Sabtu, 14 Februari 2009

Kotadonok 2009 dalam Album





Kotadonok 2009 dalam Album

Kotadonok 2009 dalam Album

Runtuhnya Peradaban Masyarakat Rejang


Oleh Naim Emel Prahana

Keganasan produk teknologi canggih, informasi dan komunikasi sudah banyak merusak sistem dan nilai-nilai luhur masyarakat di hampir semua bangsa. Hanya sedikit bangsa (masyarakat) yang mampu mengendalikan teknologi canggih tersebut. Yang mampu memanfaatkan dan menggunakan produk teknologi yang tersebut dengan baik, efisien dan menjadi sarana pendukung untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan status sosial ekonomi.
Rumusan ’kemajuan’ memang masih dalam perdebatan. Secara definitif sudah jelas, akan tetapi secara subtsnasi mungkin masih diraba-raba ke mana arah kata maju (kemajuan) itu. Hampir sama dengan arti kata modern (modernis). Kalau dikaitkan dengan sarana transportasi, kemajuan itu tersirat pada rentang waktu yang digunakan dalam perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain.
Perjalanan menunaikan ibadah haji tempo dulu dapat menghabiskan waktu sampai sebulan penuh. Belum lagi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Sekarang, perjalanan haji dari Indonesia ke tanah Arab Saudi hanya membutuhkan beberapa jam saja. Seperti halnya untuk mendapatkan akses informasi dari berbagai belahan dunia, cukup mengklik beberapa kata di internet.
Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana transportasi; darat, laut dan udara serta produk transportasinya sendiri sudah sedemikian berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang. Kalau dulu masyarakat di pesesaan yang memiliki pesawat televisi boleh dikatakan tidak ada, padahal saat itu masyarakatnya terbilang makmur, tidak kekurangan sandang dan pangan. Tetapi, sekarang di tengah arus krisis multidimesional dan tinkat ekonomi masyarakat terus merosot.
Hampir setiap rumah penduduk di desa memiliki pesawat televisi—bahkan, di desa-desa di lereng pegunungan yang sulit ditembus jaringan satelit, mampu membeli parabola untuk penangkap siaran televisi. Secara tersirat masalah di atas, kemajuan itu disatu sisi, kemunduran di banyak sisi atau sebaliknya. Itulah yang dialami masyarakat Indonesia saat ini. Terutama masyarakat di pedesaan.
Salah satu hasil studi dan penelitian yang menarik yang saya dan kawan-kawan lakukan selama hampir 10 tahun terhadap masyarakat Redjang (Rejang, pen) di Kabupaten Rejang Lebong (kini menjadi 3 kabupaten; Rejang Lebong, Lebong dan Kepahiang). Adalah merosotnya peradaban masyarakat Rejang yang dahulu kala telah memiliki nilai dan status yang baik di antara sukubangsa lainnya di Indonesia.
Baik di bidang managemen pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, keagamaan, sosial budaya dan pendidikan. Setelah tahun 1970-an, masyarakat Rejang mengalami kemunduran, terutama pola pikir dan pandangan hidup yang mempengaruhi secara langsung adat kebiasaan sehari-hari dan peradaban masyarakat Rejang secara umum.

Terjebak Arus Informasi
Salah satu faktor yang mempengaruhi mundurnya nilai-nilai adat, kebiasaan dan peradaban masyarakat Rejang adalah informasi yang datang ke daerah Rejang. Informasi yang dimaksud adalah informasi dari media elektronik (televisi, radio) dan informasi orang-orang Rejang di perantauan yang sering kembali ke kampung halamannya. Terutama di daerah Lebong.
Kita ketahui sejak awal, selain mayoritas penduduk Lebong (Kabupaten Lebong sekarang) adalah sukubangsa Rejang. Terdapat pula sukubangsa Jawa, Sunda, Padang, Batak dan Palembang. Interaksi antarsuku memang tidak mengalami kesulitan. Akan tetapi, masyarakat Rejang sangat lamban menyerap pola kerja masyarakat dari suku lainnya di daerah Lebong. Masyarakat Rejang pada umumnya terjebak dengan pandangan hidup praktis, tetapi tidak ekonomis dan tidak efektif.
Sampai tahun 1970 masyarakat Rejang di Lebong dikenal sebagai masyarakat petani yang ulet, tekun, irit dan sangat kuat nilai ikatan kekeluargaannya. Terutama dalam makna gotong royong dalam bidang apapun. Di dalam nilai-nilai kehidupan masyarakat Rejang sangat setia dan taat akan nilai-nilai sosial, agama, seni, budaya dan hukum. Dengan perubahan zaman, terutama berhembusnya filosofi global ke daerah itu, membuat masyarakat Lebong terperangah, kaget dan seakan-akan menemukan dunia baru yang penuh dengan janji-janji kehidupan yang layak.
Dalam normal sosial keagamaan masyarakat Rejang yang dipedomani dan dipatuhi dalam kehidupan saehari-hari adalah pantang anggota masyarakatnya yang kawin cerai. Pantang bagi mereka untuk melakukan perbuatan sumbang besar maupun sumbang kecil di tengah masyarakatnya. Sebab, jika terjadi maka sanksi sosialnya sangat keras dan statis sesuai format nilai-nilai yang mereka ketahui dan jalani selama itu.
Termasuk dalam pergaulan sehari-hari para remaja. Filosofi bahwa pernikahan itu adalah kemampuan dan kemandirian, sangat dijunjung tinggi dan dipatuhi semua lapisan masyarakat. Perbuatan jahat, seperti maling, merampok, membunuh atau pelecehan seksual sampai pemerkosaan akan menjadi traumatik setiap anggota masyarakat Rejang. Akibatnya, perbuatran-perbuatan seperti itu sangat kecil sekali kemungkinan dilakukan anggota masyarakatnya.
Tembok tebal dan kokoh masyarakat Rejang akhirnya satu senti per senti mulai rontoh, banyak anggota masyarakat Rejang yang melanggar norma-norma sosial keagamaan, hukum adat, hukum positif dan normal lainnya. Hal itu diakibatkan perngaruh kehidupan dari luar struyktur masyarakat Rejang. Diawali dengan pernikahan (perkawinan) dengan orang luar dari sukubanghsa Rejang yang hanya mengejar penampilan (format), gaya hidup atau gengsi sosial.
Gadis-gadis Rejang banyak yang tertipu oleh penampilan para pengemudi mobil. Mereka tidak lagi mempedulikan, siapa lelaki yang berkenalan dengan dirinya yang setiap kali bertemu memberikan uang atau oleh-oleh. Tanpa disadari akhirnya ikut berpetualang bersama sang supir mobil ke berbagai desa atau ke luar daerah sukubangsa Rejang. Mereka baru menyadari kalau lelaki yang sering mengencaninya itu adalah seorang lelaki yang sudah beristeri dan punya anak.
Penyesalan memang di belakang. Namun banyak kebanyakan gadis Rejang, penyesalan itu tidak membuat mereka kembali (sadar), bahkan melanjutkan kehancuran moral dalam kehidupan prostitusi terselubung. Baik di daerahnya sendiri maupun di luar daerah Lebong. Yang lebih buruk lagi adalah keluarga si gadis. Mereka menerima dengan kebanggaan hasil-hasil yang diperoleh oleh anak gadis mereka, tanpa ada keinginan untuk menyelidiki; darimana asal harta benda atau uang yang dibawa anak mereka.
Secara umum pada gilirannya masyarakat Lebong menjadi masyarakat yang konsumtif, materialistis dan patembayan. Pola kehidupan demikian sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup masyarakat Rejang di tanah Rejang dan Lebong. Karena, nilai kreativitas, idealisme, moralitas dan mentalitas menjadi rapuh dan tidak mampu membendung infiltrasi budaya luar masuk ke susunan masyarakat Rejang.
Oleh karena itu, harus ada lembaga sensor atau filter terhadap infiltrasi budaya luar yang tidak memberi nilai tambah bagi kehidupan masyarakat Rejang itu sendiri. Kita dapat melihat sekarang, kebiasaan-kebiasaan yang sangat positif, disamping itu memberi dukungan terhadap pelestarian hasil karya masyarakar Rejang sudah ditinggalkan. Misalnya ke kebun, sawah atau ladang, masyarakat Rejang yang umumnya bermatapencarian dari sektor pertanian. Tidak lagi membawa pane (bronang). Semua diganti dengan tas kulit imitasi seperti layaknya anak sekolah.
Ditinggalkannya pane, seperti mereka melupakan alat penangkap ikan kewea (pancing) yang terbuat dari sebatang pohon bambu biyes atau buluak pukua cino. Batang bambu biyes itu memang kuat, lentur dan tidak mudah patah kendati batangnya kecil-kecil. Sehari-hari kita melihat orang Rejang memancing menggunakan alat pancing yang berasal dari kota. Termasuk makanannya. Padahal, pancing demikian hanya untuk ikan-ikan peliharaan di kolam. Sedangkan ikan air tawar yang ada di sungai dan danau mempunyai sifat dan kiarakter tersendiri terhadap makanan ikan-ikan tersebut.
Ini bukan berarti melarang penggunaan alat pancing modern (canggih). Namun, kita hanya melihat dari sudut budaya dan tradisi yang sangat melekat di masyarakat Rejang. Hal itu mengisyaratkan masyarakat Rejang sudah melupakan kaidah-kaidah norma yang hidup di dalam masyarakatnya sendiri.

Pergaulan Muda-Mudi
Melihat kenyataan (realitas) sosial kehidupan masyarakat Rejang awal tahun 2009, semua orang pasti mengatakan sangat prihatin. Nilai-nilai adab, sopan santun, etika dan nilai keagamaan sudah ditinggalkan hampir sebagian besar anggota masyarakatnya, terutama di kalangan generasi muda.
Gadis-gadis yang mengenakan celana pendek ketat, baju kaos ketat yang memperlihatkan paha, lekuk tubuh, pusar, perut, pinggang dan menampakkan dengan jelas celana dalam merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Rejang selama ini. Namun, sekarang hal itu sepertinya sudah tidak ada larangan dan sanksi sosial. Akibatnya, anak-anak gadis dengan bebas memperagakan bagian tubuhnya yang mempengaruhi pria untuk menikmatinya.
Kita tidak tahu persis persentasenya, yang jelas dari keterangan-keterangan dan cerita masyarakat Rejang saat ini, tentang mudahnya melakukan perkawinan dan perceraian yang bukan hanya berlaku di kalangan remaja (generasi muda). Tetapi, di tingkat orangtua pun sudah sedemikian merosotnya nilai-nilai sakral suatu perkawinan. Kita tidak tahu lagi, bagaimana 5 atau 10 tahun mendatang. Sekarang saja sudah sangat memkhawatirkan.
Orang Rejang pada saat sekarang pergi ke kebun, ladang atau sawah mengenakan baju bagus. Hal itu tidak pernah dilakukan selama ini di tanah Rejang. Bahkan, sekarang jika ada orang Rejang yang berkebun dan menginap di kebunnya sampai sebulan penuh menjadi cemoohan. Padahal, pekerjaan demikianlah yang dilakukan masyarakat Rejang selama ini untuk menghidupi keluarga mereka.

Kotadonok 2009






Oleh Naim Emel Prahana

SUHU dingin masih tetap menyelimuti daerah Lebong pada umumnya, khususnya di beberapa desa yang berada di lereng bukit pegunungan Bukit Barisan, seperti Air Dingin, Rimbo Pengadsang, Tikuto, Talangratu, Trans Mangkurajo, Sawahmangkurajo dan Kotadonok. Curah hujang yang tetap tinggi memang secara permanent tidak menghambat aktivitas masyarakat. Namun, secara langsung mengurangi beberapa aspek kehidupan.
Secara umum Kutei Donok (Desa Donok/Tengah) yang sekarang lebih populer disebut Desa Kotadonok mengalami mengalami kemunduran dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kalaupun ada proses pembangunan infrastruktur, itupun tidak membawa desa dan masyarakat Kotadonok lebih maju dibandingkan desa-desa lain.

Pemukiman
Pertambahan jumlah rumah penduduk tidak signifikan, bahkan banyak rumah-rumah lama (tua) yang terbengkalai. Pertambahan bangunan rumah yang ada, masih memanfaatkan pekarangan rumah-rumah lama. Rumah-rumah yang dibangun 5 tahun terakhir pada uymumnya berukuran kecil dan sangat sederhana. Hal itu dimungkinkan karena tingkat kemiskinan di desa itu semakin meningkat. Terutama setelah Lebong menjadi kabupaten konservasi tahun 1999.
Penduduk Desa Kotadonok masih mengalami beberapa kesulitan, air bersih. Walau sumber air dari sungai-sungai kecil (bioa tik) masih melimpah ruah dari pegunungan yang melingkari Desa Kotadonok. Namun, kebersihan sumber air sangat tidak menjamin dari segi kesehatan. Bahkan, keberadaan PAM (perusahaan air minum) swasta tidak banyak membantu penduduk untuk memperoleh air bersih. Karena, biaya penyambungan dan taruifnya sangat mahal, tidak terjangkau oleh penduduk Kotadonok.
Lingkungan pemukiman penduduk di Kotadonok (Kotadonok I dan Kotadonok II/Sukasari) ternyata semakin kumuh. Sampah berserakan di depan rumah, di pinggir jalan, dan saluran air di sisi jalan banyak yang tersumbat akibat pembuangan sampah sembarangan oleh penduduk serta tertutup oleh timbunan tanah galian; baik ketika pembangunan (pengaspalan) jalan maupun longsor. Desa Kotadonok seperti desa yang tidak terurus. Berbagai kesulitan menghadang dan dialami oleh penduduknya.
Bangunan-bangunan bersejarah, seperti rumah kediaman pribadi mantan gubernur Sumatera Selatan, M Husein, rumah pangeran Kotadonok, Balai Desa, Balai Pertemuan, Masjid Nurul Iman dan deretan rumah-rumah tua di kawasan Peken (Pekan) Kotadonok, termasuk bangunan SDN 1 (SD tertua). Masyarakat atau penduduk Kotadonok yang mayoritas sukubangsa Rejang asli sebagaimana karakter umum sukubangsa Rejang tergoilong masyarakat yang pemalas dan terbecah belah akibat pandangan hidup dari pengaruh peradaban masyarakat luar (misalnya masyarakat kota).
Desa dan masyarakat pelopor kemajuan di Rejang Lebong itu, kini semakin memperihatinkan. Tradisi positif (adat istiadat) yang selama ini menyelamatkan masyarakat Kotadonok, kini sudah ditinggalkan. Baik dari kalangan tua maupun dari kalangan anak, remaja dan generasi muda pada umumnya. Akibat langsung kemunduran itu terjadi terhadap situasi dan kondisi lingkungan pemukiman yang dulunya asri, kini semberawut. Lahan-lahan kosong yang ditinggalkan menjadikan lingkungan desa itu semakin tidak teratur, tidak terawat dan tidak ada upaya pemeiliharaan.
Perebutan lahan pemukiman, lahan pertanian dan perkebunan memicu sengketa antar keluarga dan kerabat. Penggerusan tebing-tebing dilakukan oleh keluarga-keluarga dengan status sosial lebih baik dibandingkan dengan penduduk lainnya. Penggerusan tebing-tebing untuk menambah luasnya pekarangan rumah tersebut mengakibatkan terjadinya pencaplokan tanah milik penduduk lainnya. Pencaplokan tanah milik penduduk lainnya pernah dilakukan oleh keluarga almarhum Kamaludin yang mencaplok tanah tebing milik keluarga H Aburuddin mengakibatkan tiang rumah tua milik H Aburudin berada di sisi tebing dan jurang. Setiap saat akan roboh karena pengerukan tanah.
Hal yang sama dilakukan pula oleh keluarga Zainab—Amin yang melebarkan luas pekarangan rumahnya dengan mengeruk tebing (tanah) milik keluarga Rahmat dan milik keluarga Meraiji. Solidaritas warga yang tinggi di Kotadonok, menyebabkan penyerobotan tanah seperti itu didiamkan saja. Akan tetapi, dari sisi negatrifnya, pengerukan tanah demikian akan membahayakan rumah yang berada di atas tebing, karena kemungkinan longsor mudah terjadi. Masalahnya kebanyakan rumah-rumah penduduk di Desa Kotadonok dibangun di atas tebing. Baik di sebelah kanan jalan maupun di sebelah kiri jalan.
Untuk menghindari kemungkinan longsor hebat, di desa Kotadonok perlu ditata ulang status tanah dan kepemilikannya. Terutama penataan atau penertiban ulang bangunan yang ada. Sekaligus memberikan manfaat atas perlestarian lingkungan pemukiman dan lingkungan alam.
Kemerosotan pembangunan, penataan dan lingkungan di Desa Kotadonok mulai terasa terjadi sekitar 20 tahun terakhir, apalagi desa tersebut dipimpin oleh kepala desa yang usianya relatif muda dan miskin pengalaman organisasi, sehingga tidak mampu membangun alam pedesaannya yang sudah lama ditata rapih. Saat ini di awal 2009 hampir semua penduduk Kotadonok mengeluhkan kepemimpinan kepala desa mereka. Sayangnya, semua keluhan itu berawal ketika memilih kepala desa yang salah dan akibat money politic saat berlangsungnya pemilihan kepala desa (pilkades).

Dikembalikan Seperti Semula
Banyaknya bangunan lama terbengkalai di desa Kotadonok membuat banyak pihak merasa prihatin, terutama orang Kotadonok yang tinggal di perantauan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya mengembalikan status lahan dan bangunan tua yang memiliki nilai sejarah pada posisi semula.
Bangunan yang harus dikembalikan posisi semulanya adalah Pasar (Pekan) Lama Kotadonok yang sejak 20 tahun silam telah dibangun rumah oleh keluarga almarhum Ramli dan Sairun. Padahal, tanah tempat bangunan rumah itu adalah tanah desa atau tanah marga. Beberapa kali masyarakat menggugat rumah almarhum Ramli yang kini ditempati anaknya, namun selalu gagal karena praktek suami kepada Tuai Kutei, Kepalo Sadei (barap) dan para tokoh masyarakat yang diundang untuk bermusyawarah.
Kemudian kompleks Pekan Kotadonok, lahannya juga sudah dibangun sekolah dasar (SD). Sehingga pemandangan yang ada sangat tidak bagus, apalagi di sekitarnya berdiri bangunan rumah-rumah tua yang dibangun ratusan tahun silam.
Jika keadaannya dibiarkan berlarut-larut, tidak menutup kemungkinan di kemudian hari akan terjadi konflik antara warga dengan pemilik bangunan rumah. Kekhawatiran itu sudah terlihat beberapa tahun terakhir ini. Terutama di kalangan generasi muda yang masih mencintai alam dan peradaban masyarakatnya yang asli di Kotadonok. Roh Kotadonok yang dulunya begitu terhormat di mata masyarakat luar, kini hanya tinggal kenangan. Kerinduan akan lingkungan perkampoungan dan alam yang asri seperti sampai tahun 1970 hanyalah sebuah impian yang tidak mungkin akan terjadi lagi dan tidak mungkin akan dinikmati anak cucu orang Kotadonok sekarang dan masa akan datang.
Apalagi setelah pemekaran desa Kotadonok menjadi Desa Kotadonok dan desa Sukasari. Desa Sukasari tidak memiliki nilai historis terhadap perjalanan sejarah sukubangsa Rejang di Lebong. Sebab, lokasi desa Sukasari sekarang ini, dulunya bernama Tlang Ja’ang (Talang Jarang). Seharusnya nama Sukasari itu tidak ada dan diganti dengan nama Tlang Ja’ang. Belum ada kata terlambat, sebab penggantian nama Sukasari tinggal keinginan dan kemauan pemerintah kabupaten Lebong.
Substansi nama Sukasari tidak ada sama sekali, sehingga ada kesan pemberian nama Sukasari itu adalah rencana yang terorganisir dan rapih untuk menghapus jejak masyarakat Rejang di Kotadonok. Sebab, tidak ada nilai filosofi sukubangsa Rejang. Tempo dulu sebutan-sebutan untuk beberapa kawasan di Kotadonok memiliki nilai sejarah dan kebudayaan yang tinggi.
Misalnya kawasan Bioa Tiket, Tlang Ja’ang, Pacua Telai, Trang Kekek, Skula Bu’uk, Umeak Peken, Sadei, Ujung Semapak, Bioa Tamang, pondok Lucuk, Tepat Taukem, dan kawasan Mesjid dan lainnya. Semua nama-nama kawasan itu memiliki makna dan nilai sejarah.

Kotagajah


By Naim Emel Prahana

Estimated village Kotagajah built around year 1929 at first be to rush by kolonis from Telukbetung-Gunungsugih to Gedongdalem and Sukadana. Because follow tongue explanation parents, like to unfolded by mbah pulse from village Sumberejo BD 43 districts Batanghari. At that time, recall mbah pulse, metro opened in the year 1932 penetrated roads from Adipuro (Trimurjo) or Kotagajah to Metro not yet there. To carry away need ingredients kolonis at metro imported from pass road Kotagajah-Gedongtataan in, Rancangpurwo and new enter Metro.
So, said grandfather Nadi, Kotagajah there [are] before bedeng (bd) 15 at Metro opened officially. Mean Kotagajah grow and bloom, because located in stripe rushes by. But, Kotagajah as definitive village meresmikan by regent KDH Lampung Tengah based on number letter of appointment 25 year 1973. The opening self done in the year 1974. Kotagajah be potential region floats middle. At first the status" village" , now year 1997 rapidly grow to be strategic city. And year 2001 turn into definitive district be woman chief of a district leadership, Dra Bahagiati.
Location kotagajah even also very strategic, present menjalur traffic intersection like fun all day long. kotagajah has vast the area 1.372 km2 consist of 18 kebayan, 74 fruit RT, 36 fruit RW and 18 LK. Until beginning 1997 citizens Kotagajah as much as 14.258 soul.
kotagajah has various tool and infrastructure. at educational found 6 bursery school, 7 Fruit sd, 1 fruit SD private, 1 SMP negeri, 6 SMP private with 2 hovels Pesantren. Also, found public service likes chief of a district office, post and gyro, kua, transmigration office and mess transmigration, puskesmas, office p3a, village meeting hall, office PU, BRI, theater, village meeting hall, with big stores. And, found a private hospital Mardi Waluyo. Medical energy house ill that private consists of 2 doctors, 1 midwife, a nurse and 6 witch-doctors.
Kotagajah has also 2 theater and at intersection five, precisely in the middle of Kotagajah with solid traffic current, stand police station sector office Kotagajah. Membidang banking has stood bebebrapa bank, among others BRI unit Kotagajah, BPR order Artha, BPR Kotaliman and BPR build self-supporting. And found 5 cooperations among others kud farmer work, kopas balak, ajb bative, kopas and koveri.
facilities other that has among others, found PDAM, telephone tool with electricity from KLP Sinar Siwo Mego centre at Kotagajah. As potential city bloom fast here also there [are] 4 restaurant each rm healthy RM Ma'il, RM field. Kotagajah more time more bloom to so city. Terminal conditon to various direction likes direction Labuhanmeringgai, Menggala, Bandarjaya, Kotabumi, Bandarlampung, Raman north, Gayabaru and Metro.
Follow village head Bus in the year 1997 Kotagajah has 10 rice rice mill factories (huller) and bebebrapa factory berstatus household industry industrial. Market Kotagajah every the day enough crowded, because purchase at market Kotagajah every household industry the day. Market Kotagajah every day enough crowded, because the purchase at market Kotagajah come from various vinicity region. Traffic smoothness passes Kotagajah supported by good road condition and augmenting with sppbu (pom petrol).

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera
Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.
Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.
Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.
Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.
Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).
Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karyakarya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.
Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10 Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.
Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .
Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.
Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara), D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).
Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.
Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.
Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan
diterbitkan.
Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.
Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.
Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.
Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.
Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.
Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.
Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10
Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AmuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).
Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.
Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.
Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.
Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.
Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, para perantau: Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z dan Djuhardi Basri. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.
Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku
Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin. (Staf teknis Balai Bahasa Medan). (wns)

Pengertian Petulai

Thanks to Curup Kami to find this article

Untuk menyelami dan memahami Hukum Adat suku bangsa Rejang, memang diperlukan benar pengetahuan tentang sejarah suku bangsa itu. Sebelum kita membicarakan Hukum Adat Mereka, perlu rasanya diterangkan lebih dahulu, seluk beluk atau susunan masyarakat Hukum Adat mereka, karena sangatlah erat sekali hubungan antra kedua persoalan tersebut. Adanya Hukum Adat disebabkan oleh adanya Masyarakat Hukum Adat, karena Masyarakat Hukum Adat merupakan satu himpunan manusia yang tunduk pada satu kesatuan hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat itu.
Dalam sejarah kita melihat bahwa asal usul tempat kediamana sukubangsa Rejang ialah di wilayah Lebong sekarang. Mereka berasal dari Empat Petulai, yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubai (Tubei).
Perkataan mego yang disamakan dengan perkataan petulai oleh beberapa penulis, tidak asli dan merupakan terjemahan perkataan marga ke dalam Bahasa Rejang. Ini terbukti, karena perkataan mego baru muncul di dalam buku De Redjang dari almarhum Hazaitin (1936), yang dikutipkan dari sebuah tambo karangan Muhamad Hoesein yang menyamakan petulai dengan bang-mego atau marga.
Kemudian ada pula sarjana Barat yang turut berpendapat bahwa petulai sama dengan mego, dan ini sebenarnya membingungkan dan juga tidak tepat, karena baik buku-buku karangan orang-orang inggris seperti Marsden dan Raffles maupun karangan orang - orang Belanda seperti Rees dan Swaab, tidak menyebut perkataan mego
Hasil penelitian saya sendiri di wilayah-wilayah Lais, Rejang dan Lebong, perkataan mego tidak dikenali oleh orang tua-tua suku Rejang sebagai sebutan clan mereka. Yang mereka kenal adalah perkataan petulai sebagai sebutan.
Apakah yang dimaksud dengan Petulai?
Petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang rimbul dari sistem unilateral (disusurgalurkan kepada satu pihak saja), dengan sistem garis keturunannya yang Patrilineal (penyusur-galuran menurut garus bapa) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada terpencar pencar dimana mana.
Disebut unilateral patrilineal, karena memperhitungkan garis keturunan sepihak saja, yaitu pihak bapak. Perhatikan dari perkawinan dari Biku Bermano dengan putri Senggang anak Rajo Megat pengganti Bikau Sepanjang Jiwo, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bermano dan masuk kesatuan kekeluargaan petulai Bermani.
Kita lihat pula perkawinan dari Bikau Bembo dengan putri Jenggai anak Bikau Bermano, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bembo dan kesatuan kekeluargaan Petulai Jurukalang. Demikian juga dengan perkawinan Rio Taun dari petulai Jurukalang dengan putri Jinar Anum dari petulai Tubeui, keturunannya masuk petulau Jurukalang.
Disebut eksogam, karena ada larangan kawin dengan anggota sepetulai. Ini ternyata dari perkawinan-perkawinan tersebut di atas dan dari denda maskuteui di kemudian hari sebagai hukuman atas sesuatu pelanggaran karena kawin dengan orang sepetulai.
Seterusnya larangan manari antara gadis/bujang petulai Tubeui dengan bujang/gadis petulaiMerigi memperkuat cara perkawinan eksogami di sukubangsa rejang dan memang sudah sewajarnya harus demikian, karena eksogami adalah syarat mutlak bagi timbulnya petulai sebagai clan.
Sistem kekeluargaan yang patrilineal inilah merupakan tulang punggung dari masyarakat Rejang, yang di bina dari keturunan petulai mereka masing masing, yang semuanya terikat satus ama lain menurut garis laki-laki. Sistem kekeluargaan ini mempengaruhi sistem kemassyarakatan dan akhirnya ini mempengaruhi pula bentuk kesatuan kekuasaan
.dalam masyarakat.(disarikan dari buku Hukum Adat Rejang, admin)

