Membangun Obyek Wisata Danau Tes
Oleh Naim Emel Prahana
Sungguh suatu keberuntungan bagi kabupaten Lebong yang dibentuk berdasarkan UU No 39 tahun 2003 itu mempunyai potensi alam yang sangat refresemtatif untuk dikembang-bangunkan berbagai obyek wisata alam. Apalagi, dari 192.424 ha luas wilayah, 134.834,55 ha merupakan kawasan konservasi yang termasuk bagian dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang luasnya mencapai 111.035 ha.
Ditambah lagi wilayah Kabupaten Lebong memiliki hutan lindung seluas 20.777, 40 ha dan hutan cagar alam seluas 3.022,15 ha. Memang secara produktivitas aspek-aspek kegiatan perekonomian mengalami kendala dengan adanya penetapan TNKS oleh SK Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang didukung oleh SK Menteri Pertanian dan Perkebunan RI No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan kawasan hutan lindung Rimbo Pengadang Register 42. sejarah penetapan kawasan hutan lindung yang mencakup wilayah Kabupaten Lebong itu dimulai pada zaman Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai kawasan hutan Boven Lais atau disebut juga sebagai hutan batas Boswezen (BW).
Posisi itulah yang sering dijadikan alasan pemerintah kabupaten Lebong (Pemkab Lebong) untuk tidak bisa membangun wilayah itu semaksimal mungkin. Alasan itu sering menjadi sikap pesimis untuk memajukan Lebong, terutama meningkatkan kemajuan masyarakatnya di semua sektor kegiatan pembangunan. Namun demikian, kita tidak boleh terpaku dengan statuta kawasan hutan yang ada di Kabupaten Lebong itu. Apalagi bersikap pesimis.
Kabupaten Lebong dapat dikembangkan melalui pembangunan obyek wisata alam yang sangat besar pengaruhnya terhadap Pendapatan Asli Daerah itu. Sayangnya, hingga sekarang Pemkab Lebong belum membuat proposal tentang potensi obyek wisata daerah itu secara baik. Beberapa obyek wisata di Lebong yang dapat dikembangkan, memungkinan terjadi percepatan proses peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah itu.
Pengembangan dalam pembangunan sektor pariwisata di Lebong dapat dimasukkan ke dalam 3 (tiga) kelompok. Pertama, obyek wisata alam. Di mana alam Lebong yang sangat mempesona itu, dapat dikembangkan dan dibangun obyek wisata yang berskala Internasional. Misalnya keberadaan Danau Tes yang terletak antara Desa Kotadonok dengan Desa Tes (ibukota Kecamatan Lebong Selatan). Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu mempunyai panjang sekitar 5 km dengan lebar rata-rata 200 meter.
Danau Tes yang mempunyai potensi ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, jika dikembangkan menjadi obyek wisata. Kabupaten Lebong mempunyai peluang yang besar untuk meningkatkan PADnya melalui sektor pariwisata. Walaupun diusia yang hampir 10 tahun ini, Pemkab Lebong tidak mempunyai sense of build, khusus untuk pembangunan atau pengelolaan sektor wisata. Sementara mengolah daerahnya sendiri masih belum terorganisir secara proporsional dan profesional sebagaimana daerah kabupaten lainnya yang seusia dan lebih maju.
Profil Danau Tes
Danau Tes mempunyai kekayaan cerita rakyat berbentuk; legenda, mitos, kepercayaan dan sejarah nenek moyang orang lebong. Danau yang terletak di 2 (dua) wilayah kemasyarakatan (marga), yaitu Marga Jurukalang dan Marga Bermani itu—kemudian kedua marga itu digabungkan dalam satu marga (hingga sistem kemargaan dihilangkan) menjadi Marga Bermani Jurukalang. Wilayah Marga Bermani Jurukalang itu (salah satu asal suku Lebong) membawahi mulai dari Desa Tapus (Topos, desa tertua di Lebong) sampai Desa Turun Lalang. Sekarang secara administratif Marga Bermani Jurukalang terbagi ke dalam 2 (dua) wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan (awalnya hanya wilayah Kecamatan Lebong Selatan).
Danau Tes yang merupakan perut Bioa Ketawen (Air Ketahun) merupakan wilayah sumber mata pencarian penduduk sekitarnya, termasuk sepanjang Air Ketahun yang melintasi Kabupaten Lebong. Di danau itu, masyarakatnya dapat mencari ikan dengan pancing, jala, bubu, jaring, mengacea (mancing di air deras), tajua (pancing yang dipasang malam hari), menyuluak (mencari ikan di malam hari dengan peralatan lampu petromak, tombak ikan bermata tiga (trisula) dan menggunakan perahu) dan sebagainya alat penangkap ikan khusus masyarakat Kotadonok dans ekitarnya.
Bila siang hari, ketika melintas di jalan raya di pinggir Danau Tes, dengan jelas dapat dilihat masyarakat mencari ikan di tengah Danau. Sedangkan yang mencari ikan dengan peralatan kecil, biasanya berada di pinggir-pinggir danau.
Di sisi lain, Danau Tes merupakan sarana transportasi air bagi penduduk Kotadonok yang mengolah areal persawahan di kawasan sawah Baten (nama arean pertanian yang terletak diseberang Desa Tes, Taba Anyar, Mubai dan Turun Tiging). Alat transportasi penduduk ke sawah dengan jarak tempuh sekitar 4 km adalah menggunakan perahu kayu. Demikian juga, untuk mengangkut hasil panen, perahu adalah alat transportasi yang digunakan sejak zaman dahulu kala.
Di sepanjang jalan di tepi Danau Tes yang menghubungkan Desa Kotadonok dengan Ibukota Kecamatan Lebong Selatan, Tes sepanjang 5 km—yang jalannya adalah jalan utama di Kabupaten Lebong. Dapat disaksikan betapa indahnya panorama Danau Tes. Di sana ada tempat wisata bernama Pondok Lucuk (Pondok Runcing; karena bentuk bangunannya sejak zaman Kolonial adalah atapnya mengerucut ke atas dengan luas bangunan sekitar 6 X 6 meter. Lokasinya berada di sebelah kanan arah jalan dari Kotadonok ke Tes, tepat berada di pinggir Danau Tes.
Tidak jauh dari lokasi itu, terdapat sekolah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MtsAin) Kotadonok. Dan, di puncak bukit sebelah kiri, terdapat keramat yang populer disebut dengan nama Tepat Taukem (tepat= keramat, taukem= nama tempat). Di Tepat Taukem itu terdapat besi bundar. Yang konon kabarnya, bagi anak haram (orang yang dilahirkan karena perbuatan zina di luar ikatan perkawinan yang saha), tidak akan mampu mengangkat bola besi tersebut.
Di tempat yang sama terdapat peninggalan sejarah berupa meriam besi. Daerah Tepat Taukem saat ini sudah tumbuh subur hutan pinus yang ditanam pada zaman orde baru sebagai bentuk penghijauan daerah tersebut.
Minggu, 21 September 2008
Membangun Obyek Wisata Danau Tes
Lebong Tambah Emas
Lebong tambang emas
Lebong Tawarkan Wisata Alam, Tambang, dan Hutan
Pemkab Lebong mulai tahun anggaran 2008 akan menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang, dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau ranau dengan target mendatangkan 100.000 pengunjung, lokal maupun nusantara.
Objek wisata alam yang akan ditawarkan itu antara lain keindahan Danau Tes, Danau Air Picung, Air Panas Air Putih, dan Air Terjun Palih, sedangkan wisata tambang antara lain Lobang Kacamata eks penggalian tambang emas zaman kolonial Belanda, serta kawasan hutan perawan untuk penelitian, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Yustin Hendri, Kamis (31/1).
Menurut dia, selama ini objek wisata di Kabupaten Lebong itu masih tidur dan belum pernah ditawarkan ke luar, karena wilayah itu sebelumnya masih merupakan sebuah kecamatan dari Kabupaten Rejang Lebong.
Setelah Lebong dimekarkan menjadi kabupaten sejak empat haun lalu maka sektor pariwisata mulai digiatkan, karena keindahannya tidak kalah dengan objek wisata lainnya di Sumatra.
Saat ini, pihaknya juga tengah membina sekitar 14 kelompok penari budaya lokal, nantinya diharapkan dapat menerima para pelancong yang datang ke Lebong untuk menikmati objek wisata alam di daerah itu.
Kabupaten Lebong juga memiliki tradisi sakral yang masih terpendam namun cukup menarik yaitu “Kedurai Agung”, acara adat tolak balak jika ada musibah alam, biasanya diperingati satu kali dalam setahun.
“Kedurai Agung” selama ini dipercaya warga sebagai tolak balak usai terjadi musibah, seperti banjir bandang, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, ujar Yustin.
Saat ini hari peringatannya belum ditentukan, masih dibahas dalam musyawarah adat setempat, namun selama ini sudah diperingati oleh sekelompok warga adat, terutama bila terjadi musibah.
Sementara beberapa objek wisata alam seperti air terjun dan wisata danau pada tahun 2008 akan ditingkatkan fasilitasnya, agar pengunjung betah dan tertarik untuk datang.
Objek wisata Lobang Kacamata eks pertambangan emas zaman kolonial Belanda, bila dilihat dari kejauhan hanya sebuah bukit kecil di atas pasar Muara Aman, namun begitu sampai di lokasi di dalam bukit batu itu sudah penuh dengan jalan dan lobang-lobang dengan empat lantai, bahkan lobang bagian bawah tanah dalamnya mencapai 1.000 meter.
Di sekitar bukit batu itu kini terdapat beberapa lokasi penambangan emas tradisonal dengan menggunakan gelundung sebagai alat pendulang, hasil tambangnya dijual ke penampung lokal.
Kabupaten Lebong sebagian besar dikelilingi kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di dalam perut bumi kawasan hutan itu tersimpan potensi emas yang cukup banyak dan berkualitas tinggi, namun tidak bisa digarap.
Sejak zaman kolonial Belada Lebong dikenal sebagai penghasil emas terbesar di Sumatera sebagai bukti hidup saat ini emas yang ada di tugu Monas Jakarta sebagian besar sumbangan dari Lebong, tambah Yustin Hendri. (Ant/OL-06)
Lebong Tawarkan Wisata Alam, Tambang, dan Hutan
Pemkab Lebong mulai tahun anggaran 2008 akan menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang, dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau ranau dengan target mendatangkan 100.000 pengunjung, lokal maupun nusantara.
Objek wisata alam yang akan ditawarkan itu antara lain keindahan Danau Tes, Danau Air Picung, Air Panas Air Putih, dan Air Terjun Palih, sedangkan wisata tambang antara lain Lobang Kacamata eks penggalian tambang emas zaman kolonial Belanda, serta kawasan hutan perawan untuk penelitian, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Yustin Hendri, Kamis (31/1).
Menurut dia, selama ini objek wisata di Kabupaten Lebong itu masih tidur dan belum pernah ditawarkan ke luar, karena wilayah itu sebelumnya masih merupakan sebuah kecamatan dari Kabupaten Rejang Lebong.
Setelah Lebong dimekarkan menjadi kabupaten sejak empat haun lalu maka sektor pariwisata mulai digiatkan, karena keindahannya tidak kalah dengan objek wisata lainnya di Sumatra.
Saat ini, pihaknya juga tengah membina sekitar 14 kelompok penari budaya lokal, nantinya diharapkan dapat menerima para pelancong yang datang ke Lebong untuk menikmati objek wisata alam di daerah itu.
Kabupaten Lebong juga memiliki tradisi sakral yang masih terpendam namun cukup menarik yaitu “Kedurai Agung”, acara adat tolak balak jika ada musibah alam, biasanya diperingati satu kali dalam setahun.
“Kedurai Agung” selama ini dipercaya warga sebagai tolak balak usai terjadi musibah, seperti banjir bandang, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, ujar Yustin.
Saat ini hari peringatannya belum ditentukan, masih dibahas dalam musyawarah adat setempat, namun selama ini sudah diperingati oleh sekelompok warga adat, terutama bila terjadi musibah.
Sementara beberapa objek wisata alam seperti air terjun dan wisata danau pada tahun 2008 akan ditingkatkan fasilitasnya, agar pengunjung betah dan tertarik untuk datang.
Objek wisata Lobang Kacamata eks pertambangan emas zaman kolonial Belanda, bila dilihat dari kejauhan hanya sebuah bukit kecil di atas pasar Muara Aman, namun begitu sampai di lokasi di dalam bukit batu itu sudah penuh dengan jalan dan lobang-lobang dengan empat lantai, bahkan lobang bagian bawah tanah dalamnya mencapai 1.000 meter.
Di sekitar bukit batu itu kini terdapat beberapa lokasi penambangan emas tradisonal dengan menggunakan gelundung sebagai alat pendulang, hasil tambangnya dijual ke penampung lokal.
Kabupaten Lebong sebagian besar dikelilingi kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), di dalam perut bumi kawasan hutan itu tersimpan potensi emas yang cukup banyak dan berkualitas tinggi, namun tidak bisa digarap.
Sejak zaman kolonial Belada Lebong dikenal sebagai penghasil emas terbesar di Sumatera sebagai bukti hidup saat ini emas yang ada di tugu Monas Jakarta sebagian besar sumbangan dari Lebong, tambah Yustin Hendri. (Ant/OL-06)
Lebong Rawan Longsor
Lebong Rawan Bencana
Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.
Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.
Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.
Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.
Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)
//grafiss
Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir
Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir
Lebong merupakan kawasan rawan bencana. Selain banjir dan tanah longsor, ancaman lainnya adalah gempa bumi. Soalnya, berdasarkan keterangan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Cabang Bengkulu, Bambang Purbiantoro, Lebong berada di lintasan patahan Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang kita peroleh, Lebong sering menjadi pusat gempa karena patahan Sumatera yang melintas di Provinsi Bengkulu berdekatan dengan Lebong, terang Ketua PMI (Palang Merah Indonesia) Lebong, H Rusdi Mahmud SKM.
Terkait hal itu, lelaki yang juga menjabat sebagai Kadisdinkes Lebong itu mengharapkan masyarakat waspada. Hanya saja masyarakat tak perlu panik dan takut.
Sementara itu, kategori rawan bencana banjir dan longsor, lanjut Rusdi, mencakup hampir setengah wilayah pemukiman masyarakat. Dari total desa/kelurahan yang berjumlah 77, 38 desa/keluruhan masuk kategori tersebut. Pengkategorian tersebut berdasarkan pengalaman bencana yang telah terjadi dan pertimbangan kondisi geografis dan topografis. Terletak di daerah perbukitan yang sebagian besar berada diatas 1000 m dpl (di atas permukaan laut) serta memiliki kemiringan lebih dari 40 derajat.
Status tersebut ditetapkan sebagai langkah untuk meningkatkan kewaspadaan kita dalam mengantisipasi dan menanggulanginya. Intinya, kami berharap masyarakat bisa lebih waspada, kata Rusdi.
Dikatakan Rusdi, sejauh ini pihaknya sudah melatih 30 orang anggota KSR yang dipersiapkan sebagai tenaga sukarela yang handal. Sehingga, apabila terjadi bencana alam maka anggota KSR lah harus yang lebih proaktif memberikan bantuan pada warga.
