Sabtu, 27 Februari 2016

Muara Pembangunan



PERBEDAAN – perbedaan memang sering terjadi antar masyarakat suatu bangsa (dan negara), antara lain karena faktor disiplin dan jati diri masyarakatnya. Seperti halnya pola pertanian masyarakat di Jepang. Mereka (masyarakat petani di Jepang) mampu menghasilkan hasil pertanian dengan stabilitas berkualitas yang mengagumkan. Apapun sumber yang ada dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan efisien dan bekerja secara efektif.
Stabilitas situasi dan kondisi masyarakat di Jepang sangat bagus, bukan hanya berkesinambungan, akan tetapu selalu meningkat. Khususnya masalah hasil panen pertaniannya. Di sisi lain, pola bertani mereka juga meningkat dari waktu ke waktu, tanpa menggangu ekosistem lingkungan (ekology). Siapapun yang pernah ke Jepang, pulangnya ke Indonesia akan berkata, “Wah, bicara soal kehidupan masyarakat di sana. Kita masih jauh ketinggalan.”
Di semua sektor bangsa Jepang sangat maju. Yang patut dibanggakan, kemajuan yang mereka capai, kemudian dipelihara untuk klesejahteraan bangsanya. Tidak mengganggu adat istiadat mereka, terutama etika pergaulan di tengah masyarakat antarwarga. Apalagi soal kualitas hasil pembangunan yang memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, di Indonesia semakin pintar masyarakatnya, maka semakin rusak lingkungan dan adat istiadatnya. Sangat berbeda, kan? Sebagai contoh masyarakat suatu daerah dengan kemajuan pembangunan yang dicapai. Serta merta etika dan adat istiadatnya pasti ditinggalkan. Kalaupun ada, Cuma formalitas yang belum tentu sekali setahun dilakukan.
Jelasnya, sistem kemasyarakatan di Indonesia selalu terobsesi hal-hal yang pada akhirnya membuat mereka melupakan “jati diri” sendiri. Semakin besar manfaat imlu pengetahuan dan teknolog yang ada semakin jauh masyarakat Indonesia meninggalkan identitas mereka. Sedangkan identitas baru mereka dari pengaruh berbagai media di zaman global ini, belum mereka pahami betul.
Cerita kehidupan masyarakat Indonesia identik dengan cerita dunia pewayangan, tidak pernah ada awal dan tidak pernah ada akhirnya. Semua mengakui juara, semua ingin menjuarai kelompok lain. Sedangkan kelompok lain seperti itu juga. Kalau bulan ini ada masyarakat yang panen semangka dan mendapat keuntungan luar biasa, maka besok luisa dan bulan depannya. Semua menanam semangka. Pada gilirannya, buah semangka yang membanjiri pasar harganya semakin murah.
Seterusnya dan seterusnya. Bagaimana putaran sejarah setelah kejatuhan presiden Soeharto. Kebebasan yang diilhami gerakan reformasi 1998, kebebasan berbicara, berpendapat dan berbuat—membuat banyak orang menerbitkan surat kabar. Walau dengan modal karena proposal atau musim proyek. Kini, satu per satu media yang pernah terbit itu bergelimpangan. Sementara di Jepang, jati diri mereka sebagai masyarakat suatu bangsa yang keadaan alamnya tidak begitu sebaik Indonesia. Tekun, ulet, dan menghormati pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengandalkan adat istiadat dan keaslian alam lingkungan mereka. Tata kehidupan (etika, sopan santun pergaulan saling menghormati) masih tetap mereka pelihara dengan baik. Apapun pangkat, status dan kedudukan sosial mereka. Menghormati orang lain merupakan suatu kebutuhan yang mendasar. Sementara orang Indonesia, semakin status sosialnya baik (sudah punya harta kekayaan), maka, semakin sombong dan angkuh dan tidak peduli dengan lingkungan. Apalagi adat istiadatnya.

Pekerja Asing



KENAPA baru sekarang aparat penegak hukum (polisi) baru mencurigai ada tenaga kerja asing di PT  Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, Kepulauan Riau. Karena adanya kerusuhan yang melanda perusahaan galangan kapal milik WNA keturunan India? Kenapa yang l;ain tidak pernah diucapkan, atau karena tidak terjadi kekacauan. Kalau hanya itu, maka betapa parahnya sistem penertiban dan keamanan di tengah masyarakat Indonesia selama ini.
Sebab, bukan hanya pekerja asing. Di Indonesia diduga banyak sekali “pendatang haram” (prohibited outsider) yang sudah mengantongi kartu tanpa penduduk (KTP) negara Indonesia. Terutama warga dari daratan Tiongkok, Hongkong, dan Taiwan. Namun, sedikit sekali kita mendengar atau membaca adanya operasi yustisia di rumah-rumah WNI keturunan asing—khususnya WNI keturunan Tiongkok (China).
Padahak, masyarakat sering berjumpa dengan warga masyarakat asing yang sudah memiliki KTP di suatu kelurahan atau kecamatan, tidak bisa sama sekali berbahasa Indonesia. Sangat memalukan sekali, Indonesia yang merupakan negara yang didasarkan kepada hukum, ternyata hukumnya seperti karet. Siapa yang berkuasa dan punya uang, maka ia mampu memainkan hukum sedemikian rupa.
Seperti diketahui, banyak perusahaan besar bergerak di beberapa sektor di Indonesia dimiliki (modalnya) oleh orang asing, termasuk susunan personalia pengelola perusahaan. Suatu hal yang tidak mustahil, para manejer asing yang mengelola perusahaan asing di Indonesia memasukkan warga mereka secara ilegal melalui perusahaannya.
Tapi, sejauhmana pihak terkait melakukan pengawasan maksimalnya untuk mendeteksi pendatang haram di Indonesia yang masuk melalui berbagai kegiatan, seperti industri dan perusahaan yang dimodali dan dimiliki oleh orang asing. Pascakerusuhan di galangan kapal milik PT Drydock World, Tanjung Uncang, Batam, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan 36 Tenaga Kerja Asing (TKA). Polisi mengendus adanya TKA yang melabrak aturan keimigrasian.
Sebagaimana dijelaskan oleh Kapolda Riau, Brigjen Pudji Hartanto Iskandar beberapa waktu lalu, mengatakan, terkait 36 TKA di perusahaan itu, sampai kini masih dimintai keterangan di Poltabes Barelang. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian sudah menemui titik terang akar persoalan terjadinya bentrok di lokasi perusahaan. Namun sejauh ini pihak Polda Kepri belum bersedia menjelaskan secara rinci pemicu kerusuhan tersebut.
Secara umum kita memang menyayangkan kerusuhan di perusahaan galangan kapal tersebut, namun di balik itu semua ada kelalaian dan keteledoran pihak aparat penegakan dalam mengawasi perusahaan tersebut, sebelum terjadinya kerusuhan.
Kenapa harus terjadi kerusuhan lebih dulu, baru dideteksi adanya pekerja asing (warga India) di perusahaan tersebut. Selama ini, Dinas Tenaga Kerja Kepulauan Riau, apa saja yang dilakukannya terhadap aktrivitas-aktivitas pekerja di sana? Seharusnya secarta rutin, baik pemda setyempat, polisi, TNI atau melalui lembaga pengawasan lain yang terkait, sudah harus mendeteksi adanya pendatang haram di daerah itu, yang masuk melalui perusahaan-perusahaan asing. Sayang, semuanya sudah terlambat. Ada dugaan selama ini aparat polisi dan disnakersos Kepulauan Riau lebih peka terhadap materi, upeti atau uang masuk ketimbang mempedulikan kedaulatannya.