Reference:
1. Tanah rejang http://rejang-lebong.blogspot.com
2. Prof Abdulla Siddik, Hukum adat rejang, 1980 hal 101-103
3. Ter Haar, Adat Law in Indonesia (terjemahan ) 1962 hal.171
4. Hazairin, De Redjang hal 1 dan Muhammad Hoesein, Tembo naskah
5. MA Jaspan, From Patriliny to Matriliny, thesis, canberra 1964 hal 140, 144
6. Hazairin, Hendak kemana hukum islam, 1960, hal 9.

Rute Jalur Pendakian


Taman Wisata Alam Gunung Kaba (1937 dpl)

Hari Kamis, 22 Januari 2009, saya bersama teman-teman kampus sepakat untuk menaiki gunung (bukit) Kaba di Curup, Bengkulu. Bagi saya pendakian ini merupakan pengalaman pertama. Sebagai pendaki junior, hal pertama yang muncul di pikiran adalah pendakian ini akan membosankan, melelahkan, menghabiskan uang dan waktu. Namun semua itu salah besar justru disinilah saya menemukan sebuah pandangan baru dari alam indah Indonesia.
Perjalanan dari kota Lubuk Linggau ke Curup sangat mengasyikan, sepanjang perjalanan mata kita disuguhkan pemandangan yang indah, perkebunan di kiri dan kanan jalan udara dingin nan sejuk menemani perjalanan yang menempuh waktu satu setengah jam itu. Sesampainya di pos penjagaan gunung, saya sempat mengobrol bersama penjaganya di tengah hamparan kebun jagung dan sayuran yang dingin, sesuatu yang tidak akan pernah saya temui di kota.
Sehabis menunggu teman-teman menunaikan sholat Jumat kami sepakat untuk langsung mendaki Bukit Kaba. Di tengah perjalanan menunju puncak gunung, kami berhenti sejenak di sebuah aliran sungai kecil dengan aliran air yang jernih. Penat dan letih seakan sirna. Akhirnya setelah berjalan dan mendaki di areal yang cukup terjal selama 2 jam kami sampai juga di puncak.
Inilah titik kulminasi dari semua letih dan lelah dalam perjalanan. Di puncak udara sangat bersih dan murni dengan pemandangan yang tak dapat saya ucapkan ditambah kabut yang membuat suasana lebih damai. Namun, semua perasaan tersebut seakan tercemar oleh banyaknya tumpukan sampah dan kotoran dari para pendaki gunung itu sebelumnya. Base camp pendaki tidak lagi menjadi tempat yang bersih dan sehat. Sungai yang menurut teman saya setahun yang lalu masih jernih dan mengalir kini keadaannya sangat kotor dan tidak lagi mengalir seperti dulu.
Oleh sebab itu, kami tidak dapat lagi menggunakan air dari sungai di puncak itu untuk keperluan kemah sehari-hari. Karena itu kami terpaksa mengambil air di tempat yang lain dengan konsekuensi jarak yang semakin jauh. Melihat semua itu, kami semua sepakat untuk membersihkan semua sampah dan kotoran yang ada di base camp dan membuatnya bersih seperti apa yang dilihat teman saya setahun yang lalu. Tentu bukan hal yang mudah untuk membersihkan sampah dan kotoran itu dibutuhkan waktu kurang lebih 1 jam bagi kami untuk membuatnya bersih.
Di tengah upaya pembersihan itu, banyak pula teman-teman pendaki yang lain (yang berasal dari luar provinsi) turut membantu kami dan sayangnya tak sedikit pula yang hanya melihat dan mencemooh karena menganggap apa yang kami lakukan hanyalah bentuk dari kesia-siaan belaka.
Setelah pembersihan kami mendirikan tenda dan dilanjutkan dengan memasak untuk makan malam. Tak lupa kami memastikan bahwa semua sampah kami telah dibuang dengan benar. Malam pertama di puncak gunung pun terlewati ditemani oleh ratusan bintang di langit dan kilauan lampu-lampu rumah penduduk di bawah gunung. Keesokan harinya kami menuju puncak tertinggi dari gunung Kaba dimana di sana ada kawah belerang.
Sekali lagi perjalanan ke puncak kawah lebih sulit daripada menuju puncak base camp, kontur daerahnya berbatu dengan kemiringan hampir 90 derajat. Rupanya dilokasi itu, telah dibangun anak-anak tangga oleh Pemerintah Daerah setempat sehingga memudahkan pendaki untuk menaiki puncak kawah. Rupanya bagi sebagian pendaki, fasilitas anak-anak tangga itu disalahgunakan sebagai tempat untuk vandalisme, banyak coretan-coretan dan graviti yang bertuliskan nama atau asal dari pendaki yang pernah mendaki di gunung itu. Hampir keseluruhan anak tangga penuh oleh coretan bahkan sampai ke pagar pembatas kawah. Tentu hal ini mengurangi keindahan dari pemandangan gunung Kaba tersebut. Salah satu teman saya sebenarnya telah mempersiapkan untuk menuliskan nama kelompok kami di anak tangga itu, namun karena desakan dari saya dan teman-teman yang lain maka niat itupun diurungkan. Karena kami yakin bahwa perjalanan jauh kami dari Palembang ke Bengkulu bukan untuk mengotori gunung namun menikmati keindahan alam yang tak dapat kami temukan disini.
Setelah 1 hari menginap di puncak gunung Kaba kami akhirnya turun, semua sampah dan kotoran yang kami tinggalkan selama menginap telah dibuang di tempat sampah. Boleh dikatakan kami meninggalkan Gunung Kaba dengan bersih seperti sebelum kami mendaki. Perjalanan pulang sama menariknya dengan perjalanan kami menuju puncak gunung.
Kini, saya telah berada di Palembang sebuah kota yang tak akan pernah sama dengan apa yang kami rasakan di puncak gunung Kaba. Kami pulang dengan hati yang senang dan puas bukan karena telah berhasil mendaki gunung dengan tinggi 1.300 meter di atas permukaan laut itu namun lebih kepada perasaan bahwa kami telah dapat menghargai alam Indonesia.
Usaha kecil yang saya dan teman-teman lakukan bukanlah usaha besar seperti yang telah dilakukan oleh Pahlawan-pahlawan besar Indonesia dan orang-orang yang telah mengorbankan nyawa dan raganya demi tegaknya negara Indonesia. Apa yang kami lakukan adalah usaha kecil yang dapat kita lakukan bersama, usaha kecil inilah yang sudah seharusnya dilakukan oleh semua rakyat Indonesia sesuai dengan bidangnya masing-masing karena saya yakin kita memiliki usaha-usaha sendiri baik itu kecil atau besar untuk membangun bangsa ini seperti apa yang telah diperjuangkan oleh Pahlawan kita. Usaha kecil akan mengubah Indonesia karena Aku untuk Bangsaku dimulai dari hal kecil.
Berwisata ke provinsi Bengkulu khususnya kabupaten Rejang Lebong maka tak lengkaplah perjalanan anda jika belum menikmati keindahan Tawan Wisata Alam Bukit Kaba (1937 Mdpl). Jika anda adalah seorang penikmat wisata petualangan (adventure) tempat inilah jawabannya.
Di kawasan wisata ini anda akan disuguhkan berbagai macam keindahan dalam sekali rute perjalanan mulai dari perkebunan sayur dan buah, budaya dan adat istiadat yang khas, rute perjalan yang menantang, pemandangan kawah hidup dan kawah mati, panorama yang indah, ataupun mendirikan basecamp (tenda) untuk menginap (camping) guna menyaksikan indahnya gemerlap bintang dan kerlap kerlip ibu kota kabupaten (curup) pada malam hari.
Bukit kaba (1937 Mdpl) terletak di kecamatan Selupu Rejang berjarak sekitar 104 Kilometer dari ibukota propinsi Bengkulu, atau sekitar 19 Kilometer dari ibukota kabupaten Rejang lebong. Persimpangan menuju bukit kaba (Ds. Sumber Bening) merupakan jalur lintas sumatera yang menghubungkan provinsi Bengkulu dengan Provinsi Sumatera selatan dengan kota terdekat adalah Lubuk Linggau (Sumsel) dan Kota Curup (Bengkulu).
Berikut Rute perjalanan yang dapat ditempuh untuk menuju wisata Alam Bukit kaba :
1. Dari ibukota provinsi Bengkulu carilah mobil angkutan umum jurusan ke kota Curup (terminal Pasar Panorama) ongkos saat ini Rp 20.000 waktu tempuh sekitar 2 jam.
2. Dari Curup (terminal Simpang Nagk) naik mobil angkutan desa (angdes) jurusan Desa Sumber Bening (Simpang Bukit Kaba), ongkosnya sekitar Rp 7.000 ditempuh dalam waktu 1 jam.
3. Sampai Simpang Bukit Kaba, untuk ke Visiting Centre (Gerbang Rimba) ada beberapa alternatif transportasi dapat digunakan (jam 08.00 WIB s/d 16.00 WIB); )1) naik Angdes (Rp.5000), (2) naik Ojek (Rp 15.000) waktu 1/2 jam atau (3) naik GL (alias goyang lutut)/ jalan kaki lebih kurang 2 jam perjalanan. Selama rute ini kita akan menikmati pemandangan rumah-rumah penduduk, perkebunan sayur, buah dan palawija
4. Di di gerbang rimba visitting centre lakukanlah registrasi pendakian, maksudnya jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Wajib! Jangan lupa logistik harus maksimal.
5. Selanjutnya dapat memilih 2 route; (1) via jalan aspal yang kondisinya rusak parah (jika menggunakan kendaraan disarankan 4wheels atau motor trail) dan (2) route pendakian.
6. Jika via jalur pendakian akan ditemui sumber mata air pertama yang mengandung belerang untuk mencuci dan membersihkan tubuh.
7. Selanjutnya, ada persimpangan yang mempertemukan ke satu titik. Route kanan menuju pemandian air panas dan kiri jalur pendakian normal.
8. Selama perjalanan menuju (camping ground) tempat berkemah akan melewati vegetasi hutan tropis yang rapat, dan jika beruntung anda akan menyaksikan segerombolan siamang yang menemani anda. Semakin pepohonan menjadi rendah maka anda semakin dekat dengan camping ground yang ditandai dengan sebuah kubah yang berfungsi sebagai tempat pemantauan aktivitas gunung berapi.

Catatan.
1. Jika anda berada di kubah (shelter) sumber air anda dapat mencari di depan dan dibelakang kubah.
2. Pilih jalur kanan untuk menuju puncak dan tangga seribu, saksikan pemandangan kawah dari atas.
3. Pilih Jalur kiri ke Kawah hidup dan kawah mati dari dekat.
objek wisata ini ramai dikunjungi para petualang/pendaki gunung pada hari-hari libur dan besar nasional

Sumber : 1. www.pelangibiru.com
2. http://dionbarus.wordpress.com

Jenis Bambu Di Lebong



1. Bambu (buluak) Napea
2. Bambu (buluak) Miang (bauruk)
3. Bambu (buluak) Mufo (Baes)
4. Bambu (buluak) Tenoa
5. Bambu (buluak) Tlang (tempat air)
6. Bambu (buluak) Kemanyen (buluak lai)
7. Bambu (buluak) Se’ik
8. Bambu (buluak) Pukuo
9. Bambu (buluak) Biyes (pukua cino)
10. Bambu (buluak) Pe’ing
11. Bambu (buluak) Awai (buluak lai)

Air Terjun Sekudun



Ayo Tejun Sekudun / Air Terjun Sekudun




Keistimewaan air terjun ini adalah air terjunnya kembar / ada dua pada satu lokasi. Air Terjun Sekudun adalah air terjun yang terletak di desa Apur, 3 km dari Kepala Curup-Rejang Lebong. Sekudun berasal dari bahasa Lembak yang berarti kembar. Air terjun ini berasal dari Air Kati. Letaknya di penurunan Tebing Kati desa Apur. Tebing Kati ini dilewati oleh jalan aspal, dimana jalannya curam, sehingga sehingga kita harus hati-hati sewaktu turun dan naik tebing ini.
Diposkan oleh Rejang Lebong di Selasa, Februari 10, 2009 0 komentar
Senin, Februari 09, 2009

