Memaknai Tafsir Surat Al Baqarah 183:
Penulis: Yulian Purnama
Bulan
Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat
Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih
bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim.
Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari
aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah
umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan
panduan menuju jalan yang benar.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan
Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)
Usaha
yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan,
dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al
Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia
tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat
ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa.
Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman”
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam
Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai
orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan
keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir
menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’alamemerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun
hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan
puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
“Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
“Iman
adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani
Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat,
mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]
Demikianlah
enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka
orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah
sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan
sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya
Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu
dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
“Setahu
saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu
berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan
mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].
Dengan
demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan
melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah
lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang
penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang
‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab
dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai
amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Telah diwajibkan atas kamu berpuasa ”
Al
Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah
menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf
pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan
mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai
wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan
Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana
ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ
كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ
تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Maka barangsiapa diantara kamu ada yang
sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak
berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa),
maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir
menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau
menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa)
benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya,
yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
‘Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah-
menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu
ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan
syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena
awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap
dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran
berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya
berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian”
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul.
Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul
Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah
kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum,
penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia).
Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum
dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun
permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik
berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau
juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa
puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari
setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam
Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas,
Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah
puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya,
kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa
Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa
tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya
di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Agar kalian bertaqwa”
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab(harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].
Imam
At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa
(menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika
puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut
dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena
sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat
menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga
menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul
dari makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan
dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab
puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi,
yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat
maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara
istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq
Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ
بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ،
وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ
اللهِ
“Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan
cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat
dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].
Demikianlah
sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah,
bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan
ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi,
taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa
senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya,
karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan.
Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa
memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
“Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam
tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa
itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang
berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
- Orang
yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa
makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki
kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi
mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua
merupakan bentuk taqwa’
- Orang yang berpuasa melatih dirinya
untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang
disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum
atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena
sadar bahwa Allah mengawasinya
- Puasa itu mempersempit gerak
setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah.
Akibatnya maksiat dapat dikurangi
- Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
- Dengan
puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih
peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan
tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat
menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan
semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba
yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Penulis: Yulian Purnama
[1] Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55
[2] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409
[3] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[4] HR. Muslim no.102, 108
[5] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149
[6] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272
[7] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500
[8] Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21
[9] Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121
[10] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[11] Lihat Ad Durr Al Masun karya As Samin Al Halabi hal 138, dan Al Itqan Fii Ulumil Qur’an karya As Suyuthi hal 504
[12] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413
[13] Ma’alim At Tanziil, 1/196
[14] Tafsir Al Jalalain, 1/189
[15] Siyar A’lamin Nubala, 8/175
[16] Taisir Kariimir Rahman, 1/86