Sabtu, 04 Juni 2016

Jabolan



PADA suatu hari masyarakat di Lebong digemparkan oleh kabar adanya beberapa penculik yang setiap hari mengintai anak-anak untuk dikorbankan dalam suatu upacara. Para orangtua yang kebanyakan setiap harinya pergi ke sawah atau ke kebun, menjadi khawatir akan keselamatan anak-anak mereka di dusun. Apalagi para orangtua yang berbulan-bulan tidak pulang ke dusun, hanya tinggal di kebun atau sawah mereka.
Di kalangan anak-anak pun kabar berita itu menyebar dan menakutkan. Mereka pergi ke sekolah atau pulang sekolah selalu bergerombol, karena takut diculik. Tapi, kegiatan-kegiatan anak-anak dusun di Lebong tetaplah seperti biasa. Banyak kabar berita yang menyebutkan sekelompok penjahat yang suka menculik anak-anak telah melakukan penculikan di beberapa Kutei atau dusun. Berita-berita itulah yang meresahkan masyarakat di Lebong.
Konon, sekelompok orang yang suka menculik itu oleh masyarakat disebut Jabolan ( penjahat ), yang beraksi secara sembunyi-sembunyi. Namun, tak ada yang tahu, siapakah para penjahat itu. Untuk apa mereka menculik anak-anak dusun yang tak bersalah serta tidak tahu menahu masalah.
Karena kabar beritanya sudah begitu meluas di tengah kehidupan masyarakat, maka persoalan Jabolan itu akhirnya masuk juga ke agenda rapat para ketua-ketua adat di Lebong. Mereka membahas, mengkaji dan mencari jalan ke luar, agar kalau kabar Jabolan itu benar, anak mereka akan selamat, tidak mendapat gangguan.
Pada suatu hari, berkumpullah beberapa orangtua, ketua-ketua adat, kepala kampung di rumah Pangeran Lai ( pangeran=pangeran/pimpinan masyarakat, lai = besar ), guna membahas  kabar berita yang tak menggembirakan yang beredar dan menyebar di tengah kehidupan masyarakat Lebong.
“ Bapak-bapak yang kami hormati, kami mengundang bapak-bapak datang ke sini hanya untuk membicarakan kabar yang belum jelas yang selama ini tersiar luas,” kata Pangeran Lai kepada hadiran yang hadir. Suasana di ruang rapat Balai Kampung itu mencekam, semuanya duduk bersila dan melingkar di atas tikea paden ( tikea = tikar, paaden = pandan), mendengar Pangeran Lai berbicara.
“ Jadi, malam ini kita akan mencari jalan ke luarnya, mudah-mudahan bapak-bapak yang hadir di sini dapat memberikan keterangan yang diperlukan,” ujar Pangeran Lai yang biasa dipanggil Lai itu.
“ Nah, siapa yang ingin bicara soal itu terlebih dahulu?” harap Pangeran Lai. Sejenak para orangtua yang hadir terdiam. Sebagaian mereka asyik menghisap rokok daun nipah kesukaan orang-orangtua di Lebong zaman dahulu kala itu. Suasana hening dan agak mencekam itu, tiba-tiba mencair, karena ada yang bicara.
“Silakan…,!” kata Pangeran meminta yang mengangkat tangan untuk mulai bicara.
“ Begini sepasuak, soal kabar itu memang sudah lama terdengar, tapi di daerah ini belum ada korban yang diculik,” kata Rio Bong. Semua yang hadir melirik Rio Bong dengan seksama. Lalu, kata Rio Bong, “Kalau benar, tentunya kita perlu waspada, kalau perlu kita giatkan petugas keamanan wilayah melakukan pengintaian pula,’ lanjut Rio Bong.
“ Ya, mungkin jalan itulah yang terbaik, tetapi juga setiap anggota keluarga kita di daerah ini harus membantu, terutama menyelidiki kelompok Jabolan itu, “ ujar Blando Padea. Mendengar  usulan Blando Padea itu, yang hadir malam itu sepakat untuk menangkap pelaku penculikan yang menyebutkan nama mereka dengan Jabolan.
Pangeran Lai pun setuju, ia berjanji akan memberikan perhatian khusus, apalagi setelah ia mendapat masukan dari penasihatnya, Manin bahwa, Jabolan itu benar-benar ada. Oleh karenanya, kata Pangeran Lai, berita itu harus ditanggapi serius. Pertemuan malam itu yang bersepakat dan sepaham mengatasi segala gangguan keamanan jiwa masyarakat Lebong berakhir hingga waktu menjelang pagi hari.

