Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Agama. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 Juni 2016

Masjid Agung Tuban

Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia

Masjid Agung Tuban

Bagian dalam Masjid


Masjid Agung Tuban terletak di Kelurahan Kutarejo, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Masjid Agung Tuban ini dulunya bernama Masjid Jami. Masjid yang dibangun pada tahun 1894 ini memiliki konsep bangunan yang unik mirip bangunan 1001 malam. Ornamen-ornamen masjid ini sangat menarik dengan kubah besarnya yang berwarna biru dan kuning. Bagian dalam masjid banyak menggunakan pola lengkungan untuk menghubungkan tiang penyangga sehingga menghasilkan pola ruang dengan kolom-kolom. Pintu dan mimbarnya terbuat dari kayu dengan ukiran arsitektur khas jawa klasik. Di malam hari, warna-warni cantik dari Masjid Agung Tuban ini semakin menambah pesonanya. Sekitar sepuluh meter dari Masjid Agung Tuban, berdirilah Museum Kembang Putih yang menyimpan berbagai benda bersejarah seperti kitab Al-Quran kuno dari kulit, keramik Cina, pusaka, sarkofagus, dan lainnya.

Masjid Agung Sumenep, Madura

Serial Masjid Paling Mempesona di Idnonesia


 Masjid Agung Sumenep

Masjid jamik Panembahan Somala atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Jamik Sumenep merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia. Masjid Agung Sumenep ini dibangun pada masa pemerintahan Panembahan Somala dengan arsitek Lauw Piango pada tahun 1779 M. Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1787 M. Arsitekturnya banyak dipengaruhi unsur kebudayaan Tiongkok, Eropa, Jawa, dan Madura. Masjid Agung Sumenep ini juga dilengkapi dengan menara setinggi 50 meter di sebelah barat masjid. Di halaman masjid, tumbuh pohon sawo dan pohon tanjung yang memiliki makna filosofis agar tidak meninggalkan salat lima waktu. Di dalam masjid terdapat 13 pilar besar dan 2 tempat kotbah. Di atas tempat kotbah itu terdapat pedang dari Irak. Di samping pintu depan masjid terdapat jam duduk berukuran besar bermerk Jonghans.

Masjid Al-Irsyad Bandung



Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia


Masjid Al-Irsyad

Klikhotel bangga banget nih karena ternyata salah satu masjid terindah di Indonesia ada di kota Bandung! Masjid Al-Irsyad dibangun pada tahun 2009 dan selesai pada tahun 2010. Bentuk bangunannya mirip kubus besar dengan warna dasar abu-abu.Penataan batu bata di dindingnya sangat mengagumkan di mana batu bata disusun berbentuk celah di antara bata solid. Di dalam masjid, terdapat 99 lampu berbentuk kotak dengan sebuah tulisan nama Allah. Masjid yang tidak memiliki kubah ini dirancang oleh Bapak Ridwan Kamil. Masjid Al-Irsyad ini menyabet penghargaan FuturArc Green Leadership Award 2010. Masjid ini dapat menampung hingga 1500 jemaah. Masjid Al-Irsyad berada di Kota Baru Parahyangan, Padalarang, Bandung.

Masjid Agung Jawa Tengah, Semarang



Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia
 Masjid Agung Jawa Tengah
Payung hidrolik

Masjid Agung Jawa Tengah berlokasi di Jalan Gajah Raya, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang. Masjid ini mulai dibangun pada 6 September 2002 dan diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 November 2006. Masjid Agung Jawa Tengah ini dibangun di lahan seluas 10 ha dengan perpaduan gaya arsitektur Jawa dan Yunani. Gaya bangunan jawa diwakili oleh desain tanjung di bawah pilar utama. Sedangkan gaya Yunani tergambarkan dalam 25 pilar berwarna ungu di plaza utama. Masjid Agung Jawa Tengah ini juga dilengkapi dengan enam payung hidrolik raksasa yang dapat membuka dan menutup otomatis.

