Sabtu, 10 September 2011

Lebong Simpang Tak Kenal Uang


Kenangan Jalan Kaki Ke Tambang Emas




Di atas Pegunungan di Sawah Mangkurajo itulah letaknya Tambang Emas Lebong Simpang. Di dalam foto ini terlihat ditutup kabut. Memang cuaca di Sawah Mangkurajo sangat dingin sekali. FOTO NAIM EMEL PRAHANA


SEBELUM aku tuliskan kenangan masa kecil ini, aku merasa berat untuk meneruskan tulisan masa silam ini. Karena, foto-foto yang harusnya memperkuat tulisan ini, tidak ada. Maklum pada zaman itu memang foto masih barang langka. Namun kenangan masa silam ini ada suatu kenyataan hidup di tanah Lebong.

JUJUR saja aku katakan, keluarga kami memang asli penduduk Kotadonok ( Kota Donok, juga boleh), yang mata pencaharian keluarga 100% dari bertani, sementara kebun adalah pendukung mata pencaharian bercocok tanam tadi. Aku sangat bangga dengan orangtuaku, kampungku, daerahku, sukubangsaku.
Bapak ibuku memiliki areal pertanian di lembah Pegunungan Bukit Barisan yang sudah dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo. Areal itu jaraknya dari Kotadonok sekitar 12 km. Pada zaman aku sampai tamat SD tahun 1971, untuk sampai ke Sawah Mangkurajo harus menempuh jalan di tengah hutan belantara—jalan setapak dan harus berjalan kaki. Sangat melelahkan, tapi begitu mengasyikkan berada di dalam hutan seharian penuh.
Sekitar 7 km atau 9 km dari Sawah Mangkurajo ke arah Utara terdapat kawasan tambang emas Lebong Simpang yang sangat populer disaat penjajahan Belanda dan pada awal kemerdekaan RI sampai sekitar tahun 1969. untuk sampa ke tambang emas Lebong Smpang, juga harus menempuh perjalanan berat dengan berjalan kaki. Tambang emas Lebong Simpang, juga dengan dengan Arga Makmur di Bengkulu Utara. Namun, medan jalan yang harus dilalui sangat sulit, karena harus mendaki gunung yang terjal.
Demikian pula dari Kotadonok atau dari Sawah Mangkurajo kami harus berjalan kaki, ada satu kawasan yang jalannya tegak lurus di tebing pegunungan Bukit Barisan. Namanya Tebing Pulus, setelah melewati jalan tebing yang terjal itu, kami atau siapa saja yang mau ke tambang emas Lebong Simpang harus berhenti di Pudau Pulus. Entah kenapa dinamakan ‘Pulus’ kawasan itu.
Konon yang aku dengar semasa kecil itu, nama tebing pulus dan pudau pulus itu diambil dari nama pohon di kawasan tersebut. Kondisi jalan tebing pulus tidaklah jauh, kalau diukur secara mendatar mungkin tidak lebih dari 200 meter. Akan tetapi, karena jalan setapaknya berada di tebing yang tegak berdiri. Membuat para pejalan kaki harus berjuang penuh untuk bisa mencapai pudau pulus yang ada di atasnya. Jalan setapak mendaki tebing pulus harus melewati akar-akar kayu yang berserakan di tebing itu.
Tebing pulus hanya dilalui pendulang (pencari emas), pedagang dan penambang musiman yang datang dari arah Kotadonok dan Tes. Sementara kalau melewati Rimbo Pengadang, jalan ke tambang emas Lebong Simpang sangat datar. Karena, sejaka lokasi tambang emas Lebong Simpang dibuka kolonial Hindia Belanda dahulu kala. Merupakan jalan lori (kereta kecil) pengangkut batu emas, barang dan orang dari dan ke Lebong Simpang.
Usai melewati jalan setapak mendaki di Tebing Pulus, selanjutnya perjalanan ke Lebong Simpang cukup datar. Namun, masih tetap di tengah hutan belantara yang masih lebat. Suasana tambang emas mulai terasa ketika memasuki jembatan air merah yang membentang sekitar 25 meter di atas sungai merah. Aku belum tahu persis, sungai besar itu namanya apa. Kenapa disebut jembatan dan sungai merah? Karena, airnya selalu berwarna kuning akibat air limbah yang mengalir dari perusahaan tambang dan pondok-pondok pendulang yang menggiling tanah dan batu emas yang hampir 24 jam nonstop.
Pada kurun waktu 1960—1969 merupakan masa jaya tambang emas Lebong Simpang setelah Indoesia merdeka atau setelah ditinggal penjajah Belanda dan Inggris dan kemudian oleh Jepang. Pengusaha yang terkenal saat itu adalah H Lukman dan Chang E (panggilan akrab mereka). Kedua pengusaha tambang emas keturunan Cina itu sudah begitu jaya. Diperkirakan saat itu keduanya memiliki karyawan masing-masing tidak kurang dari 100 orang.
Oleh karena itu, setiap hari ada saja anak buah keduanya naik (istilah pendulang) ke Lebong Simpang membawa bahan bakar solar dan bahan makanan di tambang emas Lebong Simpang. Mengangkut bahan solar ke Lebong Simpang itu menggunakan sistem upahan. Satu tangki khusus tempat minyak solar di bawa oleh satu orang. Dapat dibayangkan, berapa banyak tenaga yang naik turun dari dan ke Lebong Simpang mengangkut bahan minyak untuk mesin pengolah biji emas berupa tanah dan batu.
Ayahanda (bakku) dulunya, juga pernah punya sebuah tambang yang bekerjasama dengan salah keluarga kerabat. Namun, ketika saya mash kecil tambang itu dijual. Oleh karenanya sesekali ayahanda kami datang ke Lebong Simpang dari Sawah Mangkurajo (dalam bahasa kampungnya disebut Saweakkrajo). Aku pernah diajak ke sana ketika aku duduk di kelas 3 atau 4 SDN 1 Kotadonok, sekitar tahun 1968. tapi tahun pastinya aku lupa.
Ketika ke Lebong Simpang, ayahku membawa sayuran, antara lain pucuk po’ong (pakis), daun slada dan kan putiak beberapa ekor. Waktu itu juga untuk mendapatkan kan putiak (ikan putih seperti ikan tawes, namun ukurannya besar) sangat gampang di Saweakkrajo. Hanya membutuhkan beberapa saat memancing ikan di Bioa Putiak (Ar/sungai Putih) yang ada di lembah Saweakkrajo, sudah mendapatkan ikan cukup banyak. Makanan pancingnya cukup dengan bunga pohon dadap (bungai Dap). Mungkin, sekarang tidak akan bisa lagi seperti itu.
Du Lebong Simpang, sayuran dan ikan yang kami bawa dibeli para pendulang atau pedagang makanan dan roti di Lebong Simpang. Yang membuat aku kecil terperanggah waktu itu, sistem jual beli di Lebong Simpang tidak menggunakan uang seperti sekarang ini. Akan tetapi menggunakan emas. Sayuran dan ikan diharga dengan beberapa sagai emas. (‘sagai’ itu pecahan dari gram).
Demikian pula kalau kita mau membeli roti di warung-warung di Lebong Simpang, kita juga membelinya dengan kepingan emas yang baru ke luar dari glundungan. Sebutan ‘glundungan’ itu adalah sebuah besi bundar (seperti untuk gorong-gorong) berdiameter 50-cm sampai 100 cm. Besi glundungan itulah yang akan menghancurkan bebatuan dan tanah yang mengandung emas. Kemudian setelah ke luar dari glundung, aantara perak dan emas dipisahkan dengan daun khusus yang dicampur dengan sesuatu zat (aku lupa namanya).
Bahkan, aku kecil yang datang ke Lebong Simpang, karena memang di sana tidak ada anak kecil sebab tidak ada perempuan atau keluarga yang bermukim. Banyak sekali diberikan emas dengan ukuran sagai tadi. Kebetulan ayah kami adalah salah satu tokoh d Lebong Simpang waktu-waktu sebelumnya.
Semua kenangan itu masih sangat melekat dalam benak pikiranku sampai sekarang. Walaupun tempat kami Kotadonok atau Sawah Mangkurajo dekat dengan lokasi tambang emas Lebong Simpang, sejak tamat SD aku sudah tidak lagi mengunjungi tambang emas itu. Aku rindu ingin ke sana?

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik

Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik