Sabtu, 13 September 2008

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada

Budaya Uang Dalam Pemilu—Pilkada
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi sosial politik, seni budaya dan praktisi pers

RIBUT pertama dalam tubuh partai politik ketika menghadapi pemeilihan umum (pemilu) atau pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah soal uang. Semua persoalan dalam menentukan kebijakan dan keputusan, senantiasa didapatkan setelah pertsoalan uang itu jelas. Padahal, kejelasan soal uang itu tetap sembunyi disembunyikan dominasinya.
Demikian pula, ketika bakal calon anggota legislatif, kepala daerah (sesuai tingkatannya sampai tingkat kaupaten/kota) dan calon presiden. Dominasi uang dalam prosesinya, sangat vital dan berperan besar untuk langkah seterusnya. Bahkan ada kesan yang menyebutkan, partai politik (parpol) telah merusak azas kekeluargaan dan demokrasi di Indonesia. Alasannya, karena orang-orang parpol menganggap uang adalah segala-galanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terlebih lagi dalam merebut kekuasaan di pemerintahan.
Kesimpulan kemudian mendapatkan, uang itu pulalah yang menyebabkan terjadinya konflik, perpecahan dalam tubuh parpol, hengkangnya beberapa pengurus dan kemudian (mungkin) membentuk parpol baru. Alasannya masih klasik, karena soal pembagian yang tidak merata—mereka yang ke luar mengatakan, untuk mentransparansikan manajemen keuangan. Tetapi, kebanyakan pada akhirnya, manajemen pengelolaan keuangan tetap menjadi “biang kerok” persoalan dalam tubuh parpol.
Sebagai gambaran, kita dapat melihat bagaimana perseteruan dalam tubuh PKB antara Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan keponakannya, Muhaimin. Yang semula hanya konflik soal figur ketua, soal keabsahan di Departemen Hukum dan HAM. Tapi, apa yang terjadi setelah konflik berkepanjangan itu masuh ke proses peradilan? Gus Dur dengan tegas mengatakan, Muhaimin harus mengembalikan uang kepadanya sebesar Rp 12 miliar rupiah. Lagi-lagi dan pada akhir konflik uanglah yang disebut-sebut.
Realitas sosial parpol di Indonesia itu, bukan isu atau pengalihan perhatian persoalan bangsa dan negara—sebagaimana diterapkan oleh pemerintah selama ini dan sampai sekarang. Tapi, betul-betul realitas kehidupan sosial dan parpol di Indonesia. Pemerintah seharusnya mampu membuat suatu rumusan yang kemudian dimasukkan ke dalam undang-undang yang berkaitan dengan parpol. Isinya, legalitas parpol baru bisa diakui setelah memiliki modal keuangan yang cukup.
Di sana, nantinya ada makna bahwa, pemerintah tidak lagi memberikan subsidi kepada parpol, baik bantuan langsung karena perolehan suara maupun bantuan-bantuan dalam bentuk lainnya yang selama ini dianggapkan oleh APBN atau APBD provinsi, kabupaten/kota di Indonesia.
Jika pemerintah sudah sepakat, betapa besarnya uang negara yang diperoleh dari rakyat yang dapat diselamatkan. Dan, sisi lainnya adalah parpol betul-betul mandiri mengatur rumah tangganya. Jika hal itu sudah dilakukan. Maka, demokrasi Indonesia akan benar-benar ada dan dapat diwujudkan. Kalau sampai sekarang belum ada bentuk demokrasi Indonesia yang digembar-gemborkan itu.

Itu artinya kita harus melihat sinkronisasi berdemokrasi tersebut. Berdemokrasi tidak harus menelan ongkos yang mahal (biaya tinggi). Demokrasi yang bergelimang uang adalah demokrasi yang tidak sehat. Demokrasi yang baik adalah ketika yang memiliki modal besar dengan yang pas-pasan dapat bersaing secara sehat. Di situ, aturan dalam kompetisi politik adalah masalahnya.
