Sabtu, 08 Oktober 2011

DESA KOTADONOK

 Rumah Pangeran Kotadonok

 Rumah Pangeran Kotadonok

Rumah Pangeran Kotadonok

 Para Tokoh Masyarakat

 Pasar Kotadonok

 Kotadonok 1826
 Keluarga Pangeran Kotadonok

 Putra Mahkota Pangeran Kotadonok

 Rumah-rumah di Kotadonok



 Rumah Gubernur Sumatera Selatan, Husein di Kotadonok

Sejarah Singkat
Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini, dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama tersebut.

Kotadonok termasuk salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman), Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan Hindia Belanda.  

Kotadonok berjarak 40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.

Alasan kenapa Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.

Tanda-tanda sebagai desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di desa/kampung Kotadonok.

Jika pada tahun 2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.

Desa Kotadonok (sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua) jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama ‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5 (lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga Imansyah.  

Perekonomian
Perekonomian di desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan beragam.
Harus diakui, sejak lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI, Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni. Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat. Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa Kotadonok.
Namun sejak tahun 1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun, banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.

Minggu, 02 Oktober 2011


 Pengeran Kotadonok
Hasan, Husein dan Harun

Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini, dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama tersebut.

Kotadonok termasuk salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman), Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan Hindia Belanda.  

Kotadonok berjarak 40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.

Alasan kenapa Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.

Tanda-tanda sebagai desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di desa/kampung Kotadonok.

Jika pada tahun 2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.

Desa Kotadonok (sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua) jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama ‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5 (lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga Imansyah.  

Perekonomian
Perekonomian di desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan beragam.
Harus diakui, sejak lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI, Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni. Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat. Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa Kotadonok.
Namun sejak tahun 1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun, banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.

Minggu, 18 September 2011

Tlang Macang


 Di bawah kaki bukit (tebo) Diding itulah lokasi Tlang Macang, berada di pinggir Sungai Ketahun (Bioa Ketawen). Foto Naim Emel Prahana

Dari Cerita ke Cerita
Oleh Naim Emel Prahana

SECARA persis tidak ada yang dapat menjelaskan, kenapa nama tempat ini dengan Tlang Macang? Namun, populeritas nama Tlang Macang  menyebar seantero daerah Lebong. Khususnya daerah-daerah sekitar Desa Kotadonok. Tlang Macang berada di pinggir Bioa Ketawen (Bio Tawen)—yang dikenal dengan nama Air (sungai) Ketahun, lebih kurang sekitar 700 meter dari Sadei Tiket—sekarang menjadi Desa Sukasari (pemekaran dari Desa Kotadonok).
Tempat yang disebut dengan Tlang Macang itu memang sangat terkenal di tengah masyarakat. Boleh jadi dahulunya menjadi pintu gerbang memasuki Kotadonok dari arah Topos. Kenpa demikian, setiap orang (warga) Topos (sekarang namanya Sukanegeri) yang akan berbelanja ke Peken (pekan, pasar) Kotadonok pada hari Rabu. Pasti melewati daerah yang namanya Tlang Macang.
Di situ dulunya ada sebuah rumah Imansyah yang punya anak laki-laki namanya Hamadansyah. Tlang Macan dijadikan tempat tinggal, mereka berternak unggas seperti ayam, itik, bebet (bebek) dan bercocok tanam serta berkebung. Di lokasi itu dua pohon karet yang sangat rimbun sekali. Seakan-akan menjadi pintu gerbang melintasi Bioa Ketawen menuju Kotadonok.
Yang lebih khusus lagi, di lokasi itu memang ada banyak pohon Macang atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan pohon Pakel dan buahnya disebut buah pakel. Sejenis tanaman sebangsa dengn mangga. Namun, buahnya yang kuning jika masak (matang) aromanya sangat harum sekali. Hanya, rasanya berbeda dengan buah mangga. Rasa buah Pakel atau Macang itu asam (kecut, pen).
Adalah mungkin, jika tempat itu disebut Tlang Macang karena banyak tumbuh pohon Macang (pakel). Sebagaimana penamaan atau memberikan nama julukan tempat, orang di tengah masyarakat Lebong ditandai dengan beberapa faktor. Di Tlang Macan itu ada semaet (pelabuhan perahu). Dulunya, penyeberangan dari dan ke Tlang Macang menggunakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda ketika menjajah Lebong. Sayanganya jembatan itu sudah dirobohkan ketika terjadinya class ke II dengan Indonesia.
Lokasi Tlang Macam memang bukan dataran rendah yang memiliki luas dan lebar yang cukup, tetapi lokasinya berada di kaki Tebo Diding (Bukit Diding) yang berada di atasnya. Ke arah utara Tlang Macang ada beberapa areal sawah milik warga Kotadonok, yang menurut catatan dipunyai keluarga Muhammad Said (alm), demikian juga kebun-kebun di Tebo Diding.
Dulu kawasan itu merupakan satu-satunya jalan penghubung antara Desa Kotadonok dan Topos. Jika warga Topos harus melalui Rimbo Pengadang, maka jarak tempuh dan waktu begitu lama, di sisi lain jalur tersebut sangat buruk keadaannya. Jalan yang melewati Tlang Macang, jika mau ke Topos atau orang Topos ke Kotadonok memang merupakan jalan Setapak beberapa kawasan harus dilalui seperti kawasan Tebo Sam, Tebo Diding dan ada beberapa kawasan lainnyang namanya dijuluki oleh masyarakat Topos dan Kotadonok dengan nama tertentu.
Sekitar tahun 1971-an Tlang Macang tidak ada lagi penghuninya, kemudian jalur lintas Topos—Rimbo Pengadang sudah mulai terbuka. Maka, praktis Tlang Macang mati total tanpa ada aktivitas.
Di bawah ini ada cuplikan wawancara dengan Rahmatsyah bin Haji Aburuddin tentang riwayat Tlang Macang. Menurut Rahmatsyah, nama itu sudah ada sejak lama. Seingatnya, ketika ia masih bujang sering mengembalkan kerbau miliknya ke daerah itu.
“Pernah suatu kali ketika saya menggiring kerbau-kerbau untuk menyeberangi Tlang Macang, saya melihat beberapa ekor kerbau saya sedang dalam bahaya, karena ditarik oleh pusaran air di depan Tlang Macang. Melihat itu, saya dengan sekuat tenaga menggiring kerbau-kerbau saya, agar ke luar dari lokasi pusaran air di daerah itu,” kenang Rahmatsyah.
Menurut Rahmatsyah, memang di bawah areal Tlang Macang itu ada semacan serawung (gua di dalam air), tetapi apakah itu serawung dung (dung = ular) atau bukan, saya tidak tahu persis.
“Namun daerah itu cukup angker,” kata Rahmatsyah seraya mengatakan, keangkeran daerah itu terbukti beberapa orang yang menyeberangi Bioa Ketawen di Tlang Macang tenggelam dan hilang.
“Pernah suatu ketika ada orang datang dan menyeberang di daerah itu, kemudian dengan ucapan meremehkan daerah itu, karena lebarnya sungai yang harus diseberangi hanya sekitar 20 meter menggunakan perahu, ia berkata sombong, tiba-tiba perahu yang ditumpanginya terbalik,” ujar Rahmatsyah.
Di situ, katanya tidak boleh bicara langguk (seperti angkuh, sombong) atau meremehkan keadaannya. Jika itu dilakukan mungkin ada saja kejadian yang menimpa orang yang langguk itu. Tapi, boleh percaya boleh tidak, kata Rahmatsyah.
Ketika penulis masih duduk di bangku SD di Kotadonok antara tahun 1968—1970, daerah Tlang Macang adalah tempat penulis dan kawan-kawan bermain, mandi dan terjun bebas dari pohon karet yang rindang di Tlang Macang. Waktu itu memang kami tidak tahu menahu soal cerita Tlang Macang itu. Alhamdulillah tidak mada kejadian apa-apa, ituy semua kami selalu ingat pesan orang tua di Kotadonok.
Itulah sekelumit cerita Tlang Macang, yang sekarang sudah dibangun jembatan besi yang permanen sejak berdirinya Lebong menjadi kabupaten. Pembangunan jembatan itu direncanakan untuk membuka jalur lintas antara Kotadonok—Topos. Sayangnya sampai 2009, jhalur kendaraan yang sudah dibangun ruasnya itu masih terbengkalai, karena diduga design bangunan jalannya terlalu sulit, karena kondisi daerahnya merupakan tebing terjal.