Di
Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
Posted
by Tuntopos
on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0
Comment
Konflik pengelolaan
lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal
ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang
mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia
Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur
masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan
pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch
Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische
Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan
lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap
wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res
Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di
kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian
seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak
berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah hindia belanda
untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi
semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik
Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis
didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia
merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai
mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh
pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah
pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada
permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana
didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka
didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai
Negara.
Begitupun dengan
penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan
berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang
dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan
masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan
dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini
masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana pengakuan
Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri
didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai
proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh
konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada
masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan
sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan
komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional
kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk
masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas,
dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran
masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama
Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah
perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang
digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga
oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang
cukup jauh.
Maka dari proses
pemukiman yang bernama talang ini pada kemudian hari mengalami
perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang
sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan
masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang
berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971
Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka
beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding)
menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika
diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik
kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra
kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu
merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan
yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap
masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap
tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa
kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda,
memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan
batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan
masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman
marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara
kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan
pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses
pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan
antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal
dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan
kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan
memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah
batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada
tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan
pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan
kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim
tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian
menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan
assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang
ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang
diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:
1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat
sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik
Keligai dengan bertanam padi darat. Pemukiman masyarakat masih berbentuk
Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan
irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi
Siam) yang dipanen setahun sekali. Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang
masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi
masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi
mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa
hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan
dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri
keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat
juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang
berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi
disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan
kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya),
yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini
dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian
ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan
masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya
guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas
anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi
melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan
keamanan yang tinggi[2]
2. Zaman Penjajahan Belanda
Pada
era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan
masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan
lindung. Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang
ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah
hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische
wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah
pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia
belanda dalam proses regelernya.
Posisi
ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system
kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan
(wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam
tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.
3. Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat
masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau
Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus
(bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada
masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan
pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system
hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.
Zaman Orde Lama
Masyarakat
masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan
lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit
serdang.
5. Zaman Orde Baru
Pada
masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun,
masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran
DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.
Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan
alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan
lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi.
Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan
dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas. Banyak lahan
persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan,
begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan
tidur semakin luas.
Pada
masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan
lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada
akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.
Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan
lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi
dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti
sengon.
6. Zaman Sekarang
Pada
masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding
telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih
tetap berkebun disana. Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah
menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat
pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan
lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi
volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada
posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah,
pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan
hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat
jurukalang
Erwin Basrin Dan Ronald
Reagen”Jurukalang Tanah yang Terlupakan” Kata Pengantar Rahimullah, buku ini
untuk sementara diterbitkan oleh Yayasan AKAR Sendiri. Penerbit AKAR, Bengkulu
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar