Mencari Sebatang Rokok Di Jalanan Kota
Pembakar Sampah
Aku adalah pembakar
sampah
sumpah serapah
moncong kata-kata
dahsyat
itu berita kita
di mata di mana-mana
aromanya melukai dunia
kejinya buzzer jalani
sumpah setan
dengan bibir berginju
kutipan pasal-pasal
buku
tak pernah kenal malu
semuanya harus dibakar
jangan dibiarkan liar
(1985)
KENDARAAN lalulang di jalanan kota ini tak terhitung membaur dengan pejalanan kaki dan penarik becak, gerobak barang dan pengayuh sepeda. Ada yang sempat bertegur sapa dan banyak sekali diam tak menyapa siapapun. Semua berjalan sesuai naluri, tujuan dan petunjuk peraturan.
Musim pun silih berganti dalam rotasi waktunya. Setiap
rotasi memberikan dampak—jika hujan pedagang es gulung tikar. Sajian makanan
yang serba hangat diburu bagai rindu nafsu tak terbendung. Jika dampaknya panas
pada musimnya—orang miskin tak punya fasilitas kendaraan. Selalu kesusahan
untuk mendapatkan udara dari kipas angin kecil guna menyejukkan anak-anak
mereka di ruang rumah. Pemulung berharap barang bekas sudah dilumuri ulat-ulat
atau belatung berserakan di pinggir-pinggir jalan di depan-depan rumah kaum
elite. Agar karung-karung kumal yang dibawa dapat terisi harapan mendapatkan
beberapa lembar uang kertas.
Masing-masing memperjuangkan kehidupan dengan cara mereka
sendiri. Untuk mendapatkannya apakah mereka kuat menghadapi godaan keadaan dalam
proses mempertahankan denyut nadi, atau tidak?
Betapa sulitnya mendapatkan sebatang rokok yang utuh di jalanan kota. Kontras dengan puntung-puntung rokok, ada di mana-mana. Sampai ke jalanan di tengah hutan pun berserakan puntung-puntung rokok.
“Tidak ketemu sebatang rokok pun di jalanan!”
Kita hanya menemukan selonsongan alias puntung rokok di
mana-mana di kota ini, di pot-pot kantor milik pemerintah. Tidak terpungutkan
oleh pemulung barang-barang bekas. Apa mungkin racun puntung rokok itu menjadi
penyebab banyaknya ruas jalan utama di kota berlubang? Siapa tahu ada teori
konspirasinya bukan teori korelasi.
Beberapa kali saya melakukan perjalanan dengan Kereta Api
(KA) di Sumatera apa di Jawa. Memang pelayanan perjalanannya sungguh
menyenangkan. Sebagai perokok saya butuh waktu untuk merokok dimanapun berada
yang diselangselingi keadaan tempat dan waktu untuk dapat mengisap rokok.
Tetapi, di KA di Indonesia saat ini dilarang keras merokok di gerbang-gerbang
kereta yang notabene sudah menggunakan air conditioner (AC).
Jika mau merokok saat KA berhenti di stasiun—memang ada area
smoking dengan beberapa bangku. Tapi, itu hanya sesaat—mungkin tak lebih dari 5
kali isap, kita harus bergegas masuk kembali di gerbong—KA akan melanjutkan
perjalanan. Untuk negeri yang sedang (dikatakan) berkembang pelayanan di KA
Indonesia terbilang sudah cukup baik. Apalagi tidak adanya pedagang asongan yang
arogan menjajakan makanan dan minuman di dalam gerbong atau di stasiun KA.
Dan, saya harus jujur mengakui bahwa saya mampu bertahan
tidak merokok seperti di dalam pesawat terbang, ruang ber-AC atau tempat-tempat
dan waktu yang memang dilarang untuk merokok. Termasuk paling utama pada bulan
ramadhan. Apakah ada hubungannya tidak ditemukannya sebatang rokok di jalanan
kota? Anda tidak perlu menjawab dengan ucapan atau kata-kata. Cukup di dalam
hati, dinikmati dan disaksikan sendiri.
Ibarat seperti itu, maka sebatang rokok di jalanan kota tidak ditemukan adalah perkara kenyamanan seseorang atau warga tentang kebutuhan hidup di perkotaan—jangan hanya melihat kepentingan kaum (warga) kelas menengah atas saja. Tetapi kehidupan di akarnya rumput harus menjadi perhatian.
Rokok adalah simbol kebahagiaan bagi pengisapnya sama halnya
dengan kasih sayang kepada warga miskin merupakan suatu kebutuhan riil yang
harus dipenuhi oleh pemerintah sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah tidak boleh
menjadi produsen kata-kata ‘janji’, yang hanya menghasilkan sampah dan
melahirkan generasi serapah. Tetapi, jadilah sebagai rumah besar tempat orang
berteduh dengan nyaman.
Metro, 14 Februari
2021.