Jumat, 23 Juli 2010
memories 30 year not meet
Nikah Siri Bukan Pidana
RUU Nikah Siri
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)
( Hanya Pelanggaran Administrasi )
Wacana pemidanaan pelaku nikah tanpa dokumen resmi seperti nikah siri terus menuai kontroversi. Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat Asrorun Niam Sholeh menilai praktek nikah siri merupakan pelanggaran administratif, yaitu melanggar Pasal 2 UU Nomor 1 tentang Perkawinan, bukan pelanggaran pidana.
"Rencana kriminalisasi praktek nikah siri dalam Draft RUU Terapan Peradilan Bidang Perkawinan adalah hal yang tidak proporsional dan berlebihan," kata Niam dalam perbincangan dengan detikcom di Jakarta, Selasa (16/2/2010).
Menurut doktor lulusan UIN Jakarta ini, masalah pencatatan pernikahan adalah masalah administrasi keperdataan, sehingga tidak tepat jika dipidana bagi pelanggarnya. Niam mendukung keharusan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian hukum dan mencegah dampak negatif dalam pernikahan.
"Pencatatan pernikahan penting untuk kepentingan administratif, tidak ada alasan untuk menolak pencatatan pernikahan. Bahkan bisa jadi hukumnya wajib", tegas Niam.
Walau demikian Niam mengingatkan perlu sikap proporsional pada kasus nikah siri. "Sanksi terhadap pelanggaran administratif hendaknya adalah sanksi administratif bukan dengan pidana", tegas Doktor bidang Hukum Islam ini.
Intervensi Negara
Pemidanaan terhadap nikah siri, menurut Niam, sebagai tindakan intervensi negara terhadap urusan agama, serta upaya kriminalisasi administrasi negara. Hal ini bertentangan dengan prinsip kehidupan bernegara.
Dalam penetapan regulasi mengenai masalah nikah siri, lanjut Niam, harus dilihat secara komprehensif. Faktanya, praktek nikah siri di masyarakat disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya adalah keterbatasan akses dan juga ketidakmampuan secara ekonomi.
"Bagaimana mungkin orang yang miskin, yang tidak mampu mengurus dokumen pernikahan dan membayar administrasi, kemudian dia nikah siri, dipidana 3 bulan. Kan ini bertentangan dengan rasa keadilan", ujarnya.
Mengomentari adanya praktek nikah siri yang menyebabkan anak istri terlantar, Niam menjelaskan dengan rinci dan proporsional. "Kalau ada orang yang melakukan nikah siri kemudian menelantarkan anak istri, maka yang dipidana adalah tindakan penelantarannya, bukan nikah sirinya", ujarnya.
Dia menambahkan, sekalipun pernikahan telah dicatatkan, jika terjadi penelantaran anak dan istri tetap saja ini harus dihukum. "Dengan demikian, intinya bukan nikah sirinya, tetapi penelantarannya", pungkasnya mengingatkan. (detik.news/yid/iy)
Nikah Siri Hak Asasi Manusia
Tak Bisa Dipidana
Jakarta - RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum JE Sahetapy usai peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2010). Menurutnya untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan pemerintah yang melarang. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," tegasnya.
Menurutnya, karena urusan agama, maka sanksinya pun bukan pidana berupa denda atau penjara.
"Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama," pungkasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (rdf/irw)
Jakarta - RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang memuat ketentuan pidana bagi pelaku nikah siri ditentang. Pernikahan dipandang sebagai hak asasi manusia, bukan urusan pemerintah.
"Itu kan hak asasi sesorang," ujar pakar hukum JE Sahetapy usai peluncuran buku SETARA institute di Hotel Athlete Senayan, Jakarta, Selasa (16/2/2010). Menurutnya untuk soal seperti ini, agama yang harus melarang, bukan pemerintah yang melarang. "Kalau saya tidak sepakat. Itu kan hak seseorang," tegasnya.
Menurutnya, karena urusan agama, maka sanksinya pun bukan pidana berupa denda atau penjara.
"Itu harus agamanya yang mengatur, sanksinya harus dari agama," pungkasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (rdf/irw)
RUU Nikah Siri
- Menag: Hukuman Belum Definitif, Bisa Saja Cuma Wajib Umumkan Pernikahan
Hukuman bagi para pelaku nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan belum definitif. Mungkin saja hukuman itu nantinya dalam bentuk administratif.
"Misalnya diwajibkan mendaftarkan diri, diwajibkan mengumumkan ke publik atau dikenakan denda. Kira-kira, ya, seperti itu. Jadi belum definitif, ya," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di sela-sela mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Banten, Selasa (16/2/2010).
Suryadharma menegaskan, RUU tersebut masih berupa draf yang disusun dari berbagai macam pikiran, pandangan dan alasan-asalah filosofis serta sosiologis. RUU itu nanti bisa disetujui bisa saja tidak oleh DPR.
"Baru masuk di badan legislasi. Itu rancangan itu dari Depag, begitu," tandasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (Luhur Hertanto – detikNews/irw/iy)
Hukuman bagi para pelaku nikah siri seperti yang tertuang dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan belum definitif. Mungkin saja hukuman itu nantinya dalam bentuk administratif.
"Misalnya diwajibkan mendaftarkan diri, diwajibkan mengumumkan ke publik atau dikenakan denda. Kira-kira, ya, seperti itu. Jadi belum definitif, ya," kata Menteri Agama Suryadharma Ali di sela-sela mengikuti kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke LP Anak Tangerang, Banten, Selasa (16/2/2010).
Suryadharma menegaskan, RUU tersebut masih berupa draf yang disusun dari berbagai macam pikiran, pandangan dan alasan-asalah filosofis serta sosiologis. RUU itu nanti bisa disetujui bisa saja tidak oleh DPR.
"Baru masuk di badan legislasi. Itu rancangan itu dari Depag, begitu," tandasnya.
Dalam draf RUU yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010 itu memuat ketentuan pidana terkait perkawinan siri, perkawinan mutah, perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. RUU itu juga mengatur mengenai perceraian yang dilakukan tanpa di muka pengadilan, melakukan perzinahan dan menolak bertanggung jawab, serta menikahkan atau menjadi wali nikah, padahal sebetulnya tidak berhak.
Ancaman hukuman untuk tindak pidana itu bervariasi, mulai dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Tidak hanya itu, RUU itu juga mengatur soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Calon suami yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta. (Luhur Hertanto – detikNews/irw/iy)
Gara-gara KD-Raul, MUI Resah
-Bagaimana UU Pornografi
-Bagaimana KUHP Pasal Perzinahan
-Bagaimana Polri
KOMPAS.com — Aksi baku cium antara vokalis pop Krisdayanti dan kekasihnya, Raul Lemos, Rabu (21/7/2010) di hadapan sorotan kamera langsung menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
"Mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan," ungkap Ketua MUI KH Hamidan saat dihubungi via telepon genggamnya di Jakarta, Kamis (22/7/2010).
Hamidan mengatakan, adegan yang dipertontonkan Raul-KD, meskipun disensor, tetap saja dinilai tidak sehat untuk dikonsumsi publik. "Prihatin karena itu kurang sehat untuk masyarakat," ungkap Hamidan.
Disinggung soal harapan istri Raul, Silvalay Noor Arthalia, agar MUI menegur suaminya dan KD karena dianggap telah berbuat senonoh, Hamidan enggan berkomentar pasti. "Ya itu kami lihat, apakah ini terkait pornografi atau pornoaksi. Tapi, itu bukan bidang MUI," ucap Hamidan.
"Tapi kami shock, padahal sekarang masih hangat dengan kasus Ariel. Kok ada lagi yang bisa berbuat seperti itu," sambungnya.
Oleh karena itu, Hamidan dengan tegas menilai bahwa perbuatan Raul-KD dianggap sudah meresahkan. "Jelas, bagaimana dengan dampak ke anak-anak mereka, ke masyarakat umum, dan istrinya itu," ucap Hamidan. "Kami resah, tapi semua dikembalikan ke infotaiment-nya," tutupnya. (FAN)
-Bagaimana KUHP Pasal Perzinahan
-Bagaimana Polri
KOMPAS.com — Aksi baku cium antara vokalis pop Krisdayanti dan kekasihnya, Raul Lemos, Rabu (21/7/2010) di hadapan sorotan kamera langsung menuai reaksi dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
"Mungkin tindakan itu melanggar moral, tapi bisa saja lain dari segi jurnalistik wartawan," ungkap Ketua MUI KH Hamidan saat dihubungi via telepon genggamnya di Jakarta, Kamis (22/7/2010).
Hamidan mengatakan, adegan yang dipertontonkan Raul-KD, meskipun disensor, tetap saja dinilai tidak sehat untuk dikonsumsi publik. "Prihatin karena itu kurang sehat untuk masyarakat," ungkap Hamidan.
Disinggung soal harapan istri Raul, Silvalay Noor Arthalia, agar MUI menegur suaminya dan KD karena dianggap telah berbuat senonoh, Hamidan enggan berkomentar pasti. "Ya itu kami lihat, apakah ini terkait pornografi atau pornoaksi. Tapi, itu bukan bidang MUI," ucap Hamidan.
"Tapi kami shock, padahal sekarang masih hangat dengan kasus Ariel. Kok ada lagi yang bisa berbuat seperti itu," sambungnya.
Oleh karena itu, Hamidan dengan tegas menilai bahwa perbuatan Raul-KD dianggap sudah meresahkan. "Jelas, bagaimana dengan dampak ke anak-anak mereka, ke masyarakat umum, dan istrinya itu," ucap Hamidan. "Kami resah, tapi semua dikembalikan ke infotaiment-nya," tutupnya. (FAN)
Langganan:
Postingan (Atom)