Senin, 22 Maret 2010

Diami Malam

Depan Rumah dan Malam

KTP Double

Oleh Naim Emel Prahana

KASUS Kartu Tanda Penduduk (KTP) ketua KPU Kota Metro, Buyung Syukron yang kemarin disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Metro terkesan ada pihak yang senbgaja membuat proses peradilannya menjadi lamban. Kasus tersebut sudah terjadi sejak 2008 akhir dan baru sekarang disidangkan. Ada apa? Proses penyelidikan dan penyidikan serta proses penuntutannya sangat, sangat lamban.
Padahal, bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan Ketua KPU tentang pembuatan KTPnya di Metro (karena yang bersangkutan adalah penduduk dan mempunyai KTP Kota Bandarlampung), sudah sangat jelas. Pelanggaran itu juga dibantu secara penuh oleh Ketua KPU Bandarlampung, As’ad Muzamil—yang penduduk dan KTP-nya adalah di Kota Metro.
Boleh jadi, Buyung Syukron yang menumpang Kartu Keluarga (KK) As’ad Muzamil yangf penduduk Kota Metro adalah “tugar guling KTP”. Sebab, keduanya memang sudah di-plot oleh Ketua KPU Lampung dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura untuk menjadi ketua KPU Kota Metro dan Bandarlampung.
Dari kasus tersebut, terlihat jelas penegakan hukum di Indonesia memang dipengaruhi faktor X. Sebab, awal 2009 berdasarkan bocoran dari KPU Kota Metro. Kembaga pelaksana pemilu itu telah mengucurkan dana senilai Rp 30 juta dan diberikan kepada lembaga penegakan hukum di Kota Metro. Anggaran itu dalam laporannya dibuat sedemikian rupa, seakan-akan merupakan bantuan KPU dalam pelaksanaan pemilu dan pilpres dalam kampanye damai.
Namun, bocoran akurat itu menyebutkan, separuh dari Rp 20 juta itu dibuat sebagai anggaran pemesanan kaos dan separuhnya lagi dibuat untuk anggaran kampanye damai. Kedua item dimaksud pada kenyataannya tidak pernah dilaksanakan oleh lembaga penegak hukum yang menerima dana Rp 20 juta tersebut. Bukankah itu sebagai salah satu indikasi, kenapa proses peradilan kasus KTP ganda itu sampai 2 tahun. Itupun baru beberapa kali disidangkan.
Pertanyaannya, ada apa? Melihat kasus tersebut, maka banyak pihak yang bisa ditetapkan statusnya sebagai “turut serta” yang unsur pidananya sama dengan “orang yang melakukan”. Yang secara langsung membantu Buyung Syukron antara lain As’ad Muzamil (Ketua KPU Bandarlampung), Lurah (atau mantan) Iringmulyo, Camat Metro Timur dan Tim Seleksi (Timsel) anggota KPU 2008—2013 yang diketuai oleh Prof DR Juhri Muin MPd (dosen UMM), H Masnuni (Dinas Pendidikan), Rifian A Chepi (Dinas Pendidikan), DR Syarifuddin Basyar MA (Dir STAIN Jusi Metro). Mereka adalah anggota Timsel KPU Kota Metro akhir 2008 silam.
Seharusnya, majelis hakim PN Metro yang menyidangkan kasus tersebut, harus memanggil ke 5 mantan anggota Timsel KPU Kota Metro tersebut. Karena, akibat kecerobohannya dan akibat hanya mengusung pesanan pihak tertentu, sehingga seleksi calon anggota KPU tidak berjalan sesuai dengan ketentuannya. Dan, disitulah Buyung Syukron lolos soal pengecekjan KTP.
Semua berharap, kasus KTP ganda Ketua KPU Kota Metro itu menjadi bagian pelajaran politik yang “tidak bermoral” dan dapat dijadikan bahan renungan semua pihak, bahwa kelicikan karena ingin merebut kekuasaan dengan menghalalkan semua cara. Tidak akan berlangsung lama, dan pelakunya akan tidak akan bisa menikmati kursi jabatannya secara damai dan tenang.

Pembatalan CPNS


Oleh Naim Emel Prahana

DENGAN alasan tidak sesuai format formasi penerimaan PNS—guru di Kabupaten ‘anyar’ Pesawaran, Lampung. Akhirnya 34 CPNS yang diterima dan sudah diumumkan nama-namanya di media massa 2009, dibatalkan oleh Pemkab Pesawaran. Secara garis lurus, Pemkab Pesawaran memang lebih tahu dan lebih berkompeten terhadap para PNS yang akan bertugas di kabupaten tertsebut.
Namun, bukan sesuatu yang bijak jika ke 34 CPNS tersebut tetap dipertahankan untuk tetap ditolak keberadaannya. Bagi Pemkab Pesawaran keputusan menolak karena tidak sesuai dengan format formasi yang sudah diajukan dan ditentukan adalah keputusan yang mempunyai dasar hukum. Akan tetapi, dasar hukum yang melatarbelakangi penolakan itu. Tentu tidak sesaklek seperti sebuah batu.
Karena, tetap menerima sesuai dengan pengumuman mungkin akan lebih bermanfaat dan berdaya positif bagi Pesawaran di masa akan datang. Memang soal finansil akan jadi kajian yang cukup mendalam. Tetapi, tidak ada alasan yang mengatakan kalau ke 34 CPNS itu adalah salah dan harus ditolak. Ke 34 CPNS tersebut tidak melakukan apapun, kecuali mengikuti prosedure sebnagaimana yang sudah ditentukan.
Oleh karenanya, tidak dibenarkan pula kesewenangan begitu saja menolak ke 34 CPNS yang nama-nama mereka sudah diumumkan dan sudah diproses oleh BAKN di Jakarta dan yang penting lagi sudah dinyatakan lulus oleh tim seleksi penerimaan PNS untuk tahun 2009 khususnya untuk Kabupaten Pesawaran.
Jika demikian, siapa yang bersaalah dalam hal itu? Atau tidak ada pihak yang bersalah, karena mungkin antara Pemkab Pesawaran, Panitia Penerimaan dan Pengelola komputer hasil test CPNS tidak dalam koordinasi yang konkrit atau ada human eror dalam pelaksanaan ujian dan tes CPNS yang sudah berlalu tersebut.
Jika itu yang terjadi (mungkin) itulah yang terjadi sebenarnya, maka tidak berhak Pemkab Pesawaran menolak atau membatalkan SK ke 34 CPNS tersebut. Mereka tidak mempunyai kesalahan apapun dan mereka menjadi korban ketidakberesan administrasi penerimaan CPNS 2009 lalu.
Untuk itu, mengingat kejadian yang sama pernah terjadi di Kota Metro. Sebanyak 27 CPNS yang sudah diterima dibatalkan Pemkot Metro. Namun, karena ada lobby khusus antara DPRD dan Pemkot, akhirnya DPRD beserta Dinas Pendidikan Kota Metro dapat menjamin ke 27 CPNS tersebut untuk tetap diterima. Akhirnya, tetap diterima.
Mengambil hikmah persoalan CPNS tersebut, banyak gambaran yang terselubung dapat diungkapkan ke permukaan; kenapa antara BAKN dan Pemerintah Daerah terjadi kesalahpahaman. Kemudian akibatnya terjadi pembatalan SK CPNS yang secara hukum dan fakta harus diakui benar dan sahg. Sebab, sudah diumumkan dan pengumuman penerimaan itu sudah diketahui masyarakat luas.
Pemkab Pesawaran harus mencabut kembali pembatalan mereka itu. Dan, Pesawaran harus menerima ke 34 CPNS guru yang diterima tahun 2009 tersebut. Tentunya, ada yang menjamin. Setidak-tidaknya DPRD Pesawaran harus tamnpil sebagai wakil rakyat yang konkrit untuk membel;a rakyat mereka yang menjadi korban administrasi pemerintah yang kacau balau. Pada akhirnya, kita sepakat mengatakan bahwa pembatalan SK CPNS yang sudah diterima itu, tidak ada setitikpun alasan pembenar bagi perbuatan Pemkab Pesawaran tersebut. Untuk itu pembatalanb harus dicabut lagi demi hukum dan rakyat yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama yang dilindungi oleh UU.