Yang Pernah Memimpin Sumatera Selatan

Yang Pernah Memimpin Sumatera Selatan
Sampai tahun 2008, sebanyak 13 tokoh telah memimpin Sumatera Selatan. Setiap pemimpin punya catatan perjalanan tersendiri sesuai dengan zaman mereka. Masa pemerintahan peralihan dari penjajahan Jepang ke masa kemerdekaan Republik Indonesia ditandai oleh pengangkatan Adnan Kapau Gani—yang sering disingkat AK Gani—sebagai Residen Palembang pada 24 Agustus 1945. Pengangkatan tokoh yang terlibat pergerakan kemerdekaan itu dilakukan Menteri Negara M Amin dan Gubernur Provinsi Sumatera Mr Teuku Mohd Hassan.
Setelah pengangkatan ini, Gani dipercaya pemerintah pusat menjadi gubernur muda untuk Sumsel. Sebagai gubernur militer, AK Gani mendapatkan wilayah kerja Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Sebagai pemegang tongkat kepemimpinan, AK Gani menjalin hubungan dagang antara Palembang dan Singapura, bahkan dengan penyelundup senjata api.
Pada 1945 Gani dipercaya menjadi koordinator pertahanan untuk wilayah Sumatera. Pada tahun yang sama, Tentara Keamanan Rakyat terbentuk di Palembang. Setahun berikutnya Angkatan Laut RI dan Angkatan Udara RI. Pada Februari 1946 Palembang memiliki sekolah kader untuk calon perwira.
AK Gani yang memiliki latar belakang sebagai seorang dokter dan berpengalaman sebagai seorang aktor rupanya juga mempunyai keterampilan berdiplomasi. Kemampuan inilah yang mampu meredam aneka insiden yang hampir meletus di Sumsel. Faktor keamanan yang kuat juga turut mengambil peran dalam perkembangan ekonomi Sumsel.
Perekonomian di Sumsel tahun 1946 lebih baik dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Pada akhir 1946 Palembang menjadi kota bandar yang ramai dikunjungi dengan pemasukan Rp 1 juta-Rp 2 juta per hari dari kegiatan pelabuhan.
AK Gani diberhentikan dengan hormat dari jabatannya mulai 1 Januari 1950 seiring dengan lahirnya keputusan hasil Konferensi Meja Bundar yang menyelesaikan konflik Republik Indonesia dan Belanda. AK Gani juga menerima kalung emas 24 karat dari masyarakat Sumatera dan mendapatkan julukan ”Pemimpin Gerilya Agung”.
Penghentian jabatan Gani itu sekaligus mengangkat kembali drg M Isa sebagai Gubernur Sumatera Selatan. Sebelumnya, M Isa diserahi tanggung jawab sebagai Residen Sumsel menggantikan Gani, November 1946.
Pada awal kepemimpinan AK Gani, M Isa sudah jadi tokoh terkemuka di pemerintah Palembang. Bersama AK Gani yang menjabat sebagai Gubernur Militer Istimewa Sumsel dan sejumlah petinggi di Sumsel, Gubernur Muda Sumsel M Isa ikut serta dalam perundingan Indonesia-Belanda yang membahas penghentian tembak-menembak, 24 Agustus 1949.
Masa kepemimpinan M Isa juga melewati perjuangan. Kondisi negara pada waktu itu belum stabil karena Belanda masih ”mengganggu” kemerdekaan Indonesia. Kekacauan di Indonesia, termasuk di Sumsel, membuat kepemimpinannya penting dalam kerangka perjuangan.
Sejumlah tokoh merasakan besarnya semangat perjuangan M Isa, seperti yang dituturkan tokoh Tionghoa, Tong Djoe. Pada masa perjuangan itu, masyarakat dari pelbagai kelompok etnis ikut berjuang, termasuk masyarakat Tionghoa lewat berbagai organisasi, seperti Persatuan Kaum Tani Tionghoa. M Isa mengakhiri kepemimpinannya pada tahun 1952.
Winarno memimpin Sumsel antara 1952-1957. Sayangnya, tidak banyak catatan tentang sosok Winarno. Winarno digantikan HM Husein yang menjabat pada 1957-1958. Pada saat yang sama Muchtar Prabu Mangkunegara menjabat Kepala Daerah Sumsel pada 1957-1958. Saat itu muncul wacana penyatuan pimpinan daerah otonom dan pemerintahan umum di tangan satu gubernur kepala daerah.
Tahun 1959 HA Bastari terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Sumsel lewat sidang pleno DPRD. Dalam masa kepemimpinannya, Bastari banyak menata dan mendisiplinkan pegawainya. Sejumlah mantan pejuang juga menginginkan jabatan di dalam pemerintahan. Urusan inilah yang diatur oleh Bastari. Selain itu, ia merencanakan penghapusan keresidenan dan kewedanaan. Pembangunan Jembatan Ampera juga dimulai pada masa Bastari, tahun 1962, dan selesai pada kepemimpinan gubernur berikutnya, tahun 1966.
Kepemimpinan Bastari berakhir pada 1963. Masa peralihan kepemimpinan Sumsel dipimpin oleh Sorimuda. Namun, ia tidak lama menjadi caretaker karena Menteri Dalam Negeri menunjuk Pembantu Utama Mendagri Bidang Pelaksanaan Brigadir Jenderal HA Abuyasid Bustomi sebagai penjabat gubernur.
Abuyasid menjabat tahun 1964-1967. Masa jabatan itu cukup singkat karena tahun 1967 Abuyasid ditarik ke Jakarta. Ia digantikan Ali Amin tahun 1967. Nama Ali Amin sebenarnya sudah pernah disebut-sebut ketika pemilihan calon gubernur pada tahun 1964. Dalam pemilihan kali itu, Ali Amin akhirnya menjadi Wakil Gubernur Sumsel. Ali Amin pernah menjabat Local Joint Committee (1949) antara lain bertugas mengurusi penghentian tembak-menembak antara pejuang Indonesia dan tentara Belanda. Ali Amin pernah ditangkap Belanda sewaktu mengenakan emblem Merah Putih di pundak bajumya dalam perayaan ulang tahun negara Sumatera Selatan.
Sebagai gubernur, Ali Amin mendapatkan tugas yang berat karena harus menata daerah pascakerusuhan 1966. Sejumlah kesatuan aksi, seperti KAMI, KAPPI, dan KAGI, masih aktif beraktivitas melanjutkan Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura, 10 Januari 1966. Ali Amin menyelesaikan masa tugas sebagai gubernur pada 1968.
Asnawi Mangku Alam dari Kodam dipilih sebagai gubernur dan dilantik pada 10 Januari 1968. Putra Ulak Baru, Tepi Sungai Komering, ini menjalani sekolah rakyat sampai sekolah dagang menengah pada zaman penjajahan Belanda. Berlanjut semasa pemerintahan Jepang, yakni sekolah dokter hewan dan sekolah pegawai tinggi. Asnawi kemudian menempuh karier militer dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia, pertama dengan pangkat kapten. Asnawi ikut membantu Perang Kota. Jabatannya ketika itu adalah kepala intendans berpangkat letnan satu. Pangkat ini lebih rendah daripada pangkat awal kariernya karena ada penyesuaian gelar kepangkatan.
Pada awal kemerdekaan, Asnawi aktif di Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia. Pada akhir karier militernya, Asnawi berhasil meraih pangkat brigadir jenderal purnawirawan. Seusai di militer, Asnawi diangkat menjadi Gubernur Sumatera Selatan. Pada Januari 1968 Asnawi dilantik menjadi gubernur oleh Mendagri Basuki Rachmat. Jabatan gubernur dipegangnya selama dua kali masa pemerintahan, tahun 1968-1978.
Pertanian dikembangkan
”Destiny is yours,” tutur pria kelahiran 27 April 1921 saat ditanya tentang nasib yang membawa seorang putra petani menjadi gubernur. Kekayaan hasil perkebunan Sumsel semakin dikembangkan pada zaman Asnawi. Pada Agustus 1968 tercatat luas perkebunan yang digarap di Sumsel mencapai 500.000 hektar. Asnawi juga membuka perkebunan tebu 18.000 hektar.
Asnawi menyerahkan jabatan Kepala Daerah Sumsel kepada HA Sainan Sagiman. Sainan diangkat sebagai gubernur lewat surat keputusan presiden tanggal 16 Agustus 1978. Sainan menjabat gubernur selama 10 tahun hingga 1988. Ketika dilantik, Sainan berpangkat brigadir jenderal purnawirawan. Sebelum menjadi gubernur, Sainan juga pernah ikut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Dalam Perang Kota, Sainan menjabat sebagai perwira intel. Terakhir, ia bertugas di Kertapati.
Sainan termasuk sosok yang memerhatikan pendidikan. Dalam tahun anggaran 1979/1980, Sainan menaikkan bantuan kepada Universitas Sriwijaya (Unsri) sebesar 10 kali lipat dibandingkan dengan anggaran yang diterima Unsri sebelumnya. Ia juga menganggarkan Rp 4 miliar untuk sektor pertanian pada 1980. Kemudian, Sumsel menjadi penyelenggara Festival Film Indonesia, Mei 1979.
Pada Juni 1987 Sainan bersama Dirut Pertamina AR Ramly meresmikan operasi komersial Lapangan Minyak Musi di Kabupaten Musi Rawas. Selain menghasilkan minyak, lapangan ini juga menghasilkan 36,5 juta kaki kubik gas alam. Pada Januari 1988, sembilan pabrik karet bongkah kesulitan mendapatkan bahan baku. Pada tahun yang sama, Sumsel mulai menutup diri sebagai lokasi transmigrasi umum. Sainan mengakhiri masa jabatan pada September 1988, diganti oleh Brigadir Jenderal H Ramli Hasan Basri. Ramli yang dicalonkan oleh DPP Golkar dilantik sebagai gubernur oleh Mendagri Rudini. Sektor pertanian didorong untuk berkembang pada masa pemerintahannya.
Sumsel mulai ditargetkan menjadi lumbung pangan nasional sejak tahun 1990. Presiden Soeharto menggelar panen raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu. Namun, bencana kekurangan pangan juga pernah dialami warga Air Sugihan, Ogan Komering Ilir, akhir tahun 1991. Untuk mendukung prestasi olahraga, Ramli membagikan bonus Rp 30 juta untuk atlet peraih medali dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) XII. Ia juga menyediakan dana Rp 1,5 miliar untuk pembinaan olahraga tahun 1990.
Tanjung Api-api
Ide pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-api muncul dalam masa pemerintahan Ramli pada tahun 1991. Ramli juga dikenal sebagian kalangan sebagai gubernur yang peduli terhadap persoalan sejarah dan kebudayaan. Bagi pengamat sejarah, ia termasuk orang yang sangat perhatian pada Kerajaan Sriwijaya. Kepedulian ini sangat berarti karena jarang pemimpin daerah yang memerhatikan sejarah.
Ramli mengakhiri jabatan pada 1998. DPRD Sumsel memastikan Kepala Staf Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama TNI Rosihan Arsyad sebagai pengganti Ramli. Pria kelahiran Bengkulu, 29 Juli 1949, yang juga dikenal sebagai penerbang di TNI AL, itu dilantik menjadi gubernur periode 1998-2003 setelah mengantongi 26 dari 45 suara DPRD Sumsel.
Rosihan menganggarkan Rp 3,9 miliar untuk pembinaan petani karet. Pemekaran daerah juga marak terjadi pada masa pemerintahannya. Perhatian pada transportasi juga jadi prioritas Rosihan. Dalam APBD 2001 anggaran sektor transportasi mencapai Rp 112 miliar dari total anggaran Rp 605,5 miliar. Perbaikan jalan diutamakan untuk lintas Sumatera.
Namun, pos anggaran sektor aparatur pemerintah dan pengawasan juga cukup besar, yakni Rp 29 miliar. Dana itu lebih besar daripada anggaran sektor kesehatan, peranan wanita, serta anak dan remaja Rp 20 miliar.
Pada masa pemerintahannya, ia merintis persiapan Sumsel sebagai tuan rumah PON XVI. Salah satunya dengan menyelenggarakan Kejurnas Sepatu Roda pada Juli 2002. Sejumlah sarana dan prasarana umum juga gencar dibangun saat itu, seperti pembangunan mal, hotel, dan pusat perniagaan. Pembangunan proyek yang pernah ditentang banyak pihak, disebut Rosihan, sebagai upaya peningkatan ekonomi. Terbukti, salah satu dampak positif pembangunan tersebut adalah munculnya aneka pembangkit listrik yang menyuplai listrik ke jaringan Sumatera bagian selatan.
Jabatan Rosihan berakhir pada 12 September 2003 setelah kalah dalam perolehan suara di DPRD Sumsel. Tongkat kepemimpinan berikutnya dilanjutkan pasangan Syahrial Oesman-Mahyuddin.
Pada masa Syahrial, Sumsel dideklarasikan menjadi daerah lumbung energi nasional. Syahrial juga meluncurkan program pariwisata Visit Musi 2008 yang ditiru daerah lain. Pada sisa masa jabatan, Syahrial wajib mundur untuk mengikuti pilkada. Dia harus bertarung dengan lawannya, Bupati Musi Banyuasin, Alex Noerdin untuk menjadi gubernur ke-14. (Agnes Rita Sulistyawaty)

