Senin, 09 Maret 2009

PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Kabupaten Kepahiang Bengkulu
PLTA Hulu Sungai Musi Ujan Mas

Sejarah Singkat
Menimbang akan kebutuhan tenaga listrik di Sumatera yang semakin meningkat dan mengantisipasi permintaan energi listrik pada masa mendatang, khususnya untuk Wilayah Sumatera Bagian Selatan maka dibangunan Proyek PLTA Musi.
Rekomendasi pembangunannya berdasarkan hasil studi pendahuluan tentang pengembangan sumber-sumber tenaga air suatu daerah pada tahun 1965, serta pekerjaan lebih lanjut terhadap rencana pembangunannya dan studi hidro potensial 1981 - 1983.
Implementasi pelaksanaan pembangunan dikoordinasikan oleh PT. PLN (Persero) Pikitring Sumbagsel, Babel, Sumbar dan Riau dan pembangunannya diawasi langsung oleh PT. PLN (Persero) Proyek PLTA Musi yang berkedudukan di Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong), Provinsi Bengkulu.

Letak Geografis
Secara geografis berada sekitar 3' 35" LS dan 102' 29" BT, membujur dari arah Timur Laut menuju Barat Daya dan terletak di punggung pegunungan Bukit Barisan berjarak ±80 km dari kota Bengkulu arah Curup. Bagian hulu berada dalam kawasan Desa Ujanmas Atas, Kecamatan Ujanmas, Kabupaten Kepahiang (dulu Rejang Lebong) dan bagian hilir berada dalam kawasan Desa Susup, Kecamatan Taba Penanjung, Kabupaten Bengkulu Utara.

Gambaran Umum
Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi merupakan pembangkit listrik dengan bendung type "Run of River (RoR)" dengan gedung pembangkit (Power House) berada 400 m dibawah tanah yang memanfaatkan aliran sungai Musi di sebelah hulu dan pembuangan akhir ke aliran sungai Simpang Aur di sebelah hilir. Daya terpasang sebesar 3 X 70 MW (210 MW), akan mampu membangkitkan energi listrik sebesar 1,140 GWh/tahun dan merupakan PLTA besar pertama yang dibangun di Provinsi Bengkulu.Daya listrik yang dibangkitkan PLTA Musi untuk memenuhi & mensuplai kebutuhan listrik seluruh wilayah Sumatera melalui Interkoneksi Jaringan Transmisi 150 kV/275 kV untuk wilayah bagian Selatan maupun Utara.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-hulu.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com

Identifikasi Budaya Suku Bangsa Pekal di Bengkulu Utara

Oleh Yondri, Jumhari, Rois Leonard Arios, R.Ade Hapriwijaya
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Sukubangsa Pekal sebagai salah satu dari 8 sukubangsa yang terdapat di wilayah Provinsi Bengkulu, merupakan salah satu sukubangsa yang sangat menarik untuk diteliti. Sukubangsa ini berada di antara dua sukubangsa dominan berada di perbatasan mereka yakni sukubangsa Minangkabau dan sukubangsa Rejang. Sebagai sukubangsa yang awalnya terbentuk dari campur budaya, menyebabkan sukubangsa Pekal seringkali terlihat mudah menyerap unsur kebudayaan yang masuk dari luar kebudayaan mereka. Campur budaya yang terjadi dari awal pembentukan kesukubangsaan berlanjut sampai saat ini.
Hal ini terlihat dari berbagai keragaman aturan yang mengatur anggota masyarakat sukubangsa. Pada tingkatan sekarang, penemuan akar budaya tradisional dalam budaya sukubangsa Pekal adalah sulit ditemukan. Namun campur budaya dapat dianggap sebagai suatu inti dari kebudayaan Pekal. Campur budaya tersebutlah yang menjadi dasar dinamika budaya sukubangsa Pekal. Berikut ini akan dianalisis berbagai informasi yang telah didapat sebelumnya untuk menggambarkan budaya sukubangsa Pekal secara keseluruhan.
Wilayah kebudayaan Pekal secara langsung berbatasan dengan daerah kebudayaan lainnya. Diutara wilayah kebudayaan Pekal berbatasan dengan daerah budaya sukubangsa Muko-muko, di Timur berbatasan langsung dengan daerah budaya sukubangsa Rejang, di Selatan berbatasan dengan wilayah budaya sukubangsa Serawai dan di Barat berbatasan dengan lautan Indonesia.
Mitologi sukubangsa sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian tersendiri, melalui kajian mitologi. Mitologi sukubangsa Pekal berkaitan dengan mitologi sukubangsa lainnya yang dominan terdapat diperbatasan sukubangsa Pekal. Mitologi ini berkaitan dengan mitologi sukubangsa Rejang dan hikayat raja Indropuro dari Minangkabau. Mitologi sukubangsa Rejang sendiri memiliki pertalian erat dengan hikayat-hikayat kerajaan Pagaruyung di Minangkabau.
Kisah perjalanan empat pitulai dari Pagaruyung menjadi bagian dari mitologi sukubangsa Rejang. Dalam mitologi tersebut tersampir mitologi keberadaan sukubangsa Pekal. Dalam satu sisi terlihat bahwa secara langsung sukubangsa Rejang mengakui orang-orang dari sukubangsa Pekal merupakan bagian dari sukubangsa Rejang dibawah bangmego Tubui. Dari sisi lain pada dasarnya orang sukubangsa Pekal tidaklah dapat disebutkan sebagai bagian dari sukubangsa Pekal. Hal ini tercermin dari penggunaan bahasa, aturan dan nilai budaya serta struktur sosial lainnya yang sebagian mengambil tata aturan nilai budaya Minangkabau.
Kepercayaan anggota masyarakat sukubangsa Pekal terhadap roh-roh gaib dan tempat-tempat keramat dan diikuti dengan tingkah yang mendukung kepercayaan tersebut kepala desa secara terkecil. Sebagian lagi diangkat langsung menjadi PNS dan berkedudukan di setiap instansi pemerintah.