Jasa Dukun

Oleh Naim Emel Prahana

APA yang terbayangkan jika benar-benar kenyataannya, seseorang menjadi korban santet alias ilmu hitam—hanya gara-gara sepele. Kaum agamais selalu beranggapan, meminta jasa dukun itu tidak benar dan hanya akan merusak jiwa seseorang atau sekelompok masyarakat. Di kalangan medis selama ini sulit mendeteksi penyakit seseorang korban perdukunan (ilmu santen) yang beragam pola, modus, jenis dan tingkatan dampaknya.
Memang sulit dipercayai, manakala ada orang yang menjadi korban ilmu hitam (dunia perdukunan) kemudian akibat sakit yang diderita. Koran tersebut meninggal dunia. Tapi, kita harus ingat, salah satu makhluk ciptaan Allah SWT yang diusir dari surga karena menantang Sang Fatharah (Allah—Tuhan Yang Maha Pencipta). Diberi kewenangan oleh Allah untuk menggoda manusia, khususnya yang tidak beriman.
“Jasa dukun” – banyak orang ada yang menyebut ‘paranormal’—lain pihak banyak pula yang menyebut “orang pintar”—banyak juga yang menyebut ‘dukun’ dengan dua kelompok. Pertama kelompok jasa dukun bidang pengobatan dan kedua kelompok dukun bidang ‘santet’. Namun, ada juga kelompok dukun yang mengerjakan kedua kategori bidang perdukunan itu. Lebih jauh, soal ilmu hitam yang berhubungan dengan makhluk halus—yang secara kasat mata tidak dapat dilihat oleh manusia kebanyakan; yang ditengarai makhluk halus itu sebagai masyarakat iblis, setan atau jin. Sebutran iblis dan setan selalu indentik dengan kejahatan, keburukan dan kekajaman. Sementara sebutan Jin—pendapat membaginya ke dalam dua kelompok. Yaitu, Jin Islam (baik) dan Jin kafir.
Persoalannya, kita tidak membicarakan, bagaimana substansi praktek di dunia jasa dukun tersebut. Kita hanya melihat kenyataan saat ini, jasa dukun sudah masuk ke dunia media massa atau dunia komunikasi massa, seperti tayangan di televisi atau media massa cetak.
Yang sulit kita terima dengan akal, menggunakan “jasa dukun” karena hal sepele antara teman, antara satu profesi (bisnis, pekerjaan tertentu dsb). Karena kurang enek atau mungkin mendapat informasi yang tidak akurat—tidak tepat, seseorang menggunakan jasa dukun untuk maksud mencelakai temannya tadi. Orang semacam itu (mnenggunakan jasa dukun untuk mencelakai teman sendiri) memang pantas dirajam atau dibunuh.
Demikian juga dalam dunia perselingkuhan, tidak sedikit lelaki atau perempuan yang menginginkan seorang wanita atau pria atau menginginkan isteri orang, lalu menggunakan jasa dukun, dan yang paling parah seorang dukun itu dimanfaatkannya untuk mencelakai suami si isteri orang yang ia sukai. Memang terlihat tidak masuk akal, kenyataannya memang ada, karena berhubungan dengan iblis dan setan.
Dalam dunia politik pun banyak politikus memanfaatkan jasa dukun, termasuk para pejabat tidak kurang-kurangnya memanfaatkan jasa dukun untuk mempertahankan status pejabatnya atau kekuasaannya. Apalagi menjelang pemilukada seperti saat ini di Lampung. Jasa dukun menjadi laris manis dimanfaatkan oleh para calon pemimpin daerah. Tujuannya jelas, agar bagaimana ia bisa menjadi bupati, waliukota atau wakil mereka.
Namun, perlu dipertegas bahwa barangsiapa memanfaatkan jasa dukun, hidupnya tidak akan tentram, karena ia menduakan Allah, Tuhan Sang Pencipta—bahkan mengarah kepada perbuatan syirik. Apapun hebatnya seorang dukun, paranormal, orang pinter. Jika tidak dimanfaatkan orang, maka ilmunya tidak akan berguna apa-apa dan tidak akan mencelakai orang lain secara sadis. Dan, kita perlu mengingatkan orang yang selalu menggunakan dukun untuk mencelakai orang lain, bahwa dirinya suatu saat akan celaka. Karena menentang kehendak Allah.

