Sejarah Puyang Serunting Sakti
Serunting,
itu nama aslinya., ada juga yg menyebutnya serunting sakti.
Cerita kesaktiannya telah dibicarakan sejak dulu di daerah sumatera bagian
selatan., tak hanya provinsi sumsel, daerah kekuasaannya sampai jambi, bengkulu
dan lampung., menurut legendanya dia pendekar yg baik hati dan bijaksana.,
Berbagai versi asal muasal puyang serunting Sakti.
1.
Versi dari Suku Serawai ( Semidang Alas Bengkulu Selatan )
Berdasarkan
cerira tutur, Suku Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti
bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap.
Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di
Jazirah Arab yang datang ke Bengkulu melalui Kerajaan Majapahit.
Asal-usul
suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk
tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku Serawai
hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu
sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur
legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang bernilai
sejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan di
makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas
kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun
sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat
membacanya.
Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur
yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti
sendiri masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal
dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan
Majapahit. Di Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk
didiaminya, dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah
Bengkulu Selatan. Ada
pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi
tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa
Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai
dengan Puteri Tenggang.
Di
dalam Tembo Lebong terdapat cerita singkat mengenai seorang puteri yang bernama
Puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua
orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah
mengenai Rajo Mawang terus berlanjut, sedangkan kisah Puteri Senggang terputus
begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa Puteri Senggang terbuang dari
keluarga Rajo Mawang.
Apabila
kita simak cerita tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya
dengan kisah Puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa Puteri Senggang
inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama Puteri Tenggang. Dikisahkan
bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta kepada Puteri Tenggang,
tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat
melakukan hubungan seksual dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri
itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini Puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah
Puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak
Merindu barulah terjadi pernikahan antara Putri Tenggang dengan Puyang Kepala
Jurai, itupun dilakukan setelah Puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan
bertutur kata.
Setelah
pernikahan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak
untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh
orang anak, yaitu: Semidang Tungau, Semidang Merigo, Semidang Resam, Semidang
Pangi, Semidang Babat, Semidang Gumay, dan Semidang Semitul. Setelah itu
barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama
Serunting. Serunting inilah yang kemudian menjadi Serunting Sakti bergelar Si
Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :
Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk
marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
Gumatan, yang
menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
Serampu Raye, yang
menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah LIOT);
Sati Betimpang, yang
menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat;
Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera
Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang
tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini
dianggap sebagai cikal-bakal suku Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang
bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang
Ulu dan Lintang.
2.
Versi Suku Gumay Besemah.
Diantara
beragam versi tentang Legenda Puyang Si Pahit Lidah, maka kami ber inisiatif
untuk membuka sedikit wacana ini menurut catatan / tambo sejarah yang ada pada
silsilah keluarga kami.
Maka
Beliau yang namanya kami ambil sebagai Nickname di KWA ini (Pangeran Sukemilung
) menurut tambo / sejarah GUMAY adalah keturunan dari seseorang yang bernama
DIWE GUMAY.Kisah itu sebagai berikut….
Bahwa
GUMAY adalah nama seorang DIWE yang turun kedunia dan mulai betapak di Padang
Selase ( Bukit Siguntang ) di palembang.
Ngawak Diwe mule-mule :
Diwe Gumay beristrikan anak Ratu Bengkulu. Waktu tersebut hampir bersamaan
dengan terjadinya perang antara Bengkulu dan Aceh.Menurut ceritanya, Diwe
Gumaylah yang dipanggil oleh bakal istrinya untuk menyudahi perang tersebut.
Sehingga membuat perang tersebut berakhir dengan istilah : Atjeh kalah-Bengkulu
Silah.
Dari pernikahan itu, Diwe Gumay mempunyai dua anak :
Ratu Iskandar Alam
Ratu Selibar Alam.
( Ratu Selibar Alam pergi ke Pagaruyung-Minangkabau dan
keturunannya ada dipagaruyung )
Ratu Iskandar Alam, berputra :
Ratu Djemenang Sakti, berputra :
Ratu Gandjaran, berputra :
Ratu Menggale ( Semenggale ), berputra :
Ratu Semenggali, berputra :
Ratu Berdjunjang Sakti, berputra :
Ratu Radje Kuase ( Meradje Mengkuse ), berputra :
Ratu Radje Mude (
Ratu Kebuyutan ), yaitu Ratu terakhir.
Ke
sembilan Ratu ini disebut “ RATU
SEMBILAN DJUNDJANG “ ( Gilir ). Dari keturunan yang
kesembilan ini, Ratu Radje Mude ( Ratu Kebuyutan ) mempunyai dua orang anak.
Raden Simbang Gumay ( Pangeran Sukemilung ) disebut
juga Puyang Sukemilung
Putri Renik Debung.
Beliau menjadi istri Puyang Saing Nage didalam laut.
Pangeran Sukemilung sendiri mempunyai 9 orang anak dari 2 istri. Anak-anak
beliau ini disebut PUYANG
SEMBILAN BERADEK. Nama anak-anak beliau adalah :
Puyang Remandjang Sakti, napak BALAI BUNTAR-Lubuk sepang, Lahat.
Puyang Intan permata Djagat,ngadekan ds.Prabu
menang. Puntang Suku Merapi.
Puyang Pandjang,di Panda Enim.
Puyang Endang, di Lintang Kanan.
Puyang Remindang, ditangga Rase ( Manna )
Puyang Limpak, di Air Balui ( Musi Ulu )
Puyang Limparan, di Lubuk – Kayu Are
Puyang Untu, di Niru / Rambang Prabumulih
Puyang Remuntu, di Tjinte Mandi ( Redjang Bengkulu )
Dan
keturunan selanjutnya sampai sekarang adalah anak cucu dari Puyang Remandjang
Sakti. Kembali pada Kisah Puyang Si Pahit Lidah ( Pangeran Sukemilung ), beliau
mempunyai nama dan gelar yang banyak. Masyarakat Palembang dan sekitarnya
mengenal beliau dengan nama-nama- antara lain dibawah ini :
Diwe Sekilung / Sukemilung / Semidang :
Nama Saat Sedang Musafir
Diwe Serunting : Nama Asli
Diwe Rakuan :
Nama Saat Berperang
Diwe Lenggang Pati : Nama Keramat Bisa Mendatangkan Ribuan Angin
Berdengung
Diwe Lian Pati : Nama Budi Pekerti Lemah Lembut Dan Shabar
Diwe Malin Pati : Nama Kebesaran Pemimpin
Ini
sekilas sejarah dan silsila dari Serunting Sakti dari berbagai versi daerah.
Artikel
ini hanya sekedar sharing saja, bukan untuk di perdebatkan. Jika ada pembaca
yang lebih paham tentang Legenda ini, kami persilahkan untuk mengkoreksinya dan
meluruskan. Sepanjang hal itu dapat menambah nilai-nilai kebersamaan, serumpun
dan seketurunan guna menjaga nasab dari pelaku sejarah yang menjadi Legenda
Sumatera Selatan ini.
Jika
merujuk dari kisah-kisah yang dituturkan masyarakat, menggambarkan bahwa si
Serunting Sakti ini memiliki jiwa satria dan ilmu yang sangat sakti mandraguna.
Jejak – Jejak Si Serunting Sakti / Si Lidah Pahit.
Berikut
beberapa tempat yang menjadi lokasi yang diduga pernah disinggahi oleh
Serunting Sakti alias silidah pahit.
1. Gua Putri dan Batu Putri
Bila
Anda sudah mencapai Baturaja, sempatkanlah untuk mengunjungi Wisata Goa Putri
yang terkenal dengan cerita mengenai seorang putri dengan perangkat istananya
yang sudah menjadi stalagtit dan stalagmit ini. Goa Putri terletak di Desa
Padang Bindu, Kecamatan Pengandonan, sekitar 35 km dari kota Baturaja.
Goa Putri
Konon
menurut legenda, Dahulu disini pernah hidup seorang putri bernama Puteri Dayang
Merindu bersama keluarganya. Pada suatu hari Sang Puteri sedang mandi di muara
sungai Semuhun, sungai OKU. Jaraknya kurang lebih 1 km dari Gua
ini. Lewatlah seorang pengembara ditempat itu. Tatkala melihat Sang
Puteri timbul perasaan ingin menyapa, namun saat itu tidak mendapat perhatian
sama sekali sehingga dia merasa gusar. “Sombong sekali puteri ini, diam seperti
batu” ujarnya. Tiba-tiba saja tubuh Puteri Dayang Merindu berubah menjadi batu.
Inilah Batu yang disebut –sebut sebagai Batu Putri
“Pada
saat banjir melanda daerah ini tahun 1982, jembatan penghubung desa ke seberang
hancur dihantam air. Air sudah sangat tinggi, tapi anehnya Batu Putri ini tidak
tenggelam ataupun roboh. Percaya atau tidak, kalau batu putri sampai tenggelam
atau roboh maka dunia kiamat”.
Itu
hanya sedikit dari banyak komentar masyarakat pribumi tentang batu putri yang
dinilai mengandung hal yang mistis bagi penduduk sekitarnya.
Batu
ini berdiri anggun ditengah air, bagian atasnya diselimuti oleh tumbuh-tumbuhan
dan rumput. Dipercaya sebagai penjelmaan Putri Dayang Merindu, Puyang terdahulu
bagi masyarakat ogan ulu yang menurut legenda dikutuk oleh Pendekar Serunting
Sakti (Puyang Pahit Lidah) menjadi batu saat tengah mandi.
Kemudian
Sang Pengembara memasuki desa, ketika tampak desa yang sepi karena penduduk
sedang bekerja disawah dia kembali berkata “Katanya desa tetapi sepi seperti
goa batu”. Dan seperti tadi desa tersebut berubah menjadi goa batu. Ternyata
Pengembara tersebut adalah Si Serunting Sakti yang dijuluki Si Pahit Lidah,
yang bila menyumpah semua yang terkena akan menjadi batu. Ternyata si Pahit
Lidah tidak hanya menyumpah sang Putri saja. Ia juga mendatangi Gua kediaman
sang Putri beserta keluarganya. Konon kabarnya semua yang berada di dalam Gua
ikut disumpahnya menjadi batu. Dan kini beberapa bentuk batu gua yang ada
didalam bisa diceritakan oleh Guide.
Dayang
Merindu yang dikutuk Serunting Sakti atau Sipahit Lidah, diyakini warga sekitar
berasal dari Sunda. Keyakinan mereka berdasarkan penerawangan dari sejumlah
paranormal yang pernah melakukan penerawangan di gua Putri, di Desa Padangbindu
Kecamatan Semidangaji Kabupaten OKU. Keyakinan bahwa Putri Dayang Merindu
berasal dari pulau Jawa dikuatkan dengan pernah datangnya salah seorang
keturunan sunan yang mengaku, bahwa sang putri masih memiliki keturunan dengan
salah satu sunan. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, mereka memperkirakan
bahwa Putri Dayang Merindu merupakan istri dari salah satu raja yang ada di
pulau Jawa pada saat itu.
Saat
anda akan memasuki Goa Putri anda akan menemukan sebuah suguhan menarik yang
dapat membuat anda meresapi nilai Historis Goa Putri. Didalam Gua terdapat
ruang tamu, pemandian putri, pembaringan putri, pendapuran ( dapur ), balai
pertemuan, lumbung padi, singgasana sang Raja dan dua ekor sang penjaga Gua
yaitu patung Harimau. Nah, biar gak makin penasaran, ayo mulai menelusuri Gua
yang terlihat dari luar sangat besar dan indah. Untuk memasuki Gua, Kita harus
naiki puluhan anak tangga yang diapit oleh dua batu besar. Mendekati Gua
terdapat Stalaktit ukuran sedang menjulang dari atas sampai pinggang orang
dewasa di tengah jalan setapak yang dilewati.
Saat
melewati stalaktit itu pak Jafri ( Guide ) memukul satu kali batu itu.
kenapa harus memukul batu yang menghasilkan suara berdengung. Menurutnya, itu
adalah salah satu tanda sebagai salam untuk masuk ke dalam gua. Kita pun
mengikuti memukul batu itu sebagai salam untuk masuk ke dalam gua. Sesampainya
di mulut Gua, pemandangan sangatlah menakjubkan. Beberapa batu ukuran raksasa
menyambut kedatangan kita. Memasuki dalam Gua, suasana sejuk tapi lembab mulai
terasa dengan aroma tanah khas sebuah Gua pada umumnya.
Gua
ini memiliki panjang kurang lebih 180 meter yang bisa ditelusuri. Tapi menurut
sang Guide masih panjang lagi namun belum terbuka untuk umum. Lokasi ini juga
sudah ada jalan setapak yang terbuat dari semen yang di cor dan pagar sebagai
pengaman. Untuk penerangan Gua telah dipasangi lampu di beberapa titik oleh pengelola,
jadi buat para pengunjung tidak usah khawatir gelap-gelapan.
Setelah memasuki Gua, pada bagian tengah terdapat kumpulan stalaktit yang patah
didasar Gua. Konon batu ini adalah Kembang dadar hiasan sebagai pintu masuk
rumah sang Putri. Masuk kedalam lagi terdapat ruang tamu yang cukup luas berada
diatas batu ukuran raksasa yang sangat lebar. Disamping ruangan itu
terdapat kolam nya sang putri. Kolam ini berfungsi sebagai taman air yang
kalau ini seperti kolam ikan. Nah tepat di tengah kolam itu terdapat pendapuran
( dapur ) yang pada ujung dalamnya terdapat bak penampungan air dari batu alami
yang berbentuk cekungan dan airnya tidak pernah kering.
Dari
tempat ini menuruni anak tangga dan menemukan balai pertemuan yang
terbuat dari batu lempengan ukuran raksasa juga. Menurut cerita, dahulu kala
berfungsi sebagai panggung atau balai pertemuan. Dari tempat ini ada juga anak
tangga yang menuju ke lantai dua yang berfungsi sebagai ruangan istrihat. Namun
sayang tangga untuk naiknya sudah keropos. Menuju lokasi lain, berikutnya
adalah pembaringan sang Putri yang berada diatas batu yang lumayan agak tinggi.
Nah,
dibawahnya terdapat kolam pemandian sang Putri yang terkenal menurut mitos
masyarakat disini, jika mandi atau mencucui muka di pemandian ini maka akan
terlihat awet muda. Air yang melintasi gua ini adalah muara air dari
perbukitan yang di sebut aliran air Sumuhun ( permohonan ). Ternyata airnya
sangat dingin dan segar sekali sewaktu membasuh muka.
Banyak
juga para wisatawan yang datang untuk mandi di lokasi ini setiap harinya.
Airnya yang jernih dengan dasar batu kali kecil yang dangkal seukuran betis
orang dewasa menjadikan tempat ini sangat diminati orang-orang. Masih menurut
pak Jafri, pada tahun 1825 sampai 1835, Gua ini juga pernah menjadi persembuyian
masyarakat desa dari penjajahan Belanda. Dan Gua ini juga dikenal dengan Shoman
Dusun yang berarti Gua Desa.
Penelusuran
kelokasi berikutnya. Untuk melihat patung sang Harimau ternyata kita harus
menaiki tangga menuju tempat yang cukup luas dengan bebatuan besar dibagian
belakangnya. Patung dua Harimau penjaga itu terdapat di mulut lubang yang tidak
terlalu besar di seberang berjarak kurang lebih 40 meter, sekilas memang dua
batu di mulut lubang itu seperti Harimau yang sedang duduk berjaga-jaga.
Dari tempat kita berdiri ternyata masih bisa menuju ke dalam Gua lebih dalam.
Namun saat ini akses kedalam masih gelap dan tertutup batu besar. Asiknya,
diatas batu besar itu terdapat juga lobang besar menuju ke atas bukit. Lubang
ini juga menjadi salah satu penerangan Gua yang besar ini.
Usai
melihat dua patung Harimau, kita bisa menuju pintu keluar yang dinamakan pintu
Ajaib. Diberi nama Pintu Ajaib dikarenakan sebesar apapun orang yang akan
keluar dari Gua ini pasti bisa melewati pintu ini. Padahal, celah batu sempit
yang dinamakan pintu Ajaib ini tergolong lumayan kecil. Oh ya, untuk melewati
pintu ini ternyata ada caranya. Saat melewati, bahu kiri harus berada di depan.
Usai keluar dari pintu ajaib, terdapatkan pemandangan teras luar gua sangat
luas. Di bagian ini juga terdapat lumbung padi dan singasana sang raja.
Berdampingan
dengan Goa Putri terdapat Goa Harimau, tempat ditemukannya situs kerangka
manusia yang berumur ± 3.000 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian dan
pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Goa ini terletak di desa Padang Bindu Kecamatan Semidang
Aji yang berjarak ± 500 meter dari Goa Putri. Dari hasil penelitian Tim
Arkeologi, di Goa ini ditemukan dua kerangka manusia yang masih utuh dan
beberapa kerangka yang tidak utuh lagi, serta serpihan-serpihan bebatuan yang
diduga sebagai peralatan yang digunakan mereka. Selain itu pada dinding Goa
Harimau terdapat beberapa gambar lukisan yang sampai sekarang masih diteliti.
2. Danau Ranau, OKU.
Danau Ranau berjarak kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari
kota Baturaja
Keindahan
Danau Ranau tak terbantahkan lagi. Namun, letaknya yang jauh dari pusat kota, Palembang,
membuat objek wisata ini ibarat “misteri”. Keindahannya tersaput kabut. Oleh
karena itu, meskipun indah, wisatawan yang berkunjung ke sini masih bisa
dihitung dengan jari. Sama seperti awal terbentuknya danau itu yang dilingkungi
misteri. Kendati secara ilmiah terbentuk melalui sebuah proses alam, masyarakat
setempat percaya ada misteri yang melatarbelakangi terciptanya danau ini.
Mencapai
lokasi ini, selain dari Palembang,
juga bisa dijangkau dari Provinsi Lampung. Danau Ranau merupakan danau terbesar
dan terindah di Sumatera Selatan yang terletak di Kecamatan Banding Agung,
Kabupaten OKU Selatan (dahulu masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu).
Berjarak sekitar 342 kilometer (km) dari Kota Palembang, 130 km dari Kota
Baturaja, dan 50 km dari Muara Dua, ibu kota OKU Selatan, dengan jarak tempuh
dengan mobil sekitar tujuh jam dari Kota Palembang. Sementara itu, dari Bandar
Lampung, danau ini bisa ditempuh melalui Bukit Kemuning dan Liwa.
Konon
kabarnya hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah, karena saking
lidahnya pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda apapun menjadi batu.
Hal ini dipercaya karena adanya situs peninggalan zaman dahulu kala yaitu BATU
KEBAYAN (candi sepasang pengantin) yang puing-puingnya masih tersisa di dekat
Desa Jepara, kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan,
Sumatera Selatan. Dan konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di
daerah Ranau seperti: Batu Lesung, di Subik dan sebagainya adalah akibat sumpah
dari Si Pahit Lidah.
Batu Kebayan ( Batu sepasang Pengantin ).
konon
kabarnya pula, ada seorang yang sangat sakti dari daerah lain yaitu Si Mata
Empat, yang ingin menguji kesaktian Si Pahit Lidah.
Si
Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang menjadi
legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung. Mereka amat disegani
lawan-lawannya. Baik si Pahit Lidah maupun si Mata Empat, keduanya merasa
paling hebat di antara keduanya.
Si
Mata Empat pun menjadi geram dan rasanya ingin segera menghajar si Pahit Lidah.
Dia mengetahui kelemahan dari si Serunting yaitu tidak kebal dengan batang
Bambu Kuning yang telah jadi jemuran ( dalam bahasa daerah setempat disebut ”
BembanAur Kuning” ). Namun niatnya tersebut diurungkan karena kalau berkelahi
secara langsung tentu dia akan kalah dengan kutukan lidahnya yang pahit itu.
Akhirnya,
karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara mereka
berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengadu kekuatan masing-masing.
Maka tibalah pada hari yang sangat menentukan itu. Mata Empat menggunakan
permainan licik yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Caranya, secara
bergiliran keduanya harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu,
bunga aren di atas akan dipotong oleh salah satu di antara mereka. Siapa bisa
menghindar dari bunga dan buah aren yang lebat dan berat itu, dialah yang akan
disebut jawara sakti. Setiap orang diberi kesempatan memotong tiga kali bila
buah yang di jatuhkan belum mengenai musuh. Si Pahit Lidah tidak mengetahui
kalau Mata Empat telah berbuat licik terhadapnya. Didalam tandan buah enau
telah di pasangi bambu runcing dari batang Bambu Kuning ( Bemban Aur Kuning )
yang merupakan kelemahan dari ilmu kebalnya. Tapi si Pahit Lidah menerima saja
tantangan Mata Empat tersebut.
Lalu
dengan sistem undian yang telah mereka sepakati si Mata Empat mendapat giliran
pertama. Sesuai namanya, si Mata Empat juga memiliki dua mata lain, yakni di
belakang kepalanya.
Dengan
secepat kilat si Pahit Lidah lalu memanjat pohon aren yang ada di tepi danau
tersebut.
Dengan tenangnya si Mata Empat menelungkup di bawah pohon. Cring…byar…buah aren
berhasil di potong dan di jatuhkan oleh si Pahit Lidah.
Tentu
saja si Mata Empat bisa melihat arah jatuhnya buah aren tersebut. mata di
kepala mata empat bisa melihat ketika bunga aren jatuh meluncur ke ke arah Mata
Empat. Dengan mudahnya si Mata Empat bisa menghindar dari runtuhan buah aren
tersebut.
Dengan kesal si Pahit Lidah memotong buah aren yang lebih besar. Tapi si Mata
Empat dapat menghindar lagi dari jatuhan buah aren tersebut.
Mata
Empat dengan sombongnya mempersilahkan Si Lidah Pahit untuk melakukan sekali lagi.
Dengan perasaan hampir putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren yang lebh
besar dari yang ketiga. Tapi dengan kemempuan yang dimilikinya, Mata Empat bisa
menghindar untuk ketiga kalinya dari jatuhan buah aren tersebut.
Dengan
perasaan kecewa Pahit Lidah turun dari pohon aren tersebut. Kini giliran si
Pahit Lidah untuk manjat pohon aren. Dengan secepat kilat juga si Mata Empat
memanjat dan si Pahit Lidah sudah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon
itu.
Mata
empat pun dengan alat yang telah di siapkannya memotong buah aren tersebut.
Clazzz…gugusan buah are itu meluncur deras ke bawah.
Si
pahit lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah
luncuran itu. Ia tak menghindar.
Pahit
Lidah berteriak kesakitan sejadi-jadinya. Buah aren yang besar dan berat serta
bambu runcing dari Bemban Aur Kuning tersebut mengenai tubuh si Pahit Lidah.
Tubuhnya bersimbah darah dan ia tewas seketika secara mengenaskan.
Si Mata Empat senang, dan merasa puas. Ia bisa membuktikan pada semua orang,
dirinyalah yang lebih sakti dari si Pahit Lidah.
Namun
rasa ingin tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan si Pahit
Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran, ia cucukkan
jarinya ke dalam mulut si pahit lidah yang sudah mati itu. Setelah itu,
dijilatnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur di Pahit Lidah.
Ternyata,
rasanya pahit sekali. Rasanya lebih pahit dari akar empedu.
Rupanya
itu racun yang mematikan. Si Mata Empat pun mengerang-erang kesakitan memegangi
tenggorokannya. Tapi apa mau dikata. Racun tersebut telah menjalar ke seluruh
tubuhnya. Dan seketika itu juga tubuhnya membiru. Maka si Mata Empat pun juga
tewas di tempat yang sama. Akibat terlalu sombong dan angkuh. Merasa dirinya
paling hebat di dunia ini, padahal masih ada yang lebih hebat sejagat raya ini
yaitu Allah SWT.
Lokasi yang diyakini makam dari Si Lidah Pahit dan Si Mata Empat
Kedua
jawara ini lalu dimakamkan oleh penduduk setempat di tepi Danau Ranau yang
menjadi saksi sejarah pertarungan antara si Pahit Lidah dan si Mata Empat.
Menurut juru kunci kuburan, H Haskia, di sini terdapat dua buah batu besar.
Satu batu telungkup diyakini sebagai makam Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri
sebagai makam Si Mata Empat.
Makam
keduanya terletak di kebun warga Sukabanjar bernama Maimunah. Untuk menuju ke
lokasi, selain naik perahu motor dari Lombok,
bisa juga dengan berkendaraan.
Makam Puyang Serunting
Batu Lesung Bintang
merupakan
peninggalan sejarah dari Marga Bindung Langit Lawang Kulon sebagai asal mula
Baturaja. Ada
beberapa peninggalan sejarah sebagai bagian dari BatuLesung
Bintang ini, antara lain batu berukir (berbentuk sandi & peta
wilayah) dan batu berbentuk tapak kaki.
3. Batu Macan.
Batu Macan
Di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sepertinya pribahasa ini cocok
digunakan sebagai ungkapan bahwa di mana pun kita berada harus menaati
peraturan-peraturan yang telah diterapkan masyarakat sekitar tempat kita
tinggal. Begitu juga dengan Batu Macan. Objek wisata yang tak hanya bernilai
seni tapi juga sarat makna dan pesan.
Batu
Macan tepatnya adalah simbol yang diyakini masyarakat sebagai wujud nyata
paraturan adat (perdat) yang harus dipatuhi. Diperkirakan, Batu Macan yang
terdapat di Desa Pagar Alam Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat ini, sudah
ada sejak zaman Majapahit pada abad 14 lalu. Sebagai simbol, Batu Macan ini
merupakan bentuk penjagaan atau pagar terhadap perzinahan dan pertumpahan darah
dari empat daerah, yakni Pagar Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah
Gumay Talang.
Ketika
koran ini mengunjungi peninggalan bersejarah tersebut, diperoleh keterangan
dari Jurai Tue Adat (Sesepuh. red) Idrus (62). Dituturkan Idrus, kisah adanya
Batu Macan erat kaitannya dengan legenda Si Pahit Lidah yang beredar di
masyarakat. Kisah berawal dari adanya seekor macan yang kerap kali mengganggu
masyarakat desa di empat wilayah tersebut.
Keganasan
macan yang semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si Pahit Lidah
memperingati macan untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun sampai tiga kali
teguran tidak pernah dipatuhinya dan macan terus saja mengganggu penduduk.
Ketika Si Pahit Lidah sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan sumur
tinggi, dari jauh dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi sambil
menggendong anaknya, dan pada saat yang sama datang seekor macan dari arah
belakang wanita secara mengendap-endap untuk menerkam wanita bersama anak yang
ada di gendongannya.
Melihat itu, kembali Si Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran
itu tidak juga membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut, sampai
akhirnya Si Pahit Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan tiba-tiba macan
tersebut berubah menjadi batu.
Anehnya,
bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta
anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata
wanita tersebut adalah wanita pezinah dan anak yang sedang digendongnya adalah
anak hasil perzinahan.
Dari
kisah itu, lanjut Idrus, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat
hal-hal yang harus dilakukan oleh si pelaku yakni menyembelih kambing sebagai
basoh rumeh (pembersih rumah. red), dan apabila si wanita mengandung dan
melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih
lingkungan. red). Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka
pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsikan di daerah
lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah
memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
4. Tari Kebagh.
Konon
katanya, sejarah tarian ini berkaitan dengan Puyang Serunting Sakti.
Dikisahkan
bahwa Serunting Sakti atau Si Lidah Pahit alias Puyang Semidang sedang melewati
hutan lebat, dia mendengar suara ramai di suatu sungai yang ada air terjunnya.
Ternyata ada ternyata ada tujuh orang perempuan cantik sedang mandi smbil
bersenda-gurau. Dia yakin ini bukan perempuan biasa, karena tidak mungkin
manusia berani mandi di tengah hutan yang lebat. Sebagai laki-laki ia jatuh
cinta pada para perempuan itu, seperti kisah jaka tarub, dicurilah salah satu
selendang para gadis itu.
benar
dugaannya, selesai mandi para gadis tersebut mengambil selendang lalu terbang
menghilang ke angkasa.
Sambil
menyembunyikan selendang tsb, dia menghampiri gadis yg sedang menangis karena
ditinggalkan teman-temannya.
Singkat
cerita, sang gadi diajak kekampungnya, dan dipersuntingnya. Sementara itu
selendang sang gadis ia sembunyikan di atas lumbung padi.
Setelah
menikah, mereka dikaruniahi seorang putra yang di beri nama Dirut.
Pada
suatu hari dikampung diadakan acara pesta panen yang sangat meriah dan turut
dihardiri oleh Serunting Sakti dan istrinya.
Diadakanlah
acara tari-tarian oleh muda-mudi kampung tersebut.
Istri
Puyang Serunting Sakti yang konon adalah seorang bidadari ( Betari ) , diminta
ikut turun menari. Permintaan ini disetujui istrinya dengan syarat hanya bisa
menari bila menggunakan selendang miliknya. Dia tahu selendang tersebut
disembunyikan oleh Puyang Serunting Sakti. Atas permintaan dari warga
kampung agar selendang tersebut dikembalikan pada istrinya untuk dipakai
menari.
Karena
terus didesak banyak orang, akhirnya dengan berat hati, Puyang Serunting Sakti
mengizinkan istrinya menari dengan selendang yang diambilnya dari atas lumbung
padi. Selendang tersebut disembunyikan di dalam ruas bambu yang lazim disebut
tepang.
Dengan
beralaskan dampar (nampan) kayu maka menarilah istri Puyang Serunting Saksti
dengan lemah gemulai. Kecantikan dan kemahirannya menari membuat semua mata
terpana.Hingga tanpa disadari oleh semua orang, istri Puyang Serunting Sakti
tak lagi menginjak bumi, melayang-layang, semakin tinggi. Tersadar istrinya mau
terbang ke kayangan, Serunting Sakti mengejarnya, namun istrinya sudah terbang
setinggi kepalanya, merasa tidak bisa menangkapp istrinya , Serunting mencabut
golok dan membacok lutut istrinya.
Sambil
menjerit kesakitan, istrinya mendarat di pelepah pohon kelapa gading.
Sambil
menangis sedih bercampur marah sang istri meneriakan kutukan :
–
Bila ada anak cucuku yang makan nyiur ini tidak akan selamat hidupnya.
–
Bila ada anak cucuku kencantikan dan rambutnya panjangnya melebihi aku akan
celaka.
Serunting
Sakti menyesali tindakanya, namun nasi sudah jadi bubur, sang istri menghilang kembali
kekayangan.
untuk
mengenang sang bidadari maka setiap acara diadakan tarian Kebagh yang berarti
tarian terbang.
5. Batu Gajah
Batu gajah yang di duga di sumpah Si Lidah Pahit
Si
Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari
mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi
batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan
Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Lokasi
situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar
500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter
di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu
Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Batu
ini berada di aliran sungai pengabuan tepatnya di wilayah Dusun Mudo, konon
katanya batu tersebut berubah berbentuk seperti gajah karena di sumpah Pahit
Lida. Batu itu di sumpah karena saat si Pahit Lidah mencuci beras tiba tiba air
yang mengalir menjadi keruh yang sebabkan gajah menyebrangi sunagai pengabuan
di hulunya.
6. Batu Jung.
Pantai
Wayhawang yang terletak di kecamatan Maje kabupaten Kaur sudah lama dijadikan
tempat pariwisata. Wisata pantai Wayhawang yang terletak di desa Wayhawang,
setiap tahunnya di saat hari-hari tertentu ramai dikunjungi orang untuk
berlibur dan bersantai bersama keluarga, maupun orang terdekat di hati.
Keindahan pantai ini sudah lama tersohor di Bengkulu, dengan keindahan alam
yang dimilikinya. Berbagai cerita sejarah terdapat di pantai Wayhawang, di
antaranya cerita Si Pahit Lidah. Keindahan Batu Jung, seperti halnya tanah lot
di Bali, Batu Jung memiliki secarah tersendiri. Konon cerita asal mula
terbentuknya Batu Jung dari sebuah kapal yang disumpah oleh si Pahit Lidah
menjadi batu.Selain batu jung, ada lagi cerita menarik lainnya, sehingga pantai
Wayhawang memiliki kenangan tersendiri di masa lampau. Namun, keindahan alam di
Pantai Wayhawang sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan puluhan tahun
sebelumnya. Semoga pantai yang dahulu menjadi tujuan utama pariwisaata di kaur
dapat kembali menjadi tujuan wisata di Bengkulu, khususnya di Kaur.
Menurut
mitos batu ini berasal dari sebuah kapal, mengapa terjadinya kutukan si pahit
lidah karena pada saat itu di sekitar kapal ada seseorang yang sedang mencari
ikan, lalu datanglah seorang bapak-bapak( si pahit lidah ) yang sedang berjalan
disekitar tepi pantai.
Dia
meminta api pada sang pemilik kapal itu dia memanggil-mangil tapi seperti sama
kali tak dihiraukan, sebenarnya bukan karena tak dihiraukan tetapi jarak kapal
itu cukup jauh dari tepi pantai sehingga tidak terdengar oleh pemilik kapal
itu. Sipahit lidah murka dan dikutuknya lah kapal itu menjadi batu, maka
berubahlah kapal itu menjadi batu.
Kalau
dilihat bentuk batu itu mirip sekali dengan sebuah kapal/perahu. Sangat pas
buat berlibur bersama keluarga di akhir pekan sambil menghilangi penat setelah
satu minggu menjalani aktifitas.
7. Batu Titian.
Mendengar
nama Sipahit Lidah, pikiran kita secara tidak langsung tertuju ke daerah
Sumatera Selatan. Siapa sangka, legenda Sipahit Lidah juga ada di wilayah
Merangin Propinsi Jambi. Salah satu daerah Merangin yang menurut cerita juga
menjadi tempat petualangan Sipahit lidah adalah daerah Tabir Ulu. Menurut
cerita yang berkembang di tengah masyarakat, di Tabir Ulu Sipahit lidah
mempunyai musuh bebuyutan seorang Raja yang bernama Rajo Banting. Salah satu
bukti permusuhan tersebut ditandai dengan adanya sebuah batu titian Rajo
Banting yang berasal dari kayu sungkai yang kini telah menjadi batu disumpah
oleh Sipahit Lidah.. Batu titian tersebut saat ini berada di anjungan rumah
adat Sarko di Taman Rimba Kota
Jambi.
Jadi
jangan salah, legenda Sipahit lidah tidak hanya ada di daerah Sumatera Selatan,
tetapi juga berkembang di Merangin Propinsi Jambi. Di Jambi, legenda Sipahit
lidah tersebar di beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten Merangin,
Muara Bungo dan Kabupaten Sarolangun..
8. Asal mula danau Tes.
Alkisah,
di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini),
hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei
Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil demikian, karena
lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi
kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada
alasan yang mendasarinya.
Pada suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru di
daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari dusun tempat tinggalnya.
Setelah menyampaikan niatnya kepada para tetangganya dan mendapat izin dari
Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera menyiapkan segala peralatan yang akan
dipergunakan untuk membuka lahan persawahan baru.“Anakku, kamu di rumah saja!
Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,”
ujar si Lidah Pahit kepada anaknya. “Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Setelah
berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak,
parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia
pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai
Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon
besar dengan kapak dan membabat semak belukar dengan parang. Setelah itu, ia
pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke
Sungai Air Ketahun.
Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas
kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk
si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu hektar dapat
diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena rata-rata mereka
berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil
pekerjaannya itu.
Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan
pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal
lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan segera menanam padi
di lahan persawahannya yang baru itu.Namun,
tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka masyarakat di
kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan tentang
pekerjaannya yang selalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun,
sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat
Kutei Donok yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah
cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan
air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.
Melihat kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok
lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit
dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka pun menemukan
sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah
beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya
di tempat si Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit
yang sedang asyik mencangkul.
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,”
kata seorang utusan. “Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah
Pahit. “Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah
terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan
lainnya. “Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah
Pahit dengan penuh keyakinan.
Beberapa kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah
Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei
Donok tanpa membawa hasil. “Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah
Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat.
“Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang
utusan lainnya.
Mendengar keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya
untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si
Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja mencangkul dan
membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun.Melihat keadaan itu, akhirnya
ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan
langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk
menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.
“Wahai
si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah meninggal
dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit. Oleh karena sangat menghormati
ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka.
“Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka
saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah
Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!”
ujar ketua adat. “Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang
tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.
Mendengar
jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun
Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan
ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak
meninggal kemudian menjadi meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan
ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia.
Namun,
apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut
tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan
kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke
tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia
pun bergegas kembali ke Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah
meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah
tidak bernyawa lagi.
Konon,
tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air
Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.
9. Batu Badak.
Batu yang menyerupai Badak hasil kutukan Si Lidah Pahit
Dari
kisah legenda cerita rakyat sumatra bagian selatan, inilah salah satu jejak
kisah si Si pahit Lidah di tanah rejang. Jejak lain kisah ini ada di desa batu
belarik, bagian tanah rejang di kabupaten kepahiang.
Bisa
di capai dengan mudah dari jalan raya, situs megalith ini berada di pinggir
jalan, di desa Lawang agung, kecamatan Sindang Beliti Ulu. Lokasinya dinamakan
tebing batu badak. Batu batu ini berada tepat di samping rumah penduduk.
Batu batu dekat batu badak yang di percaya orang rejang lembak sebagai
anak anak badak yang di kutuk oleh Si Pahit Lidah.
Dikisahkan
bahwa si pahit lidah melewati kawasan ini dan bertemu dengan segerombolan badak
sumatra, beserta anak anaknya. Si pahit lidah bertanya arah jalan ke gerombolan
badak yang menghalanginya. Karena tidak di jawab oleh Badak, Si pahit lidah
marah dan berkata, “Jadilah kalian semuanya batu”. Karena kesaktianya, badak
badak sumatra itu berikut anak anaknya menjadi batu.
10. Batu Jantan.
Di
Kabupaten Tebo Propinsi Jambi, tepatnya Desa Sungai Landai. Ceritanya sedikit
sekali, biasanya orang kampung menyebut “Batu Jantan” dan batu lainnya adalah
perempuan “Batu Betino” Batu Betino tidak dapat di photo karena jaraknya jauh
(1km ke utara). Menurut masyarakat setempat ini terkait dengan kisah Si Lidah
Pahit.
11. Batu Berputar.
Wisata
batu berputar ini terletak diarel perkebunan karet rakyat tepatnya di daerah
Desa Batu Raja Bungin Kec. Bunga Mayang 11 KM dari Martapura, menurut cerita
rakyat setempat batu ini jatuh dari langit dan sewaktu – waktu memancarkan
cahaya seperti percikan api yang disebabkan oleh perputaran dua buah batu yang
berlawanan arah. Sedangkan Tala Batu yang terletak di Kec.Buay Madang Timur 40KM dari Martapura.
Menurut cerita masyarakat setempat merupakan sumpahan sipahit lidah, karena
pada saat itu masyarakat setempat mengadakan pesta menyambut musim tanam padi dengan
membawa alat – alat kesenian, karena penduduk lagi bepesta dan kurang perhatian
dengan si pahit lidah maka dia murka dan disumpahnya menjadi batu.
Masih
banyak lagi peninggalan yang dianggap bekas atau singgahi oleh serunting Sakti
atau Si Lidah Pahit, semua berdasarkan kisah yang dihimpun dari berbagai versi
daerah masing-masing.
Menurut
legenda Kesaktian beliau ada di lidahnya. Diantara berbagai macam keramatnya
adalah beliau mempunyai Ucapan ( Kalimat Sakti ) yang bisa membuat apapun yang
disumpahnya menjadi seperti yang di ucapkannya. Keluarga keturunanya mengenal
kalimat itu dengan nama “ UCAP GUMAI .“ Sejauh yang di ketahui, ilmu ini
menjadi semacam tradisi yang terus menyambung sampai ke anak cucu. Tanpa harus
dipelajari pun, beberapa orang dikeluarga keturunanya mempunyai kemampuan Ucap
Gumai tersebut. Apalagi jika terdesak kedalam suatu persoalan yang
membahayakan, terkadang tanpa sengaja keluar ucapan sumpah tersebut. Saking
berbahayanya ilmu itu, para Tetua menyembunyikan ilmu itu rapat-rapat
sampai sekarang. Yang masih menyimpannya kemungkinan besar hanyalah Para Jurai
Kebale’an ( Tetua Adat suku Gumai, Keturunan dari Puyang Tuan Radje ). Kami
mendapatkan sebuah SERAPAH / KALIMAT yang sumbernya disebutkan berasal dari
Puyang Si Pahit Lidah. Kalimat ini di tulis oleh KH. Bahri bin Pandak, Tanjung
Atap-Komering Ilir Palembang didalam kitabnya yang berjudul Aurodul Hakiim. Dan
beliau menyebutkan, mendapatkan Kalimat ini dari Ujo’ Agus, Air Pedaro. Redaksi
Kalimat itu begini :
Bismillahir rahmaanir rahiim…
Assalamu’alaikum kang malih jati
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barakaatuh
Ingkang pangeran akulah pangeran pati
Biso tedong biso si pahit lidah
Biso dibisakan kau oleh Allah ta’alaa
Aku dikuasakan aku waliyullah
Berkat laa ilaha ilallah muhammadur rasulullah…( sebut hajat kita )
Disebutkan
bahwa kalimat itu berguna sebagai sambatan / wasilah tawasul atas sesuatu
keperluan yang kita butuhkan. Selama kita meyakini dan tulus dalam ucapan,
kalimat sederhanapun bisa menjadi mantra mujarab untuk jalan keluar yang kita
butuhkan. Terlebih disaat kepepet.
Demikianlah
Sepenggal kisah dari Serunting Sakti alias Si Pahit Lidah Alias Puyang
Semidang, bila ada kekurangan harap di maklum karena penyusunan kisah ini di
ambil dari berbagai sumber yang berbeda sesuai dari versi daerah yang
bersangkutan.
Namun
satu hal yang pasti, legenda Si Serunting atau Si Lidah Pahit menjadi salah
satu legenda yang termasyur di belahan Sumatera bagian selatan, terutama
di Bumi Besemah Libagh.