Menyebabkan keraguan apakah religi yang diyakini oleh sukubangsa Pekal merupakan religi yang dilaksanakan dengan sepenuhnya. Ritual yang berkaitan dengan tempat-tempat keramat dan keyakinan terhadap roh yang menghuni suatu tempat menyebabkan kecendrungan untuk melihat bahwa masih terdapatnya kepercayaan animisme ditingkat masyarakat sukubangsa Pekal.
Pada sukubangsa Pekal campur budaya pada sistem kekerabatan terlihat melalui penarikan garis keturunan, ketentuan adat menetap setelah menikah, pewarisan, sistem pemerintahan adat dan struktur sosial. Penarikan garis keturunan pada sukubangsa Pekal adalah dengan sistem Patrilinial, namun dalam pelaksanaan ketentuan adat setelah menikah terlihat kecendrungan uxorilokal pada tahun pertama.
Sukubangsa Pekal 80% merupakan petani peladang. Hal ini berkaitan dengan lingkungan alamiahnya yang berupa hutan dan lahan perladangan. Dari mata pencaharian ini terlihat bahwa sukubangsa Pekal pada saat sekarang berada pada tingkatan peradapan pertanian. Masyarakat sukubangsa Pekal dalam melaksanakan aktivitasnya menggunakan teknik slash and burn dalam membuka lahan dan meningkatkan kesuburan lahan. Teknik ini merupakan ciri-ciri dari tingkatan peradapan pertanian menetap.
Sebagai sukubangsa yang merupakan campuran sukubangsa dan berkembang sebagai campur budaya terlihat bahwa kesenian yang dimiliki oleh orang sukubangsa Pekal merupakan ambilan dari sukubangsa asal yakni Minangkabau dan Rejang. Kesenian teaterikal Gandai yang menjadi kesenian utama sukubangsa Pekal dan sering dipertunjukkan dalam berbagai acara, merupakan campuran dari kesenian Minangkabau dan Rejang. Kesenian Gandai hampir mirip dengan kesenian teaterikal Randai pada kesenian Minangkabau dan menggunakan alat-alat musik yang diambil dari sukubangsa Rejang.
Bahasa sukubangsa Pekal jelas memperlihatkan campur bahasa antara bahasa Minangkabau dan bahasa Rejang. Pada saat sekarang, campur bahasa tersebut tidak hanya terbatas pada bahasa Minangkabau dan Rejang, namun juga mengambil bahasa-bahasa lainnya seperti Batak, Jawa dan Bugis.
Perbedaan varian bahasa menjadi ciri khas lainnya dari campur bahasa pada sukubangsa Pekal. Varian tersebut berkaitan dengan intensitas hubungan dengan sukubangsa Minangkabau dan Rejang. Jika daerah tersebut lebih dekat dengan daerah Budaya Rejang, varian bahasa yang terlihat dari dialek akan mengarah pada bahasa Rejang, jika mendekati wilayah budaya Minangkabau akan mengarah pada bahasa Minangkabau.
Sistem pengetahuan masyarakat sukubangsa Pekal didasarkan pada pengenalan masyarakat terhadap fenomena alamiah disekitarnya. Demikian juga halnya dengan pembagian waktu, arah dan ukuran. Pengetahuan terhadap pertanda alamiah memberikan tanda bagi masyarakat sukubangsa Pekal untuk melakukan suatu aktivitas. Pertanda alamiah tersebut dapat juga berupa pemberitahan datangnya bencana.

Peran Elite Tradisional

Studi Kasus Pasirah Di Rejang Lebong Abad XX
Oleh Siti Rohanah, Ajisman, Ernatip, dan Jumhari. Padang
Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, 2004.

Pasirah adalah salah satu elite tradisional yang bertugas mengatur pemerintahan tradisional dan acara ritual-ritual, pesta-pesta dan upacara-upacara adat lainnya.. Sidik Abdullah (1980: 120) menyebutnya sebagai pimpinan suatu wilayah yang disebut marga. Di samping sebagai kepala pemerintahan, pasirah juga memiliki fungsi sebagai hakim tertinggi dalam memutuskan segala permasalahan baik yang menyangkut adat-istiadat maupun masalah perkawinan, perceraian dan aturan jual beli. Dalam menjalani pemerintahan dan pelaksanaan adat, pasirah dibantu oleh seorang kepala dusun (proatin)
Secara historis sistem pasirah terbentuk melalui Surat Keputusan Pemerintah kolonial Belanda Tertanggal 25 Desember 1862. Terbentuknya sistem pasirah dengan sendirinya menghapus sistem bupati di wilayah Bengkulu secara keseluruhan. Alasannya, karena pada masa kepemimpinan bupati (regent) tidak terlalu disukai oleh rakyat karena sikap dan kepemimpinannya yang dianggap tidak dapat mengayomi dan melindungi segala kepentingan masyarakat.
Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan masyarakat umum. Faktanya tidak jarang terjadi saling sikut-menyikut di antara para regent bahkan muncul kecendrungan menjilat ke atas dan menendang ke bawah. Oleh karena itu Belanda berpendapat masyarakat pribumi lebih menyukai kepemimpinan kolonial Belanda ketimbang bupati yang notabene adalah sesama pribumi.
Dalam kasus ini, dapat dikaji lebih dalam lagi karena kemungkinan besar hanyalah alasan yang dibuat-buat oleh Belanda dan mengandung unsur politis. Dengan dihapuskannya sistem regent otomatis daerah Bengkulu berada di bawah kekuasaan Belanda secara keseluruhan sebagai penguasa tunggal. Sebagai gantinya, maka setiap daerah dibentuk semacam marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.
Sistem pemerintahan marga yang dipimpin oleh kepala marga yang disebut pasirah muncul pertama kali pada sekitar tahun 1862. Sistem pemerintahan marga berlaku di seluruh wilayah Bengkulu setelah adanya pergantian pemerintah dari Kolonial Inggris ke Belanda. Pada masa pemerintahan Inggris, sistem pemerintahan yang diterapkan adalah kabupaten dan dikepalai oleh seorang bupati. Setelah pergantian pemerintahan maka sistem pemerintahan pun berganti dan sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintahan baru. Penyerahan jajahan Inggris atas daerah Bengkulu kepada pemerintahan Kolonial Belanda terjadi pada tanggal 6 April 1825 berdasarkan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824.
Seorang kepala marga, diberi hak dan kewenangan dalam pemerintahan marga untuk mengatur pemerintahan dan adat. Di samping itu dia juga bertindak sebagai hakim dalam memutuskan perkara jual beli, pelanggaran adat, pengatur pajak dan pengeluaran keuangan dan belanja marga Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, pasirah atau kepala marga merupakan wakil Belanda dalam marga. Sebagian pendapat mengatakan, bahwa antara kepala marga dengan Belanda mempunyai hubungan yang dekat.
Pasirah selain berfungsi sebagai kepala marga, juga menjadi penghubung yang kuat antara masyarakat dan Belanda. Oleh sebab itu, kepala marga/pasirah digaji dan berada di bawah pengawasan Belanda. Pendapatan (gaji) dari pemberian Belanda adalah penghasilan pokok bagi pasirah di luar pendapatan lain, seperti hasil pembayaran denda pelanggaran adat maupun hak-hak penguasaan tanah ulayat.
Berkaitan dengan kedekatan hubungan keduanya maka kolonial Belanda mencari cara dan teknis untuk memanfaatkan hal tersebut. Hal ini dilakukan sebagai upaya agar kepala marga/pasirahu lebih berkreatif untuk menghasilkan pendapatan kas Belanda. Cara-cara yang dilakukan oleh kolonial Belanda adalah pemberian gelar kehormatan dan kenaikan pendapatan bagi setiap pasirah yang dianggap berprestasi. Cara dan teknis seperti ini cukup menguntungkan karena jika seorang kepala marga telah mendapatkan gelar kehormatan tersebut maka mau tidak mau statusnya menjadi lebih tinggi dari yang lainnya bahkan selevel dengan Belanda. Keadaan ini terus berlangsung hingga Indonesia merdeka.
Pada tahun 1970 pemerintahan Republik Indonesia mengeluarkan undang-undang dan peraturan pemerintah yang menghapus undang-undang pemerintahan adat di seluruh Indonesia dan otomatis dengan dikeluarkannya peraturan baru maka hukum adat tidak berlaku lagi di daerah-daerah karena hukum yang berlaku adalah hukum peradilan nasional. Artinya, pihak-pihak hukum adat mulai dari tingkat yang paling kecil (kampung), desa hingga marga berakhir menjadi hukum nasional. Denda dan kurungan adat serta ganjaran lain yang bersifat adat menjadi keputusan hakim secara nasional bukan daerah. Begitu juga bentuk hukuman berubah sesuai dengan undang-undang peradilan nasional. Proses hukum dari hasil rapat dan musyawarah untuk memutuskan sangsi apa yang dijatuhkan berubah menjadi sistem atau cara peradilan nasional yang sifat dan kesanya lebih panjang dari proses adat.
Pada tahun 1979 dikeluarkan pula oleh pemerintah pusat untuk mengubah pemerintahan marga menjadi sistem desa. Marga menjadi hilang dan terhapus berganti menjadi desa dengan kepala desa sebagai pemimpinnya. Kepala Marga berubah statusnya dan dipilih ulang, orang-orang yang akan menggantikan menjadi Kepala Desa. Dalam satu marga terdiri dari beberapa desa artinya beberapa orang yang harus dipilih dan diangkat menjadi kepala desa dalam wilayah bekas marga tersebut. Akan tetapi ada juga kepala desa yang terpilih langsung, dari seorang pasirah artinya pasirah tersebut berubah fungsi menjadi dengan kerja keras dan jatuh bangun, akhirnya mampu berbuah dan menjadi berkat bagi gereja dan Negara. Proficiat untuk Paroki St. Yohanes Penginjil Bengkulu. Tuhan memberkati setiap langkah dan usaha kita.

Bumi Rafflesia, Penghujung April 2008
Ant. Dwi Putranto, SCJ

PLTA Tes



Kabupaten Lebong, Bengkulu
PLTA Tes
Sejarah Singkat
PLTA Tes adalah salah satu PLTA tertua di Indonesia. PLTA Tes merupakan pembangkit listrik yang memanfaatkan energi potensial air yang pertama yang didirikan di wilayah Sumatera. Pusat listrik ini menggunakan pola kolam tando dengan gedung pembangkit berada di permukaan tanah yang memanfaatkan aliran Sungai Ketaun yang dibendung dalam kolam tando sebelum dialirkan melalui penstock ke turbin. PLTA Tes terdiri dari 2 sentral unit dimana yang pertama adalah unit PLTA Tes Lama yang mulai dibangun pada 1912-1923 oleh pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan beroperasi mulai tahun 1923 di Desa Turan Tiging Kabupaten Rejang Lebong.
Pembangunan PLTA tersebut dilatarbelakangi oleh adanya areal pertambangan emas yang berada di daerah Lebong Tandai dan Muara Aman sehingga seluruh kebutuhan listrik untuk pertambangan dipenuhi oleh PLTA tersebut. Kemudian 1958 dilakukan renovasi akibat kerusakan yang diakibatkan oleh pembombardiran sentral pembangkit oleh tentara Jepang, di mana daya yang terpasang setelah renovasi menjadi 2 X 660 kW. Sedangkan unit kedua adalah PLTA Tes baru yang dibangun tepat di belakang gedung PLTA lama yang didirikan antara 1986-1991 dengan daya terpasang 4 X 4410 kW, sehingga daya total terpasang sejak 1991 di PLTA Tes adalah sebesar 18.960 kW. Saat ini daya listrik yang dibangkitkan oleh PLTA Tes digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik di Propinsi Bengkulu melalui jaringan transmisi 70 kV.

Letak Geografis
Secara geografis, PLTA Tes terletak di daerah perbukitan pada 3º16 LU dan 102º25 BT yang dikelilingi oleh jajaran pegunungan Bukit Barisan dengan cadangan air yang cukup besar. PLTA Tes berjarak ±115 km sebelah utara kota Bengkulu membujur dari arah timur laut menuju barat daya tepatnya terletak di Desa Turan Tiging, Kecamatan Tes, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Sumatera.

Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/pembangkit-listrik-tenaga-air-tes.html
http://hydroelectricpowerplant.blogspot.com/2009/02/plta-musi.html

Gasing Bengkulu

Permainan Tradisional Anak Anak dari Propinsi Bengkulu
Gasing Bengkulu
1. Sejarah
Permainan gasing di Bengkulu merupakan permaian tradisional rakyat yang tidak terikat dengan waktu khusus, digemari oleh hampir semua kelompok umur, baik pria maupun wanita, terutama remaja dan pemuda. Tidak diketahui dengan pasti sejak kapan permainan gasing dikenal oleh masyarakat Bengkulu.
Bengkulu yang terdiri dari 9 sub etnis (Enggano, Mukomuko, Pekal, Rejang, Lembak, Melayu Bengkulu, Serawai, Pasmah dan Kaur) mengenal permainan gasing sebagai permainan gasing sebagai permainan rakyat, yang sekarang hampir tak dikenal lagi oleh anak-anak terutama di kota. Bentuk gasing dan cara bermain gasing diantara sembilan etnis Bengkulu hampir sama, perbedaan terdapat pada sebutan dan istilah dalam permainan.

