Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Jumat, 02 September 2016

Ini Dia 8 Tugas Wajib Wartawan

Ini Dia 8 Tugas Wajib Wartawan Ilustrasi (klenskeink.com)Kamis, 27 Desember 2012 18:35 WIB | Anugerah Perkasa/JIBI/Bisnis Kedua adalah sense maker yakni menerangkan apakah informasi itu masuk akal atau tidak. Tugas ketiga, investigator yakni wartawan harus terus mengawasi kekuasaan dan membongkar kejahatan.
Keempat adalah witness bearer yakni kejadian-kejadian tertentu harus diteliti dan dipantau kembali dan dapat bekerja sama dengan reporter warga. Adapun tugas kelima adalah empowerer yakni saling melakukan pemberdayaan antara wartawan dan warga untuk menghasilkan dialog yang terus-menerus pada keduanya.
Keenam adalah smart aggregator yakni wartawan cerdas harus berbagi sumber berita yang bisa diandalkan, laporan-laporan yang mencerahkan, bukan hanya karya wartawan itu sendiri. Ketujuh adalah forum organizer yakni organisasi berita, baik lama dan baru, dapat berfungsi sebagai alun-alun di mana warga bisa memantau suara dari semua pihak, tak hanya kelompok mereka sendiri.
Adapun tugas kedelapan, role model, yakni tak hanya bagaimana karya dan bagaimana cara wartawan menghasilkan karya tersebut, namun juga tingkah laku wartawan masuk dalam ranah publik untuk dijadikan contoh.
Buku karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Pantau bekerja sama dengan Dewan Pers dan diluncurkan di Jakarta, Kamis (27/12/2012).
Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau, menilai lanskap media sekarang berubah. “Internet praktis menghancurkan peranan ruang redaksi sebagai penjaga gerbang informasi,” kata Andreas dalam diskusi tersebut, Kamis (27/12/2012). “Namun teknologi internet tak mengubah makna tentang keperluan informasi yang bermutu agar masyarakat bisa mengambil keputusan substansial.”
Leo Batubara, salah satu wartawan senior dan mantan pengurus Dewan Pers, mengatakan pada akhirnya ‘pemenang pertandingan’ dalam industri media adalah pihak yang taat terhadap kode etik, sepuluh elemen jurnalisme serta delapan fungsi wartawan seperti yang ditulis dalam buku Blur tersebut. Dia memaparkan di mana pun seorang wartawan bekerja, ketiga hal tersebut menjadi sangat penting untuk ditaati.
Endy Bayuni, salah seorang wartawan senior lainnya, mengatakan hal yang seringkali dilupakan adalah melakukan cek dan ricek karena siaran berita yang lebih didahulukan. “Cek dan ricek diabaikan, yang penting tulis saja dulu, post saja dulu. Respons dari pihak lainnya mungkin akan datang dalam 1-2 jam kemudian.”
Diskusi itu dibuka oleh Ketua Dewan Pers Bagir Manan, dan menghadirkan pembicara lainnya yakni Petty S Fatimah, Pemimpin Redaksi Majalah Femina. Kegiatan itu tak hanya dihadiri oleh wartawan, namun juga praktisi di bidang hubungan masyarakat.

Tugas Utama Seorang Wartawan

by Suara Komunitas
Tugas dari seorang wartawan adalah reporting. Reporting adalah bentuk pelaporan yang memerlukan kemampuan untuk melaporkan dan menulis tentang berbagai topik. Wartawan melakukan pelaporan dalam berbagai outlet berita, seperti surat kabar, stasiun televisi berita, dan stasiun radio berita, dimana tugasnya mengumpulkan berita.
Jenis-jenis berita yang diliput wartawan adalah: sisi manusia, kejahatan, atau apa pun yang menarik untuk diceritakan. Peran seorang wartawan sangat penting untuk keberhasilan sebuah organisasi berita. Tanpa wartawan tugas berita akan sulit direalisasikan untuk menjadi sebuah cerita yang faktual.
Dalam media berita, tugas pemberitaan dilakukan oleh wartawan pemula atau wartawan dengan masa kerja kurang dari lima tahun pengalaman. Pada staf surat kabar, wartawan itu meliput dan melaporkan tiga atau lebih berita dalam sehari. Lalu dilanjutkan dengan pelaporan yang membutuhkan fleksibilitas dan kesabaran. Selama pergantian shift, seorang wartawan dapat melaporkan misalnya, kebakaran di pagi hari dan kemudian acara sekolah di sore hari. Namun saat ini, beberapa laporan berita dilakukan oleh wartawan freelance sebagai bentuk rasionalisasi atau pengurangan staf surat kabar.
Di televisi, pelaporan dilakukan oleh wartawan secara on-air. Seperti wartawan surat kabar, wartawan televisi harus memiliki kemampuan untuk melaporkan berbagai topik. Secara umum, semua wartawan berita televisi lokal dianggap wartawan pemula. Seorang wartawan televisi biasanya melaporkan tentang satu cerita per hari, tapi perubahan subyek berita selalu berubah. Seperti di televisi, wartawan radio jauh lebih banyak tugasnya mencakup berbagai berita dan tugas penyiaran.
Menjadi wartawan lapangan yang efektif umum membutuhkan berbagai kemampuan terutama mengenai pengetahuan umum. Tidak seperti pelaporan utama, pelaporan tugas lapangan tidak memerlukan wartawan untuk menjadi ahli di bidang tertentu atau pada topik tertentu. Wartawan lapangan yang paling umum bisa berasal dari berbagai gelar sarjana atau gelar jurnalistik dari universitas. Sebuah gelar sarjana, bukan persyaratan untuk masuk ke jurnalisme atau pelaporan lapangan. Namun, keterampilan dasar seorang reporter lapangan adalah rasa ingin tahu, antusias, dan kemampuan untuk memenuhi tenggat waktu.
Menjadi seorang reporter lapangan bukan sebuah karir yang buntu. Mayoritas kepala editor, editor pengelola , dan direktur berita memulai karir mereka sebagai reporter lapangan. Posisi ini adalah langkah pertama pada tangga keberhasilan dalam jurnalisme. Setelah membuktikan diri mereka dalam peran ini, beberapa wartawan dipromosikan ke posisi wartawan senior.
Sebagai seorang reporter lapangan sangat menyenangkan, menggairahkan dan menarik hati. Mungkin pada jadual taktentu reporter lapangan mungkin akan dipanggil untuk mencari berita setiap saat; siang atau malam. Semua situasi dan semua keadaan dapat bermanfaat karena setiap hari reporter lapangan memiliki kesempatan untuk bertemu orang yang berbeda dari semua lapisan masyarakat: petugas pemadam kebakaran, polisi, pejabat pemerintah, seniman, dan orang-orang sehari-hari.
Wartawan mempunyai tugas yang mulia untuk perubahan sosial.

Senin, 23 Mei 2016

Opini: 'Lampung Post' dan Keberaksaraan Berkesenian

 Iswadi Pratama

August 16, 2008

SAYA tidak mengerti bagaimana harus memastikan peran penting Lampung Post bagi perkembangan dunia kesenian (kebudayaan) di Lampung selain membangun tradisi keberaksaraan di kalangan seniman maupun publik seni di daerah ini, baik pada masa 34 tahun yang telah dilalui maupun pada masa mendatang.

Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.

Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.

Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.

Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.

Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.

Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.

Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.

Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.

Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.

Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.

Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.

Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?

Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.

Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.

Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.

Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.

Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.

Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!

Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n

* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008

Sabtu, 27 Februari 2016

Ketegangan Demokrasi



Oleh Naim Emel Prahana
penulis pelaku sosial dan budaya

KETIKA Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mengunjungi barak-barak pengungsi letusan Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta beberapa hari lalu. SBY mengatakan, pemerintah mempunyai hak pemaksaan terhadap rakyat, untuk menyelamatkan jiwa rakyat. Yang ditekankan oleh SBY ’pemaksaan’ dalam arti positif. Presiden Indonesia itu menegaskan kata-kata demikian untuk tidak menimbulkan multi tafsir tentang kata ’paksa’.
Terlepas dari semua itu, alam dan tradisi kehidupan demokrasi memang harus ada voting right, liberty of speech, freedom realizes, freedom works and as it. Semua kebebasan tersebut mempunyai jalur masing-masing. Dengan adanya jalur, maka ada pula batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya, kalau mengutip salah satu motto penyiar televisi pada acara entertainment, “asal usul”. Maka dikatakan, boleh usul, tapi jangan asalan.
Predikat bangsa yang berbudaya, salah satu karakternya adalah bagaimana memahami kepentingan orang lain. Kepentingan orang lain, juga harus memperhatikan kepentingan orang lain yang ‘lain’ pula. Ketika sampai di situ, itulah yang dinamakan hubungan harmonis, saling menghargai pendapat dan keberadaan sesama. Silakan merumuskannya. Yang pasti, secara substansi kebebasan (freedom) bukanlah sesuatu yang tanpa batas.
Semakin orang menginginkan kebebasannya, maka semakin ia terbentur dengan ketentuan-ketentuan, termasuk nilai-nilai alam dan lingkungan. Artinya, semakin ia menghendaki kebebasan, maka semakin ia tidak bebas. Sesampai di halte demikian akan terjadi pemahaman tentang manusia itu hidup berkelompok. Satu sama lain saling membutuhkan.Jika ada manusia yang ngotot (bersikeras) untuk hidup bebas tanpa bantuan orang lain. Maka, ia positif dianggap oleh orang lain sebagai ”orang gila!”
Filosofinya—saling membutuhkan satu dengan lainnya, saling memberi dan menerima satu dengan lainnya itu tidak identik dengan saling memeras atau saling memanfaatkan satu dengan lainnya. Kehidupan sosial bukanlah kehidupan politik. Karena, kehidupan sosial itu merupakan kenyataan riil yang bisa dilihat oleh mata. Bisa diraba oleh rasa, bisa didengar oleh telinga, bisa dinikmati oleh lidah dan sebagainya.
Di alam maju dewasa ini, setiap orang mempunyai taktik dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi, taktik dan strategi itu bukan dimaksudkan sebagaimana paham politik yang menghalalkan semua cara. Artinya, haram ya halal, apalagi halal semakin dihalalkan. Walaupun semuanya memiliki latar belakang masing-masing. Akan tetapi latar belakang yang demikian sudah pasti karena kebutuhan materi. Masalah materi yang sering membuat orang lupa diri, bahkan lupa saudara sendiri atau anak kandung dan isteri sendiri.
Ketika manusia menghadapi konflik kebutuhan dengan situasi dan kondisi yang begitu cepat berubah dan kelompok masyarakat kapital akan menguasai hajat hidup orang banyak. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka dengan kekayaan (katakanlah bahasa sempitnya, uang), akan menguasai seluruh aspek-aspek kehidupan masyarakat. Termasuk para elite politik yang menjalankan pola hidup oligarki.
Barangkali ukuran sukses telah bergeser. Sebab, sukses dimaksud adalah seseorang yang mampu hidup baik dari profesinya untuk mendapatkan status sosial yang baik dengan tingkat ketenangan, kedamaian dan kebutuhan yang dapat menghidupkan rutinitas rumah tangga tanpa hambatan. Ukuran sukses di alam (katanya) demokrasi dewasa ini sudah jauh bergeser. Banyak orang sukses dengan cara-cara tidak terpuji. Banyak tetangga kita yang sukses kehidupannya dengan melakukan kejahatan-kejahatan. Baik kejahatan secara fisik maupun kejahatan yang dilakukan bekerjasama dengan setan. Yang terakhir saat sekarang sedang digandrungi manusia.
Memang kita harus saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi jika ada orang yang melakukan kejahatan seperti korupsi, pungli, penipu, pembohong, pemerkosa, perampok, pembegal, perompak, copet, dan sebagainya serta pelaku kejahatan barengan setan. Tentu, kita tidak harus saling menghormati. Karena, manusia seperti itu harus dimusnahkan.
Di dalam Islam memang ada aturan untuk hidup berdampingans ecara damai. Tetapi, jika umat Islam diperangi (dalam arti luas), maka umat Islam itu sendiri harus melawan dengan satu kata, ’Binasakan!’. Timbul pertanyaan, bagaimana kalau kejahatan itu dilakukan oleh orang Islam sendiri? Ya, hukumnya sama, binasakan! Kendati di Indonesia ini tidak menerapkan hukum Islam dan bukan juga negara Islam. Tapi, untuk memberi pelajaran kepada aparat penegak hukum, ada waktu-waktu atau moment tertentu yang harus diselesaikan secara hukum agama.
Itulah persoalan yang saya masukkan ke dalam kondisi ”Ketegangan Demokrasi”. Dengan catatan pinggir bahwa kita ini menganut sistem demokrasi yang mana? Apakah ada negara di dunia ini yang benar-benar menjalankan praktek demokrasi sebagaimana teorinya?Amerika kah, Inggris kah, Jepang kah, Francis kah, Belanda kah, Swedia kah dan negara lainnya? Secara pas 100 persen memang tidak ada. Secara optimal memang ada beberapa negara menerapkan sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dan, bagaimana dengan Indonesia? Bangsa Indonesia baru mulai membuka kembali pelajaran sistem demokrasi. Dan, itu terlihat dari istilah-istilah dan praktek demokrasi yang digunakan. Ada demokrasi terpimpin, ada demokrasi liberal, ada demokrasi kerakyatan, ada demokrasi ekonomi dan sebagainya. Sekarang kita sedang mencari bentuk demokrasi yang sebenarnya cocok untuk ditanamkan di Indonesia. Padahal, sejak zaman kerajaan-kerajaan dulu, demokrasi sudah ada di negara kepulauan ini.
Tetapi, bangsa ini masih trauma dan menyenangi menjadi bangsa yang terjajah. Termasuk dijajah oleh kaumnya sendiri seperti sekarang. Bangsa Indonesia dijajah oleh kaum politikus yang mengepalai beberapa partai politik yang berkuasa. Padahal, dalam demokrasi yang berkuasa itu adalah rakyat. Apakah kitra sudah demokrasi dengan pemilihan anggota DPR dan DPRD secara langsung (dipilih rakyat langsung), presiden dipilih oleh rakyat langsung, gubernur, bupati dan walikota, juga dipilih langsung oleh rakyat. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa negara Indonesia sudah demokrasi?
Dari itu, memang mengaitkan idiom dan format demokrasi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, anggota DPR dan DPRD (proinsi, kabupaten dan kota) sudah mewakili rakyat yang telah memilih—memberikan suara kepada mereka? Omong kosong, jawabannya. Saya harus ekstrim menilai praktek penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini. Sebab, bahasa ibu yang lemah lembut, sopan santun, penuh kasih sayang dan klise kata-katanya sudah tidak menpan lagi. Bahkan dijadikan kedok untuk melakukan berbagai praktek kejahatan oleh pihak-pihak tertentu.
Ketegangan Demokrasi akan menjadi sebab terjadinya berbagai konflik di Indonesia. Semua program yang dibuat dan dijalankan pemerintah merupakan proyek oknum-oknum pejabat di departemen masing-masing. Padahal, pejabat dan PNS itu adalah abdi negara. Apa indikasi mereka itu telah melaksanakan fungsi dan kewajiban sebagai abdi negara? Demokrasi atau katakanlah substansi abdi negara bukanlah seperti memberikan penghargaan kepada PNS yang sudah menjalankan tugas 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun dan seterusnya.
Sebab, kurun waktu melaksanakan tugas sebagai PNS memang demikian sebelum mereka pensiun. Tetapi, sangat dibutuhkan perwujudan dari pengabdian kepada negara itu. Pengabdian itu banyak ragamnya, bisa karya tulis, dapat berbentuk kreativitas seorang PNS di bidangnya. Bisa penghargaan yang diperolehnya dari suatu lembaga karena karya-karyanya sangat bermanfaat dan dapat diwujudkan untuk kepentingan masyarakat luas atau bangsa.
Lagi-lagi ketegangan demokrasi telah menuai persoalan bangsa dan negara. Pada gilirannya banyak persoalan yang sangat dibutuhkan masyarakat tidak terselesaikan dan justru rakyat (masyarakat) dirugikan secara nyata dan riil. Misalnya kasus Bank Century, kasus rekening gendut perwira polisi, kasus korupsi para gubernur, bupati dan walikota. Kenapa kasus-kasus menyangkut pejabat selalu molor tanpa batas waktu.
Itulah multi tafsir demokrasi yang tidak memiliki pondasi kuat, sehingga membuat banyak persoalan baru sedangkan persoalan lama belum jua selesai ditangani. Apalagi untuk menciptakan rasa adil dan tentram masyarakat atau keputusan lembaga penegakan hukum. (penulis pelaku sosial dan budaya)

Aku Adalah Catatan-Catatan



Oleh Naim Emel Prahana

SANGAT beralasan, jika orangtua berulangkali menghimbau anak-anaknya, agar jangan makan di pintu, jangan menyapu di tengah malam, waktu makan jangan pake piring double atau nasihat bijak lainnya. Semuanya sangat bermakna sangat memiliki hubungan dengan nuansa alam yang didiami. Barangkali itu hanya mengulangi ingatan kita tentang lagu “nina bobok” yang dilantunkan oleh kakek atau nenek yang menidurkan cucunya.

