Senin, 20 Juni 2016

Sajak - Sajak Naim Emel Prahana




Kotadonok My Village

Angin malam meliuk-liuk menurun tebing melangkah di lembah
Sampai lorong bangunan pekan kampungku
Bersapa lalu menuturkan pertemuan di meja papan besar
blandar atap pekan tawarkan kehidupan sejak dahulu
tempat bertemu, berembuk dan memainkan dunia anak-anak usai mengaji

di seribu kata yang tersembunyi pada sunyi pegunungan
setiap hari Rabu pengunjung memasuki warung makan Sudi Mampir
dan persinggahan para supir sampai di Kotadonok
rumah-rumah papan berderet dan bertengger di bukit-bukit di lembah

bila malam datang bertandang saat siang tidur dengan pulas di balik dunia ini
langkah-langkah bergegas ingin sampai di rumah dari kebun, sawah dan Bioa Tebet
mulai pucuk po’ong, ikan, pisang, kopi dan bawaan lain hasil kerja seharian
mengisi lembaran waktu ke waktu

anak-anak pergi dan pulang sekolah tanpa alas kaki
menghitung rumpun ilalang menyanyikan lagu semak belukar

1987



Terombang-ambing

Irama musik dari tos mesin tikku merangkai waktu
menulis bait-bait luka oleh-oleh fatamargan yang terlunta-lunta
setelah mereguk aduhai indahnya dunia
antara pertemuan jiwa dan senyum peradaban hitam serba pamrih

rasa yang terjejak menapak dan menyebar ke mana-mana
orang-orang kalah, resah dan terus terseret buaian
yang menghempaskannya di permukaan tanpa belaian
rasa sudah dicengkramkan tangan-tangan batu
tubuh yang keras tak mampu berlabuh menempatkan diri waktunya

riwayat manusia penikmat dunia beragam keluh
dari nyanyian blues, rock, slow pop sampai kamar-kamar kosong
penghuninya terlunta-lunta di luar sementara jiwanya dirampas
direnggut dunia pamrih

jejak-jejak ini melangkahi dan kalah dari tuan-tuan berdasi
yang lantang menggenggam rindu anak dan cucu
dari riwayat terdahulu sampai pintu debu tubuh lusuh
dihempas isu politik silih berganti mengganggu.

1994—1997, Metro



Sepotong Kata

Kerut berlingkarlingkar di daratan
Masa bercinta di gemah ripah irama satwa
Garisgaris wajah isyaratkan si tua beristirahat
Mengenang masa silam melayang tanpa cahaya
Gumpalan seribu butir debu tentang keabadian

Kerut berlingkarlingkar di atas kota
Bergelimang harta tanpa rongga hidung dan mulut
Telinga siapakah yang menyingkap tabir kelabu
Selalu menutup jalan sepotong kata di antaa roti-roti
Hangus terbakar zaman
Anak-anak kembali kalah dan mengasingkan diri
Di kampung-kampung yang jauh dari sini

Inilah kesaksian dialog satu arah di mata merah
Kemaren berdiri menjawab kegelisahan tumpah
Bertambah sunyi menepis jalan kembali
Beranda teknologi menggumpalkan darah
Di lorong-lorong kata tak bermakna

Persembunyian di antara rahasia cerita kita
Jalur-jalur tingkah melangkah gagah dan berubah
Hasrat-hasrat yang gagal dihadapkan sang waktu
Perdebatan mengalahkan simponi angin laut

1990—1994, Metro




Keinginan

Yang di luar, aku yang di dalam
Aku yang di sana, aku yang di sini
Pernah membaur
Di dada sesak tak berlalu
rupa sebab berubah diangga tiada

yang bergolak, aku yang mengalir
dzikir bertempat sunyi tinggal sejengkal
melawan binal, di situlah aku dilahirkan

seperti aku yang di sini seperti dulu
yang di sana seperti aku yang tak ke mana-mana
tak jadi apa-apa dalam keinginan menjadi satu.

1993—1994




The Morning of Story

sebelum embun mengurai dirinya
terdengar segara berujar sebab restu juang
sang petani dusun tersunyikan pakaiannya lusuh
menabuh genderang semangat sejak subuh
beriringan kepergian embun dari dedaunan pohon
ke tujuannya

di pembaringan anak-anakku menerobos angan di pasar bebas
lelap terbawa waktu persinggahan rumah kayu
orang-orang kaya memamerkan harta mereka
menghilangkan dunia gemerlapan di lembaran slogan
“kemakmuran untuk seluruh negeri!”

kusinggahi pagi bersemi di pegunungan
menyadari kebekuan kampung halaman
terhempas angin kencang dari kota mengabarkan berita
padahal semua yang dibawa adalah noda
orang-orang antri memasuki wilayah gemerlapannya
tak disadari adalah pintu neraka keadaan
pulang ke kampung sudah malu dengan badan

dibiarkanlah tubuh dan jiwa bercerai berai
melewati pagi, siang dan sore sampai malamnya
tak ada sejarah yang patut dituliskan.

Maret 1994


"the house and in bedroom"
menghitung kepergian kita pulangkan samudera
antara sungai belantara di waktu sunyi-Nya
dalam catatan di luar rumah selalu saja ada kata konstan
menghitung dinding dan peralatan ruang
yang selalu berpapasan dengan nafas dan bara api
melewati rumah begitu saja
dan meninggalkan belati di tengah kesufian
yang juga tak mampu dibersihkan oleh kesibukan
di dalam kamar, rumah-rumah dunia yang kecil
lahirlah puisi dinding antara sepi, bisikan dan ungkapan
para sahabat terus menyingkap buruan
di luar rumah ada kata satu-satunya pintu
tempat memandang pemainan selanjutnya
kubuang penawaran yang ditawarkan lelah
pada heningnya pagi ini
mulai dekat.

(1998)



Pemeluk Nuansa

pekerja malam menggelar keberadaannya
terdampar di upacara perkawinan sudut kota
menunggu pengirim hadiah penghuni senja
di tengah pembaringan bimbang jarak terbentang
antara aku, kami, tuan dan mimpi

berupa-rupa mimpi melahap keinginan
tegaknya bilah bambu rupa pagar
hadir merajut pertemuan seperti biasanya

pembatas diluluhkan datang bermohon
bergetar kepadaNya dalam pelukan harap
khilaf dan lupa dikurangi di timbangan kelak
agar dapat mencium sajadah di tahta akhir
ak malam tanpa siang itulah keabadian lahir

di antara penghuni nuansa itu
aku sempat memeluk erat rasa
dari bilik bibir keluhku
yang mengalir, berdiam bergelombang
gelombang cintaNya.

Metro, 1994


Dream at Bank Lake

tuak telah memabukkan penyelam rasa
seribu laksa angan lupa diri terpisah raga
pintu jendela terkunci yang terbuka hanya luka
ada satu yang kuraih dari sekian kata sayang
‘gairah’ cinta dibibir sungai yang kian meradang
sayangnya, aku tak dapat menangkap
bayangan telah melayang sekejap pulang
bersama beban di pundak kita
di pengadilan berliku-liku seperti sungai

Mei, 1988 Batangharjo.



Every to Came, Cinder to Meet  to Call For

wajah cinta mengepul dari asap dapur rumah kayu
melepaskan kakinya di kanan dansa lumatkan rasa
tutupi mata disayatan hati

bercerai sendiri diterbangkan pasir segenggam
menoreh jiwa pandang tanpa semangat
tirai telah ditutup sampai terpilihnya kata
ucapan “turut berduka!”
persinggahan cuma sampai di sini
walau aku tahu masih ada keinginan

hidup tak mampu
kubela siapa atas tumpahnya darah
masihkah piagam kalpataru
jadi guru kita?

Metro, 1988


Aisle in the Batangharjo
fijar menebar sinarnya di segala perasaan
menerangi roh, hati dan bunga-bunga
air yang menetes sekujur tubuh luluh
fajarpun cair selaksa pegunungan siang hari
basahi puncak tempat aku berdiri menghadap
kulayarkan sukma ya Rabbi

Batangharjo, Mei 1988
Message

kuraba wajah
kutempelkan di kaca dingin berubah
siasat hawa memsuki relung tulang tubuh
kuteruskan ke tepi pagi dari keinginan bergolak
pergi!
kupacu suasana ke penjuuru mukim
darah merah terus mengalir ajak ke muara
pergilah!
tapi aku masih menunggu waktu itu
waktuNya


Batangharjo, Mei 1988


Spell Bound

Sanubariku gelisah
aku hanya duduk bersila
penunggu sepi laut tujuh tautan
luluh di sinar langit
antara angin dan hembusan nafas
dimainkan gumpalan awan
usia ini terus tercabut waktu
ditinggalkan cita-cita
bergayut mata tanpa muara
dermaga memainkan suara hatiku
menempis menepi di bibir ngarai
dinasti baru muncul lagi
telinga ini hanya dengar sesumbar
kabar bagaikan gelombang samudera

srigala-srigala terus mengintai datang
kursi-kursi berputra
suasana dilingkar-lingkar
pesona cinta
agungkan nama kota.

Metro, 1988.






Semak Belukar
( sajak lama )

Di antara
semak belukar kita
tumbuh bulu
menyebar di taman rindu
di antara
tatap mata sunyi
menggapai “sajak lama” yang hilang
antara tetangga
kesibukan jemari
di atas kaca angka kalkulator
angka
angka kridit, angka
potongan gaji, angka waktu
upacara, tanggal hajatan kepala kantor
pekan olahraga, pencanangan program
biaya pisah sambut atasan, kenaikan
status diantaranya telah
sirna di abad ini
itu
hanya mata pisau
menakutkan dan ketakutan
di mana-mana
matanya dua membayangi langkah
siapa saja abdi negara
datang di tengah kegaduhan pencari
mahkota yang terbuang oleh zaman ilmu pasti.

Metro, 1992 - 1995



Country of Flower to Mix

Bila matahari rebah di ranjang kita, bulan menyusul sembunyikan gelap dalam tubuh, siapa yang mencari tahu tentang tahumu adalah tahu kita. Bila paham air hujan ngembara di atas lahan tanpa cahaya. Kota gemerlapan tergerus kaum pemikir di atas kemudahan tidak kaumku, rakyat semakin datar dengan tanah, bermodal asa mencari rerantingan kering untuk dijadikan cita-cita masa depan.
Bila asap industri bernyanyi kemudian melingkari tanah kita yangs ejengkal, tetap saja kita yang mengetahui mengalami kekalahan bukan grafik atau biro statistik. Yang tahu hanyalah aku dan kita mengerti di balik berita saban hari.
Bila semua sudah berlayar. Gelap merubah diri jadi darah tak berwarna, kaki serta langkah adalah langkah kita juga.
Bila nusa ini milik segenap kerinduan antara muak untuk tersenyum, altar pagi sampai meja senja yang terdengar retakan tanah, lalu muntah-muntah mencoba menimbun lubang yang robek di dada. Tapi, kita tetap terjungkal dari pernyataan-pernyataan para pejabat, pengusaha dan politikus. Keluguan tidak lagi lucu mengucapkan salah ucapan
untuk parta penipu.
Sekarang, mari kita tancapkan tiang-tiang bendera di dada gelisah, marilah kita bersembunyi di antara tiang-tiang itu, biarkan dada putra bangsa lelap dan gagap berpedoman pada pusaka sejarah di sepanjang untaian zamrut khattulistiwa sebagai front terdepan walau hanya nyawa tinggal sepenggal. Jangan biarkan nuklir bebas menghalau persatuan dan ketentraman tiap jengkal tanah ini.
Aku ingin kematian melalui dada yang berlubang di bawah terik matahari, teriak dan slogan. Sisa pembelaan yang tergerus.
Hanya itu
Kita adalah kepulauan, desa, kota dan lautan. Satu dalam bentuk dan motto, bunga yang tak pernah layu, juga masih tersimpan di puncak-puncak gunung Nusantara. Itulah “bunga rampai tanah air!”

Metro, 1998



Kawin
Gara-gara suka membara
pecah dan tumpah berdarah
mengikat diri
pada syair lagu
bergemuruh di telinga
seperti mesin-mesin pabrik
meremuk kata-kata
luluhkan alam sekitar

sinar lembut mata
terbayang sampai aku
tak terpejamkan mata
rasa itu bergelombang di perut
mual dan muntah-muntah

tak dapat kukawinkan semuanya
sebab suka itu suka-suka saja
kata dibuai di buang dihadapan realitas

hari ini berpagut sumpah
sehidup semati, besok sore lupa
lalu bercerai-berai.

Metro, 1997
Gelandangan

Pabrik-pabrik mengepung langitku
mengirim angin debu mewarnai siang malamku
tiupannya membasahkan seluruh tubuh
cemburu pada air condition

tumpah aliran tak teratur lagi
sungai hujan di air hina
sebab kalah bersaing dengan air ludah

api kompor
api kayu bakar apinya matahari
panas lepuhkan kampung halaman
tubuh kalah panas asmara
api politik yang keji

senyum bulan di canda alam
tak sejukkan mata memandang
perempuan-perempuan bergincu tebal
pejabat-pejabat bersafari sepatu berkilau
kepentingannya

dan, para gelandangan
kaum papa dan kelompok urban
jadi sampah jadi tukan bersih ruang seminar
mata ditutup telinganya ditulikan
bacaannya menyiksa selaksa gempa
ikrarpun sudah lama jadi batu nisan
tercecer tanpa kompleks pemakaman
negeri seribu pulau penghuninya makin risau.

1997.


Dan Kawan-Kawan

jarak itu adalah batas pengertian timur dan barat disekat
mainan anak-anak utara dan selatan berlomba peta umpat
di antara mesin-mesin perambah lingkungan

hari ini adalah sekedar lompatan nafas besok lusa
tuan-tuan duduk dipangkuan perabotan mewah
tabel yang membatas bawahan dan atasan

nilai kebahagian blingsatan melayang
roboh lekangnya tradisi di balik tonggak terali zaman
di mana-mana kita berada tempat jatuhnya dedaunan
dalam pelukan penyair terus melangkah ke pedalaman
hanya kpi secangkir tempat bertanya tentang jalinan hati
kawan-kawan dalam kata-kata itu tidak jadi kalimat nyata
sang penyair berenang-renang seperti kunang-kunang

kawan-kawan tetap lelap
tanpa predikat dan statusnya menganga.

1996.


Di atas Kertas Kutulis Rindu

Dusun Kotadonok tertulis di kertas-kertas
berlembar-lembar dibaca dibicarakan
pandanganku jatuh jauh di bumi sana
pegunungan sejuknya alam perempuan-perempuan
peniti pematang sawah pagi sampai sore
mementaskan lakon pernikahan lembah
kini terasa pilu dusun tua pusat catatan sejarah
biang gema di sekolah-sekolah, tiangnya mulai goyah
yang di sudut lama sudah roboh
satu per satu seperti tugu berdiri bisu
lalu kutinggalkan kata adalah pesan
satu rindu kupanjangkan perburuan ilmu


1995.


Kediaman Batu-Batu

Udara kita semakin sesak nafas
telepon sekarang tak perlu bunyi dering
memasuki pintu-pintu debu jendela kesepian
angin terurai langkah tercerai
mendiami rumah-rumah bisu berlalunya para
penghuni abad teknologi
di ruang-ruang rumah tak ada apa-apa lagi
harmonika cahaya sirna
kepada siapa lagi kita bertanya tentang;
di mana kota indah nan permai
kampung yang hijau sejukkan jiwa raga
memasuki kota-kota legenda para konglomerat
di halaman Cuma ada batu meniduri tanah
biar kepergian dikurangi apakah kita lewat saja
di sana kota siapa, di sini sudah jadi purba
yang tak mampu ditelanjangi mimpi kaum urban desa

kota kita kota batu
aku hanyalah batu hanya
diami rindu yang tak tersapa
di atas batu-batu hitam halaman-halaman kediaman
di kota dan di balik kota kita.

Batangharjo, 1991-1994



Tinggali Catatan

aku
satu sumpah
sumpah
cinta rinduku
aku
berjanji satu
kalbu
semata jiwa
untuk ibu
ku

aku
berkata satu
kataku
raja tinggalkan tahta
di situ, aku
tak perlu tunggu
waktu
itu

aku
menyanyikan lagu merdu
tumpahan rindu
sumpah nyanyian
kakiku
nyanyiku
tentang
tanah kelahiran empat petulai
seribu lahir seribu satu timpang
ngamang
di darah mengalir tanpa sungai
tubuhnya di telan seribu janji diingkari
penyumpah negeriku ini
satunya
aku
dilahirkan ibuku
di balai papan rumah kayu
cerita dimulai di situ
rindu kembali satu
di situ
waktunya


Metro, 1991-1994




Duplikat

Sang saka merah putih berkibar tinggalkan kotanya. Perjalanan negeri lebih seribu pulau duplikat bertahta di kotak bendera. Menatap memeluk dan mengiringi langkah-langkah generasi menuju pulau di samudera bebas
Seluruh nusa beraga merah putih dari kertas, kain dan cat warna warni, lalu mengepaklah sayap-sayap kedaulatan di angkasa biru sebagai penghias pemberi kabar ke penjuru dunia.
Angin berhembus membasahi musim panas dari tiang-tiang bambu di desa kota di rumah di kantor dan di mana-mana sampai halaman sekolah dasar terpencil di Sawah Mangkurajo
Selendang kiriman kota diarak keliling kampung dilambai-lambaikan anak-anak petani pegunungan, bergerak tanpa alas kaki menatap tajam ke langit biru dan berkibarlah sang Saka Merah Putih di angkasa.
Darah menjadi mesiu pejuang meluruskan sejarah mengenang jasa-jasa pahlawan bangsa. Waktu istirahatkan kenangan semua hanya duplikat kepahlawanan, semua keaslian dibaca susah dicari rumahnya.


Metro, 1992-1994



Ada Kata Tak Ada Jalan
( Gelisah)

Ada kata
tak ada jalan
ada jawaban
tak ada siang
ada kota
tinggal nama
ada lamunan hilang di senja
tiba-tiba cinta
kita tanya dan kata rimba raya
kata apa sopan diucapkan?

Ada suara
mengatakan muara
sudah dangkal
surut oleh kenangan
dihempas sepi bergelombang
mendiami diamnya hening
hebatnya gelisah di mata
angan yang hilang dinikmati
bersama kepulan asap rokok
terbang di tengah malam
pengembaranya pulang
sia-sia.

Metro, 1991-1994



Kuingin Rinduku Pulang

Harapan terkikis keringat sang tubuh
pejalan kaki mengayunkan langkah dari rumah ke jalan pecah
berdebat dengan debu jalanan dari kerumunan lalat di bak sampah
penyapu jalanan tertatih berkeringat debu dari honor bulanannya
sementara orang-orang yang memberi uang menikmati malam dengan cara mereka
kaum papa terus menyulam waktunya yang berlubang tak seorang wartawanpun tiba
sebab, gelandangan tak bisa memberikannya amplop tebal
berita-berita, laporan-laporan jurnalist dimuat karena hubungan baik dan buruk atau
ada tidaknya uang bensin, sedangkan harga bensin terus melambung terbang
harapan itu masih ada segenggam untuk dibawa pulang di lelahnya tangan dan kaki
seorang lelaki tua menyapa di gang tanah perkampungan sudut kota ini
bersama senja menawarkan tempat untuk menikmati lapar dan haus
sayup terdengar di rumah gedongan suara televisi bagaikan belati menusuk hatinya
surat-surat kabar dan majalah sibuk menghitung jumlah iklan yang dipasang

: aku rindu pulang
  pulang dengan kekasih dan
  keikhlasan bergenggam.

Jakarta, 1990.

Atau Kembang Setaman

Jadi bingkai atau juru damai
atau memandang tarian erotis tengah malam atau
buka pintu datang melempar tatakrama
musim di negeri ini sudah sirna
musim hujan mengambil waktunya
musim panas arus bawah arus atas
senyum itu adalah dendam besok lusa
yang bercakap-cakap siaplah berpisah
mengelus dada apalah daya

taman kembang yang diresmikan menteri
ibu-ibu pegawai negeri tak lagi membisikkan hatinya
kawan itu adalah materi musuh itu adalah kejujuran
tak peduli lagi kawan tak peduli lagi ilmuwan
jadilah mereka kembang setaman tanpa kekasih
jadi penjaga janji-janji pada piagam diri
itulah status yang diburu dan dicari
siap menjual apa saja termasuk dirinya.

Metro, 1994



Plakat Kekasih

Air mata
mata kekasih
kupandang
mata pandangan
jalan mata kekasi
di dinding-dinding
menggantung asa
belas kasihan

pergi ke cahaya bulan
mata kekasih
pucat pasi di wajah
saat menyanyikan hati
kerinduan berpacu
perahu pun melaju
di dayung di dinding retak
dendam-dendam asmara
“wahai kekasih tinggalkan pasar, sahabat dan
  temuilah wajahmu di waktu debu”

Air mata
mata kekasih
mengering tawa
tak pulangkan ucap
kusut kusam di rumah
air mata di mana-mana
keringnya kejujuran
hilang di beranda
“ seorang kekasih tenggelamkan wajahnya
  tuk mendengar suara hati yang lelap
  di antara puisi air mata tentang cintanya
  selamat tinggal bertemu kembali di
  terminal basa-basi
  berbagai merek jurusan tujuan”