Masjid Raya Baiturrahman, NAD


Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia




Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman yang terletak di pusat kota Banda Aceh ini adalah salah satu situs bersejarah yang mampu bertahan hingga hari ini. Masjid Raya Baiturrahman ini pertama kali dibangun di era Kesultanan Aceh, yaitu pada tahun 1022 H/1612 M oleh Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Masjid ini pernah dibakar oleh Belanda pada tahun 1873 sehingga memicu perlawanan masyarakat Aceh. Masjid Raya Baiturrahman lalu dibangun kembali atas perintah Jenderal Van Der Heijden pada tahun 1879 – 1881. Arsitektur bangunan yang baru dibuat oleh de Bruchi yang mengadaptasi gaya Moghul (India). Bangunan ini juga beberapa kali mengalami perluasan, yaitu pada tahun 1936, lalu pada tahun 1958 – 1965, dan tahun 1992. Bangunan masjid sempat mengalami kerusakan akibat bencana tsunami 2006. Masjid Raya Baiturrahman selesai direvonasi pada 15 Januari 2008.

Masjid Istiqlal, Jakarta


Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia
 Masjid Istiqlal
Bagian dalam Masjid Istiqlal
Bersebrangan dengan Katedral Jakarta


Inilah masjid terindah di Indonesia yang juga merupakan masjid terbesar se-Asia Tenggara. Pembangunan Masjid Istiqlal diprakarsai oleh Presiden RI Ir Soekarno dengan arsitek Frederich Silaban, seorang Kristiani. Masjid Istiqlal mulai dibangun pada 24 Agustus 1951. Lokasinya terletak di bekas Taman Wilhelmina, di timur laut Lapangan Medan Merdeka yang di tengahnya berdiri Monas. Di seberang timur masjid ini berdiri Gereja Katedral Jakarta. Masjid Istiqlal memiliki gaya arsitektur modern dengan dinding dan lantai berlapis marmer dan dihiasi ornamen geometrik dari baja antikarat. Bangunan masjidnya sendiri memiliki luas 7 ha, dengan kubah besar berdiameter 45 meter, dan ditopang 12 tiang besar. Menara tunggalnya memiliki tinggi 96,99 meter. Masjid Istiqlal ini mampu menampung hingga 200.000 jemaah.

Masjid Islamic Centre Samarinda



Serial Masjis paling mempesona di Indonesia



Masjid Islamic Centre Samarinda terletak di Kelurahan Teluk Lerong Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Kabarnya, masjid ini adalah masjid terbesar kedua se-Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal. Masjid Islamic Centre Samarinda memiliki luas bangunan utama 43.500 meter persegi. Bangunan Masjid Islamic Centre Samarinda ini memiliki 7 menara dengan menara utama memiliki tinggi 99 meter. Dinding luar menara ini dikelilingi lafadz Asmaul Husna yang dilapisi batu granit, dengan teknik pembuatan water jet. Menara ini terilhami dari Masjid Nabawi Madinah dan kubahnya terilhami dari Masjid Haghia Sophia Istanbul. Sedangkan 6 menara lainnya terletak di bagian sisi masjid. 4 menara di setiap sudut masjid memiliki tinggi 70 meter dan 2 menara di bagian pintu gerbang memiliki tinggi 57 meter. Dua menara di pintu gerbang ini dijuluki Menara Kembar Satu dan Dua. Keindahan Masjid Islamic Centre Samarindah ini ditambah dengan indahnya pemandangan tepi Sungai Mahakam.