Ketika kemenangan dalam rivalitas politik ditentukan hanya oleh uang, maka aturan main dalam sistem demokrasi dapat dibeli. Praktik beli suara, beli kursi, dan beli pengaruh dalam politik menjadikan uang bukan lagi sebagai penyokong. Melainkan sudah menjadi persoalan besar. Pertautan kepentingan antara aktor politik dan pelaku ekonomi dimulai dengan praktik jual-beli posisi. Aktor politik yang butuh kemenangan akan dipasok oleh pelaku ekonomi dengan jumlah dana yang biasanya tidak sedikit sebagai modal untuk berkompetisi.
Posisi politik yang telah direbut melalui pembelian suara (money politics), akhirnya akan dipakai untuk mengembalikan modal, sekaligus mengkapitalisasinya melalui instrumen kebijakan negara. Dan, terakhir, negara bukan lagi sebagai representasi dari kepentingan publik yang luas, tetapi mengerucut hanya sebatas sarana memperluas kekuasaan, baik politik maupun ekonomi.
Tujuan akhir dari kekuasaan politik yang telah direbut dapat dipertahankan dan pada saat bersamaan kekuasaan ekonomi berekspansi. Masalahnya, kepentingan politik-bisnis yang mengendarai demokrasi prosedural semakin kuat cengkeramannya dalam situasi di mana masyarakat pemilihnya tidak memiliki daya tawar yang kuat. Hanya dengan bergerak melalui penyebaran uang ke berbagai kelompok masyarakat yang rentan kekuatan politik-bisnis dapat menguasai negara dan mengendalikan kebijakannya.
Parpol beserta calon pemimpin dalam pemilu dan pilkada yang menghambur-hamburkan uang untuk mendapatkan suara dan dengan suara yang banyak dapat dibeli, iapun terpilih menjadi pemimpin (anggota legislatif, presiden, gubernur, bupati/walikota) akan berusaha mengembalikan uang yang dikeluarkan yang jumlahnya miliaran rupiah bahkan, ratusan miliar, untuk dikumpulkan lain melalui kekuasaan yang sudah ia genggam.
Di situlah munculnya hukum kekusaan. Dengan memberikan uang banyak dengan pembagian yang sangat kecil kepada anggota masyarakat yang punya hak suara, ia akan memperoleh uang yang sangat besar jumlahnya tanpa didistribusikan lagi ke pihak lain. Cara berpolitik demikian sangatlah tidak kreatif, miskin inovasi, tidak komunikatif dalam menyampaikan ide dan janji.
Ia dapat terus bertahan jika demand side (sisi permintaan) dari masyarakat tidak berubah. Parpol dan politisinya tidak akan banyak melakukan kerja politik, kecuali sakadar menggelontorkan uang dalam janji-janji politik yang sangat bias dan tidak berwujud kepada kepentingan kesejahteraan rakyat atau bangsa.
Pemilih dalam pemilu dan pilkada harus belajar dari masa lalunya. Masa uji bagi penguasa baru yang dipilih melalui pemilu (lima tahun). Jika selama itu pemimpin yang diberi amanat tidak bijak dalam menjalankan tanggungjawabnya maka candu money politics dapat digunakan untuk melupakannya, meski hanya sesaat. Mewaspadai datangnya candu ini sama pentingnya dengan mengingat kembali janji kampanye para politisi.
Sebagai ingatan kita untuk mengembalikan azas kehidupan masyarakat Indonesia yang kekeluargaan dan musyawarah dan mufakat, perlu sekali membaca analisis supply and demand interaction pada ekonomi sebagai sarana menemukan titik ekuilibrium baru yang dapat digunakan dalam dunia politik.
Sebenarnya, pada saat ada pembiaran, masyarakat sudah tahu bahwa yang memberikan uang itu bukanlah tipe pemimpin yang baik atau dalam dunia umat kristen disebut sinterklas yang baik hati dengan pemberian-pemberiannya tanpa pamrih. Namun, di dalam prosesi pemilu dan pilkada, pemberian itu harus disertai manajemen pengembalian uang yang sudah dikeluarkan selama prosesi pemilu dan pilkada. Demokrasi gaya Indonesia itulah yang sangat merusak demokrasi yang sesungguhnya.
Sebab, untuk meningkatkan kualitas politik, harus dikesampingkan bahwa berpolitik itu adalah proyek demokrasi. Namun, berpolitik itu harus dicermati sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan kesadaran nasional yang tinggi. Oleh karenanya, politik uang bukan jalan baik menuju kesadaran nasional untuk membangun bangsa dan negara itu selanjutnya.
Harus diakui, uang adalah pelancar rodanya organisasi, khususnya parpol. Akan tetapi, demand side dalam politik yang bergerak menggunakan kekuatan uang sebagai mesin politik terpenting. Filosofisnya, bahwa mereka yang berpengalaman dalam kekuasaan belum tentu yang paling baik. Oleh karena itulah dalam beberapa pilkada di beberapa daerah di Indonesia, banyak politisi yang incumbent mengalami kekalahan seperti di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali dan beberapa daerah lainnya.
Dan potret buram tersebut sekarang menghinggapi internal parpol Golkar, membuat internnya bergejolak. Untung saja, ketua umumnya adalah Wakil Presiden. Kalau tidak, Golkar sudah tercabik-cabik oleh politisinya sendiri. Sisi lain menanggapi kekalahan-kekalahan beruntun kader Golkar di beberapa pilkada membuat Yusuf Kalla minta kadernya untuk refleksi atas kegagalan Golkar dalam memenangi banyak pemilu lokal.
Orang Golkar atau masyarakat yang selama ini melihat Golkar adalah tempat orang-orang hebat dengan politiknya. Sebenarnya penglihatan itu untuk ukuran sekarang sudah salah. Sebab, demokrasi yang dipertahankan Golkar adalah sisa-sisa peninggalan masa jayanya di zaman orde baru. Di mana Golkar mampu mencengkramkan kekuasaannya melalui TNI dan pemerintah.
Kini, era itu sudah berakhir. Kecerdasan masyarakat—walau menerima politik uang dalam kampanye pemilu (nasional dan lokal), toh dalam pilihan—pemberian suaranya diarahkan kepada figur pemimpin. Bukan memilih parpol. Parpol dan politisi harus membenahi kulturnya, sekaligus untuk tidak lagi mengedepankan hanya uanglah yang paling penting dan berkuasa. Untuk itu perlu kerja politik yang terus-menerus.. Semangat untuk memobilisasi pemilih dengan pendekatan realitas program merupakan cermin ideologi parpol serta harus tertanam dalam sanubari pendukungnya. Sumbangan sukarela pendukung parpol dan kandidat akan memperkuat infrastruktur parpol tersebut.
Jika, parpol akan melakukan hal sebaliknya. Maka, uang yang telah lama menjadi model konvensional pemenangan pemilu—yang sebenarnya sudah lama pula merusak ideologi parpol. Alasannya, pembelian suara mendorong motivasi berpolitik sekadar untuk mendapatkan keuntungan dan malas untuk menjalankan kerja politik. Pendukung parpol pada akhirnya akan mengalami demoralisasi. Kemudian, korupsi menjadi praktik yang biasa terjadi dalam membelanjakan dana politik.
Sekali lagi diingatkan, situasi dan kondisi itu merupakan alarm bagi parpol yang terancam atas runtuhnya kekuasaan dan kekuatan parpol, sebab diantaranya karena pemilih telah mulai berpaling darinya. Perilaku pemilih yang mulai bergeser harus menjadi pelajaran berharga untuk pengurus parpol, agar dapat meningkatkan kualitas organisasinya dalam posisi penawaran kepada rakyat.