Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Legenda. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 04 Juni 2016

Jabolan



PADA suatu hari masyarakat di Lebong digemparkan oleh kabar adanya beberapa penculik yang setiap hari mengintai anak-anak untuk dikorbankan dalam suatu upacara. Para orangtua yang kebanyakan setiap harinya pergi ke sawah atau ke kebun, menjadi khawatir akan keselamatan anak-anak mereka di dusun. Apalagi para orangtua yang berbulan-bulan tidak pulang ke dusun, hanya tinggal di kebun atau sawah mereka.
Di kalangan anak-anak pun kabar berita itu menyebar dan menakutkan. Mereka pergi ke sekolah atau pulang sekolah selalu bergerombol, karena takut diculik. Tapi, kegiatan-kegiatan anak-anak dusun di Lebong tetaplah seperti biasa. Banyak kabar berita yang menyebutkan sekelompok penjahat yang suka menculik anak-anak telah melakukan penculikan di beberapa Kutei atau dusun. Berita-berita itulah yang meresahkan masyarakat di Lebong.
Konon, sekelompok orang yang suka menculik itu oleh masyarakat disebut Jabolan ( penjahat ), yang beraksi secara sembunyi-sembunyi. Namun, tak ada yang tahu, siapakah para penjahat itu. Untuk apa mereka menculik anak-anak dusun yang tak bersalah serta tidak tahu menahu masalah.
Karena kabar beritanya sudah begitu meluas di tengah kehidupan masyarakat, maka persoalan Jabolan itu akhirnya masuk juga ke agenda rapat para ketua-ketua adat di Lebong. Mereka membahas, mengkaji dan mencari jalan ke luar, agar kalau kabar Jabolan itu benar, anak mereka akan selamat, tidak mendapat gangguan.
Pada suatu hari, berkumpullah beberapa orangtua, ketua-ketua adat, kepala kampung di rumah Pangeran Lai ( pangeran=pangeran/pimpinan masyarakat, lai = besar ), guna membahas  kabar berita yang tak menggembirakan yang beredar dan menyebar di tengah kehidupan masyarakat Lebong.
“ Bapak-bapak yang kami hormati, kami mengundang bapak-bapak datang ke sini hanya untuk membicarakan kabar yang belum jelas yang selama ini tersiar luas,” kata Pangeran Lai kepada hadiran yang hadir. Suasana di ruang rapat Balai Kampung itu mencekam, semuanya duduk bersila dan melingkar di atas tikea paden ( tikea = tikar, paaden = pandan), mendengar Pangeran Lai berbicara.
“ Jadi, malam ini kita akan mencari jalan ke luarnya, mudah-mudahan bapak-bapak yang hadir di sini dapat memberikan keterangan yang diperlukan,” ujar Pangeran Lai yang biasa dipanggil Lai itu.
“ Nah, siapa yang ingin bicara soal itu terlebih dahulu?” harap Pangeran Lai. Sejenak para orangtua yang hadir terdiam. Sebagaian mereka asyik menghisap rokok daun nipah kesukaan orang-orangtua di Lebong zaman dahulu kala itu. Suasana hening dan agak mencekam itu, tiba-tiba mencair, karena ada yang bicara.
“Silakan…,!” kata Pangeran meminta yang mengangkat tangan untuk mulai bicara.
“ Begini sepasuak, soal kabar itu memang sudah lama terdengar, tapi di daerah ini belum ada korban yang diculik,” kata Rio Bong. Semua yang hadir melirik Rio Bong dengan seksama. Lalu, kata Rio Bong, “Kalau benar, tentunya kita perlu waspada, kalau perlu kita giatkan petugas keamanan wilayah melakukan pengintaian pula,’ lanjut Rio Bong.
“ Ya, mungkin jalan itulah yang terbaik, tetapi juga setiap anggota keluarga kita di daerah ini harus membantu, terutama menyelidiki kelompok Jabolan itu, “ ujar Blando Padea. Mendengar  usulan Blando Padea itu, yang hadir malam itu sepakat untuk menangkap pelaku penculikan yang menyebutkan nama mereka dengan Jabolan.