Pembuktian Terbalik



INDONESIA diyakini tidak akan mampu memberantas kasus-kasus korupsi atau KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau jenis lain yang terkait dan identik dengan tindak pidana korupsi. Kasus korupsi di Indonesia akan diproses secara momentum bukan secara completely and continue (secara tuntas dan berkesinambungan)
Persoaloannya pun mendasar. Sebab, tanpa melalui proses hukum pembuktian terbalik (verification upside down). Kasus korupsi sulit untuk diberantas tuntas atau maksimal dan kerkesinambungan. Modus penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi di Indonesia hampir 100 persen karena pengaduan atau laporan. Padahal, kasus korupsi tidak harus menunggu pengaduan atau laporan (dari siapapun).
Bahkan, karena ingin mencapai target penanganan kasus korupsi yang ditetapkan oleh Jaksa Agung, bahwa setiap Kejari di seluruh Indonesia harus mampu menangani minimal 3 (tiga) kasus korupsi setiap tahunnya. Yang membuat aparat jaksa di Kejaksaan Negeri (Kejari) merekayasa laporan atau pengaduan, bahkan mengutip dan menindaklanjuti berita di koran. Kemudian, ada tidaknya tindak pidana pada dugaan kasus korupsi, banyak aparat penegak hukum hanya melihat Rp 100 juta dikurangi Rp 15 juta ada Rp 65 juta. Korupsi hanya dilihat dari angka-angka pengurangan atau kelebihan dari penggunaan anggaran. Secara umum demikian semakin membuat aparat penegak hukum tidak paham betul, bagaimana mencari unsur korupsi pada kasus penyalah-gunaan kewenangan, keuangan dan pembiayaan proyek dan sebagainya.
Korupsi, juga dilihat dari biaya pembuatan SIM, pembayaran pajak kendaraan bermotor—di mana angka yang tertulis di STNK tidak sama dengan angka rupiah yang dikeluarkan seorang pembayar pajak kendaraan. Bahwa, biaya pembuatan SIM yang tertera dan tertulis di UU atau peraturannya, tidak sama dengan apa yang diberikan si pencari SIM dan sebagainya. Demikian juga soal pajak, berapa banyak perusahaan di daerah atau di mana saja, jumlah pajak yang dibayarkan tidak sesuai dengan jumlah harta benda dan pemasukannya setiap hari atau setiap bulan. Padahal, seorang penulis opini atau artikel di media massa, setiap kali mengambil honorariumnya, sudah langsung dipotong pajak. Kendati, honornya hanya Rp 100 ribu.
Orang kecil—kebanyakan begita takut dan akhirnya taat pajak. Sedangkan pejabat dan pengusaha atau PNS golongan tertentu, sulit dilacak, berapa mereka bayar pajak setiap tahunnya. Apakah pajak penghasilan atau pajak pertambahan nilai atau pajak lainnya. Semua itu, karena kelemahan sistem hukum di Indonesia. Seandaikan sistem hukum di Indonesia menggunakan teori pembuktian terbalik. Maka, rakyat akan melongo melihat daftar orang yang melakukan korupsi melalui ‘rekayasa’ jumlah pajak yang harus mereka bayarkan. Akhirnya, seperti jaksa Poltak Manulang yang pernah melaporkan harta kekayaannya saat bertugas di bagian TU Kejati Bengkulu, 200. Ia hanya memiliki harta sebesar Rp 335 juta. Lalu tanah 2000 m2 dan 100 m2 di Kabupaten Bogor senilai Rp 150 juta. Tanah seluas 283 m2 di Jakarta Barat pada tahun 1999 senilai Rp 140 juta juga tercatat dalam laporannya. Ditambah tanah 1500 m2 di Kabupaten Kolaka, hasil sendiri tahun 1995 senilai Rp 45 juta.
Kenyataannya, tahun 2010 harta kekayaan Poltak Manulang yang menangangi kasus Gayus mendadak menjadi miliar rupiah. Belum kasus Gayus, Edmon dan mantan Kapolda Lampung dan sebagainya. Indonesia takkan bisa ke luar dari praktek korupsi.

Rentang Kendali Pemerintahan



SALAH satu alasan lahirnya UU Otonomi Daerah saat itu adalah untuk memperpendek rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dengan jarak dan waktu tempuh hubungan antara ibukota provinsi atau kabupaten ke pelosok daerah terpencilnya. Memungkinkan proses kendali pemerintah provinsi atau kabupaten lebih muda dan dapat dijalankan secara lancar, tidak banyak rintangan dan hambatan.
Namun, setelah UU Otonomi Daerah berjalan. Kekhawatiran awal otonomi daerah adalah munculnya raja-raja kecil, semakin menakutkan penegakan hukum. Karena kasus korupsi dengan ratusan modus, sulit dituntaskan. Akibatnya uang negara yang seharusnya untuk membiayai pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor. Terpaksa dikurangi dan kualitas pembangunanpun pada akhirnya seperti karya anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK).
Itu semua akibat modus korupsi yang beragam dan sudah mendarah daging di tubuh pemerintahan. Maka, tidak mengherankan ketika makelar kasus (markus) dibongkar, nilai rupiah negara yang dirugikan, luar biasa. Bagaimana markus-markus yang ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Nyngkin secara riil, APBN untuk biaya pembangunan hanya 50 persen saja yang dipakai. Selebihnya, sudah dibagi-bagikan. Terutama setoran ketika tender proyek dilaksanakan. Siapakah yang menerima setoran proyek yang paling besar, tentunya mereka yang berada di leading sektor proyek yang dlincurkan setiap tahunnya. Kemudian secara pasti PAD kepala daerah harus dipikirkan dan merupakan masukan tetap. Kalau demikian, bagaimana dengan konsep awal “rentang kendali pemerintahan” yang mengawali proses lahirnya UU Otonomi Daerah?
Ternyata itu gagal dilakukan, bahkan rentangkendali para penjahat semakin tidak berjarak dan semakin besar menelan korban jiwa, harta benda dan kerusakan lainnya. Itulah sebabnya, kalau kita bandingkan kerugian atau kerusakan akibat teroris dengan penjahat seperti perampok, begal, perompak, pencopet dan maling. Maka, kerugian yang ditimbulkan oleh penjahat yang bukan teroris, akan lebih besar dibandingkan kejahatan yang ditimbulkan para teroris. Seharusnya, soal rentang kendali itu, pemerintah daerah khususnya harus mampu menertibkan wilayahnya dari tekanan-tekanan para penjahat. Baik penjahat berdasi maupun penjahat konvensional atau penjahat dari dunia ilmu hitam.
Yang lebih pokok lagi adalah bagaimana pemerintah provinsi, kabupaten/kota mampu mengawasi pelaksanaan berbagai kegiatan pembangunan yang dibiayai oleh APBN dan APBD. Bukan kangkalingkong dengan rekanan (pemborong), demi lembaran-lembaran uang yang jumlahnya cukup besar yang akhirnya anggaran pembangunan yang sudah ditenderkan dipotong dengan rekayasa berbagai dukumen dan rekayasa harga barang, kemudian mengajak konsultan dan pengawasn joint.
Moralitas itu semakin memburuk dengan semakin banyaknya daerah yang dimekarkan. Anggaran APBN sepertinya dilemparkan ke dasar laut dan sia-sia dianggar. Kasus korupsi yang dibuka oleh aparat penegak hukum hingga saat ini, belum sampai 10 persen dari jumlah kasus korupsi yang ada di Indonesia terbesar di semua provinsi, kabupaten.kota, dan di hampir semua sektor.
Sementara elite politik mengubah imij dengan debat soal politik dan partai, apalagi menjelang muktamar atau kongres. Tidak ada yang memikirkan bagaimana nasib bangsa ini dikemudian hari.

Kebelet Aset Daerah

SUDAH hampir tiga periode pemerintah Kota Metro dan Lampung Timur setelah berpisah dengan kabupaten induknya, Lampung Tengah tahun 1999. namun, hubungan ketiga daerah itu belum sepaham, sejalan dan belum harmonis. Akibat banyak oknum pejabat di tiga kabupaten/kota itu kebelet uang dari aset daerah atau negara yang ada di Kota Metro.
Padahal, dalam MoU selepas pemekaran daerah Lampung Tengah—yang saat itu Gubernur Lampung sijabat Drs Oemarsono, ditulis dan dijanjikan selambat-lambatnya 1 tahun setelah pemisahan (pemekaran) semua aset Lampung Tengah yang ada di Kota Metro, sudah diserahkan seluruhnya kepada pemerintak kota (pemkot) Metro. Aset yang jika diuangkan nilainya mencapai seratusan miliar itu, sampai detik ini banyak yang belum jelas status kepemilikannya, antara apakah Lampung Tengah, Lampung Timur atau Kota Metro.
Walau semua aset berupa tanah dan bangunan perkantoran itu berada di wilayah Kota Metro. Karena nama kabupaten induknya dulu adalah “Lampung Tengah”, yang selama dua periode pemerintahan daerah itu dan Kota Metro. Lampung Tengahlah yang paling ngotot, untuk tidak menyerahkan aset-aset daerah/negara yang ada di Kota Metro.
Yang paling menggelikan, ketika sejak 2000 aset itu dipersoalkan, ternyata yang ngotot tidak mau memberikan (mengembalikan) aset-aset itu, justru orang-orang Metro yang kebetulan menjadi anggota DPRD di Lampung Tengah dan Lampung Timur. Termasuk beberapa pejabat dua daerah itu yang statusnya adalah penduduk ber-KTP Metro. Ada apa sebenarnya persoalan yang mengganjal penyerahan aset tanpa syarat itu sebagaimana UU?
Setelah melewati 10 tahun pemerintahan Kota Metro, Lampung Timur dan Lampung Tengah sendiri. Dan, dibatalkannya MoU tentang tukar guling aset tersebut antara Kota Metro dan Lampung Tengah 2008 dihadapan Gubernur Lampung. Ternyata makin jelas persoalan, kenapa aset-aset itu tidak pernah diserahkan secara totalitas kepada Kota Metro.
“Biang keladinya” ternyata uang. Banyak di antara pejabat di Lampung Tengah dan Kota Metro khususnya kebelet dengan MoU tukar guling, karena akan mendapat uang dengan jumlah cukup besar. Beberapa aset berupa tanah yang harusnya milik negara dan dikelola oleh Pemkot Metro sudah dijualbelikan, di kavling-kavling oknum tertentu dan ditukar gulingkan.
Namun, tindakan pidana yang dilakukan menjual-belikan tanah negara dan diantaranya menukar-gulingkannya. Sampai detiknya tidak ada tanggapan dari aparat penegak hukum di tiga wilayah itu, termasuk dari provinsi sendiri. Dari semuanya persoalan yang telah terjadi dan mungkin akan terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Hanya ada satu kata, “merongrong” harta benda milik negara untuk satu tujuan; kepentingan pribadi dan keluarga.
Kemarin (Selasa, 20/4) diadakan pertemuan segi tiga di ruang Walikota Metro, antara Bupati Lampung Tengah, Lampung Timur dan walikota Metro membahas soal aset=aset negara di Kota Metro itu. Tidak diketahui persis, apa hasilnya. Mungkinkah ketika bupati/walikota itu akan bagi hasil. Hitunmg-hitung sesama kawan dan sesama dari satu induk kabupaten? Atau mungkinkah begitu saja mereka orang Metro yang di Lampung Tengah, Lampung Timur akan menyerahkan aset-aset itu? Berdoa saja, ‘iya’

Plagiarisme Di Kampus



DUNIA perguruan tinggi (PT), khususnya di Pulau Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Yogyakarta tahun 1983-an menjadi hangat akibat kasus plagiat karya ilmiah berupa skripsi dan tesis di kalangan mahasiswa akan menempuh ujian kesarjanaan sesuai dengan tingkatan kesarjanaannya.
Sampai tahun 1985 pihak PT (universitas) dengan tekunnya meneliti setiap usulan judul skripsi maha calon mahasiswa yang akan menempuh ujian sarjana. Dan, ketelitian pihak unversitas itu terus dilanjutkan sampai tahun 1990-an. Namun, kemudian tidak terdengar lagi. Dan, para mahasiswa begitu mudahnya menyelesaikan study jenjang S-1 mereka.
Sementara di daerah-daerah seperti di Lampung, boleh dikatakan secara umum skripsi para mahasiswanya banyak yang hanya dirubah judul saja. Isinya paling bantrer soal lokasi dan jumlah angka-angka yang harus ditulis, sedangkanb secara umum banyak kesamaan antara satu skripsi dengan skripsi yang lainnya. Terutama di kalangan calon mahasiswa bidang pendidikan.
Sejak 1990-an suara plagiator dari kampus sudah hilang, pertengah 1990-2000 terdengar ada seorang dosen dari universitas ternama di Yogyakarta diributkan. Diduga sang dosen melakukan plagiat karya ilmiahnya. Dan, awal 2010 terkuat lagi isu plagiator. Bukan dari kalangan mahasiswa yang akan membuat skripsi, akan tetapi dosen yang sudah bergelar doktor. Itulah kasus terbaru yang terkuat dari jagat pendidikan di Indonesia. Khususnya dari Bandung.
Tidak tanggung-tanggung, diduga empat doktor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), terlibat kasus plagiarimse (plagiator). Dugaan plagiarisme itu, muncul ketika artikel ilmiah yang dipublikasikan di dunia internasional. Heboh plagiarisme doktor-doktor ITB itu muncul dalam situs ieeexplore.ieee.org. sebuah perpustakaan digital milik Institute of Electrical and Electronics Engineers (IEEE), asosiasi dari para ilmuwan teknik elektro dan teknologi informasi.
Pada hal situs tersebut secara terbuka dan terang-terangan memuat pengumuman yang berjudul "Notice of Violation of IEEE Publication Principles.". pengumuman itu bicara soal pelanggaran prinsip-prinsip publikasi dari IEEE. Kemudian dalam pengumuman itu dicantumkan nama-nama doktor dari ITB Bandung yang dikemas dalam judul '3D Topological Relations for 3D Spatial Analysis' yang dibuat oleh 4 doktor ITB.
Nama-nama doktor dari ITB yang menulis itu antara lain, MZ, SHS, YP, dan CM. Yang ke 4-nya mempublikasikan makalah tentang Cybernetics and Intelligent Systems pada 2008, di Chengdu, China. Teliti punya teliti, ternyata makalah itu sebenarnya berjudul  'On 3D Topological Relationships' yang ditulis oleh Siyka Zlatanova, dan sudah dipublikasikan dalam 11th International Workshop on Database and Expert System Applications, terbitan tahun 2000 silam.
Kasus itu tak urung membuat Mendiknas M Nuh menjadi sangat perhatian. Dan, bagaimana dengan skirpsi para mahasiswa di PT, akademi atau universitas di Lampung selama ini. Adakah pihak PT/universitas melakukan check and recheck terhadap karya ilmiah para mahasiswanya yang sudah lulus tersebut? Hal itu menjadi tanggungjawa kita semua. Sebab, di lapangan kabar jual beli skripsi antara mahasiswa dan dosen yang mengajarkan mereka sudah sedemikian santer. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. 

Hakim Terima Uang ?



HAKIM Terima Uang, apakah kita kaget? Ah, tidak! Kalau hakim terima uang berkaitan perkara yang disidangkannya, di Indonesia sudah hal-hal yang sangat biasa. Tidak mengherankan, dan sepertinya hal itu akan terus berlanjut ke masa depan penegakan hukum di Indonesia.
Selama ini ada kecenderungan bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN), kemudian Putusan Pengadilan Tinggi (PT) sampai putusan Mahkamah Agung (MA) acapkali membuat kita terperangah. Seakan-akan tidak percaya, karena perkaranya secara hukum, realitas yang memiliki kekuatan kebenaran. Tiba-tiba kandas begitu saja di pengadilan yang mulia itu.
Seperti kasus markus pajak dari Gayus Tambunan sebesar Rp 28 miliar lebih. Ternyata PNS golongan IIIA itu mampu memenjarakan para petinggi Mabes Polri termasuk perwira menengah, para hakim dan para jaksa yang pernah menangani kasus pajak Gayus.
Sidang di PN Tangerang beberapa waktu sbeleum kasus Gayus menjadi bagian dari kasus multidimensional Bank Century. Majelis hakimnya dipimpin oleh Muktadi Asnun –yang kemudian menjatuhkan vonis bebas terhadap Gayus Tambunan. Ternyata, vonis bebas itu berasal dari uang Gayus Tambunan sebesar Rp 50 juta yang diberikan kepada Muktadi Asnum.
Gegerkah pembeberan Gayus di Mabes Polri itu, tidak. Sekarang banyak kalanbgan mengatakan, putusan terhadap Gayus oleh PN Tangerang, diyakini akan berubah di tingkat kasasi. Tentu, harus berubah, mengingat di tingkat PN keputusan yang dijatuhkan kepada Gayus (vonis bebas) akibat suap Rp 50 juta.
Secara ekstrim dapat dikatakan perbuatan hakim Mukhtadi Asnun itu merupakan bagian dari ikut serta melakukan penggelapan pajak. Andaikan tidak ada uang Rp 50 juta, sudah barang tentu vonis kepada Gayus pasti ada angka tahunnya (waktunya). Namun, karena Rp 50 juta, maka vonisnya bebas.
Dari satu kasus tersebut dapat dibaca, bagaimana peta penegakan hukum di Indonesia sebenarnya. Belum lagi kasus-kasus lain yang oleh PN dimenangkan. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan dan payung hukum pihak yang dikalahkan, sudah jelas benar menurut hukum. Tapi, kenapa banyak kebenaran dikalahkan oleh uang?
Menurut kacamata masyarakat, atas perbuatan menerima suap saat menangani kasus Gayus, Muktadi Asnun harus dihukum lebih berat daripada Gayus. Jika perlu untuk memberikan efect jera terhadap hakim lainnya di negeri kaya akan korupsi ini. Muktadi Asnun harus dipecat dari kepegawaiannya. Harapan itu bukan tidak beralasan. Akan tetapi mempunyai alasan yang sangat kuat sekali.
Hakim bukanlah malaikat, hakim bukan sekelompok manusia super yang kebal hukum. Tetapi, hakim adal;ah sebuah jabatan yang disandang oleh seseorang karena kepercayaan dan keahliannya. Untuk itu, kesalahan seorang hakim atau secara berkelompok yang merugikan negara maupun rakyat. Harus mendapat sanksi hukum yang lebih berat dan lebih terakomodir rasa keadilan di tengah masyarakat.
Jika, tidak. Niscaya akan banyak timbul bentrokan antara pihak-pihak yang berperkara, khususnya yang dikalahkan oleh hakim yang akan melibatkan massa. Kalau sudah demikian. Maka, kerusakan yang ditimbulkan oleh kesalahan yang disengaja oleh hakim dalam mengambil keputusan, akan menjadi kekacauan secara umum.

Pers Menang



TUJUH media massa yang digugat oleh Raymond Tedy di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pada persidangan terakhir (Selasa, 22/6) lalu. Ke 7 media massa terdiri dari   RCTI, Kompas dan Warta Kota dinyatakan tidak bersalah oleh majelis hakim PN Jakarta Barat dan menolak untuk seluruh gugatan penggugat. Bahkan, penggugat (Raymond Tedy) dipaksa untuk membayar ongkos perkara sebesar Rp 1.061.000,-
Tentu saja, kabar kemenangan 7 media massa itu merupakan kemenangan supremasi hukum di Indonesia. Artinya, majelis hakim PN Jakarta Barat lebih jeli melihat. Bukan hanya sekedar menjalankan paket (pesanan) yang berasal dari penguasa yang menerima titipan dari penguasaha. Alhamdulillah, semoga putusan PN Jakarta Barat itu akan menjadi yurisprudensi dalam tatak laksana penegakan hukum di Indonesia, yang berkaitan dengan pers.
Dampak positif ditolaknya gugatan Raymond Tedy tersebut sangat terasa bagi insan pers—sebab selama ini ada kesan, jika seorang pengusaha berani menggugat pers, sudah dapat dipastikan Pengadilan akan mengabulkan gugatannya. Sebagai contoh kasus majalah Tempo atau di Lampung kasus Tabloid Koridor yang digugat oleh Alzier Dianist Thabrani dan masih banyak lagi kasus-kasus delik pers atau kasus pers yang kebanyakan insan pers dikalahkan di pengadilan.
Itu sebabnya, UU Pers memberikan hak kepada objek berita, jika merasa pemberitaan yang dipublikasikan, itu tidak benar untuk melakukan jalur “hak jawab”, jalur somasi. ji ka kedua jalur itu tidak ditemukan titik ‘kesepakatan’ dan ‘kesepahaman’. Maka, boleh jalur hukum ditempuh dan dibenarkan. Sayangnya, selama ini selalu jalur hukum dan jalur anarkis diperiotaskan para penggugat. Padahal, kebenarannya belum diuji secara hukum. Oleh karenanya, pers dengan insan persnya sering juga dilihat sebagai ‘penyebab’, bukan sebagai agen penyebaran informasi pembangunan secara luas. Akibat pemahaman itu, banyak sering pula terjadi penganiayaan atau kriminalisasi terhadap insan pers.
Di sisi lain, insan pers harus benar-benar menjalankan kode etik jurnalisnya. Mana sumber yang harus disembunyikan atau memang diminta untuk tidak disebut dan mana sumber yang harus disebut. Semuanya, harus berpulang kepada pemahaman insan pers itu sendiri.
Kalau sebuah berita dituding sebagai ‘penghakiman’ atau pembunuhan karakter seseorang, maka harus dilihat unsurnya yang lebih dominan yang dicocokkan dengan kenyataan dan aturan hukum dalam pelaksanaan profesi pers itu sendiri. Karena pers bebas mendapatkan informasi tentang apa saja, baik informasi secara resmi maupun tidak.
Tentunya, berita jangan dilihat secara deskriktif saja, melainkan harus ditelaah secara baik. Sebab, jarang seorang wartawan (insan pers) menyebutkan nara sumber fiktif. Hanya terkadang (lebih sering) terjadi, setelah berita dipublikasikan. Nara sumber yang semula memberikan keterangan, menolak keterangannya. Bahkan, dengan berbagai dalih.
Oleh karena itu, aparat penegak hukum harus jeli dalam memproses kasus-kasus delik pers, sehingga tidak merugikan pihak tertentu yang belum tentu tindakannya itu salah dan jangan menguntungkan pihask tertentu lainnya, karena status sosial atau kekuasaan materinya berlipat ganda. Selamat kemenangan untuk Republika, detikcom, Suara Pembaruan, Koran Sindo RCTI, Kompas, dan Warta Kota.