Sumatera Selatan
Sumatera Selatan adalah salah satu provinsi yang terletak d bagian selatan Pulau Sumatera, Indonesia. Provinsi ini beribukota di Palembang. Secara geografis provinsi Sumatera Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di utara, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di timur, Provinsi Lampung di selatan, dan Provinsi Bengkulu di barat. Provinsi ini kaya akan sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, dan batubara. Selain itu ibukota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang, telah terkenal sejak dahulu karena sempat menjadi ibukota dari Kerajaan Sriwijaya.
Disamping itu, provinsi ini banyak memiliki tujuan wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Sungai Musi, Jembatan Ampera, Pulau Kemaro, Danau Ranau, Kota Pagaralam, dll. Karena sejak dahulu telah menjadi pusat perdagangan, secara tidak langsung ikut mempengaruhi kebudayaan masyarakatnya. Makanan khas dari provinsi ini sangat beragam seperti pempek, model, tekwan, pindang patin, pindang tulang, sambal jokjok, berengkes, dan tempoyak.
Sejarah
Propinsi Sumatera Selatan sejak berabad yang lalu dikenal juga dengan sebutan Bumi Sriwijaya, ; pada abad ke-7 hingga abad ke-12 Masehi wilayah ini merupakan pusat kerajaan Sriwijaya yang juga terkenal dengan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Nusantara. Gaung dan pengaruhnya bahkan sampai ke Madagaskar di Benua Afrika.
Sejak abad ke-13 sampai abad ke-14, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Majapahit. Selanjutnya wilayah ini pernah menjadi daerah tak bertuan dan bersarangnya bajak laut dari Mancanegara terutama dari negeri china. Pada awal abad ke-15 berdirilah ; Kesultanan Palembang yang berkuasa sampai datangnya Kolonialisme Barat, lalu disusul oleh Jepang. Ketika masih berjaya, kerajaan Sriwijaya juga menjadikan Palembang sebagai Kota Kerajaan.
Menurut Prasasti Kedukan Bukit ; yang ditemukan pada 1926 menyebutkan, pemukiman yang bernama Sriwijaya itu didirikan pada tanggal 17 Juni 683 Masehi. Tanggal tersebut kemudian menjadi hari jadi Kota Palembang yang diperingati setiap tahunnya. Kini, Sumatera Selatan menjadi propinsi terpandang dengan sumberdaya alam yang melimpah.

Kabupaten dan Kota
No Nama Kabupaten/Kota Ibukota
01 Kabupaten Banyuasin Banyuasin
02 Kabupaten Empat Lawang Tebing Tinggi
03 Kabupaten Lahat Lahat
04 Kabupaten Muara Enim Muara Enim
05 Kabupaten Musi Banyuasin Sekayu
06 Kabupaten Musi Rawas Lubuk Linggau
07 Kabupaten Ogan Ilir Indralaya
09 Kabupaten Ogan Komering Ilir Kayu Agung
10 Kabupaten Ogan Komering Ulu Baturaja
11 Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan Muaradua
12 Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur Martapura
13 Kota Lubuklinggau Lubuklinggau
14 Kota Palembang Palembang
15 Kota Pagaralam Pagaralam
16 Kota Prabumulih Prabumulih

Sejarah Provinsi Bengkulu

Dari Kemerdekaan Indonesia Hingga Terbentuk menjadi Propinsi Bengkulu

Oleh Ir Herawansyah MSc MT
Pendahuluan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan kepada dunia internasional melalui radio oleh Sukarno dan Muhammad Hatta di tempat kediaman Sukarno Jalan Pegangsaan Timur (sekarang jalan Proklamasi No 59) Jakarta. Proklamasi tersebut merupakan suatu gerakan besar seluruh rakyat Indonesia yang ingin merdeka dan membentuk negara sendiri yang terbebas dari penjajahan.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Sukarno dan Muhammad Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Berita proklamasi tersebut pada tanggal 20 Agustus 1945 diterima secara resmi di Kota Bengkulu dan dibentuklah suatu badan yang menyusun pemerintah Republik Indonesia di Bengkulu.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, Ir Indra Tjaya diangkat oleh Mr TM Hasan (Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Pematang Siantar – Sumatera Utara) sebagai Residen Bengkulu. Setelah beliau diangkat sebagai Residen Bengkulu, Ir Indra Tjaya mengadakan perundingan dengan Residen (Syucokang) Jepang, Z. Inomata untuk menyerahkan daerah Keresidenan Bengkulu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Setelah diadakan beberapa kali perundingan maka pada tanggal 27 Oktober 1945, dilakukan penyerahan Pemerintahan Keresidenan Bengkulu oleh Jepang kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Pada awal tahun 1946, terjadilah krisis pemerintahan sipil di Bengkulu, dimana Badan Pekerja Harian Nasional Indonesia (BPHNI) menuntut reorganisasi pemerintahan diseluruh Keresidenan Bengkulu, akibatnya pada tanggal 21 Naret 1946 Residen Ir Indra Tjaya secara resmi meletakkan jabatan. Tanggung jawab sebagai residen sepenuhnya diserahkan kepada BPHNI dan pada tanggl 23 Maret 1946 BPHNI mulai melaksanakan reorganisasi pemerintahan diseluruh Keresidenan Bengkulu.
Namun karena terjadinya kekisruan yang diakibatkan tidak diakuinya BPHNI oleh sebagian besar Kepala Marga di Curup maka pada tanggal 28 April 1946, Mr. Hazairin (Ketua Pengadilan Negeri Sibolga – Putera Daerah Bengkulu) diangkat oleh Mr T.M. Hasan sebagai Residen Bengkulu. Mr Hazairin dengan segala kemampuannya segera bertindak untuk kembali menyusun pemerintahan daerah Bengkulu yang morat marit dengan bijaksana serta tidak merugikan pihak manapun malahan seluruh komponen diajak melaksanakan tugas, kewajiban dan tanggung jawab secara bersama-sama.
Berdasarkan UU RI No 10 tanggal 15 April 1948, Provinsi Sumatera dibagi menjadi 3 (tiga) Provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan dan di atasnya, sebagai wakil Pemerintah Pusat RI dibentuk Lembaga Komisariat Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Kota Bukit Tinggi dimana Mr TM. Hasan sebagai Ketua dan Mr A Sidik sebagai Pemimpin Sekretariat Pemerintah Pusat.
Dengan ketetapan undang-undang Nomor 10 tersebut, Keresidenan Bengkulu yang tadinya dalam lingkungan Provinsi Sumatera masuk kedalam lingkungan Provinsi Sumatera Selatan dengan Gubernur M Isa yang berkedudukan di Kota Curup.
Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar perjanjian Renville dengan menyerang daerah-daerah RI yang masih belum didudukinya termasuk Keresidenan Bengkulu.
Pada tanggal 25 Desember 1947, Gubernurr M Isa telah berada di Kota Curup mengepalai pemerintahan Provinsi Sumatera selatan. Pada tanggal 23 Desember 1948, Daerah Sumatera Selatan dijadikan satu Daerah Militer dibawah pimpinan AK Gani sebagai Gubernur Militer yang juga berkedudukan di Kota Curup. Akibat agresi Militer Belanda tersebut, Gubernur M Isa, Gubernur Muiliter A.K Gani dan Residen M Hazairin menyingkir ke Kota Muara Aman dan Pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan dipindahkan ke Kota Muara Aman.
Pada tanggal 26 November 1949, di Bengkulu Selatan dibentuk satu delegasi militer dibawah pimpinan Letnan Kolonel Barlian, Komandan Sub Territorium Bengkulu, untuk menerima serah terima seluruh daerah Bengkulu dari Belanda. Delegasi ini sampai di Kota Bengkulu pada tanggal 29 November 1949, pada tanggal 30 November 1949 sampai di Bengkulu Delegasi Pemerintahan Sipil dari Bengkulu Utara yang dipimpin oleh Mr Hazairin, Wakil Gubernur Militer Daerah Istimewa Sumatera Selatan.
Sejak tanggal 2 Desember 1949 dari Kota Bengkulu, Komandan Sub Territorium Bengkulu memberikan instruksi seperlunya mengenai segala hal yang menyangkut pengisian daerah-daerah yang akan ditinggalkan pasukan Belanda.
Mulai tanggal 7 sampai dengan 10 Desember 1949 TNI mengisi kembali tempat-tempat yang telah ditinggalkan Belanda, yaitu pada tanggal 8 Desember 1949 TNI masuk ke Kepahiang dan Curup, 10 Desember masuk ke Muara Aman dan 11 Desember 1949 masuk ke Kota Bengkulu, sehingga mulai tanggal 11 Desember kekuasaan Belanda dalam wilayah Keresidenan Bengkulu telah berpindah kembali kepada Negara Republik Indonesia (NRI).
Pada tanggal 11 Desember 1949 juga dikeluarkan 1 (satu) Maklumat kepada seluruh penduduk dalam Keresidenan Bengkulu yang ditandatangani oleh Mr Hazairin, Residen Bengkulu, dan Barlian, Letnan Kolonel Komandan Sub Territorium Bengkulu, yang berbunyi :
Maklumat
1. Diberitahukan kepada seluruh penduduk Daerah Bengkulu, bahwa mulai tanggal 11 Desember 1949, kekuasaan Belanda dalam Wilayah Territorial Bestuurs Adviseur Bengkulu (TBA) di Keresidenan Bengkulu telah berpindah kembali seluruhnya kepada Negara Republik Indonesia (NRI).
2. Dengan pemindahan kekuasaan itu, maka sempurnalah sudah pelaksanaan “cease hostilities” (penghentian perusuhan) antara Belanda dengan Republik Indonesia bagi daerah Bengkulu (bagi lain-lain daerah Republik sedang disempurnakan), sehingga dengan demikian bersihlah jalan menuju pemindahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda dan Negara Republik Indonesia (NRI) kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) yang akan berlaku beberapa minggu lagi.
3. Dengan pemindahan kedaulatan itu, maka NRI akan menjadi negara bagian dalam RIS, dan akan berdiri pula perikatan kerja sama (uni) antara Kerajaan Belanda dan RIS yang merupakan pertalian persahabatan yang sangat akrab.
4. Diperintahkan kepada tiap-tiap orang bahwa kita bangsa Indonesia tidak lagi bermusuh-musuhan dengan bangsa Belanda , dengan demikian tentu juga tidak lagi bermusuh-musuhan dengan orang-orang yang pernah bekerja sama atau membantu Belanda selama perjuangan antara Republik Indonesia dengan Belanda pada masa sedih yang telah silam.
5. Sekarang diseluruh daerah Bengkulu dipertanggungjawabkan kepada TNI buat menjaga dan menjamin ketertiban umum, ketenteraman dan keselamatan bagi semua orang tidak pandang siapa dia, meskipun bekas penghianat bangsa sekalipun. Dipermaklumkan, bahwa TNI tidak dibolehkan lagi mencampuri urusan Kepolisian biasa dan pemerintahan umum.
6. Keselamatan Jiwa, harta benda, rumah tangga dan perekonomian (perusahaan, perdagangan dan lalu lintas) dijamin oleh pemerintah NRI dengan semua alat-alat kekuasaannya.
7. Tidak dibolehkan orang merasa cemas atau takut atau was-was terhadap sesuatunya, jika ada perasaan yang serupa itu hendakla lekas dikemukakan kepada alat-alat pemerintahan.
8. Sebaliknya, tidak di izinkan orang mengadakan provokasi (bisikan-bisikan, hasutan-hasutan, kelakuan, dan perbuatan permusuhan) yang akan mendatangkan kekacauan, kecemasan, ketakutan, pendeknya yang hendak menggangu ketenteraman dan rukun damai dikalangan penduduk.
9. Barang siapa yang mengadakan provokasai sebagai dimaksud itu, akan dikenakan hukuman berat, mungkin sampai hukuman mati.
10. Semua peraturan yang berlaku saat itu, meskipun aturan-aturan Pemerintah TBA tetap berlaku asal tidak bertentangan dengan perjanjian-perjanjian Naskah Timbang Terima Kekuasaan yang telah ditandatangani tanggal 11 Desember 1949 dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar NRI, semuanya berlaku sampai tiba waktunya diubah oleh yang berhak mengatur.
11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bengkulu (DPB) dan Dewan Kota Bengkulu dalam bentuk dan susunanya pada tanggal 19 Desember 1948 diperpanjang usianya sampai ia dibubarkan secara resmi.
12. Dewan-dewan marga, kepala-kepala marga, kepala-kepala dusun, kepala-kepala pasar, datuk-datuk di kota Bengkulu, pemangku-pemangku, dan pegawai-pegawai mesjid, berdasarkan aturan yang ditandatangani 11 Desember 1949, meskipun sekali ada diantaranya yang mendapat pengakuan dari Pemerintah TBA tetap bekerja terus sampai semuanya itu diubah atau diganti (atas alasan-alasan yang syah) menurut peraturan NRI dalam daerah Bengkulu bagi semua urusan tersebut. Jika disesustu tempa terdapat kebimbangan disebabkan adanya dua orang atau lebih kepala adat (atau pegawai-pegawai agama) yang menganggap dirinya sama-sama berkuasa, maka jika tidak ada ukuran yang lain buat menentukan siapa yang berhak benar, akan diadakan pemilihan selekas-lekasnya. Dalam menunggu pemilihan, maka kepala adat (atau pegawai agama) yang ditunjuk oleh TBA itulah yang meneruskan pekerjaan buat sementara waktu.
13. Semua pegawai, meskipun yang diangkat oleh Pemerintah TBA tetap bekerja terus dalam pangkat dan derajatnya sebagai tercantum pada aturan tanggal 11 Desember 1949 sampai saat ini diadakan perubahan menurut “Naskah Timbang Terima Kekuasaan”.
14. Uang Belanda, uang NRI, uang daerah Dmiss, propinsi, dan keresidenan dipergunakan bersama-sama dalam bekas wilayah TBA tersebut atas kurs pasaran sampai urusan mata uang diatur lebih lanjut.
15. Rakyat dan semua penduduk dari seluruh lapisan, golongan partai dan kebangsaan, berkasih-kasihanlah kamu, hiduplah dengan tenteram, tolong-menolong, harga-menghargai, hormat-menghormati; hilangkan perasaan dendam, benci, dan permusuhan. Muda-mudahan Tuhan Yang Maha Esa menurunkan rahmat-Nya atas kita sekalian.

Pada tanggal 17 Agustus 1950 Negara RIS resmi dibubarkan dan dibentuk negara kesatuan baru yang diberi nama Republik Indonesia (RI), yang dibagi menjadi 10 provinsi yang mempunyai otonomi. Berdasarkan Undang-undang No. 3 tahun 1950 Junkto U. U No. 25 tahun 1959 ditetapkan sebagai keresidenan dalam lingkungan Provinsi Sumatera Selatan.
Pada tanggal 27 Desember 1949 keresidenan Bengkulu pulih kembali dan Bupati M. Hasan diangkat sebagai Residen Bengkulu. Kota Bengkulu merupakan kota yang mati lagi dan terisolisasi sama sekali dari dunia luar. Setelah negara kesatuan Republik Indonesia baru terbentuk pada tanggal 17 Agustus 1950, Pemerintah pusat hampir tidak memperhatikan keadaan didaerah, kabinet silih berganti sehinggah Pemerintah daerah terpaksa memecahkan keadaan daerahnya dengan caranya sendiri-sendiri, tanpa dana dan bantuan dari Pemerintah Pusat.
Keadaan terisolasi dan terbengkalai yang jauh dari sentuhan pembangunan selama lebih dari 30 tahun mengakibatkan daerah Bengkulu jauh ketinggalan hampir disegala bidang bila dibandingkan dengan daerah lain. Pada masa itu banyak orang Indonesia tidak mengetahui bahwa sebagian dari negara Kesatuan Republik Indonesia ini terdapat daerah Bengkulu yang merupakan komponen aktif dalam perjuanagan pembangunan bangsa dan negara Kesatuan RI.
Pada tahun 1950 sampai tahun 1966 adalah masa saling perebutan kekuasaan (kabinet) di
antara partai-partai politik yang besar, di antaranya partai Masyumi, PNI, dan PKI dengan sistem demokrasi parlementer Eropa Barat. Sistem itu mengakibatkan tidak adanya stabilitas politik, inflasi, dan lambatnya rencana pembangunan.
Keadaan semakin mengkhawatirkan dengan timbulnya gerakan separatis “Republik Maluku Selatan”(RMS) dan gerombolan “Darul Islam” yang merongrong negara RI dan lainnya. Sehinggah terjadilah “Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia, atau dikenal denagn sebutan G.30 S/PKI.
Pada tahun 1962 timbul Badan Perjuangan Bengkulu yang diprakarsai oleh sekelompok tokoh masyarakat daerah untuk menjadikan Bengkulu sebagai sebuah propinsi. Namun, perjuangan yang terjadi di tengah krisis politik dan ekonomi negara, ditambah dengan kuatnya pengaruh PKI pada pemerintah pusat di Jakarta. Dengan ditumpasnya G.30. S/PKI dan terjadilah peralihan pemerintahan orde lama ke pemerintahan orde baru, membawa harapan pada perjuangan Bengkulu untuk menjadi provinsi harapan itu ternyata terwujud. Perjuangan selama ini dilakukan dengan gigih akhirnya berhasil.
Pada tanggal 18 November 1968, atas dasar UU No 9/1967 Junto PP No 20/1968, Keresidenan Bengkulu diresmikan menjadi salah satu Provinsi di Republik Indonesia yang ke-26 dengan Ali Amin sebagai Gubernur Bengkulu.