Masihkah ingatan kita cemerlang, ketika tidur-tiduran di atas tempat tidur atau di bale-bale depan rumah atau di bawah sebuah pohon rindang yang ada di tengah sawah. Apa yang terpikirkan dan yang jelas terlihat di mata, mata hati kita? Gumpalan awan terlihat sebagai lukisan-lukisan yang sangat indah, ada wajah seseorang, ada mata yang sedang memandang dan ada makna di balik lukisan tersebut.

Lalu, bagaimana kita melihat dengan mata tetapi memaknainya dengan kata dan mata hati di semak-semak dan di balik semak-semak itu. Saat itu melintaslah bayangan seperti film. Apalagi kalau kita sering menonton film-film kolosal (sejarah) dan bermacam-macam yang tergambar, semua tergantung saat melihat itu seseorang dalam keadaan bagaimana pikiran dan hatinya.

Kalau seorang pemain teater, ketika memerankan sebagai seseorang dengan karakternya, misalnya jadi pengemis, pengamen, penjahat, orang kaya, playboy dan pelacur. Ia akan ke luar dari jati dirinya menjadi sosok orang yang ia perankan dalam status sosial. Atau ada banyak orang yang menyesali dirinya, ketika ketika ia masih muda (belum nikah) saat pacaran yang begitu akrab, tidak melakukan hubungan seks dengan pacarnya. Padahal, waktu ia pacaran peluang dan kemungkinan untuk melakukan hubungan seks begitu terbuka dan lurus.

Tapi, ia menyesal karena tidak melakukannya. Penyesalan itu datang setelah sekian lama dan setelah ia berumah tangga. Dan, penyesalan itu terjadi ketika ia melamun atau dalam keadaan pikirannya gundah gulana karena sesuatu sebab dalam kehidupan sosialnya. Semuanya ada dalam film dirinya sendiri. Ia dengan jelas mampu melihat kembali perjalanan hidupnya di masa silam.

Sehingga tidak dapat diragukan lagi, bahwa hanya terhadap Allah dan diri sendirilah yang tidak bisa dibohongi. Dus karena itu, diri itu adalah AKU. Aku adalah diri seseorang tersebut. Dengan kata lain, aku bukan siapa-siapa adalah percuma ketika orang lain merasa memiliki ‘aku’. Sebab, aku adalah aku. Kau itu, juga adalah kau dalam diri aku-mu (aku-kau). Walaupun aku tersenyum bersama kau, kau dan kau yang setiap hari ketemu, tetapi ‘aku’ tetaplah aku yang tidak bisa diketahui oleh siapapun; apa yang terjadi dalam diriku, diri kau (dalam kau ada aku-mu).

Jadi, aku adalah catatan-catatan dan catatan-catatan itu adalah tentang diriku. Ketika orang lain membuat catatan tentang diriku (orang lain lagi), maka sudah dapat dipastikan, pasti ada perbedaan dalam perlawanan yang karakteristik, psikotropikaistik dan kontroversialistik. Oleh karenanya, tidsak otomatis ‘kebutuhan’ dan ‘kepentingan’ itu adalah kebutuhan dan kepentingan ‘riil’—ku. Karena sebab lain, maka ada kebutuhan dan kepentingan karena sebab lain itulah kebutuhan dan kepentingan yang tengah diburu bukan tujuan sebenarnya dalam kebutuhan dan kepentingan-ku.

Catatan yang paling orisinil adalah catatan dalam jiwa dan ingatan, dan bukan yang ditulis-tulis seperti cerpen, puisi dan roman dalam karya sastra. Atau mungkin banyak di antara biografi seseorang itu sudah jauh dari kenyataan. Tetapi, banyak pula tulisan-tulisan yang disastrakan itu merupakan catatan-catatan personal atau kelompok komunitas, yang sudah tentu sudah disedemikian rupa bahasa tulisnya, sehingga enak untuk dibaca, dicerna dan dibayangkan. Apa yang ada di balik cerita dalam catatan-catatan itu.

Yang ada di balik catatan-catatan itu adalah tentang aku, kamu, dia, mereka, kita. Mungkin, juga tentang konflik keluarga, konflik warga, konflik guru di sekolah, konflik pribadi dan perbuatannya. Konflik pandangan, ideologi, persepsi, dugaan—perkiraan, bisnis, komoditas dan hasilnya. Mungkin masalah persaingan pilkada dengan segala sepakterjang tim suksesnya, partai pengusungnya. Atau bisa apa saja yang pernah terjadi dan apa saja yang perlu direkayasa di dalam kehidupan itu.

Kehidupan seseorang sangat mirip dengan permainan sepakbola di sebuah lapangan. Jika seorang pemain hanya “bermain-main” belaka. Maka, hasilnya tidak akan memberikan kepuasan dan kebanggaan hidup. Sebab, kepuasan dan kebanggaan merupakan bagian dari perjuangan kehidupan yang hidup sepanjang hayat dikandung badan. Tetapi, jika seorang pemain dan pemain lainnya melakukan permainan sepakbola di lapangan dengan serius. Tentu, hasilnya akan menjadi suatu kebanggaan dan pendorong semangat hidupnya setelah permainan itu selesai.

Banyak pledoi (pembelaan) diri seseorang yang terabaikan dalam konteks keadilan dan kebenaran, terkait dengan moral dan nilai-nilai sosial, agama, etika—sopan santun, hukum positif. Namun, pembelaan itu tenggelam oleh glamourisme pola kehidupan masyarakat modern sekarang ini. Perburuan kebutuhan yang sebenarnya tidak dibutuhkan memiliki volume yang lebih besar daripada perburuan kebutuhan riil yang sebenarnya harus dimiliki dan dikejar.

Pada kenyataannya materi (uang) saat ini menjadi idola dan mimpi indah kehidupan seseorang atau format sebuah rumah tangga (keluarga). Walau pada kenyataannya format materi itu tidak terlalu besar pengaruhnya kepada kehidupan yang damai, tentram, sejahtera, aman dan harmonis. Pemilihan dan peletakan materi di atas segala-galanya dalam kehidupan dewasa ini—sebagai kecenderungan pola hidup masyarakat. Memang tidak banyak membawa berkah dan manfaat dalam format kejiwaan hidup itu sendiri. Mungkin akan lebih banyak kepada dampak yang akan mengakibatkan runtuhnya nilai-nilai peradaban masyarakat yang beretika sopan santun dan berakhlak.

Keinginan untuk menjadi terkenal dengan tidak populer, saat ini sudah menjadi trend kehidupan di kalangan masyarakat tertentu. Artinya, mereka mencari cara-cara ‘aneh!’ untuk mendapatkan predikat populer—terutama yang ada aksesnya dengan publisitas. Mungkin gaya hidup seperti itu banyak diperlihatkan—dipublikasikan oleh para artis (dunia panggung hiburan). Tentunya, kita tidak harus menilai sedalam mungkin prilaku nyeleneh itu, akan tetapi kita pasti memahami dan mendeteksi bahwa hal-hal yang nyeleneh itu, hanyalah sensasional untuk ambisi popularitas nama belaka (predikat).

Yang tentunya, tidak ada jaminan kuatm,  bahwa hal itu akan menjadi dasar hidup yang tentram, nyaman, damai, aman dan harmonis antara lahir dan bathin. Apakah bentuk prilaku kehidupan yang mengandalkan sensasional, nyeleneh, aneh dan kontroversial itu dapat dijadikan dasar kehidupan modern yang serba glamour dewasa ini. Mungkin jawabannya ada pada realita dan nonrealitas yang dirasakan setiap anggota masyaraklat itu sendiri.

Pemberantasan dan Proyek Narkoba




Oleh Naim Emel Prahana
Pemerhati masalah-masalah sosial budaya, hukum dan politik


SUATU malam di kota Palembang, aku dipesani si tukang ojek yang memperingatkan, agar kalau masuk kompleks Darma Agung, “hati-hati!” Bersamaan peringatan itu, dia bilang, di situ cewek-ceweknya banyak yang ngerangkap jadi tukang copet. “Oya,...!” jawab temanku. Dan, kata tukang ojek itu, jangan mau dijebak kalau ada cewek yang mengatakan, ia tahu dan bisa membeli inek alias ekstasi.