Masjid Agung An-Nur, Pekanbaru



Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia





Masjid terindah di Indonesia yang berikutnya terletak di Pekanbaru. Karena keindahannya, Masjid Agung An-Nur ini kerap dijuluki sebagai Taj Mahal Riau. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1963 dan selesai pada tahun 1968. Masjid yang dirancang oleh arsitek Ir Suseno ini banyak mengadopsi gaya arsitektur Melayu, Turki, Arab, dan India. Pada tahun 2000, Masjid Agung An-Nur direnovasi. Luas awalnya yang semula hanya 4 ha, kini menjadi 12,6 ha. Bangunan Masjid Agung An-Nur ini terdiri dari tiga lantai dan tiga buah tangga. Di bagian atas terdapat 13 buah pintu dan di bagian bawah ada 4 buah pintu. Terdapat juga kamar-kamar besar dan aula. Di dalam masjid ini, Anda dapat mengagumi keindahan kaligrafi karya Azhari Nur dari Jakarta. Masjid Agung An-Nur juga dilengkapi dengan fasilitas pendidikan playgroup, TK, SD, SMP, SMA, perpustakaan, aula, ruang pertemuan, dan kantor.

Masjid Al-Akbar, Surabaya



Serial Masjid Paling Mempesona di Indonesia


Masjid Agung Al-Akbar (atau dikenal juga sebagai Masjid Agung Surabaya) merupakan masjid ketiga terbesar di Indonesia. Masjid Al-Akbar ini dibangun pada tahun 1995 dan diresmikan pada tanggal 10 November 2000 oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid. Keunikan Masjid Al-Akbar ini terletak pada desain arsitekturnya yang unik dan modern. Masjid Al-Akbar memiliki kubah besar dengan 4 kubah kecil dengan struktur seperti daun berwarna biru-hijau. Masjid ini memiliki dua lantai dengan lift dan menara setinggi 99 meter. Dari menara tersebut, para pengunjung dapat menikmati pemandangan kota Surabaya, Sidoarjo, dan Bangkalan. Pintu masuknya terdiri dari 45 pintu utama yang terbuat dari kayu jati berukir. Terdapat juga ornamen kaligrafi sepanjang 180 meter dengan lebar satu meter. Masjid Al-Akbar berlokasi di samping jalan Tol Surabaya – Porong, di Jalan Pagesangan, Kecamatan Jambangan, Surabaya.

Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri, Depok





Masjid Kubah Emas
Masjid Dian Al-Mahri atau yang dikenal juga sebagai Masjid Kubah Emas sangat layak dinobatkan sebagai salah satu masjid terindah di Indonesia. Masjid ini akan membuat takjub setiap orang yang melihatnya karena kubahnya yang dilapisi emas setebal 2-3 mm dan mozaik kristal. Masjid Kubah Emas ini berdiri di tanah sekitar seluas 50 ha dan dapat menampung sekitar 20.000 jemaah. Bangunan Masjid Kubah Emas ini terdiri dari 1 kubah utama dan 4 kubah kecil. Di dalam masjid, tergantung lampu kristal seberat 8 ton yang didatangkan dari Italia. Relief di tempat imam, pagar di lantai dua, dan hiasan kaligrafinya juga dilapisi dengan emas. Secara umum, arsitektur Masjid Kubah Emas ini mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk. Masjid ini mulai dibuka untuk umum sejak 31 Desember 2006. Masjid Kubah Emas terletak di Jl Meruyung Raya, Kecamatan Limo, Kota Depok.

Minggu, 12 Juni 2016

AKI, Aliran Sesat Ritual Zina di Depok

 
Para jamaah yang mayoritas perempuan harus melakukan ritual hubungan badan (zina) dengan pemimpin (bernama Edi). Lalu aliran AKI (Amanah Keagungan Ilahi) ini juga tak mewajibkan jamaahnya untuk shalat dan puasa serta jamaah perempuan dianjurkan merokok dan berpakaian seksi.
Inilah beritanya.
***
Aliran Sesat Gegerkan Depok, Wanita Harus Merokok & Berbaju Seksi
Kapanlagi.com – Menjadi negara yang menjunjung tinggi perbedaan agama, bahasa, suku budaya, Indonesia rupanya menjadi sasaran empuk banyak aliran sesat. Kamu tentu ingat dengan Jamaah Ahmadyah, LDII hingga Kerajaan Lia Eden yang dianggap aliran sesat. Namun baru-baru ini warga Depok tengah gempar dengan munculnya aliran Amanah Keagungan Ilahi (AKI).

Menjadi gempar karena AKI punya ajaran yang bikin kamu shock seperti para jamaah yang mayoritas perempuan harus melakukan ritual hubungan badan dengan pemimpin. Lalu AKI juga tak mewajibkan jamaahnya untuk shalat dan puasa serta jamaah perempuan dianjurkan merokok. Wew!
“Aliran AKI ini terungkap setelah ada mantan anggotanya yang sudah keluar. Nah dari situ warga mulai resah terhadap gerak-gerik jamaahnya. Para korban yang jadi pengikut sering bertingkah aneh, seperti terhipnotis. Setiap malam Kamis mereka menggelar pengajian dzikir di mushalla. Untuk perempuan muda harus dzikir di dalam kamar dengan kondisi minim penerangan,” ungkap Dayat, Ketua RT 02 RW 03, kelurahan Jatimulya, kecamatan Cilodong, Depok, seperti dilansir Merdeka.


Inilah rumah yang jadi pusat ritual AKI di Cilodong, Depok © Merdeka
Dimpin oleh Dedi alias Edi, warga Tirtajaya, Sukmajaya yang keberadaannya misterius, aliran AKI ini juga mengubah ucapat Syahadat. Layaknya aliran sesat lain di Indonesia yang hilang akal dan menganggap pemimpin aliran mereka Tuhan, AKI pun demikian. Bukan hanya mewajibkan perempuan merokok dan berhubungan intim dengan pemimpin, rupanya jamaah Hawa AKI juga harus berpenampilan seksi.
Rohim, suami dari Epi yang juga mantan anggota AKI memilih keluar karena merasa janggal dengan AKI, “Menurut Rohim, Epi sering jalan dengan Dedi meski dia nggak tahu ke mana. Katanya sih si Dedi dan Epi ini melakukan penyatuan sinar di rumah Dedi. Setelah ikut AKI, Epi langsung melepas hijab, berpakaian seksi dan merokok,” cerita Dayat. (mdk/aia)
Sumber: plus.kapanlagi.com, Kamis, 19 Mei 2016 06:48
***

