Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Jumat, 02 September 2016
Ini Dia 8 Tugas Wajib Wartawan
Ini Dia 8 Tugas Wajib Wartawan
Ilustrasi (klenskeink.com)Kamis, 27 Desember 2012 18:35 WIB |
Anugerah Perkasa/JIBI/Bisnis
Kedua adalah sense maker yakni menerangkan apakah informasi itu masuk akal atau tidak. Tugas ketiga, investigator yakni wartawan harus terus mengawasi kekuasaan dan membongkar kejahatan.
Keempat adalah witness bearer yakni
kejadian-kejadian tertentu harus diteliti dan dipantau kembali dan dapat
bekerja sama dengan reporter warga. Adapun tugas kelima adalah empowerer yakni saling melakukan pemberdayaan antara wartawan dan warga untuk menghasilkan dialog yang terus-menerus pada keduanya.
Keenam adalah smart aggregator yakni wartawan
cerdas harus berbagi sumber berita yang bisa diandalkan, laporan-laporan
yang mencerahkan, bukan hanya karya wartawan itu sendiri. Ketujuh adalah forum organizer
yakni organisasi berita, baik lama dan baru, dapat berfungsi sebagai
alun-alun di mana warga bisa memantau suara dari semua pihak, tak hanya
kelompok mereka sendiri.
Adapun tugas kedelapan, role model, yakni tak hanya
bagaimana karya dan bagaimana cara wartawan menghasilkan karya tersebut,
namun juga tingkah laku wartawan masuk dalam ranah publik untuk
dijadikan contoh.
Buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia oleh Yayasan Pantau bekerja sama dengan Dewan Pers dan
diluncurkan di Jakarta, Kamis (27/12/2012).
Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau, menilai lanskap media sekarang
berubah. “Internet praktis menghancurkan peranan ruang redaksi sebagai
penjaga gerbang informasi,” kata Andreas dalam diskusi tersebut, Kamis
(27/12/2012). “Namun teknologi internet tak mengubah makna tentang
keperluan informasi yang bermutu agar masyarakat bisa mengambil
keputusan substansial.”
Leo Batubara, salah satu wartawan senior dan mantan pengurus Dewan
Pers, mengatakan pada akhirnya ‘pemenang pertandingan’ dalam industri
media adalah pihak yang taat terhadap kode etik, sepuluh elemen
jurnalisme serta delapan fungsi wartawan seperti yang ditulis dalam buku
Blur tersebut. Dia memaparkan di mana pun seorang wartawan bekerja, ketiga hal tersebut menjadi sangat penting untuk ditaati.
Endy Bayuni, salah seorang wartawan senior lainnya, mengatakan hal
yang seringkali dilupakan adalah melakukan cek dan ricek karena siaran
berita yang lebih didahulukan. “Cek dan ricek diabaikan, yang penting
tulis saja dulu, post saja dulu. Respons dari pihak lainnya mungkin akan
datang dalam 1-2 jam kemudian.”
Diskusi itu dibuka oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan
menghadirkan pembicara lainnya yakni Petty S Fatimah, Pemimpin Redaksi
Majalah Femina. Kegiatan itu tak hanya dihadiri oleh wartawan, namun juga praktisi di bidang hubungan masyarakat.
Tugas Utama Seorang Wartawan
by Suara Komunitas
Tugas dari seorang wartawan adalah
reporting. Reporting adalah bentuk pelaporan yang memerlukan kemampuan
untuk melaporkan dan menulis tentang berbagai topik. Wartawan melakukan
pelaporan dalam berbagai outlet berita, seperti surat kabar, stasiun
televisi berita, dan stasiun radio berita, dimana tugasnya mengumpulkan
berita.
Jenis-jenis berita yang diliput wartawan adalah: sisi manusia, kejahatan, atau apa pun yang menarik untuk diceritakan. Peran seorang wartawan sangat penting untuk keberhasilan sebuah organisasi berita. Tanpa wartawan tugas berita akan sulit direalisasikan untuk menjadi sebuah cerita yang faktual.
Dalam media berita, tugas pemberitaan dilakukan oleh wartawan pemula atau wartawan dengan masa kerja kurang dari lima tahun pengalaman. Pada staf surat kabar, wartawan itu meliput dan melaporkan tiga atau lebih berita dalam sehari. Lalu dilanjutkan dengan pelaporan yang membutuhkan fleksibilitas dan kesabaran. Selama pergantian shift, seorang wartawan dapat melaporkan misalnya, kebakaran di pagi hari dan kemudian acara sekolah di sore hari. Namun saat ini, beberapa laporan berita dilakukan oleh wartawan freelance sebagai bentuk rasionalisasi atau pengurangan staf surat kabar.
Di televisi, pelaporan dilakukan oleh wartawan secara on-air. Seperti wartawan surat kabar, wartawan televisi harus memiliki kemampuan untuk melaporkan berbagai topik. Secara umum, semua wartawan berita televisi lokal dianggap wartawan pemula. Seorang wartawan televisi biasanya melaporkan tentang satu cerita per hari, tapi perubahan subyek berita selalu berubah. Seperti di televisi, wartawan radio jauh lebih banyak tugasnya mencakup berbagai berita dan tugas penyiaran.
Menjadi wartawan lapangan yang efektif umum membutuhkan berbagai kemampuan terutama mengenai pengetahuan umum. Tidak seperti pelaporan utama, pelaporan tugas lapangan tidak memerlukan wartawan untuk menjadi ahli di bidang tertentu atau pada topik tertentu. Wartawan lapangan yang paling umum bisa berasal dari berbagai gelar sarjana atau gelar jurnalistik dari universitas. Sebuah gelar sarjana, bukan persyaratan untuk masuk ke jurnalisme atau pelaporan lapangan. Namun, keterampilan dasar seorang reporter lapangan adalah rasa ingin tahu, antusias, dan kemampuan untuk memenuhi tenggat waktu.
Menjadi seorang reporter lapangan bukan sebuah karir yang buntu. Mayoritas kepala editor, editor pengelola , dan direktur berita memulai karir mereka sebagai reporter lapangan. Posisi ini adalah langkah pertama pada tangga keberhasilan dalam jurnalisme. Setelah membuktikan diri mereka dalam peran ini, beberapa wartawan dipromosikan ke posisi wartawan senior.
Sebagai seorang reporter lapangan sangat menyenangkan, menggairahkan dan menarik hati. Mungkin pada jadual taktentu reporter lapangan mungkin akan dipanggil untuk mencari berita setiap saat; siang atau malam. Semua situasi dan semua keadaan dapat bermanfaat karena setiap hari reporter lapangan memiliki kesempatan untuk bertemu orang yang berbeda dari semua lapisan masyarakat: petugas pemadam kebakaran, polisi, pejabat pemerintah, seniman, dan orang-orang sehari-hari.
Wartawan mempunyai tugas yang mulia untuk perubahan sosial.
Jenis-jenis berita yang diliput wartawan adalah: sisi manusia, kejahatan, atau apa pun yang menarik untuk diceritakan. Peran seorang wartawan sangat penting untuk keberhasilan sebuah organisasi berita. Tanpa wartawan tugas berita akan sulit direalisasikan untuk menjadi sebuah cerita yang faktual.
Dalam media berita, tugas pemberitaan dilakukan oleh wartawan pemula atau wartawan dengan masa kerja kurang dari lima tahun pengalaman. Pada staf surat kabar, wartawan itu meliput dan melaporkan tiga atau lebih berita dalam sehari. Lalu dilanjutkan dengan pelaporan yang membutuhkan fleksibilitas dan kesabaran. Selama pergantian shift, seorang wartawan dapat melaporkan misalnya, kebakaran di pagi hari dan kemudian acara sekolah di sore hari. Namun saat ini, beberapa laporan berita dilakukan oleh wartawan freelance sebagai bentuk rasionalisasi atau pengurangan staf surat kabar.
Di televisi, pelaporan dilakukan oleh wartawan secara on-air. Seperti wartawan surat kabar, wartawan televisi harus memiliki kemampuan untuk melaporkan berbagai topik. Secara umum, semua wartawan berita televisi lokal dianggap wartawan pemula. Seorang wartawan televisi biasanya melaporkan tentang satu cerita per hari, tapi perubahan subyek berita selalu berubah. Seperti di televisi, wartawan radio jauh lebih banyak tugasnya mencakup berbagai berita dan tugas penyiaran.
Menjadi wartawan lapangan yang efektif umum membutuhkan berbagai kemampuan terutama mengenai pengetahuan umum. Tidak seperti pelaporan utama, pelaporan tugas lapangan tidak memerlukan wartawan untuk menjadi ahli di bidang tertentu atau pada topik tertentu. Wartawan lapangan yang paling umum bisa berasal dari berbagai gelar sarjana atau gelar jurnalistik dari universitas. Sebuah gelar sarjana, bukan persyaratan untuk masuk ke jurnalisme atau pelaporan lapangan. Namun, keterampilan dasar seorang reporter lapangan adalah rasa ingin tahu, antusias, dan kemampuan untuk memenuhi tenggat waktu.
Menjadi seorang reporter lapangan bukan sebuah karir yang buntu. Mayoritas kepala editor, editor pengelola , dan direktur berita memulai karir mereka sebagai reporter lapangan. Posisi ini adalah langkah pertama pada tangga keberhasilan dalam jurnalisme. Setelah membuktikan diri mereka dalam peran ini, beberapa wartawan dipromosikan ke posisi wartawan senior.
Sebagai seorang reporter lapangan sangat menyenangkan, menggairahkan dan menarik hati. Mungkin pada jadual taktentu reporter lapangan mungkin akan dipanggil untuk mencari berita setiap saat; siang atau malam. Semua situasi dan semua keadaan dapat bermanfaat karena setiap hari reporter lapangan memiliki kesempatan untuk bertemu orang yang berbeda dari semua lapisan masyarakat: petugas pemadam kebakaran, polisi, pejabat pemerintah, seniman, dan orang-orang sehari-hari.
Wartawan mempunyai tugas yang mulia untuk perubahan sosial.
Senin, 23 Mei 2016
Opini: 'Lampung Post' dan Keberaksaraan Berkesenian
Iswadi Pratama
August 16, 2008
SAYA
tidak mengerti bagaimana harus memastikan peran penting Lampung Post
bagi perkembangan dunia kesenian (kebudayaan) di Lampung selain
membangun tradisi keberaksaraan di kalangan seniman maupun publik seni
di daerah ini, baik pada masa 34 tahun yang telah dilalui maupun pada
masa mendatang.
Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.
Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.
Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.
Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.
Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.
Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.
Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.
Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.
Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.
Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.
Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.
Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?
Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.
Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.
Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.
Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.
Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.
Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!
Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n
* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008
Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.
Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.
Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.
Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.
Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.
Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.
Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.
Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.
Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.
Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.
Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.
Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?
Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.
Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.
Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.
Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.
Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.
Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!
Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n
* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008
Sabtu, 27 Februari 2016
Ketegangan Demokrasi
Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan
budaya
KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta
beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap
rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’
dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk
tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan
demokrasi memang harus ada voting right,
liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua
kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada
pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya,
kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment,
“asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya
adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga
harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di
situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan
keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi
kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia
terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan.
Artinya, semakin ia menghendaki
kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi
pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling
membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa
bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang
gila!”
Filosofinya—saling
membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan
lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu
dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan
sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba
oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan
sebagainya.
Di alam maju
dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham
politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal
semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing.
Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi.
Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri
atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia
menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat
berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang
banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan
(katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek
kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup
oligarki.
Barangkali
ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang
mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik
dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan
rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya)
demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara
tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan
kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang
dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang
digandrungi manusia.
Memang kita
harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang
melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa,
perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan
barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia
seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam
memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat
Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan
dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan
itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati
di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam.
Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau
moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah
persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan
catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada
negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana
teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia
kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal
memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana
dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem
demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang
digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi
kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari
bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal,
sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan
ini.
Tetapi, bangsa
ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah
oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum
politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam
demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan
pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung),
presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga
dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara
Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu,
memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam
pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili
rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong,
jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan
dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih
sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok
untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan
Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua
program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum
pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi
negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai
abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti
memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15
tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun
waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun.
Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu.
Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas
seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga
karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan
masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi
ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya
banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan
justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank
Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur,
bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa
batas waktu.
Itulah multi
tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak
persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi
untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga
penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)
Aku Adalah Catatan-Catatan
Oleh Naim Emel
Prahana
SANGAT beralasan,
jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu,
jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau
nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan
nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang
lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan
cucunya.
Masihkah ingatan
kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale
depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa
yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan
terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada
mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.