2. Jenis-jenis Gasing
A. Gasing Kayu
Dibuat dari bahan kayu yang keras, umpamanya dari kayu petai cina, rukam, kemining, jeruk dan lain-lain. Bentuk gasing yang dimainkan berbentuk gici kecil atau menyerupai buah bengkuang. Pada bagian atas diberi kepala untuk melilitkan tali pemutar gasing, pada bagian bawah ditancapkan paku atau besi runcing sebagai taji untuk melukai atau merusak kesembangan gasing lawan. Permainan gasing pada umumnya ditanah keras untuk gasing adu, menggunakan lantai yang licin untuk tahan lamanya berputar. Permainan gasing adu, biasanya dibuat suatu arena tertentu, dilokasi inilah penggasing berkumpul untuk mengadukan gasingnya. Dalam pertandingan gasing yang dinyatakan pemenang adalah gasing yang tahan berputar apabila dipukul lawan dan bila dia memukul lawan jatuh atau mati. Pertandingan ini dilakukan perpasangan yang memang diadu dengan yang menang.
Bagi penggasing yang handal atau terampil biasa mencari lawan untuk bertanding gasing keluar dari daerahnya (keluar kampung). Seorang penggasing yang baik ini merupakan idaman setiap pemain gasing baik dan penampilan gasing juga dalam pembuat gasing.

B. Gasing Paku Berindu
Terbuat dari buah paku bindu (biji pakis) dan bilah bamboo, warna kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut, dikorek dan dilobangi, dengan menggunakan pisau untuk mengupas dan meraut buah paku bindu dan lidi untuk mencukil isi buah. Dimainkan dilantai rumah oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.

C. Gasing Buah Parah
Terbuat dari buah parah (biji karet), bilah bamboo dan benang, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik membuat dengan cara diraut dan dikorek, dengan menggunakan pisau untuk meraut bilah dan melubangi biji buah parah, lidi sebagai alat mengeluarkan isi/biji buah parah dan melubangi bilah baling-baling dengan besi panas. Dimainkan anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, denga cara menggulung benang terlebih dahulu, kemudian sekali ditarik sekali dilumbar, dapat dimainkan dimana saja pada waktu senggang.
D. Gasing Bambu
Terbuat dari bambu dan tali, warna kuning muda, merah hijau, orange dan merah. Teknik buat dengan menggunakan gergaji untuk memotong bamboo, pisau untuk meraut bilah dan besi panas untuk melubangi bilah. Dimainkan oleh anak laki-laki Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dapat dimainkan dilantai rumah atau tempat yang rata dan licin, dengan cara diputar menggunakan tali, pada waktu senggang.
E. Gasing Pinang
Terbuat dari buaha pinang dan lidi bamboo, warna coklat tua dan kuning muda. Teknik buat dengan menggunkan pisau untuk mengupas buah pinang dan meraut lidi bamboo dan palu untuk memukul lidi bamboo untuk ditancapkan pada pinang. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dilantai rumah dengan cara diputar dengan tangan pada waktu senggang.
F. Gasing Alumunium
Terbuat dari logam alumunium dan benang, warna putih. Dibuat dengan menggunakan paku untuk melubangi lempengan alumunium, palu sebagai alat pemukul supaya rata, gunting sebagai pemotong dan batu asahan untuk menajamkan mata gasing. Dimainkan oleh anak laki-laki atau perempuan Suku Melayu Bengkulu tempo dulu, dimainkan dimana saja pada waktu senggang.

3. Nilai Budaya dalam permainan gasing
Dalam permainan terkandung sikap jujur, tekun dan terampil, karena seorang
penggangsing dituntut patuh pada aturan yang berlaku, diperlukan ketekunan dan keterampilan dalam pembuatan maupun memainkannya.
Reference :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2009/03/gasing-bengkulu-permainan-traditional.html
http://gasingindonesia.wordpress.com

Objek Wisata di Kotadonok

1. Danau Tes
Danau Tes merupakan tempat wisata sekaligus menjadi Pusat Pembang-kit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Bengkulu. Tidak sama dengan tempat wisata lainnya, luas objek wisata Danau Tes + 750 Ha jarak tempuh-nya 25 km dari ibu kota kabupaten dapat di tempuh dengan ken-daraan umum, Danau Tes telah tersentuh oleh Penataan Pembangunan.

2. Sungai Ketahun
Terletak disepanjang Desa Suka Sari dan Talang Leak mempunyai air yang sangat jernih, keindahan Panorama Alam dan Luasnya sungai sepanjang 20 Km.

3. Keramat Taukem
Terletak di ujung sebelah utara Kotadonok berbatasan dengan wilayah Desa Tes. Di epat Taukem (Keramat Tepat Rukam) terdapat meriam kuno dengan sebuah peluru besi. Menurut kepercayaan masyarakat Kotadonok, bagi anak haram—anak yang dilahirkan dari hasil zina, tidak akan bisa mengangkat peluru besi sebesar buah kelapa itu.
4. Air Terjun Teluk Nusai
Air terjun ini memang masih asli, berada di areal persawahan Teluk Nusai di seberang desa Kotadonok. Untuk menjangkau lokasi air terjun itu, bisa ditempuh dengan dua alan. Pertama dengan naik perahu dengan lama tempuh sekitar 10—15 menit, atau melalui jembatan Tlang Macang dengan waktu sekitar 30 menit.

5. Air Panas Masteman
Air panas Masteman dinamakan demikian karena berada di kebun kopi milik Masteman (alm) sekitar 2 Km dari Kotadonok. Jalan ke lokasi harus ditempuh dengan jalan kaki, karena belum ada jalan yang dibangun. Waktu tempuh sekitar 30-40 menit dari desa Sukasari.

6. Butau Gesea
Burau Gesea (batu hampir). Maksudn adalah batu yang seakan-akan hampir jatuh dari lereng bukit. Lokasinya berada di Danau Tes, mtepatnya di kawasan Teluk Lem yang sangat legendaris itu. Batu dengan ukuran sekitar sebesar mobil kijang itu, ternyata di atas permukaannya mampu menampung puluhan orang.

7. Jungut Benei
Jungut enei adalah muara Air Ketahun di Danau Tes yang kemudian membentuk pulau kecil yang terdiri dari pasir yang dihanyutkan oleh aliran Air Ketahun. Pulau pasir yang disebut Jungut Benei itu luasnya sekitar luasnya lapangan sepak bola. Hanya bentuknya yang bundar. Di atasnya, sampai tahun 1970 merupakan tempat penduduk Kotadonok melepas binatang piaraan mereka, seperti kerbau, itik atau bebek.
Di Jungut Benei banyak dijumpai burung belibis, burung cekuwok dan burung jenis lainnya yang mencari makan berupa ikan-ikan kecil di deaerah itu. Sering pula dijadikan oleh anak-anak desa Kotadonok untuk tempat bermain bola. Sayangnya sekarang sampai 2009, Jungut Benei tidak seperti dahulu kalau. Di samping penduduk Kotadonok tidak lagi memiliki binatang piaraan kerbau dan sapi.
Masyarakat yang mencari ikan sudah menggunakan peralatan penagkap ikan yang semi modern. Kalau dulu Jungut Benei dijadikan tempat berteduh dan persinggahan para pemancing, penjala dan penjaring ikan atau para pencari ikan di malam hari (nyuluak)

8. Desa Trans Mangkurajo
Desa Trans Mangkurajo dibuka tahun 1983 ketika Kepala Desa Kotadonok dijabat oleh Bachnir. Lokasinya berada di atas bukit Barisan, tepat berada di atas Desa Kotadonok dan Sukasari. (kedua desa inbi dulunya bernama Kotadonok). Jalan menuju lokasi desa Trans Mangkurajo memang mendaki dan berliku-liku. Dari kawasan desa itu dapat dilihat dengan jelas panorama alam desa Kotadonok dan alam bukit barisan lainnya. Termasuk kawasan Danau Tes yangpenuh pesona, cantik aduhai dipandang mata, apalagi kalau sempat untuk berperau di Danau terbesar di provinsi Bengkulu itu.
Kemudian, di lembah Sawah Mangkurajo dapat dilihat dengan jelas dari lokasi eks PT Sebayur. Bagaimana keindahan alam pertanian di lembah Sawahmangkurajo. Walaupun digarap secra tradisionil, namun tetap menjadi tumpuan harapan masyarakat Kotadonok, Sukasari, Ujung Tanjung, Taba Anyar dan desa lainnhya di Lebong.