Ki Pati dan Ki Pandan



 TERSEBUTLAH kisah setelah Ki Karang Nio yang kemudian bergelar Sultan Abdullah kembali ke tanah Lebong dari Kerajaan Indrapura, tempat adik bungsunya Putri Serindang Bulan dijadikan permaisuri oleh raja Pagai bernama Setio Barat. Di Lebong Ki Karang Nio dinobatkan jadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya Rajo Mawang.
            Diceritakan, ayahanda Ki Karang Nio bernama Rajo Mawang bertahta setelah menggantikan ayahandanya bernama Rajo megat bergelar Rajo Mudo Gunung Gedang. Sedangkan Rajo Megat menggantikan tahta dan kedudukan ayahandanya, Biku Sepanjang Jiwo yang dipanggil pulang oleh kerajaan Mojopahit ke Istana Pagar Ruyung. Rajo Mawang yang menggantikan tahta ayahandanya Rajo Megat mempunyai 7 orang anak, yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geting, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan.
            Ki Karang Nio sebagai raja di Ulau Dues, Lebong —dekat Muara Aman sekarang, dikarunia dua orang anak masing-masing Ki Pati dan Ki Pandan. Pada waktu Ki Pati dan Ki Pandan masih kecil, keluarganya menerima kiriman dari Putri Serindang Bulan yang bergelar Sebei Lebong berupa bokoa iben ( tempat sirih ) berisi dua sabok ( selendang). Satu selendang  sutera yang sudah buruk berisi buah berukuran kecil bernama buah aman dengan rasanya sangat manis. Sedangkan sabok lainnya yang masih baru berisi buah abo yang berukuran besar. Tapi, rasanya masam. 
            Adapun bokoa iben yang dikirim Sebei Lebong dari kerajaan Indrapura yang menguasai pulau Pagai di muara Bioa Ketawen ( air Ketahun )—yang sekarang berada di Bengkulu Utara adalah barang bawaan Sebei Lebong alias Putri Serindang Bulan saat ia hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Pada waktu menerima kiriman Putri Serindang Bulan, Ki Karang Nio memanggil dua putranya, Ki Pati alias Rio Patai dan adiknya Ki Pandan alias Tuan Rajo.
            Kenapa Ki Karang Nio tidak memanggil dua putrinya bernama Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari? Itu semua dilakukan oleh raja Ki Karang Nio berdasarkan, bahwa tahta kerajaan pada suatu saat nanti akan diserahkan kepada salah satu di antara putra mahkota; Ki Pati dan Ki Pandan. Dengan demikian Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari tidak dipanggil menghadap.
            Setelah kedua putranya yang masih kecil itu menghadap, berkatalah Ki Karang Nio dengan suara pelan, tapi berwibawa.
“ Hal anandaku berdua. Tahukah ananda dipanggil menghadap?” kata Ki Karang Nio kepada kedua putranya. Tentu saja, kedua putra raja Ki Karang Nio itu tak tahu menahu, apalagi soal kerajaan. Keduanya hanya menatap ayahandanya tanpa berkedip. Kemudian Ki Karang Nio meneruskan ucapannya.
“ Ketahuilah putraku, bahwa beberapa waktu lalu telah datang kiriman dari adik ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di pulau Pagai. Kiriman itu akan ayahanda perlihatkan kepada putrananda berdua,” jelas Ki Karang Nio sambil bersila di ruang pertemuan keluarga raja.
“ Barang apakah gerangan itu, wahai ayahanda raja,” tanya Ki Pati yang sering juga disebut dengan nama Rio Patai itu. Mendengar pertanyaan anak tertuanya itu, Ki Karang Nio hanya diam dan melirik ke arah Ki Pati. Kemudian, pandangannya dialihkan ke wajah putra keduanya, Ki Pandan alias Tuan Rajo. Dengan gerakan tangan, Ki Karang Nio meminta penasihatnya untuk mengambil bokoa iben yang dikirim oleh Putri Serindang Bulan. Setelah bokoa iben itu diserahkan oleh penasihat raja ke Ki Karang Nio, mata Ki Pati terbelakak.
            Sesaat kemudian Ki Pati tak sabaran ingin tahu apa isi bokoa iben itu. Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu kepada Ki Karang Nio.
“Wahai ayahanda raja, bukalah tutup bokoa iben itu, agar hamba dapat melihatnya dengan jelas,” pinta Ki Pati. Kini, giliran Ki Karang Nio yang terbelakak mendengar permintaan anak tertuanya itu.
“Sabar, sabarlah wahai putrananda!” pinta Ki Karang Nio kepada Ki Pati. Namun, Ki Pati nampaknya makin gelisah, seakan-akan ia ingin memiliki semua isi bokoa iben itu. Gelagat Ki Pati itu sudah diketahui oleh Ki Karang Nio. Namun, ia tetap sabar, sebagai raja dihadapan anak-anaknya, ia harus mempunyai ketabahan dan kesabaran.
“ Ayahanda mengundang putrananda berdua di sini gunanya untuk memberikan kiriman Putri serindang Bulan kepada putrananda sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Untuk itu, putrananda berdua harus memilih, yang mana yang disukai,” jelas Ki Karang Nio dihadapan anak-anaknya yang disaksikan beberapa penasihat kerajaan, hulubalang dan keluarga istana kerajaan.
Dengan perlahan, Ki Karang Nio membuka penutup bokoa iben itu yang disaksikan oleh kedua putra mahkota. Setelah diangkat isinya, Ki Karang Nio meletakkan kedua sabok dihadapannya, dengan maksud agar kedua putranya dapat melihat dengan jelas, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat tanpa ada penyesalan dibelakang hari.
“Nah, sekarang ayahanda meminta kepada putrananda berdua untuk memilih satu di antara kedua sabok yang ada isinya itu,” pesan Ki Karang Nio. Tak lama setelah ia mengucapkan kata-kata itu, Ki Pati langsung minta izin untuk memilih pilihannya. Ki Pati melihat sabok yang masih baru berumbai-umbai emas dan perak serta berisi buah abo berukuran besar, langsung menjatuhkan pilihannya.
“Wahai ayahanda raja, hamba memilih sabok berumbai emas berisi buah abo besar itu,” pinta Ki Pati. Ki Karang Nio hanya memandang putra tertuanya, lalu ia berkata; “Apakah tidak salah pilihan putrananda Ki Pati?” tanya Ki Karang Nio. Dengan tegas Ki Pati menjawab, “Tidak. Tidak ayahanda raja. Itulah pilihan hamba,” katanya.
“Apakah putrananda Ki Pati tak menyesal memilih sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu,” tanya Ki Karang Nio lagi. Ki Pati sudah berbulat tekad ingin memiliki sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu. Ia khawatir kalau-kalau adiknya, Ki Pandan akan memilih sabok yang sama. Oleh karena itu, Ki Pati mengajukan pilihan lebih awal sebelum ayahandanya selesai bicara.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang ayahanda ingin bertanya kepada Ki Pandan, relakah engkau memberikan sabok bagus dan buah abo besar itu kepada kakakmu?” tanya Ki Karang Nio kepada Ki Pandan. Ki Pandan hanya tersenyum, ia tak bisa bicara seperti kakaknya Ki Pati. Namun, dari raut wajahnya ia begitu ikhlas melihat kakaknya sudah menjatuhkan pilihan, berarti dirinya harus menerima sabok buruk yang berisi buah aman berukuran kecil.
“Tidak ayahanda raja, hamba hanya memilih sabok buruk itu saja,” kata Ki Pandan dengan suara yang senang. Mendengar kata-kata Ki Pandan, tersentaklah Ki Karang Nio, ia tahu putra keduanya itu sebenarnya belum dapat memilih apapun, karena usianya masih kecil. Tapi, hari itu Ki Pandan seakan-akan seperti orang dewasa. “Betulkah apa yang ayahanda dengar dari putrananda Ki Pandan?” tanya Ki Karang Nio.
“Betullah ayahanda raja!” jawab Ki Pandan. Maka, setelah pilihan kedua putranya dijatuhkan, Ki Karang Nio menyerahkan kedua benda itu kepada kedua putranya. Lalu, Ki Karang Nio berpesan, “ Wahai putrananda berdua, pilihan putrananda itu mempunyai arti masing-masing, jagalah barang-barang itu dengan baik untuk dimanfaatkan di kemudian hari,” pesan Ki Karang Nio.
            Ki Pati dan Ki Pandan kian hari kian tumbuh besar, keadaan kerajaan ayahandanya juga berkembang di berbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan dan tatanan masyarakatnya. Barang pemberian ayahanda mereka yang dikirim oleh Sebei Lebong dari Indrapura tersimpan rapih di istana. Kedua putra mahkota itu tak lagi memikirkannya. Karena, keduanya memang sedang asyik bermain sesuai dengan bertambahnya umur putra mahkota itu.
            Pada suatu hari, Ki Pati dan Ki Pandan yang sudah tumbuh dewasa dipanggil ayahandanya. Keduanya bergegas menghadap sang raja. “Apa gerangan ayahanda memanggil kita,” tanya Ki Pati kepada adiknya Ki Pandan. Sang adik tak tahu, lalu ia berkata, “Wahai kakanda, tak usah kita memikirkan apa maksud ayahanda. Yang penting kita menghadap sekarang juga,” kata Ki Pandan.
            Maka, menghadap Ki Pati dan Ki Pandan dihadapan ayahanda rajanya di ruang tamu istana kerajaan di Kutei Belau Setaun. Dengan rasa hormat, kedua putra mahkota itu bersujud kepada ayahandanya. Di ruangan tamu istana sudah banyak yang berkumpul, termasuk ibundanya. Setelah keduanya duduk, berkatalah sang raja.
            “Ananda berdua, tahukah apa maksud ayahanda memanggil ananda?” tanya sang raja. Tentu saja Ki Pati dan Ki Pandan tidak tahu. Selang beberapa saat kemudiannya, sang raja pun berucap, “Tahukah ananda berdua, siapa yang duduk di samping ayahanda ini?” Kita Pati dan Ki Pandan menggelengkan kepala.
            “Mohon maaf ayahanda raja, siapakah gerangan ibunda tercinta ini,?” kata Ki Pandan dengan bahasa yang santun kepada ayahandanya. Mendengar ucapan itu, Sebei Lebong tersenyum. Dari sorot matanya terpancar rasa gembira yang luar biasa. Ia bergumam, "Inilah pewaris kerajaan di Kutei Belau Setaun!”
            Baiklah, kalau memang tak tahu, ayahanda akan jelaskan, bahwa ibunda yang berada di samping ayahanda ini tak lain adalah adik kandung ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di Pulau Pagai. “Jadi, ananda berdua harus memanggilnya dengan bibinda permaisuri dan segeralah bersujud memberi hormat,” pinta Ki Karang Nio kepada kedua putranya.
            Kedua putra Ki Karang Nio memang cerdas. Tanpa diperintah lagi, Ki Pati dan Ki Karang Nio yang tumbuh dewasa dan tampan menyujuti bibinda permaisuri Sebei Lebong itu dengan perasaan yang suka cita, karena baru bertemu saat itu.
            Oleh Sebei Lebong, kedua putra mahkota itu dielus-elusnya rambut mereka, kemudian diciumnya kening keduanya sebagai pemberian berkah kehidupan akan datang, agar keduanya tetap selamat dan sukses dalam mengarungi kehidupan dunia. Setelah kedua putra Ki Karang Nio mundur beberapa langkah dari hadapan Sebei Lebong, hanya berselang sejenak, Sebei Lebong berkata kepada Ki Karang Nio.
            “Kakanda raja, saya ingin bertanya, siapakah penerima kedua sabok yang dikirim beberapa tahun silam?” tanya Sebei Lebong.
            “Adindaku, sabok berumbai emas dan perak berisi buah abo dipilih dan diambil oleh ananda Ki Pati, sedangakn sabok berisi buah aman dipilih dan diambil oleh Ki Pandan,” jelas Ki Karang Nio. Mendengar pengungkapan itu, gembiralah hati Sebei Lebong. Tercengang. Namun, di hatinya timbul pertanyaan dan kegusaran. Akhirnya ia menjelaskan dihadapan keluarga istana Kutei Belau Setaun tentang sabok berisi buah abo dan buah aman yang sudah dipilih oleh putra mahkota kerajaan.
            “Wahai anandaku Ki Pati, engkau telah memilih sabok baru berumbai emas dan perak berisi buah abo yang besar, berarti engkau anandaku tidak memiliki tabiat orangtua dan berpaham. Engkau hanya menilik sesuatu itu dari luar saja, tidak melihat yang bathin, engkau mau yang kelihatannya bagus, mau yang enaknya saja seperti tabiat paman-pamanmu yang dahulu. Camkanlah di hati sanubarimu, hak anakku Ki Pati, bahwa engkau yang bertabiat seperti itu tidak patut menjadi raja,!” terang Sebei Lebong yang didengar semua keluarga kerajaan.
            Kemudian, kepada Ki Pandan, Sebei Lebong berkata pula, “Engkau, hai anakku Ki Pandan, sungguhpun engkau masih kecil, tetapi engkau bijaksana dan budiman. Tabiat anakku itu, sudah selayaknya engkau nanti menggantikan kedudukan ayahandamu di Lebong,” ujarnya lagi.
            Maka, tercenganglah semua yang hadir di ruang tamu kerajaan itu. Di samping telah memberi jalan penunjukan pewaris tahta kerajaan, penjelasan Sebei Lebong menimbulkan keretakan di dalam istana. Terutama  dari Ki Pati yang merasa tersingkir dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi raja.
            Konon kabara ceritanya, Ki Pati setelah beberapa tahun dari kedatangan Sebei Lebong, ia meninggalkan istana di Kutei Belau Setaun pergi ke Pagar Bulan dan di sana Ki Pati mendirikan Kutei Karang Anyar ( kini berada di daerah Desa Semelako ) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Ki Pati akhirnyameninggal dunia di Semelako serta makamnya dikenal dengan Keramat Semelako yang berada di dusun Beringin Kuning, Semelako.
            Ki Pati meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa barang pusaka kerajaannya seperti sebuah gading gajah, cikuk terbuat dari gading, sepasang keris bernama keris sepejam dan keris semayang mekar. Dan, tahta kerajaannya digantikan oleh anaknya yang tertua bernama Rio Cende yang juga mendirikan Kutei baru di teras Mambang, tidak jauh dari Semelako. Namun, berdasarkan cerita masyarakat, Kutei teras Mambang tidak bertahan lama, karena hilang akibat bencana alam banjir Bioa Ketawen.
            Rio Cende dan kelima saudaranya tenggelam, yang tidak tenggelam hanya dua saudara Rio Cende. Karena, pada waktu banjir besar itu sedang tidak berada di Teras Mambang. Kedua saudara Rio Cende yang selamat itu bernama Rio Bas dan Rio Pijar. Keduanya dikemudian hari meninggalkan daerah Renah Sekalawi (Lebong ). Rio Bas pergi ke Lais dan mendirikan Kutei Pagar Banyu di Ulu Palik, sedangkan Rio Pijar tetap tinggal di Lebong dengan mendirikan Kutei baru yang diberi nama  Kutei Usang yang melanjutkan petulai Suku VIII.
           
 Kesempulan
Dari cerita rakyat Ki Pati dan Ki Pandan di atas, dapat diambil pelajaran, bahwa menilai sesuatu benda atau seseorang janganlah hanya melihat pada luarnya saja. Tetapi, coba selami isi ( bathin ). Karena pemandangan dari sisi luar yang indah saja bisa membuat kita tertipu, karena ternyata di dalamnya busuk.

Buai Putiak dan Buai Kotong

NAMA dan cerita Buai Putiak dan Buai Kotong sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Lebong, karena kedua binatang yang dipercayai sebagai makhluk manusia jadi-jadian yang menunggu suatu tempat itu, kadang ada yang beranggapan sebagai pelindung masyarakat. Cerita Buai Putiak ( Buai = buaya, Putiak = putih ) adalah kisah seekor buaya putih yang menghuni dan menunggu mata air Bioa Ketahun ( Bioa = air atau sungai, Ketawen = nama sungai ) di daerah Siang Langkat, masih masuk wilayah Sukanegeri ( Topos ).
Konon, buaya putih itu menurut kepercayaan masyarakat, tak lain tak bukan jelmaan dari raja Asai Siang yang raib setelah menguburkan harta bendanya yang kesemuanya terbuat dari emas murni di daerah Lebong Siang. Karena tak mau membalas dendam kepada orang-orang yang mencuri harta bendanya, maka Ajai Siang menghilang ( raib ) dari kehidupan duniwi.
Dan, akhirnya memilih tempat di sumber mata air Bioa Ketawen, serta merta menjelma menjadi seekor buaya putih. Dengan wujudnya seperti itu, kata orang-orang Lebong, Ajai Siang dapat mengawasi dan melindungi keturunannya dari berbagai malapetaka yang akan atau sedang menimpa masyarakat di Topos ( Sukanegeri ).
Baik buruknya Bioa Ketawen ( Sungai Ketahun ), selalu menjadi perhatian buaya putih alias Ajai Siang. Ia menjaga sumber mata air itu, agar tetap bersih, jernih dan dapat diminum oleh siapa saja, tanpa harus memasaknya terlebih dahulu. Buaya putih atau buai putiak itu, memang tak sembarangan memperlihatkan diri. Di samping itu pula, sumber mata air Bioa Ketawen memang jarang didatangi orang, sebab tempatnya sangat jauh dan perjalanan menuju ke sana sangat sukar. Karena harus melalui hutan lebat yang masih banyak binatang buasnya.
Pada suatu waktu, buaya putih ingin berjalan-jalan ke muara Bioa Ketawen yang mengalir ke Samudera Indonesia di daerah Besisia ( pesisir dan sekarang termasuk wilayah Bengkulu Utara ). Maka, untuk memudahkan perjalanannya, buaya putih menjelma menjadi sepotong kayu besar dan hanyut bersama banjir Bioa Ketawen. Tanpa aral melintang, buaya putih sudah melewati dusun Topos, Talangdonok, Rimbo Pengadang, Tapus dan ia segera memasuki daerah Danau Tes.
Ia sadar, kalau di Danau Tes yang merupakan bendungan tak sengaja yang dibuat oleh Pahit Lidah, ada penunggu lain yang berwujud sebagai seekor Buaya Sakti . Buaya putih sudah tahu, kalau buai sakti takkan mengizinkan siapapun yang akan melewati Danau Tes. Bagi makhluk-makhluk jelmaan yang sakti, bila ingin melewati Danau Tes, harus bertarung dengan Buai Sakti terlebih dahulu. Biasanya tak ada yang mampu melawan Buai Sakti Tawen Blau itu.
Tapi, karena tekad yang sudah bulat, Buai Putiak alias buaya putih itu tetap nekat. Dengan wujudnya sebagai sebatang pohon yang dihanyutkan air, ia yakin Buai Sakti tak akan tahu, kalau kayu besar itu adalah dirinya. Ternyata, dugaan Buai Putiak meleset sama sekali.
Sesampai di mulut Danau Tes, tepatnya di Jungut Benei ( jungut = tanjung, benei = pasir ) Buai Putiak sudah ditunggu oleh Buai Sakti. Berdebarlah hati Buai Putiak manakala ia melihat Buai Sakti siap menghadangnya. Oleh karenanya, Buai Putiak pura-pura tetap sebagai pohon yang hanyut. Tapi, betapa kagetnya Buai Putiak, manakala ia mendengar suara lantang dari Buai Sakti.
“Hai, sahabatku dari hulu Bioa Ketawen. Apa gerangan sahabat memasuki wilayah hamba,” tegus Buai Sakti sambil menunjukkan jari kaki depannya ke arah Buai Putiak yang masih berwujud kayu. Mendengar teguran yang angker itu, Buai Putiak tak menjawab. Ia tetap tak mau memperlihatkan wujudnya. Sayang, karena tak mau memperlihatkan wujudnya itu, Buai Sakti marah.
“Apa sahabat sudah tak mendengar kata-kata saja,” ujarnya jengkel. Tapi, yang ditegur tak jua mau menjawab. Buai Putiak asyik berhanyut bersama air. Sebagian badannya berada di dalam air, sebagian atau punggungnya berada di atas permukaan air. Karena jengkel, Buai Sakti lalu melompat ke dalam air. Ia hampiri kayu besar yang hanyut itu dengan perasaan geram.
Lalu, dengan cakarnya Buai Sakti mencabik-cabik kulit kayu itu—yang sebenarnya adalah seekor buaya berwarna putih. Namun, Buai Putiak tak bereaksi apa-apa, walaupun ia merasa tubuhnya makin lama makin perih. Karena tak tahan, buaya putih (buai putiak) itu akhirnya berubah wujud menjadi buaya. Ia mencoba menenagkan Buai Sakti dengan sapaan ramah.
“Maaf, maaf sahabatku penunggu aliran air masuk ke Danau Tes, hamba tak bermaksud mengganggu sahabat. Tapi, hamba ingin berjalan-jalan ke muara,” kata Buai Putiak. Tapi, keramahan itu tak disambut oleh Buai Sakti, karena dirinya sudah merasa jengkel dan marah. Buai Sakti terus berusaha untuk meringkus Buai Putiak.
Menyadari keadaan tak mungkin bisa didamaikan, Buai Putiak pun melayani serangan Buai Sakti. Kedua makhluk jelmaan jadi binatang buaya itu akhirnya berkelahi dengan kesaktian masing-masing. Perkelahian keduanya memang seru. Menurut cerita perkelahian hebat itu berlangsung selama 7 hari 7 malam. Dan, keduanya tetap tak ada yang kalah atau menang.
“Hai sahabatku Buai Sakti, apa manfaat kalau kita berkelahi terus menerus. Kekuatan kita sama-sama hebat, apakah tidak baiknya kalau kita berdamai saja,” kata Buai Putiak.
“Tak ada perdamaian, ini kekuasaan saya, dan di Danau Tes itu berkuasa pula sahabat Dung Ulau Tujuak (Dung= ular, Ulau = kepala, dan Tujuak = tujuh ). Sebelum kamu, wahai sahabat penunggu sumber mata air Bioa Ketawen di makan Dung Ulau Tujuak, lebih baik saya yang mengalahkanmu terlebih dahulu, agar tak sembanrangan memasuki wilayah kekuasaan kami,” jawab Buai Sakti.
Sebenarnya, Buai Putiak tak mau melayani kemarahan sahabatnya Buai Sakti. Tetapi, karena dirinya sudah kena cakar lebih dahulu, serta merta mendapat penghinaan dari Buai Sakti. Maka, ia layani saja kemauan Buai Sakti.
“Baiklah sahabat, kalau itu maumu, apaboleh buat kita pun harus bertarung lagi hingga ketahuan siapa yang lebih hebat di antara kita,” ujar Buai Putiak dengan suara pelan, tapi berisi. Sejenak, Buai Sakti masih angkuh. Namun, lama kelamaan ia berpikir; “Sudah 7 hari 7 malam ia berkelahi dengan Buai Putiak. Tapi, belum ada yang menang atau kalah. Dirinya juga sudah mengalami luka akibat tebasan ekor Buai Putiak yang menyebabkan ekornya putus….”
Sejak saat itulah, Buai Sakti berubah nama menjadi Buai Kotong, karena ekornya putus oleh Buai Putiak dalam perkelahian tanding selama 7 hari 7 malam di tawen Blau, yang juga mengakibatkan warna air di Danau Tawen Blau menjadi kuning hingga sekarang ini.
“Baik. Baiklah!” jawab Buai Sakti. Namun, katanya lebih lanjut kita harus mengadakan perjanjian, agar tak saling mengganggu dan memasuki wilayah masing-masing tanpa peberitahuan. Konon kabarnya di dalam cerita masyarakat Kotadonok, Buai Kotong yang punya istana di bawah dusun Kotadonok—tepatnya di kawasan kuburan Padang Jiet  (nama lokasi pemakaman umum dusun Kotadonok) dan pintu masuk istana Buai Kotong itu berada di Tawen Blau ( Tawen = danau baru dari bentukan Danau Tes, Blau = baru ). Wilayah kekuasaan Buai Sakti hanya sampai Jungut Benei dan seluruh kawasan Tawen Blau yang di dasarnya banyak lumpur, pinggirannya banyak ditumbuhi pun peak ( bambu-bambu air berukuran kecil ), pun rumbia (pohon rumbia yang bisa diambil sagunya ) serta enceng gondok.
Akhirnya Buai Putiak dan Buai Sakti sepakat mengadakan perjanjian, yang isinya saling menjaga daerah masing-masing dari serangan musuh. “Engkau sahabat Buai Putiak tetaplah menjaga sumber mata air Bioa Ketawen, dan hamba menjaga jalur masuk Bioa Ketawen menuju Danau Tes,” kata Buai Sakti.
“Ya, sebaiknya demikian,” jawab Buai Putiak. Tapi, kata dia hamba mohon kalau hamba mau ke muara Bioa Ketawen, kiranya sahabat tak keberatan hamba lewat di daerah kekuasaan sahabat, hamba akan menjelma menjadi kayu kalau lewat di daerah ini. Mendengar permohonan Buai Putiak itu, Buai Sakti akhirnya berpikir, “Kenapa saya harus melarang dia lewat di sini, bukankah kami ini adalah bersahabat?” gumamnya dalam hati.
“Baik, hamba akan izinkan sahabat bila suatu saat akan ke Muara Bioa Ketawen dan melewati daerah kekuasaan hamba. Tapi, jangan sekarang,” pinta Buai Sakti. Keduanya memang sepakat berdamai, namun Buai Putiak harus membatalkan kunjungannya ke Muara Bioa Ketawen.
Menurut cerita rakyat Lebong, dalam perkelahian tanding antara Buai Putiak dan Buai Sakti di Tawen Blau—bagian Timur Danau Tes, air di daerah itu menjadi keruh, warna kuning sepanjang hari. Bahkan, hingga sekarang warna air di Tawen Blau itu tetap berwarna kuning, padahal Tawen Blau menyatu dengan Danau Tes yang airnya jernih dan bening.
Sampai sekarang juga, peristiwa perkelahian antara Buai Putiak dan Buai Sakti tetap menjadi cerita menarik orang-orangtua di Lebong kepada anak-anak mereka. Hanya, tidak diketahui persis, apakah Buai Kotong itu masih ada atau tidak. Sebab, Tawen Blau ( Tawen = Ketahun, Blau = Baru )makin lama makin mendangkal, akibat lumpur yang terbawa oleh anak sungai dari Bioa Tik, Bioa Tiket, Bioa Pacua Telai ( Pacua = pancuran, Telai = nama air/sungai) dan Bioa-Bioa Tik lainnya ( Bioa= air/sungai, tik = kecil ).
Hanya saja, setelah peristiwa itu, Buai Sakti memiliki sebutan lain dari nama aslinya menjadi Buai Kotong ( Buai = buaya, Kotong = sudah putus ekornya. Maksudnya ekor buaya sakti sudah putus).

Kesimpulan:
Dari cerita di atas, didapatlah pelajaran, bahwa kesombongan diri terhadap orang lain tidak perlu dijadikan sifat dan sikap hidup. Karena, orang hebat itu adalah orang yang berbuat baik dan mau mengerti keadaan orang lain, kapan dan di mana saja. Serta, kekuasaan di bumi ini ada batasnya, sebab makhluk yang ada hanya menjaga dan melestarikan apa yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Wisata Alam Curup di Lampung Utara



Wisata Alam Curup Gangsa
AIR terjun Curup Gangsa merupakan air terjun bertingkat, sehingga panorama yang nampak sungguh luar biasa. Air terjun ini mempunyai ketinggian 50 meter lebih dengan lebar pematang airnya mencapai 20 meter. Air terjun ini salah satu dari sekian banyak obyek wisata alam Lampung Utara yang menjadi bagian rancangan pengembangan dan pelestarian lebih lanjut pihak pemda setempat.
Lokasi air terjun ini hanya 10 km dari ibukota kecamatan - Kasui, terletak di dusun Tanjung Raja desa Kota Way Kecamatan Kasui. Atau dari Kotabumi berjarak 126 km dan 223 km dari Bandarlampung.

Curup Gangsa berasal dari aliran sungai (way) Tangkas yang mengalir melewati Bukit Punggur menuju desa Tanjung Kurung dan Lebak Peniangan. Di sekitar air terjun Gangsa udaranya cukup sejuk, banyak ditanami penduduk jenis tanaman kopi dan tembakau. Biasanya, disekitar daerah obyek wisata ini selalu diselimuti kabut.
Bila kita kesana jangan lupa membawa jaket atau baju dingin, terutama bagi mereka yang tidak tahan dengan cuaca dingin. Tidaklah sulit untuk mencapai lokasi obyek wisata alam ini, bisa dilalui dengan kendaraan roda dua dan roda empat di atas jalan aspal sampai Tanjung Bulan. Kemudian, 2 km terdiri dari jalan onderlag dan 1,5 km masih berupa jalan tanah.
Namun, pihak Diparda Lampung Utara siap membangun sarana jalan ke lokasi obyek wisata Curup Gangsa tersebut. “Kini sudah kita bangun beberapa sarana, terutama jalan penghubung dan jalan turun ke bawah air terjun,” ungkap Ali Duki SH dua hari lalu.

Air Terjun Curup Indah 
Kalau Kotabumi dengan daerah Lampung Utaranya terkenal dengan sebutan negeri air terjun hal itu tidak berlebihan. Karena daerah ini memiliki cukup banyak sungai dan kondisi alam yang berlekuk-lekuk, lembah, gunung dan dataran rendah.
Selain air terjun Selampung, Gangsa, masih ada lagi air terjun yang tidak kalah indahnya pemandangan di air terjun tersebut.
Misalnya air terjun Curup Indah yang terletak di dusun Gunung Klawas desa Pekurun Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara. Air terjun ini memiliki ketinggian lebih dari 20 meter dengan lebar penampang airnya mencapai 10 meter.
Untuk ke sana, jarak paling dekat dari Ogan Lima- 20 km, dari Kotabumi - 30 km, dan bila dari Bandarlampung jaraknya hanya 140 km.
Di lokasi air terjun Curup Indah akan dikembangkan taman parkir yang luas, kantin dan warung makan serta pasar seni, untuk menampung kerajinan tangan penduduk sekitarnya. Hasil kerajinan itu berupa barang-barang  kenangan bagi pengunjung.

Air Terjun Bumi Harjo 
Lokasi air terjunnya ada di desa Bumiharjo Kecamatan Bahuga. Air terjun ini tidak terlalu tegak lurus, kiri kanannya masih ditumbuhi tetumbuhan hutan. Namun termasuk prioritas pengembangan dan peningkatan pembangunan sarananya oleh Pemda Lampung Utara melalui Diparda.
Air terjun Bumiharjo hanya berjarak 7 km dari Bahuga (ibukota kecamatan) atau 126 km dari Kotabumi dan 250 km dari Bandarlampung.
Ketinggian air terjunnya lebih kurang 10 meter dengan penampang airnya seluas 10 meter. Lokasi ini sangat ideal itu petualangan alam bebas para pecinta alam, terutama tahap pelatihan dan pengenalan medan.
Namun, tidak menutup kemungkinan tempat rekreasi keluarga yang cukup prospektif di masa depan.(nep/t-14)

Curup-1
4. Air Terjun Kriting di Curup Selampung
KONON- Berapa tahun lalu di sekitar dusun Olak Nila desa Gunung Betuah Kecamatan Abung Barat, Lampung Utara hidup seorang lelaki bersama isterinya di pinggir dusun. Lelaki itu bernama Selampung. Menurut kisahnya, Selampung adalah seorang Petapa, juga guru silat aliran putih.
Sebelum Selampung punya anak dan murid silatnya, ia selalu bertapa (bersemedi, red) di suatu lokasi dipinggiran dusun tempat tinggalnya. Namun, waktu itu orang belum ada yang tahu, walau sudah diusahakan mencari tempat bersemedinya, tak juga ketemu. Tapi jelas, Selampung adalah orang pintar di kampungnya.

Semedi Dibalik Air Terjun
Kepiawaian Selampung sebagai orang pintar, memang diakui hampir seluruh rakyat desanya, bahkan kini sudah melegenda. Dari riwayat Selampung itulah, semula air terjun (Curup dalam bahasa Lampungnya) bernama Curup Gunung Betuah diganti namanya jadi air terjun Selampung.
Kenapa nama awal air terjun itu diganti? Karena di air terjun itu, tepatnya dibalik curahan air itu ada gua yang kedalamannya mencapai 7 meter lebih. Di dalam gua itulah Selampung setiap saat mengadakan semedi (bertapa) memperdalam ilmu-ilmunya. Dan ketika ia mengangkat beberapa murid, para muridnya dilatih ilmu silat, semedi dan pelatihan lainnya.
Karena daerah itu termasuk daerah perkebunan Selampung, maka air terjun yang ada itu diurus oleh Selampung, mungkin kayak juru kuncinya air terjun tersebut, seperti pada makam-makam yang dianggap keramat di beberapa daerah.
Sejak ditemukannya air terjun Gunung Betuah, maka nama Selampung diabadikan pada nama curup ini, sekaligus mengganti nama lamanya Gunung Betuah. Di atas curup ini terdapat sebuah gunung yang dikenal dengan nama Gunung Kubu Hitu.
Sekarang, setelah Selampung meninggal dunia, alam sekitar air terjun -’curup’ Selampung diurus oleh anaknya yang bernama Kobi.
Menurut Ali Duki, SH Kepala Dinas Pariwisata Lampung Utara, air terjun Selampung maupun Gunung Betuah dan Gunung Kubu Hitu bukanlah tempat yang dikramatkan, tetapi hanya tempat petilasan Selampung dan murid-muridnya.

Keindahan Alamnya
Air terjun Selampung dan alam sekitarnya memang indah, apalagi bagi mereka yang terbiasa tinggal di kota. Udaranya sejuk, hembusan angin yang menyertakan air yang mengalir melalui air terjun Selampung, benar-benar nikmat. Saat itu juga kita lalu memuji kebesaran Allah akan ciptaannya, salah satunya adalah air terjun ini.
Lebih-lebih hamparan kebun lada milik petani dusun Olak Nila Desa Gunung Betuah, menambah nikmatnya kita menjelajahi alam sekitar air terjun Selampung.
Ada yang unik di air terjun ini, berbeda dengan air terjun lainnya. Bila pada air terjun lainnya, air yang tercurah dari atas bukit atau gunung berderai, mirip seperti embun; putih seperti busa. Tapi, air terjun Selampung berbeda, curahan air dari atas dengan ketinggian antara 15 - 20 meter, airnya tidak berderai, melainkan tetap menyatu sampai dasar sungai di bawahnya.
Yang unik lagi, air terjun itu seperti rambut panjang yang kriting. Inilah kelebihan air terjun Selampung, ungkap Ali Duki SH kepada Tamtama tiga hari lalu.

Jarak ke Curup Selampung
Untuk dapat mengunjungi air terjun Selampung, bisa dicapai melalui Ogan Lima 10 km, dari Kotabumi 35 km dan dari Bandarlampung berjarak 145 km. Dari Kotabumi ongkos yang harus dikeluarkan hingga ke air terjun Selampung, hanya Rp 1.000,- dan ditambah ongkos Bandarlampung - Kotabumi Rp 2.000,- s/d Rp 2.500,-/orang.
Data curup Selampung antara lain, ketinggian mencapai 15-20 meter, lebar penampang airnya sekitar 13 meter, dan kedalaman goa dibalik air terjun mencapai 7 meter. Air terjun ini pertama kalinya ditemukan oleh Almarhum Selampung dari Negara Sakti Kecamatan Pakuan Ratu pada tahun 1937.
Air terjun ini berasal dari aliran Way Tulung Mas, dan hubungan ke lokasi dapat ditempuh melalui kendaraan roda dua, roda empat dengan kondisi jalan kabupaten.(nep/t-14)

Melongok Metro Kibang, “Negeri Di atas Angin”