Anggota KSR yang dilatih merupakan representasi dari setiap kecamatan. Sengaja dipilih seperti itu, supaya jalur komunikasi dan koordinasi yang dilakukan bisa efektif dan efisien, kata Rusdi. (467)
//grafiss
Nama Desa/Kelurahan Rawan Longsor dan Banjir
Desa/Kelurahan Status
1.Tanjung Agung Rawan Longsor
2.Danau Rawan Longsor
3.Atas Tebing Rawan Longsor
4.Talang Leak I Rawan Banjir
5.Talang Leak II Rawan Banjir
6.Bungin Rawan Banjir Bandang
7.Ujung Tanjung I Rawan Banjir
8.Ujung Tanjung II Rawan Banjir
9.Talang Ratu Rawan Longsor
10.Sukasari Rawan Longsor
11.Kota Donok Rawan Longsor
12.Mangkurajo Rawan Longsor
13.Tes Rawan Longsor
14.Tik Kuto Rawan Longsor
15.Rimbo Pengadang Rawan Longsor
16.Tanjung Rawan Banjir
17.Talang Donok Rawan Banjir
18.Tapus Rawan Longsor
19.Suka Negeri Rawan Longsor
20.Bandar Agung Rawan Banjir Bandang
21.Limau Pit Rawan Banjir
22.Taba Seberang Rawan Banjir
23.Seblat Ulu Rawan Longsor
24.Katenong I Rawan Banjir Bandang
25.Katenong II Rawan Banjir Bandang
26.Talang Bunut Rawan Banjir
27.Bentangor Rawan Banjir
28.Garut Rawan Banjir
29.Kota Agung Rawan Banjir
30.Kota Baru Rawan Banjir
31.Embong Uram Rawan Banjir
32.Lemeu Rawan Banjir
33.Ladang Palembang Rawan Longsor
34.Lebong Tambang Rawan Longsor
35.Talang Ulu Rawan Longsor
36.Kampung Dalam Rawan Longsor
37.Kampung Gandung Rawan Longsor
38.Lebong Donok Rawan Banjir
Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan
Lebong akan Berlakukan Hukum Adat Atasi Kerusakan Hutan
Hukum adat Rejang yang pernah diberlakukan para leluhur puluhan tahun silam akan kembali diterapkan untuk mengatasi kerusakan hutan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Upaya Pemkab setempat untuk mengatasi kerusakan hutan terus dilakukan, namun jika hukum adat diterapkan diharapkan akan lebih ampuh, kata Kepala Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Drs Yustin Henri ketika dihubungi, Kamis.
Pada saat Kabupaten Lebong masih tergabung dalam Kabupaten Rejang Lebong saat itu masyarakat masih menganut aturan yang diberlakukan oleh Pasirah, termasuk menebang kayu di kawasan hutan.
Oleh karena itu, hukum adat Rejang dirasakan masih relevan diterapkan untuk mencegah kerusakan hutan mengingat Kabupaten Lebong sebagian besar wilayahnya mer4upakan kawasan hutan yang perlu dilindungi.
Hukum adat Rejang itu saat ini sedang diseminarkan kepada para kepala desa, kemudian akan dibakukan menjadi peraturan daerah (Perda) sekaligus untuk mendukung rencana Lebong dijadikan salah satu kabupaten konservasi.
Yustin menjelaskan, pada era Pasirah (kepala pemerintahan) setiap warga yang ingin menebang kayu dalam kawasan hutan harus izin dulu ke petugas pemerintahan dan kemudian disetujui oleh Pasirah atau Pangeran.
Katagori kayu yang ditebang itu juga diatur dan bukan kayu yang berada pada kawasan hutan penyangga daerah aliran sungai, tapi sebuah pohon yang aman dari gangguan lingkungan.
Pada saat itu setiap pohon yang ditebang harus ada penggantinya minimal lima pohon, karena areal bekas rubuhan kayu itu cukup luas.
Bila hukum adat ini bisa dibakukan dan diterapkan, Yustin yakin praktik pencurian kayu (ilegal logging) dan perambahan akan bisa diatasi.
Sementara kerusakan kawasan hutan yang sudah cukup memprihatinkan di daerah itu, juga bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila seluruh masyarakat dan perangkat pemerintahannya sudah sepakat.
Bupati lebong Drs Dalhadi Umar sebelumnya mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lebong sampai saat ini sudah mencapai 40 persen (54.000 Ha) dari kawasan hutan seluruhnya tercatat 134.845 Ha.
Kerusakan kawasan hutan itu terdiri atas hutan cagar alam, hutan lindug dan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kerusakan itu antara lain akibat perambahan masyarakat dan pencurian kayu.
Warga penggarap umumnya berada di sekitar kawasan hutan dan mayoritas miskin, untuk mencari nafkah sehari-hari tak ada jalan lain dengan menebang kayu dan merusak hutan.
Luas Kabupaten Lebong seluruhnya tercatat 192.424 Ha, sekitar 70 persen di antaranya merupakan kawasan hutan yang terdiri atas hutan lindung dan cagar alam, sedangkan hutan TNKS mencapai 117.000 Ha.
Melihat kondisi demikian, kata Bupati, daerah itu sejak dua tahun lalu diusulkan menjadi kabupaten konservasi. (*)
adebachtiar2000@yahoo.de adebachtiar2000@yahoo.de
Hukum adat Rejang yang pernah diberlakukan para leluhur puluhan tahun silam akan kembali diterapkan untuk mengatasi kerusakan hutan di Kabupaten Lebong, Bengkulu.
Upaya Pemkab setempat untuk mengatasi kerusakan hutan terus dilakukan, namun jika hukum adat diterapkan diharapkan akan lebih ampuh, kata Kepala Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebong Drs Yustin Henri ketika dihubungi, Kamis.
Pada saat Kabupaten Lebong masih tergabung dalam Kabupaten Rejang Lebong saat itu masyarakat masih menganut aturan yang diberlakukan oleh Pasirah, termasuk menebang kayu di kawasan hutan.
Oleh karena itu, hukum adat Rejang dirasakan masih relevan diterapkan untuk mencegah kerusakan hutan mengingat Kabupaten Lebong sebagian besar wilayahnya mer4upakan kawasan hutan yang perlu dilindungi.
Hukum adat Rejang itu saat ini sedang diseminarkan kepada para kepala desa, kemudian akan dibakukan menjadi peraturan daerah (Perda) sekaligus untuk mendukung rencana Lebong dijadikan salah satu kabupaten konservasi.
Yustin menjelaskan, pada era Pasirah (kepala pemerintahan) setiap warga yang ingin menebang kayu dalam kawasan hutan harus izin dulu ke petugas pemerintahan dan kemudian disetujui oleh Pasirah atau Pangeran.
Katagori kayu yang ditebang itu juga diatur dan bukan kayu yang berada pada kawasan hutan penyangga daerah aliran sungai, tapi sebuah pohon yang aman dari gangguan lingkungan.
Pada saat itu setiap pohon yang ditebang harus ada penggantinya minimal lima pohon, karena areal bekas rubuhan kayu itu cukup luas.
Bila hukum adat ini bisa dibakukan dan diterapkan, Yustin yakin praktik pencurian kayu (ilegal logging) dan perambahan akan bisa diatasi.
Sementara kerusakan kawasan hutan yang sudah cukup memprihatinkan di daerah itu, juga bisa dikembalikan menjadi kawasan hutan apabila seluruh masyarakat dan perangkat pemerintahannya sudah sepakat.
Bupati lebong Drs Dalhadi Umar sebelumnya mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Kabupaten Lebong sampai saat ini sudah mencapai 40 persen (54.000 Ha) dari kawasan hutan seluruhnya tercatat 134.845 Ha.
Kerusakan kawasan hutan itu terdiri atas hutan cagar alam, hutan lindug dan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), kerusakan itu antara lain akibat perambahan masyarakat dan pencurian kayu.
Warga penggarap umumnya berada di sekitar kawasan hutan dan mayoritas miskin, untuk mencari nafkah sehari-hari tak ada jalan lain dengan menebang kayu dan merusak hutan.
Luas Kabupaten Lebong seluruhnya tercatat 192.424 Ha, sekitar 70 persen di antaranya merupakan kawasan hutan yang terdiri atas hutan lindung dan cagar alam, sedangkan hutan TNKS mencapai 117.000 Ha.
Melihat kondisi demikian, kata Bupati, daerah itu sejak dua tahun lalu diusulkan menjadi kabupaten konservasi. (*)
adebachtiar2000@yahoo.de adebachtiar2000@yahoo.de
Lebong Donok
Lebong Donok at 1910
Kemasyuran Kota Muara Aman sebagai Batavia Kecil memang tak di ragukan. Inilah kawasan sekitar Batavia kecil yaitu Lebong Donok yang ramai di abadikan pada tahun 1910 oleh Circa. Muara Aman kini hanya ibu kota Kabupaten baru yang sangat jauh dari kemegahannya di masa lampau. Semoga photo-photo ini dapat memberi cerminan ke masa sekarang, agar Kota kecil Muara Aman bisa sejajar dengan kota lain seperti masa lalunya.
Lebong Tandai Gold Mining at 1910 photos
Lebong Tandai at 1910
Photo - photo Puncak Kejayaan Tambang Emas di Lebong Tempo Dulu
Lebong Tambang Sawah
The Forgetable Big Gold Mining in Present
Photo- Photo Puncak Kejayaan Tambang Emas Tambang sawah Tempo Dulu
photo taken around year 1905-1930
Tambang Sawah Gold Mining.
Present at Rejang Land, the Lebong area famous with Big Gold mining in History. Such as Tambang Sawah at Muara Aman Town, this photo tell us how modern the mining in the era but for now, we can not found the mining any more. So thats way i call the place "the forgetable big gold mining".
Where is the Rejang Land? Rejang Land in past tense part of the resident Benkoelen, and now Rejang Land are to be part Province Bengkulu, especially Rejang-Lebong region and nearby, in Sumatera Island, Indonesia.
Kemasyuran Kota Muara Aman sebagai Batavia Kecil memang tak di ragukan. Inilah kawasan sekitar Batavia kecil yaitu Lebong Donok yang ramai di abadikan pada tahun 1910 oleh Circa. Muara Aman kini hanya ibu kota Kabupaten baru yang sangat jauh dari kemegahannya di masa lampau. Semoga photo-photo ini dapat memberi cerminan ke masa sekarang, agar Kota kecil Muara Aman bisa sejajar dengan kota lain seperti masa lalunya.
Lebong Tandai Gold Mining at 1910 photos
Lebong Tandai at 1910
Photo - photo Puncak Kejayaan Tambang Emas di Lebong Tempo Dulu
Lebong Tambang Sawah
The Forgetable Big Gold Mining in Present
Photo- Photo Puncak Kejayaan Tambang Emas Tambang sawah Tempo Dulu
photo taken around year 1905-1930
Tambang Sawah Gold Mining.
Present at Rejang Land, the Lebong area famous with Big Gold mining in History. Such as Tambang Sawah at Muara Aman Town, this photo tell us how modern the mining in the era but for now, we can not found the mining any more. So thats way i call the place "the forgetable big gold mining".
Where is the Rejang Land? Rejang Land in past tense part of the resident Benkoelen, and now Rejang Land are to be part Province Bengkulu, especially Rejang-Lebong region and nearby, in Sumatera Island, Indonesia.
KORTE MEDEDELING
KORTE MEDEDELING
(Prof MA Jaspan Collections in The University)
at Friday, July 18, 2008
G. E. Marrisgn
Profesor MA Jaspan’s Collections in the University Ofhull.
Mervyn Jaspan was born in Johannesburg in 1926. He did anthropological
fieldwork in South and East Africa, leading to his Oxford B.Sc. in 1951.
From 1955 to 1961 he had appointments in Indonesia, and from 1961 to
1967 in Australia: from 1961 to 1964 he held a Research Fellowship at
the Australian National University, Canberra, in the course of which he
did fieldwork among the Rejang of southern Sumatra from 1961 to 1963,
leading up to his Ph.D. thesis for the ANU: From patriliny to matriliny:
Structural change among the Redjang of Southwest Sumatra, 1964. In 1967, he was appointed Visiting Professor of Anthropology and Sociology in the University of Leiden. From 1968 till his death.in 1975, Professor Jaspan was Director of the Centre for South-East Asian Studies in the University of Huil. During that period, he was working on two major projects: Theory andpractice of traditional medicine in South-East Asia, and a study of the Literature of South Sumatra, including Rejang oral literature and the South Sumatran Malay texts as preserved in the ka-ga-nga or rencong script: this latter work was begun in collaboration with Dr. P. Voorhoeve, who withhis wife and other helpers transliterated into Roman script^ large number of these texts.
Professor Jaspan presented a small number of South-East Asian Manu-
scripts to the Brynmor Jones Library, University of Huil. After his death,
a large collection of his working papers were deposited in the Library, and others were held by the Centre for South-East Asian Studies. Part of the library holdings are briefly described in M.C. Ricklefs and P. Voorhoeve:
Indonesian manuscripts in Great Britain (OUP, 1977), and in the sup-
plement to that work in BSOAS 45/2,1982, pp. 300-22., but there is much more awaiting cataloguing, including a further deposit of Jaspan's papers which will be placed in the Brynmor Jones Library shortly.
The collection contains over 800 items, most of which are typed or written by Jaspan. Nearly half are texts in languages of South-East Asia, rendered in the Roman script. The most substantial part is the Rejang Archive, which includes hand-written field notes, and typescripts of Rejang oral texts and of notes and short essays on various aspects of Rejang anthropology, together numbering over 200 items. There are also 145 South Sumatran Malay texts, some which he collected, but most are copies of transliterations made by Dr. Voorhoeve. Other linguistic materials include Cham traditional texts collected from villages on the Mekong in Cambodia, 1966-7, and notes, mostly of medical interest, in the dialect of Sagada, from the Bontoc Igorot region of northern Luzon. There are smaller numbers of items relating to Java, northern Sumatra, Malaysia and
Page 3
152
Korte Mededeling the Khmer, and some Indonesian texts from other hands relating to local affairs. There are other copies of some of the language texts in the Leiden University Library: Dr. Voorhoeve's original transliterations of South Sumatran Malay texts are at Cod.Or.8447, and a selection of Rejang folk tales from Jaspan's collection are at Cod.On 18.154. Jaspan 'sMaterials for a Rejang-Indonesian-EngUsh dictionary were edited from papers in Huil by Dr. P. Voorhoeve, and published by the Department of Linguistics, Rejang search School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra, 1984. Since the beginning of 1987,1 have been cataloguing Professor Jaspan's collections in Huil with help and advice from Mrs. Helen
Jaspan, Dr. Voorhoeve, and members of Huil University Staff, and arran-
gements are in hand for this to be published by the Centre for South-East Asian Studies, University of Huil, probably in 1989.
Ulverston 15 February 1988
(Prof MA Jaspan Collections in The University)
at Friday, July 18, 2008
G. E. Marrisgn
Profesor MA Jaspan’s Collections in the University Ofhull.
Mervyn Jaspan was born in Johannesburg in 1926. He did anthropological
fieldwork in South and East Africa, leading to his Oxford B.Sc. in 1951.
From 1955 to 1961 he had appointments in Indonesia, and from 1961 to
1967 in Australia: from 1961 to 1964 he held a Research Fellowship at
the Australian National University, Canberra, in the course of which he
did fieldwork among the Rejang of southern Sumatra from 1961 to 1963,
leading up to his Ph.D. thesis for the ANU: From patriliny to matriliny:
Structural change among the Redjang of Southwest Sumatra, 1964. In 1967, he was appointed Visiting Professor of Anthropology and Sociology in the University of Leiden. From 1968 till his death.in 1975, Professor Jaspan was Director of the Centre for South-East Asian Studies in the University of Huil. During that period, he was working on two major projects: Theory andpractice of traditional medicine in South-East Asia, and a study of the Literature of South Sumatra, including Rejang oral literature and the South Sumatran Malay texts as preserved in the ka-ga-nga or rencong script: this latter work was begun in collaboration with Dr. P. Voorhoeve, who withhis wife and other helpers transliterated into Roman script^ large number of these texts.
Professor Jaspan presented a small number of South-East Asian Manu-
scripts to the Brynmor Jones Library, University of Huil. After his death,
a large collection of his working papers were deposited in the Library, and others were held by the Centre for South-East Asian Studies. Part of the library holdings are briefly described in M.C. Ricklefs and P. Voorhoeve:
Indonesian manuscripts in Great Britain (OUP, 1977), and in the sup-
plement to that work in BSOAS 45/2,1982, pp. 300-22., but there is much more awaiting cataloguing, including a further deposit of Jaspan's papers which will be placed in the Brynmor Jones Library shortly.
The collection contains over 800 items, most of which are typed or written by Jaspan. Nearly half are texts in languages of South-East Asia, rendered in the Roman script. The most substantial part is the Rejang Archive, which includes hand-written field notes, and typescripts of Rejang oral texts and of notes and short essays on various aspects of Rejang anthropology, together numbering over 200 items. There are also 145 South Sumatran Malay texts, some which he collected, but most are copies of transliterations made by Dr. Voorhoeve. Other linguistic materials include Cham traditional texts collected from villages on the Mekong in Cambodia, 1966-7, and notes, mostly of medical interest, in the dialect of Sagada, from the Bontoc Igorot region of northern Luzon. There are smaller numbers of items relating to Java, northern Sumatra, Malaysia and
Page 3
152
Korte Mededeling the Khmer, and some Indonesian texts from other hands relating to local affairs. There are other copies of some of the language texts in the Leiden University Library: Dr. Voorhoeve's original transliterations of South Sumatran Malay texts are at Cod.Or.8447, and a selection of Rejang folk tales from Jaspan's collection are at Cod.On 18.154. Jaspan 'sMaterials for a Rejang-Indonesian-EngUsh dictionary were edited from papers in Huil by Dr. P. Voorhoeve, and published by the Department of Linguistics, Rejang search School of Pacific Studies, Australian National University, Canberra, 1984. Since the beginning of 1987,1 have been cataloguing Professor Jaspan's collections in Huil with help and advice from Mrs. Helen
Jaspan, Dr. Voorhoeve, and members of Huil University Staff, and arran-
gements are in hand for this to be published by the Centre for South-East Asian Studies, University of Huil, probably in 1989.