Lalu, bagaimana
kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di
semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti
film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan
bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang
dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.
Kalau seorang
pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya
jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia
akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam
status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia
masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan
hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan
kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.
Tapi, ia menyesal
karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan
setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau
dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan
sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu
melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.
Sehingga tidak
dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak
bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang
tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang
lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau
dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau
yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui
oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).
Jadi, aku adalah
catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang
lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat
dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik,
psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis
‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku.
Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah
kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam
kebutuhan dan kepentingan-ku.
Catatan yang paling
orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis
seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di
antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula
tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau
kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian
rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa
yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.
Yang ada di balik
catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga
tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik
pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi,
dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan
pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau
bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam
kehidupan itu.
Kehidupan seseorang
sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain
hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan
kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari
perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika
seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan
dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong
semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.
Banyak pledoi
(pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan
kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan
santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme
pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang
sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan
kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.
Pada kenyataannya
materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau
format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi
itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram,
sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas
segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup
masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format
kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan
mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan
santun dan berakhlak.
Keinginan untuk
menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan
di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’
untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan
publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan
oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai
sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami
dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk
ambisi popularitas nama belaka (predikat).
Yang tentunya,
tidak ada jaminan kuatm, bahwa hal itu
akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara
lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan
sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar
kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada
realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.
Pemberantasan dan Proyek Narkoba
Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati
masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik
SUATU malam di kota Palembang, aku
dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma
Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ
cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab
temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang
mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.
Warning demikian bukan
hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku,
kalau peringatan (warning) demikian,
gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti
masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya
ekstasi) sudah bukan hal yang baru.
Namun, walau demikian tetap
saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan
penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas.
Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini
sampai sekarang.
Banyak komentar merespon
maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai
negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu
negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok
tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.
Rasanya, pemberantasan
narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi
dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti
Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando
presiden. Tapi, definisi action
(aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata
aksi itu.
Banyak dari kita
(masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi
“apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan
sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan
penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat
banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi
pekerjaan rumah bangsa ini.
Dua Undang-Undang tentang Narkotika
dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian
lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika
Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika
Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.
Keberhasilan selama ini,
kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan
mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena.
Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah
berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan
narkoba tadi?
Di negara ini, kita sering
berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah
hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum
melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya,
sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan
kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan
cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr
mencapai target penjualan narkoba.
Pada bagian lain, kita
akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba.
Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu
sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan
belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.
Hal itu, barangkali wajar.
Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah
berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar
dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks,
memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja
siap pakai atau siap edar.
Dari sekian tersangka yang
kelasnya masih ‘teri’ yang
digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak
berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar
dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang
ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang
diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong
(bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu
tersangka jarang berada di dalam LP.
Masih segar ingatan kita
kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang
karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya
yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah
butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.
Bagaimana dengan keputusan
PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5
tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada
masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba
berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah
pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?
“Cuma (kalau tidak lupa) 3
tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana
dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang
ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca:
setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba
secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya
begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di
Jl Soekarno Hatta.
Logikanya, kalau ½ butir
hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah,
kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900
tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari,
kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah
arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang
dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang
sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.
Penanganan proses kasus
narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada
penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah
pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan
status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa
dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.
Sudah barang tentu, kita
tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang
lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada
gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan
distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar
dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di
rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan
hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu
saja.
Soal uang, soal kesenangan,
soal kesejahteraan sampai soal dopping
bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang.
Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan
materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka
narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara
surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya)
semua serba terasa dan indah.
Kalau sudah demikian, maka
sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena
disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang
berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP!
Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!
Minggu, 07 Februari 2016
Pidana Politik Dalam Sinetron Klasik Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana
ANDAIKAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
terkejut mendengar putusan majelis hakim tentang vonis terhadap Gayus ’makelar’
Tambunan dengan pidana 7 tahun dan denda Rp 350 juta. Maka, hampir seluruh
rakyat Indonesia tidak terkejut sama sekali. Sebab, sudah lama diduga akan
berakhir seperti itu, walau masih banyak kasus Gayus lainnya menunggu giliran
diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia bak serial sinetron.
Seagai pemeran utama dalam film drama hukum, Gayus Tambunan merupakan
pemain kontroversial. Karena naskah drama yang ditulis sutradaranya atau
penulis naskahnya banyak yang tidak sesuai dengan adegan-adegan yang diputar
selama proses penyidikan dan proses persidangan kasus makelar pajak itu.
Sebagai pemain utama, Gayus patut diacung jempol. Penampilannya yang dingin,
ceria dan lincah memaksa banyak pemirsa mematikan chanel televisinya ketika
sinetron Gayus Tambunan diputar.
Film sinetron Gayus mengandung item-item keuangan negara itu, mampu
menghipnotiskan ratusan juta rakyat Indonesia dengan jumlah uang yang ia
peroleh serta jumlah aset Gayus yang tersebar di banyak tempat dengan aneka
ragam usahanya. Nilainya ratusan miliar rupiah. Bukankah nilai yang sangat
fantastis untuk PNS golongan III seperti Gayus itu?
Namun, dalam sinetron atau film di Indonesia, tidak ada yang kontroversial,
semua bisa dibuat sedemikian rupa. Walaupun tidak didukung oleh teknis
pembuatan film yang memadai. Artinya masih kasar betul. Akan tetapi, cara
melakukan perbuatan yang kasat mata itu pun tidak mampu dideteksi secara baik
oleh sistem penegakan hukum Indonesia dan tidak mampu diterjemahkan ke dalam
ranah hukum secara murni oleh aparat penegak hukum.
Film sinetron Gayus itu mempunyai durasi yang cukup panjang dan melelahkan
bagi pemirsa yang menontonnya. Pasalnya, Gayus begitu hebat tampil di depan
publik sebagai ciri-ciri orang yang mempunyai uang banyak. Kita dapat melihat
sosok yang sama seperti yang ditampilkan oleh Anggodo Widjaya, Arthalina
Suryani alias Ayin, Aulia Pohan (besan SBY) dan kasus hukum lainnya yang punya
nilai tersendiri dalam kancah penegakan hukum di Indonesia.
Sangat beralasan jika banyak yang mengusulkan secara bercanda, agar Gayus
Tambunan diangkat saja menjadi salah satu Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu
ke II atau ke III. Dengan diangkat Gayus sebagai Menteri, maka diproyeksikan
Gayus mampu menggali potensi pajak. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Dan, sinetron Gayus Tambunan pasti akan berakhir, sebgaimana kasus Bank
Century—yang untuk diperbincangkan saja di tingkat Pansus DPR-RI sudah menelan
biaya sekitar seratus miliar rupiah.
Prototype Gays di depan publik, lagi-lagi luar
biasa. Dengan gagah dan tegar, sorot matanya tajam menatap para aparat penegak
hukum dan siapa saja yang ditatapnya menunjukkan bahwa Gayus sudah mampu
membaca proses penegakan hukum di Indonesia. Artinya ia mampu melihat, semua
kasus akan bisa diakhir dengan uang dan politik ”adu domba”.
Tim juri lomba sinetron ketika menilai serial
sinetron Gayus Tambunan masing-masing terpana melihat alur cerita sinetron
Gayus itu. Apalagi ketika dihadapkan dengan Gayus Tambunan. Deretan bayangan
uang miliaran rupiah di sekeling Gayus membuat tim juri (aparat penegak hukum)
silau. Sulit mengeluarkan kata-kata hati hukumnya, sulit mengatakan kebenaran
yang seadil-adilnya, sulit untuk memutuskan sanksi apa yang harus diberikan
kepada pemeran utama sinetron Gayus Tambunan itu. ”Berharap, berharap, berharap
dan banyak berharap!” kepada Gayus.
Gayus sudah pasti menjadi pahlawan bagi para
koruptor di Indonesia, terutama yang belum tersentuh oleh sentilan hukum. Dan,
Gayss pun mampu mengobok-obok ranah politik. Ia mampu memainkan peran sebagai
gladiator politik dan kemampuannya untuk memasukkan kasus hukumnya ke dalam
ranah politik. Bukankah itu luar biasa? Gayus sudah menjadi milyader baru di
Indonesia, tanpa berusaha keras ternyata orang Indonesia mampu mengeruk
keuntungan luar biasa. Itulah Gayus dan Gayus lainnya di Indonesia.
Mungkinkah sinetron hukum Gayus Tambunan akan
memperoleh award diajang film Internasional? Yang mampu membuktikan bahwa
Indonesia benar-benar negara terkorup di dunia dan hukumnya dapat diatur
sedemikian rupa, yang penting ada uang. Maka, vonis 7 tahun bagi pemeran utama
kasus ”makelar kasus” Gayus Tambunan tidak ada artinya jika dibandingkan harta
kekayaan Gayus yang gemah ripah loh
jinawi itu.
Jika ia ke luar dari pemnjara, maka Gayus tetap berleha-leha. Ia akan
mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif tahun 2014, atau ia akan menjadi
calon gubernur suatu daerah miskin di Indonesia atau belum ke luar dari penjara
ia suah ditawari kedudukan sebagai staf akhli presiden SBY. Di Indonesia tidak
ada yang tidak bisa diatur.
Aktor Sang Aktor GayusT
Oleh Naim Emel Prahana*
SANG Aktor terpopuler sepanjang tahun
2010 sampai sekarang tidak ada pilihan lain, kecuali jatuh ke sosok Gayus
Tambunan. PNS yang bekerja di Ditjen Pajak di Jakarta yang mampu menambah
kemelut dan krisis perekonomian dan politik maupun penegakan hukum di
Indonesia. Sejauhmana
kehebatan Gayus Tambunan (GayusT) di antara 250 juta penduduk negeri ini?
Sebagai seorang aktor dalam film Markus. GayusT bukan hanya aktor berdarah
dingin, tetapi ia juga mampu bertindak sebagai aktor yang memainkan peran
politik di tengah kasus-kasus hukum yang melilitnya, bahkan melibatkan para
tokoh untuk berdiri di belakangnya. Tidak banyak resep yang dipakai GayusT.
Simple, sederhana dan psikologis.
Pengalaman GayusT ketika filmnya diputar di Pengadilan Negeri Tangerang
(PN) membuatnya lebih pintar 100 X dari potensi dasar yang ada dalam diri
GayusT. Ia memungsikan semua otaknya, kiri dan kanan berfungsi dengan baik.
Semuanya terbangkit ketika ia mampu mengeruk keuntungan luar biasa dari
statusnya sebagai mediator alias makelar kasus (Markus).
Kemudian, GayusT berupaya, berusaha dan nyatanya berhasil menyuap hakim di
PN Tangerang dan ia lolos. Rangakaian penyuapannya, tidak hanya di majelis
hakim PN Tangerang, akan tetapi ia meruntuhkan idealisme beberapa polisi di
Mabes Polri Jakarta. Semuanya berhasil dengan baik. GayusT kembali beroperasi
tanpa gangguan apapun. Sebab prinsip pemeliharaan orang miskin di Mabes Polri
menjadikan ia lebih didominasi oleh karakter penjahat ’koruptor’ kelas
megametropolis.
Sang aktor GayusT telah merubah perjalanan penegakan hukum di Indonesia.
Kendati secara sepakat nasional pembuktian terbalik dalam penegakan hukum sudah
mulai diterapkan. Namun, GayusT menjadi tokoh dalam sinetro berjudul ”Hukum
Pidana Indonesia”. Siapa sutradaranya, siapa editornya, siapa pengisi suaranya,
siapa dan siapa di balik melankolisnya penegakan hukum di Indonesia.
Memang berbeda antara aktor dengan figuran. Bukan hanya soal honor, tetapi
pelayanan pun begitu berbeda, sampai-sampai penampilan karakter sang aktor
dengan figuran. Jauh-jauh sekali berbeda. Perbedaan terakhir terjadi, manakala
vonis majelis hakim terhadap sang aktor yang memiliki harta kekayaan mencapai
ratusan miliar dengan figuran yang hanya memiliki gubuk reyot dengan susah
payahnya mencari makan dan minum.