MUI Kota Depok: Sesat, Aliran yang Larang Jemaahnya Sholat dan Berpuasa

Aliran Sesat di Depok Punya Tuhan dan Gelar Ritual Liar. (Foto/Ist)
DEPOK, PJ – Kelompok berbasis keagamaan yang diduga mengajarkan aliran sesat di Kampung Sawah, Kelurahan Jatimulya, Kecamatan Cilodong, Kota Depok, Jawa Barat, ternyata tak hanya, meniadakan shalat dan puasa sebagai ibadah yang wajib ditunaikan.
Tapi, aliran yang mengatasnamakan kelompok mereka Amanat Keagungan Ilahi (AKI) itu, diduga juga menggelar seks bebas, antara pemimpinnya yang bernama Edi dengan jemaah wanitanya.
Aliran sesat itu, menjalankan aktivitas berkumpul dan menggelar ritual di sebuah rumah di lingkungan RT 02/ 03. Dayat, Ketua RT mengatakan, ritual seks bebas itu, terungkap berdasarkan informasi yang didapatkan Dayat dari seorang pria yang istrinya pernah menjadi jemaah aliran tersebut.
“Itu terungkap setelah suami korban menunjukan bukti pesan singkat pelaku ke istrinya. Tulisannya ya begitu, mesum,” ujar Dayat, Kamis (12/5/2016).
Berdasarkan pengamatan Dayat, selama ini, aliran itu juga mewajibkan jemaah wanita mengenakan pakaian seksi.
Pakaian seksi dikenakan setiap kali mereka akan berkumpul di lokasi. Selain itu, jemaah wanita juga diharuskan mewarnai rambut mereka dengan berbagai warna.
“Nah, jemaah yang wanita diwajibkan memakai pakaian seksi, rambut diwarnain dan merokok,” kata Dayat.
Mengaku Tuhan
Dayat menceritakan, aliran itu sudah beraktivitas di lingkungan tempat tinggal sejak setahun lalu. Dan, sudah cukup banyak warga sekitar yang terjerumus dan mengikuti aliran itu. Tapi, pada akhirnya mereka kembali bertobat.
 “Iya ada beberapa warga saya yang gabung ke sana. Beberapa di antaranya sudah sadar,” kata Dayat.
Bukan itu saja, menurut Dayat, Edi juga merubah kalimat syahadat dengan mengaku dirinya sebagai Tuhan. Dan, Edi meminta jemaahnya untuk menyetor infak per bulan dengan kisaran Rp1 juta. Untuk merekrut jemaahnya, biasanya Edi lebih dahulu mengimingi dengan uang senilai Rp200 ribu.
“Untuk ritual, info yang saya dapat dari korban dilakukan di kamar. Modusnya zikir,” kata Dayat.
Sementara, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok, KH Ahmad Dimyati Badruzzaman menegaskan, aliran yang melarang jemaahnya shalat dan berpuasa dipastikan sesat.
Dan apa yang diajarkan kelompok yang mengatasnamakan diri mereka Amanat Keagungan Ilahi (AKI) itu, diduga kuat telah melenceng dari ajaran Islam.
Shalat dan puasa adalah wajib dalam Islam. Itu tertulis jelas di dalam al quran. Ajaran yang menentang itu adalah kesesatan yang luar biasa,” katanya.
 Sumber: porosjakarta.com/Merwyn Golan | Otto Ismail | Jumat, 13 Mei 2016. (nahimunkar.com)

Musa Si Hafiz Cilik Hafal Alquran

Ketika umur 5.5 tahun adik Musa di acara Hafiz Indonesia mengatakan hafal 29 juz, penonton tertawa.
Tetapi setelah ditest di depan orang ramai dan benar adanya, semuanya pada menangis.
Masya Allah adik Musa.
Nama Musa La Ode Hanafi mendadak menjadi buah bibir.
Bocah yang baru berusia 7 tahun ini menyabet juara ketiga dalam Musabaqah Hifzil Quran atau MHQ Internasional di Mesir.
Kemampuan Musa saat melantunkan ayat suci Al Qur’an membuat penonton kagum, bahkan salah seorang juri mencium kepala bocah asal Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tersebut.
Sejak kabar dan video Musa beredar media sosial, keberhasilanMusa ini juga diramaikan oleh kicauan para netizen.
Video Musa saat tampil dalam MTQ Internasional di Mesir:
Mereka rata-rata memuji kemampuan bocah ini dan berharap punya keturunan seperti Musa.
Bahkan Presiden Joko Widodo, juga menyampaikan ucapan selamat atas keberhasilan Musa melalui akun twitter pribadinya.
“Kita bangga dg prestasi Musa La Ode Abu Hanafi, hafidz 7 tahun di Musabaqah Hifzil Quran Internasional di Mesir -Jkw,” tulis jokowi melalui akun twitter pribadinya.
Tweet Jokowi tersebut telah diunggah hari ini Minggu (17/4/16) dan telah disukai lebih dari 2.145 dan dibagikan lebih dari 2.294 oleh kalangan netizen.
Beragam komentar juga disampaikan oleh netizen salah satunya seperti disampaikan pemilik akun @agnie_onlineshop yang menulis
” @jokowi terlebih dia memakai batik pak *membanggakan sekali,” tulisnya.
Musa La Ode Abu Hanafi atau Musa La Ode Hafish (usia 7 tahun 10 bulan), lebih dikenal dengan nama Musa Hafiz cilik, memang fenomenal. Pantaslah Presiden Joko Widodo menyanjungnya.
Badannya masih kecil, dan lidahnya yang masih cadel, belum bisa mengucapkan hurup “R”, namun Musa dinilai telah menjadi juara di hati dewan juri dan para hadirin, Musabaqah Hifzil Quran (MHQ) Internasional di Sharm El-Sheikh Mesir pada 10-14 April 2016.
“Meskipun secara tertulis dia hanya memperoleh juara tiga di ajang tersebut,” demikian pernyataan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, Mesir sebagaimana dikutip www.TribunKaltim.co dari situs Kementerian Luar Negeri Indonesia.
Menurut Dewan Juri dan panitia dari Kementerian Wakaf Mesir, bacaan Al-Quran diatur dengan kaidah dan hukum yang jelas dan tidak bisa dikesampingkan antara lain terkait makharijul huruf. Kehebatan Musa sempat mendapat pujian dan sanjungan dari Presiden Joko Widodo.
Musa adalah bocah kelahiran dari Bangka Brat, Provinsi Bangka Belitung tahun 2008.
Orangtuanya, La Ode Abu Hanafi Musa (ayah) dan Yulianti, ibu.
Sumber: bangka.tribunnews.com/Jumat, 22 April 2016. (nahimunkar.com)

Hormati yang Puasa, Jangan Dibalik

Oleh Kyai Ma'ruf






Memasuki bulan Ramadhan, masyarakat diminta menyambutnya dengan khusyuk. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan umat Islam wajib berpuasa, sementara bagi mereka yang tidak berpuasa diharapkan menghormati orang yang sedang berpuasa.
“Kita menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk memasuki Ramadhan dengan penuh suasana yang khusyuk dan tidak boleh ada pelanggaran,” kata Ketua MUI KH Ma’ruf Amin saat jumpa pers di Kantor MUI Pusat Jakarta, Selasa (31/05) lansir Kiblat.Net.


Kyai Ma'ruf dan Ketua NU Said Agil Siradj

Minggu, 05 Juni 2016

PERBEDAAN MASJID DAN MUSHOLA BESERTA PENGERTIANNYA

Dalam shorof masjid & musholla walau berbeda wazan namun sama-sama isim makan (menunjukkan tempat) yang berarti tempat sujud (masjid) dan tempat sholat (musholla).

Di zaman Rasulullah yang dinamakan musholla adalah tanah lapang yang dijadikan tempat sholat 'ied.
diriwayatkan bahwa rasulullah setiap sholat ied dengan jama'ah di MUSHOLLA (yang dimaksud adalah tanah lapang itulah tempat sholat ied), kecuali hanya sekali di masjid dikarena hujan. Oleh karena itu jumhur ulama madzhab menyunahkan sholat ied di tempat yang luas bukan di masjid. Namun Imam Syafi'i berpendapat bahwa tetap sunah di masjid. Alasannya pada waktu itu masjid terlalu kecil, tidak muat untuk menampung jamaah hingga pelaksanaan sholat ied selalu dilaksanakan di padang luas (tertulis dalam lfdnya riwayatnya adalah MUSHOLLA).

Sedagkan masjid adalah sebuah bangunan yang dikhususkan untuk hal-hal ibadah saja, khususnya untuk sholat berjamaah dan lebih khusus lagi untuk sholat jum'atan hingga terjadi batasan-batasan hukum didalamnya.
Jadi sebenarnya musholla itu lebih luas (tanpa bangunan) dibandingkan masjid. Namun lumrahnya di negara kita justru musholla lebih kecil dari masjid. Walau apapun juga bangunan-bangunan kecil di kampung-kampung tiada salah juga diartikan musholla karena makna harfiahnya musholla adalah tempat sholat. Jadi masjidpun mengandung makna musholla juga.

