Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sastra. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Oktober 2022

sajak Naim Emel Prahana


Lelaki di Tengah Cinta

Musim telah berganti

tanah sudah kering

daun berguguran

badai bergulung

membersih tubuh

debu halangi kalbu

 

lelaki pemanas birahi

diam di sepi

walau terik matahari

tak berusaha lari

sampai jadi pemikir

dirinya sendiri

mau ke mana?

 

terkadang lupa

di mana tempatnya

ingatan melayang

ia bersandar atas norma

sesal tak menjawab apapun

 

dalam lukiskannya

tergambar samudera

gelombang sesak didadanya

harap kembalikan doa-doa itu

dari diam ke tempat tersembunyi

biarlah semua berkata

 

lelaki itu adalah aku

dan kamu yang disisiku

mereka yang jauh

bergulat menghidupi cinta

fakta adalah nyata

bukan sekedar rasa

dusta dan sandiwara

 

16 April 2019.

sajak Naim Emel Prahana



Siapa Penjaga Kampung Ini

Jejak di lereng bukit

tiada pohon tak pula berumput

tebing sungai yang luka

nyanyian alam di hati garang

menyapa tanpa kata

salam terkunci gemuruh mesin

terceraiberai

 

pernyataan bak pedang samurai

air sungai diderai dusun terburai

gunung memabuk pemilik gedung

para penguasa pohon tumbang

lalu, bencana di mana-mana

 

para pemasung tangis

bersabda atas kursi dan tahta

gelisah tanpa aliran

gugur di medan amuk

tanpa suara tembakan

yang mati bergelimpangan

 

orang-orang berdakwah

rubuh ditusuk orang gila

kamus bahasa hilang tiba-tiba

perpustakaan ditinggal sepi

tak lagi ada kata sepadan

tentang ‘orang gila penusuk!”

 

penjaga dinamika harmonis

kelaparan di aliran lapar

sampai bencana alam

berjibaku merambah kampung

pagi ini Innalillahi wainnailaihi rojiun

siang ini Innalillahi wainnailaihi rojiun

sore ini Innalillahi wainnailaihi rojiun

malam ini Innalillahi wainnailaihi rojiun

hanya kalimat itu yang dapat diucap

untuk melindungi diri dari tuduhan ‘hoaks!’

 

2019.

Sabtu, 14 Februari 2009

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera

Menyingkap Peta Sastrawan Sumatera
Oleh Suyadi San

PULAU Sumatera tidak hanya penghasil rempah. Tak sebatas kawah candradimuka politik nasional. Sejarah membuktikan, swarnadwipa ini merupakan sokoguru budaya. Melayu, Minangkabau, Batak, Gayo-Alas-Singkil, Aceh, merupakan puak terbesar di samping kaum pendatang dari Jawa.
Dua kerajaan besar pra Indonesia bermukim di sini: Samudera Pasai dan Sriwijaya. Gugusan pegunungan membentang dan menjulang dari utara hingga selatan: Bukit Barisan. Toba, Singkarak, dan Maninjau adalah danau yang menjadi ikon semenanjung Sumatera.
Banyak lagi patut dibanggakan di wilayah ini. Tak ayal, pengarang-pengarang Indonesia kerap memotret Sumatera dalam figura budayanya. Ini terlihat jelas pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Deretan pengarang besar Indonesia lahir di sini dan membesarkan Indonesia Raya.
Persemaian wilayah sastra ini menjadi satu bagian penting dalam geosastra dan geopolitik kebudayaan Indonesia. Di arena Temu Sastrawan Sumatera dan Temu Sastrawan Sumatera Utara 2007, yang digelar Dewan Kesenian Sumatera Utara 28-30 Desember barusan, menggambarkan pemetaan semangat bersastra di kalangan sastrawan antarprovinsi di Pulau Andalas.
Pengembaraan kreativitas bersastra para sastrawan itu tertuang dalam satu medan, yakni sastra. Pertemuan antarsastrawan di Pulau Sumatera itulah yang melahirkan diterbitkannya buku Medan Sastra. Buku kumpulan karya sastra ini dimaksudkan sebagai satu penanda bahwa pulau ini tidak pernah kering melahirkan generasi sastra.
Tak heran, sebelum acara temu sastrawan ini berlangsung, sebelum buku tersebut diterbitkan, saya selaku editor dibantu rekan S. Ratman Suras, M. Raudah Jambak, dan Hasan Al Banna menerima ratusan karya. Karena keterbatasan waktu – juga dana – pula, kami hanya bisa meloloskan 85 judul karya sastra dari 57 orang penulis, terdiri atas 55 judul puisi dari 33 penulis, 20 cerita pendek (20 penulis), 2 naskah drama (2 penulis), dan 8 esai (8 penulis).
Nama-nama pengarang yang karyanya termuat di dalam buku ini, merupakan keterwakilan dari bejibunnya jumlah penulis karya sastra pada masing-masing provinsi dan daerah. Tak hayal, buku ini juga diisi sejumlah nama baru. Karyakarya mereka – untuk sementara ini – disandingkan dengan sastrawan generasi sebelumnya. Alam dan waktu yang akan menguji mereka: apakah mereka pantas menyandang ‘gelar’ sastrawan di kemudian hari.
Para penulis baru yang muncul pada buku ini, di antaranya Agus Mulia, Ahmad Badren Siregar, Antonius Silalahi, Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10 Djamal, Elidawani Lubis, Herni Fauziah, Januari Sihotang, Lia Anggia Nasution, Pria Ismar, Pusriza, Embar T Nugroho, Indra Dinata SC.
Ada pula nama Indra YT, Irwan Effendi, Richad Yanato, Rina Mahfuzah Nasution, Sumiaty KSM, Variati Husni, dan Yunita Sari. Itu semua dari Provinsi Sumatera Utara. Sumatera Barat mengutus sastrawan mudanya, seperti Anda S, Chairan Hafzan Yurma, Edo Virama Putra, Esha Tegar Putra, Pinto Anugrah, Yetti A.KA .
Yang jelas, generasi baru sastrawan Sumatera nyatanya terus berdenyut. Ia menjadi satu fenomena bahwa Sumatera tidak akan kehabisan penerus cita-cita sastrawan terdahulu. Buku ini barangkali akan jadi saksi sejarah tentang perjalanan sastra Sumatera.
Sumatera Utara selaku tuan rumah, tentu saja jadi penyumbang terbanyak pengisi buku. Selain sastrawan pemula di atas, sastrawan terkemuka daerah ini yang tampil meramaikan buku Medan Sastra ini, di antaranya, Afrion, Amin Setiamin, Damiri Mahmud, D. Ilyas Rawi, Harta Pinem, Herman KS, Idris Siregar, M. Yunus Rangkuti.
Lalu, Shafwan Hadi Umry, S. Ratman Suras, Zainal Arifin AKA, A. Yusran, Dini Usman, Hasan Al Banna, Hidayat Banjar, Malubi, M. Raudah Jambak, Nasib TS, Saripuddin Lubis, Sulaiman Sambas, Teja Purnama, Tengku Agus Khaidir, Yulhasni, Suyadi San, dan Syaiful Hidayat.
Selain melalui karya, peta sastrawan Sumatera secara jelas dapat dibaca melalui esai-esai yang terdapat di dalam Medan Sastra. Perkembangan dan jejaring sastra masing-masing provinsi diungkap Syaiful Hidayat (Sumatera Utara), D. Kemalawati (Nanggroe Aceh Darussalam), Ira Esmiralda (Bangka Belitung), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), Muhammad Husyairi (Jambi) dan Tarmizi (Kepulauan Riau).
Lalu, sastrawan Damiri Mahmud dan akademisi Dr. Ikhwanuddin Nasution M.Si menyoroti serta mengkritisi karya-karya dan perjalanan sastra Sumatera tersebut. Syaiful Hidayat pada esai yang terdapat di dalam buku ini menyatakan, sastra Indonesia menempatkan sastra dan sastrawan dari Sumatera Utara dan Sumatera Barat sebagai pelopor sastra modern Indonesia.
Konstelasi sastra itu menumbuhkan Kota Medan dan Kota Padang sebagai pusat sastra Indonesia yang utama di luar Pulau Jawa. Sastrawan dari kedua wilayah ini kemudian saling memberi warna sehingga muncullah Chairil Anwar dan Hamka sebagai orang Minang yang secara bersamaan melekat sebagai orang Medan.
Sebaliknya, Sutan Takdir Alisjahbana dan Mochtar Lubis sebagai orang Medan yang merasakan atmosfer sastra Minang. Mereka merupakan bagian dari kelas menengah Hindia Belanda yang memperoleh pendidikan, sehingga terampil dalam mengekspresikan gagasannya, pandangan hidup sebagai subjek kolektif.
Menurut penilaian Damiri Mahmud, saat ini geliat kepengarangan Sumatera makin ramai, terutama puisi dan Cerpen. Para penulis Sumatera ini tampak berusaha melepaskan diri dari Jakarta yang selama ini dianggap sebagai sentralisasi sastra. Kata Damiri lagi, kantong-kantong sastra di beberapa tempat di Sumatera diusahakan seintensif mungkin. Kegiatan-kegiatan pertemuan, diskusi, sayembara, penerbitan buku begitu marak dilakukan.
Damiri memperkirakan, Riau paling depan dalam geliat bersastra. Pada dekade 60-an dan 70-an daerah ini masih terasa sepi dari kegiatan dan para sastrawan. Tapi sekarang begitu banyak kegiatan dan muncul tokoh-tokoh kenamaan. Mereka pun sangat giat menggali akar tradisi sastranya. Karya-karya Raja Ali Haji misalnya, kembali ditransliterasi dan
diterbitkan.
Sedangkan Sumatera Utara, sebagaimana halnya Riau, tampaknya punya kedekatan sejarah dengan Semenanjung Malaysia. Karya-karya para sastrawan banyak yang terbit di sana. Setidaknya 12 novel telah dibukukan dan beberapa antologi puisi dan Cerpen.
Ada pula even “Dialog Utara” yang dilaksanakan sejak awal 1980-an yang pada mulanya diisi oleh para sastrawan dari Medan dan Pulau Pinang yang dianggap sebagai kota kembar karena kemiripannya yang sama-sama memiliki tradisi sebagai kota pantai.
Tampaknya di antara genre sastra yang banyak ditulis adalah puisi dan kemudian cerita pendek. Kurang diimbangi oleh penulisan novel. Barangkali penulisan novel memerlukan waktu yang lama dan dukungan dana yang besar sementara para penulis sekarang pada umumnya punya kegiatan rangkap.
Tradisi sebagai “pujangga istana” di zaman kerajaan dulu telah hilang. Sebagaimana diketahui Hamzah Fansuri dan Raja Ali Haji, sedikit banyaknya merupakan “pujangga istana” sehingga di samping dukungan dana, misi yang mereka tulis bisa dengan cepat dapat terlaksana.
Deknong Kemalawati dalam esai nya memaparkan sejumlah generasi sastra Aceh. Generasi sastra Aceh ini dimulai dari Angkatan Sufi. didominasi oleh tema agama terutama mengenai tasawuf (mazhab; aliran), hal ini menandakan perkembangan (pengkajian) masalah agama di Aceh berada dalam priode emas.
Salah satu faktor penyebabnya adalah Sultan (raja) memberikan akses yang seluas-luasnya kepada penyair untuk berkarya. Di samping itu, penyair (dinominasi kaum ulama) sangat dihargai kerajaan, sehingga mereka menjadi mufti. Pada zaman itu, politik telah memainkan peranan yang besar dalam perkembangan kesusastraan di Aceh. Terutama, persengketaan mazhab Hamzah Fansuri dengan Nuruddin ar-Raniri—mengenai faham wujudiyah. Dalam catatan sejarah banyak karya Hamzah Fansuri dan ikutannya dimusnahkan oleh kerajaan atas saran dari Nuruddin ar-Raniri.
Angkatan Pujangga Baru didominasi tema ketuhanan dan keindahan alam. Selain itu, bentuk karya masih dipengaruhi terutama oleh bentuk pantun dan syair Melayu. Selanjutnya angkatan pertengahan corak (bentuk) dan tema karya sudah mulai kaya—tidak terpaku dalam bentuk syair dan pantun Melayu.
Selain masih didomonasi tema-tema di atas, tema pada angkatan ini sudah diperkaya dengan tema-tema heroik kepahlawanan. Seiring perkembangan politik yang terjadi khususnya di Aceh maka karya sastra pun mengalami corak dan temanya sesuai dengan kondisi zaman tersebut.
Tema-tema kepahlawanan pasca Pujangga Baru, menurut Kemalawati, bermula dari “pemberontakan” DI/TI dipimpin Daud Beureueh pada 1953. Kemudian dilanjutkan dengan “perlawanan” GAM sejak 1976 dipimpin Hasan Tiro. Sejak saat itu Aceh terus melakukan perlawanan terhadap pemerintah, apa lagi setelah diterapkannya DOM (Daerah Operasi Militer) pada 1989 oleh pemerintah Orde Baru. Setelah kejatuhan Soeharto 1998 dilanjutkan dengan Darurat Militer, yang berakhir pascatsunami dengan perjanjian damai (MOU) antara RI dengan GAM. Kondisi ini telah memunculkan sastrawan (penyair) angkatan konflik. Tema-tema yang mendominasi angkatan ini adalah tentang perlawanan (mencari keadilan) dan tragedi kemanusiaan. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 membawa banyak perubahan dalam segala bidang kehidupan masyarakat Aceh. Bermunculanlah karya-karya sastra, baik yang ditulis oleh penyair-penyair yang sudah konsisten maupun muka-muka baru. Orang-orang “berlomba-lomba” menulis, menerbitkan, pelatihan-pelatihan serta menampilkan karya sastra menjadi seni pertunjukan.
Waspada Online http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 27 December, 2008, 20:10
Dalam catatan Kemalawati, ada beberapa perkumpulan (swasta) yang eksis sampai sekarang terutama dalam hal pelatihan dan penerbitan karya sastra, di antaranya, Bangkit Aceh, Lapena, ASA, Do Karim, Tikar Pandan, AmuK Community, Aneuk Muling Publishing, Aceh Culture Institute dan lain-lain. Bagaimana dengan Bangka Belitung? Bangka Belitung merupakan provinsi baru. Kelahirannya tak berjauhan dengan kelahiran Provinsi Banten, Gorontalo dan Kepulauan Riau. Konstelasi sastra provinsi ini dikupas dalam esai Ira Esmiralda (hal. 262-265).
Dari esai Ira ini, kita mengetahui peta perjalanan sastra di Bangka Belitung. Menurut Ira, kaum terpelajar menggeluti sastra lebih memilih keluar Bangka Belitung (Jawa) dan berkarya di sana. Pada tahun 1930-an muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan karyanya Kehilangan Mustika.
Setelah itu dunia sastra (tulis) di Bangka Belitung mengalami stagnasi panjang. Hingga tahun 1980-an, muncul nama Ian Sanchin (Belitung) dan Willi Siswanto (Bangka) yang memublikasikan Cerpen remajanya di beberapa majalah remaja dan keluarga. Drama sangat diminati oleh remaja atau pelajar Bangka. Pada masa ini, kelompok-kelompok teater remaja dan pelajar bermunculan dan pementasan teater cukup sering diadakan. Namun pada pertengahan 1990-an, seiring keluarnya remaja-remaja tersebut ke kota lain untuk melanjutkan studi, kehidupan teater di Bangka meredup lalu vakum.
Pada 1990-an akhir, muncul koran daerah pertama di Bangka, Bangka Pos (group Kompas). Lembar budaya minggu pada koran tersebut telah meletakkan dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan sastra di Bangkabelitung. Willi Siswanto, Nurhayat Arif Permana sebagai redaktur budaya Bangka Pos mengajak penyumbang tulisan sastra di lembar budaya Bangka Pos untuk membentuk sebuah komunitas sastra. Hingga terbentuklah Komunitas Pekerja Sastra Pulau Bangka (KPSPB) pada 2000.
Ira juga menyebutkan, kantong-kantong sastra di Bangka Belitung terpusat di Pangkal Pinang (ibukota Bangka Belitung) dan Sungailiat (ibukota Kabupaten Bangka). Pegiat sastra di Pangkal Pinang terdiri dari latarbelakang profesi. Mulai pensiunan guru, pegawai KUA, sampai yang betul-betul hanya mengandalkan tulisannya sebagai jalan hidup. Di Sungailiat, para pegiat sastranya umumnya memiliki latarbelakang profesi yang lebih homogen. Semuanya rata-rata pegawai negeri sipil. Dari guru, pejabat Pemda, sampai reporter.
Lampung menyumbang Isbedy Stiawan ZS. Di dalam esainya (hal. 266-272),, Isbedy gambling menyebut peta sastra Indonesia tidak lengkap tanpa Lampung. Itu, dimulai dari kiprah Assaroeddin Malik Zulqornain Ch alias Amzuch. Perkembangan berikut, para perantau: Naim Emel Prahana, Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z dan Djuhardi Basri. Bersamaan itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.
Isbedy tidak menafikan peran kampus yang cukup besar. Sumbangsih terbesar adalah Universitas Lampung. Muncullah nama Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman dan Elya Harda. Jambi melalui esai Muhammad Husyairi (hal. 273-276) membuat peta sastrawan Jambi dalam tiga generasi. Sebagian besar dari tiga generasi tersebut didominasi oleh para penyair. Generasi pertama Ghazali Burhan Riodja (Alm) dan Yusuf Asni.
Di lapis kedua ada Dimas Arika Mihardja, Acef Syahril (sekarang berdomisili di Indramayu), Iif Ranupane, Dimas Agus Pelaz, Iriani R. Tandi, Budi Veteranto, Ari Setya Ardhi, EM. Yogiswara, Nanang Sunarya, Suardiman Malay, Firdaus, Asro Al-Murthawy, Amri Suwarta dan Indriatno. Secara kekaryaan, generasi lapis kedua ini muncul pada paruh tahun delapan puluhan dan sembilan puluhan.
Sedangkan generasi ketiga yang muncul setelah tahun sembilan puluhan, sebut saja Muhammad Husyairi (Ary MHS Ce’gu), Yupnical Saketi, Ide Bagus Putra, Ramayani, Oton Marton, Alpakihi, Putra Edison, Emen Sling, Muhammad Muslih, Berry Hermawati, Yohana, Titas, Gita Romadhona, Chori Marbawy, Pendra Darmawan, Anshori Bharata, Monas Junior dan Fahrizal Eka. Begitulah. Konstelasi sastra pulau Sumatera tersingkap di dalam buku
Medansastra. Kita berharap, buku tersebut menjadi sumbangan bagi sejarah sastra di Sumatera, kelak! Amiin. (Staf teknis Balai Bahasa Medan). (wns)

Pengertian Petulai

Thanks to Curup Kami to find this article

Untuk menyelami dan memahami Hukum Adat suku bangsa Rejang, memang diperlukan benar pengetahuan tentang sejarah suku bangsa itu. Sebelum kita membicarakan Hukum Adat Mereka, perlu rasanya diterangkan lebih dahulu, seluk beluk atau susunan masyarakat Hukum Adat mereka, karena sangatlah erat sekali hubungan antra kedua persoalan tersebut. Adanya Hukum Adat disebabkan oleh adanya Masyarakat Hukum Adat, karena Masyarakat Hukum Adat merupakan satu himpunan manusia yang tunduk pada satu kesatuan hukum yang dijalankan oleh penguasa yang timbul sendiri dari Masyarakat Hukum Adat itu.
Dalam sejarah kita melihat bahwa asal usul tempat kediamana sukubangsa Rejang ialah di wilayah Lebong sekarang. Mereka berasal dari Empat Petulai, yaitu Jurukalang, Bermani, Selupu dan Tubai (Tubei).
Perkataan mego yang disamakan dengan perkataan petulai oleh beberapa penulis, tidak asli dan merupakan terjemahan perkataan marga ke dalam Bahasa Rejang. Ini terbukti, karena perkataan mego baru muncul di dalam buku De Redjang dari almarhum Hazaitin (1936), yang dikutipkan dari sebuah tambo karangan Muhamad Hoesein yang menyamakan petulai dengan bang-mego atau marga.
Kemudian ada pula sarjana Barat yang turut berpendapat bahwa petulai sama dengan mego, dan ini sebenarnya membingungkan dan juga tidak tepat, karena baik buku-buku karangan orang-orang inggris seperti Marsden dan Raffles maupun karangan orang - orang Belanda seperti Rees dan Swaab, tidak menyebut perkataan mego
Hasil penelitian saya sendiri di wilayah-wilayah Lais, Rejang dan Lebong, perkataan mego tidak dikenali oleh orang tua-tua suku Rejang sebagai sebutan clan mereka. Yang mereka kenal adalah perkataan petulai sebagai sebutan.
Apakah yang dimaksud dengan Petulai?
Petulai adalah kesatuan kekeluargaan yang rimbul dari sistem unilateral (disusurgalurkan kepada satu pihak saja), dengan sistem garis keturunannya yang Patrilineal (penyusur-galuran menurut garus bapa) dan cara perkawinannya yang eksogami, sekalipun mereka berada terpencar pencar dimana mana.
Disebut unilateral patrilineal, karena memperhitungkan garis keturunan sepihak saja, yaitu pihak bapak. Perhatikan dari perkawinan dari Biku Bermano dengan putri Senggang anak Rajo Megat pengganti Bikau Sepanjang Jiwo, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bermano dan masuk kesatuan kekeluargaan petulai Bermani.
Kita lihat pula perkawinan dari Bikau Bembo dengan putri Jenggai anak Bikau Bermano, keturunannya masuk garis keturunan Bikau Bembo dan kesatuan kekeluargaan Petulai Jurukalang. Demikian juga dengan perkawinan Rio Taun dari petulai Jurukalang dengan putri Jinar Anum dari petulai Tubeui, keturunannya masuk petulau Jurukalang.
Disebut eksogam, karena ada larangan kawin dengan anggota sepetulai. Ini ternyata dari perkawinan-perkawinan tersebut di atas dan dari denda maskuteui di kemudian hari sebagai hukuman atas sesuatu pelanggaran karena kawin dengan orang sepetulai.
Seterusnya larangan manari antara gadis/bujang petulai Tubeui dengan bujang/gadis petulaiMerigi memperkuat cara perkawinan eksogami di sukubangsa rejang dan memang sudah sewajarnya harus demikian, karena eksogami adalah syarat mutlak bagi timbulnya petulai sebagai clan.
Sistem kekeluargaan yang patrilineal inilah merupakan tulang punggung dari masyarakat Rejang, yang di bina dari keturunan petulai mereka masing masing, yang semuanya terikat satus ama lain menurut garis laki-laki. Sistem kekeluargaan ini mempengaruhi sistem kemassyarakatan dan akhirnya ini mempengaruhi pula bentuk kesatuan kekuasaan
.dalam masyarakat.(disarikan dari buku Hukum Adat Rejang, admin)

Reference:
1. Tanah rejang http://rejang-lebong.blogspot.com
2. Prof Abdulla Siddik, Hukum adat rejang, 1980 hal 101-103
3. Ter Haar, Adat Law in Indonesia (terjemahan ) 1962 hal.171
4. Hazairin, De Redjang hal 1 dan Muhammad Hoesein, Tembo naskah
5. MA Jaspan, From Patriliny to Matriliny, thesis, canberra 1964 hal 140, 144
6. Hazairin, Hendak kemana hukum islam, 1960, hal 9.

Selasa, 23 September 2008

Sastra Lisan Suku Rejang yang Nyaris Punah

Serambeak:
Sastra Lisan Suku Rejang yang Nyaris Punah
Suku Rejang, yang dikenal sebagai satu di antara sedikit suku asli penduduk Bengkulu, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi tulisan, adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan, suku ini juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun, Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih populer digunakan sehari-hari — baik oleh orangtua, remaja, dan anak-anak — dalam berinteraksi.
Kekayaan budaya suku Rejang, dalam pandangan seorang pemerhati masalah budaya di Bengkulu, Drs Tommy Suhaimi MSi, direfleksikan dengan banyaknya orang asing serta pejabat pemerintahan di zaman Belanda dan Inggris yang menulis dokumen tentang suku-bangsa ini. Setiap kali akan mengakhiri jabatannya di wilayah yang didiami suku Rejang, pejabat penjajahan di masa lalu itu selalu menyempatkan untuk menulis dokumen tentang suku Rejang dalam bentuk pidato pertanggungjawabannya. Dokumen ini di kemudian hari menjadi bahan kajian bagi pejabat berikutnya.
Serambeak sendiri bisa diartikan sebagai pengungkapan cetusan hati nurani dengan menggunakan bahasa yang halus, indah, berirama, dan banyak menggunakan kata-kata kiasan. Menurut Tommy, yang kini menjabat Kepala bagian Humas Pemda Kodia Bengkulu, serambeak dipakai dalam bidang yang cukup luas oleh suku Rejang. Dalam kehidupan sehari-hari — waktu bermusyawarah maupun mengobrol biasa — sering disisipkan serambeak di tengah pembicaraan. Begitu juga ketika menyambut tamu yang dihormati, serta dalam rangkaian kegiatan perkawinan, dalam pergaulan muda-mudi, dan lain-lain.
Salah satu contoh serambeak yang umum adalah:
Indo ro dep i’o ba taai, ne,
Indoro gung i’o ba keliuk ne
(Bagaimana bunyi rebab begitulah tarinya,
bagaimana bunyi gong begitulah lenggangnya).
Maksud serambeak ini adalah bahwa sesuatu tindakan atau kegiatan seseorang hendaklah sesuai dengan situasi dan kondisinya.
Serambeak juga biasa digunakan saat seseorang menasehati orang lainnya agar menyesuaikan diri dengan lingkungan baru serta bergaul dengan orang lain. Demikian pula nasehat agar dalam mendidik dan menjaga anak bujang maupun gadis, para orangtua hendaklah hati-hati penuh kearifan dan bijaksana. Nilai agama haruslah ditanamkan sejak kecil.
Bagi suku Rejang, tamu memiliki arti penting yang harus dihormati dan dilayani dengan baik. Oleh sebab itu serambeak khusus untuk tamu juga banyak ragammnya. Di antaranya:
Dio ade iben sapai daet, moi mbuk iben.
Iben ade delambea, gambea ade decaik, pinang ade desisit, rokok ade depun.
Ibennyo iben pena’ak magea suko panggea.
Salang tun dumai belek moi talang.
Salang tun talang belek moi sadei.
Dapet kene ta’ak dengen tawea.
Salang magea mendeak simeak.
Arak suko padaa ngalo.
Arak magea mendeak simeak.
Agang magea suko panggea.

Terjemahannya kira-kira:
Ada sirih terhampai di darat, makanlah sirih. Sirih ada selembar, gambir ada secarik, pinang ada seiris, rokok ada sebatang. Sirih ini sirih penyapa untuk para tamu yang berdatangan. Sirih penyapa bukan karena membuat kesalahan, tidak pula karena membuat yang tidak baik. Sirih penyapa karena kami penuh harap, harap kepada tamu yang datang. Gembira karena memenuhi undangan. Sedangkan orang di ladang pulang ke talang, orang di talang pulang ke dusun. Semuanya diundang, rasa suka dan gembira atas kedatangan tamu semuannya.
Bagi muda-mudi, kesantunan seseorang terucap dari serambeak yang disampaikan. Berikut ini contohnya:
Tun meleu diem puluk kelem.
Tun titik diem beak lekok.
(Orang hitam diam ditempat gelap.
Orang kecil berada di lembah yang dalam).
Serambeak ini bermaksud sebagai sikap merendahkan diri bahwa ia orang yang serba kekurangan dan penuh kelemahan. Pemakainya biasa digunakan oleh remaja waktu pacaran sebagai ungkapan bahwa ia penuh kekurangan.
Contoh serambeak muda-mudi lainnya:
Asai tekecep tebau nak talang.
Asai tekenem bioa nak imbo.
Asai mendaki munggeak mendatea.
(Rasa tercicip tebu di Talang.
Rasa terceminum air digunung.
Rasa lega ketika tiba di tempat datar setelah mendaki tebing yang tinggi).
Serambeak ini bermakna cetusan kegembiraan ketika seseorang mendengar atau mendapatkan sesuatu yang telah lama didambakan. Biasa digunakan oleh muda-mudi ketika mendegar sang pujaan memberikan harapan-harapan yang muluk atau sesuatu yang diinginkan.
Keunikan suku Rejang yang jumlahnya diperkirakan sekitar 900 ribu jiwa — mereka menghuni Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Bengkulu Utara, Kabupaten Musi Rawas (Sumsel), dan Kabupaten Lahat (Sumsel) — mampu menarik perhatian peneliti asing. Burhan Firdaus dalam bukunya Bengkulu dalam Sejarah yang diterbitkan oleh Yayasan Seni Budaya Nasional Indonesia 1988, mengungkapkan adanya seorang peneliti dari Australia Prof MA Jaspan dari Australia National University (ANU) yang menetap bersama keluarga setempat tahun 1961-1963 untuk meneliti suku bangsa Rejang.
Jaspan menghasilkan beberapa buku, antara lain From Patriliny to Matriliny, Structural Change Amongst the Redjang of Soutwest Sumatra, Folk Literature of South Sumatra: Redjang Ka-ga-nga Texts, dan The Redjang Village Tribunal. Buku-buku itu sampai kini jadi bahan kajian penting bagi mahasiswa asing yang mengambil studi sejarah budaya Indonesia.
Residen kedua Bengkulu, Prof Dr Hazairin SH, yang oleh pemerintah dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 1999, mempertahankan disertasi doktornya berjudul De Redjang untuk mendapatkan gelar PhD, dalam bidang hukum adat.
Menurut Ketua Masyarakat Adat Bengkulu Zamhari Amin, serambeak membuktikan bahwa nenek moyang kita dahulu mempunyai budi bahasa, sopan santun, perasaan hati nurani yang halus, dan tatacara pergaulan yang tinggi nilainya. Oleh karena itu, sudah sewajarnya generasi muda sebagai generasi penerus mengadakan penelitian, pengumpulan, guna menggali dan menghidupkan kembali budaya yang tinggi nilainya agar diketahui dan dipelajari oleh khalayak ramai.
Kalangan orangtua yang masih memahami dan menguasai dinamika kebudayaan sukubangsa Rejang, menurut Zamhari, kini sudah semakin berkurang. Mereka pada umumnya tidak meninggalkan bukti tertulis tentang seluk-beluk kebudayaan Rejang.
”Jika kondisi ini terus berlangsung, dalam lima dasawarsa mendatang, tidak hanya serambeak, tapi kebudayaan suku Rejang tidak akan diketahui lagi oleh generasi mudanya. Selain itu, orang Rejang sendiri terdistorsi oleh kebudayaan lain bahkan budaya asing,” ujarnya. maswandi (republika.co.id)

Sastra Dan Komunitas

Sastra Dan Komunitas
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan
RAGAM perebutan kekuasaan dalam dunia sastra (seni dan budaya), terkadang tidak lagi menjadi jejak-jekak perkembangan sastra di Indonesia. Kendati, semacam komunitas sastra—seperti komunitas masyarakat seni budaya lainnya, komunitas-komunitas itu menjadi pernik-pernik perjalanan sastra itu sendiri. Untuk memelihara jejak tadi, dibutuhkan seorang kritikus dan penulis sastra yang bijak dan berpola pikir maju.

Pasca Kongres Komunitas Sastra Indonesia—KSI di Kudus awal 2008, tepatnya 19—22 Januari 2008 lalu. Disebut-sebut sebagai kongres pertama KSI memberikan saya semacam “catatan tengah” tentang pergulatan sastrawan Indonesia selama ini. Yang pernah dan masih diombang-ambingkan oleh icon-icon community—komunitas. Perdebatan pun melahirkan kelompok-kelompok penggiat sastra dan kelompok-kelompok itu pada akhirnya mengklaim wadah komunikasi mereka sebagai komunitas sastra.
Menyangkut peran, kelompok atau komunitas sastra dalam bentuk apapun, termasuk penggiatnya (sastrawannya) memiliki peran positif dan konstruktuf dalam perkembangan sastra Indonesia; dulu, esok dan seterusnya. Hanya saja, perdebatan mengenai komunitas itu sendiri membuat perkembangan sastra Indonesia tidak lebih dari debat kusir yang menginggalkan substansi kesastraan itu sendiri.
Menjelang tahun 1987 dikotonomi sastra di Indonesia benar-benar tidak baik dan sehat. Disebut-sebut ada komunitas sastra koran, sastra buku, sastra kamar, sastra lokal, sastra Jakarta, sastra konstektual, sastra pedalaman dan dikotonomi lainnya. Ide dasar penyebutan itu hanya melihat alur penempatan karya-karya sastra itu sendiri. Di sisi lain, perdebatan sengit antara sastra pop dengan sastra serius versi akademisi berlangsung terus. Tidak pernah berhenti dan tidak pernah ada yang mau mempertemukan perbedaan dan persamaannya.
Itulah, pada Forum Puisi Indonesia 1987 di TIM Jakarta, banyak sastrawan menjadi antipati untuk membangun dunianya dengan kesepakatan untuk kembali ke daerah masing-masing. Sementara di daerahnya sastra belum mendapat tempat sebagaimana mestinya. Kendati, denyut sastra di tengah masyarakat sudah menjadi filosofi kehidupan sehari-hari.
Dari sejumlah banyak media cetak yang peduli terhadap karya sastra—toh mitos Jakarta dan beberapa media cetak tertentu dijadikan kultus sebagai kiblat sastra. Itu, tidak ada referensi tertulis atas komitmen yang dikeluarkan dalam moment tertentu. Tapi, secara lisan dan karena adanya kamus sebutan komunitas sastra—menjadi kultus Jakarta dan media cetak tertentu, tetap hidup langgeng hingga saat ini.
Biodata penyair atau cerpenis yang menyebut karyanya pernah dimuat di majalah Horizon, Kompas atau menjadi peserta forum-forum sastra, menjadi biografi yang populer. Sekaligus melenyapkan penyair atau cerpenis yang yang karyanya dimuat di koran atau majalah di luar kedua media cetak tersebut. Ini kenyataan, padahal tidaklah demikian.
Parni Hardi menulis, “ Memang, hampir semua cabang kehidupan bangsa ini masih berkiblat ke Jakarta dan kota besar. Jakarta dan kota besar masih dianggap barometer sukses seseorang, perusahaan atau organisasi, termasuk lembaga kebudayaan dengan para seniman dan budayawannya. Sebelum tampil di panggung Jakarta dan disiarkan oleh media massa nasional yang ada di Jakarta seseorang dianggap belum mencapai puncak prestasinya!”.
Dengan panjang lebar Parni Hardi menjelaskan, komunitas sastra tentu tidak hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja, tapi juga di daerah-daerah. Bagus sekali Kongres KSI ini bisa diadakan di Kudus, tidak di Jakarta atau kota besar lainnya. Jika ada istilah 'komunitas sastra', saya ingin menambahkan istilah 'sastra komunitas'. Anggota KSI umumnya adalah sastrawan yang telah mengenyam pendidikan, bahkan sampai jenjang tertinggi. Karya-karya anggota KSI juga sering diukur peringkatnya dengan standar yang berbasis ukuran orang-orang yang berpendidikan formal.

Uraian sederhana dan singkat Parni Hardi itu ada benarnya. Walau tidak menjabarkan soal sastra lokal, sastra komunityas atau komunitas sastra. Belum lagi soal sastra lisan yang banyak melahirkan sastrawan besar, karena kemampuannya meng-teks-kan karya sastra lisan menjadi sastra tulisan. Sastra lisan yang cenderung berisi filosofi kehidupan masyarakatnya, jika ditulis ulang, kualitas dan populeritas materi maupun penulisnya dapat melampaui penulis sastra yang hanya bergelut dengan sastra tulisan.
Sebenarnya, menurut hemat saya tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang sastra itu; lisan atau tulisan. Sebab, sastra yang membumi adalah sastra yang tidak dibatasi oleh waktu, ruang dan tempat serta tidak hilang karena perkembangan peradaban manusia. Sayangnya, sastrawan sendiri lebih suka dikelompok-kelompokkan dan lebih merasa bangga jika disebut-sebutkan sebagai anggota sebuah komunitas sastra tertentu.
Urutan yang pantas kita satukan adalah proses kreatif dunia sastra itu sendiri. Dari bahasa lisan (sastra lisan) kemudian dituangkan ke dalam bentuk tulisan, kemudian dimusikalisasikan, dipentaskan, diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (sesuai penilaian objektifnya). Pada fase berikutnya, mulailah sastra diajarkan di lembaga-lembaga formal (lembaga pendidikan) dengan membuat struktur, mekanisme dan format sastra dan karyanya.
Dan, selanjutnya sastra terus dikembangkan dan berkembang sedemikian pesat dan terus, terus berkembang tanpa henti. Politikus, penulis buku ilmu dan pengetahuan serta teknologi pun akhirnya mengutip karya-karya sastra seseorang (puisi khususnya). Itu berarti, para penulis karya sastra berusajha bagaimana mempublikasikan karya sastra untuk dimengerti oleh masyarakat luas. Perjalanan dalam perkembangan sastra itulah yang menjadi itu, bahwa karya sastra yang bagus itu tidak dibatasi oleh waktu dan tempat.
Karya-karya sastra yang berdurasi sekian kurun waktu—seperti lagu-lagu anak-anak muda saat ini. Ketika lagu baru ke luar, maka lagu sebelumnya yang ngetop dan ngepop sirna secara otomatis. Karya sastra bukan seperti itu. Ia lahir tanpa paksaan, ia besar tanpa dicipta-ciptakan atau direkayasa sedemikian rupa oleh penghargaan yang diberikan oleh kelompok/komunitas sastra itu sendiri.
Lalu, masihkah kita mempersoalankan nama “sastra tradisionil” dengan “sastra modern”? atau kelas-kelas dalam kelompok penggiat sastra Indonesia. Hemat saya, persoalan itu diangkat ke permukaan, karena kedangkalan para sastrawan itu sendiri—dengan catatan mereka adalah anggota sebuah komunitas sastra.
Akhirnya, saya berpikir. Kalaulah sastra Indonesia itu diinginkan menjadi karya sastra dunia. Maka, pemahaman lebih luas tentang penggiat, karya dan sastra itu harus melekat pada diri sastrawan, kritikus, cerpenis, penyair dan penulis sastra. Mereka mempunyai tanggungjawab untuk mempublikasi—menyebarkan sastra (karya sastra) yang lisan yang tulisan ke semua lapisan masyarakat. Di mana dan kapanpun.

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan

Khazanah: Sastra Lampung, dari Kelisanan ke Keberaksaraan
Udo Z. Karzi
Dang lupa di lapahan, ingok jama sai tinggal
(Jangan lupa tujuan, ingat dengan yang tertinggal
PESAN tetua jelma Lampung (orang Lampung) kepada anak muda Lampung yang hendak merantau ini seperti tak berarti banyak ketika melihat kondisi riil di Lampung -- spesifiknya Bandar Lampung -- saat ini. Anak muda yang beretnis Lampung sedemikian malu dengan kelampungannya. Jika sudah demikian, apa yang bisa diharapkan dari orang-orang yang kehilangan identitas dan tengah mencari identitas baru?
Bahasa menunjukkan bangsa, kata pepatah lama. Bahasalah yang membangun peradaban di dunia ini. Maka, kata kunci untuk melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan bahasa-sastra Lampung adalah mengembalikan bahasa-sastra Lampung ke fungsi aslinya. Masyarakat dan kebudayaan Lampung terbentuk oleh bahasa Lampung. Ya, bahasa Lampung
Setelah itu, bukan pada tempatnya kita bertanya lagi, masyarakat Lampung yang mana? Kebudayaan Lampung yang mana? Kesenian Lampung yang mana? Sastra Lampung yang mana? Bahasa Lampung yang mana? Karena, kalau kita sepakat untuk mengembangkan kebudayaan Lampung, jawabnya hanya satu yang harus kita ingat: Lampung. Barangkali, ada saja yang menuding ini sektarian, primordial, dan ... bernasionalisme sempit. Tapi, mau apa lagi? Otonomi daerah memberi kesempatanseluas-luasnya untuk mengembalikan potensi lokal-ada yang menyebutnya dengan lokal genius, kearifan lokal, tradisi lokal, pesona daerah, dan sebagainya-setelah bertahun-tahun ditenggelamkan olah semangat nasionalisme (Indonesia).

Sastra Lampung Punah
Pengamat sastra (berbahasa) Lampung A. Effendi Sanusi (2001) menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan sastra lisan Lampung. "Sastra lisan Lampung terancam punah karena masyarakat makin jauh dari tradisi leluhur mereka," katanya
Kegelisahan yang sama juga dikemukakan berbagai kalangan: masyarakat awam, akademisi, praktisi seni, bahkan juga aparat pemerintah yang selama ini dituding-tuding tak memiliki kepedulian. Diskusi, seminar, atau perbincangan baik formal maupun tidak formal, serius maupun yang sekadar untuk mengisi waktu luang, berlangsung di berbagai kesempatan dan berbagai tempat
Untuk sastra (berbahasa) Lampung, berbagai dalih akan mengemuka jika ditanyakan mengapa tak dikenal, mengapa tak diminati, mengapa mulai ditinggalkan, mengapa tak berkembang, mengapa tak berdaya, dan mengapa tak berprospek. Argumen yang dibangun pun sebenarnya tidak menyerempet ke akar masalah karena tidak didasarkan pada pengalaman empiris di dalam masyarakat pendukung (praktisi) sastra (lisan) Lampung di komunitas-komunitas tertentu
Membandingkan dengan sastra daerah lain, seperti Jawa, Sunda, dan Bali yang berkembang pesat, mengapa sastra (berbahasa) Lampung yang sejak lama memiliki aksara (huruf) Lampung malah seperti hidup segan mati tak mau? Dengan potensi yang ada (bahasa, aksara, dan seniman), seharusnya sastra (berbahasa) Lampung dapat maju pesat. Namun kenyataannya?
Mari kita perdebatkan lagi. Tapi, tak cukup hanya berdebat karena kita harus segera melakukan sesuatu yang lebih konkrit untuk menyemarakkan kehidupan sastra (berbahasa) Lampung. Lihat bagaimana sulitnya anak sekolah dasar dan menengah menangkap pelajaran bahasa dan sastra Lampung yang kini menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah karena memang teks-teks berbahasa Lampung sangat terbatas. Masalahnya sederhana, bagaimana kita mengharapkan orang menikmati sastra (berbahasa) Lampung -- apalagi hendak menulis puisi, cerpen, novel, atau apa pun karya sastra -- kalau orang itu tidak mengerti bahasa Lampung paling awam sekalipun?
Dari Kelisanan ke Keberaksaraan
SEPERTI daerah lain, Lampung yang menurut Naim Emel Prahana mempunyai akar Melayu, memiliki tradisi (sastra) lisan yang kaya dan potensial. Sastra lisan Lampung mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan etnik Lampung. Sastra lisan Lampung berfungsi sebagai pengungkap alam pikiran, sikap, dan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Lampung
Effendi membagi sastra lisan Lampung menjadi lima jenis: peribahasa (sesikun/sekiman), teka-teki (seganing/teteduhan), mantra (memmang), puisi, dan cerita rakyat. Puisi Lampung berupa paradinei, pepaccur/wawancan, pattun/segata/adi-adi, bebandung, dan ringget/pisaan/wayak
Inilah kekayaan terpendam di tanah Sang Bumi Ruwa Jurai. Sebagaimana dikatakan Ajib Rosidi (1995), Indonesia sangat kaya dengan tradisi lisan yang kesemuanya lahir dalam bahasa-bahasa daerah yang jumlahnya ratusan. Dalam bahasa Indonesia, tradisi demikian boleh dikatakan belum berkembang, mengingat umur bahasa Indonesia yang belum satu abad.
Jika memang benar Lampung memiliki akar Melayu, pernyataan Ajib Rosidi bahwa bahasa Melayu yang sebagai bahasa daerah memang kaya tradisi lisan dengan atau dalam serbadialeknya (Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Jakarta, dan lain-lain); maka seharusnya sastra Melayu Lampung dapat berkembang pesat. Setidaknya, tidak jalan di tempat seperti sekarang ini
Sastra lisan Lampung merupakan milik kolektif etnik Lampung. Sastra ini banyak tersebar di masyarakat dan menjadi bagian yang sangat penting dari kekayaan budaya etnik Lampung. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sastra lisan itu saat ini mulai menampakkan gejala kepunahan. Jenis sastra lisan tertentu hanya dikenal oleh sebagian kecil golongan tua. Generasi muda banyak yang sudah tidak mengenalnya. Jika sastra lisan yang tercecer itu terlambat diselamatkan, dikhawatirkan satu per satu akan tidak dikenali lagi.
Melihat berbagai bentuk sastra lisan yang berkembang dalam masyarakat etnik, bukan hal yang mustahil suatu saat sastra Lampung ini berkembang menjadi sastra tulis. Tentu saja dengan tidak melupakan berbagai sastra lisan Lampung yang sudah berkembang dan akrab di tengah etnik Lampung.
Pelestarian sastra lisan Lampung harus seiring pula dengan upaya-upaya pengembangan sastra Lampung modern dan kontemporer dengan memperbanyak teks sastra berbahasa Lampung. Upaya pengembangan sastra Lampung dapat dimulai dengan penerjemahan karya sastra dari bahasa lain ke bahasa Lampung, selain menciptakan karya sastra asli Lampung.
Tidak ada salahnya seniman Lampung memulai usaha pengembangan sastra (berbahasa) Lampung dalam bentuk puisi, cerpen, novel, dan esai dengan kekuatan bahasa dan tulisan Lampung. Sastra Lampung memiliki prospek untuk maju seperti juga sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, sastra Sunda, dan sastra Bali.
Siapa Sastrawan Lampung?
Sebagaimana yang sering ditulis oleh pengamat sastra di negeri ini, Lampung tidak akan kekurangan sastra dan sastrawan. Berbagai halaman budaya media lokal dan nasional , misalnya, acap dihiasi dengan karya sastra dan nama sastrawan Lampung. Begitu juga beberapa pertemuan sastra di penjuru tanah air, rasanya kurang lazim jika tidak mengundang sastrawan Lampung. Dengan ukuran sederhana ini, rasanya sulit mengatakan Lampung kurang subur dalam bidang sastra. Karya sastra dan sastrawan dari Lampung setiap tahun rasanya akan terus bertambah.
Namun, perhatikan kegelisahan seorang Kuswinarto yang membagi sastrawan Lampung - sebagai istilah - dalam dua pengertian. Pertama, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dan ia tinggal di Lampung. Kata lain, sastrawan Lampung adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Lampung. Kedua, sastrawan Lampung adalah sastrawan yang menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dan ia tidak harus berdomisili di Lampung.
Pendapat "Lampung kaya sastrawan dan kehidupan sastra Lampung penuh gairah" bisa (mungkin) benar jika "sastrawan Lampung" yang dimaksudkan adalah dalam pengertiannya yang pertama. Namun kalau yang dimaksud pengertian kedua, maka "sastrawan Lampung" sangat sedikit. Kebanyakan sastrawan Lampung tidak menulis dalam bahasa Lampung. Sementara sastrawan Lampung yang sebenarnya, yang jumlahnya semakin menipis karena usia dan pergeseran tradisi, masih saja berasyik-asyik dengan tradisi lisannya. Resiko kelisanan adalah lupa. Dalam kondisi ini, sejauh sastra (berbahasa) Lampung tidak ditulis, maka jangan berharap sastra Lampung dapat berkembang
Sekarang perdebatannya, apa yang harus ditulis sastrawan yang menggunakan bahasa Lampung sebagai bahan baku atau medium ekspresinyanya? Haruskah seorang sastrawan Lampung menuliskan tradisi, adat istiadat, kebudayaan, puisi, atau cerita yang sudah dihapal dengan baik oleh para seniman sastra di daerah? Kalau itu yang terjadi, jelas sastrawan Lampung hanya melakukan reproduksi karya sastra tanpa kreativitas dan inovasi; semacam menuliskan sastra lisan dalam bentuk teks.
Sejauh ini perdebatan terjadi ketika sebuah karya sastra berbahasa Lampung tidak memuat nilai-nilai tradisi yang bagi sebagian orang masih dianggap agung. Sebuah puisi Lampung hadir, misalnya, tetapi orang sibuk mencari-cari nilai tradisi yang terkandung dalam puisi berbahasa Lampung tadi. Dengan begitu, ketika ada kreativitas sastrawan Lampung untuk berkreasi dalam bahasa Lampung, orang Lampung sendiri malah akan dengan mudahnya berkata, "Lampung tidak kenal puisi, cerita pendek, novel, atau apa pun karya sastra yang suka beraneh-aneh." Dengan kata lain, mari kita lestarikan dan kembangkan saja yang sudah ada.
Lampung itu tradisi. Karena itu sastra Lampung juga harus berangkat dari tradisi. Tradisi bagaimanapun akan tergerus zaman seiring dengan semakin kencangnya modernisme, westernisasi, globalisasi, urbanisasi, materialisme, kapitalisme, pragmatisme, dan berbagai isme dan sasi yang semakin menjauhkan umat manusia-tak terkecuali sastra(wan) Lampung-- dari kemanusiaannya.
Saya pikir, sastrawan Lampung tak selalu harus menulis tradisinya semata-mata. Sebab, tradisi toh hanya sebuah nilai saja yang masih debatable. Sebuah nilai dalam karya sastra akan selalu menarik dibicarakan, didiskusikan, didukung, dipertanyakan, dikritik, ditambah, dikurangi, bahkan ditolak sama sekali. Tradisi toh akan memudar atau bahkan musnah sama sekali kalau tidak ada lagi yang mau mendukungnya. Bahasa dan sastra Lampung sebagai suatu tradisi bisa saja benar-benar hilang kalau memang tidak ada lagi orang yang berbicara dan mengerti bahasa-sastra Lampung. Karena bahasa Lampung hanya sebagai medium bagi sastrawan Lampung untuk berekspresi, saya pikir, apa pun yang diucapkan atau ditulis sastrawan Lampung akan menarik didiskusikan.
Sekecil apa pun, bicara dan menulis karya sastra dalam bahasa Lampung dapat memberikan arti positif dalam pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan bahasa-sastra Lampung. Sekali lagi, kalau omongan orang sering lupa, apa salahnya kalau seniman Lampung mulai menuliskan karya sastra dalam bahasa Lampung. Setidaknya, itu bisa menambah kekayaan khazanah sastra (berbahasa) Lampung. Masa depan sastra Lampung akan sangat ditentukan para (calon) sastrawan Lampung sendiri. Pemerintah atau siapa pun hanyalah faktor pendukung dalam memacu kreativitas para sastrawan Lampung.
* Udo Z. Karzi, Sastrawan, Penulis buku puisi dwibahasa Lampung-Indonesia:

Siyei Kutai

Siyei Kutai
Seni Sastra Bahasa Tua Rejang)

(Seni Sastra Suku Rejang Tapus)

Lamun hari tukinang hari,
Hari tukinang sedang hari tinggi,
siamang tu sedang redawe,
Kelik sedang pekik rami,
Angin sedang gugur daun,
Gururlah daun remacang mudo,
Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo,
Ratu sedang bebayang kuning,
Becalang mudik milir,
Bibik sedang laburan jemur,
Bujang juare sedang mericik tue ayam,
Bujang gadis rau ketenun,
Ilanglah lading pertas tenun,
Ilang penyukit duri ladak,
Baru teringet kepade pesan,
Ado pesan Wong Tue dulu Ade,
Lamun rejung kenyen suatu,
Rejung madak laut lepas,
Lekap genap nuli redanan,
Riau rindau uli pekakas,
Gereng kemas dede piagus,
Dedereng pengiran demak rauh,
Amun be upi itu pinang idak beupi itu nibung amun betuli itu kudang,
Idak betuli kudang badung,
Kunang kauren nian datang,
Kundang kurindu nian siba,
Namun muga, muga kerumo,
Warang kerume keberuge,
Tilik lah tetang wong desa,
Lamun nak culo culo lah lage,
Culo lage mato reganding,
Nak culo nage nage ke laut,
Mato regading liman di hutan,
Kabar ndak meruge adat care sirih pinang,
Adat care pinang sukar di rube,
Lamun segalenye kurang dari tubuh,
Lamun diwe bertulung duate berbatu,
Wong pisak pacak bapit,
Baring miskin pacak kaye,
Amun diwe idak bertulung,
Wong pisak tame pisak,
Bareng miskin lame miskin,
Takele dina tekale,
Tekale dina maso itu,
Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan,
Epe ditulis dengan betung,
Ape disuret oleh aur,

Tiran ulung layang putiak,
ado disano,
Tiran ulung pandai membace,
Layang putiak pandai menyurat,
Laju bepesan burung piran ulung,
Amun cikundu ngadap keteluk,
Besok kundu sare tangungan,
Kundu menengah jarang balik,
Patah kundu hilang di ratau,
Abung cerite lamun jauh,
Besaklah ikan lamun luput,
Ayam betabang senimar elang,
Ikan dipangang tingal tulang,
Igak berigak padi masak,
Igak beragam badan tue,
Igak bedindang biduk anyut,
Bepesan kedue dengan pesan,
Pesan burung layak putiak,
Besili batu asah,
Gerenget tukanglah tibo,
Idak ulah cari ulah,
Idak ban batu digale,
Rumah ado cari podok,
Lamun orang pemanyek mati jatuh,
Orang pedingin mati anyut,
Orang peibo ilang seurang,
Tang tilik lah tang,
Tiliklah tang desa ninik mamak disini, Desa serut laman sunyi,
Desa digepung oleh betung,
Desa disindang olih lalang,
Rumah berarik tiang serik,
Satu adak tiang duduk,
Peratin kurang perite,
Bujang gadis kurang pengunyung.
Selebar ringgit sepangung,
Gadis iluk nungu beruge,
Sude digepung dengan ringgit,
Sude disindang dengan redai,
Ade anak bujang lumang,
Kerimbo tenang,
ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas,
Anak bujang kerimbo tenang,
Ibarat batu gulek idak beseding,
batu pat dilipat jadi tige,
Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing,
Naik gunung turun gunung,
Nempuh hujan dengan panas,
Idak tentu malam dengan siang,
Malam peduman bulan bitang, Siang peduman mate hari,
Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan,
Temu endapat pendapatan,
Temu telur kanyen sebiji,
Telu senayak seninang,
Senayak di ujung jari,
Senindang di hati tangan,Stabik ucap sepakat,
Telur digengam rapat-rapat,
Meretas menjadi burung empat,
Se bename burung elang,
Due bename burung pungguk,
Tige bename burung tiung,Empat bename burung sawi.

Rejong Burung empat
Bepatun burung empat,
Sebepatun dengan patun,
Bepatun lah burung elang,
Lamun senulo burung elang,
Elang terbang melayang mgeser bumi,
Muge ke langin langit ndak sape,
turun kebumi,
Upan segengam sukar makan,
Muge kelangit air setitik aus seminum,
Laju kesingen tumanak awan kasa,
Kesian lapule burung elang,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun kedue dengan patun,
Bepatun burung punguk amun senulo burung punguk,
Punguk merindu bulan, Bulan tu idak merindu,
Badan tubuh, menagislah burung punguk
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Kasianlah pule burung punguk,
Patu ketige dengan patun patun burung tiung,
Lamun senulo burung tiung,
Tiung besarang selenger pungur,
Tiung merap pungur rebah,
Rambai sayap terbang layang,
Pendek sayap terbang sayup,
Laju terbang lamur rayam,
Menagis burung tiung,

Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun keempat dengan patun,
Bepatun burung sawi,
Lamun senolu burung sawi,
Setaun berujut, sebulan berajat,
Uju diwe putih kuning, Ujud duate jarang panau,
Kasianlah pule burung sawi,
Lamun awat betake malang,
Awat betake malang tune,
Serguni ditanam mati,
Sergaju ditanam layu,
Cendawan tangkap lepas dari tangan, Sergujung di pijak lari,
kasian lapule burung sawi.

(Dikutip oleh Team AMARTA dari Bapak Salim Senawar Desa Tapus)
2008-02-23, at Saturday, February 23, 2008
Akar Foundation
Ditulis pada 23 Nopember, 2007 oleh Akar

Siyen Kutai
(Seni Sastra Suku Rejang Tapus)
Lamun hari tukinang hari,
Hari tukinang sedang hari tinggi,
siamang tu sedang redawe,
Kelik sedang pekik rami,
Angin sedang gugur daun,
Gururlah daun remacang mudo,
Gugur daun repinang mudo,
Lubuk sedang begenjo ijo,
Ratu sedang bebayang kuning,
Becalang mudik milir,
Bibik sedang laburan jemur,
Bujang juare sedang mericik tue ayam,
Bujang gadis rau ketenun, Ilanglah lading pertas tenun
,Ilang penyukit duri ladak,
Baru teringet kepade pesan.

Ado pesan Wong Tue dulu Ade,
Lamun rejung kenyen suatu,
Rejung madak laut lepas,
Lekap genap nuli redanan,
Riau rindau uli pekakas,
Gereng kemas dede piagus,
Dedereng pengiran demak rauh,
Amun be upi itu pinang idak
beupi itu nibung amun betuli itu kudang,
Idak betuli kudang badung,
Kunang kauren nian datang,
Kundang kurindu nian siba,
Namun muga, muga kerumo,
Warang kerume keberuge,
Tilik lah tetang wong desa,
Lamun nak culo culo lah lage,
Culo lage mato reganding,
Nak culo nage nage ke laut,
Mato regading liman di hutan,
Kabar ndak meruge adat care sirih pinang,
Adat care pinang sukar di rube,
Lamun segalenye kurang dari tubuh.

Lamun diwe bertulung duate berbatu,
Wong pisak pacak bapit,
Baring miskin pacak kaye,
Amun diwe idak bertulung,
Wong pisak tame pisak,
Bareng miskin lame miskin,
Takele dina tekale,
Tekale dina maso itu,
Betung betulis dengan tulisan awur bersurat dengan suratan,
Epe ditulis dengan betung,
Ape disuret oleh aur,
Tiran ulung layang putiak,
ado disano,
Tiran ulung pandai membace,
Layang putiak pandai menyurat,
Laju bepesan burung piran ulung,
Amun cikundu ngadap keteluk,
Besok kundu sare tangungan,
Kundu menengah jarang balik,
Patah kundu hilang di ratau,
Abung cerite lamun jauh,
Besaklah ikan lamun luput,
Ayam betabang senimar elang.

Ikan dipangang tingal tulang,
Igak berigak padi masak,
Igak beragam badan tue,
Igak bedindang biduk anyut,
Bepesan kedue dengan pesan,
Pesan burung layak putiak,
Besili batu asah,
Gerenget tukanglah tibo,
Idak ulah cari ulah,
Idak ban batu digale,
Rumah ado cari podok,
Lamun orang pemanyek mati jatuh,
Orang pedingin mati anyut,
Orang peibo ilang seurang,
Tang tilik lah tang,
Tiliklah tang desa ninik mamak disini,
Desa serut laman sunyi,
Desa digepung oleh betung,
Desa disindang olih lalang,
Rumah berarik tiang serik,
Satu adak tiang duduk,
Peratin kurang perite,
Bujang gadis kurang pengunyung.
Selebar ringgit sepangung,
Gadis iluk nungu beruge,
Sude digepung dengan ringgit,
Sude disindang dengan redai,
Ade anak bujang lumang,
Kerimbo tenang,
ndak merayap ke rimbo bano merang ke rimbo alas,
Anak bujang kerimbo tenang.

Ibarat batu gulek idak beseding,
batu pat dilipat jadi tige,
Anak bujang kerimbe tenang naik tebing turun tebing,
Naik gunung turun gunung,
Nempuh hujan dengan panas,
Idak tentu malam dengan siang,
Malam peduman bulan bitang,
Siang peduman mate hari,
Anak bujang lumang kerimbe tenang betemu petemuan,
Temu endapat pendapatan, Temu telur kanyen sebiji,
Telu senayak seninang,
Senayak di ujung jari,
Senindang di hati tangan,
Stabik ucap sepakat,
Telur digengam rapat-rapat,
Meretas menjadi burung empat,
Se bename burung elang,
Due bename burung pungguk,
Tige bename burung tiung,
Empat bename burung sawi.

Rejong Burung Empat
Bepatun burung empat,
Sebepatun dengan patun,
Bepatun lah burung elang,
Lamun senulo burung elang,
Elang terbang melayang mgeser bumi,
Muge ke langin langit ndak sape,
turun kebumi,
Upan segengam sukar makan,
Muge kelangit air setitik aus seminum,
Laju kesingen tumanak awan kasa,
Kesian lapule burung elang,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun kedue dengan patun,
Bepatun burung punguk amun senulo burung punguk,
Punguk merindu bulan,
Bulan tu idak merindu, Badan tubuh,
menagislah burung punguk Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Kasianlah pule burung punguk,
Patu ketige dengan patun patun burung tiung,
Lamun senulo burung tiung,
Tiung besarang selenger pungur,
Tiung merap pungur rebah,
Rambai sayap terbang layang,
Pendek sayap terbang sayup,
Laju terbang lamur rayam, Menagis burung tiung,
Amun awat betake malang,
Awat betake malang nian,
Patun keempat dengan patun.

Bepatun burung sawi,
Lamun senolu burung sawi,
Setaun berujut,
sebulan berajat,
Uju diwe putih kuning,
Ujud duate jarang panau,
Kasianlah pule burung sawi,
Lamun awat betake malang,
Awat betake malang tune,
Serguni ditanam mati,
Sergaju ditanam layu,
Cendawan tangkap lepas dari tangan,
Sergujung di pijak lari,
kasian lapule burung sawi.

http://akarfoundation.wordpress.com/2007/11/23/siyen-kutai-seni-sastra-suku-rejang-t
2008-02-23

Putri Serindang Bulan

Riwayat Rajo Setia Barat Indopuro
(legenda 6 lubang di Muara Sangei)
at Thursday, July 10, 2008
Posting by Dodi Oktavianto

Pada suatu malam, Rajo Setio Barat Indopuro pergi untuk menikmati keindahan lautan dengan mengendari kapal, sampai ditengah lautan luas, ia melihat ada suatu cahaya yang terang yang memancar dari sebuah pulau, iapun memutar haluan mendekati pulau, dan ia memerintahkan kepada Hulu Balang, untuk mencari tahu sumber cahaya tersebut. Ternyata cahaya tersebut berada diatas pohon kelapa, dan disekeliling pohon tersebut banyak sekali terdapat binatang serangga dan jenis ular yang berbisa, sehingga Hulu Balang tidak dapat mendekatinya.
Oleh karena keingin tahuan Rajo Setio Barat akan sumber cahaya itu, maka Rajo sendiri yang langsung menghampirinya. Dengan kesaktian Rajo Setio Barat, akhirnya Rajo dapat mendekati pohon kelapa itu, dan ternyata sumber cahaya itu adalah seorang Puteri yang cantik jelita “Puteri Lindung Bulan”, akhirnya Puteri Lindung Bulan mengikuti Rajo Setio Barat pulang ke Kerajaan Indopuro.
Setelah sampai di Kerajaan Indopuro, Rajo mengundang para Ajai, para cerdik pandai dan orang-orang terkemuka di Kerajaan, untuk memperkenalkan sang Puteri, dan sekaligus menyampaikan niatnya untuk memperistri Puteri Lindung Bulan ini. Sebelum dilaksanakan pernikahan, maka dikirimlah surat untuk mohon restu dan kesediaan Rajo Jang Tiang Pat di Lebong (Sultan Sarduni) sebagai wali pernikahan ini, namun berhubung Sultan Sarduni tidak dapat menghadirinya, maka Sultan Sarduni mengutus keenam anaknya yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Genain, Ki Nio dan Karang Nio.
Sebelum enam bersaudara ini berangkat, dan untuk meredam kemarahan saudara-saudaranya, Karang Nio harus berbohong kembali dan menjelaskan kepada saudara-saudaranya bahwa dahulu ia telah benar-benar membunuh Puteri Lindung Bulan, namun seperti kita maklumi, bahwa kita adalah keturunan Rajo yang memiliki kesaktian, begitu juga halnya dengan Puteri.
Setelah mendengar penjelasan yang logika tersebut, maka berangkatlah keenam bersaudara ini menuju Kerajaan Indopuro, sebagai utusan Sultan Sarduni/Rajo Tiang Pat.
Setelah mereka sampai di Kerajaan Indopuro dan menjelaskan identitas diri mereka, Rajo Setio Barat tidak percaya begitu saja dengan keterangan mereka, maka untuk menguji kebenarannya, maka Rajo Indopuro memanggil Puteri Lindung Bulan beserta 6 orang Puteri Kerajaan, yang didandani dengan pakaian seragam, sehingga bila dilihat sepintas lalu, sulit untuk mengenal mana Puteri Lindung Bulan.
Diwaktu ketujuh Puteri tersebut berada di Balairung Sari, maka dipanggillah Ki Geto bersaudara, dengan cara bergiliran untuk menunjuk yang mana Puteri Lindung Bulan, namun tak seorangpun yang dapat membedakannya, terakhir tibalah giliran Karang Nio. Dan diwaktu Karang Nio berada dihadapan ketujuh Puteri, Puteri Lindung Bulan menyibakkan rambutnya untuk memperbaiki letak rambutnya sehingga terlihatlah bekas luka, maka dengan tidak ragu-ragu Karang Nio menunjukkan dialah Puteri Lindung Bulan itu. Setelah Rajo Indopuro yakin bahwa mereka memang benar saudara-saudara Puteri Lindung Bulan, mereka diterima dengan baik sebagai keluarga Kerajaan, sehingga pernikahan dapat dilaksanakan, dan dengan dimeriahkan dengan Kejai (tarian adat Rejang) dan tarian/kebudayaan dari daerah-daerah lain selama 7 hari 7 malam.
Setelah usainya acara pernikahan ini, maka Ki Geto bersaudara berpamitan untuk pulang, dan Rajo-pun memberikan oleh-oleh sebagai tanda mata kepada mereka, masing-masing mendapatkan 1 ruas buluh telang emas, 1 tangan baju perak, 1 potong sabuk panjang 9 (setagen) dan 1 buah pencalang (sejenis perahu).
Berangkatlah keenam saudara ini dan diantar oleh Rajo Indopuro, Puteri Lindung Bulan dan keluarga Kerajaan, mengarungi lautan dengan menaiki pencalang masing-masing. Setelah mereka antara terlihat dan tidak, maka berkatalah Puteri Lindung Bulan : “ Ya.. Allah, bila memang benar aku ini adalah Puteri Rajo Kerajaan Jang Tiang Pat Renah Pelawi Lebong, dan kalau benar kakak-kakak ku dahulu ingin membunuhku, datangkanlah badai dan tenggelamkanlah pencalang mereka, kecuali yang membela dan melindungi aku.
Tidak lama kemudian, datanglah badai yang mengombang ambingkan pencalang mereka ditengah lautan, sehingga terbaliklah pencalang mereka, kecuali pencalang Karang Nio hingga akhirnya sampailah dia ketepi.
Setelah tiba ditepi dan menyaksikan saudara-saudaranya masih terombang-ambing sambil berpegangan dengan pencalang mereka dan Karang Nio-pun berharap semoga kelima saudaranya akan terdampar (Tersangei = bahasa Rejang) didaratan ini.
Tidak beberapa lama kemudian tibalah kelima saudaranya, dan menceritakan kepada Karang Nio, bahwa oleh-oleh bagian mereka telah tenggelam kedasar lautan dan pencalang mereka tersangei dimuara sungai (Muara Sangei/Sangai), mendengar itu Karang Nio menggali tanah membuat 6 buah lubang untuk tempat membagi bagiannya menjadi enam bagian sama banyak. Keenam lubang tersebut hingga saat ini masih dapat kita saksikan.

Admin :
Legenda inilah adalah lanjutan dari legenda Putri Lindung Bulan yang sebelumnya di tulis Dodi, bagi reader yang belum membacanya bisa di baca di link :
http://rejang-lebong.blogspot.com/2008/06/putri-lindung-bulan-legenda-tentang.html

ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
Taneak Jang Tanah Rejang Rejang Land said...
cerita legenda Puteri Lingdung bulan dan lanjutan ini sangat mirip sekali dengan kisah yang di tulis ulang oleh Abdullah Siddik di Buku Hukum Adam Rejang. Reader lain ingin menyumbang cerita rakyat Rejang dan sekitar? kirim Naskahnya ke admin di taneakjang@gmail.com
Lenei ngen Uso

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

Bentuk "Teater Rakyat " Bengkulu

Nandai Batebah
(Bentuk "Teater Rakyat " Bengkulu)
at Saturday, June 07, 2008
Nandai Batebah (Bengkulu)

Asal-usul
Bengkulu adalah salah satu provinsi yang terdapat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di provinsi ini ada sebuah teater tradisional yang disebut Nandai Batebah. Selain sebutan itu, teater ini juga sering disebut sebagai “Andai-andai” atau “Geguritan”. Nandai Batebah merupakan istilah yang terdiri atas dua kata, yaitu “Nandai” dan “Batebah”. Nandai yang berasal dari kata “andai” berarti “misalkan”, “jika” atau “umpama”. Sementara, batebah berarti “ditembangkan” atau “dilagukan”. Sedangkan, andai-andai berarti “perumpamaan”. Dan, geguritan yang berasal dari kata dasar “gurit” berarti “bersenandung”. Berdasarkan arti dari berbagai kata tersebut, maka nandai batebah dapat diartikan sebagai suatu ceritera “berandai-andai” yang disampaikan oleh juru nandai dengan cara dilagukan atau ditembangkan .

Ceritera-ceritera yang disenandungkan adalah ceritera-ceritera rakyat Bengkulu yang sarat dengan nilai-nilai. Teater ini berfungsi tidak hanya sebagai pelepas rutinitas dalam kehidupan keseharian masyarakat pendukungnya, tetapi juga untuk menghibur sebuah keluarga yang salah satu anggotanya meninggal dunia, sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan yang mendalam.

2. Pemain, Peralatan, Tempat dan Waktu Pertunjukan
Pemain nandai batebah hanya satu orang, yaitu juru nandai (biasanya laki-laki). Agar pertunjukkan dapat berjalan mulus dan sempurna, maka seorang juru nandai harus: (1) memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; (2) mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; (3) mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; (4) dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; (5) mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; dan (6) paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik.

Teater yang disebut sebagai nandai batebah ini hanya menggunakan sebuah alat yang disebut gerigik. Gerigik adalah semacam tabung yang terbuat dari bambu (seperti peralatan dapur yang digunakan untuk membawa dan menyimpan air). Bagian samping atasnya dilubangi untuk memasukkan air. Lubang itu berfungsi sebagai “pegangan” dalam menentengnya. Caranya adalah dengan memasukkan kedua jari ke dalam lubang tersebut. Kemudian, bagian atasnya dilapisi dengan kain atau apa saja agar terasa empuk karena selama pertujukkan berlangsung, lengan kiri atau lengan kanan juru nandai berada atau ditumpangkan di atasnya. Sedangkan, bagian bawahnya atau dasar gerigik diletakkan pada lantai. Di samping gerigik biasanya juga disertai dua bantal untuk penopang kedua belah paha kiri dan kanan juru nandai.

Pertunjukan nandai batebah biasanya dilengkapi dengan sesaji agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat, sehingga pertunjukan dapat berjalan lancar. Sesaji berupa jambar dengan gulai ayamnya diletakkan di atas jambar tai. Jambar adalah nasi ketan berkunyit (ketan kuning) dibuat sedemikian rupa sehingga berbentuk seperti sebuah gunung dan ditempatkan bersama gerigik di hadapan juru nandai. Sementara untuk menjamu tamunya, penyelenggara biasanya menyediakan makanan tradisional, seperti: sagon, lepe` pisang, lepe` ubi dan cucur pandan.

Pertunjukan nandai batebah biasanya diadakan di tempat yang agak tertutup seperti serambi atau ruangan tengah rumah. Di tempat-tempat seperti itu mereka duduk secara melingkar (membentuk lingkaran-oval), sehingga suara juru nadai dapat terdengar dengan jelas. Jika pertujukkan bertempat di ruangan tengah rumah, maka pintu dan jendela dibuka, sehingga penonton yang tidak dapat duduk di dalam (karena telah penuh) dapat menikmatinya dari luar. Biasanya pertunjukkan dilakukan pada malam hari, yaitu dari pukul 20.00 (setelah sholat Isya) sampai pukul 04.00 WIB (menjelang waktu subuh). Jika ceritera (lakon) yang dibawakan oleh juru nadai tidak selesai (tamat) dalam satu malam, maka pada malam berikutnya dilanjutkan dalam waktu yang sama. Sebagai catatan, jika pertunjukkan bertempat di kediamanan orang yang sedang berduka cita, maka hanya beberapa jam saja. Maksimal hanya sampai tengah malam.

3. Jalannya Pertunjukkan
Pada hari dan waktu yang telah disepakati, datanglah juru nandai ke rumah penyelenggara. Ia disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk di atas tikar pada tempat yang telah disediakan. Melihat kehadiran sang juru nandai, para undangan dan tetangga pun berdatangan. Mereka disambut oleh tuan rumah dan dipersilahkan duduk secara melingkar. Sebagai catatan, jika pertunjukkan dilakukan di ruang tengah rumah, maka jendela dan pintunya dibuka lebar-lebar, sehingga ketika ruang tersebut penuh, mereka dapat menyaksikannya dari luar.

Ketika para undangan, tetangga, dan penonton lainnya sudah berdatangan, maka pihak tuan rumah menaruh sesaji yang berupa jambar dan gulai ayam di hadapan juru nandai. Selain itu, agar juru nandai dapat duduk dengan nyaman, maka pihak tuan rumah menyediakan dua buah bantal. Setelah itu, seseorang yang mewakili tuan rumah menyerahkan gerigik kepada juru nandai sebagai isyarat bahwa pertunjukkan dapat dimulai. Dengan adanya isyarat itu, maka juru nandai segera mengambil kedua bantal yang telah disediakan, lalu menaruhnya di bawah kedua lututnya (bantal yang satu ada di bawah lutut kiri dan yang satunya lagi ada di bawah lutut kanan) Sedangkan, gerigik digunakan untuk menopang lengannya secara bergantian (kiri dan kanan), sehingga posisi badan tetap tegak. Selanjutnya, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya.

Seusai berdoa, juru nandai mulai ber-nandai dengan mengucapkan rejung (pembukaan yang berbentuk prosa liris). Isinya adalah tentang permintaan maaf, jika dalam ber-nandai ada kekurangan atau kekhilafan. Selanjutnya, juru nandai memaparkan salah satu ceritera rakyat Bengkulu dalam bahasa Serawai dan dalam bentuk prosa irama. Jadi, kalimat-kalimat yang tersusun dalam bait-bait puisinya secara keseluruhan mewujudkan sebuah porsa liris. Adapun lagu-lagu yang menyertainya disesuaikan dengan ceritera yang dibawakannya. Pemaparan itu dilakukan babak demi babak sampai akhirnya tamat. Dan, dengan tamatnya suatu ceritera, maka berakhirnya pertunjukkan nandai batebah.

Sebagai catatan, dalam pertunjukkan nandai batebah, juru nandai tidak melakukan gerakan-gerakan tubuh tertentu, tetapi hanya duduk bersila. Jika pendengar tampak mengantuk ketika mendengar cariteranya, ia hanya membuat kejutan-kejutan dengan menyaringkan atau mengeraskan suaranya.

4. Nilai Budaya
Nandai batebah, sebagai salah satu jenis teater tradisional khas Bengkulu, jika dicermati secara seksama, mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai itu antara lain adalah kesetaraan, ketenggang-rasaan, kreativitas, dan religius.
Nilai keseteraan tercermin dalam pergelaran nandai batebah itu sendiri. Dalam konteks ini para pendengar sama-sama duduk di atas tikar yang telah disediakan oleh tuan rumah dalam formasi melingkar. Jadi, tidak ada yang lebih tinggi dan atau rendah. Semuanya diperlakukan sama (sederajat).

Nilai ketenggang-rasaan tercermin dalam pergelaran yang ditujukan kepada keluarga yang sedang berduka cita karena salah seorang anggotanya meninggal dunia. Pagelaran ini memang dimaksudkan agar keluarga yang sedang berduka cita tersebut terhibur, sehingga tidak larut dalam kesedihan yang berlebihan. Namun demikian, pagelaran tidak dilakukan sampai pagi, tetapi hanya beberapa jam. Dan, ini adalah sebagai wujud ketenggang-rasaan.

Nilai kreativitas tercermin dalam diri juru nadai. Dalam konteks ini juru nandai harus memahami ceritera klasik daerah Bengkulu; mengatur volume suara, artikulasi dan intonasi; mahir memainkan lagu-lagu dengan irama yang khas; dapat menciptakan humor yang halus ataupun tajam; mahir menciptakan kalimat-kalimat sastra; paham tentang bahasa-bahasa kiasan, peribahasa dan perumpamaan yang hidup di kalangan masyarakat Bengkulu. Dengan demikian, walaupun tanpa mempersiapkan skenario yang tertulis, dengan spontan ia dapat menggelarkan nandai batebah dengan baik. Untuk itu, diperlukan kreatifitas yang tinggi.

Nilai religius tercermin dalam doa yang dipanjatkan oleh juru nandai. Dalam konteks ini, sebelum pergelaran dimulai, juru nandai berdoa kepada Allah SWT agar pertunjukkan dapat berjalan dengan lancar dan pihak keluarga serta para tetangga maupun handai taulan yang hadir selalu diberi rahmat-Nya. (AG/bdy/68/10-07)

Sumber :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara IV. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
http://melayuonline.com/culture/?a=UnFSei9zVEkvUXZ5bEpwRnNx=

Patang Stumang

Patang Stumang
Posted by Erwin S Basrin
Patang setumang adalah pilosofi dalam sistem peradaban Rejang dalam mengaplikasi sistem komunal yang lebih besar atau sistem pertemanan yang lebih kecil, Patang dalam bahasan Rejang adalah larangan dengan beberapa konsekwensi ketika dilanggar, Setumang adalah berpisah, berpisah ini diterjemahkan secara holistik yang mencakup beberapa dimensi kehdupan dengan berbagai tahapan generasi.
Dalam sehari-hari pepatah ‘pet samo nuwang, mis samo muk’ adalah bagian turunan dari aplikasi Patang Setumang. Jika dilihat lebih jauh dalam sejarah Rejang Patang Setumang ini hampir sama tuanya dengan peradaban Rejang itu sendiri, Dari sistem komunal yang paternalistik, genelogis dan kepercayaan-kepercayaan lokal di Rejang banyak yang mengajari dan menjelaskan kesepakatan adat mengacu pada Patang Setumang, Kesepakatan adat antar 4 Ajai di Lebong Atas adalah awal yang mengclearkan sistem ini dalam bentuk kesepakatan tertulis dalam sejarah turun temurun dikenal dengan prosesi pemotongan Kerbau yang tanduknya diukir, jantung dan hatinya dimakan sebagai simbol kesepakatan tersebut jadi darah dan daging yang akan diturunkan ke generasi berikutnya tentunya melalui perkawinan yang eksogami, tujuannya adalah untuk menyebarkan ajaran Patang Setumang ini lebih luas.
Periode berikutnya dari Aplikasi Patang Setumang adalah kesepakatan yang dilakukan di Gua Kazam Lebong Atas yang lebih rigit menjelaskan bentuk-bentuk kesepakatan-kesepakatan yang akan di sepakati oleh masinh-masinh komunitas Rejang di manapun berada, kesepakatan yang dilakukan ini antara lain disepakati So Samo Kamo Bamo…… sebuah bahasa penyederhanaan dari Patang Setumang, turunan-turunan bahasa Patang Setumang ini kemudian dalam komunitas yang lebih kecil seperti topos tunun puweng kutai donok tunun pelbeak adalah bentuk bahasa dan kesepakatan yang sampai saat ini masih dipercayai oleh warga komunitasnya terutama di kampung-kampung.

Apakah kemudian Patang Setumang ini dalam kontek lebih besar berdampak pada sistem pembangunan komunitas maupun pada pembangunan nurani .? Lebong yang dikenal sebagai pusat dan tempat asal usul suku Rejang dalam sistem Administrasi pemerintahan mengunakan simbol Patang Setumang, tentunya ini membawa konsekwensi yang sangat besar bagi generasi yang saat ini mengunakan paslsafah ini maupun bagi generasi berikutnya , apakah Patang Setumang ini bisa diterjemahkan dalam sistem berkehidupan maupun relasi antar mereka dalam mengkonsolidasi kembagi komunitas-komunitas yang semakin tersebar dan mulai dirasuki globalisasi yang mendistori arti sistem lokal ini.

