Minggu, 11 September 2011

Tumpang Tindih Atas Kepemilikan Tanah (Bundle Of Rights)


Di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
 Posted by Tuntopos on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0 Comment

Konflik pengelolaan lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah  hindia belanda untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai Negara.
Begitupun dengan penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana  pengakuan Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas, dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah  perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh.
Maka dari proses pemukiman yang bernama talang ini pada  kemudian hari mengalami  perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971 Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding) menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda, memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara  kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:

1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik Keligai dengan bertanam padi darat.  Pemukiman masyarakat masih berbentuk Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi Siam) yang dipanen setahun sekali.  Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya), yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi[2]
2.  Zaman Penjajahan Belanda
Pada era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan lindung.  Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia belanda dalam proses regelernya.
Posisi ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan (wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.

3.  Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus (bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.  Zaman Orde Lama
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit serdang.

5.  Zaman Orde Baru
Pada masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun, masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.  Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi. Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas.  Banyak lahan persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan, begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan tidur semakin luas.
Pada masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.  Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti sengon.

6. Zaman Sekarang
Pada masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih tetap berkebun disana.  Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat jurukalang  


Tidak ada komentar: