Kamis, 02 April 2009

Menggugat UU Pornografi

Oleh Naim Emel Prahana

PERBEDAAN mencolok lahirnya produk undang-undang (aturan hukum) di Indonesia, antara zaman orde lama, orde baru dan orde reformasi sangat terasa. Di zaman orde lama, apapun bentuk dan sistem pemerintah yang sering berubah. Produk UU dibuat dan diberlakukan “untuk kepentingan bangsa dan negara”.
Lain halnya pada zaman orde baru dan orde reformasi sekarang ini. UU dibuat karena kepentingan elite politik di dalam partai politik. Produk seperti itu, mengisyaratkan telah terjadi krisis dan semangat nasional di kalangan masyarakat elite Indonesia. Banyak produk yang dinilai sangat lemah, karena substansinya tidak lebih tidak kurang untuk kepentingan orang-orang berkuasa.
Apalagi produk di tingkat Inpres, Keppres, PP dan yang paling kentara adalah produk hukum yang berada di balik “Surat Edaran” para menteri atau Surat Keputusan bersama. Kondisi demikian mengakibatkan banyaknya produk hukum yang tiak dijalankan sebagaimana mestinya. Sebab, roh kepentingan elite politik dan pejabat di tingkat pusat tidak sama dengan roh dan kebutuhan di tingkat lokal.
Seperti halnya UU Pornografi No 44/2008 yang sejak diwacanakan sudah membuat peta konflik di tengah masyarakat yang bhinneka tunggal ika itu. UU Kepolisian yang baru yang polisi disebut bukan militer (terp[isah dari TNI), ternyata sikap dan pelaksanaan tugasnya tidak berubah sama sekali. UU Otonomi Daerah, UU Pemilu, UU tentang KPU , UU KDRT dan sebagainya.
Untuk UU Pornografi yang saat ini tengah digugat, bukan lantaran masyarakat Indoneia tidak mau taat dengan nilai dan norma-norma keagamaan dalam kehidupan sosialnya. Akan tetapi, banyak pasal yang hanya menjadi perpanjangan kepentingan elite politik di tanah air. Serunya, UU Pornografi itu di sejumlah daerah ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah (Perda) tentan pelacuran.
Keduanya tidak bisa diterapkan, karena pihak pelaksana daripada UU itu selain tidak konsisten, juga menjadikan peraturan hukum itu untuk kepentingan korps, oknum dan kekayaan pribadi. Mungkin itulah yang menyebabkan UU Pornografi digugat 28 elemen masyarakat, seperti masyarakat Sulawesi Utara (Sulut), seniman dan penulis, ELSAM, The Wahid Institute Foundation, dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Para penggugat di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyatakan UU No 44/2008 dari sisi substansi cacat hukum dan mengancam terlaksananya hak konstitusional pemohon secara bebas. Beberapa pasal yang dituding cacat hukum dalam UU No 44/2008 itu, antara lain Pasal 1 ayat (1) mengenai definisi pornografi, Pasal 4 ayat (1) soal mengesankan ketelanjangan, Pasal 20 dan Pasal 21 tentang keterlibatan masyarakat, serta Pasal 43 mengenai mewajibkan bukti ke pihak yang berwajib.
UU itu banyak melanggar hak asasi manusia dan prinsip negara hukum, seperti UU tentang KDRT yang telah menghilangkan hak dan kekuasaan seorang kepala rumah tangga (keluarga). Secara langsung maupun tidak langsung lahirnya banyak produk UU yang kemudian digugat karena diniai cacat hukum merupakan akibat salah pilih anggota legislatif tahun 1999 dan 2004 lalu. Untuk itu, wajar dalam pemilu 2009 ini masyarakat jangan asal pilihcaleg, karena berakibat fatal di kemudian hari. Sebab, untuk mencabut dan menghentikan sebuah produk UU tidak gampang, membutuhkan banyak faktor pendukung dan dana yang sangat besar. Di lain sisi, UU itu bukan arena politik.

Pers 4 Sehat 5 Sempurna

Oleh Naim Emel Prahana

PERS disebut-sebut sebagai kekuatan keempat dio suatu negara dapat dibuktikan kebenarannya. Bahkan, tanpa pers pembangunan tidak akan ada artinya di tengah kehidupan masyarakat. Sebaliknya pers juga membutuhkan masyarakat dan hal-hal lainnya sebagaimana masyarakat membutuhkan dukungan bagi kelangsungan hidup di muka bumi ini.
Tetapi, betapapun hebatnya eksistensi pers, tentu ada batas-batas yang harus dihargai, dihormati dan dipatuhi oleh pers. Pers bukanlah sebuah retorika sebab pers adalah karya jurnalistik yang nilainya sangat tinggi. Jika pers disebut sebagai salah satu kekuasaan di suatu negara, itu perlu diklarifikasi sebaik-baiknya. Sehingga arti dan tujuan pers itu saendiri tidak ke luar dari garis-garisnya.
Bahkan, yang cenderung terjadi akhir-akhir ini adalah kecenderungan pers menjadi pengadil—pengadilan terhadap hal-hal yang baru disangkakan dan sedang dalam proses hukum. Betapapun tingginya nilai dan kedudukan pers. Tetapi, akan akan jatuh juga ketika kalangan pers sendiri tidak menghormatinya.
Dan, itu harus diketahui, dipahami dan dijalankan oleh insan pers dan diketahui, dipahami dan dimaklumi oleh masyarakat luas. Sehingga akan terjadi perimbangan kedudukan dan status. Sebagai contoh pers tidak menghormati nilai-nilai dirinya sendiri, terjadi ketika suatu penerbitan pers melakukan kontrol sosialnya yang rada-rada ‘dendam’ terjadi kasus insan pers yang terjadi di penerbitan pers lainnya.
Saling menghargai dan menghormati sesama penerbitan pers, termasuk personilnya adalah sesuatu yang mutlak diperlukan dalam membangun pers yang sehat dalam semua faktor. Yang patut dan harus ditandai oleh pers adalah orang-orang yang tidak pernah membangun kehidupan pers tetapi dalam aksi dan aktivitas sehari-harinya sering mengaku sebagai insan pers.
Dan., itu banyak merugikan pers itu sendiri akibat adanya perbuatan pemerasan, tindakan ancaman, tindakan kekerasan dan tindakan penipuan yang menjadikan seseorang atau banyak orang dirugikan. Baik secara fisik mapun psikis, baik secara material maupun inmaterial.
Akhir-akhir ini dengan banyaknya muncul media massa cetak di hampir setiap daerah di Indonesia, pers dijadikan alat untuk memperkaya diri sendiri. Soal terbit atau tidak terbitnya media yang sudah diterbitkan, itu urusan belakang. Yang penting ada stempel redaksi lengkap dengan biro-bironya. Dengan stempel itu para insan persnya yang kebanyakan tidak pernah mengeyam proses sebagai seorang jurnalis melakuklan aksi dengan banyak tindakan yang justru melanggar hukum.
Misalnya secara rutin mengajukan proposal ke pemerintah daerah dan instansi lainnya. Kemudian mencvetak kalender dan dijual seperti menjual barang kebutuhan lainnya dengan harga yang sangat tinggi. Persoalan pers saat ini adalah persoalan jati diri dan sumber daya manusia.
Untuk itu pers dengan insan pers dan perangkatlainnya harus membenahi diri, agar mampu menghargai dunianya dengan sumberdaya manusia yang lebih baik, terdidik, trampil dan tidak menjadi corong penguasa atau sekelompok orang atau seseorang pejabat. Pers harus mengoreksi dirinya sendiri sebelum melakukan kontrol sosial yang lebih makro yang memiliki peluang konflik yang lebih besar.nep.

Napi Menjadi Caleg

Oleh Naim Emel Prahana

INI barangkali puncak kehebatan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Prod DR Mahfud MD yang mengeluarkan amar putusan terhadap UU No 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD dan UU No 12/2008 tentang pemerintah daerah terhadap UUD 1945.
Kenapa dikatakan sebagai puncak kehebatan MK? Karena, ketika narapidana (napi) diizinkan untuk menjadi calon legislatif (caleg), bagaimana hubungannya dengan kebijakan Polri yang mengeluarkan Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK) di berbagai keperluan warga negara?
SKCK dapat membatalkan seseorang yang ingin menjadi caleg, sementara MK mengizinkan napi menjadi caleg. Asumsinya, bagaimana SKCK itu? Bagaimana seorang napi yang masih di dalam penjara bisa menjadi caleg. Betapa runyamnya hukum di Indonesia ini, sehingga ada kesan kepentingan kelompok lebih dihormati kepentingan kepentingan rakyat luas (umum).
Sangat jelas amar keputusan MK tentang napi boleh menjadi caleg karena permohonan uji materi yang disampaikan oleh Rbertus Aji Sa’im—caleg dari PDIP daerah Pagar Alam, Sumatera Selatan. Langkahnya menjadi caleg terganjal oleh pasal 12 huruf g dan pasal 50 ayat (1) huruf g UU Pemilu anggota DPR, DPRD dan DPD.
Dalam diktumnya MK menegaskan, UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat sebagai berikut : tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih, berlaku dengan jangka waktu hanya lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, mantan narapidana harus secara jujur membuka jati dirinya kepada publik, dan bukanlah sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan berulang-ulang.
Saat ini rakyat Indonesia menghadapi pilihan yang sulit, penegakan hukum yang rancu, dan aturan hukum yang ada pengecualiaannya. Oleh karena itu, apa mungkin reformasi bidang hukum di Indosia akan berjakan sebagai digembar-gemborkan oleh pemerintah dan politisi di Senayan?
Akibat aturan hukum yang tidak pasti, tumpang tindih, lemah dan disertai dengan aparat hukum yang kalah pamor dengan uang dan jabatan membuat rakyat semakin apatius terhadap penegakan hukum di Indonesia. Sebab, rasa keadilan yang dirasakan tidak ada sama sekali.
Kelemahan penegakan dan aparat penegak hukum itu yang dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan kelompok dan dirinya sendiri. Seperti saat sekarang, alangkah banyaknya caleg yang membantu menguruskan kasus-kasus masyarakat maupun kepentingan masyarakat dengan harapan ia akan mendulang suara pada hari pencontrengan tanggal 9 April 2009—beberapa lagi.
Kalau itu yang menjadi faktor sulitnya hukum ditegakkan di Indonesia ini, alangkah baiknya UU yang banyak tentang hukum, apalagi PP, Perpers, Kepres, Surat Edaran yang kedudukannya di bawah UU harus dimusnahkan. Mengaculah kepada KUHP dan KUHAP serta UU Perkawinan No 1/1974 saja.
Seharusnya makin banyak produk UU, semakin baik pelaksanaan penegakan hukumnya oleh penegak hukum. Namun, yang terjadi hanya sebaliknya. Korupsi saja saat ini dapat diretorikakan oleh Pemda menjadi bukan korupsi, tersangka narkoba dapat diretorikakan menjadi “perlu direhabilitasi”, sehingga tidak terjerak hukum.hahahaaaaaaa.

Memainkan UU Narkotika

Oleh Naim Emel Prahana

SALAH seorang Direktur Narkoba Polda Lampung beberapa tahun lalu pernah bilang, “kasus narkoba terlihat meningkat karena polisi terus melakukan operasi penangkapan!”. Rasanya ungkapan yang disampaikan kepada calon TOT narkoba se Lampung itu hanya sebuah retorika untuk menjawab persoalan narkoba sebenarnya.
Narkoba meningkat di Indonesia bukan hanya karena selalu dilakukan operasi narkoba oleh aparat penegak. Tetapi kenyataannya memang penyalahgunaan narkoba sudah sedemikian meningkat di kalangan masyarakat Indonesia. Bukan hanya di kalangan masyarakat elite, tetapi sudah merangsek ke tengah-tengah masyarakat yang tidak baik ekonominya.
Persoalannya, apakah UU narkotika dan psikotropika yang dinilai cukup bagus itu sudah diterapkan sebenarnya oleh aparat penegak hukum atau tidak. Persoalannya, karena selama ini ada kesan dari kenyataan penanganan kasus-kasus narkoba. Baik di tingkat penyidik (polisi), penuntut (kejaksaan) maupun penbgambil keputusan (pengadilan), masih belum sinkron dengan apa yang diamanatkan oleh kedua UU tersebut.
Aparat penegak hukum kelihatannya masih silau (gugup) menegakkan aturan sebenarnya, jika berhadapan dengan tersangka kasus narkoba dari kalangan anak pejabat, pengusaha, petinggi Polri atau TNI. Namun, sangat tegas terhadap rakyat biasa yang tersangkut kasus narkoba.
Analisa kita semua itu terjadi karena uang dan jabatan. Rakyat biasa tidak memiliki uang dan jabatan. Kita dapat melihat kasus Roy Marten, Polo, Ahmad Albar dan sebagainya. Termasuk kasus yang di Lampung. Apakah mungkin kalau kita beberkan satu per satu kasus yang agak ‘aneh’ dapat mengembaliklan supremasi hukum di bidang pemberantasan narkoba?
Karena terjadi diskriminasi akibat uang dan jaban/kekuasaan, maka terjadi tuntutan yang sama dari kalangan rakyat biasa yang tertangkap narkoba, bukan karena kebiasaan. Tetapi, karena ingin memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, menjadi kurir, menjadi sales narkoba atau menjadi alat untuk mendapatkan uang lainnya. Misalnya pemandu lagu di karaoke. Ia terpaksa menenggak miras dan menelan inek karena permintaan yang menyewanya untuk bernyanyi.
Kita butuh revisi perundangan yang mengatur soal identifikasi produsen dan pengguna menjadi salah satu agenda utama pembaruan UU narkotika dan psikotropika tersebut. Sebab, kita tidak ingin terus mempersoalkan perlakuan hukum yang seakan tebang-pilih terhadap bandar-bandar dan produsen narkoba besar. Ia juga mengkritisi produk hukum Indonesia yang seolah dinakodai oleh kepentingan tertentu.
Memang hukum di Indonesia ini aneh, para kurir narkoba ditembak bahkan sampai mati dengan banyak alasan yang dibuat aparat kepolisian. Sementara, yang memproduksi narkoba tidak ditembak mati. Ada apa di balik itu semua? Kepentingan siapa yang dibela, apakah hanya karena kepentingan sumber pendapatan para petinggi penegak hukum atau kekuasaan?
Meningkatnya kasus nakoba akibat kesulitan ekonomi di Indonesia yang terus bertambah buruk dengan kinerja pemerintah yang hanya mementingkan golongannya sendiri. Sedangkan rakyat dijadikan proyek percontohan dengan berbagai dalih program pembangunan sosial ekonomi yang nyatanya tidak pernah merubah sosial ekonomi rakyat.

Nasib Rakyat Miskin

RAKYAT miskin di Indonesia saat ini benar-benar menjadi rakyat jelata tanpa perlindungan dan jaminan hak-hak yang sama seperti warga yang status sosialnya menengah ke atas. Dan, itu terjadi di semua sektor kehidupan warganegara. Sampai-sampai hak-hak yang harusnya mereka peroleh dan dapatkan, dirampok oleh warganegara kelas menengah dan the have akibat kangkalingkong dengan petugas pencatat jumlah penduduk.
Apalagi di bidang hukum, bantuan hukum bagi rakyat miskin yang tidak berdaya di semua kehidupannya sama sekali tidak ada. Selain itu, sulit mencari pengacara yang mau memberikan bantuan secara cuma-cuma kepada rakyat miskin. Boleh dibilang tidak ada pengacara yang mau memberiukan bantuan hukum kepada rakyat miskin dengan cuima-cuma.
Masalah itu disinggung pihak YLBHI, yang meminta segera dibuat undang-undang mengenai bantuan hukum. Yang anggarannya disusun dan berada dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) yang mengalokasikan dana untuk bantuan hukum secara cuma-cuma bagi rakyat miskin.
Bukian hanya akhirnya ini saja, banyak kasus hukum yang merugikan masyarakat miskin. Kondisi itu diperparah dengan ketidaktahuan terhadap berbagai informasi hukum, sehingga sering mereka dibodohi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kita ambil contoh saja tahun 2008 dari 80 kasus yang ditangani YLBHI dan disidangkan, tidak sampai 10 persen yang bisa dimenangkan.
Sehingga timbul pameo di kalangan YLBHI, bahwa bagi mereka, menang itu istimewa. Kalau kalah, ya, biasa. Pemasalahan utama, misalnya dalam kasus penggusuran, mereka (rakyat miskin) tidak mempunyai bukti berupa sertifikat tanah atas lahan yang mereka tempati.
Bukan di bidang hukum saja, di bidang lain seperti pendidikan, sosial, keagamaan, adat istiadat, hiburan serta bidang lainnya. Rakyat miskin tidak pernah dipandang oleh masyarakat luas, apalagi oleh pemerintah. Kalaupun ada, misalnya dibidang kesehatan, rakyat miskin terombang-ambing oleh prosedur yang ’direkayasa’ untuk menerima pasien warga miskin dalam pengurusan gakin, raskin dan sebagainya.
Akibatnya, terjadilah kasus-kasus busung lapar, penyakit yang tidak pernah bisa diobatai, karena tidak ada uang. Lalu, banyak anggota keluarga miskin akhirnya terjebak dalam tindakan kriminal, dan jika itu terjadi maka mereka akan menjadi korban penegakan hukum dalam sistem penegakan hukum di negara hukum Indonesia ini.
Permasalahan seperti dalam kasus pertanahan, perburuhan, dan penangkapan yang semena-mena, terjadi di mana-mana, sepertinya tidak ada kontrol sosial terhadap pelaksanaan tugas dari aparat penegak hukum. Hak-hak masyarakat miskin yang dijamin seperti dalam pasal 16 dan 26 Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang menyatakan, siapa saja memiliki persamaan kedudukan di depan hukum. Justru yang menghalanginya adalah aparat penegak hukum itu sendiri dengan pengertian dan pengetahuan hukum yang tidak pas atau sengaja diplesetkan, karena kepentingan uang.
Kita semakin prihatin di negara yang berdasarkan hukum itu penegakan hukumnya malah menyandarkan kepada ada tidaknya uang oleh petugas, mulai dari petugas kepolisian, kejaksaan sampai ke pengadilan.nep.

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Daftar Pemilih Tetap

Oleh Naim Emel Prahana

ENTAH apa lagi yang harus dibenahi, di mana-mana terjadi manipulasi angka dalam jumlah yang cukup signifikan, semacam daftar pemilih tetap (DPT). Itu, mengisyaratkan bahwa pemilu dan pilkada yang selama ini disleneggarakan di Indonesia penuh dengan kecurangan.
Tidak bisa dibayangkan, kabupaten Ngawi, Jawa Timur lebih dari separuh jumlah mata pilihnya adalah mata pilih ganda, demikian pula Trenggalek. Dan, mungkin di Lampung pun demikian. Metoda atau pola bagaimana agar pemilu di Indonesia ini benar-benar bersih, jujur, adil dan bebas dan rahasia.
Tapi, jika terjadi pemalsuan data, pihak manakah yang paling bertanggungjawab dalam hal itu, sehingga persoalan-persoalan di Indonesia bisa dituntaskan. Tidak ada lagi dendam mendendam antar genarasi. Untuk sementara, kita harus mengakui kalau pemerintahlah yang harus bertanggungjkawab atas manipulasi DPT tersebut. Tentu saja hal itu terkait keinginan pihak penguasa ingin berkuasa kembali.
Akibat tidak pernah selesainya persoalan pemilu dan pilkada di Indonesia, maka krisis multidimensional tidak akan pernah tuntas, walaupun SBY sebagai ketua dewan pembina Partai Demokrat berbusa-busa mengeluarkan pernyataan dalam kampanye partainya sebagaimana kita saksikan di layar televisi.
Kalau DPT sangat diragukan dan itu sangat berpeluang telah terjadi pada pemilu-pemilu sebelum ini. Jumlah PNS saja di Indonesia tidak pernah terdata dengan baik dan selalu datanya berbeda dari sayu instansi terkait dengan instansi terkait lainnya. Jika hal itu tidak pernah akan dapat diselesaikan dengan kualitas penyelenggaraan pemerintahan. Maka sudah pasti pemborosan anggaran pada APBN setiap tahunnya akan merusak sistem pembangunan di negeri ini.
Bermula perbedaan mencolok antara data BKKBN dengan Kantor Statistik, maka semua menjadi persoalan. Belum lagi persoalan lain yang sudah mengakar di bumi Indoensia seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, penyalahgunaan fasilitas negara dan penyelewengan lainnya yang kita temui dan hadapi setiap hari.
Sebagai negara besar dilihat dari luas wilayahnya, besar jumlah penduduknya. Tetapi Indonesia kerdil dalam berpikir dan bekerja. Mental dan sikap nasionalisme dalam kehidupan masyarakat sehari-hari msangat tidak memadai dengan keagunangan nama bangsa Indonesia. Tapi, masihkan ada harapan yang oprtimis digantungkan dari proses demokrasi yang sedang berjalan saat ini?
Tentu masih, dengan catatan agar penegakan hukum harus benar-benar dilakukan dan pelaksanaan tugas aparat keamanan dan ketertiban, jangan bermain retorika bisnis dalam menangani kasus-kasus yang terjadi, terutama menyangkut PNS dan pejabat yang jika terjadi kasus, urusannya harus ada izin presiden.
Untuk itu, soal DPT pemerintah harus bertanggungjawab. Bukan suatu hal yang sulit untuk membongkar kasus tersebut, siapa yang membuat DTP yang salah itu. Apakah melacak si pembuat data kok sulit amat sih! Bagaimana melacak kegiatan-kegiatan spionase di dalam negeri, kan lebih rumit dari melacak pembuat DPT palsu itu.
Sekali lagi pemerintah, kapan dan siapa saja yang pemerintah di Indonesia memang tidak berkeinginan untuk memajukan bangsa ini. Mereka hanya ingin memajukan bangsa mereka sendiri, yaitu keluarga dan kaum kerabat pejabat saja. Dan, itulah biangkeladi rusaknya bangsa ini dengan makin merosotnya kualitas manusia yang ada. Nep

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPU harus segera memutuskan rekomendasi itu.

Ketua KPU Harus Diganti

Oleh Naim Emel Prahana

ORANG bijak pernah bilang sama Edwin Hanibal dan Pattimura, agar cerdik, cerdas dan pandai menghadapi situasi menjelang pemilu 2009, terutama pembentukan tim seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan penetapan anggota KPU kabupaten/kota se Lampung. Sayangnya, keduanya seperti hero sendiri di tengah kekuasaan Allah SWT.
Keterlibatan keduanya dalam penseleksian calon anggota timsel dan anggota KPU sangat erat dan kuat sekali pertaliannya, bahkan unsur KKN sangat melekat. Tapi, kedua sosok muda itu makin menampakkan keblingerannya atas status dan jabatan yang dipegang. Saran dan kritik maupun masukan tidak digubris. Hanya bermanis-manis dimulut, tanpa realisasi. Tidak ada nilai persahabatan, saling menghormati dan saling terbuka di antara keduanya.
Kinbi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merekomendasikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Lampung, Edwin Hanibal diberhentikan terkait rekrutmen KPU tujuh kabupaten/kota tahun lalu. Bawaslu juga, mengusulkan anggota KPU Pattimura dicopot dalam kasus yang sama. Sementara itu, dua anggota KPU Lampung lain, Nanang Trenggono dan Sholihin, diusulkan agar diperiksa Dewan Kehormatan (DK) KPU karena dianggap turut dalam rapat pleno penetapan anggota KPU kabupaten/kota.
Semua tahu sepak terjang ketua KPU dan anggota KPU Lampung, Edwin Hanibal dan Pattimura. Terutama dalam kasus pilkada di Lampung Utara, kemudian bagaimana keduanya tidak mengindahkan Peraturan KPU No 13/2007 tentang ekrutmen anggota timsel. Bahkan melecehkan lembaga legislatif yang dipercayai untuk memilih dan menetapkan 2 calon timsel dari preofesional dan akademik.
Bukan hanya kode etik yang dilanggar oleh Edwin Hanibal dan Pattimura sebagaimana diungkapkan oleh Ketua Panwaslu Provinsi Lampung, tetapi telah memperkosa Hak Azasi Manusia dan menghilangkan kesempatan setiap warganegara yang inginb mendapatkan pekerjaan.
Setting Edwin Hanibal dan Pattimura untuk mengoalkan anggota KPU pro mereka dan dapat diatur, sudah lama mereka kemas dan beraksi sejak diumumkannya wacana penerimaan anggota timsel kabupaten/kota se Lampung. Sayang sekali, walaupun KPU Pusat mengetahui sepak terjang ketua dan anggota KPU provinsi Lampung, Edwin anibal dan Pattimura sudah jauh melampaui kewenangannya. Toh, sampai sekarang tidak ada tindak lanju atas pengaduan yang diterima KPU Pusat sepanjang 2008.
Dan, anggota KPU kabupaten/kota yang ditetapkan oleh KPU Lampung memang banyak yang terlibat parpol, dan penetapan anggota timsel tanpa melalui mekanisme dan prosedure perundang-undangan seperti yang dilakukan di Metro, sudah membuktikan keduanya memang harus dicopot dari jabatannya.
Termasuk nggota yang lain dan termasuk Ny Handi. Di sisi lain KPU Lampung memang tidak netral sebagai wasit, banyak kasus yang terjadi seperti penggelembungan surat pendukung calon gubernur beberapa waktu lalu. Sebab, kalau berdasarkan bukti otentik yang sah, calon gubernur dari jalur independen tida bisa mengikuti proses pilgub. Karena, banyak dukungan via fotocopy KTP adalah aspal.
Tapi, sudahlah. Kita relakan saja penggantian ketua dan anggota KPU Lampung, agar pemilu 2009 berjalan sebagaimana mestinya, dan jauh dari trik politik yang tidak netral. Termasuk DPT yang saat ini masih dipersoalkan di seluruh Indonesia. Bawaslu sudah bekerja atas nama rakyat Lampung dan DK KPUharus segera memutuskan rekomendasi itu.

Bandarlampung—Jakarta

Oleh Naim Emel Prahana
MAU cepat ke Jakarta dan bergengsi? Naiklah pesawat terbang dengan waktu tempuh sekitar 37 menit. Artinya lebih lama 23 menit kalau naik bis AC jurusan Rajabasa—Metro. Apalagi mobil pengantar dan penjemput di Bandara Branti, keren-keren dan elite-elite. Tentu orang yang naik pesawat terbang ke Jakarta adalah orang-orang berduit alias warga yang punya harta banyak?
Itulah asumsinya. Harga tiket pesawat terbang dengan jarak tempuh sekitar 37 menit itu rata-rata (minimum) Rp Rp 320.000,- dan maksimumnya tidak pernah bisa dipukul rata. Sebab, “semua terserah gua!” Pagi hari bisa Rp 290.000,- mines bording pas, siangnya bisa tiket dijual Rp 475.000,-mines bording pas.
Dapat dibayangkan pula kalkulasi cost yang ditimbulkan sekali jalan ke Jakarta via udara. Ongkos pesawat + bording pas + taksi di Jakarta ke alamat tujuan + lain-lainnya. Jika diwujudkan dalam angka kalau kita mengambil pukul rata adalah Rp 320.000,- + Rp 30.000,-+ Rp 80.000,- + lain-lain Rp 40.000,-= Rp 470.000,-Bagaimana kalau tiket pesawat Branti—Soekarno Hatta dijual dengan harga Rp 475.000,- belum ditambah bording pas, taksi dan lain-lain?
Kesan kita, “waduh gila amat tu tiket pesawat!” Dan coba membandingkannya dengan tarif Jakarta—Surabaya yang jarak tempuhnya sekitar 90 menit dengan harga rata-rata (minimun) Rp 250.000,- mines bording pas dan taksi dan lain-lain. Atau Jakarta—Bengkulu yang jarak tempuhnya 2 X lipat dari jarak tempuh Branti—Soekarno-Hatta. Tiket pesawat Bengkulu—Jakarta saja dipukul rata Rp 290.000,- sekali jalan (min bording pas, taksi dan lainnya).
Atau kita bandingkan harga tiket Jakarta—Medan? Waduh Lampung—Jakarta memecahkan rekor tiket pesawat termahal di negeri ini setelah di daerah pedalaman Irian Jaya (Papua). Sementara kalau kita menyewa sebuah helikopter seharinya hanya Rp 100.000.000,-
Dan, jika kita naik bis ke Jakarta dari Bandarlampung secara estafet uang Rp 100.000,- masih sisa sekitar Rp 20.000,-dengan catatan waktu sekitar 6—8 jam perjalanan. Tapi, walaupun mahal harga tiket yang juga tidak pernah ada standarnya itu, koki masih banyak saja yang ke Jakarta via udara. Kayakah mereka, atau oranmg-orang elitekah mereka?
Seperti kalau naik pesawat ke Surabaya dari Jakarta, alangkah banyaknya para pembantu rumah tangga yang naik pesawat. Artinya, harga tiketnya relatif murah. Kalau pembantu rumah tangga asal Lampung kerja di Jakarta yang mudik naik pesawat, wah bisa berabe dan gaji bulanannya tidak bakal cukup. Sebab, lain dengan naik pesawat Jakarta—Surabaya.
Sebenarnya ingin dipertanyakan, siapakah yang menetapkan tarif pesawat terbang di Indonesia ini. Sejauhmana kewenangan pemerintah atas tarif pesawat terbang tersebut. Apakah hanya sebagai penonton atau bahkan jadi pemain juga. Belum ada yang menanyakan hal itu. Yang ada penumpang menanyakan pelayanan awak pesawat atau hilangnya barang bawaan melalui kargo pesawat.
Dalam kontek turunnya harga BBM dan situasi buruk ekonomi dunia Internasional sekarang ini, apakah tidak baik kalau soal harga tiket pesawat diatur sedemikian rupa, dilihat jarak tempuhnya dan biaya parkir di setiap bandara yang disinggahi sebuah pesawat terbang.nep

Non Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
TIDAK ada yang perlu ditakuti bagi peserta pemilu 2009 sebagai anggota legislatif dan kampanye partai politik. Termasuk penggunaan fasiulitas negara oleh caleg yang kebetulan isteri pejabat yang memegang banyak jabatan nonstruktural di pemerintahan. Seperti ketua Dekranasda, ketua TP PKK, ketua Darma Wanita dan sebagainya.
Ancaman sanksi bagi mereka yang memegang jabatan tertsebut yang kebetulan nyaleg oleh pimpinannya, jangan takut. Cuma gertak sambal yang penting ada surat ke luar si ketua di pusat. Walaupun di sini kita mendialogka fenomena yang sangat jelas yang dikaburkan itu.
Misalnya ketua dan pengurus PKK hingga ke kecamatan tidak dibenarkan (dilarang) untuk menjadi caleg. Kalau dia tetap sebagai ketua atau pengurus PKK di suatu daerah. Baiklah sekarang, karena sosoknya tetap ngotot ingin jadi caleg. Maka ia tinggalkan jabatannya sebagai ketua Dekranasda atau TP PKK atau Darma Wanita.
Persoalannya, bagaimana membedakan apakah ia menggunakan fasilitas negara atau tidak? Ketika dia mundur dari (misal) ketua PKK, tapi ia masih memegang jabatan sebagai ketua Dekranasda yang juga punya kendaraan dinas. Jika ia menggunakan mobil Dekranasda tidak menggunakan mobil plat merah PKK, apakah itu termasuk dilarang yang masuk dalam kategori fasilitas negara?
Atau begini, seseorang caleg yang menggunakan fasilitas negara itu kan bukan hanya bentuk mobil, motor, rumah dinas atau atribut dinas. Tetapi fasilitas lainnya yang digolongkan fasilitas negara tidak boleh dimanfaakan si caleg isteri pejabat tadi. Misalnya kampanye di Posyandu dengan mengumpulkan warga atas nama gerakan kasih sayang ibu. Lalu kepada mereka yang datang setelah diminta tolong dukungan suaranya, diberikan uang di dalam amplop masing-masing (katakanlah demikian) Rp 10.000,-
Apakah itu tergolong fasilitas negara yang dimanfaatkan oleh si isterio pejabat tadi? Atau ia menghadap ke Panwaslu mengakui tidak menggunakan fasilitas negara, akan tetapi ia membawa mbil dinas berplat merah? Kita yakin dan pasti aturan soal fasilitas negara itu sudah jelas, namun memang dibuat tidak jelas dengan banyak retorika, alasan dan alibi.
Apalagi yang namanya isteri pejabat yang tengah berkuasa, ia mampu menundukkan kekuasaan suaminya ada pada dirinya juga. Sehingga kalau ia memerintahkan pegawai dilingkungan kerja suaminya (Pemda), si pegawai atau pejabat aktif pasti takut. Karena yang memerintah itu adalah isteri kepala daerah (isteri gubernur/wakil, isteri bupati/wakil bupati atau isteri walikota atau isteri wakil walikota).
Sekarang, apakah modal anggota Panwaslu itu sudah cukup mengarah ke sana, sehingga praktek kotor yang dilarang oleh UU Pemilu dapat dikenai sanksi yang tegas, pasti tanpa kompromi—asal memiliki data yang cukup. Namun, data yang sudah cukup jangan dibilang masih kurang lengkap, karena ada kepentingan-kepentingan di balik itu semua.
Di sisi lain, kekhawatiran kita akan penyalahgunaan fasilitas negara bukan hanya tersebut di atas saja. akan tetapi, bisa juga berbentuk keuangan organisasi semacam PKK, Dekranasda dan Darma Wanita dipergunakan untuk kepentingan si caleg yang isteri pejabat tadi, termasuk dana-dana bantuan yang diberikan pemerintah.
Oleh karenanya, pihak BPK atau KPK atau polisi harus turun tangan melakukan penyelidikan terhadap keuangan PKK, Darma Wanita dan Dekranasda yang ketuanya menjadi caleg pada pemilu 2009 ini. Lebih baik mengantisipasi lebih awal ketimbang mengobati organ yang sudah sakit.nep.

“Selamat Berkampanye”

Oleh Naim Emel Prahana
PAGI hari ini adalah hari pertama masa kampanye secara resmi bagi calon legislatif atau lebih ngetrend disebut ‘caleg’. Hari pertama masa kampanye versi undang-undang pemilu itu, tentunya tidak disia-siakan para caleg DPR-RI, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Artinya, secara resmi pula Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mulai bekerja, mengawasi, mengintip, memberi sanksi dan memasukkan para penggar ke sel yang berjeruji besi. Demikian pula KPU dan pemerintah. begitu idealnya proses pemilu ‘demokrasi’ di Indonesia. Seperti tidak ada celah kelemahan apapun dari aturan yang sudah dibuat.
Mungkin itulah hebatnya Indonesia yang menurut penelitian di luar negeri adalah bangsa yang sangat pintar membuat proposal dan undang-undang. Namun, pelaksanaanya tidak sehebat dan sepintar mereka menuliskan rangkaian kata dan kalimat dalam kumpulan perundang-undangan.
Belum diketahui persis bentuk acara kampoanye yang dikemas oleh para caleg. Apakah sama dengan para calon gubernur, bupati dan walikota dalam momentum pilkada, atau bagaimana rupanya kampanye resmi itu. Bukan apa-apa, kita ingin mengetahui, apa yang dimaksudkan oleh pemerintah dengan masa kampanye pemilu itu. Termasuk kampanye yang akan dilakukan oleh parpol mulai hari ini.
Dan, apakah selama ini pemasangan stiker, baleho, spanduk, banner, selebaran, sosialisasi kepada masyarakat, rupa-rupa bantuan kepada kelompok masyarakat, iklan di media massa ‘bukan’ bentuk kampanye? Apapun alasan para caleg, rasanya itulah kampanye yang sebenarnya, dan masa kampanye yang ditetapkan pemerintah hanyalah proyek bagi Panwaslu dan KPU untuk melakukan lobi-lobi dan negosiasi politik yang ujung-ujungnya adalah uang.
Alasanya, adalah pelanggaran kampanye. Bisa jadi pasal-pasal itu akan meramaikan media massa. Tetapi, tindak lanjutnya masih diragukan. Bukankah kita sudah dua kali melakukan pemilu langsung! Rasanya cerminan-cerminan pemilu 1999 dan 2004 tidak jauh berbeda dengan pemilu 2009 ini. Yang pasti, caleg nomor urut satu tidak lagi bisa melenggang begitu saja duduk di kursi legislatif sebagaimana pemilu 1999 dan 2004. sebab, sistem yang dipakai untuk mendapatkan status anggota DPR dan DPRD adalah digunakannya sistem suara terbanyak.
Jadi, perjuangan dan pengorbanan benar-benar menentukan berapa suara yang diperoleh dan didukung oleh populeritas si caleg itu sendiri. Karena rakyat dominan melihat figur caleg, kewaspadaan caleg harus benar-benar dilakukan. Kalau tidak, mungkin uang ratusan juta yang sudah dikeluarkan akan menimbulkan masalah. Jika tidak duduk di kursi anggota legislatif. Sebab, uang bukan jaminan bahwa seseorang yang banyak mengeluarkan uang secara otomatis akan mendapat suara terbanyak, demikian pula penyebaran informasi pencalegan dari berbagai media, juga bukan jaminan. Namun, kalau tidak ada publikasi apapun yang kemungkinan tidak akan dikenal oleh rakyat saat melakukan pencontrengan (pencoblosan) tanggal 9 April 2009 nanti.
Jadi, bagaimana sebaiknya si caleg dalam masa kampanye resmi ini? Yah, harus ulet, gaul, tidak menebar janji dan tidak mengucapklan kata-kata tidak pantas kepada masyarakat. Karena, kata-kata itu akan menghilangkan suara yang diharapan. “Selamat berkampanye” nep.

Demokrasi "Homo”

Oleh Naim Emel Prahana
PESTA uang adalah hajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilu 2009. Pemilu yang akan memilih, menempatkan dan melegalkan seseorang menjadi wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat; baik untuk DPR-RI, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ada seorang penyair bilang, “merubah nasib menjadi caleg!”
Perubahan yang menelan korban, dengan perjuangan keras dan pengorbanan itu memang berlangsung cuma lima tahun. Tapi, selama 5 tahun itu seorang anggot legislatif memainkan peranan pribadi dan keluarganya. Bahkan, peran yang diperankan terkadang sudah tidak ada lagi kaitannya dengan amanah dan status sebagai wakil rakyat.
Bagaimana pun saya sebagai anggota legislatif adalah sudah ‘kedaulatan’ pribadi. Bukankah waktu menjadi caleg dalam proses pemilu saya sudah memberikan uang kepada rakyat yang berhak memilih. Bahkan, saya sudah membantu beberapa masjid, dan bantuan lain berupa baju kaos, buku yasin, kalender, stiker, baleho dan bantuan penyelenggaraan berbagai acara?
“Wajar kalau sudah saatnya saya mendapat imbalan yang pantas atasd pengorbanan dan perjuangan saya yang sudah mengeluarkan uang ratusan juta untuk jadi secara legal sebagai wakil rakyat. Apalagi sekarang menggunakan sistem suara terbanyak.”
Dari rangkaian kata-kata itu mengandung maksud dan tujuan yang tersirat dan tersurat, bahwa adalah wajar kalau sudah jadi anggota legislatif mendapat jatah proyek secara rutin, mendapat fee berbagai proyek besar, mendapat uang jalan ketika studi banding dan sebagainya.
Itulah imbalan jerih payah dan harga yang sudah dibeli sebelum pemilu berlangsung. Sebab, saat sosialisasi caleg untuk pemilu, rakyat sudah banyak menyodorkan proposal dan minta bantuan berupa uang dan barang. Kalau tidak diberikan, maka mereka hanya mendukung sebatas mulut. Diberikan uang pun tidak jaminan mereka yang terima uang akan memberikan suaranya kepada yang memberi uang.
“Saya diperas!”
Maka, wajarlah kalau selama saya duduk di kursi legislatif, saya juga dengan cara saya yang cerdas, juga akan melakukan pemerasan, agar uang yang sudah dikeluarkan dapat kembali sebagaimana mestinya. Seperti halnya calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil dan walikota/wakil walikota. Dalam siaran berita radio kemarin disebutkan, demokrasi di Indonesia tidak jelas. Karena banyak pejabat pemerintah yang menjadi ketua parpol. Akibatnya, kata berita tadi (14/3), tugas-tugas kepemrintahan terbengkalai karena sang menteri (pejabat) lebih mementingkan parpol, terutama saat masa kampanye.
“Adalah sulit dibedakan antara pejabat pemerintah dengan ketua parpol dan akibatnya, banyak fasilitas negara yang dipergunakan tidak dalam tugas-tugas kenegaraan atau penyelenggaraan pemerintahan yang dilakukan pejabat yang juga ketua parpol.
Kemarin, hari pertama masa kampanye secara terbuka sesuai dengan peraturan pemilu. Padahal, kampanye tidak terbuka sudah lama dilakukan, jauh sebelum masa kampanye terbuka diresmikan. Dari berbagai rangakain kejadian, sudah seharusnya UU Pemilu harus dirubah total, untuk menyikapi penyalahgunaan kewenangan pejabat dan tidak asal menjadi caleg. Terutama mereka yang basisnya adalah “mak jelas” sebelumnya.
Kita harap memang, kecerdasan rakyat semakin membaik dari tidur panjangnya akibat kebiasaan dijajah oleh materi dan bangsa asing, jika sudah sadar, maka dimungkinkan anggota legislatif hasiul pemilui 2009 akan lebih berkualitas.nep

Sinetron Bertajuk ‘Sinetron’

Oleh Naim Emel Prahana
BARANGKALI ingatan kita masih segar ketika serial film sinetron di televisi Indonesia menayangkan pertama kalinya trend film-film Amerika Latin yang diawali sinetron Maria Seleste beberapa tahun silam. Banyak suami di Lampung mencekik leher isterinya karena diajak sholat berjamaah, malah si isteri ngotot menonton film sinetron yang serinya banyak sekali itu.
Film sinetron Amerika Latin itu akhirnya menghilang dan oleh dinasti Punjabi dimade in-lah film-film dengan ide cerita dan adegan yang sama. Pada akhirnya hingga kemarin malam dan seterusnya (mungkin) film-film Punjabi itu akan terus menghiasi layar kaya televisi di Indonesia, terutama di Indosiar.
Punjabi sedikit lebih kreatif dengan memasukkan unsur magis, Indianisme dan agama sekuler diraman film-film sinetronnya. Alhasil Punjabi mampu menyedot jutaan pemirsa untuk betah setiap malamnya di depan pesawat televisi swasta kita. Film-film sinetron di televisi kita secara umum dan sisi sineasnya memang jauh dari kualitas. Hanya mengandalkan pangsa pasar dan trend kehidupan masyarakat (life style).
Tidak tahu persis kenapa film-film demikian lolos sensor. Padahal, dua tahun silam budayawan Naim Emel Prahana ketika bertemu dengan Yenny Rahman di Griya Kebun 38 milik Henry Yosodiningrat pernah serius bicara dengan ketua Parfi itu. Waktu itu, Naim minta kepada Parfi untuk berusaha mengevaluasi dan memberikan masukan berupa kritik, saran dan rekomendasi kepada Lembaga Sensor Film (LSF), agar mengkritisi film-film sinetron di televisi Indonesia. Sebab, kadar pendidikannya sangat rendah.
Yenny Rahman berjanji dan akan melakukan apa yang disarankan. Tapi, hingga saat ini film-film sinetron bergaya made in Punjabi masih tetap mendominasi layar kaya di rumah-rumah penduduk di negeri ini. Jika itu berlangsung lebih lama lagi, film-film sinetron itu sudah pasti menjadi salah satu faktor terbesar rusaknya keutuhan keluarga atau rumah tangga orang Indonesia.
Termasuk sinetron (film) legenda yang diproduksi dan ditayangkan dengan mengedepankan nilai magis. Sulit dibayangkan bagaimana dampak negatif yang ditimbulkan film-film seperti itu. Sebab, siapa yang akan memfilter penonton televisi di rumah?
Sangat disayangkan, kenapa film-film demikian justru yang menjadi juru penjelas dan penerangnya adalah ustad-ustad muda yang seharusnya lebih jeli, kritis dan agamis. Bukan malah memberikan warna bisnis kepada film-film tersebut. Sebagaimana film sinetron Muslimah dan Hareem.
Walaupun film (dua yang terakhir kita contohkan) adalah fiktif belaka. Tetapi, perlu diingatkan bahwa nilai fiktif dalam sebuah cerita film mempunyai pertalian dengan kenyataan di masyarakat luas. Tidak asal fiktif dan tidak asal difiktifkan. Bangsa ini masih berharap kepada stasiun-stasiun televisi, khususnya swasta di Indonesia, agar menayangkan film-film atau sinetron yang kadar pendidikan masyarakatnya lebih banyak dibandiongkan kadar bisnis ‘selera’.
Jangan menjadikan film sinetron hanya sebagai ‘sinetron’ yang artinya, yang penting ada film yang penting laris dan banyak pemirsanya yang kepincuit setiap malamnya menonton film bermoral rendahan tersebut. Masih banyak cerita di tengah masyarakat yang dapat dijadikan ide cerita film untuk televisi. Sebagai contoh acara Teropong, Jejak, Situs-Situs di TVRI dan sebagainya.nep.

Presiden Atau Ketua Partai

Oleh Naim Emel Prahana
KITA acung jempol buat Metro Televisi yang membuat wawancara ekslusif dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK). Keduanya adalah satu paket sebagai presiden dan wakil presiden. Ketika diwancarai, SBY dalam jawaban yang bersuara pelan, pasti dan dalam. Lebih banyak bertindak sebagai presiden.
Sementara, Rabu (4/3), Jusuf Kalla—JK lebih banyak bicara soal dirinya sebagai ketua partai. Wawancara ekslusif Metro TV itu tidak ada istimewanya. Ini suatu pernyataan yang jujur dan transparan. Kenapa tidak menarik? Ketika SBY mengatakan, kita tidak perlu bicara masa lalu.
Tetapi, dalam banyak pernyataan (jawaban) yang sangat tajam, justru SBY terlihat memunculkan suatu claim, bahwa dirinya adalah yang pantas menjadi presiden, bahwa dirinyalah yang paling baik di antara para jendeeral TNI, bahwa dirinya menjadi presiden berangkat dari nol (bawa sekali). Itu, akibat dirinya seakan-akan teranianyai—terutama ketika ia menjadi Menpolkam masa presiden Megawati Soekarnoputri.
Apalagi ketika SBY bilang, Prabowo, Wiranto dan lainnya membuat buku biografi. “Tapi, saya kan tahu semuanya!” Itulah ungkapan yang sebenarnya sangat sombong dan angkuh di balik tatakrama dan sopan santunnya dalam bicara yang sederhana dan luar biasa baiknya.
Sementara JK dengan kemampuan bicaranya yang cenderung beretorika dengan rasa optimis yang dipaksakan dengan kata lain, sikap optimisnya “wait and see” hasil pemilu 2009. JK percaya survei jika survei itu berdasarkan hukum. Keraguan JK menjawab keyakinannya sendiri terlihat jelas. Apalagi ketika menjelaskan soal grid populeritasnya masih di bawah 3 persen.
Dengan retorika JK, ia mengtatakan, gridnya itu karena ia selalu diposisikan sebagai wakil presiden. Ia tidak bicara soal dirinya sebagai ketua parpol (Golkar).
SBY—JK jikalau pemilu 2009 merupakan hasil maksimal klecerdasan politik rakyat, maka keduanya akan kalah dengan bakal calon presiden lain. Hanya dari weawancarai ekslusif itu dapat ditangkap, bahwa keduanya sedang memasang jaring untuk berkoalisi dengan parpol lain atau sedang memancing bakal calon presiden lainnya.
Yang pasti pemerintah di bawah kepemimpinan SBY—JK gagal membawa Indonesia ke luar dari krisis multidimensional. Berbagai kegagalan tak mampu diselesaikan atau ditemukan solusinya. Seorang tokoh nasional sekelas SBY, dalam beberapa kali kesempatan pidatonya, langsung membahas masalah kelangkaan BBM, pupuk dan tidak turunnya tarif angkutan umum ketika BBM turun.
Itu berarti, para menteri sebagai pembantu presiden, tidak mampu menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Itulah kegagalan yang banyak ditengarai para pengamat dan rakyat Indonesia. Pemilu 2009 sudah diambang pintu, perubahan tentu pasti ada, tinggal berapa persenkah perubahan yang terjadi setelah pemilu 2009 dan menjelang pemilihan presiden (pilpres).
Mungkin, tidak ada parpol yang dominan menguasai parlemen (DPRD kabupaten/kota, DPRD provinsi, DPR-RI). Atau ada parpol dengan kebangkitannya yang memperoleh suara yang signifikan. Semuanya kita menunggu, bagaimana peningkatan kecerdasan berpolitik rakyat. Kecerdasan politik rakyat sepertinya akan terhambat dengan lambannya kinerja KPU mensosialisasikan pemilu 2009.
Ada apa dengan Indonesia, apakah Indonesia ini hanya SBY dan JK? nep

Organisasi Peduli Politik

Oleh Naim Emel Prahana
KEHADIRAN beberapa figur tokoh kelas Nasional di forum Tanwir Muhammadiyah di Bandarlampungmemang menjadi komoditas suasana politik di daerah ini menjelang pemilu 2009. kenapa tidak, berbagai agenda pada acara Tanwir selalu dikaitkan dengan agenda politik, seperti rencana pencalonan ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin sebagai salah satu calon wapres dalam pilpres 2009 beberapa bulan mendatang.
Sebagai organisasi sosial keagamaan dan pendidikan, Muhammadiyah yang berdiri dari rahim NU itu, visi misinya adalah memajukan masyarakat dibidang keagamaan, sosial, dan pendidikan. Akan tetapi, trend masyarakat Indonesia dan pemerintahannya yang selalu memasukkan unsur politik dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Muhammadiyah pun akhirnya ikut dalam barisan habit (‘kebiasaan’) itu.
Yah, sah-sah saja. mengenai akan terjadinya polarisasi dalam tubuh Muhammadiyah toh pada akhirnya dianggap biasa. Sebab, akar sosial dan pendidikan pada capaian tujuan berdirinya Muhammadiyah tidak terlepas dari unsur bisnis dalam penyelenggaraan dan pengelolaannya.
Kenapa tidak, jika memang grid tokoh-tokoh Muhammadiyah memenuhi standar dan kemudian ikut dalam bursa pencalonan capres dan cawapres. Tinggal menunggu bagaimana sikap danm dukungan masyarakat. Sebab, masyarakat Muhammadiyah saja tidak cukup untuk mengantarkan seorang tokohnya ke kursi capres dan cawapres. Jika, tidak berkoalisi dengan parpol lain.
Jika Muhammadiyah berkolaborasi dengan NU, ada pencerahan. Tapi, apa mungkin antara NU dan Muhammadiyah menyatu, apalagi soal pimpinan nasional. Padahal, pimpinan Nasional itu merupakan jelmaan dari semua unsur masyarakat yang ada di Indonesia.
Asumsinya, kader Muhammadiyah yang brilian walau terkadang ada beberapa keputusan Muhammadiyah yang mengakibatkan menjauhnya masyarakat terhadap organisasi keagamaan itu. Muhammadiyah masih pantas untuk memunculkan kandidat capres atau cawapres. Hal itu akan lebih positif, karena calon pimpinan nasional tidak hanya dari kubu Golkar, PDIP, Partai Demokrat atau NU saja.
Hal itu sudah dibuktikan ketika pilpres 2004, ketika Amin Rais ikut bursa pilpres. Ternyata popularitas tokoh reformasi itu, memang masih jauh dibandingkan tokoh-tokoh lainnya yang ikut berkompetisi dalam kancah pilpres tersebut. Jika, nanti dalam pilpres 2009 Din Syamsudin akan maju dalam pilpres. Bolah-boleh saja, siapa yang melarang. Karena selain dirinya sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, ia juga seorang warga negara biasa.
Kedudukan dan hak yang sama melekat pada diri Din Syamsudin. Tinggal bagaimana dukunganb Muhammadiyah secara utuh, untuk melenggangkan Din ke kursi cawapres, atau bahkan ke kursi capres. Siapa tahu, tahun ini giliran Muhammadiyah tampil ke depan, siapa tahu suasana Indonesia ada perubahan dibandingkan sebelum-sebelum ini.
Bila perlu bisa minta bantuan dengan lembaga survei nasional, sejauhmana tingkat populeritas Din Syamsudin di tengah republik ini. Itu penting, untuk mengukur diri sebagai pimpinan yang disenangi oleh rakyat. Bukan oleh sekelompok rakyat. Terlepas dari itu semua, semoga Tanwir Muhammadiyah yang susdah payah menghadirkan tokoh-tokoh nasional di Lampung, sukses dalam banyak hal. Termasuk politiknya.nep.

Kampanye dan Fasilitas Negara

Oleh Naim Emel Prahana
SEBAGAI negara berdasarkan hukum, maka wajarlah kalau hal-hal yang menyangkut negara harus jelas status hukumnya. Salah satunya adalah fasilitas negara. Akan tetapi, jika ada larangan menggunakan fasilitas negara kepada peruntukan yang bukan untuk negara dan dipakai oleh bukan pejabat negara atau pemerintah itu. Apakah sudah secara detail diatur dalam berbagai bentuk aturan.
Hal itu mengingatkan kita, betapa sulitnya memisahkan status milik negara dengan bukan milik negara pada barang atau benda yang sama. Karena, pasal alasan atau alibi lebih banyak dibandingkan pasal-pasal dalam aturan hukumnya. Kemudian, jika aturan hukumnya jelas dan ada sanksinya.
Perlu pula dijelaskan secara jelas lagi soal sanksi hukumnya, apakah termasuk kejahatan atau hanya pelanggaran yang sifatnya cukup ditegur saja—walau kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Banyak kasus selama ini menyangkut penggunaan fasilitas negara; kendaraan (plat merah), rumah dinas, kantor, ( termasuk gedung sekolah, rumah ibadah), dan sebagainya sering digunakan dalam berkampanye. Lalu, batasan pelanggaran dan sanksinya bagaimana, seperti soal money politic. Atau seperti ketika isteri walikota Metro mendatangi Panwaslu setempat dalam rangka klarifikasi laporan adanya pelanggaran kampanye. Isteri walikota yang menjadi caleg dari PPP itu datang ke kantor Panwaslu menggunakan mobil dinas PKK Kota Metro.
Seyogyanya, kalau ia ingin mengklarifikasi pengaduan adanya pelanggaran yang dilakukannya, walaupun hanya mendatangi kantor Panwaslu Kota Metro, ia harus menggunakan mopbil pribadi. Jika ia masih menggunakan mobil dinas, maka apapun alasannya ia mengatakan tidak melanggar. Itu sudah suatu pelanggaran.
Bagaimana dengan PP No 10/2008? Oleh karenanya, gaya demokrasi Indonesia dalam potret pemilu selalu membingungkan. Pelanggaran aturan hukum pemilu selalu diselesaikan dengan kedip mata atau cukup dengan “kata maaf, tidak akan mengbulanginya lagi”. Sayangnya, ketika aturan itu berbenturan dengan keluarga pejabat, maka yang mengalah itu bukan si pelanggar atau pejabat tau keluarganya. Tetapi, malah aturan hukum yang dibuat ‘mengalah’ oleh lembaga yang terkait menangani permasalahan seperti itu. Barangkali memang bangsa ini senang betul membingungkan diri sendiri, apalagi menghadapi bingungnya dunia. Apa tidak makin bingung?
Banyak hal yang perlu diatur ulang soal pemilu di Indonesia, dengan banyak aturan yang harus dibatalkan. Cukup satu atau dua aturan saja, namun aturan itu lengkap, detail dan tidak membingungkan rakyat. Seperti soal kartu suara dalam pemilu 2009, sebagian besar rakyat bingung. Sebab, sosialisasi pencoblosan (pencontrengan) beraneka ragam, isu yang digulirkan tentang sah tidaknya contreng pun bersileweran entah bagaimana lagi rakyat untuk mengambil kesimpulannya.
Sementara KPU sendiri, cuma duduk di kantor hanya bermain surat, selebaran dan pernyataan di media massa. Sosialisasi dengan anggaran yang besarnya, ke mana dan bagaimana hasilnya? Dengan situasi dan kondisi demikian, apakah tidak membuka kemungkinan meningkatnya suara golput (golongan putih) yang disebabkan banyak faktor.
Bukan hanya tidak (sengaja) mau memilih, tetapi faktor waktu, hasil sosialisasi, banyaknya parpol dan caleg, lebarnya kertas suara dan sebagainya—bisa jadi sebagai faktor terbesar untuk besarnya jumlah golput. nep.

Kampanye dan Fasilitas Negara


Oleh Naim Emel Prahana
SEBAGAI negara berdasarkan hukum, maka wajarlah kalau hal-hal yang menyangkut negara harus jelas status hukumnya. Salah satunya adalah fasilitas negara. Akan tetapi, jika ada larangan menggunakan fasilitas negara kepada peruntukan yang bukan untuk negara dan dipakai oleh bukan pejabat negara atau pemerintah itu. Apakah sudah secara detail diatur dalam berbagai bentuk aturan.
Hal itu mengingatkan kita, betapa sulitnya memisahkan status milik negara dengan bukan milik negara pada barang atau benda yang sama. Karena, pasal alasan atau alibi lebih banyak dibandingkan pasal-pasal dalam aturan hukumnya. Kemudian, jika aturan hukumnya jelas dan ada sanksinya.
Perlu pula dijelaskan secara jelas lagi soal sanksi hukumnya, apakah termasuk kejahatan atau hanya pelanggaran yang sifatnya cukup ditegur saja—walau kerugian yang ditimbulkan cukup besar. Banyak kasus selama ini menyangkut penggunaan fasilitas negara; kendaraan (plat merah), rumah dinas, kantor, ( termasuk gedung sekolah, rumah ibadah), dan sebagainya sering digunakan dalam berkampanye. Lalu, batasan pelanggaran dan sanksinya bagaimana, seperti soal money politic. Atau seperti ketika isteri walikota Metro mendatangi Panwaslu setempat dalam rangka klarifikasi laporan adanya pelanggaran kampanye. Isteri walikota yang menjadi caleg dari PPP itu datang ke kantor Panwaslu menggunakan mobil dinas PKK Kota Metro.
Seyogyanya, kalau ia ingin mengklarifikasi pengaduan adanya pelanggaran yang dilakukannya, walaupun hanya mendatangi kantor Panwaslu Kota Metro, ia harus menggunakan mopbil pribadi. Jika ia masih menggunakan mobil dinas, maka apapun alasannya ia mengatakan tidak melanggar. Itu sudah suatu pelanggaran.
Bagaimana dengan PP No 10/2008? Oleh karenanya, gaya demokrasi Indonesia dalam potret pemilu selalu membingungkan. Pelanggaran aturan hukum pemilu selalu diselesaikan dengan kedip mata atau cukup dengan “kata maaf, tidak akan mengbulanginya lagi”. Sayangnya, ketika aturan itu berbenturan dengan keluarga pejabat, maka yang mengalah itu bukan si pelanggar atau pejabat tau keluarganya. Tetapi, malah aturan hukum yang dibuat ‘mengalah’ oleh lembaga yang terkait menangani permasalahan seperti itu. Barangkali memang bangsa ini senang betul membingungkan diri sendiri, apalagi menghadapi bingungnya dunia. Apa tidak makin bingung?
Banyak hal yang perlu diatur ulang soal pemilu di Indonesia, dengan banyak aturan yang harus dibatalkan. Cukup satu atau dua aturan saja, namun aturan itu lengkap, detail dan tidak membingungkan rakyat. Seperti soal kartu suara dalam pemilu 2009, sebagian besar rakyat bingung. Sebab, sosialisasi pencoblosan (pencontrengan) beraneka ragam, isu yang digulirkan tentang sah tidaknya contreng pun bersileweran entah bagaimana lagi rakyat untuk mengambil kesimpulannya.
Sementara KPU sendiri, cuma duduk di kantor hanya bermain surat, selebaran dan pernyataan di media massa. Sosialisasi dengan anggaran yang besarnya, ke mana dan bagaimana hasilnya? Dengan situasi dan kondisi demikian, apakah tidak membuka kemungkinan meningkatnya suara golput (golongan putih) yang disebabkan banyak faktor.
Bukan hanya tidak (sengaja) mau memilih, tetapi faktor waktu, hasil sosialisasi, banyaknya parpol dan caleg, lebarnya kertas suara dan sebagainya—bisa jadi sebagai faktor terbesar untuk besarnya jumlah golput. nep.

Jumat Bersih-Bersih

Jumat Bersih-Bersih
Oleh Naim Emel Prahana
KALAU mendengar orang mengatakan, “jangan samakan teori dengan pelaksanaan suatu program!”, mungkin ada benarnya. Sebab sampai saat ini masih banyak kelompok yang sedang berjibaku mendata berapa banyak slogan-slogan, pencanangan-pencanangan, dan motto-motto yang sudah dipublikasikan oleh pemerintah. baik pemerintah pusat maupun pemerintah di daerah.
Seperti yang satu ini “Jumat Bersih” yang dulunya setiap hari Jumat dijadikan hari krida dan olahraga bagi pejabat dan PNS mengikut sertakan masyarakat kelompok-kelompok tertentu. Tapi, kini hari Jumat oleh banyak pemerintah daerah dijadikan “hari bersih-bersih atau hari bergotong royong di kalangan pejabat dan PNS.”
Kalau di dusun-dusun di Sumatera Bagian Selatan (Palembang dan sekitarnya, Bengkulu, Lampung dan Jambi) zaman dulu, khusus hari Jumat penduduk banyak yang menghentikan pekerjaan rutin mereka, seperti petani, pedagang, supir angkutan umum. Pokoknya hari Jumat dijadikan hari libu dan bersih-bersih di sekitar rumah dan lahan milik mereka yang tidak dimanfaatkan.
Masyarakat Lampung, Bengkulu, Palembang dan Jambi yang penduduknya beragama Islam menjadikan hari Jumat itu benar-benar hari libur. Tidak ada aktivitas rutin yang berat dilakukan. Bagi para supir mobil, hari Jumat mereka tidak menjalankan mobilnya. Ada kandungan kepercayaan yang cenderung islaminisme. Tapi, sangat positif dan tidak menimbulkan kecenderungan kegiatan-kegiatan sesat.
Oleh karenanya, dusun-dusun di daerah Sumbagsel zaman dulu selalu rapih, tertata baik, asri dan bersih. Bagaimana sekarang, ketika pemerintah daerah menyadap rutinitas istirahat penduduk tersebut? Sekarang di dusun-dusun di daerah Sumbagsel ini, tidak ada hari istirahat. Banyak penduduk memang sudah banyak istirahat akibat makin meningkatnya jumlah orang yang menganggur.
Makin banyaknya usaha pertanian ditinggalkan akibat berbagai UU yang melarang menebang kayu, merusak hutan, membunuh harimau, membunuh kera, membunuh binatang yang dikatakan “dilindungi” tersebut. Sedangkan pekerjaan lain bagi penduduk di dusun-dusun tidak ada. Akhirnya, mereka selalu nongkrong di kampung, di warung, di prapatan dengan tingkat kebutuhan terus meningkat. Karena pekerjaan rutin ditinggalkan, ekonomi makin sempit dan akhirnya tingkat kriminalitas menjadi-jadi.
Apakah Jumat Bersih sebagai program pemerintah kabupaten dan kota maupun provinsi dapat menyadarkan masyarakat yang sudah hilang kepercayaannya kepada pemerintah untuk menjaga lingkungan tetap asri, bersih, tertata rapih dan indah dipandang mata?
Banyak harapan sebenarnya. Tetapi, harapan kita itu selalu dibenturkan kepada realitas, bahwa kegiatan Jumat bersih pejabat dan PNS itu tidak mempengaruhi kekumuhan lingkungan pemukiman, jalan raya, pasar, terminal dan tempat-tempat lainnya. Sampah tetap saja berserakan.
Apalagi kalau dibilang efektif kegiatan Jumat Bersih, masih sangat jauh mencapai sasaran atau hanya sekedar untuk refreshing sesama PNS? Bisa jadi. Tapi, kalau itu yang menjadi implisit dalam program tak tertulis itu, maka kebiasaan baik telah diluluhkan dengan sistimatika.
Sinerji para pejabat dan PNS makin mengendor. Tidak banyak yang dapat mereka perbuatan untuk memulihkan situasi dan kondisi sosial dan linbgkungan kehidupan. Baik di kota maupoun di desa.nep.

Haram Milih Pemimpin tak Layak

Haram Milih Pemimpin tak Layak
Oleh Naim Emel Prahana
HARAM mengharam di zaman ini diucapkan seperti mau minum saja. Akhir Januari 2009 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berhasil mengeluarkan sekitar 24 fatwa baru dari forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa III se-Indonesia di Padangpanjang, Sumatera Barat. Selain fatwa kontroversial soal rokok, memilih dalam Pemilu dan Pilkada dan masalah Yoga. Juga, dikeluarkan fatwa soal haram memilih pemimpin tidak layak dalam pemilu dan moment pemilihan pemimpin lainnya.
Sebenarnya, menanggapi fatwa-fatwa MUI itu banyak baiknya. Sebab, masalah yang difatwakan itu menyangkut hajat hidup orang banyak yang terdiri dari banyak agama, kepercayaan, adat istiadat dan kebiasaan. Sekarang kita mau menanggapinya melalui kacamata yang mana. Tapi, yang paling bijak adalah dari kacamata ‘minplus’.
Soal pemimpin masyarakat, umat, kelompok dan organisasi-organisasi sudah ada aturannya. Kalau dalam Islam dikategorikan ada beberapa kreteria, antara lain dewasa, sehat jasmani dan rohani, cakap, jujur dan adil, dipercayai, memegang teguh amanah dan sebagainya.
Tetapi kemudian, kenapa banyak pemimpin yang dipilih oleh rakyat “tidak cakap dan tidak layak?” Tentu, ada latar belakang beriringan dengan perkembangan zaman dan siatuasi kondisi di suatu masyarakat. Saat ini antara calon legislatif (misal) dengan rakyat saling memeras. Pada saat caleg butuh dukungan suara masyarakat, ia sudah atau belum mempersiapkan anggaran yang sangat elastis. Tidak terbatas.
Rakyat yang melihat mereka berada di posisi tawar yang positif, tidak menyiakan kesempatan. Maka mengalirlah proposal, loby dan acuan-acuan anggaran yang juga tidak terbatas mereka minta dan dapat diajukan beulang kali dengan momentum yang berbeda, tapi maksuds dan tujuannya adalah sama; yaitu memeras kantong si caleg.
Namun demikian, di balik itu semua kalau dikembalikan ke fatwa soal haram memilih pemimpin ntak layak (versi Islam). Tentunya, banyak hal yang patut dijadikan bahan obrolan, antara lain bahwa para calon dan pemimpin di Indonesia ini, tidak semuanya beragama Islam.
Sedangkan dalam pemilihan pemimpin itu terjadi loby-loby politik antara pendukung yang beragama Islam dan non Islam, untuk berkoalisi. Bagaimana persoalan itu dapat diteropong oleh MUI sebelum ini. Dapatkah kreteria MUI soal pemimpin yang harus dipilih itu adalah (1). yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), (2). terpercaya (amanah), (3). aktif dan aspiratif (tabligh), (4). mempunyai kemampuan (fathonah) dan (5). memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Jadi memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram, versi MUI.
Dari banyak sisi kita sependapat, tapi masih ada sisi lain yang harus menjadi faktor pendukung diharamkannya memilih pemimpin yang tak layak artinya, kreteria “tak layak” itu harus dijelaskan, bahkan kalau perlu sebelum pencalonan, kalau memang tak layak ada aturan yang menggugurkan si calon pemimpin.
Tapi, kalau Cuma diharamkan saja, tanpa ada keterikatannya fatwa tersebut, apakah itu bukan menjadi pekerjaan yang sia-sia atau hanya menambah panjangnya daftar konflik di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk itu. Kita harus berpikir luas, berhati bijak. Bukan hanya mengeluarkan statemen-statemen saja. nep

Kebohongan Iklan Politik

Oleh Naim Emel Prahana
MENJELANG pemilu 2009 volume tayangan promosi iklan politik; partai politik dan calon legislatif (caleg). Baik berupa tayangan iklan di stasiun televisi, media massa cetak maupun melalui sarana informasi dan komunikasi lainnya. Seperti pemasangan spanduk, baleho, banner, selebaran, pamflet, stiker di jalanan umum. Semakin tidal berjarak. Antrar durasinya semakin dekat dan panjang.
Untuk tayangan politik di media audia visual televisi, iklan paling menonjol dilakukan oleh Partai Demokrat (PD), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Untuk Gerindra, parpol itu tidak mengklaim keberhasilannya. Itu, karena parpol tersebut masih baru. Sedangkan PD, Golkar dan PKS terang-terangan melakukan kebohongan publik dengan mengklaim keberhasilan-keberhasilan partainya membangun Indonesia sekarang. Seyogyanya, parpol yang mengiklankan partainya di media tidak melakukan kebohongan-kebohongan politik yang memuakkan.
Seperti dilakukan oleh PD, yang mengagungkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden yang sangat berhasil membangun Indonesia, seperti turunnya BBM, pendidikan gratis dan sebagainya. Itu semuanya adalah bohong. Turunnya harga BBM bukan kehendak SBY atau partai Demokrat. Tetapi, krisis global yang melanda Amerika Serikat menyebabkan harga minyak (BBM) turun.
Demikian pula Golkar yang mengklaim pihaknya “tidak pernah berpisah dengan rakyat”. Karena mereka mengklaim Golkar milik rakyat. Golkar telah menghancurkan demokrasi di Indonesia selama kurun waktu 32 tahun di masa orde baru. Apakah klaim iklan itu tidak mengandung kebohongan? Demikian pula PKS, yang mengatakan Anton adalah kuncir keberhasilan pertanian di Indonesia. Keberhasilan pertanian yang bagaimana yang dimaksud oleh PKS yang notabene orang-orangnya adalah fanatik dengan ajaran agama Islam. Apakah bohong itu merupakan kejahatan dalam agama atau tidak?
Infromasi parpol melalui tayangan iklannya memang tidak terpuji, seperti dikatakan oleh Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia, bahwa sejumlah iklan klaim keberhasilan pemerintah yang dilakukan oleh beberapa parpol dinilai banyak memuat informasi yang tidak valid. Tidak hanya menyesatkan, hal itu pun dinilai sebagai bentuk kejahatan informasi. "Boleh saya katakan itu kejahatan informasi," kata Direktur Lingkar Madani Untuk Indonesia (LIMA), Said Salahudin (Rabu, 25/2) kemarin.
Secara pasti iklan politik parpol di televisi sangat menyesatkan, dan berlawanan dengan tujuan kampanye untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Tentu saja bila dihubungkan dengan UU No 10/2008 tentang Pemilu (pasal 76), menyebutkan kampanye pemilu dilakukan dengan prinsip bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat.
Kenaikan anggaran pendidikan 20 persen bukan usulan dan program Partai Demokrat, melainkan program pemerintah secara menyeluruh. Jadi, klaim keberhasilan PD tentang kenaikan anggaran pendidikan 20 persen termasuk sangat menyesatkan. Seharusnya iklan itu sudah distop oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), termasuk iklan Golkar dan PKS, karena tidak ada nilai pendidikannya kepada masyarakat.
Untuk mendapatkan dukungan rakyat dalam pemilu 2009, parpol seyogyanya tidak melakukan kebohongan politik yang sangat merusak bangsa ini, yang tidak berhasil dikatakan berhasil.nep

Lenyapkah Budaya Daerah ?

Lenyapkah Budaya Daerah ?
Oleh Naim Emel Prahana
ARUS globalisasi yang menyebarluaskan hasil ilmu pengetahuan yang tinggi (canggi) sangat mempengaruhi tingkah laku manusia di berbagai kelompok ras, etnis, sampai kepada bangsa-bangsa di semua negara di dunia ini. Budaya daerah merupakan peradaban yang menganut sistim kekerabatan, saling membantu, mengasihi, menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat. Boleh dikatakan lebih mirip dengan kehidupan paguyuban.
Akan tetapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya secara langsung berubah. Hubungan sesama anggota masyarakat sudah bergeser menjadi hubungan formal dan basa-basi. Hubungan bersifat formal berisikan imbalan-imbalan tertentu dikemudian waktu atau mengharapkan ‘balas jasa” dalam tanda petik.
Homo homini lupus menjadi kenyataan. Bagaimana seorang ayah melahap anak kandungnya sendiri, demikian pula seorang anak melalap ibu kandungnya sendiri dan belum lagi kategori kejahatan pembunuhan di dalam keluarga yang notabene masih satu keturunan darah. Semua sudah terjadi, kita sulit mengatakan hal itu sebagai budaya baru.
Kita ambil contoh menjelang pemilu 2009, bagaimana tindakan salin memeras antara anggota masyarakat dengan calon legislatif (caleg). Saat sekarang anggota masyarakat yang cerdas (?) melakukan manuver pendekatan dengan semua caleg, ujung-ujungnya memang soal uang dan fasilitas bagi komunitas masyarakat tertentu.
Pemerasan intelektual itu akan berakibat kepada perjalanan si caleg di kemudian hari ketika ia terpilih menjadi anggota legislatif. Ia akan melakukan apa saja untuk menutupi anggaran yang sudah ia keluarkan selama proses pemilu 2009. Ironisnya, perbuatan yang direncanakan itu tidak dapat dikelompokkan sebagai korban dan pelaku. Semuanya pelaku dan semuanya korban. Persoalannya, tinggal bagaimana menghadapi kelanjutan politiik yang tidak beretika itu.
Pertanyaannya, sudah begitu konsumtifkah masyarakat atau sudah begitu konsumtifkah anggota legislatif kita? Mencoba menghitung peredaran uang menjelang pemilu dan saat pemilu 2009, rasanya memang Indonesia bukan negara miskin, tetapi negara kaya raya. Tetapi, kenapa kemiskinan melanda Indonesia tanpa kecuali sektor tertentu.
Andaikan budaya daerah masih ada, tentu banyak yang dapat diberdayagunakan dari banyaknya uang yang beredar secara sia-sia, membantu anak fakis miskin, orang jompo, fasiliutas umum dan sebagainya. Tapi, semuanya tidak terjadi sampai sekarang ini. Apa yang rus diklaim Partai Demokrat tentang keberhasilan SBY? “Omong kosong”
Kita saat ini merugi luar biasa dengan lenyaponya nilai-nilai budaya (di daerah) yang selama ini menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan. Dari keterpurukan dan konflik antar daerah. Kita mengakui, UUD 1945 menyamakan status warganegara, akan tetapi dalam proses perwakilan rakyat di lembaga legislatif, seharusnya tidak terjadi over dosis yang luar biasa tentang jumlah calon anggota legislatif.
Mungkin adalkah sesuatu yang tidak normal, jika sebuah kampung dalam pemilu 2009 ini menempatkan 20 calegnya, sebagian besar masih ada hubungan keluarga dekat. Bayangkan akibat pencalegkan itu. Perpecahan, kebingungan, dan golput akan merambah jumlah mata pilih yang sudah tercatat secara resmi. Menjadi anggota legislatif bukanlah pemecahan problem sosial keluarga atau bukan solusi untuk menjadi tokoh masyarakat yang terkenal. Bisa jadi akan menjadi keranjang sumpah serah masyarakat selama kurun waktu 5 tahun, jika tidak mampu berfungsi dan berperan.nep.

Lenyapkah Budaya Daerah ?

Lenyapkah Budaya Daerah ?
Oleh Naim Emel Prahana
ARUS globalisasi yang menyebarluaskan hasil ilmu pengetahuan yang tinggi (canggi) sangat mempengaruhi tingkah laku manusia di berbagai kelompok ras, etnis, sampai kepada bangsa-bangsa di semua negara di dunia ini. Budaya daerah merupakan peradaban yang menganut sistim kekerabatan, saling membantu, mengasihi, menghormati dan menghargai sesama anggota masyarakat. Boleh dikatakan lebih mirip dengan kehidupan paguyuban.
Akan tetapi, dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya secara langsung berubah. Hubungan sesama anggota masyarakat sudah bergeser menjadi hubungan formal dan basa-basi. Hubungan bersifat formal berisikan imbalan-imbalan tertentu dikemudian waktu atau mengharapkan ‘balas jasa” dalam tanda petik.
Homo homini lupus menjadi kenyataan. Bagaimana seorang ayah melahap anak kandungnya sendiri, demikian pula seorang anak melalap ibu kandungnya sendiri dan belum lagi kategori kejahatan pembunuhan di dalam keluarga yang notabene masih satu keturunan darah. Semua sudah terjadi, kita sulit mengatakan hal itu sebagai budaya baru.
Kita ambil contoh menjelang pemilu 2009, bagaimana tindakan salin memeras antara anggota masyarakat dengan calon legislatif (caleg). Saat sekarang anggota masyarakat yang cerdas (?) melakukan manuver pendekatan dengan semua caleg, ujung-ujungnya memang soal uang dan fasilitas bagi komunitas masyarakat tertentu.
Pemerasan intelektual itu akan berakibat kepada perjalanan si caleg di kemudian hari ketika ia terpilih menjadi anggota legislatif. Ia akan melakukan apa saja untuk menutupi anggaran yang sudah ia keluarkan selama proses pemilu 2009. Ironisnya, perbuatan yang direncanakan itu tidak dapat dikelompokkan sebagai korban dan pelaku. Semuanya pelaku dan semuanya korban. Persoalannya, tinggal bagaimana menghadapi kelanjutan politiik yang tidak beretika itu.
Pertanyaannya, sudah begitu konsumtifkah masyarakat atau sudah begitu konsumtifkah anggota legislatif kita? Mencoba menghitung peredaran uang menjelang pemilu dan saat pemilu 2009, rasanya memang Indonesia bukan negara miskin, tetapi negara kaya raya. Tetapi, kenapa kemiskinan melanda Indonesia tanpa kecuali sektor tertentu.
Andaikan budaya daerah masih ada, tentu banyak yang dapat diberdayagunakan dari banyaknya uang yang beredar secara sia-sia, membantu anak fakis miskin, orang jompo, fasiliutas umum dan sebagainya. Tapi, semuanya tidak terjadi sampai sekarang ini. Apa yang rus diklaim Partai Demokrat tentang keberhasilan SBY? “Omong kosong”
Kita saat ini merugi luar biasa dengan lenyaponya nilai-nilai budaya (di daerah) yang selama ini menyelamatkan bangsa ini dari penjajahan. Dari keterpurukan dan konflik antar daerah. Kita mengakui, UUD 1945 menyamakan status warganegara, akan tetapi dalam proses perwakilan rakyat di lembaga legislatif, seharusnya tidak terjadi over dosis yang luar biasa tentang jumlah calon anggota legislatif.
Mungkin adalkah sesuatu yang tidak normal, jika sebuah kampung dalam pemilu 2009 ini menempatkan 20 calegnya, sebagian besar masih ada hubungan keluarga dekat. Bayangkan akibat pencalegkan itu. Perpecahan, kebingungan, dan golput akan merambah jumlah mata pilih yang sudah tercatat secara resmi. Menjadi anggota legislatif bukanlah pemecahan problem sosial keluarga atau bukan solusi untuk menjadi tokoh masyarakat yang terkenal. Bisa jadi akan menjadi keranjang sumpah serah masyarakat selama kurun waktu 5 tahun, jika tidak mampu berfungsi dan berperan.nep.

Fenomena Krisis Medis


Oleh Naim Emel Prahana
POTRET dukun cilik Ponari di Jombang, Jawa Timur merupakan indikasi telah lama terjadinya krisis kepercayaan kepada pemerintah di bidang medis. Masyarakat kembali kepada tradisi kepercayaan mkereka untuk berobat di luar jalur medis. Bisa dukun, paranormal, juru tenung dan sebagainya. Pokoknya tidak berobat kepada puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan yang ada dokter, bidan, jururawat dan para medis lainnya.
Krisis itu terjadi akibat kelalaian pemerintah yang membangun dunia medis hanya melalui retorika politik. Tidak dengan kenyataan (realita). Misalnya masyarakat dihimbau untuk membeli obat generik yang katanya harga murah dan sangat terjangkau. Nyatanya, masyarakat bingung, obat generik itu yang mana. Masyarakat hanya tahu obat generik itu hanya sebuah logo yang ditempelkan di semua jenis obat.
Sesampai di apotik “kategori obat generik” itu sudah tidak ada, karena sudah berlaku ekonomi pasar (umum) dan harganya, ya tergantung pemilik apotik atau toko obat yang menetapkannya. Sebenarnya, masyarakat yang berobat ke pengobatan alternatif, bukan berarti syirik (dalam agama), akan tapi mereka berusaha mencari solusi yang terbaik bagi keluarga mereka yang mengalami sakit. Karena, berobat di rumah sakit atau membeli obat di apotik atau toko obat sering tidak membawa perubahan.
Pengobatan alternatif sekarang ini, tidak lagi seperti praktek pengobatan dukun-dukun yang kita kenal selama ini yang menggunakan kembang, dedaunan, kemenyan, tempurung kelapa, keris dan sebagainya. Tetapi lebih banyak menggunakan energi murni dari tubuh manusia dan alam sendiri. Dan itu lain dengan pengobatan soal kena guna-guna. Hal itu harus kita bedakan, agar kita tidak melakukan praktek tindakan yang sembrono yang akhirnya membuat orang lain yang berniat baik, menjadi kesan tidak baik. Kita mungkin boleh bertanya kepada para pejabat, benarkah mereka tidak pernah berobat ke pengobatan alternatif?
Berbagai data yang dikumpulkan dari tempat pengobatan alternatif menyebutkan, banyak pasien mereka dari kalangan pejabat, tokoh dan termasuk tokoh agama. Termasuk pimpinan lembaga majelis agama yang sering kita lihat melakukan terapy fisik di salon tertentu. Oleh karena itu, pemerintah harus membangun dunia kesehatan itu sesuai dengan tingkat sosial masyarakatnya. Berobat menang gratis, tetapi membeli obatnya harus bayar. Seperti motto yangs ering kita jum,lai di warung, “hari ini bayar, besok gratis!” Jadi, kapan gratisnya?
Demikian pula sekolah, tidak ada satupun sekolah yang gratis di Indonesia ini. Semuanya bayar, semua harus mengeluarkan sejumlah uang. Yang itulah yang menjadi himpitan tambahan bagi rakyat selama ini. Untuk itu, lembaga-lembaga kesehatan resmi pemerintah, lembaga-lembaga agama dan para tokohnya, sebaiknya jangan mengecam orang yang melakukan pengobatan alternatif, apalagi dengan melarang. Jika dilarang, apa yang pemerintah bisa berikan kepada masyarakat yang ingin berobat?
Apalagi di kampung, hanya untuk 3 lempeng tablet sang mantri puskesmas menetapkan harga Rp 50 ribu. Di kampung, mana obat generik dan mana yang bukan, sudah tidak ada lagi pembicaraan, apalagi anjuran-anjuran, apalagi soal harga, apalagi soal prosedur pengobatan yang dilakukan mantri dari puskesmas. Belakang kita ketahui, pihak dokter di rumah sakit begitu mudah memberikan diagnosis suatu penyakit kepada pasiennya, sehingga selalu dianjurkan untuk operasi. Padahal, sebenarnya penyakitnya tidak membutuhkan operasi. Cukup dengan pengobatan biasa.nep.

BPOM Tarik 22 Obat Kuat

Daftar 22 obat kuat yang ditarik oleh BPOM
Dipos kembali oleh Naim Emel Prahana

Berikut daftar 22 obat kuat yang ditarik dari peredaran oleh BPOM dan dilarang dikonsumsi karena positif mengandung bahan kimia obat keras jenis Sildenafil Sitrat dan Tadalafil.
Dari 22 item ini 5 di antaranya adalah obat tradisional import, 14 obat tradisional, 1 suplemen makanan impor, dan 2 suplemen makanan lokal. Merk ke-22 item produk tersebut antara lain:
1. Blue Moon (Tadafil)
2. Caligula Kapsul (Sildenafil Sitrat)
3. Cobra-X Kapsul (SS)
4. Hwang Di Shen Dan (SS)
5. Kuat Tahan lama Serbuk (SS)
6. Lak Gao 69 (SS)
7. Lavaria (SS)
8. Maca Gold (SS)
9. Manovel (T)
10. Okura (SS)
11. Otot Madu (SS)
12. Rama Stamin (SS)
13. Sanomale (T)
14. Sari madu kapsul (SS)
15. Stanson (SS,T)
16. Sunny Zang Wang Xiong Ying Dan Pil (SS)
17. sunny zang wang xiong ying kapsul (SS)
18. Teraza (SS)
19. Top one kapsul (SS)
20. Tripoten (T)
21. Urat perkasa kapsul (SS)
22. Zu-Mex (T)

BPOM menyerukan kepada semua pihak agar tidak mengkonsumsi produk-produk tersebut. Apabila masyarakat yang memerlukan info lebih lanjut dapat menghubungin Unit Layanan Pengaduan Konsumen Badan POM di Jakarta dengan no 021-4263333 atau Balai POM seluruh Indonesia