Dalam perjalanannya Patang Setumang ini hanya sebatas Slogan, namun nilai-nilai yang ada dalam Patang Setumang di tinggalkan dan ini pasti akan berdampak pada komunitas dan generasi berikutnya. Pengingkaran Sistem Patang Setumang ini karena deklarasinya ada tahapan yang terlupakan, misalnya apakah ini lahir dari kesepakatan adat atau memang lahir atas kepentingan politik yang jauh sekali dari nilai-nilai lokal yang mistik. Di Lebong saja sudah mulai mengakumulasi kekuasaan, modal dan penguasaan terhadap tanah-tanah sebagai alat produksi warga komunitas dan ini berakibat adanya ketimpangan sosial, budaya dan modal sehinga yang tampak adalah penguasa di satu sisi dan rakyat yang di tindas di sisi lain dan proses ini jauh sekali dari nilai-nilai Patang Setumang.

Akibat dari distosi pemahaman Patang Setumang dan Aplikasinya akan ada konsewensi secara psikologis misalnya masyarakat Rejang ‘patang merajuk, amen merajuk patang belek, patang mengiak amen mengiak munuak tun’ ini adalah ungkapan ketika terakumulasinya dari akibat pengingkaran terhadap nilai-nilai Patang Setumang, ada banyak pelajaran sebagai gejalah akan terjadinya dampak psikologis tersebut tanda-tanda alam dengan gagalnya panen, munculnya binatang liar di tengah-tengah pemukiman penduduk, dan stigma terhadap kelompok dan perorangan.
Tentunya bagi pegiat dan warga komunitas yang masih memegang teguh sistem lokal yang ada mari Patang Setumang ini kita jadikan sebagai proses konsolidasi ditengah merosotnya eksistensi komunitas Rejang dalam berbagai struktur kemasyarakatan, sistem budaya, sosial dan relasi dengan komunitas yang lebih besar.
www.amarta.wordpress.com

Minggu, 21 September 2008

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan

Pantun Rejang - Pantun Cinta dan Kesedihan
(Dokumentasi Oliver)2008-06-09, at Monday, June 09, 2008
Menarik membaca keterangan Olivier ada pun penduduk Sumatra pada umumnya terdiri atas empat suku besar atau groote stammen yakni orang Batak, Melayu, Redjang dan Lampong. Suku Redjang terutama bermukim sepanjang pantai barat di sebelah barat pegunungan. Orang Redjang tidak besar perawakannya, warna kulitnya cerah. Busananya tidak banyak berbeda dengan pakaian orang Jawa. Ada kebiasaan mengasah gigi yang putih menjadi hitam. Pada umumnya mereka santun, ramah, pintar dan sangat rendah hati terhadap kaum perempuan dan gadis. Di pihak lain mereka dicap sebagai lamban, berganti-ganti suasana perasaannya, suka berjudi dan sangat pendendam jika merasa dihina. Umumnya mereka senang musik, nyanyian dan tarian.
Soal pantun di kalangan suku Redjang tidak luput dari perhatian Olivier. Dia mencatat beberapa contoh pantun.
Di antaranya pantun menyatakan cinta dan kesetiaan berbunyi (dalam ejaan bahasa Melayu-pasar awal abad ke-19):

Memoeti ombak di ratau Kalaun
Patang dan pagi tida berkala
Memoeti boenga di dalam Kobong
Sa tangkei sadja jang menggila.

Sedangkan pantun yang menyatakan kesedihan berbunyi:

Parang bumbam di seberang
pohon di hela tiada karoean
Boelan pernama niatalah benderang
Sayangnia lagi die sapoer awan.


http://afandri81.wordpress.com/2007/12/10/8/#comment-32008-06-08
at Sunday, June 08, 2008, Edit and retype by Taneakjang Admin

Bitter TonguePRIVATE

Bitter TonguePRIVATE
Dileak Pet English

There were two cousins, one of whom was named Four Eyes. The reason people called him Four Eyes was that he had two eyes in the nape of his neck. But if anyone tried to see the eyes from afar, they were not visible because they were covered with hair. If he wanted to use the eyes, he could just lift his hair. Four Eyes lived in the area of Pagar Ruyung. It is far from here, in fact. Four Eyes was king of the area of Pagar Ruyung. Aaa, that is the background about Four Eyes.
One day, Bitter Tongue decided to make Lebong into a lake. Indeed, he wanted to transform the whole Lebong country into a lake, so he started hauling earth by carrying it on his shoulders. He hauled away quite a lot of earth in this way. But he spilled some earth, and that became the Barisan Mountain Range. Aaa, there is a pair of mountains there named Mount Sepikul in the national language. This Mount Sepikul, when we speak in Rejang there are two mountains, Mount Kabes and Mount Tepuk. At the peak of Mount Tepuk, one can see the footprints of Bitter Tongue, where he used to go to catch fish. There he intended to make a fish-pond at Tunggang, at the river...umm...the Tunggang River. He was hauling the earth to Mount Sepikul/Mount Tepuk.
One day a man came and spoke to him: "Oi! Bitter Tongue! I have a message for you. Stop carrying that earth for a moment."
"What do you want?" said Bitter Tongue. "I have very important work to do, more important than talking to you. What's so important?"
"I was sent to relate some news to you. Your child in the village has died."
"Aaa, my child has not died. Why would my child die?" said Bitter Tongue.
"It's really dead," said the man. Your child is dead."
"O, no, why would my child die? It was not sick. Are you saying that my child has died, or not?"
So the two continued to talk to one another. That is to say, Bitter Tongue behaved toward the man in an extremely hostile manner. But again he said, "Is my child truly dead?"
Then the man said, "Yes, it's dead!"
Aaa, hearing that, he returned to his house. Aaa, he returned to his house and found his child really dead. That's why that Mount Sepikul was never completed. He intended to haul earth and build a fish-pond at the Tunggang River, the river we spoke of earlier, at Ulau Du'es. Aaa, the hill is called Mount Sepikul. He didn't finish damming up the river to make a lake. If he had dammed it up, then Lebong would have filled up, Curup would have filled up, there would be no people left, just a huge lake. Instead, he went home. He went home and saw his child was dead. He did not finish making a huge lake in Lebong country. The proof of this is at Mount Sepikul. At the top there is a flat place. It is the place where he sat fishing, fishing with a bamboo pole. A bamboo pole. He fished from Mount Tepuk. From his place he fished in Lake Tes. It is a long ways from here, I don't know how far, but at that time holy men, learned men, investigated. There they found the place where he fished from atop Mount Tepuk. He used to fish right down into Lake Tes. For his fishing rod, he had a bamboo pole -- the type of bamboo that we call here pe'ing. Aaa, so that's the place we call Mount Tepuk.
Now then, one day Four Eyes found out the reason why his cousin had the name `Bitter Tongue,' why people called him that. That's what people called him, Bitter Tongue. Anything Bitter Tongue foretold was certain to happen, except to make dead things alive again, that he couldn't do. He could curse people to become stone, and they become stone. That's one reason why he had the name Bitter Tongue.
So finally they met in the village of Topos. The name of the area is the village of Topos. The two cousins met there, and they began to test their knowledge of magic, test the strength of their powers. Four Eyes wanted to test the reason why Bitter Tongue had that name.
So Four Eyes said, "Wei! Bitter Tongue! People call you Bitter Tongue. I am Four Eyes. I am powerful, too. I am king in the area of Pagar Ruyung. You are king in the area of Rejang-Lebong. So now we will try our supernatural powers. Now, who of us will go first? We will climb a palm tree. When we get to the top, we will leap down. When I leap, you will be down below," said Four Eyes. "When you leap, I will be down below." That's what Four Eyes said.
Bitter Tongue said, "You be first, Four Eyes. You stay beneath the tree, and I will try to jump on you from the top of the palm tree."
So Four Eyes lay down face down. When Four Eyes was laying face down, Bitter Tongue leapt from the top of the tree. Aaa, Bitter Tongue leapt from the tree. As Bitter Tongue was jumping, while he was in mid-air, Four Eyes coiled his body and sprang away, so that he was not struck by the plummeting Bitter Tongue.
So Four Eyes said, "I was unharmed by your great leap. You do not have much power. Now I too will jump down on you."
Of course, it came out that way because of a trick. He failed to hit Four Eyes, who had eyes in the nape of his neck. Thus Four Eyes cannot be struck from behind or from above, you see? So he escaped death.
Aaa, after that Bitter Tongue got his turn. Bitter Tongue lay face down, and Four Eyes leaped from the top of the tree. Bitter Tongue couldn't see him falling, falling, and so he landed in the middle of his back. He struck him right over the heart and liver. His heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead.
When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure.
And that is the story.
Bitter Tongue is associated in legend with the Javanese-Hindu kingdom of Majapahit that ruled Java and many parts of Sumatra from the 13th to the 15th centuries. According to these legends, four Majapahit princes came to Lebong and became rulers. The new rulers replaced the old ajai system, apparently by means of peaceful election by the people. Bitter Tongue was not one of these historical princes, but is a personification of the power of Majapahit itself. See reference in this story and again in the Musi conversation on p. XX, where Bitter Tongue is said to have been able to turn people to stone.
Pagar Ruyung refers to a medieval Minangkabau kingdom. According to legend, after a series of disputes with the ruling queen, the Rejang people left this kingdom, moving southward and occupying their present homeland in the Barisan highlands. The first village settled is said to be Topos in the Lebong dialect area. Topos (called Tapus in the national language) is referred to later in this story.
The verb pikul, from which Sepikul is derived, means to shoulder two large containers fastened to a pole.
See p. where the legendary Bitter Tongue is said to have turned several people to stone.
See n. 1.
heart was crushed, his soul was severed. Bitter Tongue was dead. When Bitter Tongue was dead, Four Eyes laughed out loud. He had won, which proved he was very powerful. However, after that, because he was so proud he had won, he wished to try to sample the taste of Bitter Tongue's tongue. People said that the tongue was, well, bitter. Was it really bitter or not? So he went back and tried to bite off a little bit of the end of his tongue. When Four Eyes bit off the tip of the tongue, Four Eyes, too, died because of the bitterness and magical power of the tongue of Bitter Tongue. So finally they were both dead.
Now their graves—if I'm not mistaken—are at the village of Topos. Others say the graves lie in the district of Pagar Ruyung. That I do not know for sure. And that is the story.
Older Posts
Subscribe to: Posts (Atom)

Legenda Ular Kepala Tujuh

Legenda Ular Kepala Tujuh

Lebong adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Konon, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kutei Rukam. Pada suatu hari, keluarga kerajaan ini dilanda kepanikan luar biasa, karena putra mahkota menghilang pada saat melakukan prosesi upacara mandi bersama dengan calon istrinya di Danau Tes. Hilang kemanakah putra mahkota dengan istrinya? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Ular Kepala Tujuh berikut ini!

* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.

Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.

Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.

“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang.

“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.

Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.

Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.

“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:

wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara

Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)

Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. Anonim. “Kabupaten Lebong,”
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses tanggal 27 Mei 2008.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan pengem-bangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://www.melayuonline.com

ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
geinte said...
pasoak sesamo tunjang..
keep up a good work..
klo bukan kito siapo lagi yg meliharo asal-usul budaya rejang.
salam kenal dari aku, geinte..
anak rejang yg kuliah dibandung..
klo butuh bantuan info atau apapun hubungi aku di einte2hipmetal@yahoo.com
2008-03-13