Ulverston 15 February 1988
Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):
Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.
Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:
Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.
http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):
Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.
Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:
Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.
http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin
DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU
DAFTAR NAMA GUBERNUR BENGKULU
Head of Communications: press wikimedia.org
Phone : +1 415-839-6885
If leaving a message, please ensure you provide all necessary calling details to ensure a reply to your call.
We also have local contacts throughout the world. Find a Wikimedian.
(We get a large number of calls; email is always a better first option. Please note: We do not wish to receive any press release or newsletter, nor any documentation about your organization. For specific questions regarding the content of one of our projects, please email info-en wikimedia.org, or visit Wikipedia:Contact us.)
Daftar gubernur Bengkulu
No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Ali Amin
1968
1974
2. Abdul Chalik
1974
1979
3. Suprapto
1979
1989
4. H. A. Razie Yahya
1989
1994
5. Adjis Ahmad
1994
1999
6. Hasan Zein
1999
29 November 2005
7. AgusrinMaryono Najamuddin
29 November 2005
sekarang
Head of Communications: press wikimedia.org
Phone : +1 415-839-6885
If leaving a message, please ensure you provide all necessary calling details to ensure a reply to your call.
We also have local contacts throughout the world. Find a Wikimedian.
(We get a large number of calls; email is always a better first option. Please note: We do not wish to receive any press release or newsletter, nor any documentation about your organization. For specific questions regarding the content of one of our projects, please email info-en wikimedia.org, or visit Wikipedia:Contact us.)
Daftar gubernur Bengkulu
No. Nama Dari Sampai Keterangan
1. Ali Amin
1968
1974
2. Abdul Chalik
1974
1979
3. Suprapto
1979
1989
4. H. A. Razie Yahya
1989
1994
5. Adjis Ahmad
1994
1999
6. Hasan Zein
1999
29 November 2005
7. AgusrinMaryono Najamuddin
29 November 2005
sekarang
Harus Didukung oleh Semua Pihak
Harus Didukung oleh Semua Pihak
Keinginan mewujudkan Lebong, Provinsi Bengkulu, sebagai kabupaten konservasi adalah pekerjaan besar dan strategis yang harus didukung semua pihak. Agar dapat direalisasikan secara konkret, harus ada payung hukum agar saat pelaksanaannya tidak terjadi benturan di lapangan.
”Payung hukum yang kita harapkan itu harus dikeluarkan pemerintah pusat, tidak sekadar peraturan daerah. Kabupaten konservasi memiliki cakupan luas. Dalam pelaksanaan di lapangan, nantinya akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan beberapa institusi dan lembaga di luar Pemerintah Kabupaten Lebong itu sendiri,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar, menjawab pertanyaan Kompas di Muara Aman, ibu kota Lebong, pekan lalu.
Menurut Dalhadi, ide menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya terkait dengan kondisi geografis dan ketersediaan lahan budidaya di daerah ini.
Dari luas wilayah Lebong yang mencapai sekitar 192.924 hektar, sekitar 70% di antaranya terdiri atas hutan lindung, cagar alam, dan areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Khusus areal TNKS yang berada di wilayah Lebong luasnya mencapai sekitar 117.000 hektar.
”Jika melihat ketersediaan lahan yang layak untuk budidaya, Lebong hanya memiliki sekitar 30 persen saja. Sisanya merupakan kawasan hutan yang semestinya tidak boleh disentuh dan digarap. Menyadari akan terbatasnya lahan budidaya tersebut, maka kami usulkan Lebong ini menjadi kabupaten konservasi,” ujar Dalhadi Umar.
Dia mengemukakan, untuk mewujudkan kabupaten konservasi tersebut memang tidaklah mudah. Apalagi di tingkat daerah sendiri masih ada pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mendukung, tetapi di lain pihak juga ada yang tidak setuju.
”Sebagai bupati saya tidak akan mundur dan merasa optimistis kabupaten konservasi bisa direalisasi. Meskipun dirasakan sebagai pilihan yang dilematik, kabupaten konservasi tetap menjadi alternatif paling tepat, guna menyelamatkan wilayah Lebong dari ancaman degradasi lingkungan yang parah di masa datang,” ujarnya.
Semua pihak
Menurut Dalhadi Umar, Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak akan bisa diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong sendiri. Obsesi ini harus didukung semua pihak, terutama berbagai institusi yang menangani langsung kawasan hutan di daerah ini.
Dalhadi memberi contoh soal keberadaan beberapa kawasan hutan di daerah itu. Hutan lindung dan cagar alam yang ada di Lebong ditangani Departemen Kehutanan.
Adapun TNKS ditangani oleh Kepala Balai yang berkedudukan di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sementara di lapangan, ribuan hektar hutan lindung dan areal TNKS tersebut kini justru sudah berubah menjadi areal perladangan, yang digarap masyarakat secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.
Berbagai kepentingan
”Atas dasar itulah, kami minta agar pemerintah pusat segera membuat payung hukum yang jelas dan tegas. Ini penting agar berbagai kepentingan di lapangan tidak berbenturan. Di satu pihak, misalnya, Balai TNKS menganggap para peladang dan petani penggarap harus dikeluarkan dari hutan itu,” ujar Dalhadi.
Akan tetapi, di pihak lain, seperti Pemkab Lebong sendiri menganggap jika para peladang dikeluarkan begitu saja dari sana malah akan menimbulkan masalah sosial. (zul)
Keinginan mewujudkan Lebong, Provinsi Bengkulu, sebagai kabupaten konservasi adalah pekerjaan besar dan strategis yang harus didukung semua pihak. Agar dapat direalisasikan secara konkret, harus ada payung hukum agar saat pelaksanaannya tidak terjadi benturan di lapangan.
”Payung hukum yang kita harapkan itu harus dikeluarkan pemerintah pusat, tidak sekadar peraturan daerah. Kabupaten konservasi memiliki cakupan luas. Dalam pelaksanaan di lapangan, nantinya akan bersentuhan dengan berbagai kepentingan beberapa institusi dan lembaga di luar Pemerintah Kabupaten Lebong itu sendiri,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar, menjawab pertanyaan Kompas di Muara Aman, ibu kota Lebong, pekan lalu.
Menurut Dalhadi, ide menjadikan Lebong sebagai kabupaten konservasi pada dasarnya terkait dengan kondisi geografis dan ketersediaan lahan budidaya di daerah ini.
Dari luas wilayah Lebong yang mencapai sekitar 192.924 hektar, sekitar 70% di antaranya terdiri atas hutan lindung, cagar alam, dan areal Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Khusus areal TNKS yang berada di wilayah Lebong luasnya mencapai sekitar 117.000 hektar.
”Jika melihat ketersediaan lahan yang layak untuk budidaya, Lebong hanya memiliki sekitar 30 persen saja. Sisanya merupakan kawasan hutan yang semestinya tidak boleh disentuh dan digarap. Menyadari akan terbatasnya lahan budidaya tersebut, maka kami usulkan Lebong ini menjadi kabupaten konservasi,” ujar Dalhadi Umar.
Dia mengemukakan, untuk mewujudkan kabupaten konservasi tersebut memang tidaklah mudah. Apalagi di tingkat daerah sendiri masih ada pro dan kontra. Di satu pihak ada yang mendukung, tetapi di lain pihak juga ada yang tidak setuju.
”Sebagai bupati saya tidak akan mundur dan merasa optimistis kabupaten konservasi bisa direalisasi. Meskipun dirasakan sebagai pilihan yang dilematik, kabupaten konservasi tetap menjadi alternatif paling tepat, guna menyelamatkan wilayah Lebong dari ancaman degradasi lingkungan yang parah di masa datang,” ujarnya.
Semua pihak
Menurut Dalhadi Umar, Lebong sebagai kabupaten konservasi tidak akan bisa diwujudkan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong sendiri. Obsesi ini harus didukung semua pihak, terutama berbagai institusi yang menangani langsung kawasan hutan di daerah ini.
Dalhadi memberi contoh soal keberadaan beberapa kawasan hutan di daerah itu. Hutan lindung dan cagar alam yang ada di Lebong ditangani Departemen Kehutanan.
Adapun TNKS ditangani oleh Kepala Balai yang berkedudukan di Sungaipenuh, Kabupaten Kerinci, Jambi.
Sementara di lapangan, ribuan hektar hutan lindung dan areal TNKS tersebut kini justru sudah berubah menjadi areal perladangan, yang digarap masyarakat secara turun-temurun sejak puluhan tahun lalu.
Berbagai kepentingan
”Atas dasar itulah, kami minta agar pemerintah pusat segera membuat payung hukum yang jelas dan tegas. Ini penting agar berbagai kepentingan di lapangan tidak berbenturan. Di satu pihak, misalnya, Balai TNKS menganggap para peladang dan petani penggarap harus dikeluarkan dari hutan itu,” ujar Dalhadi.
Akan tetapi, di pihak lain, seperti Pemkab Lebong sendiri menganggap jika para peladang dikeluarkan begitu saja dari sana malah akan menimbulkan masalah sosial. (zul)
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Dikembalikan ke DPR
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Anggota DPD asal Bengkulu, Muspani mengusulkan agar penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara dikembalikan kepada DPR, sebagai pembuat undang-undang pembentukan kedua kabupaten tersebut.
“Timbulnya sengketa itu, karena adanya tumpang tindih antara dua UU, yakni UU darurat No 4 tahun 1956 tentang pembentukan kabupaten di Sumatera Bagian Selatan yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara dan UU No 39 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang,” katanya di Bengkulu, Rabu.
Dalam UU darurat No 4 tahun 1956 dijelaskan kalau Kecamatan Giri Mulya masuk ke wilayah Bengkulu Utara, sementara berdasarkan UU No 39 tahun 2003, Giri Mulya masuk ke Lebong, kemudian namanya diubah menjadi Kecamatan Padang Beno.
Masalah tersebut timbul, karena UU No 39 tidak mencabut UU darurat No 4 itu, khususnya mengenai status Kecamatan Giri Mulya (Padang Beno).
Karena itu, klaim Bengkulu Utara atas wilayah tersebut sah karena memang sesuai UU, demikian juga dengan pengakuan Lebong yang mengaku kecamatan itu masuk wilayahnya benar kerena juga berdasarkan UU.
“Karena masalahnya ada pada uU, maka sebaiknya diserahkan kembali pada pembuat UU, tidak bisa hanya diselesaikan di daerah,” katanya.
Musapani juga menyerankan, agar bupati dari kedua kabupaten dapat menahan diri, dengan tidak melakukan kegiatan pembanguna di wilayah yang masih disengketakan.
Ia juga mengaku khawatir kalau masalah itu berlarut-larut dan tetap diupayakan penyelesaian di daerah akan menimbulkan konflik fisik antar masyarakat seperti yang terjadi pada masalah batas antara Rejang Lebong dengan Kepahiang.
Paska pemekaran wilayah di Provinsi Bengkulu, menyisahkan konflik perbatasan yakni antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara, Kepahiang-Rejang Lebong, Seluma-Bengkulu Selatan dan Kaur dengan Bengkulu Selatan.
Penyelesaiaan persoalan batas yang berlarut-larut telah memicu bentrokan yang berunjung pembacokan yang dilakukan oleh Kepala Desa Durian Depun SF dan anaknya No terhadap Ketua BPD Zulkarnain.
Peristiwa itu terjadi, Senin (22/1) sekitar pukul 15.30 WIB, dan berawal dari keinginan korban bersama sekitar 200 warga dari enam desa yang berada di perbatasan untuk memasang batas wilayah di pinggir sungai Ka.
Namun, ketika mereka akan menurunkan papan tapal batas dari atas truck, tiba-tiba muncul SF dan No, dengan parang terhunus mereka langsung mengejar Zulkarnain dan terjadilah pembacokan itu.
Ia juga menjelaskan, masalah batas Rejang Lebong-Kepahiang kini sudah diserahkan ke DPR, dan kemungkinan besar akan dilakukan perubahan terhadap UU No 39 tahun 2003.
Kebupaten Lebong dan Kepahiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. (kpl/rit)
DPD Usulkan Konflik Batas BU-Lebong
Anggota DPD asal Bengkulu, Muspani mengusulkan agar penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara dikembalikan kepada DPR, sebagai pembuat undang-undang pembentukan kedua kabupaten tersebut.
“Timbulnya sengketa itu, karena adanya tumpang tindih antara dua UU, yakni UU darurat No 4 tahun 1956 tentang pembentukan kabupaten di Sumatera Bagian Selatan yang menjadi dasar pembentukan Kabupaten Bengkulu Utara dan UU No 39 tahun 2003, tentang pembentukan Kabupaten Lebong dan Kepahiang,” katanya di Bengkulu, Rabu.
Dalam UU darurat No 4 tahun 1956 dijelaskan kalau Kecamatan Giri Mulya masuk ke wilayah Bengkulu Utara, sementara berdasarkan UU No 39 tahun 2003, Giri Mulya masuk ke Lebong, kemudian namanya diubah menjadi Kecamatan Padang Beno.
Masalah tersebut timbul, karena UU No 39 tidak mencabut UU darurat No 4 itu, khususnya mengenai status Kecamatan Giri Mulya (Padang Beno).
Karena itu, klaim Bengkulu Utara atas wilayah tersebut sah karena memang sesuai UU, demikian juga dengan pengakuan Lebong yang mengaku kecamatan itu masuk wilayahnya benar kerena juga berdasarkan UU.
“Karena masalahnya ada pada uU, maka sebaiknya diserahkan kembali pada pembuat UU, tidak bisa hanya diselesaikan di daerah,” katanya.
Musapani juga menyerankan, agar bupati dari kedua kabupaten dapat menahan diri, dengan tidak melakukan kegiatan pembanguna di wilayah yang masih disengketakan.
Ia juga mengaku khawatir kalau masalah itu berlarut-larut dan tetap diupayakan penyelesaian di daerah akan menimbulkan konflik fisik antar masyarakat seperti yang terjadi pada masalah batas antara Rejang Lebong dengan Kepahiang.
Paska pemekaran wilayah di Provinsi Bengkulu, menyisahkan konflik perbatasan yakni antara Kabupaten Lebong dengan Bengkulu Utara, Kepahiang-Rejang Lebong, Seluma-Bengkulu Selatan dan Kaur dengan Bengkulu Selatan.
Penyelesaiaan persoalan batas yang berlarut-larut telah memicu bentrokan yang berunjung pembacokan yang dilakukan oleh Kepala Desa Durian Depun SF dan anaknya No terhadap Ketua BPD Zulkarnain.
Peristiwa itu terjadi, Senin (22/1) sekitar pukul 15.30 WIB, dan berawal dari keinginan korban bersama sekitar 200 warga dari enam desa yang berada di perbatasan untuk memasang batas wilayah di pinggir sungai Ka.
Namun, ketika mereka akan menurunkan papan tapal batas dari atas truck, tiba-tiba muncul SF dan No, dengan parang terhunus mereka langsung mengejar Zulkarnain dan terjadilah pembacokan itu.
Ia juga menjelaskan, masalah batas Rejang Lebong-Kepahiang kini sudah diserahkan ke DPR, dan kemungkinan besar akan dilakukan perubahan terhadap UU No 39 tahun 2003.
Kebupaten Lebong dan Kepahiang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong. (kpl/rit)
Budaya ‘Kedurei Agung’ Lebong akan Jadi Agenda Wisata
Budaya ‘Kedurei Agung’ yang menjadi tradisi masyarakat Kabupaten Lebong, mulai tahun ini akan dibakukan untuk menjadi agenda wisata tahunan, karena peringatannya sama meriahnya dengan peringatan Tabot di Kota Bengkulu, kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lebong Drs Yustin Hendri.
Ketika ditanya di Bengkulu, Jumat (15/2), ia menjelaskan, ‘Kedurei Agung’ merupakan tradisi sakral dan peminatnya sudah cukup banyak, budaya itu biasanya digelar jika ada musibah sebagai tolak balak.
Namun ke depan kendati tak ada bencana, budaya itu tetap akan diperinggati secara rutin, hari dan waktunya masih dalam pembahasan Badan Musyawarah Adat setempat.
Dalam acara ‘Kedurei Agung’ itu biasanya digelar berbagai tarian adat (tari Kejei) dan lomba puisi bahasa Lebong, dengan hadiah menarik. Jika sudah dibakukan peringatan hari ‘Kedurei Agung’ itu akan lebih dibuat meriah.
Kalau selama ini peringatan hari budaya Lebong itu hanya dihadiri oleh para tokoh masyarakat, tahun depan akan mengundang para pejabat baik lokal maupun nasional sehingga lebih meriah.
Yustin mengatakan, untuk mendukung kegiatan budaya Kedurei Agung dan pembenahan beberapa obyek wisata di Kabupaten Lebong, sekarang tengah dilatih sekitar 14 klub sanggar seni yang melibatkan putri-putri cantik asli Lebong.
Para anak sanggar itu mulai tahun ini secara rutin berlatih di beberapa obyek wisata andalan antara lain di kawasan Danau Tes, air panas, dan air terjun di Sungai Putih serta pada kawasan Lobang Kacamata eks
pertambangan emas Belanda.
Budaya ‘Kedurei Agung’ merupakan acara sakral yang masih terpendam, namun cukup menarik, dan hanya diperingati satu kali dalam setahun.
‘Kedurai Agung’ selama ini dipercayai warga sebagai acara tolak balak jika terjadi musibah, seperti banjir, tanah longsor yang menelan korban jiwa, supaya ke depan tidak terulang, karena itu diperingati secara adat.
Menurut dia, pada tahun anggaran 2008 ini, Dinas Pariwisata Lebong juga mulai menawarkan beberapa lokasi wisata alam, tambang dan kawasan hutan belantara asli yang masih hijau, dengan target mendatangkan 100 ribu pengunjung wisatawan lokal dan nusantara. (Ant/OL-03)
Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan
Warga Hanya Dituntut Menjaga Keutuhan Hutan
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Permintaan warga di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat tidak muluk-muluk. Warga hanya ingin di desanya dibangun irigasi sehingga lahan telantar milik mereka di luar taman nasional dapat ditanami padi dua kali. Jika itu terwujud, merambah hutan tidak akan mereka lakukan lagi. Perambahan cukup sampai di lokasi sekarang ini.
Kami tidak akan merambah lagi. Buat apa? Kalau lahan bisa ditanami padi dua kali, penghasilan dari sawah pasti cukup, ujar Dodi, warga Kampung III, Desa Talang Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1,4 juta hektar, wilayahnya terdapat di empat provinsi, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Jambi. Taman nasional ini adalah yang terluas di Sumatera.
Warga Talang Donok hanyalah salah satu warga desa di sekitar TNKS yang berharap di desanya dibangun irigasi. Sebagian warga desa itu, seperti diakui oleh Kepala Desa Talang Donok, Muslich, selama ini memang hidup dengan merambah hutan.
Mereka menanam nilam dan tanaman lain seperti sayuran di lahan TNKS atau hutan lindung di sekitarnya. Mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Di desa ini ada sekitar 500 hektar lahan tidur milik warga yang bisa ditanami padi kalau ada irigasi. Sekitar 500 hektar lahan tidur lain di desa-desa tetangga juga bisa diairi. Warga Talang Donok dan desa tetangga saya pastikan tidak akan masuk dan membuka hutan lagi karena kebutuhan hidup bisa dicukupi dari tanaman padi, papar Muslich.
Warga Desa Seblat Ulu di Kecamatan Lebong Utara juga berharap sama. Mereka ingin pemerintah atau lembaga mana pun, termasuk TNKS, membantu membangun irigasi untuk mengairi 200 hektar lahan tidur di desa itu. Selama ini, seluruh warga desa yang terdiri atas 20 keluarga mengandalkan hidup dengan membuka hutan TNKS di sebelah desa untuk menanam nilam dan tanaman lain.
Seluruh warga desa ini merambah hutan TNKS. Kami tidak bisa berbuat lain karena lahan yang seharusnya bisa ditanami padi telantar karena tidak bisa diairi. Kami berharap dibangun irigasi di desa kami, papar Muhajir, Kepala Desa Seblat Ulu.
Kebutuhan irigasi di desa-desa di sekitar TNKS diakui Bupati Lebong Dalhadi Umar. Menurut dia, jika ada bantuan pembangunan irigasi tentu warga tidak akan merambah hutan lagi. Mereka akan bisa hidup dari tanaman padi atau palawija di tanah milik mereka sendiri.
Di Desa Talang Donok, warganya sudah lama berharap bantuan irigasi. Mereka berjanji tidak akan merambah hutan lagi jika lahan mereka bisa ditanami padi, ucap Dalhadi.
Untuk membangun irigasi dengan membendung sungai yang melintas di desa-desa itu, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Pemerintah daerah tidak mampu memenuhi keinginan itu terlebih lagi untuk Lebong yang baru berdiri sendiri sebagai daerah otonom dua tahun lalu.
Bantuan dari lembaga lain, termasuk badan-badan dunia yang menaruh perhatian terhadap pelestarian hutan paru-paru dunia, sangat dinantikan.
Selama bantuan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar taman nasional belum terwujud, jangan harap hutan bisa terus terjaga. Demi perut, hutan akan terus dirambah dan juga ditebang secara liar. Akibat aksi-aksi ilegal tersebut, kerusakan hutan di Indonesia terus terjadi dan beberapa tahun ini kian parah.
Terpaksa merambah
Degradasi hutan di Indonesia memang kian parah. Setiap tahun dua juta hektar lebih hutan lenyap akibat ditebang orang- orang yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan, termasuk nasib anak cucu mereka kelak.
Penebangan liar atau illegal logging dan perambahan hutan tak kunjung dapat dihentikan, bahkan ketika pemerintah gencar melakukan penertiban belakangan ini. Sebagian manusia yang rakus terus mengoyak hutan untuk mencari keuntungan besar sesaat. Sebagian lain melakukannya dengan terpaksa, juga atas nama nasib anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Kami terpaksa merambah hutan untuk menanam nilam. Kalau tidak begitu, dari mana saya mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tanah saya tidak bisa ditanami padi karena tidak ada air yang bisa mengairi, ujar Arpan, warga Desa Seblat Ulu.
Seblat Ulu adalah salah satu desa dari 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, salah satu hutan warisan dunia. Desa itu hanya bisa dijangkau dengan susah payah, baik dengan berjalan kaki selama tiga jam hingga empat jam dari desa terakhir yang bisa dijangkau mobil, atau dengan menggunakan ojek sepeda motor.
Seluruh warga desa yang berjumlah 120 keluarga telah lama hidup dengan merambah TNKS. Mereka menanam sayuran, dan tiga tahun ini nilam untuk menghidupi keluarga masing-masing. Tidak ada pilihan lain karena lahan milik warga di desa tidak bisa ditanami.
Warga Seblat Ulu dan juga Talang Donok adalah contoh dua desa 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, atau bagian dari 346 desa yang punya keterkaitan dengan TNKS. Mereka merambah hutan TNKS sekadar untuk membuka lahan dan menanam sayuran atau apa saja, yang hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi untuk keluarga.
Paru-paru dunia
Warga desa-desa di sekitar TNKS dan taman nasional lain, seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung dan Bengkulu, selalu dituding sebagai salah satu biang keladi kerusakan paru-paru dunia tersebut. Bersama para penebang liar yang hanya mencari kayu-kayu yang dapat dijual, para perambah selalu dipojokkan sebagai pelaku perusakan hutan.
Sudah lama warga dituntut pula agar turut menjaga taman nasional. Akan tetapi, apa yang bisa mereka lakukan jika bantuan untuk hidup mereka tak kunjung terwujud? Lantas ke mana mereka mengajukan bantuan tersebut selain kepada pemerintah daerah?
Saya tidak tahu apakah bisa meminta bantuan selain ke pemda (pemerintah daerah). Kalau ke pemda saya sudah berkali-kali mengajukan agar di sini dibangun irigasi, tetapi belum ada tanda-tanda terwujud, ujar Muslich pula.
Syamsul Bahri, Koordinator Pemangkuan Data TNKS, mengungkapkan, warga di sekitar TNKS sebenarnya bisa mengajukan permintaan batuan, tetapi tidak melalui pemerintah.
Bisa melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, dan kami dari TNKS nanti menyalurkannya ke lembaga-lembaga donor. Disetujui atau tidak bantuan itu, tergantung lembaga donor tersebut, paparnya.
Kepala Seksi TNBBS wilayah Krui, Achmad Sutardi menyebutkan pula, pihaknya pernah menyalurkan permohonan bantuan warga ke lembaga donor melalui LSM tersebut. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar ada permohonan yang dipenuhi.
Selain proyek ICDP (Integrated Conservation Development Project) di TNKS yang berakhir tahun 2002, rakyat yang bermukim di sekitar memang tidak mendapatkan apa-apa, selain hidup dengan lingkungan alam nan permai. Akan tetapi, jika kebutuhan perut belum terpenuhi, mereka pun bisa berbuat apa saja termasuk merambah hutan.
Potensi tambang
Kondisi itu pun dialami pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya berada di dalam taman nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu adalah salah satunya. Tujuh puluh persen dari wilayah Lebong seluas 192.924 hektar berada di dalam TNKS. Bayangkan, bagaimana kami bisa membangun daerah, ungkap Dalhadi Umar, Bupati Lebong.
Padahal, di dalam TNKS sana, potensi tambang yang besar begitu menggoda Pemerintah Kabupaten Lebong. Jika saja deposit tambang—terbesar emas—bisa digali, niscaya akan mampu menambah pendapatan asli daerah. Dari uang itulah sebagian pembangunan daerah (PAD) akan dibiayai.
Sebagai salah satu daerah yang juga akan diusulkan menjadi kabupaten konservasi, Lebong tentu saja harus turut serta menjaga TNKS. Dalhadi pernah menyatakan komitmen Pemkab Lebong untuk secara aktif menjaga paru-paru dunia TNKS tersebut.
Tidak ada ampun bagi para pencuri kayu, mereka harus diberantas. Saya menyebut mereka bukan penebang liar tetapi pencuri kayu, ujar Dalhadi.
Akan tetapi, tekadnya itu tentu saja akan menjadi sebuah dilema karena pemkab tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah PAD dari potensi tambang di dalam TNKS. Oleh karena itu, Dalhadi minta perhatian pemerintah pusat, melalui kerja sama antardepartemen, untuk mencarikan jalan keluar. Apalagi selama ini kompensasi atas peran daerah ikut menjaga taman nasional belum ada.
Misalnya, perlu dicarikan teknologi, bagaimana penambangan tetap bisa dilakukan dengan tidak merusak hutan, ujarnya menambahkan.
Bagaimana akhir dari berbagai persoalan itu, tinggal menunggu waktu. Namun, apa pun masalah yang ada, tentu saja tidak harus menabrak kepentingan lebih besar, yaitu tetap terjaganya paru-paru dunia seperti TNKS, TNBBS, taman nasional lain, dan hutan lindung di Tanah Air.
Di sisi lain, upaya menjaga kelestarian alam pun harus dipikirkan bersama oleh umat manusia di Bumi ini, termasuk mengikutkan rakyat yang hidup di sekitar taman nasional.
Bukankah Bumi milik bersama? Jika Bumi tidak dijaga dan dibiarkan terus rusak, niscaya akan berbuah musibah besar yang akan merugikan banyak manusia. (jos/iam)
Lebong Perlu Payung Hukum
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Permintaan warga di sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat tidak muluk-muluk. Warga hanya ingin di desanya dibangun irigasi sehingga lahan telantar milik mereka di luar taman nasional dapat ditanami padi dua kali. Jika itu terwujud, merambah hutan tidak akan mereka lakukan lagi. Perambahan cukup sampai di lokasi sekarang ini.
Kami tidak akan merambah lagi. Buat apa? Kalau lahan bisa ditanami padi dua kali, penghasilan dari sawah pasti cukup, ujar Dodi, warga Kampung III, Desa Talang Donok, Kecamatan Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dengan luas 1,4 juta hektar, wilayahnya terdapat di empat provinsi, yaitu Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Jambi. Taman nasional ini adalah yang terluas di Sumatera.
Warga Talang Donok hanyalah salah satu warga desa di sekitar TNKS yang berharap di desanya dibangun irigasi. Sebagian warga desa itu, seperti diakui oleh Kepala Desa Talang Donok, Muslich, selama ini memang hidup dengan merambah hutan.
Mereka menanam nilam dan tanaman lain seperti sayuran di lahan TNKS atau hutan lindung di sekitarnya. Mereka tidak punya pilihan lain untuk bertahan hidup.
Di desa ini ada sekitar 500 hektar lahan tidur milik warga yang bisa ditanami padi kalau ada irigasi. Sekitar 500 hektar lahan tidur lain di desa-desa tetangga juga bisa diairi. Warga Talang Donok dan desa tetangga saya pastikan tidak akan masuk dan membuka hutan lagi karena kebutuhan hidup bisa dicukupi dari tanaman padi, papar Muslich.
Warga Desa Seblat Ulu di Kecamatan Lebong Utara juga berharap sama. Mereka ingin pemerintah atau lembaga mana pun, termasuk TNKS, membantu membangun irigasi untuk mengairi 200 hektar lahan tidur di desa itu. Selama ini, seluruh warga desa yang terdiri atas 20 keluarga mengandalkan hidup dengan membuka hutan TNKS di sebelah desa untuk menanam nilam dan tanaman lain.
Seluruh warga desa ini merambah hutan TNKS. Kami tidak bisa berbuat lain karena lahan yang seharusnya bisa ditanami padi telantar karena tidak bisa diairi. Kami berharap dibangun irigasi di desa kami, papar Muhajir, Kepala Desa Seblat Ulu.
Kebutuhan irigasi di desa-desa di sekitar TNKS diakui Bupati Lebong Dalhadi Umar. Menurut dia, jika ada bantuan pembangunan irigasi tentu warga tidak akan merambah hutan lagi. Mereka akan bisa hidup dari tanaman padi atau palawija di tanah milik mereka sendiri.
Di Desa Talang Donok, warganya sudah lama berharap bantuan irigasi. Mereka berjanji tidak akan merambah hutan lagi jika lahan mereka bisa ditanami padi, ucap Dalhadi.
Untuk membangun irigasi dengan membendung sungai yang melintas di desa-desa itu, tentu membutuhkan biaya tidak sedikit. Pemerintah daerah tidak mampu memenuhi keinginan itu terlebih lagi untuk Lebong yang baru berdiri sendiri sebagai daerah otonom dua tahun lalu.
Bantuan dari lembaga lain, termasuk badan-badan dunia yang menaruh perhatian terhadap pelestarian hutan paru-paru dunia, sangat dinantikan.
Selama bantuan yang dapat meningkatkan taraf hidup warga sekitar taman nasional belum terwujud, jangan harap hutan bisa terus terjaga. Demi perut, hutan akan terus dirambah dan juga ditebang secara liar. Akibat aksi-aksi ilegal tersebut, kerusakan hutan di Indonesia terus terjadi dan beberapa tahun ini kian parah.
Terpaksa merambah
Degradasi hutan di Indonesia memang kian parah. Setiap tahun dua juta hektar lebih hutan lenyap akibat ditebang orang- orang yang tidak bertanggung jawab dengan masa depan, termasuk nasib anak cucu mereka kelak.
Penebangan liar atau illegal logging dan perambahan hutan tak kunjung dapat dihentikan, bahkan ketika pemerintah gencar melakukan penertiban belakangan ini. Sebagian manusia yang rakus terus mengoyak hutan untuk mencari keuntungan besar sesaat. Sebagian lain melakukannya dengan terpaksa, juga atas nama nasib anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Kami terpaksa merambah hutan untuk menanam nilam. Kalau tidak begitu, dari mana saya mendapat penghasilan untuk menghidupi keluarga. Tanah saya tidak bisa ditanami padi karena tidak ada air yang bisa mengairi, ujar Arpan, warga Desa Seblat Ulu.
Seblat Ulu adalah salah satu desa dari 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, salah satu hutan warisan dunia. Desa itu hanya bisa dijangkau dengan susah payah, baik dengan berjalan kaki selama tiga jam hingga empat jam dari desa terakhir yang bisa dijangkau mobil, atau dengan menggunakan ojek sepeda motor.
Seluruh warga desa yang berjumlah 120 keluarga telah lama hidup dengan merambah TNKS. Mereka menanam sayuran, dan tiga tahun ini nilam untuk menghidupi keluarga masing-masing. Tidak ada pilihan lain karena lahan milik warga di desa tidak bisa ditanami.
Warga Seblat Ulu dan juga Talang Donok adalah contoh dua desa 134 desa yang berbatasan langsung dengan TNKS, atau bagian dari 346 desa yang punya keterkaitan dengan TNKS. Mereka merambah hutan TNKS sekadar untuk membuka lahan dan menanam sayuran atau apa saja, yang hasilnya dapat dijual atau dikonsumsi untuk keluarga.
Paru-paru dunia
Warga desa-desa di sekitar TNKS dan taman nasional lain, seperti Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), di Lampung dan Bengkulu, selalu dituding sebagai salah satu biang keladi kerusakan paru-paru dunia tersebut. Bersama para penebang liar yang hanya mencari kayu-kayu yang dapat dijual, para perambah selalu dipojokkan sebagai pelaku perusakan hutan.
Sudah lama warga dituntut pula agar turut menjaga taman nasional. Akan tetapi, apa yang bisa mereka lakukan jika bantuan untuk hidup mereka tak kunjung terwujud? Lantas ke mana mereka mengajukan bantuan tersebut selain kepada pemerintah daerah?
Saya tidak tahu apakah bisa meminta bantuan selain ke pemda (pemerintah daerah). Kalau ke pemda saya sudah berkali-kali mengajukan agar di sini dibangun irigasi, tetapi belum ada tanda-tanda terwujud, ujar Muslich pula.
Syamsul Bahri, Koordinator Pemangkuan Data TNKS, mengungkapkan, warga di sekitar TNKS sebenarnya bisa mengajukan permintaan batuan, tetapi tidak melalui pemerintah.
Bisa melalui lembaga swadaya masyarakat lokal, dan kami dari TNKS nanti menyalurkannya ke lembaga-lembaga donor. Disetujui atau tidak bantuan itu, tergantung lembaga donor tersebut, paparnya.
Kepala Seksi TNBBS wilayah Krui, Achmad Sutardi menyebutkan pula, pihaknya pernah menyalurkan permohonan bantuan warga ke lembaga donor melalui LSM tersebut. Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar ada permohonan yang dipenuhi.
Selain proyek ICDP (Integrated Conservation Development Project) di TNKS yang berakhir tahun 2002, rakyat yang bermukim di sekitar memang tidak mendapatkan apa-apa, selain hidup dengan lingkungan alam nan permai. Akan tetapi, jika kebutuhan perut belum terpenuhi, mereka pun bisa berbuat apa saja termasuk merambah hutan.
Potensi tambang
Kondisi itu pun dialami pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya berada di dalam taman nasional. Kabupaten Lebong di Provinsi Bengkulu adalah salah satunya. Tujuh puluh persen dari wilayah Lebong seluas 192.924 hektar berada di dalam TNKS. Bayangkan, bagaimana kami bisa membangun daerah, ungkap Dalhadi Umar, Bupati Lebong.
Padahal, di dalam TNKS sana, potensi tambang yang besar begitu menggoda Pemerintah Kabupaten Lebong. Jika saja deposit tambang—terbesar emas—bisa digali, niscaya akan mampu menambah pendapatan asli daerah. Dari uang itulah sebagian pembangunan daerah (PAD) akan dibiayai.
Sebagai salah satu daerah yang juga akan diusulkan menjadi kabupaten konservasi, Lebong tentu saja harus turut serta menjaga TNKS. Dalhadi pernah menyatakan komitmen Pemkab Lebong untuk secara aktif menjaga paru-paru dunia TNKS tersebut.
Tidak ada ampun bagi para pencuri kayu, mereka harus diberantas. Saya menyebut mereka bukan penebang liar tetapi pencuri kayu, ujar Dalhadi.
Akan tetapi, tekadnya itu tentu saja akan menjadi sebuah dilema karena pemkab tidak bisa berbuat apa-apa untuk menambah PAD dari potensi tambang di dalam TNKS. Oleh karena itu, Dalhadi minta perhatian pemerintah pusat, melalui kerja sama antardepartemen, untuk mencarikan jalan keluar. Apalagi selama ini kompensasi atas peran daerah ikut menjaga taman nasional belum ada.
Misalnya, perlu dicarikan teknologi, bagaimana penambangan tetap bisa dilakukan dengan tidak merusak hutan, ujarnya menambahkan.
Bagaimana akhir dari berbagai persoalan itu, tinggal menunggu waktu. Namun, apa pun masalah yang ada, tentu saja tidak harus menabrak kepentingan lebih besar, yaitu tetap terjaganya paru-paru dunia seperti TNKS, TNBBS, taman nasional lain, dan hutan lindung di Tanah Air.
Di sisi lain, upaya menjaga kelestarian alam pun harus dipikirkan bersama oleh umat manusia di Bumi ini, termasuk mengikutkan rakyat yang hidup di sekitar taman nasional.
Bukankah Bumi milik bersama? Jika Bumi tidak dijaga dan dibiarkan terus rusak, niscaya akan berbuah musibah besar yang akan merugikan banyak manusia. (jos/iam)
Lebong Perlu Payung Hukum
September 18, 2007 oleh lebong, Kompas
Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan
Kabupaten Konservasi Tak Diperhatikan
September 2, 2007 oleh lebong , Kompas
Pemerintah Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang merupakan kabupaten konservasi, mendesak pemerintah pusat memberikan kompensasi terhadap upaya daerah untuk menjaga konservasi hutan. Selama ini daerah itu dituntut untuk menjaga hutan, tetapi tak ada arahan atau kompensasi dari pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Ketua Komisi II DPRD Lebong, Affan Jauhari, Selasa (10/4), mengatakan, hingga kini tidak ada bantuan apapun yang diterima Kabupaten Lebong. Padahal, sejak menjadi kabupaten konservasi tahun lalu, pemerintah kabupaten dituntut untuk melestarikan kawasannya.
Dia mempersoalkan UU No 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dinilai tidak mengayomi kabupaten konservasi. Undang-undang itu hanya mengatur dana bagi hasil pemerintah pusat dan daerah terhadap ekspolitasi sumber daya alam. Namun, tidak ada kompensasi terhadap daerah yang menjaga kelestarian sumber daya alam.
“Padahal, pemerintah kabupaten konservasi juga harus mencari dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ironisnya, upaya memelihara kelestarian hutan butuh biaya yang sangat besar, baik untuk pengamanan maupun sosialisasi agar masyarakat tidak merambah hutan,” kata Affan.
Ia mengkhawatirkan minimnya perhatian itu justru akan mendorong kabupaten konservasi untuk mengeksploitasi alam guna meningkatkan pendapatan daerah. Padahal, kelestarian hutan yang dirusak akan sangat membahayakan keseimbangan lingkungan.
Dari 198.000 hektar luas wilayah Kabupaten Lebong, sekitar 138.600 hektar atau 70 persen di antaranya merupakan kawasan konservasi. Dari luas areal konservasi itu, 15 persen merupakan hutan lindung, cagar alam 5 persen, dan 80 persen termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sementara itu, sekitar 90 persen penduduk wilayah itu hidup dari bertani.
“Pemerintah harus memberi panduan dan perhatian kepada kabupaten konservasi untuk mengelola lingkungan, tanpa mengabaikan pendapatan dan pembangunan,” katanya. (lkt)
September 2, 2007 oleh lebong , Kompas
Pemerintah Kabupaten Lebong, Bengkulu, yang merupakan kabupaten konservasi, mendesak pemerintah pusat memberikan kompensasi terhadap upaya daerah untuk menjaga konservasi hutan. Selama ini daerah itu dituntut untuk menjaga hutan, tetapi tak ada arahan atau kompensasi dari pemerintah pusat untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut.
Ketua Komisi II DPRD Lebong, Affan Jauhari, Selasa (10/4), mengatakan, hingga kini tidak ada bantuan apapun yang diterima Kabupaten Lebong. Padahal, sejak menjadi kabupaten konservasi tahun lalu, pemerintah kabupaten dituntut untuk melestarikan kawasannya.
Dia mempersoalkan UU No 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang dinilai tidak mengayomi kabupaten konservasi. Undang-undang itu hanya mengatur dana bagi hasil pemerintah pusat dan daerah terhadap ekspolitasi sumber daya alam. Namun, tidak ada kompensasi terhadap daerah yang menjaga kelestarian sumber daya alam.
“Padahal, pemerintah kabupaten konservasi juga harus mencari dana untuk penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Ironisnya, upaya memelihara kelestarian hutan butuh biaya yang sangat besar, baik untuk pengamanan maupun sosialisasi agar masyarakat tidak merambah hutan,” kata Affan.
Ia mengkhawatirkan minimnya perhatian itu justru akan mendorong kabupaten konservasi untuk mengeksploitasi alam guna meningkatkan pendapatan daerah. Padahal, kelestarian hutan yang dirusak akan sangat membahayakan keseimbangan lingkungan.
Dari 198.000 hektar luas wilayah Kabupaten Lebong, sekitar 138.600 hektar atau 70 persen di antaranya merupakan kawasan konservasi. Dari luas areal konservasi itu, 15 persen merupakan hutan lindung, cagar alam 5 persen, dan 80 persen termasuk kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Sementara itu, sekitar 90 persen penduduk wilayah itu hidup dari bertani.
“Pemerintah harus memberi panduan dan perhatian kepada kabupaten konservasi untuk mengelola lingkungan, tanpa mengabaikan pendapatan dan pembangunan,” katanya. (lkt)
Bumai Pat Petulai
BUMAI PAT PETULAI
Link: http://antonegypt.mutiply.com
Tentang Rejang
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu.Suku rejang diyakini berasal dari kerajaan maja pahit dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, kepahiang, sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan.
Suku rejang terbanyak menempati Kabupaten rejang Lebong dan kab. sekitarnya yang kini memekarkan diri menjadi kabupaten Rejang Lebong(induk), Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong. Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu.
Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni
Link: http://antonegypt.mutiply.com
Tentang Rejang
Suku Rejang adalah salah satu suku tertua di pulau Sumatera selain suku bangsa Melayu.Suku rejang diyakini berasal dari kerajaan maja pahit dan kemudian menyebar sampai ke daerah Lebong, kepahiang, sampai di tepi sungai ulu musi di perbatasan dengan Sumatera Selatan.
Suku rejang terbanyak menempati Kabupaten rejang Lebong dan kab. sekitarnya yang kini memekarkan diri menjadi kabupaten Rejang Lebong(induk), Kabupaten Lebong dan Kabupaten Kepahiang. Bila kita lihat dari dialek bahasa yang digunakan, sangat jelas perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa daerah di Sumatra lainnya dengan bahasa Rejang. Suku Rejang menempati Bengkulu Utara, Lebong dan di kabupaten Rejang Lebong. Suku ini merupakan terbesar di provinsi Bengkulu.
Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni
Dialek Lebong
Versi RMG Oleh Sabidin Ishak, Muara Aman
Adé ba duai basuak ngén si Matai Pat. Si Matai Pat yo, gén ne tun madeak si Matai Pat adé ba si temuan matai nak tukuk duai. Tapi kalaw tun kemliak matai ne o, kunai keuak coa ketén kerno si tenabaw ngen buk. Buk ne o ba kalaw si lok mengeliak si dapet maket. Ijai si, si Matai Pat yo, ting”ea ne nak daéra Pagar Ruyung. Uak si yo sebenea ne. Ijai si Matai Pat yo, si ijai rajo nak daéra Pagar Ruyung. A, do'o ba cerito si Matai Pat yo.
Pado do waktaw bilai si unu yo, si Dileak Pét yo, si yo lok menea Lebong yo jijai laut. Si lok menea Lebong yo jijay laut mako ba si mogoa makut pitok ngen musung. Terus si musung pitok. Do'o ba si becécér ba pitok yo menjijai Gunung Bukit Barisan. Gunung Bukit Barisan antaro gunung Bukit Barisan o adé ba benamo Gunung Sepikul. Gunung Sepikul yo kalaw padeak kémé pio adé ba Tebo Pabes ngén Tebo Tepuk. Nak pucak Tebo Tepuk o adé ba kes ne temot lok mengéwéa. Ijai waktaw si lok tembet nak Tungang, nak bioa unu, Tungang, Ulaw Du'es Tungang, si dong makut pitok nak unu Gunung Sepikul yo nano.
Jijai tun teko madeak, adé tun teko madeak, "Oi unu si Pait Dileak. Uku yo adé kelok ngen ko dié. Bedan ba kileak makut pitok o.
"Jano kelok nu?" padeak si Pait Dileak. "Uku adé sajai peting nien, utuk nu peting. Jano si peting?" padeak si Pait Dileak.
"Cerito yo kerno uku yo neluak tun magea ko, anok nu nak dasei matei."
"A, coa anok ku matei, a. Uleak ku kulo matei," padeak si Pait Dileak."
"Matei nien," padeak tun o. "Anok nu matei."
"A, coa, uleak kulo anok ku matei?" Si sakit coa, jano ngami udi madeak anok ku matei?"
A, jijai terus ba si beduai o sam“ut jawap. Padeak ne, si bi jengik ngen tun o. Tapi do'o si madeak, "Matei nien anok ku?"
A mako padeak semanei o, "Matei!"
A, temi'uk awei o bélék ba si moi umeak ne. A, si bélék moi umeak ne betemaw anok ne matei nien, saingo Gunung Sepikul o ba, di ati jijai. Si maket lok moi metis nak Tungang, bioa jano diyo nano, ulaw Du'es yo. A do'o ba gén ne Gunung Sepikul. Coa jijai si metis dan coa jijai ijai laut. Kalaw si metis do'o mako nenuak Lebong uyo, nenuak Cu'up yo, coa adé tingea manusio mako jijai laut.
A, si bélék. A si bélék o ba. Si Pait Dileak kemliak anok ne matei. Dan si coa jijai menea laut nak Lebong yo. A, sudo do'o, si bukti mako nadeak, Tebo Tepuk nak Gunung Sepikul yo nak das o adé penan datea. Penan datea dan adé butaw, butaw o penan ne temot. Penan ne temot si mengéwéa, mengéwéa ngen buluak pe'ing. Buluak pe'ing. Si mengéwéa kundei Tebo Tepuk. Penan ne mengéwéa nak Daneu Tés. Keuak ne mindi, coa ite nam madeak ke'uak, tapi waktaw o gén ne tun sidai, jolok ne tun beilmau. Aaa, di ba penan ne si mengéwéa o kundei Tebo Tepuk dan si mengéwéa nak Danaw Tés. Bies ne o adé gén ne buluak pe'ing, ataw padeak kémé pio buluak pe'ing kulo. A jijai do'o ba mako kémé madeak si o benamo Tebo Tepu.
Jijai pado suatu bilai si Matai Pat dapet kabar, sepasuak ne o si Pait Dileak adé gén ne tun madeak si Pait Dileak, gén ne tun jemolok si Pait Dileak. Mako tun jemolok si Pait Dileak. Jano gén nadeak ne pasti jijai, kecuali si midup barang gi matei, o coa jijai. Senupeak ne tun jijai butaw mako jijai butaw. Aaa, do'o ba si bejolok si Pait Dileak.
Ijai, ahir ne si o betemaw nak sadei Topos, gén ne daéra sadei Topos si betemaw duai basuak o. Si lok mujai ilmau, kegerot ilmaw ne duai basuak o. Si lok mujai gén ne si Pait dileak yo gén si Pait Dileak.
Ijai padeak si Matai Pat, "Wei! Pait Dileak, tun madeak ko si Pait Dileak. Uku adé ba si Matai Pat, uku gerot kulo, uku adé ba rajo nak daéra Pagar Ruyung, a. Ko adé ba rajo nak daéra Rejang Lebong. Jijai o uyo ite temrai kesidai te. Uyo api te dute. Ite kemnék pun nau. Sapei nak das o ite saling tejun. Kalaw uku tejun, ko temungaw nak beak," padeak si Matai Pat. "Kalaw ko tejun uku temungaw nak beak." Jijai ba si cerito ne o si Matai Pat yo.
Padeak si Pait Dileak, "Ko baé si Matai Pat! Ko tidoa dute nak beak, bé uku temjun ko kunei das pun nao o." A jijai o si meguling ba si Matai Pat nak beak o menukup. Jijai si Matai Pat menukup, tejun ba si Pait Dileak kunei das o. Aaa, si Pait Dileak tejun kunei das o. Mako waktaw si Pait Dileak tejun, dong melayang nak das, anu, si Matai Pat yo gemuling awok ne, melilai, mako coa si keno tenjun kunai si Pait Dileak.
Jijai o padeak si Matai Pat, "Uku coa keno tenjun nu. Ku'ang ko sidai. Uyo uku kulo temjun ko."
Jijai ngen adé ne o mako si coa keno si Matai Pat yo. Matai ne adé nak tukuk. Do'o si coa keno, laaa...dan si coa matei.
Aaa, sudo do'o dapet gilia ne, gilia ne yo. Si Pait Dileak tidoa menukup, mako tejun ba si Matai Pat. Si Pait Dileak coa dapet kemliak bawa tun tejun. Tejun, tepelat ba donok kedong ne saingo keno nak tumbuk ulaw jatung ne dan atei ne. Tegegea jatung ne, putus nyabai ne, putus. Matei ba si Pait Dileak.
Jijai si Pait Dileak matei, mako betawai ba tekarak-karak si Matai Pat yo. Si menang, beartai si sidai.
Tapi sudo do'o, si, kerno kebangaan ne si menang, si lok cemubo kemcep jano asai dileak Pait Dileak yo. Tun madeak si dileak ne yo, unu, pét. Jano si pét nien, jano si coa? Mako si, si gemulék si Pait Dileak dan si cubo menget ujung dileak nei didik. Si menget ujung dileak ne, mako matei ba kulo si Matai Pat. Kerno kepét dan kesidai kundei pado dileak si Pait Dileak mako matei ba si duai o.
Uyo kubua ne amen coa saleak adé nak Topos. Adé tun madeak nak daéra Pagar Ruyung. Do'o coa ku taw nien.
Do'o ba cerito ne. 2008-02-28
Bitter TonguePRIVATE
Bitter TonguePRIVATE
Dileak Pet English
There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)
Dileak Pet English
There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)
Si Raja Tidur
Adik-adik, Putri Raja dalam berbagai cerita memang suka meminta banyak syarat yang aneh. Tidak sembarang calon bisa menikahi putri raja. Jangankan Pangeran, pengawal kepercayaan Putri saja harus didapat dengan seleksi ketat! Dulu di Tanah Betawi, Mirah, pendekar perempuan dari Marunda hanya mau menikah dengan seorang pendekar yang bisa mengalahkannya. Pendekar itu bukan sembarang pendekar. Mirah kan jagoan terkenal di Betawi pada zamannya. Nah, kali ini Paman Gery mau mengajak adik-adik pergi ke Bengkulu di Pulau Sumatera. Di sana kita akan bertemu dengan seorang putri cantik anak Raja Jungur yang arif dan bijak. Putri Serindu namanya. Sekarang ia sudah dewasa dan Raja Jungur mau seorang pengawal selalu mengawalnya. Pengawal itu akan digaji sangat besar. Tapi, Putri Serindu punya syarat sendiri. Asal tahu saja, Putri Serindu sangat jago berkuda dan rajin bekerja. Siapakah pengawal yang akan ia pilih?
"Oh, indah benar batu permata... Makin digosok, makin bersinar rupanya... Sudah besar Serindu kita... Makin menawan siapa yang meliriknya...," Raja Jungur bernyanyi dengan suara tebal.
"Ayah, jangan begitu. Putri Ayah sudah besar, masih diledek saja!" ujar Putri Serindu sambil tersenyum.
"Hahaha .. putriku, putriku! Kau itu belum pantas disebut dewasa, tapi juga tidak pantas lagi dikatakan putri kecil," kata Raja Jungur.
"Dengar Ayah, kuda putihku telah memanggil-manggil. Mungkin ia rindu kuajak berjalan-jalan, mencari tupai loncat-loncat di dalam hutan!" sahut Putri Serindu.
"Tidak tidak. Kau masih ingat peristiwa kemarin! Anak panah ikut berlari mengikutimu dari belakang. Sudah Ayah cium, ternyata ujung anak panah itu beracun!" kata Raja Jungur.
"Tapi, Ayah! Semua anak panah itu sudah kutebas dengan pedangku!" sahut Putri Serindu.
Itulah Putri Serindu adik-adik. Putri pemberani dari Bengkulu. Sejak kecil, seekor kuda putih besar sudah menjadi tunggangannya sehari-hari. Pedang adalah mainannya sejak pagi hingga malam hari. Ayahnya, Raja Jungur, sangat sayang pada putri kandung satu-satunya.
"Tanah Rejang yang Ayah pimpin sangat luas dan kaya hasil alam, Serindu. Banyak kerajaan lain yang ingin menjajah kita," kata Raja Jungur.
"Lalu, Ayah mau terus melarangku keluar istana?" tanya Putri Serindu tidak terimma.
Raja Jungur sadar, ia tidak mungkin melarang putri kesayangannya pergi. Satu-satunya jalan untuk membuat ia tidak khawatir adalah menunjuk satu pengawal kepercayaan untuk menjaga Puteri Serindu.
"Hahaha, jangan, jangan melipat muka seperti itu, Serindu. Ayah tak berani melarang-larang kau keluar. Aku hanya ingin kau dijaga seorang pengawal!" jawab Raja Jungur.
"Aku tak mau dikawal sembarang pengawal, Ayah!" sahut Putri Serindu sambil cemberut.
"Hahaha, tentu, tentu! Semuanya kuserahkan padamu, Putriku. Pilihlah pengawal terbaik untuk menjagamu," kata Raja Jungur.
Sejak kecil, Putri Serindu jarang sekali diperingatkan dan dilarang-dilarang oleh sang ayah. Segala keinginannya pasti dipenuhi. Makanya ia langsung cemberut ketika ayahnya melarang ia ke luar istana.
"Ayah benar! Apa jadinya bila anak panah di hutan waktu itu, mengenai leherku!" kata Putri Serindu dalam lamunannya.
"Gruduk, gruduk...," suara langkah kuda.
"Tupai, itu ada Tupai kecil di sana, Hulubalang!" sahut Putri Serindu senang.
"Tunggu, tunggu, Tuan Putri! Tunggu! Jangan, jangan ke sana, tunggu!" Hulubalang berteriak mencegah Putri Serindu.
"A... aaauuuh...!!" teriak Putri Serindu.
"Putrriiiii iii...," Hulubalang berteriak histeris.
"Untung saja Tupai itu juga tidak terkena anak panah! Kalau begitu, besok akan kuumumkan siapakah yang berhak menjadi pengawal terbaikku?" sahut Putri Serindu.
"Tuan Putri Serindu tiba. Salam hormat, angkat senjata, grak!" sahut Hulubalang memberi aba-aba.
"Bagaimana Putriku? Siapa yang harus Hulubalang cari untuk mengawalmu sepanjang hari? Ayah khawatir, Nak. Ayah takut kau celaka!" tanya Raja Jungur.
Setelah semalam Puteri Serindu tidur terbayang-bayang peristiwa serangan anak panah, ia datang menghadap ayahnya membawa satu persyaratan. Persyaratan mengenai siapa yang berhak menjadi pengawal terbaiknya.
"Aku sudah memutuskan, Ayah. Aku hanya pantas dikawal oleh seorang... Raja Tidur!" Putri Serindu berseru.
"Seorang Raja Tidur, Putriku?" tanya Raja Jungur.
Sebenarnya banyak sekali pasukan Raja Jungur yang berpengalaman yang bersedia mengawal Putri Serindu. Tapi, semua pasukan termasuk Hulubalang heran, apa maksud Tuan Putri? Mengapa ia mencari Si Raja Tidur sebagai pengawal terbaiknya?
"Baiklah, aku akan mengadakan sayembara. Siapa saja yang bisa tidur paling lama, dialah yang kunobatkan sebagai Raja Tidur. Dan dialah yang akan menjadi pengawal anakku sepanjang hari dan ia berhak atas upah yang besar!" kata Raja Jungur.
Kuda Hulubalang telah berlari cepat. Terompetnya telah ditiup dan terdengar sampai ke pelosok kampung. Hulubalang mencari siapakah Raja Tidur yang diinginkan Putri Serindu? Siapakah Raja Tidur pengawal Putri? Jangan lewatkan dongeng pagi berikutnya ya...
Adik-adik, siapakah Raja Tidur yang dipilih Putri Serindu? Kali ini Paman Gery akan melanjutkan kisah Putri Serindu, di Dongeng Pagi yang lalu meminta Raja Tidur-lah yang pantas menjadi pengawal terbaiknya. Raja Jungur telah mengutus hulubalang untuk menyebarkan sayembara mencari Raja Tidur. Aneh ya adik-adik, mengapa ya Putri Serindu memilih Raja Tidur sebagai pengawalnya?
”Pengumuman, pengumuman! Siapa yang paling lama bisa tidur?! Dia akan diangkat menjadi Raja Tidur. Dan dialah yang berhak menjadi pengawal terbaik Putri Serindu!” sahut Hulubalang.
"Tugas mengawal putri sangatlah berat, wahai Hulubalang. Apakah Raja akan menjamin rakyatnya yang berhasil tertidur, hidup dengan layak?" tanya Udin, pengemis lusuh yang biasa meminta-minta di keramaian kota.
"Raja sangat sayang pada putrinya. Dia akan menggaji besar pada siapa yang berhasil memenuhi keinginan Putri Serindu!" sahut Hulubalang.
"Hoahmm... Lalu bagaimana bila pengawal itu lapar?" tanya Midun penduduk yang lain.
"Raja akan memberikan hidangan lezat yang begitu melimpah setiap hari!" sahut hulubalang lagi.
Adik-adik, banyak orang berbondong-bondong mengikuti sayembara itu. Ada Udin, pengemis lusuh yang biasa meminta-minta di keramaian kota.
"Kau juga ikut Dun? Midun?" tanya Udin.
"Iya, Din nyam, nyam, aku ingin makan ayam enak setiap hari! Nyam, nyam, nyam! Kalau soal tidur sih, keciil...," kata Midun.
"Kalau begitu, sekalian ya! Daftarin aku Dun, tolong tuliskan namaku," pinta Udin.
Nah, adik-adik, Si Udin itu pengemis yang suka berbicara ‘sekalian ya’. Setiap memulai pekerjaan, Udin selalu mengharapkan bantuan orang lain. Kalau Midun. Badannya besar, makannya juga besar.
"Selamat datang wahai rakyat Tanah Rejang! Sampai ayam jago berkokok ketika matahari menjelang, Putriku akan memutuskan siapakah di antara kalian yang berhak menjadi Raja Tidur! Dialah yang berhak menjadi pengawal terbaik Serindu," sambut Raja Jungur.
Dalam lapangan luas di depan beranda tempat Raja Jurung berleha-leha, banyak rakyat Tanah Rejang yang berusaha tertidur pulas. Midun yang berbadan besar membawa kasur berukuran raksasa dari rumahnya.
"Dun, uh, uh, geser dong! Aku juga mau tidur nih! Geser dong!" sahut Udin.
"Uuh Din! Apa kau tak punya kasur sendiri! Kan kau tahu badanku besar!" ujar Midun.
"Aah Midun! Aku malas membawa kasur sendiri! Sekalian aja ya Dun! Sekalian aku tidur di kasurmu. Geser sedikit lagi dong Midun!" sahut Udin.
"Uuuh... tuh sudah ya Din. Jangan ganggu aku! Aku ngantuk... hoahmm...," kata Midun.
Seperti harapan Putri Serindu, di lapangan istana terhampar banyak penduduk Tanah Rejang yang tertidur pulas. Tapi, di antara banyak calon peserta, ada seorang pemuda yang bermana Anak Lumang. Sehari-hari ia suka membuat bubu, yaitu tempat ikan dari bambu.
"Aku ingin sekali menjadi pengawal putri dan mendapat banyak uang dari raja. Tapi, besok pasti pelanggan setiaku kecewa karena aku belum membuat bubu pesanannya," kata Anak Lumang.
Dari bubu yang ia jual di pasar-lah, Anak Lumang bisa mendapat uang untuk makan sehari-hari. Namun, Anak Lumang punya akal. Ia akan membuat bubu dulu sebelum tertidur pulas.
"Pasti enak sekali rasanya tertidur pulas. Apa sih sebenarnya mau Putri Serindu? Mengapa ia memilih pengawal yang pandai tertidur?" tanya Anak Lumang.
Ketika banyak peserta lain tertidur nyenyak, Anak Lumang malah terjaga. Ia meraut bambu menjadi seperti lidi dan diikatnya satu persatu dengan tali rotan.
"Untung kubawa semua perangkat dalam beronang. Uh... sedikit lagi selesai, baru aku bisa tidur," kata Anak Lumang.
Kali ini Anak Lumang mau membuat bubu yang besar, indah dan rapi. Tempat ikan berbahan bambu itu sudah dipesan Ajo Arif, seorang nelayan dari negeri sebrang. Parang, pisau, rotan, semua peralatan yang ia butuhkan untuk membuat bubu, Anak Lumang taruh dalam beronang, sejenis keranjang yang dibawa dengan cara digendong di belakang, dan talinya dikaitkan ke kepala.
"Dun, Dun, mau apa sih anak itu Dun? Bukannya tidur malah berisik! Dun, Dun...," tanya Udin.
Udin tidak bisa tidur. Rasanya lebih banyak nyamuk malam itu yang terus menggigitnya. Dan suara-suara yang muncul ketika Anak Lumang bekerja, membuat ia terus terjaga.
"Nah, sekarang selesai. Ajo Arif pasti senang dengan Bubu besar ini. Rasanya seratus ikan payau muat saja dimasukkan ke dalamnya. Hoahmm...," kata Anak Lumang.
Ketika ayam jago berkokok, Shubuh menjelang, barulah pekerjaan Anak Lumang selesai. Digantungkannya bubu itu di tiang dekat tempat ia tidur. Indah sekali hasilnya. Setelah ia membersihkan sampah bekas membuat bubu dan semua perlengkapannya ke dalam beronang, barulah Anak Lumang tertidur dengan pulas.
"Indah sekali Bubu itu! Waah... Siapa, siapa pembuat bubu itu pengawal?" tanya Putri Serindu.
"Hoamm... pembuat bubu itu anak yang tidak tidur sepanjang malam, Putri. Dia sih bukan Raja Tidur! Dia tidak bisa tidur dan terus bekerja sepanjang malam," jawab Udin.
"Baiklah. Kalau begitu, aku sudah menetapkan pilihan," kata Putri Serindu.
Siapa ya yang akan Putri Serindu pilih? Yang tertidur pulas malam tadi kan hanya Udin dan Midun. Bahkan sampai sekarang Midun masih tertidur.
"Wahai rakyat Tanah Rejang, aku sudah menetapkan pilihan. Yang terpilih menjadi pengawal terbaikku adalah.... Anak Lumang," kata Putri Lumang.
"Mengapa Anak Lumang yang terpilih? Bukankah ia tidak tidur semalaman Putri?" tanya Udin kecewa.
"Dengalah rakyat Tanah Rejang, Raja Tidur yang kucari bukanlah pemuda yang benar-benar senang dalam pulasnya tidur. Tapi, ia-lah yang suka bekerja, dan rajin sehingga ketika tiba waktu tidur, ia tidur dengan sangat nyenyak. Dialah Anak Lumang, pengawal terbaik yang kucari," jawab Putri Serindu.
Memang pantas Anak Lumang menjadi pengawal terbaik Putri Serindu. Putri yang selalu giat bekerja dan senang berpetualang itu membutuhkan pengawal hebat. Anak Lumang bahkan jarang tertidur pulas. Ia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan kuda putih putri sebelum matahari menampakkan diri.
"Kuda putihmu tidak sabar untuk kau bawa berpetualang pagi ini, Putri," kata Anak Lumang.
"Terima kasih Anak Lumang. Mungkin kau tak mengerti, tapi kuda putih ini tadi meringkik karena ingin berterima kasih kepadamu. Aku pergi!" sahut Putri Serindu.
Anak Lumang tak lagi hidup susah. Karena ia rajin dan giat bekerja seperti Putri Serindu, Raja Jungur tak segan-segan memberinya imbalan melimpah. Kini, selain menjadi pengawal putri, Anak Lumang adalah saudagar tersohor di pesisir Barat Bengkulu.
[Dongeng ini persembahan FeMale Radio]
http://femaleradio.net/
2008-02-28
Bitter TonguePRIVATE
Bitter TonguePRIVATE
Dileak Pet English
There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)
Dileak Pet English
There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)
Si Pahit Lida
SI PAHIT LIDAH
Dileak Pet Bahasa Version RMG
(Menurut cerita, si Pahit Lidah itu kalau lihat tidak apa-apa tapi kata-katanya yang pahit).
Pahit Dileak atau si Pahit Lidah dan si Mata Empat bersaudara. Si Mata Empat ini mempunyai dua buah mata yang lain di tengkuknya. Tapi dari jauh, orang tidak bisa lihat matanya itu karena tertutup rambut. Jadi kalau dia mau melihat, rambutnya diangkat. Si Mata Empat ini menjadi raja di daerah Pagaruyung, yang sebenarnya jauh dari sini. Demikianlah cerita tentang si Mata Empat.
Suatu hari, si Pahit Lidah ingin membuat Lebong menjadi laut. Jadi dia mengangkut tanah dan diusungnya, tapi tanah itu jatuh berceceran dan menjadi gunung Bukit Barisan. Di antara Bukit Barisan itu ada gunung yang bernama gunung Sepekul yang kalau di sini disebut bukit Kabes dengan bukit Tepuk. Di puncak bukit Tepuk ini ada bekasnya mencari ikan (=mengail?) ketika dia mau membuat kolam/tebat di sungai Tunggang, hulu Du'es Tunggang. Waktu dia sedang mengangkut tanah di gunung Sepikul tadi, ada yang datang dan mengatakan, "Hai, si Pahit Lidah, saya ada perlu denganmu. Berhenti dulu!"
"Kau perlu apa," tanya si Pahit Lidah?
"Ini penting sekali," katanya.
"Apa yang penting," kata si Pahit Lidah?
"Saya disuruh orang memanggilmu, karena anakmu di rumah meninggal."
"Ah, mana bisa anak saya meninggal, dan mengapa dia bisa meninggal?"
"Betul, dia sudah tidak ada lagi."
"Ah, tidak mungkin. Dia tidak sakit, mengapa kau mengatakan bahwa dia sudah tidak ada?" Mereka terus berdebat. Si Pahit Lidah sudah tidak senang orang ini. Tapi akhirnya (=do'o? --not clear) dia mengatakan, "Anak saya betul-betul meninggal?"
Jawab laki-laki itu, "Meninggal!" Pulanglah Pahit Lidah ke rumahnya dan menemukan anaknya betul sudah meninggal. Karena itulah gunung Sepikul itu tanahnya belum diangkut untuk menutupi sungai Tunggang, di hulu Ulau Du'es ini. Karena itulah namanya gunung Sepikul yang tidak tertutup ataupun menjadi laut. Kalau ditutupinya itu, dipenuhinya Lebong dan Curup ini, maka tempat ini tidak bisa dihuni oleh manusia karena telah menjadi laut. Kepergiannya untuk melihat anaknya yang meninggal menyebabkan dia tidak jadi membuat laut di Lebong ini. Buktinya ada yaitu di bukit Tepuk di gunung Sepikul ini ada tempat datar dan ada juga batu tempat duduknya si Pahit Lidah waktu dia mengail dengan bambu betung. Dengan bambu betunglah dia mengail di bukit Tepuk di danau Tes. Tempat itu jauh di sana, tidak tahu kita bagaimana mengatakan jauhnya tapi tempat itu keramat atau disebut orang juga 'berilmu'. Jadi di sanalah dia mengail dulu, di bukit Tepuk di danau Tes dengan memakai bambu betung. Itulah sebabnya sehingga tempat itu bernama Bukit Tepuk.
Pada suatu hari, si Mata Empat mendengar bahwa saudaranya si Pahit Lidah itu dipanggil orang si Pahit Lidah sebab apapun yang dikatakannya pasti jadi, kecuali menghidupkan orang mati. Kalau dia menyumpahi orang menjadi batu maka orangpun menjadi batu, sehingga dia dijuluki si Pahit Lidah. Akhirnya di dusun Tapos, kedua saudara itu bertemu untuk menguji kesaktian ilmu masing-masing. Kedua saudara itu memang tinggi ilmunya. Si Mata Empat ingin tahu mengapa si Pahit Lidah disebut si Pahit Lidah. Jadi dia berkata, "Hai Pahit Lidah, kata orang kau pahit lidahnya. Saya si Mata Empat juga jagoan. Saya adalah raja di daerah Pagaruyung dan kau adalah raja daerah Rejang-Lebong. Sekarang kita mencoba siapa yang lebih ampuh ilmunya. Sekarang begini caranya," katanya. "Salah satu dari kita memanjat pohon enau, yang lainnya di bawah kemudian memanjat bergantian. Setibanya di atas pohon, dia terjun ke bawah di atas orang yang lagi tunggu itu," kata Mata Empat.
Keduanya setuju dengan peraturan itu. Si Pahit Lidah pun berkata, "Mata Empat, kau tidur dulu di bawah dan saya yang akan terjun dari atas pohon enau itu." Jadi si Mata Empat berbaring tertelungkup dan terjunlah si Pahit Lidah dari atas pohon. Waktu si Pahit Lidah sudah terjun dan semasih dia melayang, si Mata Empat berguling menjauh sehingga si Pahit Lidah tidak jatuh di atasnya. Kata si Mata Empat, "Kau terjun tidak kena saya, jadi kau kurang sakti. Sekarang giliran saya untuk terjun di atasmu." Sebenarnya si Mata Empat tidak kena karena dia bisa melihat dengan matanya yang di kuduknya itu. Jadi dia tidak mati. Sesudah itu gilirannya si Pahit Lidah. Dia menelungkup lalu terjunlah si Mata Empat. Si Pahit Lidah tidak dapat melihat si Mata Empat waktu dia terjun sehingga si Mata Empat dapat menginjak punggungnya tepat di tengah dan mengenai ulu hati dan jantungnya. Jantungnya berpindah dan putuslah nyawanya. Matilah si Pahit Lidah.
Si Mata Empat tertawa terbahak-bahak karena dia yang menang, jadi dia yang lebih sakti. Namun karena kebanggaannya itu dia mau mencicipi bagaimana rasanya lidah si Pahit Lidah. Kata orang lidahnya pahit, tapi apa betul-betul pahit dia, tidak tahu. Kemudian dia membalik si Pahit Lidah dan mencoba menggigit ujung lidahnya sedikit. Setelah tergigit, matilah si Mata Empat karena lidahnya pahit dan juga bertuah. Jadi matilah keduanya.
Sekarang kuburannya kalau tidak salah di Tapos, tapi kata orang ada di Pagaruyung. Saya tidak tahu betul tentang hal itu. Begitulah ceritanya. augie suribory. 4/29/88 *9:40 A.M.
Dileak Pet Bahasa Version RMG
(Menurut cerita, si Pahit Lidah itu kalau lihat tidak apa-apa tapi kata-katanya yang pahit).
Pahit Dileak atau si Pahit Lidah dan si Mata Empat bersaudara. Si Mata Empat ini mempunyai dua buah mata yang lain di tengkuknya. Tapi dari jauh, orang tidak bisa lihat matanya itu karena tertutup rambut. Jadi kalau dia mau melihat, rambutnya diangkat. Si Mata Empat ini menjadi raja di daerah Pagaruyung, yang sebenarnya jauh dari sini. Demikianlah cerita tentang si Mata Empat.
Suatu hari, si Pahit Lidah ingin membuat Lebong menjadi laut. Jadi dia mengangkut tanah dan diusungnya, tapi tanah itu jatuh berceceran dan menjadi gunung Bukit Barisan. Di antara Bukit Barisan itu ada gunung yang bernama gunung Sepekul yang kalau di sini disebut bukit Kabes dengan bukit Tepuk. Di puncak bukit Tepuk ini ada bekasnya mencari ikan (=mengail?) ketika dia mau membuat kolam/tebat di sungai Tunggang, hulu Du'es Tunggang. Waktu dia sedang mengangkut tanah di gunung Sepikul tadi, ada yang datang dan mengatakan, "Hai, si Pahit Lidah, saya ada perlu denganmu. Berhenti dulu!"
"Kau perlu apa," tanya si Pahit Lidah?
"Ini penting sekali," katanya.
"Apa yang penting," kata si Pahit Lidah?
"Saya disuruh orang memanggilmu, karena anakmu di rumah meninggal."
"Ah, mana bisa anak saya meninggal, dan mengapa dia bisa meninggal?"
"Betul, dia sudah tidak ada lagi."
"Ah, tidak mungkin. Dia tidak sakit, mengapa kau mengatakan bahwa dia sudah tidak ada?" Mereka terus berdebat. Si Pahit Lidah sudah tidak senang orang ini. Tapi akhirnya (=do'o? --not clear) dia mengatakan, "Anak saya betul-betul meninggal?"
Jawab laki-laki itu, "Meninggal!" Pulanglah Pahit Lidah ke rumahnya dan menemukan anaknya betul sudah meninggal. Karena itulah gunung Sepikul itu tanahnya belum diangkut untuk menutupi sungai Tunggang, di hulu Ulau Du'es ini. Karena itulah namanya gunung Sepikul yang tidak tertutup ataupun menjadi laut. Kalau ditutupinya itu, dipenuhinya Lebong dan Curup ini, maka tempat ini tidak bisa dihuni oleh manusia karena telah menjadi laut. Kepergiannya untuk melihat anaknya yang meninggal menyebabkan dia tidak jadi membuat laut di Lebong ini. Buktinya ada yaitu di bukit Tepuk di gunung Sepikul ini ada tempat datar dan ada juga batu tempat duduknya si Pahit Lidah waktu dia mengail dengan bambu betung. Dengan bambu betunglah dia mengail di bukit Tepuk di danau Tes. Tempat itu jauh di sana, tidak tahu kita bagaimana mengatakan jauhnya tapi tempat itu keramat atau disebut orang juga 'berilmu'. Jadi di sanalah dia mengail dulu, di bukit Tepuk di danau Tes dengan memakai bambu betung. Itulah sebabnya sehingga tempat itu bernama Bukit Tepuk.
Pada suatu hari, si Mata Empat mendengar bahwa saudaranya si Pahit Lidah itu dipanggil orang si Pahit Lidah sebab apapun yang dikatakannya pasti jadi, kecuali menghidupkan orang mati. Kalau dia menyumpahi orang menjadi batu maka orangpun menjadi batu, sehingga dia dijuluki si Pahit Lidah. Akhirnya di dusun Tapos, kedua saudara itu bertemu untuk menguji kesaktian ilmu masing-masing. Kedua saudara itu memang tinggi ilmunya. Si Mata Empat ingin tahu mengapa si Pahit Lidah disebut si Pahit Lidah. Jadi dia berkata, "Hai Pahit Lidah, kata orang kau pahit lidahnya. Saya si Mata Empat juga jagoan. Saya adalah raja di daerah Pagaruyung dan kau adalah raja daerah Rejang-Lebong. Sekarang kita mencoba siapa yang lebih ampuh ilmunya. Sekarang begini caranya," katanya. "Salah satu dari kita memanjat pohon enau, yang lainnya di bawah kemudian memanjat bergantian. Setibanya di atas pohon, dia terjun ke bawah di atas orang yang lagi tunggu itu," kata Mata Empat.
Keduanya setuju dengan peraturan itu. Si Pahit Lidah pun berkata, "Mata Empat, kau tidur dulu di bawah dan saya yang akan terjun dari atas pohon enau itu." Jadi si Mata Empat berbaring tertelungkup dan terjunlah si Pahit Lidah dari atas pohon. Waktu si Pahit Lidah sudah terjun dan semasih dia melayang, si Mata Empat berguling menjauh sehingga si Pahit Lidah tidak jatuh di atasnya. Kata si Mata Empat, "Kau terjun tidak kena saya, jadi kau kurang sakti. Sekarang giliran saya untuk terjun di atasmu." Sebenarnya si Mata Empat tidak kena karena dia bisa melihat dengan matanya yang di kuduknya itu. Jadi dia tidak mati. Sesudah itu gilirannya si Pahit Lidah. Dia menelungkup lalu terjunlah si Mata Empat. Si Pahit Lidah tidak dapat melihat si Mata Empat waktu dia terjun sehingga si Mata Empat dapat menginjak punggungnya tepat di tengah dan mengenai ulu hati dan jantungnya. Jantungnya berpindah dan putuslah nyawanya. Matilah si Pahit Lidah.
Si Mata Empat tertawa terbahak-bahak karena dia yang menang, jadi dia yang lebih sakti. Namun karena kebanggaannya itu dia mau mencicipi bagaimana rasanya lidah si Pahit Lidah. Kata orang lidahnya pahit, tapi apa betul-betul pahit dia, tidak tahu. Kemudian dia membalik si Pahit Lidah dan mencoba menggigit ujung lidahnya sedikit. Setelah tergigit, matilah si Mata Empat karena lidahnya pahit dan juga bertuah. Jadi matilah keduanya.
Sekarang kuburannya kalau tidak salah di Tapos, tapi kata orang ada di Pagaruyung. Saya tidak tahu betul tentang hal itu. Begitulah ceritanya. augie suribory. 4/29/88 *9:40 A.M.
BENTENG FORT MARBOROUGH
BENTENG FORT MARBOROUGH
by: dpr.go.id
Pendidikan sejarah di bangku sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang tergolong penting bagi semua siswa. Mata pelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai dasar pengenalan siswa akan sejarah bangsanya. Alur sejarah maupun tempat bersejarah Indonesia yang ada sejak zaman kerajaan hingga perjuangan merebut kemerdekaan tidak boleh hilang ditelan waktu.
Salah satu peninggalan bersejarah bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan adalah Benteng Fort Marborough di Bengkulu. Keberadaan benteng ini sampai sekarang jarang diketahui masyarakat meskipun perannnya sangat penting pada masa itu.
Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi X DPR yang membidangi Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Pariwisata, Perpustakaan serta Pemuda dan Olahraga dalam Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2007-2008 melakukan Kunker ke Provinsi Bengkulu. Tim yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno menemukan kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap Benteng Fort Marborough.
Dalam Kunker tersebut, Ketua Tim Irwan Prayitno (F-PKS) menilai pendidikan di SD dan SMP di seluruh Indonesia harus ada pelajaran sejarah, termasuk sejarah kemerdekaan. Menurutnya salah satu daerah bersejarah dalam era merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Bengkulu, terutama Benteng Fort Marborough.
Irwan berharap agar pendidikan untuk SD dan SMP perlu diinsentifkan juga kepada pelajaran yang berkaitan dengan sejarah dan perjuangan merebut kemerdekaan, sehingga dengan demikian Bengkulu akan menjadi satu tempat kunjungan bagi para pelajar dan juga masyarakat untuk melihat sejarahnya dan mengenang perjuangan para tokoh-tokoh pendahulu sebelumnya.
“Di Bengkulu banyak peninggalan-peninggalan sejarah,” kata Irwan.
Peninggalan sejarah di Bengkulu dapat terlihat sejak masa merebut kemerdekaan hingga zaman pemerintahan Soekarno. Irwan menilai tempat-tempat bersejarah tersebut jangan sampai hilang dan tidak diketahui generasi yang akan datang.
“Peninggalan sejarah di wilayah ini dapat terlihat sejak era perjuangan melepaskan dari penjajahan. Bahkan dari zaman abad 18 kolonial sampai kepada datangnya Soekarno untuk kemerdekaan merupakan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa ini, ” ujarnya.
Hal senada diungkap Anggota Tim Kunker Aan Rohanah (F-PKS) yang menilai Benteng Fort Marborough merupakan bukti sejarah bagi Indonesia. Benteng tersebut menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan.
Ia meminta supaya keberadaan benteng ini dapat terus dijaga dan disosialisasikan melalui mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku sekolah.
“Sebab ini ‘kan bukti sejarah perjuangan di Indonesia yang pernah dijajah oleh negara lain,” katanya.
Aan Rohanah berharap keberadaan Benteng Fort Marborough di Bengkulu dapat menjadi bagian sejarah dunia, tidak hanya bagi Indonesia. Selain menjadi bagian sejarah dunia, keberadaan benteng itu juga dapat memacu semangat perjuangan anak bangsa.
“Untuk bisa menjadi pemacu semangat perjuangan anak bangsa sekaligus juga untuk menunjukan perdamaian dunia, ini perlu juga dijadikan sebagai sejarah dunia untuk kalangan lain, tidak hanya untuk bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dalam Kunker, Aan menyarankan supaya pemerintah daerah Bengkulu membuat terobosan-terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat. Dengan membuat terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat maka secara otomatis akses ke dunia internasional juga terbuka sehingga potensi pariwisata diketahui masyarakat luas.
“Nanti pusat ikut membantu untuk melakukan hal-hal yang bisa diakses oleh dunia internasional dalam kepariwisataan,” katanya.
Potensi Pariwisata
Keberadaan Benteng Fort Marborough yang memiliki sejarah bagi Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya mempunyai potensi pariwisata yang belum tergali. Promosi yang kurang dilakukan pemerintah setempat menjadikan keberadaan benteng bersejarah tersebut tidak diketahui masyarakat luas.
Menurut Anggota Tim Kunker Ruth Nina M. Kedang (F-PDS), perlu ada kiat-kiat yang dilakukan pemerinath pusat dan pemerintah daerah Bengkulu dalam mempromosikan tempat bersejarah yang ada di wilayahnya, khususnya Benteng Fort Marborough.
“Pertama harus ada komitmen dari pemerintah daerah menjadikan ini sebagai desinasi wisata nasional,” katanya.
Lebih jauh Ruth Nina menjelaskan bahwa pemerintah daerah harus giat melakukan promosi potensi pariwisata yang ada. Promosi tersebut dapat dilakukan melalui event-event yang dapat menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Bengkulu.
“Pemerintah daerah juga harus giat melakukan event-event, harus melakukan pemasaran ke seluruh Indonesia ataupun ke dunia untuk menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang ke Indonesia, khususnya Bengkulu. Yang penting adalah pengembangan desinasinya melengkapi fasilitas dan event-event sebagai sarana promosi pariwisata,” ujarnya.
Nina menjelaskan bahwa daerah di Indonesia tidak seluruhnya pernah dijajah Inggris. Pendirian benteng pada masa itu juga menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata saat ini.
“Tidak banyak daerah-daerah kita yang pernah dijajah oleh Inggris, apalagi mendirikan benteng pada zaman kolonial. Jadi sangat bagus, sangat baik untuk dijadikan potensi pariwisata nasional,” katanya.
Sementara itu Ferdiansyah (F-PG) meminta pemerintah daerah Bengkulu untuk serius menggarap potensi pariwisata yang ada diwilayahnya. Hal ini juga sebagai pendukung tahun kunjungan wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008.
“Kalau memang Bengkulu dijadikan salah satu obyek wisata apalagi menjadi salah satu kunjungan wisatawan mancanegara dalam konteks Visit Indonesia Year 2008 memang yang harus segera dipersiapkan adalah bagaimana mengemas semua potensi yang ada sehingga menarik untuk dikunjungi,” ungkapnya.
Ferdiansyah menilai potensi pariwisata yang ada di Bengkulu tidak kalah dengan yang ada di wilayah ataupun negara lain. Guna menunjang potensi pariwisata Bengkulu maka perlu disiapkan sumber daya manusia yang sangat memadai.
Ferdiansyah berharap pemerintah daerah setempat dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai. Kemampuan tersebut diharapkan dapat menarik wisatawan lokal dan asing untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Bengkulu. Menurutnya dengan adanya sumber daya manusia yang kompeten dapat meninggalkan kesan yang baik bagi wiatawan yang datang sehingga ketika mereka kembali ke negaranya akan menceritakan betapa terkesannya tempat wisata dan pelayanan yang diberikan di Bengkulu.
“Kalau soal obyek wisata yang ada di Indonesia tak kalah bagusnya dengan negara lain, bahkan melebihi daripada obyek-obyek wisata yang ada di dunia,” tegas Ferdiansyah. (iw)
by: dpr.go.id
Pendidikan sejarah di bangku sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang tergolong penting bagi semua siswa. Mata pelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai dasar pengenalan siswa akan sejarah bangsanya. Alur sejarah maupun tempat bersejarah Indonesia yang ada sejak zaman kerajaan hingga perjuangan merebut kemerdekaan tidak boleh hilang ditelan waktu.
Salah satu peninggalan bersejarah bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan adalah Benteng Fort Marborough di Bengkulu. Keberadaan benteng ini sampai sekarang jarang diketahui masyarakat meskipun perannnya sangat penting pada masa itu.
Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi X DPR yang membidangi Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Pariwisata, Perpustakaan serta Pemuda dan Olahraga dalam Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2007-2008 melakukan Kunker ke Provinsi Bengkulu. Tim yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno menemukan kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap Benteng Fort Marborough.
Dalam Kunker tersebut, Ketua Tim Irwan Prayitno (F-PKS) menilai pendidikan di SD dan SMP di seluruh Indonesia harus ada pelajaran sejarah, termasuk sejarah kemerdekaan. Menurutnya salah satu daerah bersejarah dalam era merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Bengkulu, terutama Benteng Fort Marborough.
Irwan berharap agar pendidikan untuk SD dan SMP perlu diinsentifkan juga kepada pelajaran yang berkaitan dengan sejarah dan perjuangan merebut kemerdekaan, sehingga dengan demikian Bengkulu akan menjadi satu tempat kunjungan bagi para pelajar dan juga masyarakat untuk melihat sejarahnya dan mengenang perjuangan para tokoh-tokoh pendahulu sebelumnya.
“Di Bengkulu banyak peninggalan-peninggalan sejarah,” kata Irwan.
Peninggalan sejarah di Bengkulu dapat terlihat sejak masa merebut kemerdekaan hingga zaman pemerintahan Soekarno. Irwan menilai tempat-tempat bersejarah tersebut jangan sampai hilang dan tidak diketahui generasi yang akan datang.
“Peninggalan sejarah di wilayah ini dapat terlihat sejak era perjuangan melepaskan dari penjajahan. Bahkan dari zaman abad 18 kolonial sampai kepada datangnya Soekarno untuk kemerdekaan merupakan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa ini, ” ujarnya.
Hal senada diungkap Anggota Tim Kunker Aan Rohanah (F-PKS) yang menilai Benteng Fort Marborough merupakan bukti sejarah bagi Indonesia. Benteng tersebut menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan.
Ia meminta supaya keberadaan benteng ini dapat terus dijaga dan disosialisasikan melalui mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku sekolah.
“Sebab ini ‘kan bukti sejarah perjuangan di Indonesia yang pernah dijajah oleh negara lain,” katanya.
Aan Rohanah berharap keberadaan Benteng Fort Marborough di Bengkulu dapat menjadi bagian sejarah dunia, tidak hanya bagi Indonesia. Selain menjadi bagian sejarah dunia, keberadaan benteng itu juga dapat memacu semangat perjuangan anak bangsa.
“Untuk bisa menjadi pemacu semangat perjuangan anak bangsa sekaligus juga untuk menunjukan perdamaian dunia, ini perlu juga dijadikan sebagai sejarah dunia untuk kalangan lain, tidak hanya untuk bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dalam Kunker, Aan menyarankan supaya pemerintah daerah Bengkulu membuat terobosan-terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat. Dengan membuat terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat maka secara otomatis akses ke dunia internasional juga terbuka sehingga potensi pariwisata diketahui masyarakat luas.
“Nanti pusat ikut membantu untuk melakukan hal-hal yang bisa diakses oleh dunia internasional dalam kepariwisataan,” katanya.
Potensi Pariwisata
Keberadaan Benteng Fort Marborough yang memiliki sejarah bagi Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya mempunyai potensi pariwisata yang belum tergali. Promosi yang kurang dilakukan pemerintah setempat menjadikan keberadaan benteng bersejarah tersebut tidak diketahui masyarakat luas.
Menurut Anggota Tim Kunker Ruth Nina M. Kedang (F-PDS), perlu ada kiat-kiat yang dilakukan pemerinath pusat dan pemerintah daerah Bengkulu dalam mempromosikan tempat bersejarah yang ada di wilayahnya, khususnya Benteng Fort Marborough.
“Pertama harus ada komitmen dari pemerintah daerah menjadikan ini sebagai desinasi wisata nasional,” katanya.
Lebih jauh Ruth Nina menjelaskan bahwa pemerintah daerah harus giat melakukan promosi potensi pariwisata yang ada. Promosi tersebut dapat dilakukan melalui event-event yang dapat menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Bengkulu.
“Pemerintah daerah juga harus giat melakukan event-event, harus melakukan pemasaran ke seluruh Indonesia ataupun ke dunia untuk menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang ke Indonesia, khususnya Bengkulu. Yang penting adalah pengembangan desinasinya melengkapi fasilitas dan event-event sebagai sarana promosi pariwisata,” ujarnya.
Nina menjelaskan bahwa daerah di Indonesia tidak seluruhnya pernah dijajah Inggris. Pendirian benteng pada masa itu juga menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata saat ini.
“Tidak banyak daerah-daerah kita yang pernah dijajah oleh Inggris, apalagi mendirikan benteng pada zaman kolonial. Jadi sangat bagus, sangat baik untuk dijadikan potensi pariwisata nasional,” katanya.
Sementara itu Ferdiansyah (F-PG) meminta pemerintah daerah Bengkulu untuk serius menggarap potensi pariwisata yang ada diwilayahnya. Hal ini juga sebagai pendukung tahun kunjungan wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008.
“Kalau memang Bengkulu dijadikan salah satu obyek wisata apalagi menjadi salah satu kunjungan wisatawan mancanegara dalam konteks Visit Indonesia Year 2008 memang yang harus segera dipersiapkan adalah bagaimana mengemas semua potensi yang ada sehingga menarik untuk dikunjungi,” ungkapnya.
Ferdiansyah menilai potensi pariwisata yang ada di Bengkulu tidak kalah dengan yang ada di wilayah ataupun negara lain. Guna menunjang potensi pariwisata Bengkulu maka perlu disiapkan sumber daya manusia yang sangat memadai.
Ferdiansyah berharap pemerintah daerah setempat dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai. Kemampuan tersebut diharapkan dapat menarik wisatawan lokal dan asing untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Bengkulu. Menurutnya dengan adanya sumber daya manusia yang kompeten dapat meninggalkan kesan yang baik bagi wiatawan yang datang sehingga ketika mereka kembali ke negaranya akan menceritakan betapa terkesannya tempat wisata dan pelayanan yang diberikan di Bengkulu.
“Kalau soal obyek wisata yang ada di Indonesia tak kalah bagusnya dengan negara lain, bahkan melebihi daripada obyek-obyek wisata yang ada di dunia,” tegas Ferdiansyah. (iw)
Analysis of Rice Market Integration in Bengkulu
Analysis of Rice Market Integration in Bengkulu
Feb 09, 2008 at 01:39 PM
Author : Andi Irawan and Dewi Rosmayanti
Abstract :The goal of this research is to analyze spatial integration and vertical integration in Bengkulu rice markets dan its implication for policy application. Four rice markets were evaluated including Bengkulu Municipality, Rejang Lebong Regency, North Bengkulu Regency and South Bengkulu Regency. Weekly series data of 2001 to 2005 were used as sample data in analyzing spatial integration test. The vertical integration used weekly data of the period of 2002 to 2005 for Kota Bengkulu. Series data of 2001 to 2005 were used for Rejang Lebong, 2004 to 2005 for South Bengkulu and 2002 to 2005 for North Bengkulu. Quantitative methods used in this study were Johansen Cointegration Test, Vector Error Correction Model, and Granger Causality Test. The results indicate that: 1) Rice market in Bengkulu is imperfect on its spatial integration market, from which a shock in Bengkulu Municipality market could be transmited to South Bengkulu Regency and North Bengkulu markets, but not to Rejang Lebong market. Policy implication of this result give indication that to stabilize local rice markets in Bengkulu Province, priority intervention of local government is to stabilize in Bengkulu Municipality Market, because price stabilization in Bengkulu Municipality could be transmitted to other market in most districts in Bengkulu Province. 2) Vertical market integration in Bengkulu Municipality and South Bengkulu is imperfect, but statistically such integration is proved significantly in Rejang Lebong Regency and North Bengkulu.
Key words : rice markets, spatial integration, vertical integration, Johansen cointegration test, vector errror correction model, Granger causality test
The paper is written in Indonesian language. For those who require the paper, please contact us at publikasi_psekp@yahoo.co.id
Feb 09, 2008 at 01:39 PM
Author : Andi Irawan and Dewi Rosmayanti
Abstract :The goal of this research is to analyze spatial integration and vertical integration in Bengkulu rice markets dan its implication for policy application. Four rice markets were evaluated including Bengkulu Municipality, Rejang Lebong Regency, North Bengkulu Regency and South Bengkulu Regency. Weekly series data of 2001 to 2005 were used as sample data in analyzing spatial integration test. The vertical integration used weekly data of the period of 2002 to 2005 for Kota Bengkulu. Series data of 2001 to 2005 were used for Rejang Lebong, 2004 to 2005 for South Bengkulu and 2002 to 2005 for North Bengkulu. Quantitative methods used in this study were Johansen Cointegration Test, Vector Error Correction Model, and Granger Causality Test. The results indicate that: 1) Rice market in Bengkulu is imperfect on its spatial integration market, from which a shock in Bengkulu Municipality market could be transmited to South Bengkulu Regency and North Bengkulu markets, but not to Rejang Lebong market. Policy implication of this result give indication that to stabilize local rice markets in Bengkulu Province, priority intervention of local government is to stabilize in Bengkulu Municipality Market, because price stabilization in Bengkulu Municipality could be transmitted to other market in most districts in Bengkulu Province. 2) Vertical market integration in Bengkulu Municipality and South Bengkulu is imperfect, but statistically such integration is proved significantly in Rejang Lebong Regency and North Bengkulu.
Key words : rice markets, spatial integration, vertical integration, Johansen cointegration test, vector errror correction model, Granger causality test
The paper is written in Indonesian language. For those who require the paper, please contact us at publikasi_psekp@yahoo.co.id
Legenda Ular Kepala Tujuh
Legenda Ular Kepala Tujuh
Lebong adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Konon, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kutei Rukam. Pada suatu hari, keluarga kerajaan ini dilanda kepanikan luar biasa, karena putra mahkota menghilang pada saat melakukan prosesi upacara mandi bersama dengan calon istrinya di Danau Tes. Hilang kemanakah putra mahkota dengan istrinya? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Ular Kepala Tujuh berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.
Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara
Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. Anonim. “Kabupaten Lebong,”
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses tanggal 27 Mei 2008.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan pengem-bangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://www.melayuonline.com
ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
geinte said...
pasoak sesamo tunjang..
keep up a good work..
klo bukan kito siapo lagi yg meliharo asal-usul budaya rejang.
salam kenal dari aku, geinte..
anak rejang yg kuliah dibandung..
klo butuh bantuan info atau apapun hubungi aku di einte2hipmetal@yahoo.com
2008-03-13
Lebong adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Konon, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kutei Rukam. Pada suatu hari, keluarga kerajaan ini dilanda kepanikan luar biasa, karena putra mahkota menghilang pada saat melakukan prosesi upacara mandi bersama dengan calon istrinya di Danau Tes. Hilang kemanakah putra mahkota dengan istrinya? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Ular Kepala Tujuh berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.
Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara
Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. Anonim. “Kabupaten Lebong,”
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses tanggal 27 Mei 2008.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan pengem-bangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://www.melayuonline.com
ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
geinte said...
pasoak sesamo tunjang..
keep up a good work..
klo bukan kito siapo lagi yg meliharo asal-usul budaya rejang.
salam kenal dari aku, geinte..
anak rejang yg kuliah dibandung..
klo butuh bantuan info atau apapun hubungi aku di einte2hipmetal@yahoo.com
2008-03-13
Langganan:
Postingan (Atom)