Metro, 1994




Langit Berubah Warna

(1)
selalu tersisa lapar
mengeram seperti awan bergulungan
di atas terik matahari di bawahnya haus sekali
pembauran belum pernah terjadi antara
awan, terik matahari, lapar dan haus
dari satu masa ke masa berikutnya
persatuan pulang memberi saksi
beragam rupa musuh datang menyapa
bertandang membawa selendang darah
melebur dusta korban bergelimpangan
di tinggal pencari keadilan di jalan sempit
sampai tiba gema takbir, tahmid dan tahlil
mengawinkan tuntutan malam
perkawinan bulan ramadhan sehelai harapan
mengkristal dalam kuasaNya
langit terus membuka pintunya

(2)
Anak-anak Palestina berlangkah kencang
bersuara lantang menggengam awan negerinya
memukul dada menaiki tangga langit
biar gelombang zionis menghadang
tiada tepi tiada sepi tiada jalan untuk melenggang
halaman dan rumah berantakan
di antara pekik peperangan tak memandang hati
anak-anak kecil bersimbah darah tanah Palestina
mereka terhempas di selangkangan meriam berdentum
meraungnya pesaut tempur buatan Amerika
dalam genggam kendali zionis Yahudi adalah israel

anak-anak Palestina berlarian melampar batu
satu per satu langkahnya terhenti dan rubuh
diam terhempas popor senjata, mereka masih bisa berlari
tetap acungkan tangan bercengkrama dengan selongsong peluru
pencabut nyawa anak-anak Palestina
darah membanjiri tanah Tuhan
seribu jalan ditempuh pertahankan rumah batu
tanah air Palestina kuyakini tetap diberkati Sang pencipta.

Metro, 1990 – 1994



Selamat Pagi
-   Kota-kota lelah

gerimis malam dibibir pagi yang gelap
penjaga sudut kampung terlelap di gardu ronda
embun membangunkan nikmat pagi
sebelum matahari tegak menyirami sinarnya

ufuk timur mulai bertaring
menakuti riangnya anak-anak pergi ke sekolah
di jalan tanah desa ditinggalkan kota
jatuh terjebak yang rapuh luluh
akibat gengsi dilebihkan

kuyakini hal ini
seperti hari-hari
kemaren berganti
datang dan pergi
silih berganti
kehidupan harus dihidupkan.


1989




Antologi Hutan

Di dahan-dahan pohon
duduk jatuhkan pandang
menggaruk-garuk kepalanya
jadi pengawas hutan belantara
hadapi kenyataan pendatang
dan mesin-mesin gergaji
menumbangkan pohon-pohon
anak kera tetap bergelantungan
pergi menghindar   

seekor kera betina menatap tajam sang anak
lalu dibawanya ranting-ranting kering
daun-daun kuning dan buah-buahan hutan
setetes air dari embun pagi
diberikannya kepada sang anak
hari itu seperti hari sebelumnya
mereka berduka cita
habitatnya habis dibabat deru mesin gergaji
tiap hari dilepas sang pemilik modal
membuka lahan-lahan baru perkebunan
duka itu semakin mendalam di mata anak kera

seperti selembar daun bersusah payah menghisap embun
bekal sore hari menjelang malam panjang
seperti anak-anak kampung sudah tidur pulas
diterangi cahaya buram lampu dinding
tanpa harapan dibekali uang jajan esok paginya
gairah tetap menyinari gelap di balik gemerlapan kota

musim malam dan nyanyian satwanya
bertralala..lalalalalalala
menghibur diri panjangnya hari
mereka diburu peradaban mesin.

Metro, 1994

Meja Makan


puisi Naim Emel Prahana

aku masih merindukan makan malam bersama
duduk mengitari meja makan kita
pesta kecil puluhan tahun silam
anak-anak berebut sayur
mengkerutkan kening
lalu kita tertawa bersama 

aku masih merindukan suasana itu
pulangkan harmoni seperti di desa
berselimut persahabatan embun, dingin
dan kenhangatan kebersamaan

kota telah melenyapkan cinta kita
antara acara televise, gadget handphone
dan karier-karier manipulasi suka

sunyi di hamparan ruang makan
senyap dilanda bencana teknologi
satu arti sudah pergi sebelum pagi
tanpa dermaga menambatkan hati.

2016