan tak sampai!”. Sehingga lidah masyarakat Lampung sendiri tidak dapat mencicipi nikmatnya kopi asli produk daerahnya sendiri.
Karena, di tingkat eceran tidak dipasarkan kopi Lampung, akibatnya kopi Lampung yang asli sulit bersaing dengan produk kopi-kopi instan dengan berbagai campuran seperti, beras, jagung, tepung, susu dan sebagainya. Target penguasaan pasar elite ternyata kopi Lampung melupakan pijakan dasarnya, yaitu masyarakat Lampung sendiri.
Nikmatnya kopi asli Lampung yang sudah diproduksi secara baik dan masuk pangsa besar kelas atas di berbagai swalayan, departement store atau mall tersebut. Ternyata tidak mampu menembus pangsa pasar kelas mini market seperti Alfamart, Indomart dan sebagainya. Padahal, trend warga shoping saat ini berada di kelas pasar Indomart dan Alfamart.
Kita belum tahu persis, faktor penyebab tidak beredarnya kopi Lampung di kalangan masyarakat luas, bahkan di kios-kios pinggir jalan. Ataukah memang kita hanya berpatokan kepada May be, this dream flies to sky without basement?. Mbah Surip (almarhum) saja menikmati kopi Lampung dengan aroma khasnya. Itu pertanda betapa hebatnya kualitas kopi Lampung.
Dan, alangkah nikmatnya jika kemarin ketika kunjungan si Barack Obama, bosnya Amerika Serikat disuguhkan segelas kopi Lampung. Tentu Barack Obama akan bertanya.
“Whew, this is coffee so taste. who is this coffee?” (Wah, ini kopi nikmat sekali. produksi siapa kopi ini).
” Oh, this is Indonesia original coffee comes from region Lampung!”
Siapa yang tidak bangga, jika mimpi itu diarahkan ke suasana corong dunia seperti ucapan Barack Obama. Karena, hanya pergi berak saja, Obama tidak diliputr oleh pers. Hal sekecil apapun, termasuk gerakan jemarinya senantiasa diliput pers. Sehingga kita di Lampung tidak perlu bermimpi, di mana dan kapan saja kita dapat menemukan kopi Lampung yang sudah diproduksi apik (bagus) tersebut.
Kita butuh kenyataan, bukan pernyataan. Sebab, rakyat butuh makan bukan rekaan-rekaan dan simulasi ekonomi yang pada prinsipnya tidak pernah bisa diterapkan di tengah kehidupan rakyat kelas banyak yang jumlahnya mencapai 80% di negara ini. Kopi Lampung nikmatnya produksi kita.

Siapa Pengawas Jalan

Oleh Naim Emel Prahana
KEMARIN sore TVRI Lampung mengedepankan wawancara (berita sore) tentang kerusakan jalan saat ini yang terjadi di Lampung. Di samping faktor cuaca, faktor kelebihan tonase mobil-mobil (truk) angkutan barang mnjadi penyebab makin rusakjnya ruas jalan yang ada. Hampir di mana-mana, ruas jalan di provinsi Lampung mengtalami rusak parah. Apalagi jalan penghubung daerah kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya.
Cuaca, menjadi kambing hitam. Kemudian kelebihan tonase menjadi kambing hitam. Lalu kita mengadakan berbagai hearing dengan DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota membahas masalah itu. Hasilnya, tidak terlalu banyak yang diharapkan, kecuali menghabiskan bioaya hearing dan SPJ anggota Dewan atau pejabat yang membahas masalah kerusakan jalan.
Bagaimana kalau ada pertanyaan, pihak manakah yang mengurusai jalan itu. Pihak mana pula yang mengawasi jalan itu dan peraturan mana yang diberlakukan atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan angkutan umum dan barang, sehingga mempercepat proses kerusakan jalan yang ada. Bahkan yang yang baru dibangun sudah rusak sebelum selesai diserhaterimakan.
Padahal, kalau kita mau jujur melihat di lapangan sepanjang hari. Betapa banyaknya aparat kepolisian, Patroli PJR (LLAJR), pos Polisi Kehutanan, Pos Pungutan Retribusi jalan. Ditambah lagi pungutan-pungutan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat kepada para pengemudi dan pengendara kendaraan yang melintas. Tetapi, kenapa ruas jalan masih rusah bahkan kerusakannya lebih cepat.
Sangat memprihatinkan. Begitu banyak pihak yang menikmati pungutan di jalan raya, tetapi tidak satupun pihak yang merasa bertanggungjawab atas kerusakan ruas jalan di Lampung ini. Pungutan dari jalan raya, baik yang dilakukan pihak yang berseragam dinas, maupun para preman itu telah memberangkatkan mereka untuk menunaikan ibadah haji. Telah memberikan keuntungan yang luar biasa kepada kelompok masyarakat, sehingga mampu membangun rumah yang sangat permanen. Kalau membeli sepeda motor, itu urusan kecil.
Kini, Gubernur mengeluarkan surat edaran tentang tonase atau kerusakan jalan raya. Tetapi, siapa yang bertanggungjawab menjalankan surat edaran itu hingga memberikan sanksi berat bagi angkutan umum dan barang yang kelebihan muatan (tonase). Siapa? Masih kelabu jawabannya. Kalau pengemudi angkutan di peres terus di jalanan. Tentu saja para pengemudi berpikir, bahwa ketimbang rugi, maka muatannya harus dilipatgandakan. Itu sudah wajar dan normal. Karena ulah segelintir manusia yang diberi tanggungjawab soal pemeliharaan dan pengawasan di jalan raya, yang memulai melakukan korupsi tangungjawab, karena kepentingan uang.
Mulai dari gubernur, bupati/walikota dan kepala dinas serta PNS yang berkaitan langsung dengan jalan raya seharusnya jangan hanya teori atau mengeluarkan surat edaran kalau tidak bisa diberlakukan di jalanan. Wlau sulit, mari kita dukung penertiban angkutan umum dan barang di jalanan dan yang lebih khususnya lagi menertibkan para pemborong yang membangun jalan. Jangan karena mengeruk keuntungan, mengabaikan kualitas dan bestek proyeknya.

Peraturan Tanpa Pengawasan

oleh Naim Emel Prahana
BOLEH dibilang hampir semua produk undang-undang atau peraturan yang diterbitkan pemerintah bersama DPR, dibuat dan dirancang di belakng meja. Tanpa me4ngindahkan aksi sosialisasi dan pengawasan pelaksanaannhya. Di situlah kunci kerawanan penyalahgunaan kekuasaan, kewenangan dan merajelelanya praktek korupsi di tengah masyarakat. Khususnya di roda pemerintahan.
Apalagi yang namanya keputusan presiden, instruksi presiden, peraturan pemerintah, per4aturan menteri, surat keputusan bersama menteri atau kebijakan-kebijakan pemerintah. Semuanya nyaris tanpa pengawasan. Termasuk dibidang keuangan. Pengawasan baru akan diadakan ketika sudah terjadi pelanggaran dan tindak pidana. Kalau tidak ada laporan, pengaduan masyarakat, maka pengawasan tidak ada sama sekali.
Sebagai contoh dalam kehidupan masyarakat adalah HET BBM atau harga kebutuhan pokok lainnya. Begitu banyak peraturan dan ketentuan pemerintah melalui dinas/instansi terkait. Namun, tidak ada pengawasan di lapangan. Pemerintah menetapkan harga BBM, tetapi pemerintah tidak menghitung cost (biaya) para pedagang BBM yang lokasi usahanya jauh dari pangkalan BBM atau SPBU. Sehingga, harga menjadi liar dan ditentukan secara liar pula oleh pedagangnya.
Sementara, rakyat sebagai konsumen tidak berdaya menghadapi spekulasi harga BBM tersebut, apalagi jauh dari pusat kota. Peraturan pemerintah yang akan mengurangi subsidi BBM jenis premium terhadap kendaraan pribadi yang rencananya akan diberlaku tahun 2011. ternyata, sekarang BBM jenis premium di sejumlah daerah di tanah air mulai langka. Kalaupun ada harganya sudah tinggi sekali. Jika sudah demikian situasinya, di mana kekuasaan pemerintah?
Ada kesan, bahwa pemerintah dan DPR hanya senang membuat peraturan, tetapi tindak ada tindak lanjut di tengah masyarakat. Banyak contoh lainnya, dalam praktek nyata, kegiatan dibidang ekonomi, administrasi, hukum, dan sebagainya tidak mengikuti proses aturan yang sebenarnya. Sama halnya dengan penegakan hukum dan pemberantasan praktek korupsi di Indoesia. Semua baru tahap wacana, pernyataan dan debat kusir yang akhirnya menenggelamkan kasus-kasus korupsi besar, seperti Bank Century dan Kasus Makus Gayus Tambunan.
Tidak salah kalau ada yang mengusulkan Gayus Tambunan itu diangkat menjadi Menteri Penanaman Modal Asing di Indonesia, karena kepiawaiannya dan kepintarannya memasukkan modal ke kantong pribadi dan sindikatnya. Kita setuju kalau Gayus diangkat menjadi Menteri. Dan, keyakinan kita Gayus akan mampu menyedot investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Terlepas dari itu semua (rumor), sebaiknya pemerintah kembali menginventarisir semua produk perundang-undangan yang sudah disahkan. Dibentuk suatu tim untuk mengevaluasi produk perundang-undangfan tersebut. Jika banyak yang tumpang tindih dan tidak dapat dijalankan. Sebaiknya produk UU itu harus dicabut, ya dibakar saja, agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya memikirkan harta benda keluarga sendiri bersama kelompoknya.

Sabtu, 16 Oktober 2010

Rekrutmen PNS

Naim Emel Prahana
TERUS terang di era digital dan dunia maya (internet) peluang rakyat miskin untuk mendapatkan pekerjaan bagi anak-anak mereka semakin sulit. Termasuk memasuki lanjutan pendidikan yang mereka miliki. Kenapa semakin sulit? Karena rekrutmen sekarang ini praktis dikuasai oleh rakyat yang memiliki uang banyak. Setidak-tidaknya mereka adalah masyarakat yang memiliki akses hubungan yang luas. Seperti melalui internet.
Hampir 100 persen saat ini rekrutmen pegawai negeri sipil (PNS), apalagi swasta banyak menggunakan internet. Sedangkan anak orang miskin tidak memiliki akses rutin untuk menggunakan internet, karena sangat terbatasnya uang yang ada. Jangankan membuka internet, untuk membeli buku saja mereka sulit. Jaringan mereka memang luas di tengah kehidupan. Itupun hanya jaringan pergaulan sebagai makhluk sosial. Namun, jaringan atau akses untuk berinternet di Warung Internet (Warnet) atau mempunyai internet di handphone maupun untuk memiliki internet dengan perangkat komputer di rumah, tentu akan lebih sulit mereka dapati.
Sementara, banyak departemen (pemerintah) maupun (apalagi) swasta nyaris semuanya memakai internet untuk rekrutmen yang waktunya hanya beberapa hari. Semuanya butuh anggaran besar dan rutin bagi pengguna untuk menakses berbagai informasi lewat internet. Apakah rakyat miskin, kendati anak-anak mereka mempunyai kecerdasan luar biasa mampu menggunakan internet dalam pengertian cukup memiliki uang untuk mengkases rekrutmen lewat internet. Satu persoalan mengandung sekian banyak masalah yang harus (akhirnya) ditinggalkan dan pada gilirannya akan tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi PNS atau karyawan swasta lainnya.
Sangat ‘keterbatasan’ merupakan potret rakyat Indonesia pada umumnya. Tidak ada solusinya dan tidak ada siapa-siapa yang akan membantu rakyat kecil dan miskin demikian. Sementara kita berteriak-teriak mengatasnamakan rakyat, memberikan pernyataan-pernyataan seperti akurat sekali dapat membantu rakyat kecil, miskin yang jumlahnya dua ratusan juta di Republik ini. Kenyataan sosial, terlalu pahit untuk dibahas di mana saja.
Kalaupun dapat dibahas di permukaan seminar, lokakarya, diklat, diskusi, debat di televisi dengan nara sumber yang sangat populer di mata masyarakat televisi. Itu hanya membuka akses proposal bagi masyarakat (oknum) pecundang yang selalu mentyasnamakan rakyat kecil. Sehingga muncullah apa yang dipopulerkan tentang “ekonomi kerakyatan”, “akad buadaya sendiri”, kemampuan sendiri sampai-sampai membuat lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk peduli rtakyat kecil.
Peluang itu memang terbuka lebar, akan tetapi peluang besar itu masih sangat jauh dari kehidupan rakyat kecil yang miskin (kaum papa). Bagaimana mereka mau menggunakan fasilitas internet yang 100 persen (murni) adalah bisnis. Bisnis online bisnis yang masih sangtat awam di kehidupan masyarakat miskin dan masyarakat modern di tingkat generasi tua pun masih banyak yang gagap teknologi (gatek) internet padahal dunia internet adalah bagian tak terpisahkan dari dunia global sekarang ini, di ana Indonesia tidak dapat menghindari pengaruh dunia global tersebut.
Pertanyaannya; kapan rakyat miskin yang mendominasi penduduk Indonesia itu bisa mendapatkan perhatian riil dari pemerintah? Rakyat miskin tidak makan modul, tidak makan sertifikasi dengan pola-polanya, juga tidak makan akses internet. Alkan tetapi mereka tetap makan nasi, minum air putih dan ingin tidur damai, aman, nyenyak dan bisa merasakan nikmatnya kenyang. Kapan?

Development Plan 5 Year



KALAU dikatakan seago-ago (semuanya) saja pemerintah menggunakan uang rakyat tanpa perencanaan pembangunan yang matang, banyak benarnya. Kalau di zaman Soekarno (kalau boleh bicara soal figur presiden-pemimpin bangsa), setiap tahun atau lima tahun ada nama-nama proses pembangunan yang harus dikejar dan dilaksanakan. Yang kemudian dikemas dengan berbagai nama, termasuk Pembangunan Semesta, Repelita dan sebagainya. Demikian pula di zaman Soeharto, Repelita menjadi Pelita (Pembangunan Lima Tahun).
Lepas dari dua pemimpin atau dua presiden Indonesia itu, pembangunan di Indonesia sepertinya tidak terencana dengan baik. Sehingga membuka peluang praktek korupsi semakin melebar di semua aspek kehidupan. Luar biasa bangsa ini. Pembangunan yang sudah direncanakan, bisa saja dibatalkan manakala ada proyek momentum, seperti PON, MTQ, Islamic Centre, Pemilukada, Pilpres, Pemilgub dan lainnya. Yang biasanya dikemas dalam paket multiyears. Atau anggaran penanggulangan bencana alam yang tiba-tiba dan mendadak disahkan dengan mengambil pos pembangunan lainnya.
Hal-hal demikian, sangat jelas mengarah kepada “tidak terencananya pembangunan” di Indonesia saat ini. Kalau pembangunan itu terencana, tidak mungkin setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri pemerintah sibuk membenahi Jalan Pantai Utara (Pantura), Lintas Selasan, termasuk ruas jalannyanya yang tersebar di provinsi di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Jawa. Benar-benar tidak terencana. Pembangunan berskala besar menggunakan anggaran besar, hanya disahkan secara mendadak.
Akhirnya polemik tak berkesudahan. Dan, proses pembangunan yang tak terencanapun hanya sebatas memenuhi pandangan mata. Belum juga usai para pemudik melewati jalan yang dibangun secara mendadak itu, ruas jalannya sudah pada berlubang lagi. Memang semua orientasi pembangunan saat ini menjadi kawasan komoditas para pejabat, pemborong dan comunitas masyarakat yang hanya mementingkan diri sendiri.
Di Lampung pembangunan yang tidak terencana yang kemudian menjadi sangkaan-sangkaan terjadi korupsi yang mengalahkan pos anggaran pembangunan lainnya sudah lama terjadi. Misalnya pembangunan Islamic Center di Mengalah, Sukadana, Gunungsugih dan lainnya. Termasuk pembangunan dadakan fasilitas pelayanan umum seperti Terminal di Gunungsugih, rumah sakit di Sukadana, rehaz rumah-rumah dinas bupati dan walikota setiap tahunnya dan rehaz total rumah dinas tersebut manakala bupati atau walikotanya berganti.
Sungguh ironis, siapa yang dapat memberikan masukan yang dapat diterima oleh kepala daerah beserta anggota legislatifnya? Permainan vicious circle (lingkaran setan) kental sekali. Untuk mengesahkan sebuah peraturan daerah (Perda), apalagi banyak, pihak eksekutif harus mengeluarkan anggaran cukup besar kepada anggota DPRDnya. Untuk menjamu petugas BPK yang Sangay rajin memeriksa administrasi keuangan Pemdakab atau Pemdakot, juga pihak eksekutif harus mengeluarkan biaya cukup lumayan.
Kemudian anggaran-anggaran yang dititpkan di pos anggaran di Dinas/Instansi/Badan/Lembaga pemerintah lainnya, ada indikasi hanya sebuah titilan dana murni untuk para pejabat, yang realisasinya ke masyarakat Sangat kecil. Termasuk pembelian kendaraan dinas yang tiap tahunnya diluncurkan pihak eksekutif di kabupaten, kota, provinsi hingga ke departemen atau di lingkungan istana negara. Pembangunan yang tidak terencana tersebut seperti singkat uraian di atas, tidak akan membuahkan hasil pembangunan yang berkualitas dan tidak akan mungkin dapat dinikmati oleh rakyat banyak.