Lampung: Video & PNS

Oleh Naim Emel Prahana

TIDAK boleh malu mengatakan apa adanya. Sebab, katakan YA kalau benar dan katakan TIDAK kalau tidak benar. Itu merupakan bagian dari prinsip hidup yang seharusnya ada pada setiap insan (manusia/orang). Terlepas ia menganut paham agama apa. Kejujuran adalah kehendak Sang Pencipta kepada makhluk-makhluk ciptaannya. Oleh karena itu, tidaklah naif jika bicara soal maraknya peredaran video porn dengan pemeran utamanya di kalangan PNS (pegawai negeri sipil)
Di Lampung cukup berkembang perekaman (record) adegan-adegan syuur (porn), baik video porn di kalangan umum, pelajar/mahasiswa maupun PNS. Kita masih menyimpan (mungkin) video porn seorang anggota DPRD Way Kanan dengan seorangt guru asal Bumi Emas, Batanghari, Lampung Timur beberapa tahun silam. Lalu, disodorkan video porn pegawai di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung yang sangat menggairahkan.
Jika membuka internet dengan kata kuncir “free download video porn PNS Lampung”, maka ret-retan file video porn asal Lampung masuk ke internet. Entah apa, yang jelas itulah dunia maya. Orisinil atau tidak, kita hanya membaca judul atau filenya saja. Biasanya, kalau video porn PNS, selalu dishoot pakaian seragamnya dan lambang daerah di pakaian seragam sang pemeran utama—khususnya perempuan.
Kalau video porn kalangan pelajar/mahasiswa Lampung, jumlahnya sangat banyak. Beraneka ragam adegan seksnya. Demikian pula lebel video porn umum. Walau kita yakini, sedikitnya ada rekayasa lebel dan status pelakunya. Tapi itu menggambarkan bagaimana perkembangan seks bebas yang didokumentasikan para pelakunya di Lampung, luar biasanya. Bahkan pelajar di Way Kanan, Bukit Kemuning yang tergolong jauh dari Bandarlampung, sudah ada aksi rekaman video porn, kendati ada lebel pemerkosaan rame-rame pelajar SMP di Bukit Kemunging dan lebel lainnya. Sejauh ini, peranan handphone (HP) berkamera yang sekarang rata-rata dimiliki pelajar SMP, SMA apalagi mahasiswas dapat dijadikan salah satu faktor utama maraknya rekaman video porn di kalangan pelajar/mahasiswa dan PNS.
Bisa jadi, video porn di kalangan pelajar/mahasiswa dan PNS seperti Gunung Es. Yang muncul ke permukaannya hanya kerucut atasnya saja, tetapi semakin ke bawah—tanpa diedarkan, bisa jadi jumlahnya sangat banyak dengan pelaku yang juga banyak. Seperti kita ketahui video porn PNS Lampung Tengah yang beredar menjelang akhir 2009. ternyata banyak disukai kalangan pejabat dan masyarakat umum di Lampung.
Dan, di Internet ternyata sudah ada. Tinggal download saja. Video porn PNS Lampung yang diduga pemeran wanitanya adalah PNS dari kalangan guru dilakukan di dalam sebuah mobil dan adegannya cukup detail dan durasinya cukup lama. Sejauh perkembangan soal video porn, khususnya di Lampung. Perlu diambil langkah-langkah yang bijak dan arif. Misalnya di kalangan pelajar/mahasiswa, pihak Dinas Pendidikan perlu menerbitkan surat edaran tentang larangan membawa HP berkamera ke sekolah. Tentu larangan itu harus diberi penjelasan detailk, kenapa dilarang. Sehingga pihak orangtua / wali murid akan mudah memahami larangan itu.
Kita prihatin, persoalan seks menjadi komoditas umum, terutama di kalangan pelajar dan PNS (guru) yang seharusnya mereka menjadi calon dan sosok panutan masyarakat. Tapi, justru menjadi contoh yang negatif bagi generasi muda bangsa ini. Kita tidak perlu komentar soal yang sama di daerah lain. Kita wajib memnbersihkan daerah Lampung saja.