Warning demikian bukan hanya sekali dua kali kudengar, entah di mana lagi tempatnya. Dalam hatiku, kalau peringatan (warning) demikian, gak usah disampaikan. Karena sudah tahu, kalau di dunia hiburan itu pasti masalah bisik-bisik hingga terang-terangan bertransaksi narkoba (umumnya ekstasi) sudah bukan hal yang baru.

Namun, walau demikian tetap saja menyisakan pertanyaan-pertanyaan—kenapa mata rantai peredaran dan penyalahgunaan narkoba di tempat kita (Indonesia) ini, sangat sulit diberantas. Seperti kesulitan mengakhiri krisis multidimesional yang dialami bangsa ini sampai sekarang.

Banyak komentar merespon maraknya peredaran narkoba—karena Indonesia sudah tidak lagi utuh sebagai negara tujuan peredaran narkoba Internasional, karena sudah menjadi salah satu negara produsen. Kadang oleh rekan-rekan aparat penegak hukum dikatakan sok tahu—sok pinter atau apalah bantahannya.

Rasanya, pemberantasan narkoba adalah tidak cukup dengan menerbitkan Keputusan Presiden atau yang lagi dirancang adalah Peraturan Presiden (Perpres)—rencananya sebagai pengganti Keppres No 17/2002 tentang lembaga nonstruktural yang langsung di bawah komando presiden. Tapi, definisi action (aksi) hingga sekarang pun masih belepotan tentang wajah sebenarnya dari kata aksi itu.

Banyak dari kita (masyarakat) sebenarnya belum paham betul itu yang bernama narkoba, apa lagi “apa dan bagaimananya?” Padahal, penyuluhan-penyuluhan, pelatihan-pelatihan dan sebagainya—sebagai upaya untuk memperkuat upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan pemberantasan dan peredaran gelap narkoba (P4GN). Sudah sangat banyak dilakukan. Toh, persoalan peredaran dan penyalahgunaan tetap menjadi pekerjaan rumah bangsa ini.

Dua Undang-Undang tentang Narkotika dan Psikotropika masing-masing No 22/1997 dan No 6/1997, yang kemudian lembaganya Keppres No 17/2002 dan Inpres No 3/2002 soal Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK)—sudah dapat menjadi acuan dalam rangka P4GN.

Keberhasilan selama ini, kita sambut gegap gempita. Bersorak-ria. Namun, kegembiraan dan keberhasilan mengungkap kasus-kasus narkoba selama ini, jangan membuat kita terlena. Sehingga produsen dan pedagang narkoba mengambil kesempatan. Padahal, sudah berapa triliun uang rakyat dihabiskan dalam program-program pemberantasan narkoba tadi?

Di negara ini, kita sering berandai-andai, mengkhayal, dan menimbun cita-cita. Pada gilirannya masalah hasil yang dicapai P4GN masih sulit diakui mendekati sasaran. Kita pun belum melapor ke lembaga-lembaga Internasional bagi pemberantasan narkoba. Akibatnya, sindikat narkoba dengan leluasa merayu, meningkatkan volume janji kesejahteraan kepada masyarakat. Daro anak-anak sekolah dasar hingga kaum intelektual dan cendekiawan, untuk menggunakan narkoba. Tentu dengan berbagai modus, agasr mencapai target penjualan narkoba.

Pada bagian lain, kita akhirnya gagap menghadapi perkembangan dan kemajuan pesat perdagangan narkoba. Kegagapan itu berimbas kepada pengungkapan dan penanganan kasus narkoba itu sendiri. Sampai kepada putusan pengadilan yang dirasakan sering nyeleneh. Lebih parah lagi dirasakan belum mendekati sasaran putusan yang ‘adil’ bagi masyarakat.

Hal itu, barangkali wajar. Mengingat banyaknya kasus-kasus narkoba yang terungkap pelakunya hanyalah berada pada posisi “pembantu para pembantu dari para pembantu bandar, bandar dan produsen narkoba” Artinya, mereka hanya menjual sebutir dua butir ineks, memegang setengah atau satu btir inek. Mungkin hanya dititipi selinting ganja siap pakai atau siap edar.

Dari sekian tersangka yang kelasnya masih ‘teri’  yang digelandangkan, tidak sebanding dengan para bandar yang masih banyak berkeliaran di sekitar kita. Lebih kronisnya lagi, kasus seorang bandar besar dan pemegang setengah butir inek, seperti langit dan bumi. Artinya, yang ketangkap karena memegang setengah butir inke di karaoke, pidana yang diputuskan pengadilan sangat berat. Padahal, putusan untuk seorang cukong (bandar) narkoba dengan barang bukti mencapai 350 butir, cukup 3 tahun, dan itu tersangka jarang berada di dalam LP.

Masih segar ingatan kita kasus seorang wanita muda berinisial W yang ditangkap di salah satu ruang karaoke di kawasan Telukbetung. Ditangkap bersama beberapa wanita muda lainnya yang menemani beberapa pria untuk berkaraoke. Saat ditangkap ia diberi setengah butir inek dan masih utuh ditangannya ketika tertangkap oleh aparat polisi.

Bagaimana dengan keputusan PN Tanjungkarang beberapa tahun silam itu? Cukup mengagetkan, vonisnya 1,5 tahun. Alasan majelis hakim, ia tidak memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Sementara itu, ingat kasus karaoke Nirwana, ketika bandar narkoba berinisial T ditangkap, barang buktinya mencapai 300-an butir. Berapa tahunkah pidananya yang dijatuhkan majelis hakim PN Tanjungkarang?

“Cuma (kalau tidak lupa) 3 tahun penjara, untuk barang bukti sekitar 324 butir inek!” Dan, bagaimana dengan wanita muda berinisial W yang usianya sekitar 20-an tahun, yang ketangkap dengan barang bukti ½ butir inek dijatuhi hukuman 1,5 tahun (baca: setahun setengah). Wanita muda ( W ), bukan pengedar, bukan pengguna narkoba secara rutin, bukan pemasok, apalagi bandar, apalagi produsen. Tapi, hukumannya begitu berat dibandingkan dengan hukuman untuk bandar T—pemilik karaoke Nir di Jl Soekarno Hatta.

Logikanya, kalau ½ butir hukumannya setahun setengah, maka 1 butir hukumannya 3 tahun penjara. Nah, kalau 300 butir inek yang jadi barang bukti. Otomatis 300 X 3 tahun adalah 900 tahun. Seharusnya demikian vonis yang dijatuhkan. Tapi, kembali kita menyadari, kalau sistem peradilan kita masih sulit ditebak. Seperti angin berubah-ubah arah setiap saat atau setiap harinya. Tanpa ada pedoman (yurisprudensi) yang dijadikan pertimbangan dalam memutuskan suatu perkara dengan substansi yang sama. Hanya beda volume barang bukti dan status tersangkanya.

Penanganan proses kasus narkoba sampai detik ini, betul-betul tidak memberikan pencerahan kepada penegakan supremasi hukum di negara ini. Diduga, banyak putusan yang kalah pamor dibandingkan dengan beberapa faktor. Misalnya kekuasaan pejabat, uang dan status sosial keluarga tersangka. Sedikit banyak dari uraian di atas—bisa dijadikan bahan evaluasi peradilan kasus narkoba di Indonesia.

Sudah barang tentu, kita tidak ingin lagi mendengar plesetan KUHP, KUHAP atau Kitab Undang-Undang lainnya, maupun UU atau PP—yang sering terdengar lucu, aneh, ngenguyon tapi menyakitkan. Pada gilirannya, menghadapi persoalan narkoba, bukan hanya si produsen dengan distributor-distributornya, distributor dengan bandar-bandarnya, bandar-bandar dengan pengedar, pengecer dan pemakai saja yang terbuai suara surga. Tetapi di rentang proses perjalanan kasus narkoba pun bagi beberapa lembaga penegakan hukum, juga terdengar suara-suara surga yang mengasyikkan kalau dilewati begitu saja.

Soal uang, soal kesenangan, soal kesejahteraan sampai soal dopping bisa diraba dirasa bila dapat memahami kasus narkoba sebagai sawah ladang. Narkoba adalah sawah ladang dan kebun yang tak pernah gagal memetik keuntungan materi, bahkan keuntungannya berlipat ganda. Itu kan suara surga dalam neraka narkoba. Gak percaya, menyamarlah—masuk ke masyarakat pengguna narkoba. Suara surga yang memang tidak pernah kita tahu itu, tapi dengan narkoba (katanya) semua serba terasa dan indah.