Itu suatu kewajaran. Di mana jika kita punya kedudukan atau harta benda
yang melimpah, apapun bisa dilakukan. Apapun dapat dijungkir balikkan dengan
polesan para pemburu harta kekayaan yang mungkin terdiri dari jaksa, hakim,
pengacara atau siapa sih yang ada di belakang sang aktor. Apakah benar seorang
sutradara kaliber kelas internasional? Semua bisa terjadi di sini, jangan
heran. Seorang bupati saja yang jelas-jelas sudah ditetapkansebagai tersangka,
kemudian dinaikkan grid statusnya menjadi terdakwa, kemudian dinonaktifkan oleh
Mendagri dari jabatannya. Itu pun masih dapay merlolooskan diri dengan
terbahak-bahak sambil menginjhak-injak KUHP dan hukum lainnya. Atau seorang
tokoh swastawan yang memiliki harta kekayaan yang banyak, royal kepada
siapapun, juga mampu menjungkir-balikkan ’korban’nya. Padahal, korbannya itu
yang harus dimenangkan oleh pengadilan. Tapi, apa yang tidak bisa dijungkir-balikkan
di Indoensia.
Sang aktor rupanya berkaitan dengan banyak pimpinan Nasional, sampai-sampai
heboh vonis 7 tahun diupayakan untuk pengalihan perhatian publik dengan 7 tahun
gaji presiden tidak naik-naik!!
Sayang memang, kenapa sistem penjajahan masih dianut di Indonesia. Media
dunia maya yang telah mendongkrak populeritas teraniayai korban Rumah Sakit
Internasional OMNI via facebook. Ternyata, kini sudah mampu dihadang oleh
penguasa dan pengusaha. Sehingga teriakan-terikan seperti ”Kami Tidak Setuju
Aset Negara Dijual Kepada Asing”, atau ’Raport SBY yang Selalu Merah” dan
seterusnya itu, sekarang hanyalah ocehan belaka. Tidak ada makna, gaung atau
perhatian dari sipapaun, selain jadi guyonan
antar facebookers.
Populer dengan cara tidak populer belakangan ini sering menjadi acuan
oknum-oknum yang tidak mempunyai jiwa nasionalisme yang kental. Tidak pernah
menyanyikan lagu Indonesia Raya, kecuali menghitung uang dan harta kekayaan
dengan para kroni, sindikat dan depcolectornya.
Jika sang aktor GayusT dengan timbunan pidana yang luar biasa hanya divonis
7 tahun. Niscaya Gayus-GayusT lainnya akan muncul dan akan menjadi berani lebih
berani lagi. Sebab, mereka akan beralasan, bahwa GayusT yang kesalahannya
mencakup Sabang sampai Merauke, kenapa kami tidak bolh melakukan hal yang sama?
Itulah yang disebut dengan preseden buruk vonis terhadap sang aktor GayusT.
Hal itu akan berbeda dengan vonis pencuri sendal jepit yang rata-rata di
atas 12 bulan. Padahal, harga sebuah sendal jepit, atau seekor ayam, sebuah
semangka, satu tandan pisang atau satu langkah memasuki ruah pengusaha bagi
rakyat kecil. Pasti dan pasti vonisnya akan lebih berat daripada sang aktor
GayusT.
Aktor lainnya dalam dunia film atau sinetron, juga sama dengan sang aktor
GayusT. Masalah narkoba, hukumannya hanya beberapa bulan. Paahal, jika seorang
penganggur yang mengedarkan 1 butir ineks, hukumannya bisa 18 bulan.
Astaqfirullahal adzim.
Hukum pidana untuk sang aktor ternyata lebih manusiawi dibandingkan dengan
hukum pidana untuk para figuran (rakyat biasa). Di mana letak perbedaaannya?
Ya, tentu ada pada banyak atau tidaknya harta kekayaan yang dimiliki para
pemain sinetron itu. Sendiri. Jika kita tak punya harta benda yang bisa
dibagi-bagikan pada saat terlilit kasus, maka janganlah membuat langkah-langkah
yang menjadi jebakan untuk memasuki pintu penjara. Tapi, jangan takut penjara
atau sekarang namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas), sudah bukan rumah yang
menakutkan. Tetapi menjadi rumah yang menyenangkan. Kapan mau ke luar, berikan
uang, kapan mau berdagang narkoba, banyak-banyaklah upeti dengan petugas LP
atau kalau mau kabur, tinggal atur waktunya dengan penjaga LP. Lengkap kan peranan sang aktor
dalam penegakan hukum di Indonesia? . (penulis
penikmat masalah sosial dan budaya)
“Sumpah Timah dan Air Panas” Syirik Modern Terkutuk
Oleh Naim Emel Prahana
BILA dikatakan sekarang manusia semakin maju, berpikir dan berkehidupan.
Ternyata benar! Tetapi, di balik kemajuan yang dicapai itu, ternyata manusia
disaat ini semakin mundur pola pikirkannya tentang kehidupan itu sendiri. Sudah
tahu tetapi pura-pura tidak tahu, sudah beragama tetapi msih berbuat dosa dan
melanggar norma-norma agama. Yang terdekat yang sering dilakukan adalah
perbuatan syirik, pengkianatan terhadap hati nurani, pengingkaran janji dan
sumpah. Dan, melawan kodrat alam, termasuk merekayasa firman-firman Allah dan
sunah-sunah Rasul-Nya.
Sebenarnya kita tidak bingung menghadapi fenomena demikian. Membaca dan
mehamai Alquran telah memberikan petunjuk kepada kita tentang mbalelonya
manusia, pengkhianatan, pengingkaran dan perekayasaan manusia terhadap
perbuatan-perbuatannya. Boleh jadi hal itu terjadi setiap hari di lingkungan
kehidupan kita saat ini. Seorang pejabat yang sudah bergelar haji, bahkan sudah
beberapa kali naik haji menuntaskan pelaksanaan rukun Islam pada dirinya.
Ternyata dengan wajah tanpa dosa, dengan kata-kata tanpa menyesal, masih sering
melakukan sumpah atas nama Tuhan ketika ia membela perbuatan korupsinya,
perbuatan penyelewengan tugasnya dan perbuatan amoral, asosial dan anti
kejujurannya.
Kenap asih masih demikian, sedangkan predikat, status dan harta kekayaan
sudah digenggam semua. Seperti halnya banyak insan pendidikan alias guru yang
berbuat tidak senonoh. Pengertian, pemahaman dan penyadaran diri terhadap
predikatnya sebagai guru, dibuang begitu saja, ketika nasfu birahainya
memuncak. Selalu memerankan tokoh yang antigonis
(berlawanan). Betapa banyaknya seorang guru pria menjalin hubungan gelap dengan
guru perempuan yang diperoleh dengan cara-cara tidak normal, yaitu
menggunakan—meanfaatkan jasa dukun, paranormal ata “orang pinter”.
