Rabu, 26 November 2008

Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang

Marga Bukan Administrasi Pemerintah Masyarakat Rejang
Oleh Naim Emel Prahana

Mengenai istilah marga dalam masyarakat Rejang, sebenarnya bukan asli dari suku Rejang melainkan dibawa dan diterapkan oleh Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang, J Waland. J Waland membawa konsep ke-marga-an itu dari Palembang ke Bengkulu tahun 1861. (mungkin untuk lebih pasnya silakan baca Adatrectbundel XXVII hal 484-6.)
Di dalam IGOB (Inlandsch Gemeente OrdonantieBuitengewesten) tahun 1928 Belanda secara resmi menerap system pemerintahan yang diberi nama Marga. Sedangkan pengaturan system pemerintah di Lampung baru diatur pada tahun 1929. seperti termuat dalam Staatblad 1929 N0 362. Waktu itu Lampung dijadikan satu Afdeling yang dipimpin seorang Residen.
Satu wilayah Afdeling terbagi dalam 5 (lima) onder afdeling masing-masing dikepalai oleh seorang kontolir yang dijabat oleh orang Belanda. Sedangkan system marga di Bengkulu—khususnya pada masyarakat Rejang diterapkan pada tahun 1861 yang dibawa oleh J Waland dari Palembang. Dengan demikian, penerapan pemerintah marga di Bengkulu lebih tua dari di Lampung.
Suku Rejang dikenal mudah penerima pendatang dalam pergaulan sehariu-hari. Namun, di balik penerimaan tersebut. Suku Rejang (Orang Rejang) sering melupakan identitas mereka, karena mudah percaya dengan pendatang. Sebagai satu dari 18 lingkaran suku bangsa terbesar di Indonesia, suku bangsa Rejang 100% menganut agama Islam. Mata pencaharian utama adalah dari sektor pertanian.
Marga atau Mego yang merupakan pola atau sistem administrasi pemerintahan di zaman Hindia Belanda. Bukan asli dari sukubangsa Rejang. Melainkan diimport dari Palembang oleh J Waland, tujuannya untuk kepentingan penjajahan pihak Belanda. Walau kemudian sistem marga itu sangat dikenal oleh masyarakat Rejang, tapi pada akhirnya sistem itu dihapus.

Definisi Marga
Marga adalah komunitas masyarakat yang mendiami beberapa dusun (sekarang, desa) yang merupakan pola atau system administrasi pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Pasirah (pesirah, pen). Kalau di Lampung, Marga terdiri beberapa Mego dan sebaliknya demikian. Namun, di Lampung setelah system pemerintahan Marga dihapus dan diganti Negeri. Dan, di Bengkulu langsung masuk ke system tata pemerintahan Indonesia.
Marga juga bias diartikan sebagai nama nama keluarga dari turun temurun yang mengingatkan generasi berikutnya akan nenek moyang mereka. Itu, biasa digunakan di daerah Batak, orang China, Padang dan daerah lainnya. Artinya, marga itu dikaitkan dengan bagian nama sebagai pertanda dari keluarga mana seseorang itu berasal. Marga lazim ada di banyak kebudayaan di dunia.
Nama marga pada kebudayaan Barat dan kebudayaan-kebudayaan yang terpengaruh budaya Barat (yang lebih menonjolkan individu) umumnya terletak di belakang, oleh karena itu disebut pula nama belakang. Kebalikannya, budaya Tionghoa dan Asia Timur lainnya menaruh nama marga di depan karena yang ditonjolkan adalah keluarga, individu dinomorduakan setelah keluarga.
Ada pula kebudayaan-kebudayaan yang dulunya tidak menggunakan marga, misalnya suku Jawa di Indonesia, meski saat ini banyak yang sudah mengadopsi nama keluarga. Dalam sistematika biologis, marga digunakan bergantian untuk takson 'genus'. Dalam hal itu dapat kita lihat di Lampung yang mengenal marga-marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Tapi, tahun 1928, pemerintah Belanda menetapkan perubahan marga-marga geneologi-teritorial menjadi marga-marga teritorial-genealogis, dengan penentuan batas-batas daerah masing-masing.
Setiap marga dipimpin oleh seorang kepala marga atas dasar pemilihan oleh dan dari punyimbang-punyimbang yang bersangkutan. Demikian pula, kepala-kepala kampung ditetapkan berdasarkan hasil pemilihan oleh dan dari para punyimbang.

Di seluruh keresidenan Lampung, terdapat marga-marga teritorial sebagai berikut:
No. Nama Marga Kecamatan sekarang Beradat Berbahasa(Dialek)
1. Melinting Labuhan Maringgai Peminggir Melinting A (api)
2. Jabung Jabung idem idem
3. Sekampung idem idem idem
4. Ratu Dataran Ratu Peminggir Darah Putih idem
5. Dataran idem idem idem
6. Pesisir Kalianda idem idem
7. Rajabasa idem idem idem
8. Ketibung Way Ketibung idem idem
9. Telukbetung Telukbetung Peminggir Teluk idem
10. Sabu Mananga Padangcermin idem idem
11. Ratai idem idem idem
12. Punduh idem idem idem
13. Pedada idem idem idem
14. Badak Cukuhbalak Peminggir Pemanggilan (Semaka) idem
15. Putih Doh idem idem idem
16. Limau Doh idem idem idem
17. Kelumbayan idem idem idem
18. Pertiwi idem idem idem
19. Limau Talangpadang idem idem
20. Gunungalip idem idem idem
21. Putih Kedondong idem idem
22. Beluguh Kotaagung idem idem
23. Benawang idem idem idem
24. Pematang Sawah idem idem idem
25. Ngarip Semuong Wonosobo idem idem
26. Buay Nunyai (Abung) Kotabumi Pepadun O (nyou)
27. Buay Unyi Gunungsugih idem idem
28. Buay Subing Terbanggi idem idem
29. Buay Nuban Sukadana idem idem
30. Buay Beliyuk Terbanggi idem idem
31. BuayNyerupa Gunungsugih idem idem
32. Selagai Abung Barat idem idem
33. Anak Tuha Padangratu idem idem
34. Sukadana Sukadana idem idem
35. Subing Labuan Labuan Maringgai idem idem
36. Unyi Way Seputih Seputihbanyak idem idem
37. Gedongwani Sukadana idem idem
38. Buay Bolan Udik Karta (Tulangbawang Udik) Pepadun (Megou-pak) idem
39. Buay Bolan Menggala idem idem
40. Buay Tegamoan Tulangbawang Tengah idem idem
41. Buay Aji Tulangbawang Tengah idem idem
42. Buay Umpu Tulangbawang Tengah idem idem
43. Buay Pemuka Bangsa Raja Negeri Besar Pepadun A (api)
44. Buay Pemuka Pangeran Ilir Pakuonratu idem idem
45. Buay Pemuka Pangeran Udik Pakuonratu idem idem
46. Buay Pemuka Pangeran Tuha Belambangan Umpu idem idem
47. Buay Bahuga Bahuga (Bumiagung) idem idem
48. Buay Semenguk Belambangan Umpu idem idem
49. Buay Baradatu Baradatu idem idem
50. Bungamayang Negararatu Pepadun (Sungkai) idem
51. Balau Kedaton idem idem
52. Merak-Batin Natar idem idem
53. Pugung Pagelaran idem idem
54. Pubian (Nuat) Padangratu idem idem
55. Tegineneng Tegineneng idem idem
56. Way Semah Gedongtataan idem idem
57. Rebang Pugung Talangpadang Semende Sumatera Selatan
58. Rebang Kasui Kasui idem idem
59. Rebang Seputih Tanjungraya idem idem
60. Way Tube Bahuga Ogan idem
61. Mesuji Wiralaga Pegagan idem
62. Buay Belunguh Belalau Peminggir (Belalau) A (api)
63. Buay Kenyangan Batubrak idem idem
64. Kembahang Batubrak idem idem
65. Sukau Sukau idem idem
66. Liwa
Balik Bukit Liwa idem idem
67. Suoh Suoh idem idem
68. Way Sindi Karya Penggawa idem idem
69. La'ai Karya Penggawa idem idem
70. Bandar Karya Penggawa idem idem
71. Pedada Pesisir Tengah idem idem
72. Ulu Krui Pesisir Tengah idem idem
73. Pasar Krui Pesisir Tengah idem idem
74. Way Napal Pesisir Selatan idem idem
75. Tenumbang Pesisir Selatan idem idem
76. Ngambur Bengkunat idem idem
77. Ngaras Bengkunat idem idem
78. Bengkunat Bengkunat idem idem
79. Belimbing Bengkunat idem idem
80. Pugung Penengahan Pesisir Utara idem idem
81. Pugung Melaya Lemong idem idem
82. Pugung Tampak- Pesisir Utara idem idem
83. Pulau Pisang Pesisir Utara idem idem
84. Way Tenong Way Tenong Semendo Sumatera Selatan

Susunan marga-marga territorial yang berdasarkan keturunan kerabat tersebut, pada masa kekuasaan Jepang sampai masa kemerdekaan pada tahun 1952 dihapus dan dijadikan bentuk pemerintahan negeri. Sejak tahun 1970, nampak susunan negeri sebagai persiapan persiapan pemerintahan daerah tingkat III tidak lagi diaktifkan, sehingga sekarang kecamatan langsung mengurus pekon-pekon/kampung/desa sebagai bawahannya.

Dalam perkembangannya, suku bangsa Rejang atau Suku Rejang (boleh disebut dengan kata Orang Rejang) banyak melakukan reformasi pola pikir dari pola pikir agraris tradisional ke pola pikir pendidik formal. Masyarakat Rejang pada awalnya banyak mengirimkan putra-putrinya bersekolah ke daerah Sumatera Padang dengan tujuan Padang, Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh dan daerah lainnya.

Di samping itu banyak dari mereka bersekolah di Palembang, dan sangat sedikit melanjutkan pendidik ke Jawa. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Baru sekitar tahun 70-an kelanjutan sekolah orang-orang Rejang berkiblat ke Jawa, terutama Yogyakarta, Jakarta dan Bandung dan adapula yang menerobos ke Medan.

Akibat banyaknya putra-putri orang Rejang pergi merantau melanjutkan pendidikan di luar Bengkulu membawa konsekuensi logis terhadap pertambahan penduduk di Lebong, Rejang dan sekitarnya—di dalam wilayah provinsi Bengkulu. Pertambahan penduduknya lamban.

Dipelopori orang Rejang dari Kotadonok, Talangleak, Semelako dan Muara Aman yang banyak menjadi pejabat di luar daerah, jadi anggota TNI dan Polri. Akhirnya sekitar tahun 1980-an orang Rejang yang jadi anggota TNI dan Polri serta PNS semakin banyak dan bertebaran dari Aceh sampai Irian Jaya.

Lintas Tambang Emas Di Lebong

Dr Lindayanti. M.Hum
Diposting kembali oleh Naim Emel Prahana
Tanggal 27 November 2008.