Kalau sudah demikian, maka sulitlah untuk menekan apalagi memberantas peredaran gelap narkoba—karena disisi lain dunia medis masih sangat membutuhkannya, tanpa pengawasan yang berarti. Memberantas narkoba harus ada jaminan bahwa, KATA TERUCAP LANGKAH DITANCAP! Narkoba No! Sekali TIDAK tetap TIDAK!

Minggu, 07 Februari 2016

Pidana Politik Dalam Sinetron Klasik Indonesia


Oleh Naim Emel Prahana

ANDAIKAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkejut mendengar putusan majelis hakim tentang vonis terhadap Gayus ’makelar’ Tambunan dengan pidana 7 tahun dan denda Rp 350 juta. Maka, hampir seluruh rakyat Indonesia tidak terkejut sama sekali. Sebab, sudah lama diduga akan berakhir seperti itu, walau masih banyak kasus Gayus lainnya menunggu giliran diputar di stasiun-stasiun televisi swasta di Indonesia bak serial sinetron.

Seagai pemeran utama dalam film drama hukum, Gayus Tambunan merupakan pemain kontroversial. Karena naskah drama yang ditulis sutradaranya atau penulis naskahnya banyak yang tidak sesuai dengan adegan-adegan yang diputar selama proses penyidikan dan proses persidangan kasus makelar pajak itu. Sebagai pemain utama, Gayus patut diacung jempol. Penampilannya yang dingin, ceria dan lincah memaksa banyak pemirsa mematikan chanel televisinya ketika sinetron Gayus Tambunan diputar.

Film sinetron Gayus mengandung item-item keuangan negara itu, mampu menghipnotiskan ratusan juta rakyat Indonesia dengan jumlah uang yang ia peroleh serta jumlah aset Gayus yang tersebar di banyak tempat dengan aneka ragam usahanya. Nilainya ratusan miliar rupiah. Bukankah nilai yang sangat fantastis untuk PNS golongan III seperti Gayus itu?

Namun, dalam sinetron atau film di Indonesia, tidak ada yang kontroversial, semua bisa dibuat sedemikian rupa. Walaupun tidak didukung oleh teknis pembuatan film yang memadai. Artinya masih kasar betul. Akan tetapi, cara melakukan perbuatan yang kasat mata itu pun tidak mampu dideteksi secara baik oleh sistem penegakan hukum Indonesia dan tidak mampu diterjemahkan ke dalam ranah hukum secara murni oleh aparat penegak hukum.

Film sinetron Gayus itu mempunyai durasi yang cukup panjang dan melelahkan bagi pemirsa yang menontonnya. Pasalnya, Gayus begitu hebat tampil di depan publik sebagai ciri-ciri orang yang mempunyai uang banyak. Kita dapat melihat sosok yang sama seperti yang ditampilkan oleh Anggodo Widjaya, Arthalina Suryani alias Ayin, Aulia Pohan (besan SBY) dan kasus hukum lainnya yang punya nilai tersendiri dalam kancah penegakan hukum di Indonesia.

Sangat beralasan jika banyak yang mengusulkan secara bercanda, agar Gayus Tambunan diangkat saja menjadi salah satu Menteri di Kabinet Indonesia Bersatu ke II atau ke III. Dengan diangkat Gayus sebagai Menteri, maka diproyeksikan Gayus mampu menggali potensi pajak. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Dan, sinetron Gayus Tambunan pasti akan berakhir, sebgaimana kasus Bank Century—yang untuk diperbincangkan saja di tingkat Pansus DPR-RI sudah menelan biaya sekitar seratus miliar rupiah.

Prototype Gays di depan publik, lagi-lagi luar biasa. Dengan gagah dan tegar, sorot matanya tajam menatap para aparat penegak hukum dan siapa saja yang ditatapnya menunjukkan bahwa Gayus sudah mampu membaca proses penegakan hukum di Indonesia. Artinya ia mampu melihat, semua kasus akan bisa diakhir dengan uang dan politik ”adu domba”.

Tim juri lomba sinetron ketika menilai serial sinetron Gayus Tambunan masing-masing terpana melihat alur cerita sinetron Gayus itu. Apalagi ketika dihadapkan dengan Gayus Tambunan. Deretan bayangan uang miliaran rupiah di sekeling Gayus membuat tim juri (aparat penegak hukum) silau. Sulit mengeluarkan kata-kata hati hukumnya, sulit mengatakan kebenaran yang seadil-adilnya, sulit untuk memutuskan sanksi apa yang harus diberikan kepada pemeran utama sinetron Gayus Tambunan itu. ”Berharap, berharap, berharap dan banyak berharap!” kepada Gayus.

Gayus sudah pasti menjadi pahlawan bagi para koruptor di Indonesia, terutama yang belum tersentuh oleh sentilan hukum. Dan, Gayss pun mampu mengobok-obok ranah politik. Ia mampu memainkan peran sebagai gladiator politik dan kemampuannya untuk memasukkan kasus hukumnya ke dalam ranah politik. Bukankah itu luar biasa? Gayus sudah menjadi milyader baru di Indonesia, tanpa berusaha keras ternyata orang Indonesia mampu mengeruk keuntungan luar biasa. Itulah Gayus dan Gayus lainnya di Indonesia.

Mungkinkah sinetron hukum Gayus Tambunan akan memperoleh award diajang film Internasional? Yang mampu membuktikan bahwa Indonesia benar-benar negara terkorup di dunia dan hukumnya dapat diatur sedemikian rupa, yang penting ada uang. Maka, vonis 7 tahun bagi pemeran utama kasus ”makelar kasus” Gayus Tambunan tidak ada artinya jika dibandingkan harta kekayaan Gayus yang gemah ripah loh jinawi itu.

Jika ia ke luar dari pemnjara, maka Gayus tetap berleha-leha. Ia akan mencalonkan dirinya sebagai anggota legislatif tahun 2014, atau ia akan menjadi calon gubernur suatu daerah miskin di Indonesia atau belum ke luar dari penjara ia suah ditawari kedudukan sebagai staf akhli presiden SBY. Di Indonesia tidak ada yang tidak bisa diatur.

Aktor Sang Aktor GayusT



 Oleh Naim Emel Prahana*

SANG Aktor terpopuler sepanjang tahun 2010 sampai sekarang tidak ada pilihan lain, kecuali jatuh ke sosok Gayus Tambunan. PNS yang bekerja di Ditjen Pajak di Jakarta yang mampu menambah kemelut dan krisis perekonomian dan politik maupun penegakan hukum di Indonesia. Sejauhmana kehebatan Gayus Tambunan (GayusT) di antara 250 juta penduduk negeri ini?

Sebagai seorang aktor dalam film Markus. GayusT bukan hanya aktor berdarah dingin, tetapi ia juga mampu bertindak sebagai aktor yang memainkan peran politik di tengah kasus-kasus hukum yang melilitnya, bahkan melibatkan para tokoh untuk berdiri di belakangnya. Tidak banyak resep yang dipakai GayusT. Simple, sederhana dan psikologis.

Pengalaman GayusT ketika filmnya diputar di Pengadilan Negeri Tangerang (PN) membuatnya lebih pintar 100 X dari potensi dasar yang ada dalam diri GayusT. Ia memungsikan semua otaknya, kiri dan kanan berfungsi dengan baik. Semuanya terbangkit ketika ia mampu mengeruk keuntungan luar biasa dari statusnya sebagai mediator alias makelar kasus (Markus).

Kemudian, GayusT berupaya, berusaha dan nyatanya berhasil menyuap hakim di PN Tangerang dan ia lolos. Rangakaian penyuapannya, tidak hanya di majelis hakim PN Tangerang, akan tetapi ia meruntuhkan idealisme beberapa polisi di Mabes Polri Jakarta. Semuanya berhasil dengan baik. GayusT kembali beroperasi tanpa gangguan apapun. Sebab prinsip pemeliharaan orang miskin di Mabes Polri menjadikan ia lebih didominasi oleh karakter penjahat ’koruptor’ kelas megametropolis.

Sang aktor GayusT telah merubah perjalanan penegakan hukum di Indonesia. Kendati secara sepakat nasional pembuktian terbalik dalam penegakan hukum sudah mulai diterapkan. Namun, GayusT menjadi tokoh dalam sinetro berjudul ”Hukum Pidana Indonesia”. Siapa sutradaranya, siapa editornya, siapa pengisi suaranya, siapa dan siapa di balik melankolisnya penegakan hukum di Indonesia.

Memang berbeda antara aktor dengan figuran. Bukan hanya soal honor, tetapi pelayanan pun begitu berbeda, sampai-sampai penampilan karakter sang aktor dengan figuran. Jauh-jauh sekali berbeda. Perbedaan terakhir terjadi, manakala vonis majelis hakim terhadap sang aktor yang memiliki harta kekayaan mencapai ratusan miliar dengan figuran yang hanya memiliki gubuk reyot dengan susah payahnya mencari makan dan minum.

Itu suatu kewajaran. Di mana jika kita punya kedudukan atau harta benda yang melimpah, apapun bisa dilakukan. Apapun dapat dijungkir balikkan dengan polesan para pemburu harta kekayaan yang mungkin terdiri dari jaksa, hakim, pengacara atau siapa sih yang ada di belakang sang aktor. Apakah benar seorang sutradara kaliber kelas internasional? Semua bisa terjadi di sini, jangan heran. Seorang bupati saja yang jelas-jelas sudah ditetapkansebagai tersangka, kemudian dinaikkan grid statusnya menjadi terdakwa, kemudian dinonaktifkan oleh Mendagri dari jabatannya. Itu pun masih dapay merlolooskan diri dengan terbahak-bahak sambil menginjhak-injak KUHP dan hukum lainnya. Atau seorang tokoh swastawan yang memiliki harta kekayaan yang banyak, royal kepada siapapun, juga mampu menjungkir-balikkan ’korban’nya. Padahal, korbannya itu yang harus dimenangkan oleh pengadilan. Tapi, apa yang tidak bisa dijungkir-balikkan di Indoensia.

Sang aktor rupanya berkaitan dengan banyak pimpinan Nasional, sampai-sampai heboh vonis 7 tahun diupayakan untuk pengalihan perhatian publik dengan 7 tahun gaji presiden tidak naik-naik!!

Sayang memang, kenapa sistem penjajahan masih dianut di Indonesia. Media dunia maya yang telah mendongkrak populeritas teraniayai korban Rumah Sakit Internasional OMNI via facebook. Ternyata, kini sudah mampu dihadang oleh penguasa dan pengusaha. Sehingga teriakan-terikan seperti ”Kami Tidak Setuju Aset Negara Dijual Kepada Asing”, atau ’Raport SBY yang Selalu Merah” dan seterusnya itu, sekarang hanyalah ocehan belaka. Tidak ada makna, gaung atau perhatian dari sipapaun, selain jadi guyonan antar facebookers.

Populer dengan cara tidak populer belakangan ini sering menjadi acuan oknum-oknum yang tidak mempunyai jiwa nasionalisme yang kental. Tidak pernah menyanyikan lagu Indonesia Raya, kecuali menghitung uang dan harta kekayaan dengan para kroni, sindikat dan depcolectornya.

Jika sang aktor GayusT dengan timbunan pidana yang luar biasa hanya divonis 7 tahun. Niscaya Gayus-GayusT lainnya akan muncul dan akan menjadi berani lebih berani lagi. Sebab, mereka akan beralasan, bahwa GayusT yang kesalahannya mencakup Sabang sampai Merauke, kenapa kami tidak bolh melakukan hal yang sama? Itulah yang disebut dengan preseden buruk vonis terhadap sang aktor GayusT.

Hal itu akan berbeda dengan vonis pencuri sendal jepit yang rata-rata di atas 12 bulan. Padahal, harga sebuah sendal jepit, atau seekor ayam, sebuah semangka, satu tandan pisang atau satu langkah memasuki ruah pengusaha bagi rakyat kecil. Pasti dan pasti vonisnya akan lebih berat daripada sang aktor GayusT.

Aktor lainnya dalam dunia film atau sinetron, juga sama dengan sang aktor GayusT. Masalah narkoba, hukumannya hanya beberapa bulan. Paahal, jika seorang penganggur yang mengedarkan 1 butir ineks, hukumannya bisa 18 bulan. Astaqfirullahal adzim.

Hukum pidana untuk sang aktor ternyata lebih manusiawi dibandingkan dengan hukum pidana untuk para figuran (rakyat biasa). Di mana letak perbedaaannya? Ya, tentu ada pada banyak atau tidaknya harta kekayaan yang dimiliki para pemain sinetron itu. Sendiri. Jika kita tak punya harta benda yang bisa dibagi-bagikan pada saat terlilit kasus, maka janganlah membuat langkah-langkah yang menjadi jebakan untuk memasuki pintu penjara. Tapi, jangan takut penjara atau sekarang namanya Lembaga Pemasyarakatan (LP/Lapas), sudah bukan rumah yang menakutkan. Tetapi menjadi rumah yang menyenangkan. Kapan mau ke luar, berikan uang, kapan mau berdagang narkoba, banyak-banyaklah upeti dengan petugas LP atau kalau mau kabur, tinggal atur waktunya dengan penjaga LP. Lengkap kan peranan sang aktor dalam penegakan hukum di Indonesia? . (penulis penikmat masalah sosial dan budaya)

“Sumpah Timah dan Air Panas” Syirik Modern Terkutuk


Oleh Naim Emel Prahana

BILA dikatakan sekarang manusia semakin maju, berpikir dan berkehidupan. Ternyata benar! Tetapi, di balik kemajuan yang dicapai itu, ternyata manusia disaat ini semakin mundur pola pikirkannya tentang kehidupan itu sendiri. Sudah tahu tetapi pura-pura tidak tahu, sudah beragama tetapi msih berbuat dosa dan melanggar norma-norma agama. Yang terdekat yang sering dilakukan adalah perbuatan syirik, pengkianatan terhadap hati nurani, pengingkaran janji dan sumpah. Dan, melawan kodrat alam, termasuk merekayasa firman-firman Allah dan sunah-sunah Rasul-Nya.

Sebenarnya kita tidak bingung menghadapi fenomena demikian. Membaca dan mehamai Alquran telah memberikan petunjuk kepada kita tentang mbalelonya manusia, pengkhianatan, pengingkaran dan perekayasaan manusia terhadap perbuatan-perbuatannya. Boleh jadi hal itu terjadi setiap hari di lingkungan kehidupan kita saat ini. Seorang pejabat yang sudah bergelar haji, bahkan sudah beberapa kali naik haji menuntaskan pelaksanaan rukun Islam pada dirinya. Ternyata dengan wajah tanpa dosa, dengan kata-kata tanpa menyesal, masih sering melakukan sumpah atas nama Tuhan ketika ia membela perbuatan korupsinya, perbuatan penyelewengan tugasnya dan perbuatan amoral, asosial dan anti kejujurannya.

Kenap asih masih demikian, sedangkan predikat, status dan harta kekayaan sudah digenggam semua. Seperti halnya banyak insan pendidikan alias guru yang berbuat tidak senonoh. Pengertian, pemahaman dan penyadaran diri terhadap predikatnya sebagai guru, dibuang begitu saja, ketika nasfu birahainya memuncak. Selalu memerankan tokoh yang antigonis (berlawanan). Betapa banyaknya seorang guru pria menjalin hubungan gelap dengan guru perempuan yang diperoleh dengan cara-cara tidak normal, yaitu menggunakan—meanfaatkan jasa dukun, paranormal ata “orang pinter”.

Semua yang dilakukannya itu, hanya ingin mendapatkan seorang guru wanita yang sudah punya suami. Astaqfirullahalazim. Apa yang dikenal sepanjang masa tentang guru adalah orang yang patut—pantas ditiru, digugu, dirindukan perbuatannya di tengah kehidupan. Ternyata, sekarang sudah tidak pernah terlihat lagi. Bermain dengan handphone (HP), mengusik ketentraman keluarga orang lain dengan short mesage service (SMS) yang menggelar-glegar berisi kata-kata, “say, lagi apa yanng...!”, lalu si guru perempuan yang sudah punya suami, pada saat di dalam kamarnya, dan suami berada di ruang tamu. Si guru perempuan itupun menjawab, lagi tidur-tiduran. Maka si guru laki-laki tadi mengirim lagi sms dengan isinya, “ yo tak bobokin..” atau dengan bahasa dan kata-kata ABG lainnya.

Tanpa memikirkan akibat, tanpa merasa berdosa mengganggu isteri orang atau mengganggu suami orang. Kebanyakan insan pendidikan, khususnya di daerah (bahkan di kota), membuat inovasi baru tentang predikat guru. Dari yang digugu dan ditiru menjadi diburu dan dicumbu raya. Padahal, mereka telah mengikuti berbagai jenis pendidikan dan latihan (diklat), mengikuti berbagai pembekalan dan mengikuti berbagai training, termasuk masalah ESQ dan sebagainya. Pakaian ibadah sekarang ii bukan lagi merupakan lambang kesucian atau kejujuran dan kebaikan. Tetapi, sudah menjadi trend pakaian. Hanya trend. Moralitasnya tidak sebagus busana yang mereka kenakan setiap hari di sekolah atau di tengah masyarakatnya.