Semua yang dilakukannya itu, hanya ingin mendapatkan seorang guru wanita
yang sudah punya suami. Astaqfirullahalazim.
Apa yang dikenal sepanjang masa tentang guru adalah orang yang patut—pantas
ditiru, digugu, dirindukan perbuatannya di tengah kehidupan. Ternyata, sekarang
sudah tidak pernah terlihat lagi. Bermain dengan handphone (HP), mengusik
ketentraman keluarga orang lain dengan short mesage service (SMS) yang menggelar-glegar
berisi kata-kata, “say, lagi apa yanng...!”, lalu si guru perempuan yang sudah
punya suami, pada saat di dalam kamarnya, dan suami berada di ruang tamu. Si
guru perempuan itupun menjawab, lagi tidur-tiduran. Maka si guru laki-laki tadi
mengirim lagi sms dengan isinya, “ yo tak bobokin..” atau dengan bahasa dan
kata-kata ABG lainnya.
Tanpa memikirkan akibat, tanpa merasa berdosa mengganggu isteri orang atau
mengganggu suami orang. Kebanyakan insan pendidikan, khususnya di daerah
(bahkan di kota), membuat inovasi baru tentang predikat guru. Dari yang digugu
dan ditiru menjadi diburu dan dicumbu raya. Padahal, mereka telah mengikuti
berbagai jenis pendidikan dan latihan (diklat), mengikuti berbagai pembekalan
dan mengikuti berbagai training, termasuk masalah ESQ dan sebagainya. Pakaian
ibadah sekarang ii bukan lagi merupakan lambang kesucian atau kejujuran dan
kebaikan. Tetapi, sudah menjadi trend pakaian. Hanya trend. Moralitasnya tidak
sebagus busana yang mereka kenakan setiap hari di sekolah atau di tengah
masyarakatnya.
Termasuk juga para PNS, yang di kantor jika datang waktu sholat mereka
sholat, bicaranya sopan dan santun. Tetapi ketika menghadapi musibah seperti
pencurian di kantor. Lalu menggunakan pola pikir atheisme! Pola pikir yang menggunakan jasa dukun untuk menuduh,
menentukan, menetapkan, dan memastikan kepuasan bathin terhadap pencuri di
kantornya. Ketika dikasih saran, kalau benar merasa tidak bersalah dan memang
benar terjadi pencurian. Kenapa tidak pakai sumpah dengan Alquran saja? Lalu ia
menjawab, saya nggak mau, karena nggak pasti. Saya maunya sumpah menggunakan
air panas dan timah panas yang direbus dalam kuali.
“Bagi siapa yang mencuri uang saya, ketika ia celupkan tangannya ke air
panas dan di atas timah panas dalam wajan (kuali) maka tangannya akan melepuh.
Bila itu terjadi, maka dialah si pencurinya!” katanya dengan yakin dan pasti
ajaran dukun itulah yang pasti, bukan janji dan kekusaan Allah SWT. Astaqfiruyllahal azim! Fenomena kekafiran, kesyirikan apa lagi yang
dibuat oleh manusia modern, manusia berstatus pejabat, PNS ata guru dewasa ini?
Mereka semua lupa dan sangat lupa, bahwa dukun, paranoirmal atau orang
pinter tidak akan mampu memberikan rezki kepadanya. Tidak akan mampu memberikan
kehidupan setelah kematian. Tidak akan mampu melindunginya dari musibah,
peristiwa alam dan atau menyembuh penyakit secara permanen. Seorang dukun tidak
akan mampu menyelematankan seseorang dari kecelakaan pesawat terbang atau
kecelakaan tabrakan kendaraan umum yang ditumpangi.
Kenapa? Kenapa karena ingin memuaskan hati, ketika kehilangan uang yang dia
sendiri belum tahu hilangnya di mana, apakah di kantor tempat ia bekerja,
apakah di rumah atau apakah memang ia lupa, bahwa uang yang dikatakan hilang
itu sebenarnya tidak hilang, tetapi sudah dibelanjakan atau memang lupa
disimpan dimana? Kenapa harus menuduh sekian puluh orang pegawai se
kantornya—dengan tuduhan diantara mereka adalah pencuri. Oleh sebab itu,
digunakanlah “sumpah air dan timah panas” sebagaimana diajarkan oleh seorang
dukun.
Seharusnya, sebagai umat beragama, ketika kita mengalami suatu musibah;
katakanlah kehilangan uang. Kita harus istiqfar, kita harus menyadari,
mengevaluasi dan mengoreksi diri tentang apakah harta atau uang yang hilang itu
kita dapat melalui jalur yang benar atau istilahnya kita dapat melalui jalur
panas dan dingin! Sebelum menuduh orang lain, sebaiknya kita membersihkan dulu
hati dan pikiran kita. Hal itu bukan berarti kita tidak percaya dengan hal-hal
yang ghaib sebagaimana Rukun Iman. Percayakepada yang ghaib harus ada pada diri
kita sebagai manusia yang hanya mengabdi kepada Sang Pencipta.
Artinya, kalau kita selalu syirik dalam kehidupan kita, sedikit-sedikit
persoalan lari ke dukun, paranormal atau orang pinter. Tetapi, syirik pribadi
kita itu jangan dibawa ke kantor atau ditularkan ke muka umum (masyarakat).
Sebab, dosa kita tidak bisa dipindahkan ke orang lain, demikian pula
sebaliknya, termasuk pahala kita. Hanya doalah yang dapat memberikan kekuatan
lahir dan bathin dalam kehidupan. Doa itu ditujukan kepada Sang Fatharah.
Melakukan “sumpah timah dan air panas” di dalam wajan adalah perbuatan
syirik, jika itu dilakukan, maka selama 40 hari amal ibadah kita menjadi
blank—tidak diterima oleh Allah SWT. Percuma kita suntuk jungkir balik sholat,
tapi masih melakukan perbuatan syirik!
Minggu, 31 Januari 2016
SLOGAN TEATERIKAL
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi
hukum, budaya dan sosial
Kita sering mendengar obrolan menjurus perdebatan di
warung-warung atau di ruang-ruang kantor pemerintah tentang para pengguna
anggaran enggan menggunakan anggaran
yang sudah disediakan. Alasannya klasik sekali, “sering diperiksa oleh BPKL,
Inspektorat, kepolisian dan kejaksaan!”. Pro kontra obrolan masyarakat itu
sangat wajar dan mereka akhirnya sepakat mengatakan, “kenapa harus takut jika
tidak melakukan penyimpangan dalam penggunaan anggaran di masing-masing satuan
kerja”
Serangkaian obrolan yang akrab di telinga dalam
kehidupan interaksi sosial membuat pikiran menjadi fokus. Di mana, budaya
korupsi tahapan apapun dan berapapun jumlah masih belum bisa disingkirkan dari
mental dan moral aparatur pemerintahan. Kemudian, budaya aparat penegak hukum
yang menjadikan ‘kunjungan’ atau ‘pemeriksaan’ rutin ke suatu daerah yang
menyembunyikan bahwa usai kunjungan – pemeriksaan oleh-olehpun dapat dan temuan
bisa dijadikan lebih bagus dan rapih. Sekedar catatan-catatan yang tidak
menakutkan.
Dan itu, kontras sekali dengan pernyataan-pernyataan
aparat penegak hukum tentang pemberantasan korupsi serta baleho, spanduk, baner
atau himbauan yang isinya “katakan tidak pada korupsi!” Hampir semua kepala
dinas, badan dan instansi memasang publisitas itu di kantor masing-masing.
Tidak berlebihan jika bandingkan dengan plakat yang dipasang ditumpukan sampah,
“Jangan buang sampah sembarangan”. Toh, sampah tetap dibuang sembarangan,
malah di tempat ada papan larangannya menjadi pilihan umum untuk membuang
sampah.
Asumsi-asumsi dari aturan hukum yang ada tentang
korupsi sudah seharusnya masyarakat tidak lagi melihat adanya beraneka ragam
putusan pengadilan atas kasus korupsi di atas nilai Rp 1 miliar. Itu, de yure-nya. Tetapi fakta (de facta) sehari-hari putusan yang
beragam tidak mencerminkan keadilan dan kenyamanan di tengah masyarakat,
berulang terus diproduksi pihak pengadilan.
Salah satu dampaknya adalah satu kasus korupsi yang
menyeret pejabat tinggi, pejabat daerah, pengusaha dan koleganya memakan waktu
cukup lama dan memberikan bias kepada masyarakat tentang tidak mampunya aparat
penegak hukum melakukan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya seperti
diamanatkan oleh undang-undang.
Apakah mungkin para hakim di penagdilan negeri,
pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjalankan hukum positif Indonesia
sebagai like and dislike. Atau bahkan
lebih ekstrim lagi dipandang sebagai PAD – istilah presiden Joko Widodo
kasus-kasusnya dijadikan ATM. Hanya para hakim – jaksa dan penydik polisilah
yang mengetahui kebenaran asumsi-asumsi yang berkembang nyata di masyarakat.
Apalagi sekarang intuisi Polisi, Kejaksaan,
Pengadilan sampai Mahkamah Agung bisa-bisa sampai di tangan presiden sangat
tertutup terhadap proses peradilan atau upaya hukum yang ditentukan boleh
dilakukan pihak-pihak berperkara. Akses informasi yang sudah dinyatakan harus
terbuka, ternyata sangat tertutup. Kontrol sosial terhadap proses penegakan
hukum akhirnya berjalan sesuai keinginan masing-masing. Termasuk kontrol sosial
yang seharusnya baik dan benar oleh media massa. Harus mengakui kekuatan dan
kekuasaan lembaga penegakan hukum di Indonersia.
Menulis atau berteriak tentang pasal-pasal hukum dari
kitab hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah belum cukup menyadarkan pihak penegak hukum, untuk menyadari betapa
kuatnya ikatan lahir bathin mereka kepada
masyarakat umum.
Kalaborasi kelompok penguasa – masyarakat yang
berkuasa sangat terasa menjadi salah satu hambatan untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran hukum yang sesuai dengan kenyamanan yang harus didapatkan
masyarakat umum.
Kalaborasi di situ tidak terbatas dengan status,
tetapi ia diikatkan oleh kepentingan materi – itulah dalil umum tentang
korupsi. Korupsi memang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, ia tidak
hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, pejabat, pengusaha dan kaum the have (orang kaya).
Tetapi, korupsi sudah menjalar bak gurita
mencengkramkan semua aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan rumah tangga
(keluarga), organisasi-organisasi di tingkat pelajar sampai mahasiswa dan
alumninya. Dari LSM ‘ecek-ecek’ sampai organisasi profesi yang multinasional,
seperti halnya juga organisasi pers yang diasumsikan sebagai lembaga kontrol
sosial paling vokal, jujur dan terkontrol.
Kasus-kasus korupsi yang besar semakin ramai
dibicarakan di media massa semakin banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari
publikasinya, termasuk kasus yang menimpa kalangan artis dari kejahatan
narkoba, perkawinan dan perceraian sampai kasus prostitusinya. Tidak dapat
disebutkan satu per satu – menunjukkan betapa merebak dan membudayanya korupsi
di masyarakat Indonesia.
Jadi, korupsinya sudah masif dan terstruktur dengan
baik seperti tender proyek setiap tahunnya selalu ditandai dengan korupsi -
misalnya setoran 15 sampai 20 persen yang tidak ada sama sekali peraturan
mengharuskan rekanan membayar uang setoran tersebut. Faktanya sangat jelas.
Kasus BLBI, Bank Century, Kompleks olahraga Hambalang,
PON di Palembang, korupsi di Migas – Pertamina, dana haji dan pilkada serta
lainnya yang sekarang masih digulirkan – dihadirkan di tengah masyarakat oleh
Bareskrim, KPK, Kejaksaan semuanya berlatar belakang drama serial yang
ditampilkan di atas panggung dengan teaterikal sangat menarik perhatian
masyarakat.
Belum lagi kasus pembahasan dan pengesahan UU, Perda
di daerah – semuanya bermuatan korupsi dengan setoran dari eksekutif ke
legislatif tujuannya agar pengesahannya berjalan dengan baik. Termasuk proyek-proyek
besar yang diusulkan – diperjuangkan anggota DPR-RI patut dicurigai sebagai
gratifikasi mengarah kepada korupsi berjamaah.
Logika tololnya, jika pejabat dan PNS tidak melakukan
korupsi – apa mungkin seorang pejabat kelas daerah kabupaten/kota mampu membeli
mobil-mobil seharga di atas Rp 200 juta hanya hitungan bulan? Kecuali mereka
dapat warisan orangtua yang jumlahnya miliaran rupiah. “Apa mungkin 90 persen
pejabat di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah itu mendapatkan warisan
harta kekayaan orangtua yang jumlahnya besar?”
Fungsi LHKP – tentang kekayaan seorang pejabat bisa
dipercayai 100 persen seperti tertera dalam laporannya? Jauhlah panggang dari
api. Tetapi, apa sanksinya, tidak ada. Hanya kegaduhan politik sesaat.
Adalah menarik untuk disimak rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang
tunggakan kasus tindak pidana korupsi terbesar semester pertama 2015 di 10
Kejaksaan Tinggi. Disebutkan, Kejati
Jawa Timur menunggak 65 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 269,1
miliar. Disusul tunggakan Kejati Sulawesi Selatan sebanyak 56 kasus kerugian
negaranya mencapai Rp 97,1 miliar sebagaimana dikatakan Peneliti dan Divisi
Investigasi ICW, Wana Alamsyah Sabtu (17/10/2015) lalu.
Kejati Sumatera Utara menempati urutan keempat dengan
51 kasus kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, Kejati Jawa Barat menunggak
46 kasus dengan kerugian negara capai Rp 325,5 miliar. Lalu, Kejati Nangroe
Aceh Darussalam (NAD) 46 kasus kerugian negara mencapai Rp 338,9 miliar.
Disusul Kejati Riau 45 kasus (Rp 1,5 triliun), Kejati NTT 40 kasus (Rp 609,2
miliar), Kejati Jambi 39 kasus (Rp 64,5 miliar), Kejati Maluku 34 kasus (36,9
miliar) dan Kejati Jawa Tengah 29 kasus dengan kerugian negara ditaksir Rp
111,5 miliar.
Rasanya sudah cukup lama rakyat menjadi penonton
teaterikal panggung korupsi dan sudah selayaknya ada revolusi pemerintahan yang
bersih dan aparat pemerintah yang jujur dan memiliki nilai nasionalis tinggi
untuk tidak meronggrong perekonomian bangsa dan negara.
Administrasi Kependudukan
Oleh Naim Emel Prahana
SETELAH digantinya format dan status Kartu Tanda
Penduduk (KTP) menjadi e-KTP dengan tujuan untuk tidak ada lagi penduduk yang
memiliki KTP ganda. Ternyata, masalah penduduk Indonesia belum juga terdata
pada data base yang akurat dan jelas. Padahal, jika pemerintah memang
berkeinginan untuk mendata penduduknya melalui perangkat pemerintahan sampai ke
RT. Mungkin tidak akan lebih dari dua bulan sudah akurat.
Sensus penduduk yang selama ini digunakan pemerintah untuk membuat database kependudukan masih jauh dari
yang diinginkan. Masalahnya, di mana keruwetan masalah pendataan penduduk itu?
Belum lagi masalah administrasi kependudukan yang tidak menjalankan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
Masih banyaknya calo di kalangan aparat pemerintah, baik di tingkat
kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan menjadi salah satu kendala tertib
administrasi kependudukan sampai saat ini. Seharusnya administrasi pendataan
penduduk harus dimulai dari tingkat RT dan seterusnya ke tingkat
kabupaten/kota. Akan lebih baik, mudah, lancer, akurat dan dengan biaya yang
rendah. Sekali lagi, pemerintah terlihat setengah hati untuk mendata penduduk
melalui tahapan administrasi tersebut.
Sebab, sampai saat ini data penduduk yang digunakan masih dari Badan
Statistik dan Kantor Keluarga Berencana. Kedua badan itu tidak pernah sinkron
berkaitan jumlah penduduk di suatu wilayah. Namun, dalam kegiatan lainnya data
yang tidak akurat itu menjadi pedoman pemerintah seperti pelaksanaan pemilu dan
pemilukada sampai kepada pembuatan (penerbitan) monografi suatu daerah
kabupaten/kota.
Harus diakui kinerja aparat pemerintah bidang administrasi kependudukan
masih sangat rendah dan tidak terpola dengan baik. Hanya menerima apa adanya,
tanpa melalui verifikasi kependudukan yang berdasarkan realitas penduduk di
suatu wilayah.
Jika menyimak UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 28 tahun 2006
tentang Administrasi Kependudukan pasal 14 disebutkan tentang “data perorangan”
penduduk di suatu tempat. Sebanyak 31 item data harus ada pada seorang
penduduk. Membaca pasal 14 UU No 24 tahun 2013 itu, secara mudah, gampang dan
akurasi data penduduk dapat di-database-kan. Kenyataannya belum bias.
Kenapa belum bisa? Pertanyaan itulah yang sulit dijawab akibat pengurusan
administrasi kependudukan banyak yang tidak prosedural. Artinya, banyak proses
– tahapan yang ‘dilompati’ disebabkan banyaknya makelar pengurusan administrasi
kependudukan yang kebanyakan berasal dari PNS yang bertugas di Kelurahan maupun
di Kecamatan.
Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan Kepala Dinas Kependudukan
dan Catatan Sipil. Sang kadis mengakui banyak lurah yang mengurus administrasi
kependudukan warga tanpa melalui proses dan minta langsung ke bagian operator
untuk diterbitkan KK maupun KTP. Jika permohonan ‘makelar’ si lurah atau
pegawai PNSnya itu dikabulkan. Otomatis data kependudukan semakin tidak terdata
baik. Sebab, seharusnya permohonan penerbitan KTP maupun KK dimulai dari surat
keterangan pengurus RT. Data dari RT itulah kemudian diolah dan dinaikkan ke
kantor Disdukcapil.
Sebab banyak data penduduk yang sudah tidak tepat lagi, padahal amanat
pasal 14 itu jelas tentang “alamat sebelumnya dan alamat tinggal sekarang”.
Jadi, penduduk yang pindah ke tempat lain dalam satu kabupaten/kota secara
permanen, ternyata masih tetap beralamat di alamat sebelumnya. Tempat tinggal
barunya tidak terdata akibat proses penerbitan KTP atau KK yang melompati
tahapan proses yang dibenarkan oleh UU No 24 tahun 2013.
Masalah tersebut adalah satu dari sekian masalah pencatatan penduduk yang
semakin semberawut berpotensi – dampaknya akan lebih rumit seperti data riil
penduduk di suatu daerah, daftar mata pilih, dan lain sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)