Tampilkan postingan dengan label Hukum & Undang-Undang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum & Undang-Undang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 12 Juni 2016

Mencatatkan Perkawinan di Dua Negara

 
Pertanyaan :
Apakah sah jika saya memiliki 2 sertifikat pernikahan di 2 negara, di Singapura satu dan di Indonesia satu? Saya berencana tanda tangan surat nikah di Singapura tanggal 19 Juni dan di Jakarta, Indonesia tanggal 11 Sept. Terima kasih.
Jawaban :


NAYARA Advocacy merupakan lawfirm yang mengkhususkan keahliannya dalam bidang hukum perorangan dan hukum keluarga.
Untuk berdiskusi lebih lanjut, silakan hubungi +6221 - 22837970 atau email ke: info@nayaraadvocacy.com
Website : http://www.nayaraadvocacycom



Intisari:


Anda bisa melakukan perkawinan di Singapura untuk kemudian dicatatkan di Indonesia. Pencatatan tersebut dilakukan paling lambat 30 hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia. Atau Anda bisa melakukan perkawinan di Singapura dan di Indonesia yang berakibat Anda akan memiliki dua akta perkawinan. Merujuk pada peraturan di Indonesia, tidak terdapat ketentuan yang melarang kepemilikan atas dua akta perkawinan yang berasal dari dua negara yang berbeda.

Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini.



Ulasan:

Terima kasih atas pertanyaannya.

Pada prinsipnya perihal perkawinan berdasarkan hukum Republik Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan sedangkan untuk syarat teknis dari perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) dan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 25/2008”).

Dari penjelasan yang Anda berikan, terdapat 2 (dua) kemungkinan yaitu:
1.    Anda melaksanakan perkawinan di Singapura terlebih dahulu kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di Indonesia;atau
2.    Perkawinan di Singapura dan di Indonesia adalah berdiri sendiri-sendiri.

Berikut akan kami jelaskan satu persatu sebagai berikut:

1.    Apabila maksud Anda adalah melaksanakan perkawinan di Singapura terlebih dahulu kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di Indonesia, maka berlaku ketentuan seperti di bawah ini:

Bagi seorang Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang bermaksud untuk menikah baik dengan sesama WNI atau dengan seorang Warga Negara Asing (“WNA”) (perkawinan campuran) di luar wilayah Republik Indonesia dalam hal ini Singapura, maka berdasarkan Pasal 56 ayat (1) UU Perkawinan berlaku syarat sebagai berikut:
a. dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan; dan
b.  bagi WNI tidak melanggar ketentuan-ketentuan UU Perkawinan.

Namun demikian, perkawinan tersebut tidak serta merta sah dan diakui berdasarkan hukum Indonesia.

Pasal 56 ayat (2) UU Perkawinan mengatur bahwa agar perkawinan di luar wilayah Republik Indonesia tersebut sah dan diakui berdasarkan hukum Indonesia maka surat bukti perkawinan dari luar negeri tersebut harus didaftarkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil tempat tinggal suami istri, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 37 ayat (4) UU Adminduk yang berbunyi :

“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Instansi Pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.”

Dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 73 Perpres 25/2008 yang berbunyi :

“Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71 setelah kembali di Indonesia melapor kepada Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana di tempat domisili dengan membawa bukti pelaporan/pencatatan perkawinan dil luar negeri dan Kutipan Akta Perkawinan.”

2.    Namun apabila Anda bermaksud melangsungkan perkawinan di Singapura dan perkawinan di Indonesia atau dengan kata lain kedua perkawinan tersebut berdiri sendiri-sendiri, maka berlaku ketentuan:

Bagi seorang WNI yang bermaksud untuk menikah dengan sesama WNI di wilayah wilayah Republik Indonesia adalah sah berdasarkan hukum Indonesia apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan kedua mempelai[1] dan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku[2].

Sedangkan, apabila seorang WNI bermaksud untuk menikah dengan seorang WNA (perkawinan campuran) di wilayah Republik Indonesia, maka berdasarkan Pasal 60 UU Perkawinan, WNI tersebut harus memenuhi ketentuan dalam UU Perkawinan sedangkan bagi WNA harus memenuhi persyaratan ketentuan perkawinan yang berlaku di negaranya terlebih dahulu.

Untuk membuktikan bahwa seluruh syarat-syarat telah dipenuhi, maka baik WNI maupun WNA memberikan surat keterangan yang intinya menyatakan bahwa syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi oleh pejabat pencatat perkawinan yang berwenang di Negara masing-masing.[3]

Selanjutnya, dengan adanya perkawinan yang berdiri sendiri-sendiri tersebut berakibat Anda akan memiliki dua akta perkawinan. Anda mempertanyakan apakah hal ini diperbolehkan?

Dengan merujuk kepada UU Perkawinan dan peraturan pelaksananya tidak terdapat ketentuan yang melarang kepemilikan atas dua akta perkawinan yang berasal dari dua negara yang berbeda.

Demikian kami sampaikan. Terima kasih.

Dasar Hukum:
3.    Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Sabtu, 13 Februari 2016

UNDANG - UNDANG



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka pengakuan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak dalam mencapai tujuan nasional;

 b. bahwa Kejaksaan Republik Indonesia termasuk salah satu badan yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 c. bahwa untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi degan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Mengingat:
1.      Pasal 20, pasal 21, dan pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.      Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 3209;
3.      Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indoensia Nomor 4358 );

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :
1.      Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
1.      Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
2.      Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
3.      Jabatan Fungsionla jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi Kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.

Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
1)     Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah
2)     lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
3)     Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
4)     Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

Pasal 3
Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan tinggi, dan Kejaksaan negeri.

Pasal 4
(1)         Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia.
(2)         Kejaksaan Tinggi berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
(3)         Kejaksaan negeri berkedudukan di ibukota kabupaten/ kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.

BAB II
SUSUNAN KEJAKSAAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
Sunanan Kejaksaan terdiri dari Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri.

Pasal 6
(1)   Susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan ditetapkan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2)   Kejaksaan tinggi dan Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul Jaksa Agung.

Pasal 7
(1)   Dalam hal tertentu di daerah hukum Kejaksaan negeri dapat dibentuk cabang Kejaksaan negeri.
(2)   Cabang Kejaksaan negeri dibentuk dengan Keputusan Jaksa Agung.

Bagian Kedua
J a k s a

Pasal 8
(1)   Jaksa diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung.
(2)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa bertindak untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab menurut saluran hierarki.
(3)   Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah.
(4)   Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya , jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.
(5)   Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.

Pasal 9
(1)   Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalah :
a.      warga negara Indonesia;
b.      bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c.       setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
d.      berijazah paling rendah sarjana hukum;
e.      berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;
f.        sehat jasmani dan rohani;
g.      berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
h.      pegawai negeri sipil.
(2)   Selain syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk dapat diangkat menjadi jaksa, harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, syarat, atau petunjuk pelaksanaan untuk mengikutipendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Pasal 10
(1)   Sebelum memangku jabatannya, jaksa wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya di hadapan Jaksa Agung.
(1)   Sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan setia kepada dan mempertahankan negara kesatuan Republik Indonesia, serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi negara Republik Indonesia.
bahwa saya senantiasa menjunjung tinggi dan akan menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan, serta senantiasa menjalankan tugas dan wewenang dalam jabatan saya ini dengan sungguh-sungguh, seksama, obyektif, jujur, berani, professional, adil, tidak membeda-bedakan jabatan, suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, dan negara.
bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak mau dipengaruhi oleh campur tangan siapa pun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan tugas dan wewenang saya yang diamanatkan undang-undang kepada saya.
bahwa saya dengan sungguh-sungguh, untuk melaksanakan tugas ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
bahwa saya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian”.

Pasal 11
(1)   Kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang ini, jaksa dilarang merangkap menjadi.
a.      pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta.
b.      advokad
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan atau pekerjaan yang dilarang dirangkap selain jabatan atau pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12
Jaksa diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah mencapai usia 62 (enam puluh dua) tahun;
d. meninggal dunia;
e. tidak cakap dalam menjalankan tugas.

Pasal 13
(1)         Jaksa diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya dengan alasan :
a.       dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan, berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.      terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas / pekerjaanya;
c.    melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11;
d.      melanggar sumpah atau janji jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
e.      melakukan perbuatan tercela.
(2)         Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(1)   huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa.
(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Jaksa, serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Pasal 14
(1)   Jaksa yang diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya, dengan sendirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri sipil.
(2)   Sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jaksa yang bersangkutan dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(3)   Setelah seorang jaksa diberhentikan sementara dari jabatan fungsionalnya berlaku pula ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) tentang kesempatan untuk membela diri.

Pasal 15
(1)   Apabila terdapat perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan terhadap seorang jaksa, dengan sendirinya jaksa yang bersangkutan diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.
(2)   Dalam hal jaksa dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana sebagaimana dimkasud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa ditahan, jaksa dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Jaksa Agung.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian sementara, serta hak-hak fungsional jaksa yang terkena pemberhentian diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan mengenai tunjangan jabatan fungsional jaksa diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Muda
Pasal 18
(1)   Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan.
(2)   Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda.
(3)   Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan.
(4)   Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan.

Pasal 19
(1) Jaksa Agung adalah pejabat negara.
(2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 20
Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.

Pasal 21
Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi:
a.      Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan;
b.      Advokat;
c.       Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya;
d.      Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta;
e.      Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah;
f.        Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundangundangan;
g.      Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau
h.      Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undang-undang.

Pasal 22
(1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 23
(1)   Wakil Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2)   Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung
(3)   Yang dapat diangkat menjadi Wakil Jaksa Agung adalah Jaksa Agung Muda, atau yang dipersamakan dengan memperhatikan jenjang dan jabatan karier.

Pasal 24
(1)   Jaksa Agung Muda dingkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Jaksa Agung.
(2)   Yang dapat diangkat menjadi Jaksa Agung Muda adalah jaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
(1)   yang berpengalaman sebagai kepala kejaksaan tinggi atau jabatan yang dipersamakan dengan jabatan
(2)   kepala kejaksaan tinggi.
(3)   Jaksa Agung Muda dapat diangkat dari luar lingkungan kejaksaan dengan syarat mempunyai keahlian
(4)   tertentu.
(5)   Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. permintaan sendiri;
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
d. berakhir masa jabatannya;
e. Tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 25
(1)   Dalam hal Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda dinilai melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan pemberhentian tidak dengan hormat seabagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1),
(1)   Presiden atas usul Jaksa Agung dapat memberhentikan untuk sementara dari jabatnnya sebelum diambil tindakan pemberhentian tersebut.
(2)   Ketentuan tentang pembelaan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), berlaku pula terhadap Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda.

Bagian Keempat
Kepala Kejaksaan Tinggi, Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi, Kepala Kejaksaan Negeri, dan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Pasal 26
(1)   Kepala kejaksaan tinggi pimpinan kejaksaan tinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2)   Kepala kejaksaan tinggi dibantu oleh seorang wakil kepala kejaksaan tinggi sebagai kesatuan unsur pimpinan, beberapa orang unsur pembantu pimpinan, dan unsur pelaksana.

Pasal 27
(1)   Kepala kejaksaan negeri adalah pimpinan kejaksaan negeri yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.
(2)   Kepala kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.
(3)   Kepala cabang kejaksaan negeri adalah pimpinan cabang kejaksaan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di sebagian daerah hukum kejaksaan negeri yang membawahkannya.
(4)   Kepala cabang kejaksaan negeri dibantu oleh beberapa orang unsur pelaksana.

Pasal 28
Yang dapat diangkat menjadi kepala kejaksaan tinggi, wakil kepala kejaksaan tinggi, kepala kejaksaan negeri, dan kepala cabang kejaksaan negeri adalah jaksa yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan lebih lanjut oleh Jaksa Agung.

Bagian Kelima
Jabatan Fungsional dan Tenaga Ahli
Pasal 29
(1)   Pada kejaksaan dapat ditugaskan pegawai negeri yang tidak menduduki jabatan fungsional jaksa, yang diangkat dan diberhentikan oleh Jaksa Agung menurut perundang-undangan.
(2)   Pegawai negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diangkat sebagai tenaga ahli atau tenaga tata usaha untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan.
(3)   Selain tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pada kejaksaan dapat diangkat tenaga ahli bukan dari pegawai negeri.

BAB III
TUGAS DAN WEWENANG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 30
(1)   Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a.      Melakukan penuntutan;
b.      Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap;
c.       Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d.      Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e.      Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2)   Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
(3)   Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:
a.      Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b.      Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c.       Pengawasan peredaran barang cetakan;
d.      Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
e.      Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f.        Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Pasal 31
Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri

Pasal 32
Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang.

Pasal 33
Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya

Pasal 34
Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Bagian Kedua
Khusus
Pasal 35
Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang:
a.      Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
b.      Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
c.       Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d.      Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
e.      Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f.        Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 36
(1)   Jaksa Agung memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.
(2)   Izin secara tertulis untuk berobat atau menjalani perawatan di dalam negeri diberikan oleh kepala kejaksaan negeri setempat atas nama Jaksa Agung, sedangkan untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di luar negeri hanya diberikan oleh Jaksa Agung.
(3)   Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), hanya diberikan atas dasar rekomendasi dokter, dan dalam hal diperlukannya perawatan di luar negeri rekomendasi tersebut dengan jelas meyatakan kebutuhan untuk itu yang dikaitkan dengan belum mencukupi fasilitas perawatan tersebut di dalam negeri.

Pasal 37
(1)   Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurari.
(2)   Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas.

BAB IV
KETENTUAN LAIN
Pasal 38
Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden.

Pasal 39
Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur dalam Qanun sebagaimana dimaksud dalam Udang-Udang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewah Aceh sebagai provinsi Nanghroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kejasaan dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan undang-Undang ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang kejaksaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3451), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 42
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
                         tdd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 26 Juli 2004
SEKERTARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 67


PENJELASAN
ATAS
UNDANG–UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 16 TAHUN 2004
TENTANG
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
I. UMUM.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hokum (equality before the law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dalam usaha memperkuat prinsip di atas maka salah satu substansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan yang mendasar dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa ketentuan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Ketentuan badan-bandan lain tersebut dipertegas oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, salah satunya adalah Kejaksaan Republik Indonesia.
Sejalan dengan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undang-undang yang baru.
Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga Negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.
Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang disempurnakan, antara lain :
1.      Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.
2.      Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, ditentukan bahwa jaksa merupakan jabatan fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan) tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.
3.      Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4.      Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden.
5.      Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga membela dan melindungi kepentingan rakyat.

II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi,
tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan
lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan” adalah satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan dibidang penuntutan sehingga dapat menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku, dan tata kerja Kejaksaan.
Oleh karena itu kegiatan penuntutan di pengadilan oleh Kejaksaan tidak akan berhenti hanya karena jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dalam hal demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun untuk itu dilakukan oleh jaksa lainnya sebagai pengganti.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah keadaan yang harus dipertimbangkan perlunya percepatan layanan hukum kepada masyarakat dalam pembentukan cabang Kejaksaan, antara lain :
a. wilayah hukum Kejaksaan negeri yang luas;
b. kondisi geografis dan demografis; atau
c. intensitas layanan tugas yang tinggi.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Ketentuan dalam ayat ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada jaksa yang telah diatur dalam Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors yaitu Negara yang menjamin bahwa jaksa sanggup untuk menjalankan profesi mereka tanpa intimidasi, gangguan, godaan, campur tangan yang tidak tepat atau pembeberan yang belum diuji kebenarannya baik terhadap pertanggungjawaban perdata, pidana, maupun pertanggungjawaban lainnya.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya perusahaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “sakit rohani dan jasmani terus menerus” adalah sakit yang menyebabkan si penderita tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah jaksa diberhentikan dari jabatan fungsionalnya.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dipidana” ialah dijatuhi pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan Huruf b
Yang dimaksud dengan “terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas/pekerjaan” adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari, yang bersangkutan tidak menyelesaikan tugas yang dibebankan kepadanya tanpa suatu alasan yang sah.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan “perbuatan tercela” adalah sikap, perbuatan, dan tindakan jaksa yang bersangkutan baik pada saat bertugas maupun tidak bertugas merendahkan martabat jaksa atau Kejaksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pemberhentian sementara” adalah tindakan memberhentikan sementara waktu sebagai jaksa, sampai adanya keputusan defenitif dari Jaksa Agung berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau keputusan Majelis Kehormatan Jaksa atas kesalahan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Dengan adanya surat perintah penangkapan dan penahanan oleh pihak yang berwenang maka Jaksa Agung segera menyusuli dengan surat keputusan pemberhentian sementara.
Ayat (2)
Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menetapkan tindak pidana tertentu yang memberi wewenang kepada penyidik, penuntut umum, atau pengadilan untuk melakukan tindakan penahanan atas pelaku tindak pidana tersebut. Dalam hal seorang jaksa dituntut dimuka pengadilan karena melakukan salah satu tindak pidana tersebut, walaupun yang bersangkutan tidak ditahan, ia dapat dikenakan tindakan pemberhentian sementara.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1).
Mengingat Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan ewenang kejaksaan maka Jaksa Agung adalah juga pimpinan dan penanggung jawab tertinggi dalam bidang penuntutan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “kesatuan unsur pimpinan” adalah wujud keterpaduan dan kebersamaan antara Jaksa Agung dan wakil Jaksa Agung dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pejabat negara lain atau penyelenggara negara”, misalnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menteri, hakim,dan pejabat lain sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengusaha” adalah direksi atau komisaris perusahaan, pemilik saham dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya, atau memiliki saham tetapi saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan jalannya
perusahaan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1).
Adanya jabatan Wakil Jaksa Agung akan sangat membantu Jaksa Agung khususnya dalam pembinaan administrasi sehari-hari dan segi-segi teknis operasional lainnya. Karena sifat tugasnya tersebut maka jabatan Wakil Jaksa Agung merupakan jabatan karier dalam lingkungan kejaksaan.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Yang dimaksud dengan “yang dipersamakan” adalah jabatan yang setara dengan Eselon I.
Pasal 24
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ jabatan yang dipersamakan dengan jabatan kepala kejaksaan tinggi” adalah jabatan kepala direktorat, kepala biro, atau jabatan lainnya yang setingkat.
Ayat (3).
Pada dasarnya jabatan Jaksa Agung Muda adalah jabatan karier. Ketentuan dalam ayat ini memberikan kemungkinan pengangkatan seorang Jaksa Agung Muda dari luar lingkungan kejaksaan. Sifatnya sangat selektif dan berdasarkan kebutuhan serta pejabat tersebut mempunyai keahlian tertentu yang bermanfaat bagi pelaksana tugas dan wewenang kejaksaan.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat penjelasan pasal 12 huruf b.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1).
Cukup jelas.
Ayat (2).
Yang dimaksud dengan “ tenaga ahli” adalah ahli dalam berbagai disiplin ilmu dan tidak dimaksudkan untuk memberikan “keterangan ahli” dalam suatu persidangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Yang dimaksud dengan “tenaga tata usaha “ adalah tenaga yang tidak melaksanakan fungsi jaksa.
Ayat (3).
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1).
Huruf a
Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