Perseteruan Apa Konflik

Oleh Naim Emel Prahana

SEPANJANG tahun 2010 akan terjadi pergantian sejumlah kepala daerah dalam paket Pemilihan Umum Kepala Daerah (pemilukada). Alam demokrasi Indonesia akan memberikan warna demokrasi di Lampung. Barangkali, rakyat akan selalu bertanya-tanya, apa itu demokrasi? Lalu, ada yang menggambarkannya sebagai democrazy (seperti salah satu acara stasiun TV swasta Nasional).
Sejauh ini, pelajaran demokrasi yang dikatakan tumbuh sebagai simbol kerakyataan (dari dan untuk rakyat). Ternyata belum pernah diajarkan kepada rakyat yang sebenarnya. Bahkan, rakyat tidak tahu apa arti ‘milik’ mereka itu. Demokrasi berkembang pesat di kelas menengah ke atas.
Terlebih lagi demokrasi ala pemilu pemilihan ‘langsung’ di Indonesia. Rakyat tidak perlu membahas apa artinya demokrasi. Karena, rakyat selalu terbebani oleh kebutuhan hidup yang sulit mereka dapatkan saat ini. Kenapa serba sulit? Bayangkan saja, upah kerja rakyat di perusahaan-perusahaan jauh di bawah maksimal, tetapi harga kebutuhan pokok mereka, jauh di atas maksimal.
Demikian pula di dunia pegawai negeri sipil, militer, separuh militer separuh sipil (polisi), kemewahan nampaknya hanya dinikmati para petinggi mereka. Sementara pegawai rendahan, prajurit tetap saja melankolis dengan jumlah anggota keluarga yang umumnya banyak.
Sedikit gambaran kemajuan, beberapa tahun terakhir ini, para prajurit dan polisi berpangkat rendah dan menengah sudah pada cerdas dan pintar. Tidak sedikit dari isteri mereka adalah PNS (pegawai negeri sipil). Dengan demikian beban hidup keluarga, agak terbantu.
Sayangnya, jumlah yang demikian itu masih bisa dihitung dengan jari. Ketika kepada mereka; rakyat kebanyakan, PNS rendahan, prajurit dan polisi berpangkat rendah pada keluarga mereka disodorkan program pemilukada. Terlihat bingung, terlihat agak sulit menentukan pilihan dalam hajat demokrasi itu. Akhirnya mereka hanyalah menjadi bulan-bulanan para calon kepala daerah.
Sementara para calon kepala daerah di antaranya adalah pejabat incumbent; gubernur—wakilnya, bupati—wakilnya, walikota—wakilnya dan pejabat teras lainnya, anggota legislatif, serta pengusaha sudah menciptakan blok-blok persaingan yang cenderung perseteruan dan atau kelihatan jelas ada konflik yang tidak seharusnya lahir saat pesta demokrasi akan dimulai.
Ada apa sebenarnya dengan kursi orang nomor satu di suatu daerah? Betulkah kursi itu adalah segala-galanya, sehingga untuk mencapainya harus mengeluarkan uang puluhan miliar rupiah. Padahal, uang sebanyak itu (berulangkali koran ini memjelaskan), tidak pernah memberikan manfaat terhadap tingkat kesejahteraan rakyat di daerah masing-masing.
Konflik dalam perseteruan merebut kekuasaan di daerah itu, tidak ubahnya konflik yang terjadi di tingkat pusat. Banyak mengabaikan etika, sopan santun dan rasa hormat satu dengan lainnya. Terutama yang dilakukan para pendukung dan tim sukses masing-masing. Hal itu terbaca dengan jelas, baik melalui komunikasi lisan di tengah masyarakat maupun komunikasi melalui facebook.
Yang pasti jabatan dan materi tidak akan pasti dan tidak akan memberikan nilai-nilai pendidikan yang standar, jika hanya dihamburkan pada saat pemilukada saja.

UU Penodaan Agama

Okeh Naim Emel Prahana

KALAU bangsa dan semua elemen masyarakat di Indonesia masih mempercayai dan memegang teguh falsafah negara Pancasila. Sudah sangat jelas, kalau bangsa dan negara ini hanya mengakui 5 (lima) agama. Islam, Kristen, Katholik, Budha dan Hindu. Secara otomatis, selain dari kelima agama yang diakui dan sah di negara ini, tentunya tidak ada dan tidak diakui sebagai agama.
Ironisnya, kendati pengakuan hanya kepada lima agama, akan tetapi pemerintah sepertinya mengakui semua agama. Sebagai contoh Konghucu, kepercayaan dan animisme yang dianut oleh suku-suku terasing. Asumsinya, berarti pemerintah tidak konsisten menjalankan amanah yang terkandung di dalam Pancasila—khususnya soal agama yang sah dan diakui keberadaannya.
Jadi, apakah yang sebenarnya yang sedang dijalankan oleh penguasa (pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia) yang menjalankan roda pemerintahan selama ini? Munculnya berbagai aliran atau sekte yang kemudian dianggap ‘terlarang’ dan kemudian diadili sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Maka, munculnya pertanyaan, siapakah (pihak) atau orang mana yang mealakukan “penodaan agama” itu.
Bentuk dan kriteria penidaan itu yang bagaimana? Sebab, belajar dari ajaran agama yang ada, maka yang melakukan penodaan agama adalah penganut agama itu sendiri. yaitu dengan tidak menjalankan ajaran agama masing-masing secara murni dan konsekuen. Itulah yang disebut penodaan agama. Oleh karena itu, di dalam ajaran agama, Tuhan menyebutkan ada golongan yang mensyirikkan diri-Nya. Ada golongan yang mempersekutukan-Nya.
Dan, ada golongan yang kafir, murtad dan sebagainya. Golongan-golongan itulah yang seharusnya disebut sebagai kelompok yang melakukan penodaan terhadap agama. Dan, tentunya tidak terlepas dari apa yang disampaikan iblis kepada Sang pencipta (Allah SWT), ketika kaum iblis diusir dari surga.
Seandainya ada orang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang menjelek-jelekkan suatu agama tertentu dihadapan umatnya atau dalam lingkungan sendiri. sepertinya kriteria penodaan agama tidaklah tepat. Sebab, perbuatan mereka adalah perbuatan merusak, penghinaan terhadap orang lain dan itu merupakan perbuatan pidana yang dapat dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Bagaimana dengan stempel “penodaan agama?” yang selama ini diberikan kepada kelompok orang tertentu yang melakukan kegiatan keagamaan agak berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya yang secara umum. Apakah disebut juga dengan penodaan agama atau penodaan kesusilaan seseorang. Sebagai contoh aliran sesat yang mengharuskan anggota jemaatnya melakukan hubungan seksual dengan pimpinan agama?
Tentu bukan penodaan agama, melainkan penodaan kesusilaan terhadap seseorang yang berada di bawah kekuasaannya. Soal membawa nama-nama agama, itu hanya sebuah rekayasa bagaimana mereka dapat melaksanakan hajat bejatnya terhadap orang lain. Dengan gambaran itu, persoalan pengakuan atas lima agama di Indonesia harus diperhatikan betul dalam kenyataannya. Jangan karena sesuatu, orang lain menjadi korban dengan alasan penodaan agama. Padahal, itu hanyalah perbuatan pidana yang meresahkan masyarakat, karena banyak korban yang diakibatkan oleh kegiatan ritual mereka.