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إلَى الْمُصَلَّى وَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيَأْمُرُهُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ) إلى أن قال: فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّةِ الْخُرُوجِ إلَى الْمُصَلَّى ، وَالْمُتَبَادَرُ مِنْهُ الْخُرُوجُ إلَى مَوْضِعٍ غَيْرِ مَسْجِدِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ كَذَلِكَ فَإِنَّ مُصَلاَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَحَلٌّ مَعْرُوفٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ بَابِ مَسْجِدِهِ أَلْفُ ذِرَاعٍ

.
Artinya :
“Bahwasanya Rasulullah SAW pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adlha ke luar ke mushalla (Al Hadits). Hadits ini sebagai dalil disyari’atkannya ke luar menuju/ke mushalla. Dari hadits ini pula dengan mudah difahami bahwa keluarnya Nabi itu ke sebuah tempat yang bukan masjid dan memang benar demikian, karena sesungguhnya mushallanya Nabi itu berupa suatu tempat yang telah diketahui oleh banyak orang yang mana jarak antara mushalla dan pintu masjidnya Nabi ada seribu dzira’ (± 500 m.)
Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَنْ نُخْرِجَ إلى المصلى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ في العيدين وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ. (متفق عليه)
Artinya:
Dari Ummi 'Athiyah, dia berkata: kita diperintahkan oleh Nabi untuk mengajak para gadis dan perempuan yang sedang haidl keluar/pergi ke mushalla (tempat Shalat) pada hari raya, agar mereka menyaksikan hal-hal yang baik dan do’a kaum muslimin. (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah memerintahkan kamu megeluarkan gadis yang menanjak dewasa, wanita-wanita yang haid dan gadis-gadis yang dipinggit pada Hari Raya Iedul Fitri dan Hari Raya Iedul Adha. Wanita yang sedang haid dipisahkan dari shalat utnuk menyaksikan kebajikan dan seruan kaum muslimin.
Namun demikian terdapat Hadits yang menerangkan bahwa bila hari hujan, Nabi shalat di masjid.
Hadits Nabi riwayat Abu Daud dan Abu Hurairah: "Sesungguhnya mereka di timpa hujan pada Hari Raya Ied. maka Nabi shalat di masjid."
Hadits diatas ada yang menilai hasan, tetapi juga ada yang menilai lemah. Sekalipun demikian para ulama dalam pembahasannya berbeda pendapat, manakah yang lebih afdhal, shalat di lapangan atau di masjid.As-Syafi'i menyatakan yang bahwa jika masjid itu cukup luas shalat di masjid dan tak perlu keluar rumah menuju lapangan. Dalam hal ini seolah-olah niat pergi ke lapangan ialah usaha menampung jamaah sebanyak mungkin. Bila shalat di masjid itu lebih sudah dapat memenuhi tujuan tersebut, maka shalat di masjid lebih afdal.
Sedang menurut Imam Hanafiyah dan Malik, bahwa shalat di lapangan lebih afdhal meskipun ada di tempat itu masjid yang luas. Alasannya ialah Nabi tidak pernah shalat Ied di masjid terkecuali ada halangan hujan. Jadi shalat Ied di lapangan sesuai sunnah.

Kitab Al-Madzahibul Arba’ah juz I hal. 351 :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : فِعْلُهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَل لِشَرَفِهِ إِلاَّ لِعُذْرٍ كَضِيْقِهِ فَيُكْرَهُ فِيْهِ لِلزِّحَامِ وَحِيْنَئِذٍ يُسَنُّ الْخُرُوْجُ لِلصَّحْرَاءِ.
Artinya :
Golongan madzhab Syafi’i berpendapat : melaksanakan shalat id di masjid itu lebih utama karena masjid itu tempat yang mulia, kecuali karena udzur seperti sempitnya masjid, maka hukumnya makruh melaksanakannya di masjid karena berdesakan. Jika demikian halnya, maka disunnatkan keluar ke shahra’”.
Perhatikan hadits pertama pada lafadz  ILAL_MUSHOLLAA. Jadi secara ishtilahi masjid & musholla itu berbeda. I'tikaf itu sunah dimasjid bukan di musholla.