Senin, 20 September 2010

trip goes village

trip goes village

Perjalanan Pulang Kampung

Pahlawan Devisa

ARUS puncak kembalinya pemudik ke tempat kerja sudah berlangsung sejak Sabtu—Minggu kemarin. Ada yang membawa anggota keluarga baru dan ada yang tidak kembali lagi ke kota tempat kerjanya, terutama ke Jakarta. Suasana lebaran setiap tahun sangat momental sekali dan menjadi tradisi masyarakat di Indonesia. Bukan hanya umat Islam yang akan merayakan Hari Raya Idul Fitri setiap tahunnya, tetapi umat lainpun ikut mudik. Karena momentum libur bagi mereka dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk pulang ke kampung halaman.
Oleh karenanya, dalam kehidupan masyarakat (khususnya) di Indonesia dikenal ada dua istilah. (1) Tanah Kelahiran dan (2) Tanah Kehidupan. Tanah kelahiran itulah kampung halaman yang setiap tahun pada saat lebaran, banyak yang pulang kampung. Kampung menjadi tempat melampiaskan kerinduan, kebahagiaan, kedamaian dan silaturahim sesama keluarga dan kerabat tetangga handai taulan. Sementara, tanah kehidupan adalah daerah di mana mereka merantau, mencari nafkah. Atau tempat mereka urban. Apakah di kota, di daerah terpencil atau di luar negeri. Tetap saja namanya tanah kehidupan.
Kalau mereka yang bekerja di luar negeri menjadi (sebagai) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Tenaga Kerja Wanita (TKW) oleh penyiar teleisi disebut-sebut sebagai pahlawan devisa. Tentu sesuatu yang membanggakan. Karena meningkatnya pendapatan anggota masyarakat, akibat hasil kerja yang dibawa pulang ke kampung halaman. Walaupun belum diketahui persis, devisa yang dihasilkan para TKI dan TKW itu berapa. Berapa yang masuk kas negara dan berapa yang masuk daftar penghasilan keluarga di kampung halaman.
Kita hanya latah menyebutnya sebagai “pahlawan devisa” tanpa rincian jelas. Sebutan itu, tentunya hanyalah bumbu masak untuk memikat pemirsa atau publik. Dan, bagi pemudik yang sampai ke kampung halamannya, tentu menjadi pahlawan bagi keluarganya atau kampungnya. Selama berada (beberapa hari) di kampung halamannya. Mereka berlanja dan menaburkan hasil jerih payah mereka di kampung halaman mereka itu. Kebiasaan itu sangat menarik sekali. Maka, jika dalam sistem pemerintah di Indonesia menggunakan nama ‘kampung’ dengan sebutan desa, umbul, pekon, kelurahan. Tentu sangat keliru sekali. Sebab dalam kamus masyarakat Indonesia hanya dikenal sebutan ‘kampung’
Tetapi, sejauh ini, sekian puluh tahun berlangsung tradisi mudik (pulang kampung-pulkam), apakah keadaan kampung halaman mereka menjadi lebih bagus, berkembang dengan pembangunan dan tingkat kesejahteraannya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Ternyata, tidak juga. Yang memetik hasilnya adalah warga masyarakat yang cendrung hidup sebagai kaki tangan kaum kapitalis di kampung halaman. Barang-barang menjadi mahal, segala kebutuhan dinaikkan sepihak. Semua tidak dapat dielakkan oleh warga yang bukan kaum kapitalis.
Kaum pitalis yang sudah merambah ke pelosok desa memang sulit untuk menerapkan sistem perekonomian rakyat di negara ini. Yang lebih tidak jelasnya lagi ternyata perhatian pemerintah terhadap ekono rakyat hanya sebatas pernyataan dan bukan kenyataan. Kalaupun ada, maka wujudkannya akan ditampung oleh kaum kapitalis, seperti kalau terjadi opereasi pasar, pasar murah dan sebagainya untuk beberapa jenis kebutuhan pokok. Yang memborong barang kebutuhan pokok itu adalah orang-orang yang mempunyai uang.
Sejauh itu, bagaimana pola efektif dan pengawasan pemerintah dalam kegiatan seperti itu, sehingga kebutuhan pokok yang dijual murah tersebut, betul-betul sampai dan daat dibeli secara kuantitas oleh warga masyarakat. Bukan diborong oleh kaum kapital. Masih jauh Indonesia akan sejahtera.

Lama & Baru Tetap Kapolri


Lama & Baru Tetap Kapolri
KEPALA Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) pengganti Jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri konon kabarnya sudah diajukan oleh Presiden SBY ke DPR. Beberapa nama mencuat, namun beberapa nama tenggelam. Sebelum kepastian, tentunya kjabar selalu saja bersimpang ‘siaur’ jalan. Hal itu, di negeri kita ini adalah sangat wajar dan lumrah. Para pengamatpun menggelitik sana-sini. Seperti halnbya masalah pengganti Jaksa Agung. Bedanya, kalau posisi Jaksa Agung bisa dijabat orang dari luar Kejaksaan. Akan tetapi, jabatan Kapolri sepertinya harus dari internal Polri.
Polri yang dikatakan sudah menanggalkan atribut militernya, juga sudah berganti-ganti peraturan maupun jenjang kepangkatan yang ada. Polri tetaplah ‘polri” yang dikenal sebagai polisi. Zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ada wacana jabatan Kapolri hingga Kapolda, Kapolres atau Kapolsek bisa dijabat oleh sipil beneran. Artinyanya di luar dari internal Polri. Tapi, sampai saat ini ide kontoversial namun cemerlang dari Gus Dur itu belum sempat dilaksanakan, keburu Gus Dur digulingkan oleh MPR.
Atau wacana demi wacana membuka perjalanan (sejarah) polri di Indonesia, termasuk pergantian istilah jenjang kepangkatan dan baju seragam. Polri paling banyak melakukan perubahan-perubahan. Akan tetapi, perubahan yang mana yang diharapkan oleh masyarakat terjadi ditubuh polri? Atau perubahan yang mana yang dirasakan masyarakat polri sendiri, untuk mengembalikan  harkat dan martabatnya di depan dan di tengah masyarakat? Tentunya, banyak pertanyaan-pertanyaan tidak terlontar, karena pertanyaan-pertanyaan yang akandilontar sudah diketahui pasti jawabannya tetap ‘klasik’.
Banyak alasan pada akhirnya rakyat tidak mau menjadi saksi berbagai kasus, apalagi dipersidangan. Semua akibat citra polri yang betul-betul jatuh di mata masyarakat. Kapolri atau Jaksa Agung yang sekarang akan diganti, jika tidak mendapat gugatan sengit dari mantan Menhankum, Yusril Ihza Mahendra. Mungkin SBY akan tetap menggunakan kedua petinggi tersebut. Apalagi, SBY saat ini dikelilingi staf khusus, staf ahli dan jubir, rata-rata berusia muda yang punya kepentingan dalam komunitas-komunitas masing-masing sebelumnya.
Kembali kepada sebentar lagi akan adanya Kapolri baru, kabarnya antara Nana Soekarna dan Imam Soedjarwo, menunggu keputusan DPR-RI—yang juga sangat kental aroma politik dan kepentingan masing-masing. Memang, di tubuh Polri banyak perwira tinggi (pati) yang perjalanan karier mereka banyak yang menonjol dan berhasil. Tetapi, kembali kepada kepentingan, kekuasaan dan siapa yang memback up semua kekuasaan, itulah yang akan memenangkan pertarungan kepentingan tersebut.
Setiap pergantian rezim (presiden, red), pasti berganti pula cukong yang ada di belakangnya. Politik yang dijalankan oleh penguasa pada akhirnya dilatarbelakangi kepentingan bisnis. Atau oleh kaum kapitalism. Kita ingat bagaimana berkuasa dan ditakutinya Om Liem (Liem Siong Liong), bagaimana ketakutan masyarakat terhadap nama dan jaringan Bob Hasan dan pengusaha hitam (istilah menyebut pengusaha asal India), bagaimana kekuasaan Tommy Winata (TW) dan lain sebagainya.
Suatu bukti, bahwa sejarah dalam pergantian pucuk pimpinan loembaga tinggi negara selalu berseteru kepentingan-kepentingan komunitas para kapitalis dan partai politik. Di situlah kelemahan sistem yang ada di Indonesia. Sehingga siapapun pengganti Kapolri, tetaplah menjadi Kapolri dengan pola yang sama. Hanya nama Kapolrinya saja yang berubah.  

Jumat, 23 Juli 2010

memories 30 year not meet

Exponent 79 FH UII at Coast Mutun, South Lampung, Jully 2010

Nikah Siri Bukan Pidana

RUU Nikah Siri
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)

Nikah Siri Hak Asasi Manusia

Tak Bisa Dipidana
Jakarta - RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum JE Sahetapy usai peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2010). Menurutnya untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan pemerintah yang melarang. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," tegasnya.
Menurutnya, karena urusan agama, maka sanksinya pun bukan pidana berupa denda atau penjara.
"Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama," pungkasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (rdf/irw)

RUU Nikah Siri

- Menag: Hukuman Belum Definitif, Bisa Saja Cuma Wajib Umumkan Pernikahan
Hukuman bagi para pelaku nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan belum definitif. Mungkin saja hukuman itu nantinya dalam bentuk administratif.
"Misalnya diwajibkan mendaftarkan diri, diwajibkan mengumumkan ke publik atau dikenakan denda. Kira-kira, ya, seperti itu. Jadi belum definitif, ya," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di sela-sela mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Banten, Selasa (16/2/2010).
Suryadharma menegaskan, RUU tersebut masih berupa draf yang disusun dari berbagai macam pikiran, pandangan dan alasan-asalah filosofis serta sosiologis. RUU itu nanti bisa disetujui bisa saja tidak oleh DPR.
"Baru masuk di badan legislasi. Itu rancangan itu dari Depag, begitu," tandasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (Luhur Hertanto – detikNews/irw/iy)

Gara-gara KD-Raul, MUI Resah

-Bagaimana UU Pornografi
-Bagaimana KUHP Pasal Perzinahan
-Bagaimana Polri
KOMPAS.com — Aksi baku cium antara vokalis pop Krisdayanti dan kekasihnya, Raul Lemos, Rabu (21/7/2010) di hadapan sorotan kamera langsung menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
"Mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan," ungkap Ketua MUI KH Hamidan saat dihubungi via telepon genggamnya di Jakarta, Kamis (22/7/2010).
Hamidan mengatakan, adegan yang dipertontonkan Raul-KD, meskipun disensor, tetap saja dinilai tidak sehat untuk dikonsumsi publik. "Prihatin karena itu kurang sehat untuk masyarakat," ungkap Hamidan.
Disinggung soal harapan istri Raul, Silvalay Noor Arthalia, agar MUI menegur suaminya dan KD karena dianggap telah berbuat senonoh, Hamidan enggan berkomentar pasti. "Ya itu kami lihat, apakah ini terkait pornografi atau pornoaksi. Tapi, itu bukan bidang MUI," ucap Hamidan.
"Tapi kami shock, padahal sekarang masih hangat dengan kasus Ariel. Kok ada lagi yang bisa berbuat seperti itu," sambungnya.
Oleh karena itu, Hamidan dengan tegas menilai bahwa perbuatan Raul-KD dianggap sudah meresahkan. "Jelas, bagaimana dengan dampak ke anak-anak mereka, ke masyarakat umum, dan istrinya itu," ucap Hamidan. "Kami resah, tapi semua dikembalikan ke infotaiment-nya," tutupnya. (FAN)

Rabu, 14 Juli 2010

Mengelola Teknologi

TEKNOLOGI yang merambah di semua sektor kehidupan, tidak semua elemen masyarakat dapat memanfaatkan, menggunakan dan mengelolanya sesuai fungsi dan tujuan diciptakannya produk teknologi. Karena itulah, banyak penggunaan produk teknologi menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri. Bukan hanya salah kaprah mengelola teknologi yang menyebabkan hancurnya unsur-unsur sumber daya manusia dan sumber daya alam. Akan tetapi, produk kebijakan atau slogan yang dibuat oleh pemerintah pun (juga swasta) sering menjadi penyebab rusak—hancurnya SDM dan SDA.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.

Seratus Ribu Lima Tahun

Oleh Naim Emel Prahana
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.

Pemersatu Bangsa-Bangsa

Oleh Naim Emel Prahana
HAMPIR sebulan penuh masyarakat dunia memfokuskan perhatiannya ke Afrika Selatan—negara yang sekian ratus tahun dijajah Belanda—sang kolonial. Afrika Selatan seakan tenggelam dipojok benua Afrika. Akan tetapi, gejolak yang membawa negara itu merdeka dan maju dari teriakan, perjuangan dan pengorbanan Nelson Mandela beberapa tahun silam. Kini, makin bersinar. Siapa yang tahu, negara kaya emas, tembaga dan hasil tambang lain itu mampu membelalakkan mata masyarakat dunia.
Moment Kejuaraan sepakbola dunia dari tanggal 17 Juni sampai 17 Juli 2010, benar-benar memukau. Ratusan juta pasang mata tertuju ke stadion-stadion sepakbola di Afrika yang dibangun sangat bagus, kalau tidak mau dibilang spektakuler. Olahraga benar-benar fair play. Olahraga tidak mengenal suku, rasa, kaya, miskin atau negara adikuasa, negara berkembang dan negara miskin. Olahraga yah ‘olahraga’
Itu dibuktikan, ketika pertandingan final kejuaraan dunia 2010. dunia negara Eropa yang sama-sama ingin menjadi juara “dunia baru”, bertanding menguras tenaga, ketrampilan olah-bola, kecerdikan, dan ketahanan mental yang membela nama bangsa masing-masing. Permainan sedikit keras tidak melunturkan sportivitas olahraga. Yang menang wajar meluapkan kegembiraannya. Yang kalah, juga tidak terpuruk. Spanyol perkasa, Belanda “luar biasa”.
Dengan sepuluh pemain melawan sebelas pemain Spanyol. Mental calon juara patut dibanggakan. Kalau ada riak protes di lapangan terhadap kepemimpinan wasit, itu masih standar normal. Juara Dunia Baru lahir lagi untuk ke delapan kalinya. Sepanjang sejarah kejuaraan sepakbola dunia, beberapoa negara menjadi “juara baru” dalam siatuasi yang penuh fair play. Inilah juara-juara baru yang dilahirkan sepanjang sejarah piala dunia; (1) 1930 Uruguay (vs Argentina 4-2), (2).
1934: Italia (vs Cekoslowakia 2-1), (3). 3-1954: Jerman Barat (vs Hongaria 3-2), (4). 1958: Brasil (vs Swedia 5-2), (5). 1966: Inggris (vs Jerman Barat 4-2), (6). 1978: Argentina (vs Belanda 3-1), (7). 1998: Prancis (vs Brasil 3-0) dan (8) Spanyol (vs Belanda 1-0).
Tidak tanggung, RCTI yang menytiarkan secara langsung pertandingan-pertandingan kejuaraan dunia bersama Global TV, mendatangkan Presiden SBY, untuk memberi komentar. Dapat dibayangkan, presiden Indonesia saja yang sepakbolanya morat-marit, rileks semalaman untuk menonton pertandingan final antara Spanyol dan Belanda yang disiarkan langsung. La Furia Roja julukan Spanyol akhirnya menjadi juara mengikuti jejak Brasil, Italia, Jerman, Argentina, Uruguay, Inggris, dan Prancis. dari stadion.
Luar biasa dunia olahraga yang mampu menjadi pemersatu bangsa-bangsa di dunia. Sementara di Indonesia, sepakbola—salah satu olahraga yang mulai digemari. Seringkali pertandingan diakhiri dengan amuk massa dan berujung tindakan anarkis. Mungkin baik sekali kalau pelaksanaan pertandingan piala dunia di Afrika Selatan dijadikan momentum membangun karakter damai di dunia olahgraga di Indonesia.

Legalitas Dalam Ilegalisme

Oleh Naim Emel Prahana
FENOMENA apa yang dipertontonkan para pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi dari berbagai unsur, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Semuanya merupakan implementasi dari karakteristik pegawai pemerintah. Yang selalu dualisme dalam berpijak, termasuk mengeluarkan pendapat. Sepanjang sejarah kemerdekaan republik ini, para abdi negara pada umumnya tidak memiliki identitas yang ‘pasti’. Ibarat ilalang, ke mana angin bertiup, ke sanalah mereka mencenderungkan kehidupannya. Kendati harus mengorbankan keyakinan atau ideologi pribadi dan keluarga.
Seandainya mereka sudah pensiun atau ‘dipensiunkan’, maka secara pasti pula pada umumnya mengeluarkan identitas diri sebagaimana mestinya. Koreksi, kritik, sampai ocehan kepada pejabat dan pegawai pemerintah atau kepada kebijakan pemerintah mengalir bagaikan air bah! Jika kita mengingat masa silam—disaat Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Nyaris tidak satupun PNS atau pejabat yang bertindak netral—walau ketentuannya harus netral, terutama dalam pemilu, pemilihan kepala daerah dan sebagai.
Kenyataannya sangat kontroversial. Mengerti atau tidak, paham atau tidak, sejalan atau tidak, korban atau tidak, menderita atau tidak dan sebagainya. Mereka tetap membela panji-panji Golkar yang menjadi tulang punggung utama penguasa orde baru, era keemasan Soeharto sebagai presiden republik ini. Oleh karena itu, kendati seorang atasan meniduri isterinya—si pegawai negeri tetap diam (maaf!). semua serba ketakutan akan dicopot status kepegawaiannya atau dipindahkan ke lokasi tempat jin buang anak (sebuah istilah).
Mungkin demikian pula dengan apa yang terjadi dengan mantan Menteri Depkum dan HAM, Prof DR Yusril Ihza Mahendra. Yang secara terang-terangan mengatakan status Hendarman Supanji (Jaksa Agung) tidak sah. Sehingga, ia tidak mau diperiksa atas sangkaan melakukan korupsi ketika ia menjabat sebagai menteri. Mungkin pula, apa yang dilakukan Susno Duadji yang menentang keras atasannya ketika ia hendak diperiksa. Toh, akhirnya Sausno Duadji ditahan. Yang diprediksi, pada akhirnya persoalan itu penuh dengan deal-deal di balik layar.
Dari fenomena-fenomena yang dipertontonkan para penguasa dan mantan penguasa (petinggi dan mantan petinggi pemerintah) masuk dalam koridor legalitas pada illegaliisme. Artinya, sesuatu yang dilegalkan padahal tidak legal, namun hukum kita menganut ilegalisme penerapan. Sebab, penerapan hukum kita dikombinasikan dengan unsur politik. Politik sendiri selalu menekankan kepada kepentingan tujuan (mempertahankan status quo kekuasaan).
Sementara itu, pilar – pilar politik di Indonesia sangat rapuh, tidak mendasar dan betul-betul menjalankan politik kepentingan. Ketika lembaga legislatif disanjung-sanjung sebagai forum politik. Maka, apapun keputusannya, termasuk pengesahan berbagai UU (produk hukum) maupun peraturan daerah (perda) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selalu “bongkar pasang”, selalu diingkari ketika berbenturan dengan kepentingan mereka (walau mereka sendirilah yang membuat peraturan itu).
Legalitas dalam ilegalisme dapat dilihat dan dirasakan hampir semua warga masyarakat, seperti perjudian. Undang-undang yang dibuat dan dijadikan acuan aparat penegak hukum, pada kenyataannya perjudianpun tetap berjalan. Baik yang benar-benar liar dan ilegal maupun yang dibungkus dengan praktek-praktek sosial, semacam kuis berhadiah dan sebagainya. Termasuk masalah narkoba dan miras yang masuk dalam paket UU Narkotika.
Yang paling spektakuler tentu masalah ilegalisme korupsi yang dilegalkan dengan berbagai bungkus kamuflase. Terutama UU Narkotika yang baru (2009). Pengguna atau lazim disebut sebagai orang yang menyalahgunakan narkotika sekitar 80% dimasukkan ke dalam daftar ‘korban’. Ketika bicara soal korban, maka kita harus membongkar bahasa Indonesia kembali. Definisi ‘korban’ dalam bahasa Indonesianya itu, apa? Apakah seorang yang ketagihan minuman keras, dianggap sebagai korban? Korban itu sediri apa. Tolong dijelaskan.
Tetapi, siapakah yang mampu menjelaskan, kendati banyak pakar hukum, pakar bahasa sampai pakar-pakaran di Indonesia ini. Tetapi, tetap saja belum mampu melahirkan sebuah teori sendiri. Kecuali teori-teori yang mengutip teori-teori lama dari orang asing. Orang Indonesia sangat bangsa dalam bukunya, dalam tesisnya, dalam tulisannya mengutip dan menulis bahasa asing. Bahasa ibu pertiwinya sendiri diabaikan, dianggap tidak ‘bertuah’—tidak bermakna. Oleh karena itu, mari kita lanjutkan pepatah yang mengatakan “katakan YA kalau benar, katakan TIDAK kalau memang salah”

Kamis, 17 Juni 2010

Mengelola Teknologi

Mengelola Teknologi
TEKNOLOGI yang merambah di semua sektor kehidupan, tidak semua elemen masyarakat dapat memanfaatkan, menggunakan dan mengelolanya sesuai fungsi dan tujuan diciptakannya produk teknologi. Karena itulah, banyak penggunaan produk teknologi menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri. Bukan hanya salah kaprah mengelola teknologi yang menyebabkan hancurnya unsur-unsur sumber daya manusia dan sumber daya alam. Akan tetapi, produk kebijakan atau slogan yang dibuat oleh pemerintah pun (juga swasta) sering menjadi penyebab rusak—hancurnya SDM dan SDA.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.