9. Sawah Mangkurjo
Lembah Bukit Barisan yang membujur dari Utara ke Selatan di provinsi Bengkulu ini sejak lama dikenal dengan nama Sawah Mangkurajo atau dalam bahasa Rejangnya disebut Saweak Krajo. Secara pasti kapan areal pertanian di daerah ini di buka belum diketahui. Hanya dalam beberapa cerita tokoh-tokoh Kotadonok menyebutkan sejak penjajahan kolonial Belanda, areal pertanian di daerah itu sudah dibuka.
Beberapa pelopor yang membuka usaha pertanian (sawah), kebun dan kolam di Sawah Mangkurajo antara lain H Aburuddin dengan anak-anaknya seperti Rahmatsyah, Hasyim, Zarah, Djahima dengan anak-anaknya, Saridin dan lainnya. Sedangkan pelopor lainnya seperti Dualim, Efek, Burudin dan sebagainya.
Lembah Sawah Mangkurajo yang bersuhu sangat dingin itu, sangat strategis. Dari Kotadonok berjarak sekitar 10 km, dari Tes—Taba Anyar sekitar 11 km, dari tambang emas Lebong Simpang sekitar 7 km, dari Pesisir (Arga Makmur) sekitar 20 km.
Saat ini penduduk yang bercocok tanam di Sawah Mangkurajo bukan hanya berasal dari desa Kotadonok, tapi juga dari Ujung Tanjung, Talang Leak, Turun Lalang, Tes, Manna (Kedurang) dan dari daerah lainnya. Keadaan tanahnya sangat subur, curah hujan cukup tinggi. Sumber air melimpah ruah. Dan daerah ini cocok untuk dijadikan wisata agro pertanian di Lebong.

10. Tlang Macang
Tlang Macang dahulu kala merupakan lokasi penyeberangan Air Ketahun bagi penduduk Topos dan sebaliknya yang ke pekan (pasar) di Kotadonok yang selalu ramai. Sebab, di Lebong Selatan waktu itu, hanya di Kotadonok ada pekan yang diadakan setiap hari Rabu.
Dulu untuk menyeberang Tlang Macang digunakan perahu yang menempuh jarak sekitar 30 meter. Kini, ketika Lebong menjadi kabupaten, sudah dibuat jembatan tempat penyeberangan. Rencananya akan dibangun jalan menuju desa Topos. Tapi, untuk membangun jalan permanen memang agak sulit, karena kondisi yang akan ilalui merupakan Tebing Tebo Dinding yang cukup curam.

11. Rumah Gubernur
Yang dimaksud dengan rumah gubernur itu adalah rumah pribadi atau keluarga gubernur Sumatera Selatan (1958—1959) Mohammad Husein—yang namanya diabadikan untuk Rumah Sakit Umum Palembang.

12. Rumah Pangeran
Rumah pangeran adalah rumah keluarga besar pangeran Kotadonok, Ali Kra dan Aliusar. Rumah itu sejak lama sudah tidak dihuni dan tidak pernah dirawat sebagaimana mestinya. Di rumah ini banyak cerita magic maupun mitos yang sangat populer di masyarakat Lebong.

13. Kubua Lai
Kubua Lai (Makam Besar) itu terletak di belakang rumah Supena (Pena), berupa gundukan tanah yang disekitarnya tumbuh pohon asam jawa da macang. Konon cerita, kubua lai itu dinamakan demikian karena orang yang meninggal dikuburkan dalam satu kuburan. Tentu, siapa yang meninggal di sana, tidak ada yang tahu persis. Karena kejadiannya sudah ada sejak desa Kotadonok ada.
From by http://anokjang.multiply.com ditulis sesuai realitas oleh Naim Emel Prahana si putra Rejang.