Termasuk juga para PNS, yang di kantor jika datang waktu sholat mereka sholat, bicaranya sopan dan santun. Tetapi ketika menghadapi musibah seperti pencurian di kantor. Lalu menggunakan pola pikir atheisme! Pola pikir yang menggunakan jasa dukun untuk menuduh, menentukan, menetapkan, dan memastikan kepuasan bathin terhadap pencuri di kantornya. Ketika dikasih saran, kalau benar merasa tidak bersalah dan memang benar terjadi pencurian. Kenapa tidak pakai sumpah dengan Alquran saja? Lalu ia menjawab, saya nggak mau, karena nggak pasti. Saya maunya sumpah menggunakan air panas dan timah panas yang direbus dalam kuali.

“Bagi siapa yang mencuri uang saya, ketika ia celupkan tangannya ke air panas dan di atas timah panas dalam wajan (kuali) maka tangannya akan melepuh. Bila itu terjadi, maka dialah si pencurinya!” katanya dengan yakin dan pasti ajaran dukun itulah yang pasti, bukan janji dan kekusaan Allah SWT. Astaqfiruyllahal azim!  Fenomena kekafiran, kesyirikan apa lagi yang dibuat oleh manusia modern, manusia berstatus pejabat, PNS ata guru dewasa ini?

Mereka semua lupa dan sangat lupa, bahwa dukun, paranoirmal atau orang pinter tidak akan mampu memberikan rezki kepadanya. Tidak akan mampu memberikan kehidupan setelah kematian. Tidak akan mampu melindunginya dari musibah, peristiwa alam dan atau menyembuh penyakit secara permanen. Seorang dukun tidak akan mampu menyelematankan seseorang dari kecelakaan pesawat terbang atau kecelakaan tabrakan kendaraan umum yang ditumpangi.

Kenapa? Kenapa karena ingin memuaskan hati, ketika kehilangan uang yang dia sendiri belum tahu hilangnya di mana, apakah di kantor tempat ia bekerja, apakah di rumah atau apakah memang ia lupa, bahwa uang yang dikatakan hilang itu sebenarnya tidak hilang, tetapi sudah dibelanjakan atau memang lupa disimpan dimana? Kenapa harus menuduh sekian puluh orang pegawai se kantornya—dengan tuduhan diantara mereka adalah pencuri. Oleh sebab itu, digunakanlah “sumpah air dan timah panas” sebagaimana diajarkan oleh seorang dukun.

Seharusnya, sebagai umat beragama, ketika kita mengalami suatu musibah; katakanlah kehilangan uang. Kita harus istiqfar, kita harus menyadari, mengevaluasi dan mengoreksi diri tentang apakah harta atau uang yang hilang itu kita dapat melalui jalur yang benar atau istilahnya kita dapat melalui jalur panas dan dingin! Sebelum menuduh orang lain, sebaiknya kita membersihkan dulu hati dan pikiran kita. Hal itu bukan berarti kita tidak percaya dengan hal-hal yang ghaib sebagaimana Rukun Iman. Percayakepada yang ghaib harus ada pada diri kita sebagai manusia yang hanya mengabdi kepada Sang Pencipta.

Artinya, kalau kita selalu syirik dalam kehidupan kita, sedikit-sedikit persoalan lari ke dukun, paranormal atau orang pinter. Tetapi, syirik pribadi kita itu jangan dibawa ke kantor atau ditularkan ke muka umum (masyarakat). Sebab, dosa kita tidak bisa dipindahkan ke orang lain, demikian pula sebaliknya, termasuk pahala kita. Hanya doalah yang dapat memberikan kekuatan lahir dan bathin dalam kehidupan. Doa itu ditujukan kepada Sang Fatharah.

Melakukan “sumpah timah dan air panas” di dalam wajan adalah perbuatan syirik, jika itu dilakukan, maka selama 40 hari amal ibadah kita menjadi blank—tidak diterima oleh Allah SWT. Percuma kita suntuk jungkir balik sholat, tapi masih melakukan perbuatan syirik!

Minggu, 31 Januari 2016

SLOGAN TEATERIKAL



(Panggung, Penonton Dan Korupsi)
Oleh Naim Emel Prahana
Praktisi hukum, budaya dan sosial

Kita sering mendengar obrolan menjurus perdebatan di warung-warung atau di ruang-ruang kantor pemerintah tentang para pengguna anggaran enggan menggunakan anggaran yang sudah disediakan. Alasannya klasik sekali, “sering diperiksa oleh BPKL, Inspektorat, kepolisian dan kejaksaan!”. Pro kontra obrolan masyarakat itu sangat wajar dan mereka akhirnya sepakat mengatakan, “kenapa harus takut jika tidak melakukan penyimpangan dalam penggunaan anggaran di masing-masing satuan kerja”
Serangkaian obrolan yang akrab di telinga dalam kehidupan interaksi sosial membuat pikiran menjadi fokus. Di mana, budaya korupsi tahapan apapun dan berapapun jumlah masih belum bisa disingkirkan dari mental dan moral aparatur pemerintahan. Kemudian, budaya aparat penegak hukum yang menjadikan ‘kunjungan’ atau ‘pemeriksaan’ rutin ke suatu daerah yang menyembunyikan bahwa usai kunjungan – pemeriksaan oleh-olehpun dapat dan temuan bisa dijadikan lebih bagus dan rapih. Sekedar catatan-catatan yang tidak menakutkan.
Dan itu, kontras sekali dengan pernyataan-pernyataan aparat penegak hukum tentang pemberantasan korupsi serta baleho, spanduk, baner atau himbauan yang isinya “katakan tidak pada korupsi!” Hampir semua kepala dinas, badan dan instansi memasang publisitas itu di kantor masing-masing. Tidak berlebihan jika bandingkan dengan plakat yang dipasang ditumpukan sampah, “Jangan buang sampah sembarangan”. Toh, sampah tetap dibuang sembarangan, malah di tempat ada papan larangannya menjadi pilihan umum untuk membuang sampah.
Asumsi-asumsi dari aturan hukum yang ada tentang korupsi sudah seharusnya masyarakat tidak lagi melihat adanya beraneka ragam putusan pengadilan atas kasus korupsi di atas nilai Rp 1 miliar. Itu, de yure-nya. Tetapi fakta (de facta) sehari-hari putusan yang beragam tidak mencerminkan keadilan dan kenyamanan di tengah masyarakat, berulang terus diproduksi pihak pengadilan.
Salah satu dampaknya adalah satu kasus korupsi yang menyeret pejabat tinggi, pejabat daerah, pengusaha dan koleganya memakan waktu cukup lama dan memberikan bias kepada masyarakat tentang tidak mampunya aparat penegak hukum melakukan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya seperti diamanatkan oleh undang-undang.
Apakah mungkin para hakim di penagdilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung menjalankan hukum positif Indonesia sebagai like and dislike. Atau bahkan lebih ekstrim lagi dipandang sebagai PAD – istilah presiden Joko Widodo kasus-kasusnya dijadikan ATM. Hanya para hakim – jaksa dan penydik polisilah yang mengetahui kebenaran asumsi-asumsi yang berkembang nyata di masyarakat.
Apalagi sekarang intuisi Polisi, Kejaksaan, Pengadilan sampai Mahkamah Agung bisa-bisa sampai di tangan presiden sangat tertutup terhadap proses peradilan atau upaya hukum yang ditentukan boleh dilakukan pihak-pihak berperkara. Akses informasi yang sudah dinyatakan harus terbuka, ternyata sangat tertutup. Kontrol sosial terhadap proses penegakan hukum akhirnya berjalan sesuai keinginan masing-masing. Termasuk kontrol sosial yang seharusnya baik dan benar oleh media massa. Harus mengakui kekuatan dan kekuasaan lembaga penegakan hukum di Indonersia.
Menulis atau berteriak tentang pasal-pasal hukum dari kitab hukum, undang-undang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah belum cukup menyadarkan pihak penegak hukum, untuk menyadari betapa kuatnya ikatan lahir  bathin mereka kepada masyarakat umum.
Kalaborasi kelompok penguasa – masyarakat yang berkuasa sangat terasa menjadi salah satu hambatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran hukum yang sesuai dengan kenyamanan yang harus didapatkan masyarakat umum.
Kalaborasi di situ tidak terbatas dengan status, tetapi ia diikatkan oleh kepentingan materi – itulah dalil umum tentang korupsi. Korupsi memang sudah mendarah-daging di masyarakat Indonesia, ia tidak hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum, pejabat, pengusaha dan kaum the have (orang kaya).
Tetapi, korupsi sudah menjalar bak gurita mencengkramkan semua aspek kehidupan. Mulai dari kehidupan rumah tangga (keluarga), organisasi-organisasi di tingkat pelajar sampai mahasiswa dan alumninya. Dari LSM ‘ecek-ecek’ sampai organisasi profesi yang multinasional, seperti halnya juga organisasi pers yang diasumsikan sebagai lembaga kontrol sosial paling vokal, jujur dan terkontrol.
Kasus-kasus korupsi yang besar semakin ramai dibicarakan di media massa semakin banyak pihak yang mengeruk keuntungan dari publikasinya, termasuk kasus yang menimpa kalangan artis dari kejahatan narkoba, perkawinan dan perceraian sampai kasus prostitusinya. Tidak dapat disebutkan satu per satu – menunjukkan betapa merebak dan membudayanya korupsi di masyarakat Indonesia.
Jadi, korupsinya sudah masif dan terstruktur dengan baik seperti tender proyek setiap tahunnya selalu ditandai dengan korupsi - misalnya setoran 15 sampai 20 persen yang tidak ada sama sekali peraturan mengharuskan rekanan membayar uang setoran tersebut. Faktanya sangat jelas.
Kasus BLBI, Bank Century, Kompleks olahraga Hambalang, PON di Palembang, korupsi di Migas – Pertamina, dana haji dan pilkada serta lainnya yang sekarang masih digulirkan – dihadirkan di tengah masyarakat oleh Bareskrim, KPK, Kejaksaan semuanya berlatar belakang drama serial yang ditampilkan di atas panggung dengan teaterikal sangat menarik perhatian masyarakat.
Belum lagi kasus pembahasan dan pengesahan UU, Perda di daerah – semuanya bermuatan korupsi dengan setoran dari eksekutif ke legislatif tujuannya agar pengesahannya berjalan dengan baik. Termasuk proyek-proyek besar yang diusulkan – diperjuangkan anggota DPR-RI patut dicurigai sebagai gratifikasi mengarah kepada korupsi berjamaah.
Logika tololnya, jika pejabat dan PNS tidak melakukan korupsi – apa mungkin seorang pejabat kelas daerah kabupaten/kota mampu membeli mobil-mobil seharga di atas Rp 200 juta hanya hitungan bulan? Kecuali mereka dapat warisan orangtua yang jumlahnya miliaran rupiah. “Apa mungkin 90 persen pejabat di Indonesia, baik di pusat maupun di daerah itu mendapatkan warisan harta kekayaan orangtua yang jumlahnya besar?”
Fungsi LHKP – tentang kekayaan seorang pejabat bisa dipercayai 100 persen seperti tertera dalam laporannya? Jauhlah panggang dari api. Tetapi, apa sanksinya, tidak ada. Hanya kegaduhan politik sesaat.
Adalah menarik untuk disimak rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang tunggakan kasus tindak pidana korupsi terbesar semester pertama 2015 di 10 Kejaksaan Tinggi. Disebutkan,  Kejati Jawa Timur menunggak 65 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp 269,1 miliar. Disusul tunggakan Kejati Sulawesi Selatan sebanyak 56 kasus kerugian negaranya mencapai Rp 97,1 miliar sebagaimana dikatakan Peneliti dan Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah Sabtu (17/10/2015) lalu.
Kejati Sumatera Utara menempati urutan keempat dengan 51 kasus kerugian negara mencapai Rp 1,3 triliun, Kejati Jawa Barat menunggak 46 kasus dengan kerugian negara capai Rp 325,5 miliar. Lalu, Kejati Nangroe Aceh Darussalam (NAD) 46 kasus kerugian negara mencapai Rp 338,9 miliar. Disusul Kejati Riau 45 kasus (Rp 1,5 triliun), Kejati NTT 40 kasus (Rp 609,2 miliar), Kejati Jambi 39 kasus (Rp 64,5 miliar), Kejati Maluku 34 kasus (36,9 miliar) dan Kejati Jawa Tengah 29 kasus dengan kerugian negara ditaksir Rp 111,5 miliar.
Rasanya sudah cukup lama rakyat menjadi penonton teaterikal panggung korupsi dan sudah selayaknya ada revolusi pemerintahan yang bersih dan aparat pemerintah yang jujur dan memiliki nilai nasionalis tinggi untuk tidak meronggrong perekonomian bangsa dan negara.

Administrasi Kependudukan



Oleh Naim Emel Prahana

SETELAH digantinya format dan status Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi e-KTP dengan tujuan untuk tidak ada lagi penduduk yang memiliki KTP ganda. Ternyata, masalah penduduk Indonesia belum juga terdata pada data base yang akurat dan jelas. Padahal, jika pemerintah memang berkeinginan untuk mendata penduduknya melalui perangkat pemerintahan sampai ke RT. Mungkin tidak akan lebih dari dua bulan sudah akurat.

Sensus penduduk yang selama ini digunakan pemerintah untuk membuat database kependudukan masih jauh dari yang diinginkan. Masalahnya, di mana keruwetan masalah pendataan penduduk itu? Belum lagi masalah administrasi kependudukan yang tidak menjalankan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Masih banyaknya calo di kalangan aparat pemerintah, baik di tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan menjadi salah satu kendala tertib administrasi kependudukan sampai saat ini. Seharusnya administrasi pendataan penduduk harus dimulai dari tingkat RT dan seterusnya ke tingkat kabupaten/kota. Akan lebih baik, mudah, lancer, akurat dan dengan biaya yang rendah. Sekali lagi, pemerintah terlihat setengah hati untuk mendata penduduk melalui tahapan administrasi tersebut.

Sebab, sampai saat ini data penduduk yang digunakan masih dari Badan Statistik dan Kantor Keluarga Berencana. Kedua badan itu tidak pernah sinkron berkaitan jumlah penduduk di suatu wilayah. Namun, dalam kegiatan lainnya data yang tidak akurat itu menjadi pedoman pemerintah seperti pelaksanaan pemilu dan pemilukada sampai kepada pembuatan (penerbitan) monografi suatu daerah kabupaten/kota.

Harus diakui kinerja aparat pemerintah bidang administrasi kependudukan masih sangat rendah dan tidak terpola dengan baik. Hanya menerima apa adanya, tanpa melalui verifikasi kependudukan yang berdasarkan realitas penduduk di suatu wilayah.

Jika menyimak UU No 24 Tahun 2013 tentang perubahan UU No 28 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan pasal 14 disebutkan tentang “data perorangan” penduduk di suatu tempat. Sebanyak 31 item data harus ada pada seorang penduduk. Membaca pasal 14 UU No 24 tahun 2013 itu, secara mudah, gampang dan akurasi data penduduk dapat di-database-kan. Kenyataannya belum bias.

Kenapa belum bisa? Pertanyaan itulah yang sulit dijawab akibat pengurusan administrasi kependudukan banyak yang tidak prosedural. Artinya, banyak proses – tahapan yang ‘dilompati’ disebabkan banyaknya makelar pengurusan administrasi kependudukan yang kebanyakan berasal dari PNS yang bertugas di Kelurahan maupun di Kecamatan.

Beberapa waktu lalu, penulis berbincang dengan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sang kadis mengakui banyak lurah yang mengurus administrasi kependudukan warga tanpa melalui proses dan minta langsung ke bagian operator untuk diterbitkan KK maupun KTP. Jika permohonan ‘makelar’ si lurah atau pegawai PNSnya itu dikabulkan. Otomatis data kependudukan semakin tidak terdata baik. Sebab, seharusnya permohonan penerbitan KTP maupun KK dimulai dari surat keterangan pengurus RT. Data dari RT itulah kemudian diolah dan dinaikkan ke kantor Disdukcapil.

Sebab banyak data penduduk yang sudah tidak tepat lagi, padahal amanat pasal 14 itu jelas tentang “alamat sebelumnya dan alamat tinggal sekarang”. Jadi, penduduk yang pindah ke tempat lain dalam satu kabupaten/kota secara permanen, ternyata masih tetap beralamat di alamat sebelumnya. Tempat tinggal barunya tidak terdata akibat proses penerbitan KTP atau KK yang melompati tahapan proses yang dibenarkan oleh UU No 24 tahun 2013.

Masalah tersebut adalah satu dari sekian masalah pencatatan penduduk yang semakin semberawut berpotensi – dampaknya akan lebih rumit seperti data riil penduduk di suatu daerah, daftar mata pilih, dan lain sebagainya.