Rabu, 05 Mei 2010

Hari Indonesia

Kolom Naim Emel Prahana
INDONESIA adalah satu-satunya negara di dunia yang memiliki banyak hari-hari peringatan di luar hari nasional yang memang sudah ditetapkan dan sudah banyak pula jumlahnya. Kadang, melihat pegawai negeri yang ke sana-ke mari mempringati berbagai hari, timbul kasihan. Bukan lantaran biaya (kost) yang ke luar, akan tetapi nasib mereka yang terus dipaksa.
Hanya ada satu Indonesia tidak memiliki hari peringatan, yaitu Hari Laki-Laki atau Hari Pria. Selain dari itu, semuanya ada. Begitu hebatnya pemerintah Indonesia menghargai banyak status, keadaan, faktor dan bidang dan sebagainya. Tentu saja peringatan hari-hari di Indonesia itu membutuhkan biay, kadang-kadang dan sering peringatan hari-hari itu mengambil biaya dari pos pembangunan yang sudah ditetapkan. Dan, sering peringatan hari-hari itu menguras isi kantong para pegawai.
Ada kesan luar biasa. Tetapi, di balik kesan itu ada kesan yang “tak ada kesan”. Seperti angin lewat, ya lewat begitu saja. Seperti air, ya mengalir begitu saja. Di rumah atau keluarga atau rumah tangga saja, peringatan hari-hari itupun semakin semarak dan banyak. Ada hari ulang tahun yang dirayakan setiap tahunnya. Ada peringatan 25 tahun perkawinan, ada peringatan perkawinan perak, peringatan perkawinan emas dan sebagainya.
Pemerintah menduduki jumlah aktivitas peringatan hari yang paling banyak, ditambah lagi peringatan hari-hari lahirnya organisasi-organisasi profesi, kemasyarakatan, sosial dan lainnya. Peringatan hari-hari itu selalu diacarakan dengan berbagai jenis acara. Termasuk siraman rohani oleh penceramah.
Waktu acara berlangsung, semua peserta begitu khidmat, sementara peringatan hari di jalanan, juga tidak kalah maraknya. Unjukrasa, demo bentrok dengan polusi, demo anarkis, polisi yang anarkis, Pol PP yang bruta, dan sebagainya. Semuanya dalam rangka memperingati hari-hari tertentu.
Habis peringatan, habis pula ingatan. Semua kembali ke habitat masing-masing, prilaku sosial yang jadi trend, kembali beraktivitas. sepertinya isi pidato yang baik-baik, bagus-bagus, termasuk siraman rohani yang menyentuh kalbu hingga meneteskan air mata. Habis peringatan habis ingatan! Hanya itu yang ada.
Mungkin di antara hari-hari yang diperingati itu, yang paling berkesan dan selalu diingat adalah hari hujan, hari panas, hari gelap gulita dan hari-hari yang membuat orang trauma seperti hari gempa mengingati (bukan memperingati) kejadian gempa, tsunama, badai, longsor, biasanya selalu dalam ingatan. Tapi, yang namanya hari ibu, hari kebangkitan nasional, hari balita, hari lingkungan hidup, hari pendidikan nasional dan semacamnya.
Semua monoton dan tidak ada kesan, apalagi dampak positif yang bisa dijalankan masyarakat setelah peringatan harinya. Apalagi peringatan hari-hari besar yang disertai dengan pameranpembangunan. Sepertinya kita dipertontonkan kesia-siaan belaka. Kita disodorkan gambaran tentang kebodohan pemerintah dari tahun ke tahun. Padahal, biayanya luar biasa. Andaikan biaya seperti itu untuk diberikan kepada rakyat miskin, tentu manfaatnya akan lebih terasa dan pasti diinget terus oleh rakyat.
Hari apa lagi yang belum ditetapkan oleh pemerintah, agar diperingati setiap tahunnya dan agar dijadikan proyek multiyears. Mudah-mudahan DPR-RI bisa mengesahkannya, seperti hari kecelakaan lalulintas, hari perselingkuhan, hari kebohongan atau hari-hari kematian.

Kampanye “Kecap No 1”

kolom Naim Emel Prahana

MUSIM kampanye pilkada (pemilukada) di beberapa kabupaten/kota di Lampung secara resmi belum. Akan tetapi, kampanye lewat acara kamuflase nyaris tanpa waktu, apalagi melalui atribut (alat peraga) seperti baleho, spanduk, banner dan stiker maupun kaos. Merek atau tulisan di alat peraga itu memang penuh dengan rayuan. Kalau tidak kita katakan “rayuan gombal”
Tapi, itulah namanya kampanye! Bahasa yang disampaikan semuanya bahasa janji, rayuan yang manis-manis antara satu pasangan dengan pasangan lainnya. Bahkan, saling intip apa mereka di alat peraga pasangan lain. Maka, pasangan lainnya lagi membuat tandingan.
Semuanya seperti merek kecap. Sebab, kecap yang dijual di pasar, semuanya memasang merek kualitas nomor 1. di dalam kampanye alat peraga yang berbentuk teks (tulisan) membuat yang membacanya sering geleng kepala. Kok semuanya nomor 1. bahkan, membawa-bawa nama dalam ajaran agama. Misalnya “Pesan Rahmat”. Padahal, kata Rahmat itu merupakan singkatan. Namun, jika sepintas masyarakat membacanya berkpmentar, “wah, alim banget tu pasangan
Tapi, memang itulah potret yang terjadi di tengah masyarakat kita. Black Campaign (kampanye hitam) sudah menjadi lumrah dan tujuannya bagaimana menjatuhkan pasangan lainnya. Bisa dikatakan hal itu sebagai menghalalkan segala macam pelanggaran atau tindak amoral, asusila sampai ke asosial. Padahal, masyarakat sebenarnya sudah tahu. Siapa pasangan calon yang itu dan yang ini atau yang di sana.
Pada akhirnya, warga masyarakatpun menjalankan strategi, siapapun calonnya mereka dekati, yang penting uang. “Soal suara, itu nanti,” kata mereka. Kacau sudah demokrasi di tengah masyarakat dewasa ini. Demokrasi yang didasarkan kepada materi (salah satu bentuk kehancuran sistem demokrasi).
Apaboleh buat, pelanggaran atau tindak pidana dalam pemilu, pilpres atau pemilukada memang tidak jelas. Padahal, aturannya sudah sangat jelas. Pelanggaran dan tindak pidana dalam pilkada pada akhirnya menjadi proyek pihak berkepentingan dalam penyelenggaraan pilkada. Semua bisa diatur, walau sudah diekspos di media massa. Itulah hebatnya demokrasi Indonesia saat ini.
Yang lebih parah lagi banyak calon yang incumbent memanfaatkan jabatannya untuk memobilisir fasilitas jabatan dan uang rakyat untuk kepentingan dirinya sendiri. Apalagi sekarang, calon incumbent hanya cuti sebentar sebelum hari pencoblosan. Banyak anggaran yang sudah di poskan di APBD, dipakai oleh calon incumbent. Anehnya, penegakan hukum di daerah, membenarkan penyalahgunaan penggunaan anggaran itu untuk kapnaye calon.
“Yah, mereka ingin tetap menjadi nomor satu di daerahnya, apapun pertaruhannya, mereka lakukan sampai mendatangkan dukun/orang piunter lintas daerah..!”
Luar biasa, nomor satu itu memang kecap. Nama kecap itu akhirnya dipatri oleh kosa kata dalam bahasa Iondonesia sebagai orang yang suka membual—“mengecap”. Tong kosong nyaring bunyinya. Masih banyak harapan untuk berlaku sopan, jujur dan jentelmen (gentlemen) dalam pilkada. Kita tidak mau mendengar adanya humar error atau kekhilafan melakukan perbuatan yang dilarang dalam UU pemilu.
Gakumpun mulai memasang jaringan, jaringan itu selalu dilekatkan dengan lebel like and dislike.