 Di Lampung Tengah, kendati wilayahnya terdiri dari dataran, jarang dijumpai pebukitan atau gunung tinggi. Toh, masih ada daerah yang terkenal dengan “negeri di atas angin” - artinya daerah itu terletak di dataran tinggi. Itulah wilayah Kecamatan Metro Kibang.
Wilayah ini terletak diseberang Way Sekampung dan berbatasan langsung dengan kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Secara kelakar orang menyebutnya negeri di atas angin, karena Metro Kibang letaknya lebih tinggi dari kecamatan Bantul, Trimurjo, dan Batanghari.
Menurut cerita tua-tua kampung di Metro Kibang, daerah ini dibuka menjelang pendudukan tentara Jepang. Berarti sekitar tahun 1939 - 1941, yang merupakan daerah pertanian bagi penduduk wilayah Bantul dan Lampung Selatan.
Namun, karena perkembangan pertambahan penduduk Metro dan sekitarnya begitu pesat, maka daerah yang merupakan kawasan hutan register tersebut berkembang jadi tempat pemukiman penduduk, dan akhirnya muncullah desa dan kampung di daerah tersebut.
Wilayah kecamatan Metro Kibang terdiri dari lima desa definitif dengan luas keseluruhannya mencapai 5,887 Km2. Secara administratif kepemerintahan, kecamatan Metro Kibang pertama kali diperintah oleh camat Ismail Malam, kemudian diteruskan oleh Pamujo, BA, Busman Zainuddin, SH dan sekarang camatnya adalah Royani A Rachman.
Mayoritas sumber mata pencaharian penduduk Metro Kibang berasal dari pertanian; padi, jagung dan singkong, yang dimanfaatkan pada areal seluas 4.633,21 hektar. Disamping itu, masih ada komoditi untuk ekonomi keluarga seperti kelapa, jengkol, melinjo, pete, kopi serta bambu dan sebagainya.
Di Metro Kibang tersebar home industri atau kerajinan rumah tangga berupa anyaman bambu dan industri skala kecil seperti meubel.
Berdasarkan data kecamatan tahun 1997, penduduk daerah negeri di atas angin berjumlah 18.414 jiwa dengan 3.178 jiwa berada di ibukota kecamatan (Kibang). Penduduk daerah ini dua tahun silam sudah dapat menikmati penerangan listrik PLN dari ranting Metro. Demikian pula kebutuhan air bersih sudah dapat dinikmati dari PDAM Way Irang cabang Metro Kibang.
Dibidang pendidikan masyarakat, sudah dibangun sarana pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Umum (SMU) dan sudah diresmikan pula Kantor Inspeksi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tingkat kecamatan.
Data tahun 1997 menunjukkan jumlah TK sebanyak 5 buah, SD 16 buah, SLTPN 1 buah dan SLTP swasta 2 buah. Tahun 1990-an sudah ada SMU yaitu SMA Fajar yang dikelola oleh Drs Sukino. Sayangnya, sekolah itu hanya sampai tahun 1995, kemudian bubar alias gulung tikar.
Sementara itu sarana ibadah bagi 18.414 jiwa penduduk Metro Kibang, sudah tersedia tempat-tempat ibadah. Jumlah keseluruhannya 65 buah terdiri dari 17 masjid, 40 mushallah, 6 langgar dan 2 gereja.
Kemudian sarana umum olahraga dapat dengan mudah ditemui, misalnya lapangan sepakbola yang hampir setiap desa memilikinya, bahkan ada desa yang memiliki lapangan sepakbola lebih dari dua buah. Lapangan Badminton, volly ball, juga ada base camp “Kibang Boxing” yang dirintis oleh mantan Kapolsek Hasbullah (alm) tahun 1994.
Untuk mencapai daerah Metro Kibang, dapat dilakukan melalui beberapa arah seperti dari Bantul ada dua jalan yang semuanya sudah beraspal. Kemudian dari Banarjoyo (Kec Batanghari), dari Buana Sakti yang ditembusi oleh jalan dari desa Karyamukti kecamatan Sekampung. Dan dari desa Sukadamai Kecamatan Natar.Jaraknya pun dekat.
Dari Metro menuju Metro Kibang dapat ditempuh lewat jembatan Way Sekampung yang baru (jembatan lainnya adalah jembatan gantung Pulau Payung), terdapat komplek pemakaman C khusus untuk orang-orang Cina di Metro. Kompleks pemakaman C menempati tanah desa Margototo  dan Kibang. Yang selalu dipersengketa kedua kepala desanya. Pemakanan itu merupakan perpindahan dari komplek pemakaman di Jalan . Yani Metro (Tejosari Bd 24 Bantul), yang menurut rencananya adalah daerah pengembangan Kotip Metro untuk terminal.
Di Metro Kibang ada sebuah perusahaan yang bergerak dibidang  pakan ternak, PT. Jafna Comfeed. Juga terdapat 3 buah pasar. 12 perusahaan penggilingan padi (huller ), 3 buah industri anyaman bambu dan 3 buah industri meubel skala kecil.
Penduduk Kecamatan Metro Kibang terdiri dari penduduk Suku Jawa, Semendo dan Lampung. Mayoritas agamamnya adalah Islam. Diboidang kesehatan pemerintah telah menempatkan 1 buah Puskesmas ditambah dengan 2 buah Puskesmas Pembantu yang didukung 1 orang dokter, 3 orang Bidan dan desa dan 10 orang dukun. Disamping itu, menurut catatan Kecamatan Metro Kibang pada tahun 1997 peserta Keluarga Berencana sudah mencapai 2.540 orang.
Untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilyah, di Kecamatan Metro Kibang sudah ada Mapolsek dan Koramil, dan pelaksanaan Siskamling berjalan lancar. Kerawanan daerah ini semata-mata karena berbatasan langsung dengan wilayah Lampung Selatan.
Bidang transportasi dan lalulintas, untuk mencapai Metro Kibang sangat mudah. Dapat ditempuh melalui Bantul (dua jurusan), melalui Karang Anyar/ Way Halim- Sukadamai (Lampung Selatan) dan Tegineneng (Kec Natar) atau bisa melalui Kecamatan Batanghari : Bandarjoyo-Nampirejo-melewati jembatan gantung ) Buanan Sakti ke Margototo. atau melalui Kecamatan Sekampung : Karyamukti-Buanasakti-Margototo. Dengan lama tempuh rata-rata 20- 40 menit dari Way Halim.(t-14) 

Berpuasa Menggapai Taqwa

Memaknai Tafsir Surat Al Baqarah 183: 

Penulis: Yulian Purnama

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’alamemerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa 

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab(harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Penulis: Yulian Purnama

[1] Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55
[2] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409
[3] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[4] HR. Muslim no.102, 108
[5] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149
[6] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272
[7] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500
[8] Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21
[9] Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121
[10] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[11] Lihat Ad Durr Al Masun karya As Samin Al Halabi hal 138, dan Al Itqan Fii Ulumil Qur’an karya As Suyuthi hal 504
[12] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413
[13] Ma’alim At Tanziil, 1/196
[14] Tafsir Al Jalalain, 1/189
[15] Siyar A’lamin Nubala, 8/175
[16] Taisir Kariimir Rahman, 1/86


KILAS SEJARAH KOTA METRO

 Zaman Belanda
 TAMAN MERDEKA - Merek taman ini dibuat tahun 2015 se masa Kota Metro dipimpin Pj walikota, Achmad Crisna Putra

















Belanda
Wilayah Kota Metro sekarang pada waktu zaman pemerintahan Belanda merupakan Onder Distrik Sukadana pada tahun 1937 masuk Marga Nuban. Masing-masing Onder Distrik dikepalai oleh seorang asisten Demang, sedangkan Distrik dikepalai oleh seorang Demang. Sedangkan atasan dari pada Distrik adalah Onder afdeling yang dikepalai oleh seorang Controleur berkebangsaan Belanda.
Tugas dari asisten Demang mengkoordinir Marga yang dikepalai oleh pesirah dan di dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh seorang Pembarap (wakil pesirah), seorang juru tulis dan seorang Pesuruh (opas). Pesirah selain berkedudukan sebagai kepala marga juga sebagai Ketua Dewan Marga. Pesirah dipilih oleh Penyimbang-penyimbang Kampung dalam marganya masing-masing.
Marga terdiri dari beberapa kampung yaitu dikepalai oleh Kepala Kampung dan dibantu oleh beberapa Kepala Suku. Kepala Suku diangkat dari tiaptiap suku di kampung itu. Kepala Kampung dipilih oleh penyimbang-penyimbang dalam kampung. Pada waktu itu Kepala Kampung harus penyimbang kampung, kalau bukan penyimbang kampung tidak bisa diangkat dan Kepala Kampung adalah anggota Dewan Marga.

Zaman Jepang

Pada zaman Jepang Residente Lampoengsche Districten dirubah namanya oleh Jepang menjadi Lampung Syu. Lampung Syu dibagi dalam 3 (tiga) Ken, yaitu:
  1. Teluk Betung Ken
  2. Metro Ken
  3. Kotabumi Ken
Wilayah Kota Metro sekarang, pada waktu itu termasuk Metro ken yang terbagi dalam beberapa Gun, Son, marga-marga dan kampung-kampung. Ken dikepalai oleh Kenco, Gun dikepalai oleh Gunco, Son dikepalai oleh Sonco, Marga dikepalai oleh seorang Margaco, sedangkan Kampung dikepalai oleh Kepala Kampung.

Zaman Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka dan dengan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan UUD 1945, maka Metro Ken menjadi Kabupaten Lampung Tengah termasuk Kota Metro didalamnya. Berdasarkan Ketetapan Residen Lampung No. 153/ D/1952 tanggal 3 September 1952 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 20 Juli 1956 ditetapkan:
  • Menghapuskan daerah marga-marga dalam Keresidenan Lampung.
  • Menetapkan kesatuan-kesatuan daerah dalam Keresidenen Lampung dengan nama "Negeri" sebanyak 36 Negeri.
  • Hak milik marga yang dihapuskan menjadi milik negeri yang bersangkutan.
Dengan dihapuskannya Pemerintahan Marga maka sekaligus sebagai nantinya dibentuk Pemerintahan Negeri. Pemerintahan Negeri terdiri dari seorang Kepala Negeri dan Dewan Negeri, Kepala Negeri dipilih oleh anggota Dewan Negeri dan para Kepala Kampung. Negeri Metro dengan pusat pemerintahan di Metro (dalam Kecamatan Metro).
Dalam praktek, dirasakan kurangnya keserasian antara pemerintahan, keadaan ini menyulitkan pelaksanaan tugas penierintahan oleh sebab itu Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Lampung pada tahun 1972 mengambil kebijaksanaan untuk secara bertahap Pemerintahan Negeri dihapus, sedangkan hak dan kewajiban Pemerintahan Negeri beralih kepada kecamatan setempat.
Pada zaman Pemerintahan Belanda Kota Metro masih merupakan hutan belantara yang merupakan bagian dari wilayah Marga Nuban, yang kemudian dibuka oleh para kolonisasi pada tahun 1936. Pada tahun 1937 resmi diserahkan oleh Marga Nuban dan sekaligus diresmikan sebagai Pusat Pemerintahan Onder Distrik (setingkat kecamatan).
Pada zaman pemerintahan Jepang onder distrik tersebut tetap diakui dengan nama Sonco (caniat). Pada zaman pelaksanaan kolonisasi selain Metro juga terbentuk onder distrik yaitu Pekalongan, Batanghari, Sekampung dan Trimurjo.
Kelima onder distrik ini mendapat rencana pengairan teknis yang bersumber dari Way sekampung yang pelaksanaannya dilaksanakan oleh para kolonisasi-kolonisasi yang sudah bermukim di bedeng-bedeng dimulai dari Bedeng I bertempat di Trimurjo dan Bedeng 62 di Sekampung, yang kemudian nama bedeng tersebut diberi nama, contohnya Bedeng 21, Yosodadi.
Pada zaman Jepang pengairan teknis masih terus dilanjutkan karena pada waktu pemerintahan Belanda belum juga terselesaikan.
Dan pada zaman kemerdekaan pengairan teknis tersebut masih terus dilanjutkan sesuai dengan pengembangan teknis yang direncanakan hingga sekarang.
Adapun nama Kota Metro sebenarnya dari bahasa Jawa "Mitro", yang berarti sahabat (tempat berkumpulnya orang untuk bersahabat atau menjalin persahabatan).
Dan menurut bahasa Belanda "Meterm" yang berarti pusat (centrum) dengan demikian diartikan sebagai suatu tempat yang diletakkan strategis Mitro yang berarti sahabat, hal tersebut dilatarbelakangi dari kolonisasi yang datang dari berbagai daerah diluar wilayah Sumatera. Pada zaman kemerdekaan nama Kota Metro tetap Metro. Dengan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 maka Metro menjadi Kabupaten yang dikepalai oleh seorang Bupati pada tahun 1945, yang pada waktu itu Bupati yang pertama menjabat adalah Burhanuddin (1945-1948).
Sebelum menjadi Kota Administratif, Metro merupakan suatu wilayah kecamatan yakni kecamatan Metro Raya dengan 6 (enam) kelurahan dan 11(sebelas) desa.
Adapun 6 kelurahan itu adalah:
  1. Kelurahan Metro
  2. Kelurahan Mulyojati
  3. Kelurahan Tejosari
  4. Kelurahan Yosodadi
  5. Kelurahan Hadimulyo
  6. kelurahan Ganjar Agung
Sedangkan 11 desa tersebut adalah:
  1. Desa Karangrejo
  2. Desa Banjar Sari
  3. Desa Purwosari
  4. Desa Margorejo
  5. Desa Rejomulyo
  6. Desa Sumbersari
  7. Desa Kibang
  8. Desa Margototo
  9. Desa Margajaya
  10. Desa Sumber Agung
  11. Desa Purbosembodo
Atas dasar Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1986 tanggal 14 Agustus 1986 dibentuk Kota Administratif Metro terdiri dari Kecamatan Metro Raya dan Bantul diresmikan tanggal 9 September 1987 oleh Menteri Dalam Negeri.
Yang dalam perkembangannya lima desa di seberang Way Sekampung atau sebelah Selatan Wav Sekampung dibentuk menjadi satu Kecamatan, yaitu kecamatan Metro Kibang dan dimasukkan ke dalam wilayah pembantu Bupati Lampung Tengah wilayah Sukadana (sekarang masuk menjadi Kabupaten Lampung Timur). Dan pada tahun yang sama terbentuk 2 wilayah pembantu Bupati yaitu Sukadana dan Gunungsugih.
Dengan kondisi dan potensi yang, cukup besar serta ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai, Kotif Metro tumbuh pesat sebagai pusat perdagangan, pendidikan, kebudayaan dan juga pusat pemerintahan, maka sewajarnyalah dengan kondisi dan potensi yang ada tersebut Kotif Metro ditingkatkan statusnya menjadi Kotamadya Metro.Otonomi Daerah pada 1999, dibentuknya Kota Metro sebagai daerah otonom berdasarkan UU No 12 Tahun 1999 yang diundangkan tanggal 20 April 1999 dan diresmikan pada tanggal 27 April 1999 di Jakarta bersama-sama dengan Kota Dumai (Riau), Kota Cilegon, Kota Depok (Jawa Barat ),Kota Banjarbaru (Kalsel) dan Kota Ternate (Maluku Utara).
Kota Metro pada saat diresmikan terdiri dari 2 kecamatan, yang masing-masing adalah sebagai berikut:
Kecamatan Metro Raya:
  1. Kelurahan Metro
  2. Kelurahan Ganjar Agung
  3. Kelurahan Yosodadi
  4. Kelurahan Hadimulyo
  5. Kelurahan Banjarsari
  6. Kelurahan Purwosari
  7. Kelurahan Karangrejo
Kecamatan Bantul, membawahi:
  1. Kelurahan Mulyojati
  2. Kelurahan Tejosari
  3. Desa Margorejo
  4. Desa Rejomulyo
  5. Desa Sumbersari
Kemudian berdasarkan Peraturan Daerah Kota Metro Nomor 25 Tahun 2000 tentang Pemekaran Kelurahan dan Kecamatan di Kota Metro, wilayah administrasi pemerintahan Kota Metro dimekarkan menjadi 5 Kecamatan yang meliputi 22 Kelurahan.

Kecamatan Metro Pusat

  • Kelurahan Metro
  • Kelurahan Imopuro
  • Kelurahan Hadimulyo Timur
  • Kelurahan Hadimulyo Barat
  • Kelurahan Yosomulyo

Kecamatan Metro Timur

  • Kelurahan Iringmulyo
  • Kelurahan Yosodadi
  • Kelurahan Yosorejo
  • Kelurahan Tejosari
  • Kelurahan Tejoagung

Kecamatan Metro Barat

  • Kelurahan Mulyojati
  • Kelurahan Mulyosari
  • Kelurahan Ganjar Asri
  • Kelurahan Ganjar Agung
Kecamatan Metro Utara


  • Kelurahan Banjar Sari
  • Kelurahan Karang Rejo
  • Kelurahan Purwosari
  • Kelurahan Purwoasri     

  • Kelurahan Sumbersari
  • Kelurahan Margorejo
  • Kelurahan Margodadi
  • Kelurahan Rejomulyo