Huruf b
Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim, kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan perikemanusiaan berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.
Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang pemasyarakatan.

Huruf d
Kewewenangan dalam ketentuan ini adalah kewewenangan sebagaimana diatur misalnya adalah Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Huruf e
Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
(1)   Tidak dilakukan terhadap tersangka, 2) Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan negara.
(2)   Harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diselesaikan ketentuan pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
(3)   Prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.
Ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3).
Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat prevensif dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan” adalah mencangkup kegiatan-kegiatan bersifat membantu, turut serta, dan bekerja sama. Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Adalah menjadi kewajiban bagi setiap badan negara terutama dalam bidang penegakan hukum dan keadilan untuk melaksanakan dan membina kerja sama yang dilandasi semangat keterbukaan, kebersamaan, dan keterpaduan dalam suasana keakraban guna mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu.
Hubungan kerja sama ini dilakukan melalui koordinasi horizontal dan vertikal secara berkala dan berkesinambungan dengan tetap menghormati fungsi, tugas, dan wewenang masing-masing.
Kerjasama antara kejaksaan dengan instansi penegakan hukum sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak dalam penyelesaian perkara.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “ kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakuka oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Huruf d
pengajuan kasasi demi kepentingan hukum ini adalah sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat ini, tersangka atau terdakwa atau keluarganya mengajukan permohonan secara tertulis kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan Keputusan Jaksa Agung.
Diperlukannya izin dalam ketentuan ini oleh karena status tersangka atau terdakwa yang sedang dikenakan tindakan hukum, misalnya berupa penahanan, kewajiban lapor, dan/atau pencegahan dan penangkalan.
Yang dimaksud dengan “tersangka atau terdakwa” adalah tersangka atau terdakwa yang berada dalam tanggung jawab kejaksaan.
Yang dimaksud dengan “ dalam keadaan tetentu” adalah apabila fasilitas pengobatan atau menjalani perawatan di dalam negeri tidak ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain rekomendasi dari dokter untuk berobat ke luar negeri, juga disyaratkan adanya jaminan tersangka atau terdakwa atau keluarganya berupa uang sejumlah kerugian negara yang diduga dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.
Apabila tersangka atau terdakwa tidak kembali tanpa alasan yang sah dalam jangka waktu 1 (satu) tahun uang jaminan tersebut menjadi milik negara. Pelaksaannya dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dilakukan melalui rapat kerja.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan “ mengenai perkara pidana” dalam ketentuan ini adalah seluruh proses yang menjadi kewenangan kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4401