Oleh Naim Emel Prahana
MENCARI alasan, kenapa ejaan bahasa Indonesia
“yang disempurnakan” (EYD) menyebutkan kalimat berbasis baik dan benar.
Perdebatanpun tidak ada, penggunaan bahasa dalam bentuk penulisan dan
pengucapannya terus berlanjut dan berkembang di antara praduga-praduga
konstruktif di mata akademisi dan publik
sastra.
Hal di atas mengingatkan semua peranan yang
bermuara di tengah kehidupan bangsa dan negara (masyarakat), ternyata sentilan
bahasa yang baik da benar dalam kehidupan dewasa ini, sudah terkooptasi oleh
kepentingan besar, yaitu kepentingan kekuasaan dan pengusaan kepentingan.
Mungkin disitulah peran politik sebagai
“kebohongan yang disahkan” semakin dominan mengalahkan kepentingan keseimbangan
masyarakat yang digambarkan seperti publik. Padahal, jika ‘publik’ tadi
dikonotasikan dengan sebutan ‘masyarakat’—‘rakyat’—‘warga’—‘bangsa’ yang
kemudian diasumsikan sebagai pilar utama demokrasi, maka tidak ada ruang
pertemuan yang mencapai titik penyelesaian (solusi).
Sebab, politik semakin boros semakin tidak
beraturan penggunaan dan pengucapannya dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan
bernegara, khususnya di provinsi Lampung ini.hal itu sangat mengingatkan saya
pada tahun 1984—1985, diberitahu oleh Bang Bismar Siregar (alm) dengan
pertanyaan sederhana, “Adinda mau jadi hakim, sudah pernah berbuat apa?”, kata
Bismar Siregar.
Sudah barang tentu, aku belum berbuat
apa-apa, jika dibandingkan perjalanan hidup sampai saat itu. Namun, pertanyaan
itu masih utuh dan sangat relevan dipertanyakan kembali di tengah hiruk
pikuknya kepentingan dan politik di Tanah
Lada, Lampung Say Wawai ini.
Persoalan Pemilihan Gubernur (pemilgub)
yang bukan hanya ‘katanya’, akan tetapi telah menyita berbagai aktivitas
pembangunan di daerah ini. Sebagai catatan, jabatan gubernur Lampung sejak
berada di tangan Sjachroedin Zainal Abidin Pagar Alam selalu ramai
diperdebat-dibincangkan bahkan selalu digugat secara politis maupun secara
yuridis.
Sayangnya, semua persoalan yang diajukan
dan hampir semua pembelaan yang dikedepankan terlalu berat ke politik. Sehingga
sulit ditemukan keinginan bersama; dari dan untuk rakyat Lampung. Padahal,
Lampung membutuhkan pemecahan persoalan signifikan lainnya yang tidak boleh
ditunda seperti, penanggulangan berbagai aksi kejahatan, korupsi, peningkatan
kesejahteraan rakyat, menertibkan pengelolaan pendapatan asli daerah, termasuk
menertibkan pelayanan publik semisal masalah PLN yang “tidak jelas” komitmennya
terhadap penerangan dan sebagainya.
Masih banyak dan masih sangat jauh dari apa
yang diharapkan selama ini dan semuanya menjadi korban politik dari segelintir
orang, apakah di jajaran pemerintahan maupun di KPU serta para politisi
Lampung. Negara ini (termasuk daerah Lampung) adalah negara hukum, tetapi
penegakan hukumnya sangat lemah. Semuanya menjadi lelah, letih dan lusuh akibat
para komisioner KPU bermain politik kepentingan yang terlalu dramatisir.
Lampung today
in action masih tetap sama dengan kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya
lagi, hari ini di media massa cetak, media elektronik audia visual, di media
jejaring sosial dan realitas kehidupan masyarakatnya. Kepentingan-kepentingan
didorong sedemikian rupa melalui person-person yang secara membabi buta
melemparkan bahasa kritik, saran dan masukan yang TIDAK baik dan TIDAK benar
sebagaimana dianjurkan dalam EYD.
Artinya masihkan ada maknanya nilai-nilai
kesantunan dalam prilaku berbahasa dan berkata di kancah perpolitikan. Baik
pada politisi Parpol, KPU, elemen tertentu masyarakat, dan penggunan media
“jejeraing sosial?” sebaiknya, menghadapi persoalan kepentingan itu selalu
mengedepankan azas manfaat dan azas legalitas yang pro realitas.
*) penulis
peminat masalah sosial dan budaya.