Suara Rakyat



HARI ini di kabupaten/kota; Bandarlampung, Metro, Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Way Kanan, Pesawaran akan melaksanakan pemilihan kepala daerah—pemilihan umum kepela daerah (pemilukada). Dengan pemilukada di beberapa kabupaten/kota tersebut, berarti selama kurun 2010 (6 bulan sejak Januari 2010 sampai Juni 2010 ini), ratusan miliar uang yang beredar di tengah masyarakat.
Uang itu beredar di tengah berbagai fasilitas umum yang rusak parah, seperti ruas jalan provinsi, kabupaten dan jalan kampung. Sepertinya memang tidak seimbang dengan banyaknya uang yang beredar. Andaikan setiap pasangan calon telah menghabiskan dana sekitar Rp 5 miliar. Dapat dihitung, berapa jumlah uang yang beredar selama enam bulkan terakhir ini.
Seandainya, uang yang ratusan miliar itu, digunakan untuk membiayai pembangunan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteraan rakyat Lampung. Masyarakat Lampung akan makin mampu memberikan sumbangan yang besar kepada pendapatan asli daerah ini melalui PAD kabupaten/kota yang ada. Tapi, itu cerita ya cerita—walau nyata, namun dalam pola demokrasi di Indoensia ini, dana yang diperuntukkan kepada pembangunan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan anggaran belanja rutin, anggaran pribadi orang-orang kaya dan para pejabat.
Hari ini, hari peranan rakyat yang paling berdaulat dan paling berkuasa. Sebab, suara rakyat itulah yang menentukan seseorang jadi pemimpin daerah secara legal formal. Walaupun secara riil tidak dapat dijamin, bahwa pasangan calon kepala daerah yang terpilih dengan persentase suara, adalah pemimpin yang disukai masyarakat secara umum. Artinya, lebih dari 80%.
Begitu besarnya suara rakyat pada hari ini, memperjelaskan posisi rakyat yang bukan objek pembangunan, bukan objek hukum, bukan objek korupsi, bukan objek lainnya seperti kenyataan saat ini atau selama ini di Indonesia. Melihat sistem demokrasi ala pemilu, pemilukada dan pilpres di negeri ini. Seperti tidak ada habisnya permsoalan bangsa ini diselesaikan. Kenyataannya memang begitu.
Pergantian kepemimpinan bukan jaminan selesainya permasalahan yang sudah ada. Bahkan, akan menambah persoalan yang baru lagi. Sebab, setiap pemimpin yang dilahirkan melalui pemilu, pemilukada dan pilpres. Harus mengembalikan uang pinjaman pencalonannya selama ia menjadi pemimpin (presiden, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati dan walikota).
Setelah terpilih dan dilantik, kekuasaan rakyat—suara rakyat sudah hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi kewenangan rakyat. Semua sudah diberikan dan selanjutnya adalah urusan seorang pemimpin dan kroninya. Itulah sebabnya, musim proyek (tender), selalu saja bermasalah. Sebab, persyaratan di balik pintu tender yang menyebutkan harus ada uang setoran. Membuat tender selalu berbau “kocok bekem”
Suara rakyat, suara yang selalu menderita, suara yang selalu kalah dengan penguasa, pengusaha dan orang kaya. Suara rakyat hanya ketika dibutuhkan. Hanya dibutuhkan ketika ada maunya. Selebihnya, suara rakyat hanyalah angin lalu. Oleh sebab itu, berbagai kasus anarkis selama ini merupakan akibat dari semua persoalan. Sebab, suara rakyat diabaikan, sebab suara rakyat dijadikan objek penderita belaka.
“Selamat mencoblos, pilihlah pemimpin yang baik dan benar!”

Bangsa Yang Sakit



BENAR adanya, chost-chost (penyiat) televisi swasta di Indonesia bilang “kalau kasusnya Ariel yang sebenarnya tidak seheboh itu perhatian Polri, akhirnya mampu mengalahkan persoalan besar yang dihadapi bangsa ini, seperti masalah kasus Bank Century, kasus Edy Tanzil, kasus lumpur Lapindo dan kasus besar lainnya”
Namun, kekuasaan memang mampu mempolitisir kasus-kasus ringan seperti Susno Duadji, Ariel—Luna Maya dan sebagainya. Sehingga kasus besar tertutupi, seperti kasus dualisme fungsi anggota KPU Pusat, kasus rekening gendut perwira Polri dan masih banyak lainnya. Bahkan, kini dicuatkan kasus Yusril Ihza Mahendra.
Ada apa dengan bangsa ini, sakit yang tak pernah sembuh-sembuh, malah menjadi berat penyakit yang diderita. Munculnya Nasional Demokrat bukan hanya persoalan kecewa dengan Partai Golkar dan Demokrat. Akan tetapi lebih dari ungkapan rasa prihatin, kenapa penyakit yang diderita bangsa Indonesia tidak kunjung sembuh. Persoalannya bukan tidak kunjung sembuh, akan tetapi karena penyakit lama ditutupi dengan pakaian yang rapih, maka tidak terlihat.
Kemudian, penyakit yang baru saja yang diungkapkan, karena belum sempat dibelikan baju baru yang pas, ideal untuk menutupinya. Tidak heran kalau Yusril Ihza Mahendar mengatakan, kapan Jaksa Agung itu diangkat, Keppresnya nomor berapa. Kok bisa main selidik, kok bisa main tuding dan kok bisa main tahan.
Dilemma, memang! Indonesia yang dikenal dengan bangsa yang ramah tamah, etika yang sopan santunnya, rasa hormatnya dan interaksi sosialnya yang sangat tinggi. Ternyata dalam perkembangannya, menjadi bangsa yang memakan saudaranya sendiri. Kenapa demikian, menurut hasil penelitian berbagai lembaga internasional tentang korupsi. Bahwa, Indonesia adalah dua negara terkorup nomor wahid di dunia.
Anehnya, negara yang korup, pejabat yang tersandung kasus Bank century (Sri Mulyani) malah mendapat penghargaan dan penghormatan, kemudian didudukkan di lembaga keuangan dunia (Bank Dunia). Itulah politik negara-negara Barat yang dikoordinir Amerika Serikat (USA). Negara-negara berkembang dijadikan boneka dalam banyak p;ola penerapan penjajahan di muka bumi zaman peradaban teknologi canggih ini.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, kebanyakan negara di Asia, kebanyakan negara di Afrika, diobok-obok, dipecah-belahkan, diadu-dombakan di dalam negerinya. Kemudian, salah satu tokohnya diangkat jadi Sekjen PBB.
Politik itu sudah berjalan lama pasca bubarnya Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dudulunya berkedudukan di Wina. Indonesia adalah negara berkembang yang menjadi korban kesekian puluh negara berkembang. Dan, politik devide et impera itu tidak dipahamai dan disadari oleh para pemimpin di Indonesia. 
Dari beberapa presiden Indonesia, presiden SBY merupakan presiden RI yang paling lemah, tidak mampu menunjukkan dirinya sebagai presiden dari suatu negara yang besar. Seperti halnya yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid sampai ke Megawati Soekarnoputri.
Akan tetapi, SBY sangat berkuasa di dalam negerinya sendiri. Banyak jaringan yang dibuat, khususnya melalui koalisi Parpol pendukungnya. Dan, mata rantai itu semakin menyurutkan harapan kita, akan kesembuhan penyakit yang dialami oleh bangsa Indonesia. Kasus semacam visum (video mesum) Ariel—Luna Maya, bukan kasus nasional. Tapi, kasusnya biasa saja.

Pesta dan Massa



PESTA pemilihan beberapa kepala daerah Kabupaten/Kota di Lampung sudah selesai dalam tahap pelaksanaan. Namun, masih akan diadakan penghitungan final di Komisi Pemilihan Umum (KPU) masing-masing. Tahapan puncak pertama sudah berlalu, tinggal tahapan puncak kedua yang sedang berlangsung saat ini. Berbagai predisksi dilakukan berbagai lembaga survei, termasuk lembaga dadakan pemerintah Linmas/Kesbang yang menjadi lembaga survei pada saat penghitungan suara pemilukada.
Satu per satu pemilih, pendukung, anggota tim sukses mulai merenggangkan barisan. Kembali ke komunitasnya di tengah masyarakat biasa. Di sisi lain, masih banyak para petualang su’uzon dan pemitnah berkeliaran. Mereka tidak segan-segan mengatakan, baik langsung, maupun melalui sms, “mereka tahu, siapa pengkhianat! Tunggu sajalah, dan kamu baik-baik saja!”
Pulang kandang, ke luar klandang sudah menjadi pemandangan biasa di tengah masyarakat. Apalagi dalam suasana pemilihan seperti pemilukada.  Yang untuk sementara merasa unggul dari kajian dan lembaga survei, sudah mulai membusungkan dada, mulai melakukan manuver power (kekuatan) dan mengadakan pengumpulan-pengumpulan warga. Pemandangan di dalam demokrasi Indonesia pola pemilukada, tidak memberikan pendidikan politik yang baik bagia masyarakat umum. Bahkan, hanya menciptakan konflik dan meninggalkan “dendam, iri, benci dan permusuhan”. Hal itu dapat kita saksikan saat ini atau lima tahun sebelum ini. Tapi, kita tidak mampu membenahi pola kehidupan yang rusak demikian.
Pemilukada pola pembelian suara memang sudah tidak dapat dielakkan lagi dan, itu sudah berklangsung cukup lama. Termasuk pemilihan kepala daerah menggunakansistim perwakilan di DPR, DPRD peovinsi dan kabupaten. Demokrasi kita perlu dikembalikan ke basisnya, demikian pula pesta demokrasi pun harus diberi batasan-batasan yang untuk menghindari terjadinya konflik berkepanjangan.
Sebenarnya, demokrasi dalam pemilukada adalah untuk mensortir satu di antara banyaknya calon pemimpin yang memenuhi kriteria umum. Kalau di Indonesia harus ditambah dengan kriteriatrack record yang tidak korup, yang bermoral, bermental, bersosial dan beretika yang baik. Track record itu harus di kedepankan untuk menghasilkan seorang pemimpin yang ‘mumpuni’—seorang pemimpin yang betul-betul menjalankan amanat rakyatnya.
Sebab, bagaimanapun masyarakat (sosial) Indonesia dipenuhi oleh etika. Itu itu hidup terus menerus dalam sanubari dan dalam interaksi sosial mereka. Jika etika itu hilang, maka apapun besarnya jumlah suara yang diraih dalam pemilukada, akan akan merubah situasi dan kondisi sosial masyarakat Indonesia untuk lima tahun ke depannya. 
Mari kita tanamkan dalam diri masing-masing setiap anggota masyarakat, bahwa jangan lagi ada kalimat “biarlah yang sekarang menjadi pelajaran kita masa akan datang!” sebab, kalimat itu sudah banyak sekali diungkapkan dari setiap perseteruan dalam pemilukada. Apapun yang terjadi dalam pemilukada, terutama dalam pelanggaran yang juga kejahatan pemilukada. Harus dituntaskan, kendati harus mengorbankan pasangan calon yang menang.
Tegakkan demokrasi dan supremasi hukum untuk waktu dan tempat yang tidak terbatas, sehingga masyarakat kita benar-benar masyarakat yang mempunyai hati nurani kebenaran dan keadilan. Bukan hati nurani materi.

Golkar Oh Golkar



KALAU menyimak perjalanan partai politik (parpol) Golongan Karya, yang era kejayaannya, emoh dibilang partai politik. Apalagi dibilang organisasi sosial politik berbasis kader. Namun, dalam perjalanannya itu, Ketuam DPP Golkar (era Orde Baru), H Harmoko pernah menanamkan dan menegaskan filosofi kehidupan Golkar adalah ibarat binatang tawon dan kelapa. Semuanya berguna, tidak ada yang boleh dibuang.
Dalam perjalanannya, ketika dihabisi oleh kaum reformis 1997—1998, semua tokoh spektakuler dan maha hebat Golkar yang pernah menguasai Indonesia selama lebih kurang 32 tahun, pun tunggang-langgang, tiarap dan menyelamatkan diri masing-masing. Hanya, Akbar Tandjung-lah yang berani memasang dada, waktu, kehidupan dana nama baiknya. Ia pun menghimpun kembali kader-kader Golkar yang cerai berai, untuk membangkitkan parpol besar itu. Sayangnya, Akbar Tandjung yang diakui sebagai politikus dunia itu, disingkirkan dengan cara tidak terhormat oleh Aburizal Bakrie cs, yang juga akhirnya menyingkirkan Surya Paloh—yang pernah segenggam tangan sedekat hati.
Kini, Ical—panggilan populer Aburizal Bakri—pemilik Bakrie Barthers mempelajari sepak terjang Golkar masa orde baru. Tidak heran, manuver Ical banyak dipertanyakan kader Golkar. Ical type politikus yang tidak segan-segannya menghancurkan kadernya sendiri. Untuk kepentingan pribadinya dan perusahaannya yang tersebar di Indonesia. Langkah dan manuver Ical itu sudah terlihat ketika Munas Golkar di Pekanbaru, Riau dua tahun silam.
Ical yang semula terlihat sangat idealis memegang teguh back to basic Golkar, ternyata hanyalah kamuflase politik Ical untuk mendapat dukungan suara di Munas itu. Sebab, sebelum ke Munas, Ical mendatangi Cikeas, Bogor untuk bertemu SBY—dan sudah barang tentu ada deal-deal khususnya antara keduanya. Walaupun Ical membantah pertemuan itu dengan massa Golkar, akan tetapi pada akhirnya Ical sendiri mengakui.
Untuk mempertajam permainan politik Ical dalam politik Golkar di blantika politik dan kekuasaan Nasional, Ical memompa kadernya di DPR-RI, untuk membongkar habis kasus Bank Century. Memunculkan kasus itu, Golkar berhasil. Tetapi, akhirnya Golkar sendiri yang meredamnya dengan menjadi koordinator koalisi parpol pendukung SBY-Boediono. Hilangt sudah kasus Bank century, yang diganti alih perhatiankan dengan kasus perseteruan antara Ical dan Sri Mulyani.
Kini, Ical bersuara lantang, mengatakan “Kader-kader Golkar dalam berpolitik harus meniru gaya tikus. Tidak langsung menggigit, tapi mengendus terlebih dahulu.apa kata Ical, "Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit". Dan, Icalpun mulai melemparkan gagasan, agar parpol di Tanah Air diciutkan jumlahnya sedikit mungkin dengan alasan, bahwa parpol yang sedikit pemerintah berjalan baik.
Sebagai pimpinan parpol koalisi pendukung presiden SBY, Ical semakin berani menuntut, termasuk dana aspirasi rakyat yang jumlahnya sangat spektakuler. Golkar dan Ical terus memburu dana itu, yang berbagai alasan dikatakan sangat realitas dan itu harus dikucurkan oleh pemerintah, agar daerah-daerah dapat membangun dirinya sebaik mungkin. Ical—Golkar—masa lalu—masa sekarang—dan masa depan. Bangsa ini jangan hanya diatur dan hanya mendengar kata orang-orang Golkar, yang belum tentu merupakan suara riil rakyat

Muktamar Muhammadiyah



MUKTAMAR Muhammadiyah yang sedang berlangsung di Yogyakarta, boleh dibilang cukup strategis. Sebab, dilemma yang dihadapi bangsa ini—sebagian besar penduduknya beragama Islam terus berlanjut. Banyak ketentuan—masalah dan perkara yang jelas, menjadi tidak jelas. Sementara persoalan yang tidak jelas, tidak signifikan bagi umat Islam, terlihat ada upaya pihak-pihak tertentu untuk dimantapkan agar menjadi jelas dan menjadi aturan hukum.
Namun, harapan umat Islam yang menjadi basis pergerakan sosial Muhammadiyah nampaknya terlalu terlalu banyak pada Muktamar mereka itu. Alasannya, persoalan rokok dan judi—yang sebenarnya sudah jelas hukum dan aturannya. Masih menjadi perhatian utama peserta Muktamar dan panitia pelaksana hajat orang-orang Muhammadiyah itu.
Lontaran-lontaran gagasan, justru bukan masalah jlimetnya urusan bangsa ini,. Akan tetapi masih masalah rokok dan fatwanya, masalah judi dan fatwanya. Sebenarnya, forum besar seperti Muktamar itu, tidak lagi membahas masalah sepele tersebut. Jika masyarakatnya sejahtera, tingkat pendidikan bagus, kesejahteraan terus membaik. Maka, ajaran agama Islam akan membaik pula. Tetapi, sebaliknya akan terjadi kemerosotan di mana-mana, apabila hal-hal aspek kehidupan di atas tadi, tidak dipikirkan oleh organisasi besar seperti Muhammadiyah itu.
Kita akan mengevaluasi, organisasi masyarakat yang besar seperti Muhammadiyah itu, apa yang sudah dilakjukannya terhadap rakyat yang beragama Islam atau rakyat negara ini. Apa yang dinikmati umat Islam pada Muhammadiyah tidak lebih tidak kurang, sama halnya dengan apa yang dihadapi masyarakat terhadap negara dan pemerintah ini. Muhammadiyah punya sekolah banyak dengan tingkatan pendidikannya, punya rumah sakit, punya menteri dan fasilitas lainnya.
Tetapi, apakah bagi warga Muhammadiyah menggunakan jasa dan fasilitas yang dimiliki Muhammadiyah itu, akan diberi diskon (ala harga pasar) atau pengurangan biaya, seperti berobat di Rumah Sakit Muhammadiyah, belajar di sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sebagainya? Nampaknya warga Muhammadiyah itu hanya dibutuhkan ketika musim pemilu, musim pemelihan presiden atau musim pemilihan kepala daerah. Selain waktu di atas. Warga yang dianggap warga Muhammadiyah itu, tidak memiliki apa-apa dari kebesaran nama organisasi Muhammadiyah.
Yang kaya pengurus, yang kaya para guru dan dosen Muhammadiyah, yang kaya hanya pegawai di rumah sakit Muhammadiyah. Rakyat tetaplah rakyat Indonesia yang miskin. Kalau mau pakai fasilitas Muhammadiyah ya harus bayar, ikuti prosedure. Hal itu yang diberlakukan, sama dengan fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah.
Oleh karena itu, kegiatan Muktamar yang menghadirkan semua wakil orang Muhammadiyah dari seluruh pelosok di Indonesia, seyogyanya tidak lagi bicara soal rokok, soal judi, soal perangkat Muhammadiyah di daerah, soal jabatan dan soal lazim lainnya. Tetapi, yang harus dipikirkan bagaimana menyelamatkan bangsa ini dari pengaruh-pengaruh global yang sangat merusak mental, moral, etika, susila, dan akhlak manusia di Indonesia yang kebanyakan penduduknya orang Islam.

KPU: Makhluk Apa?


SUARA enteng seperti tidak ada beban, komisioner KPU Bandarlampung menjelaskan, “mereka bekerja menghitung dan merekafitulasi hasil pemilukada sesuai dengan tahapan yang ada!” beberapa unsur terkandung dalam kalimat itu, pertama = tahapan proses pemilukada bukan Firman Allah SWT (Tuhan YME). Kedua = apakah selama proses sebelum ini, tahapan itu ditepati, tanpa ada pergeseran waktu barang sehari? Ketiga = apakah protes, gelembung massa dan tuntutan massa dengan bukti-bukti pelanggaran bukan menjadi tahapan pelaksanaan pemilukada dan kelima = apakah pelanggaran-pelanggaran dan buktinya begitu saja disrahkan ke Panwas, padahal itu adalah bagian dari “sah tidaknya perolehan suara!”
Seperti dilansir semua media di Lampung, bahwa pemilukada telah dimenangkan 2 (dua) incumbent’ yaitu untuk Kota Metro dan Lampung Timur. Kemudian, pemilukada di kabupaten/kota lainnya menghailkan calon bupati/walikota terpilih di luar incumbent. Membenahi pernyataan, asumsi, dugaan, su’uzonisme, fitnah dan anarkisme. Maka, KPU tidak boleh melepaskan ikatan antara pelanggaran yang sudah dilaporkan dengan proses rekafitulasi penghitungan suara hasil pemeilukada.
Kenapa demikian? Kita tidak ingin pemilukada itu tercerai-berai, kasus-kasus yang ada, semuanya saling berkaitan. Untuk mendapatkan hasil pemiulukada yang pasti dan final. Maka, sebelumnya, semua kasus yang timbul harus diselesaikan. Tidak ada lagi kata, “kejadian ini menjadi pengalaman untuk waktu mendatang!” menyelami manusia yang sekarang ‘serba’ materi. Maka, KPU seharusnya melihat rangkaian pemilukada harus secara utuh. Tidak ada pemisahan, pelanggaran yang signifikan dengan rekafitulasi yang harus jalan terus.
Keduanya berkaitan, saling melengkapi dan mengurangi proses akhir rangkaian pemilukada. Tidak ada yang menginginkan pemilukada berakhir dengan anarkis. Sebab, jika anarkis, maka rakyatlah yang menjadi korban. Padahal, rakyat hanya dibutuhkan suaranya dalam pemilukada saja. Setelah itu suara rakyat tidak akan ada artinya. Dus karena itu, suara-suara menjelang penetapan hasil pemilukada di KPU, harus didengar dan dipertimbangkan sebagai masukan dan harus diterima, sebelum penetapan rekafitulasi.
Kejadian yang menimpa pemilukada di Lampung Timur, Bandarlampung. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Kota Metro, Pesawaran, Way Kanan, Lampung Tengah dan Lampung Selatan. Itu semua, tergantung kepada KPU masing-masing daerah. Kalau komisioner KPU adalah titipan yang menjalankan tugas yang ada gandolannya. Maka, KPU akan menuai badai.
KPU sepertinya makhluk lain yang bukan manusia—kalau kepentingan KPU sendiri, seperti hubungan antara konsumen listrik dengan PT (pesero) PLN atau PT Telkom. Konsumen telat bayar setengah jam saja, hitungan denda tidak ada tawar-menawar. Tetapi, ketika listrik sering mati mendadak, kemudian salah baca meteran dan konsumen harus menanggung beban. PLN tidak peduli. Untuk menbdapatkan ganti rugi, seperti ingin menggali potensi emas di bawah dasar tanah sedalam 1.000  meter. Artinya, sulit betul! KPU tidak lain adalah institusi pelayanan kepada masyarakat, seharusnya aspirasi masyarakat yang juga meyertai bukti ditindak lanjutyi. Jangan asal rekaf hasil pemilukada yang justru akan mempertajam konflik di tengah masyarakat. Pemilukada ulang, penghitungan kertas suara ulang, hukumnya wajib dan bukan haram.

Jalan Bertabur Lumpur



TERNYATA  seleksi alam lebih nyata, langsung dan tidak ada rekayasa. Hal itu dapat dibayangkan, bagaimana rekayasa serah terima pembangunan—pemeliharaan jalan. Antara PU, konsultan, pemborong dalam berita acaranya ditandai dengan tulisan 100% selesai—tepat waktu dan sebagainya. Dengan dasar itulah, maka uang rakyat melalui APBN dan APBD dikeruk bak mobil mesin pengeruk lumpur.
Memang kelebihan manusia adalah akal, kebanyakan akal bagi seseorang digunakan untuk akal-akalan, meminteri orang lain dan pokoknya yang berbau perbuatan jahat dan buruk. Apa yang dinilai manusia secara fisik, format dan teks tertulis semuanya berbau politis—setidak-tidaknya dijalankan berdasarkan unsur politis. Oleh karena itu, rekayasa ending sebuah pembangunan—pemeliharaan—rehabilitasi jalan, akhirnya akan berbenturan dengan seleksi alam. Seleksi yang yang benar-benar kualifid dan tidak ada tawaran atau kompromi apapun. Seleksi alam itu yang dapat dilihat dan dirasakan sekarang, manakala kita melakukan perjalanan ke berbagai daerah di Lampung. Banyak ruas jalan yang sudah tidak ada bentuk sebagai ruas jalan lagi, membuat serangkaian akibat yang langsung menukik dalam kehidupan rakyat banyak. Akibat langsung itu terkait dengan munculnya ekonomi biaya tinggi, biaya pemeliharaan kerusakan alat transportasi semakin tinggi dan waktu tempuh jarak dekat semakin lama. Yang menjadi persoalan sejak lama adalah, “ke mana anggaran pemeliharaan jalan yang tiap tahun dikeluarkan dan disahkan dari APBN dan APBD?” 
Jika pemerintah, dari pusat hingga daerah itu “tidak sakit’, niscaya sarana dan prasarana perhubungan jalan di Indonesia akan lebih baik dan terkendali—terkontrol kelaikannya secara teratur. Namun, karena pemerintah yang ada memang dalam keadaan sakit. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan. Sebab, anggaran yang sudah dianggarkan dalam APBN dan APBN, perjalanannya sampai ke masyarakat, sudah ‘kelong’—berkurang hingga 50%. Demikian pula anggaran-anggaran untuk proyek berskala kecil semisal proyek penunjukan langsung (PL) yang nilainya di bawah Rp 100.000 juta. Pada umumnya hanya digunakan sekitar 50—60% dari plafon anggaran yang sudah ditetapkan. Pemenggalan—bahasa aktraktif untuk  penyelewengan penggunaan anggaran sudah jelas langsung merobohkan kriteria kualitas bangunan yang dikerjakan.
Korupsi berjemaah—tradisi korupsi yang sudah menjadi ‘darah daging’ para PNS, pemborong dan pejabat di negeri ini. Adalah sesuatu sebab utama merosotnya nilai-nilai kebangsaan pada diri manusia Indonesia. Jika kebanggaan akan prilaku dan asesories bangsa asing. Mulai dari bendera sampai cara bicara, merupakan bukti nyata kalau orang Indonesia tidak membangun dirinya sebagai “orang Indonesia” yang mandiri. Pola publisitas yang gebyar menjadi bukti lain gaya kehidupan manusia Indonesia yang nilai jati dirinya sudah jauh merosot. Pada akhirnya, penyelesaian berbagai masalah besar dan urgen di tengah kehidupan bangsa ini, hanya dilakukan melalui pernyataan-pernyataan di media massa. Realitasnya tidak demikian. Semua serba pernyataan yang akhirnya tidak satupun persoalan menyangkut kepentingan bangsa dan negara dapat diselesaikan. Inilah salah satu sumber krisis multidimensional yang dihadapi rakyat Indonesia sekarang. Seperti kerusakan ruas jalan yang dilalui setiap saat para pejabat, toh perbaikannya menunggu rezki jatuh dari langit. Atau ada dermawan yang mau menghibahkan hartanya untuk menutupi jalan yang rusak. Tetapi, siapakah manusia Indonesia yang mau membaguskan jalan secara pribadi untuk jalan umum? 

Listrik Part Two



DAHLAN Iskan dengan gagasan “listrik gratis” bagi pengguna daya 450 MW yang disebut sebagai “orang miskin” belum dijalankan PT (Pesero) PLN. Tahu-tahu tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2010 dinaikkan untuk konsumen yang meggunakan daya di atas 900 MW. Yang lebih enak didengar, karena PT PLN mengatakan, dengan kenaikan TDL itu, listrik tidak akan pernah mati atau pemadaman bergilir lagi. Pernyataan pejabat PLN maupun Dirut PT PLN, Dahlan Iskan itu, walau terdengar baik dan memberikan angin surga. Tetapi, rakyat tidak meresponnya.
Respon rakyat—konsumen itu ternyata benar. PLN memang menggombal, merayu konsumen dengan janji listrik gratis dan alasan kenaikan TDL sebagai dasar listrik di Indonesia tidak padam-padam lagi. Apa iya? Ternyata, tidak ada ujung pangkalnya janji manis PT PLN itu.
Sejak tanggal 1 Juli 2010, listrik di Lampung klhususnya tetap dilakukan pemadaman bergilir. Artinya, listrik PLN tetap dipadamkan, sesuai keinginan pejabat PLN itu sendiri. Mana listrik gratis, mana “listrik tak akan dipadamkan jika TDL naik? Bukti, buktinya memang sudah dicari dan ditunggu, tetapi tetap tidak ada realisasinya. Selayaknya lembaga penegakan hukum, seperti KPK, BPK, Kepolisian, Kejaksaan harus melakukan pemeriksaan terhadap PLN. Permainan apa yang ada di PLN itu.
Sebab, PKS yang menyetujui listrik gratis sebagaimana dikatakan ketuanya, Zulkieflimansyah, menilai usulan Dirut PLN itu sangat tepat dan layak diikuti oleh BUMN lainnya, termasuk pertamina. Apa kata ketua DPP PKS itu” Sudah saatnya pemerintah tidak membebani rakyat kecil, dan di sisi lain tidak mensubsidi golongan yang lebih mampu," katanya beberapa hari lalu. Jangan-jangan persetujuan dalam pernyataan PKS itu, ada apa-apanya dengan PT PLN.
Kalkulasi Dirut PT PLN menjelaskan, bahwa Dengan memberikan seluruh subsidi kepada golongan masyarakat miskin (pengguna 450 MW) dan pembayaran normal atau sebesar biaya produksi listrik (Rp 1.000 per kwh) oleh golongan lain. Maka PT PLN akan kehilangan dana sebesar Rp 1,5 triliun tetapi dapat penerimaan sekitar Rp 30 triliun. Bahkan, Dahlan Iskan menantang DPR, dengan suara lantang bertanaya (retorik); kenapa yang miskin nggak dikasih gratis. Biarin saya dibilang gila, tapi kalau mau mementingkan yang miskin ya dikasih gratis saja. Sekarang dan mungkin sampai dunia ini hancur, listrik merupakan kebutuhan sangat strategis dan vital oleh sebagian besar penduduk dunia. Namun, tidak semua keluarga mampu menikmati listrik dengan baik dan sederhana.
Nyata sekali, political will PLN. Untuk menaikkan TDL, kenapa harus banyak bacotg sih? Cobalah terbuka dan jujur saja kepada konsumen. Tentu, masyarakat butuh apresiasi tentang kenaikan TDL itu. Catatan bahwa rakyat—konsumen, tidak lagi butuh pernyataan-pernyataan ansor (angin surga). Konkritisasi pernyataan akan lebih ditunggu konsumen ketimbang “angin surga” yang pada hakekatnya hanya ingin menaikkan TDL listrik.
Sekarang pasca kenaikan TDL, pernyataan listrik gratis dan tidak ada lagi pemadaman bergilir. Ternyata pemadaman tetap dilakukan pihak PLN—di Lampung dilakukan pemadaman terus menerus setiap malamnya untuk daerah-daerah yang dijadwalkan sudah harus dipadamkan. PLN, seperti tidak dijalankan oleh manusia sehingga mengabaikan penderitaan rakyat banyak yang ekonominya sangat sulit. 

Ketegangan Demokrasi



Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan budaya

KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’ dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan demokrasi memang harus ada voting right, liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya, kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment, “asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan. Artinya, semakin ia menghendaki kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang gila!”
Filosofinya—saling membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan sebagainya.
Di alam maju dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing. Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi. Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan (katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup oligarki.
Barangkali ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya) demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang digandrungi manusia.
Memang kita harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa, perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam. Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal, sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan ini.
Tetapi, bangsa ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung), presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu, memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong, jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun. Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu. Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur, bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa batas waktu.
Itulah multi tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)