Demokrat Dan Parpol

KOALISI beberapa partai politik (parpol) yang biasanya terjadi setelah pemilu legislatif dan Pemilu Presiden, hanya kepentingan sesaat bagi pengurus inti parpol, guna menguasai kekuasaan—yang tepat disebut dengan “pembagian kekuasaan” dan “ mempertahankan kekusaan”. Pada negara yang menganut sistem demokrasi, koalisi parpol itu jarang terjadi. Yang ada hanyalah parpol yang pro pemerintah atau parpol yang pro parpol pemenang pemilu.
Perbedaan antara koalisi dengan pro, di sisi ada parpol yang oposisi, terletak pada keterikatan antar parpol itu sendiri. kalau koalisi, maka item-item perikatannya jelas, pembagian jabatan jelas, pembagian kursi dalam kabinet jelas. Sedangkan dalam pola ‘pro’, perikatan pada item-itemnya tidak mengikat dan sewaktu-waktu dapat mencabut dukungan itu.
Sebenarnya, pada pola koalisi pun pencabutan perikatan memang tidak ada larangannya. Hanya ada persoalan etis dan tidak etis. Sebab, pada koalisi jatah-jatah jabatan, kursi di kabinet dan (mungkin) termasuk kucuran dana bantuan serta fasilitas akan menjadi korban.
Pada hakekatnya, parpol-parpol tidaklah mungkin untuk bertsatu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kekuasaan. Di samping perbedaan arah dan tujuan serta azas. Juga, punya banyak perbedaan ideologi yang menjadi karakteristik sebuah parpol. Semuanya tidak ada kejelasan jika bicara parpol dan pemerintahan di Indonesia. Karena parpol di Indonesia belum mandiri atau independen dalam menghidupkan dan menjalankan roda organisasi politik.
Ketergantungan kepada pemerintah sangat terasa, terutama bantuan yang diberikan setiap tahun yang dihitung berdasarkan jumlah suara dan jumlah anggota parpol di legislatif. dan bantuan itu, sangat didambakan setiap parpol. Kemudian, parpol pun melakukan pemerasaan terhadap kadernya yang duduk di legislatif. Dari persoalan-persoalan itu, terlihat jelas parpol di Indonesia belum mampu berdiri sendiri, walaupun kadernya banyak yang menjadi penguasaha nasional sukses.
Kemudian berkaitan dengan koalisi Partai Demokrat dengan beberapa parpol sebelum penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II), seperti dengan Golkar, PKS, PPP, PKB, PAN dan beberapa parpol kecil lainnya. Lebih banyak terlihat unsur manfaatisme. Partai Demokrat (PD) memanfaatkan beberapa parpol untuk melancarkan program-program kekuasaan, sementara parpol yang mengatakan berkoalisi pun memanfaatkan PD, untuk menerbangkan kader-kader mereka di berbagai jabatan strategis, khususnya pada susunan kabinet.
Koalisi parpol dengan PD memang tidak total. Sebab, papol di tingkat provinsi (daerah) sampai kabupaten/kota, nampaknya tidak terpengaruh dengan koalisi parpol mereka di tingkat pusat. Mereka pun di tingkat daerah, membangun koalisi baru. Semuanya bertujuan untuk mendapatkan jatah dan kemudahan-kemudahan selama berlangsungnya pemerintahan di pusat maupun di daerah.
Oleh sebab itu, koalisi yang dibangun bersama PD 2009 hanyalah lelucon dan permainan politik yang sungguh-sungguh tidak memperhatikan alam demokrasi yang sebenarnya dan kepentingan rakyat pada umumnya—yangs eharusnya menjadi dasar koalisi parpol (jika memang harus berkoalisi. Siapa yang beruntung dalam format koalisi parpol di Indonesia? Ya, para pengurus inti parpol itu sendiri.