Diperkirakan perusahaan eksplorasi emas pertama di Rejang Lebong, khususnya di Lebong sekitar tahun 1897. Perusahaan Eksplorasi Emas Redjang Lebong itu pada tahun 1898 merubah menjadi Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Tahun 1900 berdiri pula Perusahaan Eksplorasi Tambang Lebong Sulit, Perusahaan Eksplorasi Tambang Emas Simau (1901), Perusahaan Tambang Lebong Kandis (1909), dan Perusahaan Tambang Glumbuk (1910).
Namun demikian, jauh sebelum pembukaan tambang emas secara besar-besaran itu, masyarakat Rejang sudah melakukan kegiatan penambangan emas secara tradisionil. Terutama setelah selesai panen.
Dari brbagai sumber, seperti keterangan informasi dari Haji Ismael, warga Pasar Curup yang menceritakan pengetahuannya tentang daerah Rejang Lebong yang banyak mengandung emas. Kemudian informasi Administratur Perkebunan Kopi Soeban Ayam , Eugen Kassel. Pembukaan tambang emas di Lebong diawali dengan penelitian awal dilakukan Eugen Kassel di daerah Lebong. Hasil penelitian emas di daerah Lebong itu menarik perhatian para pengusaha tambang emas di Batavia, yang kemudian mendirikan perusahaan tambang emas bernama Lebong Goud Syndicaat untuk mengadakan penelitian tentang kandungan emas di daerah Lebong.
Lalu diikuti berdirinya perusahaan-perusahaan tambang di daerah Lebong. Sebenarnya, sebelum orang-orang Eropa menemukan tambang emas di daerah Lebong, penduduk setempat sudah terlebih dahulu melakukan penambangan emas. Hal ini dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat, dan diantaranya berdasarkan informasi dari Sultan Maruan keturunan dari Sultan Muko-Muko.
Oleh karena itu, sejak dimulainya pembangunan jalan dari kota Bengkulu menuju dataran tinggi Lebong, perusahaan telah menggunakan kuli-kuli pendatang. Pemakaian jumlah kuli pendatang bertambah sejak 1900-an dengan kegiatan eksplorasi tambang di daerah Lebong. Saat itu di Lebong diperkirakan terdapat enam sampai tujuh perusahaan eksplorasi, salah satunya milik Firma Erdmann & Sielcken, yaitu Perusahaan Eksplorasi Tambang Redjang Lebong. Setelah perusahaan eksplorasi berhasil menemukan area penambangan di Lebong Donok (Marga Suku IX) maka perusahaan tambang dibentuk, yaitu Perusahaan Tambang Emas Redjang-Lebong di bawah direksi Lebong-Goudsyndicaat.
Pada masa awal eksploitasi, Perusahaan Tambang Redjang Lebong banyak menggunakan kuli orang Cina yang didatangkan dari Singapura, dan sebagian kecil kuli dari Jawa Barat. Penggunaan kuli dari Cina itu karena kuli dari Pulau Jawa sulit didapatkan dengan adanya permintaan yang besar terhadap kuli dari Pulau Jawa untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang di wilayah Hindia Belanda. Mereka pun sulit mendapatkan kuli dari daerah sekitar penambangan karena kebanyakan orang Rejang tidak berminat bekerja di perusahaan tambang maupun perkebunan milik orang Eropa. Mereka hanya bersedia bekerja sekali waktu di pertambangan dan kadang kala mereka menjual hasil padi, ternak, sayur, dan kayu untuk bangunan pada perusahaan.
Setelah mendapatkan kuli, perusahaan masih harus menghadapi permasalahan banyak kuli yang sakit, bahkan meninggal dunia pada awal kedatangannya. Hal ini terjadi antara lain karena lokasi penambangan yang jauh di pedalaman Dataran Tinggi Rejang Lebong sehingga kuli pendatang harus menempuh perjalanan panjang untuk mencapai lokasi penambangan. Kuli pendatang dari Pelabuhan Bengkulu harus berjalan kaki selama tujuh hari melewati Kepahiang, Pasar Curup, dan Dusun Kotadonok untuk sampai ke Lebong Donok.
Menurut laporan perusahaan, pada tahun 1898 Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah mempekerjakan kuli sebanyak 650 orang. Mereka dipekerjakan untuk pembukaan hutan dan pembangunan jalan dengan upah kerja sebesar 40 sen/orang/hari dengan tambahan 20 sen bagi kuli yang bekerja di luar perusahaan. Masa eksplorasi tambang dan pembuatan jalan dirasakan berat bagi para kuli tambang, karena mereka bekerja di daerah ketinggian 1.200 meter/dpl. di perbukitan Barisan. Selain medan yang berat, para kuli sering mengalami kurang makan dan terserang penyakit, terutama pada musim hujan. Penyakit yang sering menyerang para kuli saat membuka hutan dan membangun jalan adalah malaria dan beri-beri. Kematian kuli yang tinggi terutama terjadi saat eksplorasi tambang di Lebong Donok (tahun 1901), yaitu 50 orang/bulan dan pada tahun 1902 kuli yang meninggal dunia berjumlah 263 orang, sedangkan kuli yang sakit berjumlah 1584 orang.
Curah hujan yang tinggi di Dataran Tinggi Rejang Lebong menjadi salah satu sebab banyak kuli terjangkit penyakit, selain itu juga mengakibatkan banyak jembatan dan jalan yang rusak karena diterjang banjir. Misalnya, pada tahun 1898 banjir mengakibatkan jalan pemerintah antara kota Bengkulu menuju Lais tertutup untuk angkutan gerobak. Hal ini mengakibatkam pasokan beras untuk para kuli yang kebanyakan berada di daerah Redjang-Lebong terhenti. Oleh karena beras masih didatangkan dari Batavia melalui pelabuhan Bengkulu, apabila terjadi keterlambatan kedatangan beras, maka di lokasi penambangan akan terjadi kekurangan pangan.
Pada awal pertumbuhan, perusahaan mengalami berbagai kesulitan, antara lain kekurangan tenaga kerja dan kecukupan kebutuhan pangan bagi pekerja perusahaan. Dalam hal mengatasi kekurangan tenaga kerja, perusahaan mendatangkan tenaga kerja kuli dari daerah lain, terutama dari Pulau Jawa. Selanjutnya, dalam hal memenuhi kebutuhan pangan, pihak perusahaan berusaha menarik para bekas kuli untuk menetap di sekitar perusahaan. Perusahaan akan menyediakan lahan untuk bertani bagi bekas kuli yang mau menetap.

( Dikutip dari dan seizin Dr. Lindayanti. M.Hum “ BAB III : KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU 1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007.)Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”

Literature
[1] Mengenai Traktat London lihat, P.H. van der Kemp, “Benkoelen Krachtens het Londensch Tractaat van 15 Maart 1824” BKI deel 56, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1903) hlm. 308-312.

[2] Seorang posthouder untuk daerah Lais dan Kaur, seorang gezaghebber untuk daerah Muko-Muko dan Manna, dan seorang kontrolir untuk daerah Seluma dan Krui dengan fungsi yang sama, yaitu penanggung jawab wilayah masing-masing, L. van Vinne, “Benkoelen zoo als het is, en de Benkoelezen zoo als Zij zijn”, TNI vijfde jrg. (Batavia: Ter Landsdrukkerij, 1843), hlm. 558.

[3] Penduduknya terdiri dari penduduk asli (disebut anak sungai) dan penduduk pendatang dari Indrapura (disebut anak pesisir).

[4] Penduduknya adalah suku Rejang Empat Petulai, distrik Sungai Itam yang dihuni oleh penduduk yang disebut anak lakitan

[5] Penduduknya disebut anak lakitan

[6] Pada masa pemerintahan Kompeni Inggris daerah-daerah ini disebut wilayah Keresidenan Luar yang diperintah oleh seorang Residen

[7] Mengenai besarnya tunjangan yang diberikan kepada para Kepala Adat di Bengkulu dapat dilihat di ‘Over Pangerangs Raad Bencoelen’, Arsip Bengkulu, no. B 6/13

[8]Surat Keputusan Komisaris Jendral no.69, tanggal. 18 Agustus 1826, lihat ‘Aantekeningen Gehouden op een Reis in de Binnenlanden van Sumatra enz, De Oosterlingen 1832, Arsip Bengkulu, no. B 6/24
[9] P. Wink, “ De Ontwikkeling der Inheemsche Rechtspraak in het Gewest Benkoelen”, TBG deel LXIX (Batavia: Albrecht & Co., 1912), hlm. 27

[10] Perjanjian berisi tentang pengukuhan hak pemilikan wilayah kepada Pangeran Sungai Lemau, Pangeran Sungai Itam, Sultan Muko-Muko, serta Kepala distrik di wilayah Manna, Seluma, dan Kaur. Lebih lanjut lihat Orders by the Honble the Lieutenant Governor Fort Marlborough 22 May 1820”, Arsip Bengkulu B. 6/14

[11] Mengenai percobaan tanam paksa pala dan cengkeh masa Asisten Residen Knoerle dapat dilihat pada “Extract uit het Register der Handelingen en Resolutien van der Gouverneur Generaal in Rade 1832-1833”, Arsip Bengkulu, no. B 8/12
[12] “Nota Over Benkoelen Geschreven te Padang, in 18 Februari 1840 door Resident van Ajer Bangis de Perez, Arsip Bengkulu no. B 6/17, mengenai Tanam Paksa di Bengkulu lihat pada E.B. Kielstra, “Dwangcultuur en Vrije Arbeid in Bengkoelen”, Indische Gids 10e jrg II, 1888, hlm. 1209-1235.
[13] Mvo. Residentie Benkoelen, 1924, KIT 200, hlm. 53.
[14] Staatsblad 1860. no. 30a.