Pangeran Lai pun setuju, ia berjanji akan memberikan perhatian khusus, apalagi setelah ia mendapat masukan dari penasihatnya, Manin bahwa, Jabolan itu benar-benar ada. Oleh karenanya, kata Pangeran Lai, berita itu harus ditanggapi serius. Pertemuan malam itu yang bersepakat dan sepaham mengatasi segala gangguan keamanan jiwa masyarakat Lebong berakhir hingga waktu menjelang pagi hari.

Ki Pati dan Ki Pandan



 TERSEBUTLAH kisah setelah Ki Karang Nio yang kemudian bergelar Sultan Abdullah kembali ke tanah Lebong dari Kerajaan Indrapura, tempat adik bungsunya Putri Serindang Bulan dijadikan permaisuri oleh raja Pagai bernama Setio Barat. Di Lebong Ki Karang Nio dinobatkan jadi raja menggantikan kedudukan ayahandanya Rajo Mawang.
            Diceritakan, ayahanda Ki Karang Nio bernama Rajo Mawang bertahta setelah menggantikan ayahandanya bernama Rajo megat bergelar Rajo Mudo Gunung Gedang. Sedangkan Rajo Megat menggantikan tahta dan kedudukan ayahandanya, Biku Sepanjang Jiwo yang dipanggil pulang oleh kerajaan Mojopahit ke Istana Pagar Ruyung. Rajo Mawang yang menggantikan tahta ayahandanya Rajo Megat mempunyai 7 orang anak, yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Jenain, Ki Geting, Ki Karang Nio dan Putri Serindang Bulan.
            Ki Karang Nio sebagai raja di Ulau Dues, Lebong —dekat Muara Aman sekarang, dikarunia dua orang anak masing-masing Ki Pati dan Ki Pandan. Pada waktu Ki Pati dan Ki Pandan masih kecil, keluarganya menerima kiriman dari Putri Serindang Bulan yang bergelar Sebei Lebong berupa bokoa iben ( tempat sirih ) berisi dua sabok ( selendang). Satu selendang  sutera yang sudah buruk berisi buah berukuran kecil bernama buah aman dengan rasanya sangat manis. Sedangkan sabok lainnya yang masih baru berisi buah abo yang berukuran besar. Tapi, rasanya masam. 
            Adapun bokoa iben yang dikirim Sebei Lebong dari kerajaan Indrapura yang menguasai pulau Pagai di muara Bioa Ketawen ( air Ketahun )—yang sekarang berada di Bengkulu Utara adalah barang bawaan Sebei Lebong alias Putri Serindang Bulan saat ia hendak dibunuh oleh saudara-saudaranya. Pada waktu menerima kiriman Putri Serindang Bulan, Ki Karang Nio memanggil dua putranya, Ki Pati alias Rio Patai dan adiknya Ki Pandan alias Tuan Rajo.
            Kenapa Ki Karang Nio tidak memanggil dua putrinya bernama Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari? Itu semua dilakukan oleh raja Ki Karang Nio berdasarkan, bahwa tahta kerajaan pada suatu saat nanti akan diserahkan kepada salah satu di antara putra mahkota; Ki Pati dan Ki Pandan. Dengan demikian Putri Jinar Anum dan Putri Batang Hari tidak dipanggil menghadap.
            Setelah kedua putranya yang masih kecil itu menghadap, berkatalah Ki Karang Nio dengan suara pelan, tapi berwibawa.
“ Hal anandaku berdua. Tahukah ananda dipanggil menghadap?” kata Ki Karang Nio kepada kedua putranya. Tentu saja, kedua putra raja Ki Karang Nio itu tak tahu menahu, apalagi soal kerajaan. Keduanya hanya menatap ayahandanya tanpa berkedip. Kemudian Ki Karang Nio meneruskan ucapannya.