Toni Imam Tontowi
Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI.
Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.
Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.

Kata mushalla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:
وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى
Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".

وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً
.
Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma') yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ?
Jika mushalla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.
Kesimpulannya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir, dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu boleh. Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh.
WALLAHU a'lam.
Imam Ghazali :
ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع

Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum2 lainnya
Karena masjid adalah tempat yang disiapkan untuk sholat secara rutin dan ditentukan untuk sholat hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. Sedangkan tempat sholat Ied diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak. Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied.
Jikalau mereka menganggapnya masjid, maka akan dijaga dari sebab-sebab tersebut dan ada niat untuk melakukan semua sholat di sana. Dan, shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang2 sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan.

Dari jawaban Imam Ghazali bisa ditarik kesimpulan :
Jika musholla dibangun untuk sholat secara rutin, peruntukan utamanya untuk sholat dan tidak dipakai untuk hal lain yang tak sejalan, dijaga hal-hal yang tidak sesuai dengan fungsi masjid. Maka, pada tempat tersebut berlaku hukum-hukum masjid, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dsb. Artinya tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla.
 
Keseimpulannya:
Musyawirin PISS berbeda pendapat dalam hal ini.

Pendapat pertama
Secara mutlak TIDAK BOLEH mengubah status waqaf musholla di ubah menjadi masjid.

Pendapat kedua
Ditafshil dahulu definisi musholla dimaksud :
  1. Jika musholla tersebut dalam makna tempat yang bisa digunakan shalat tetapi tidak digunakan secara rutin   dan dipakai untuk kegiatan selain masjidiyyah, semisal musholla Ied (lapangan)/aula/gedung serbaguna, maka TIDAK BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid. Alasannya sama dengan pendapat pertama.
  2. Jika musholla tersebut dalam makna masjid kecil yang tak dipakai jum'atan sebagaimana difahami sebagian besar masyarakat maka BOLEH mengubah status waqafnya menjadi masjid karena tidak terdapat perubahan selain sekedar sebutan.
Link Asal > http://www.piss-ktb.com/2012/07/1725-hukum-mengubah-status-waqaf.html

Sabtu, 04 Juni 2016

Berpuasa Menggapai Taqwa

Memaknai Tafsir Surat Al Baqarah 183: 

Penulis: Yulian Purnama

Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)

Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)

Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].

Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’alamemerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.

Lalu, apakah iman itu?

Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)

Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:

الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk”[4]

Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:

وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini”[5].

Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa 

Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].

Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)

Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].

Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].

Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.

كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.

Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.

Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].

Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan”[10].

لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab(harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].

Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].

Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].

Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?

Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:

العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah”[15].

Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)

Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.

Penulis: Yulian Purnama

[1] Lihat Al Itqan Fi Ulumil Qur’an karya Imam As Suyuthi, 55
[2] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/409
[3] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[4] HR. Muslim no.102, 108
[5] Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, 4/149
[6] Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, 2/272
[7] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/500
[8] Shifatu Shaumin Nabi Fii Ramadhan, 1/21
[9] Ruuhul Ma’ani Fii Tafsiir Al Qu’ran Al Azhim, 2/121
[10] Tafsir Qur’an Al Azhim Libni Katsir, 1/497
[11] Lihat Ad Durr Al Masun karya As Samin Al Halabi hal 138, dan Al Itqan Fii Ulumil Qur’an karya As Suyuthi hal 504
[12] Jami’ Al Bayan Fii Ta’wiil Al Qur’an, 3/413
[13] Ma’alim At Tanziil, 1/196
[14] Tafsir Al Jalalain, 1/189
[15] Siyar A’lamin Nubala, 8/175
[16] Taisir Kariimir Rahman, 1/86