“ Ketahuilah putraku, bahwa beberapa waktu lalu telah datang kiriman dari adik ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di pulau Pagai. Kiriman itu akan ayahanda perlihatkan kepada putrananda berdua,” jelas Ki Karang Nio sambil bersila di ruang pertemuan keluarga raja.
“ Barang apakah gerangan itu, wahai ayahanda raja,” tanya Ki Pati yang sering juga disebut dengan nama Rio Patai itu. Mendengar pertanyaan anak tertuanya itu, Ki Karang Nio hanya diam dan melirik ke arah Ki Pati. Kemudian, pandangannya dialihkan ke wajah putra keduanya, Ki Pandan alias Tuan Rajo. Dengan gerakan tangan, Ki Karang Nio meminta penasihatnya untuk mengambil bokoa iben yang dikirim oleh Putri Serindang Bulan. Setelah bokoa iben itu diserahkan oleh penasihat raja ke Ki Karang Nio, mata Ki Pati terbelakak.
            Sesaat kemudian Ki Pati tak sabaran ingin tahu apa isi bokoa iben itu. Lalu ia bertanya dengan rasa ingin tahu kepada Ki Karang Nio.
“Wahai ayahanda raja, bukalah tutup bokoa iben itu, agar hamba dapat melihatnya dengan jelas,” pinta Ki Pati. Kini, giliran Ki Karang Nio yang terbelakak mendengar permintaan anak tertuanya itu.
“Sabar, sabarlah wahai putrananda!” pinta Ki Karang Nio kepada Ki Pati. Namun, Ki Pati nampaknya makin gelisah, seakan-akan ia ingin memiliki semua isi bokoa iben itu. Gelagat Ki Pati itu sudah diketahui oleh Ki Karang Nio. Namun, ia tetap sabar, sebagai raja dihadapan anak-anaknya, ia harus mempunyai ketabahan dan kesabaran.
“ Ayahanda mengundang putrananda berdua di sini gunanya untuk memberikan kiriman Putri serindang Bulan kepada putrananda sebagai calon pewaris tahta kerajaan. Untuk itu, putrananda berdua harus memilih, yang mana yang disukai,” jelas Ki Karang Nio dihadapan anak-anaknya yang disaksikan beberapa penasihat kerajaan, hulubalang dan keluarga istana kerajaan.
Dengan perlahan, Ki Karang Nio membuka penutup bokoa iben itu yang disaksikan oleh kedua putra mahkota. Setelah diangkat isinya, Ki Karang Nio meletakkan kedua sabok dihadapannya, dengan maksud agar kedua putranya dapat melihat dengan jelas, sehingga dapat menentukan pilihan yang tepat tanpa ada penyesalan dibelakang hari.
“Nah, sekarang ayahanda meminta kepada putrananda berdua untuk memilih satu di antara kedua sabok yang ada isinya itu,” pesan Ki Karang Nio. Tak lama setelah ia mengucapkan kata-kata itu, Ki Pati langsung minta izin untuk memilih pilihannya. Ki Pati melihat sabok yang masih baru berumbai-umbai emas dan perak serta berisi buah abo berukuran besar, langsung menjatuhkan pilihannya.
“Wahai ayahanda raja, hamba memilih sabok berumbai emas berisi buah abo besar itu,” pinta Ki Pati. Ki Karang Nio hanya memandang putra tertuanya, lalu ia berkata; “Apakah tidak salah pilihan putrananda Ki Pati?” tanya Ki Karang Nio. Dengan tegas Ki Pati menjawab, “Tidak. Tidak ayahanda raja. Itulah pilihan hamba,” katanya.
“Apakah putrananda Ki Pati tak menyesal memilih sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu,” tanya Ki Karang Nio lagi. Ki Pati sudah berbulat tekad ingin memiliki sabok berumbai emas dan berisi buah abo besar itu. Ia khawatir kalau-kalau adiknya, Ki Pandan akan memilih sabok yang sama. Oleh karena itu, Ki Pati mengajukan pilihan lebih awal sebelum ayahandanya selesai bicara.
“Baiklah kalau begitu. Sekarang ayahanda ingin bertanya kepada Ki Pandan, relakah engkau memberikan sabok bagus dan buah abo besar itu kepada kakakmu?” tanya Ki Karang Nio kepada Ki Pandan. Ki Pandan hanya tersenyum, ia tak bisa bicara seperti kakaknya Ki Pati. Namun, dari raut wajahnya ia begitu ikhlas melihat kakaknya sudah menjatuhkan pilihan, berarti dirinya harus menerima sabok buruk yang berisi buah aman berukuran kecil.
“Tidak ayahanda raja, hamba hanya memilih sabok buruk itu saja,” kata Ki Pandan dengan suara yang senang. Mendengar kata-kata Ki Pandan, tersentaklah Ki Karang Nio, ia tahu putra keduanya itu sebenarnya belum dapat memilih apapun, karena usianya masih kecil. Tapi, hari itu Ki Pandan seakan-akan seperti orang dewasa. “Betulkah apa yang ayahanda dengar dari putrananda Ki Pandan?” tanya Ki Karang Nio.
“Betullah ayahanda raja!” jawab Ki Pandan. Maka, setelah pilihan kedua putranya dijatuhkan, Ki Karang Nio menyerahkan kedua benda itu kepada kedua putranya. Lalu, Ki Karang Nio berpesan, “ Wahai putrananda berdua, pilihan putrananda itu mempunyai arti masing-masing, jagalah barang-barang itu dengan baik untuk dimanfaatkan di kemudian hari,” pesan Ki Karang Nio.
            Ki Pati dan Ki Pandan kian hari kian tumbuh besar, keadaan kerajaan ayahandanya juga berkembang di berbagai bidang, seperti pertanian, perkebunan dan tatanan masyarakatnya. Barang pemberian ayahanda mereka yang dikirim oleh Sebei Lebong dari Indrapura tersimpan rapih di istana. Kedua putra mahkota itu tak lagi memikirkannya. Karena, keduanya memang sedang asyik bermain sesuai dengan bertambahnya umur putra mahkota itu.
            Pada suatu hari, Ki Pati dan Ki Pandan yang sudah tumbuh dewasa dipanggil ayahandanya. Keduanya bergegas menghadap sang raja. “Apa gerangan ayahanda memanggil kita,” tanya Ki Pati kepada adiknya Ki Pandan. Sang adik tak tahu, lalu ia berkata, “Wahai kakanda, tak usah kita memikirkan apa maksud ayahanda. Yang penting kita menghadap sekarang juga,” kata Ki Pandan.
            Maka, menghadap Ki Pati dan Ki Pandan dihadapan ayahanda rajanya di ruang tamu istana kerajaan di Kutei Belau Setaun. Dengan rasa hormat, kedua putra mahkota itu bersujud kepada ayahandanya. Di ruangan tamu istana sudah banyak yang berkumpul, termasuk ibundanya. Setelah keduanya duduk, berkatalah sang raja.
            “Ananda berdua, tahukah apa maksud ayahanda memanggil ananda?” tanya sang raja. Tentu saja Ki Pati dan Ki Pandan tidak tahu. Selang beberapa saat kemudiannya, sang raja pun berucap, “Tahukah ananda berdua, siapa yang duduk di samping ayahanda ini?” Kita Pati dan Ki Pandan menggelengkan kepala.
            “Mohon maaf ayahanda raja, siapakah gerangan ibunda tercinta ini,?” kata Ki Pandan dengan bahasa yang santun kepada ayahandanya. Mendengar ucapan itu, Sebei Lebong tersenyum. Dari sorot matanya terpancar rasa gembira yang luar biasa. Ia bergumam, "Inilah pewaris kerajaan di Kutei Belau Setaun!”
            Baiklah, kalau memang tak tahu, ayahanda akan jelaskan, bahwa ibunda yang berada di samping ayahanda ini tak lain adalah adik kandung ayahanda yang menjadi permaisuri di kerajaan Indrapura di Pulau Pagai. “Jadi, ananda berdua harus memanggilnya dengan bibinda permaisuri dan segeralah bersujud memberi hormat,” pinta Ki Karang Nio kepada kedua putranya.
            Kedua putra Ki Karang Nio memang cerdas. Tanpa diperintah lagi, Ki Pati dan Ki Karang Nio yang tumbuh dewasa dan tampan menyujuti bibinda permaisuri Sebei Lebong itu dengan perasaan yang suka cita, karena baru bertemu saat itu.
            Oleh Sebei Lebong, kedua putra mahkota itu dielus-elusnya rambut mereka, kemudian diciumnya kening keduanya sebagai pemberian berkah kehidupan akan datang, agar keduanya tetap selamat dan sukses dalam mengarungi kehidupan dunia. Setelah kedua putra Ki Karang Nio mundur beberapa langkah dari hadapan Sebei Lebong, hanya berselang sejenak, Sebei Lebong berkata kepada Ki Karang Nio.
            “Kakanda raja, saya ingin bertanya, siapakah penerima kedua sabok yang dikirim beberapa tahun silam?” tanya Sebei Lebong.
            “Adindaku, sabok berumbai emas dan perak berisi buah abo dipilih dan diambil oleh ananda Ki Pati, sedangakn sabok berisi buah aman dipilih dan diambil oleh Ki Pandan,” jelas Ki Karang Nio. Mendengar pengungkapan itu, gembiralah hati Sebei Lebong. Tercengang. Namun, di hatinya timbul pertanyaan dan kegusaran. Akhirnya ia menjelaskan dihadapan keluarga istana Kutei Belau Setaun tentang sabok berisi buah abo dan buah aman yang sudah dipilih oleh putra mahkota kerajaan.
            “Wahai anandaku Ki Pati, engkau telah memilih sabok baru berumbai emas dan perak berisi buah abo yang besar, berarti engkau anandaku tidak memiliki tabiat orangtua dan berpaham. Engkau hanya menilik sesuatu itu dari luar saja, tidak melihat yang bathin, engkau mau yang kelihatannya bagus, mau yang enaknya saja seperti tabiat paman-pamanmu yang dahulu. Camkanlah di hati sanubarimu, hak anakku Ki Pati, bahwa engkau yang bertabiat seperti itu tidak patut menjadi raja,!” terang Sebei Lebong yang didengar semua keluarga kerajaan.
            Kemudian, kepada Ki Pandan, Sebei Lebong berkata pula, “Engkau, hai anakku Ki Pandan, sungguhpun engkau masih kecil, tetapi engkau bijaksana dan budiman. Tabiat anakku itu, sudah selayaknya engkau nanti menggantikan kedudukan ayahandamu di Lebong,” ujarnya lagi.
            Maka, tercenganglah semua yang hadir di ruang tamu kerajaan itu. Di samping telah memberi jalan penunjukan pewaris tahta kerajaan, penjelasan Sebei Lebong menimbulkan keretakan di dalam istana. Terutama  dari Ki Pati yang merasa tersingkir dan tidak memiliki kesempatan untuk menjadi raja.
            Konon kabara ceritanya, Ki Pati setelah beberapa tahun dari kedatangan Sebei Lebong, ia meninggalkan istana di Kutei Belau Setaun pergi ke Pagar Bulan dan di sana Ki Pati mendirikan Kutei Karang Anyar ( kini berada di daerah Desa Semelako ) dan menjadikannya sebagai tempat tinggal. Ki Pati akhirnyameninggal dunia di Semelako serta makamnya dikenal dengan Keramat Semelako yang berada di dusun Beringin Kuning, Semelako.
            Ki Pati meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa barang pusaka kerajaannya seperti sebuah gading gajah, cikuk terbuat dari gading, sepasang keris bernama keris sepejam dan keris semayang mekar. Dan, tahta kerajaannya digantikan oleh anaknya yang tertua bernama Rio Cende yang juga mendirikan Kutei baru di teras Mambang, tidak jauh dari Semelako. Namun, berdasarkan cerita masyarakat, Kutei teras Mambang tidak bertahan lama, karena hilang akibat bencana alam banjir Bioa Ketawen.
            Rio Cende dan kelima saudaranya tenggelam, yang tidak tenggelam hanya dua saudara Rio Cende. Karena, pada waktu banjir besar itu sedang tidak berada di Teras Mambang. Kedua saudara Rio Cende yang selamat itu bernama Rio Bas dan Rio Pijar. Keduanya dikemudian hari meninggalkan daerah Renah Sekalawi (Lebong ). Rio Bas pergi ke Lais dan mendirikan Kutei Pagar Banyu di Ulu Palik, sedangkan Rio Pijar tetap tinggal di Lebong dengan mendirikan Kutei baru yang diberi nama  Kutei Usang yang melanjutkan petulai Suku VIII.
           
 Kesempulan
Dari cerita rakyat Ki Pati dan Ki Pandan di atas, dapat diambil pelajaran, bahwa menilai sesuatu benda atau seseorang janganlah hanya melihat pada luarnya saja. Tetapi, coba selami isi ( bathin ). Karena pemandangan dari sisi luar yang indah saja bisa membuat kita tertipu, karena ternyata di dalamnya busuk.

Buai Putiak dan Buai Kotong

NAMA dan cerita Buai Putiak dan Buai Kotong sudah tak asing lagi bagi masyarakat di Lebong, karena kedua binatang yang dipercayai sebagai makhluk manusia jadi-jadian yang menunggu suatu tempat itu, kadang ada yang beranggapan sebagai pelindung masyarakat. Cerita Buai Putiak ( Buai = buaya, Putiak = putih ) adalah kisah seekor buaya putih yang menghuni dan menunggu mata air Bioa Ketahun ( Bioa = air atau sungai, Ketawen = nama sungai ) di daerah Siang Langkat, masih masuk wilayah Sukanegeri ( Topos ).
Konon, buaya putih itu menurut kepercayaan masyarakat, tak lain tak bukan jelmaan dari raja Asai Siang yang raib setelah menguburkan harta bendanya yang kesemuanya terbuat dari emas murni di daerah Lebong Siang. Karena tak mau membalas dendam kepada orang-orang yang mencuri harta bendanya, maka Ajai Siang menghilang ( raib ) dari kehidupan duniwi.
Dan, akhirnya memilih tempat di sumber mata air Bioa Ketawen, serta merta menjelma menjadi seekor buaya putih. Dengan wujudnya seperti itu, kata orang-orang Lebong, Ajai Siang dapat mengawasi dan melindungi keturunannya dari berbagai malapetaka yang akan atau sedang menimpa masyarakat di Topos ( Sukanegeri ).
Baik buruknya Bioa Ketawen ( Sungai Ketahun ), selalu menjadi perhatian buaya putih alias Ajai Siang. Ia menjaga sumber mata air itu, agar tetap bersih, jernih dan dapat diminum oleh siapa saja, tanpa harus memasaknya terlebih dahulu. Buaya putih atau buai putiak itu, memang tak sembarangan memperlihatkan diri. Di samping itu pula, sumber mata air Bioa Ketawen memang jarang didatangi orang, sebab tempatnya sangat jauh dan perjalanan menuju ke sana sangat sukar. Karena harus melalui hutan lebat yang masih banyak binatang buasnya.
Pada suatu waktu, buaya putih ingin berjalan-jalan ke muara Bioa Ketawen yang mengalir ke Samudera Indonesia di daerah Besisia ( pesisir dan sekarang termasuk wilayah Bengkulu Utara ). Maka, untuk memudahkan perjalanannya, buaya putih menjelma menjadi sepotong kayu besar dan hanyut bersama banjir Bioa Ketawen. Tanpa aral melintang, buaya putih sudah melewati dusun Topos, Talangdonok, Rimbo Pengadang, Tapus dan ia segera memasuki daerah Danau Tes.
Ia sadar, kalau di Danau Tes yang merupakan bendungan tak sengaja yang dibuat oleh Pahit Lidah, ada penunggu lain yang berwujud sebagai seekor Buaya Sakti . Buaya putih sudah tahu, kalau buai sakti takkan mengizinkan siapapun yang akan melewati Danau Tes. Bagi makhluk-makhluk jelmaan yang sakti, bila ingin melewati Danau Tes, harus bertarung dengan Buai Sakti terlebih dahulu. Biasanya tak ada yang mampu melawan Buai Sakti Tawen Blau itu.
Tapi, karena tekad yang sudah bulat, Buai Putiak alias buaya putih itu tetap nekat. Dengan wujudnya sebagai sebatang pohon yang dihanyutkan air, ia yakin Buai Sakti tak akan tahu, kalau kayu besar itu adalah dirinya. Ternyata, dugaan Buai Putiak meleset sama sekali.
Sesampai di mulut Danau Tes, tepatnya di Jungut Benei ( jungut = tanjung, benei = pasir ) Buai Putiak sudah ditunggu oleh Buai Sakti. Berdebarlah hati Buai Putiak manakala ia melihat Buai Sakti siap menghadangnya. Oleh karenanya, Buai Putiak pura-pura tetap sebagai pohon yang hanyut. Tapi, betapa kagetnya Buai Putiak, manakala ia mendengar suara lantang dari Buai Sakti.
“Hai, sahabatku dari hulu Bioa Ketawen. Apa gerangan sahabat memasuki wilayah hamba,” tegus Buai Sakti sambil menunjukkan jari kaki depannya ke arah Buai Putiak yang masih berwujud kayu. Mendengar teguran yang angker itu, Buai Putiak tak menjawab. Ia tetap tak mau memperlihatkan wujudnya. Sayang, karena tak mau memperlihatkan wujudnya itu, Buai Sakti marah.
“Apa sahabat sudah tak mendengar kata-kata saja,” ujarnya jengkel. Tapi, yang ditegur tak jua mau menjawab. Buai Putiak asyik berhanyut bersama air. Sebagian badannya berada di dalam air, sebagian atau punggungnya berada di atas permukaan air. Karena jengkel, Buai Sakti lalu melompat ke dalam air. Ia hampiri kayu besar yang hanyut itu dengan perasaan geram.
Lalu, dengan cakarnya Buai Sakti mencabik-cabik kulit kayu itu—yang sebenarnya adalah seekor buaya berwarna putih. Namun, Buai Putiak tak bereaksi apa-apa, walaupun ia merasa tubuhnya makin lama makin perih. Karena tak tahan, buaya putih (buai putiak) itu akhirnya berubah wujud menjadi buaya. Ia mencoba menenagkan Buai Sakti dengan sapaan ramah.
“Maaf, maaf sahabatku penunggu aliran air masuk ke Danau Tes, hamba tak bermaksud mengganggu sahabat. Tapi, hamba ingin berjalan-jalan ke muara,” kata Buai Putiak. Tapi, keramahan itu tak disambut oleh Buai Sakti, karena dirinya sudah merasa jengkel dan marah. Buai Sakti terus berusaha untuk meringkus Buai Putiak.
Menyadari keadaan tak mungkin bisa didamaikan, Buai Putiak pun melayani serangan Buai Sakti. Kedua makhluk jelmaan jadi binatang buaya itu akhirnya berkelahi dengan kesaktian masing-masing. Perkelahian keduanya memang seru. Menurut cerita perkelahian hebat itu berlangsung selama 7 hari 7 malam. Dan, keduanya tetap tak ada yang kalah atau menang.
“Hai sahabatku Buai Sakti, apa manfaat kalau kita berkelahi terus menerus. Kekuatan kita sama-sama hebat, apakah tidak baiknya kalau kita berdamai saja,” kata Buai Putiak.
“Tak ada perdamaian, ini kekuasaan saya, dan di Danau Tes itu berkuasa pula sahabat Dung Ulau Tujuak (Dung= ular, Ulau = kepala, dan Tujuak = tujuh ). Sebelum kamu, wahai sahabat penunggu sumber mata air Bioa Ketawen di makan Dung Ulau Tujuak, lebih baik saya yang mengalahkanmu terlebih dahulu, agar tak sembanrangan memasuki wilayah kekuasaan kami,” jawab Buai Sakti.
Sebenarnya, Buai Putiak tak mau melayani kemarahan sahabatnya Buai Sakti. Tetapi, karena dirinya sudah kena cakar lebih dahulu, serta merta mendapat penghinaan dari Buai Sakti. Maka, ia layani saja kemauan Buai Sakti.
“Baiklah sahabat, kalau itu maumu, apaboleh buat kita pun harus bertarung lagi hingga ketahuan siapa yang lebih hebat di antara kita,” ujar Buai Putiak dengan suara pelan, tapi berisi. Sejenak, Buai Sakti masih angkuh. Namun, lama kelamaan ia berpikir; “Sudah 7 hari 7 malam ia berkelahi dengan Buai Putiak. Tapi, belum ada yang menang atau kalah. Dirinya juga sudah mengalami luka akibat tebasan ekor Buai Putiak yang menyebabkan ekornya putus….”
Sejak saat itulah, Buai Sakti berubah nama menjadi Buai Kotong, karena ekornya putus oleh Buai Putiak dalam perkelahian tanding selama 7 hari 7 malam di tawen Blau, yang juga mengakibatkan warna air di Danau Tawen Blau menjadi kuning hingga sekarang ini.
“Baik. Baiklah!” jawab Buai Sakti. Namun, katanya lebih lanjut kita harus mengadakan perjanjian, agar tak saling mengganggu dan memasuki wilayah masing-masing tanpa peberitahuan. Konon kabarnya di dalam cerita masyarakat Kotadonok, Buai Kotong yang punya istana di bawah dusun Kotadonok—tepatnya di kawasan kuburan Padang Jiet  (nama lokasi pemakaman umum dusun Kotadonok) dan pintu masuk istana Buai Kotong itu berada di Tawen Blau ( Tawen = danau baru dari bentukan Danau Tes, Blau = baru ). Wilayah kekuasaan Buai Sakti hanya sampai Jungut Benei dan seluruh kawasan Tawen Blau yang di dasarnya banyak lumpur, pinggirannya banyak ditumbuhi pun peak ( bambu-bambu air berukuran kecil ), pun rumbia (pohon rumbia yang bisa diambil sagunya ) serta enceng gondok.
Akhirnya Buai Putiak dan Buai Sakti sepakat mengadakan perjanjian, yang isinya saling menjaga daerah masing-masing dari serangan musuh. “Engkau sahabat Buai Putiak tetaplah menjaga sumber mata air Bioa Ketawen, dan hamba menjaga jalur masuk Bioa Ketawen menuju Danau Tes,” kata Buai Sakti.
“Ya, sebaiknya demikian,” jawab Buai Putiak. Tapi, kata dia hamba mohon kalau hamba mau ke muara Bioa Ketawen, kiranya sahabat tak keberatan hamba lewat di daerah kekuasaan sahabat, hamba akan menjelma menjadi kayu kalau lewat di daerah ini. Mendengar permohonan Buai Putiak itu, Buai Sakti akhirnya berpikir, “Kenapa saya harus melarang dia lewat di sini, bukankah kami ini adalah bersahabat?” gumamnya dalam hati.
“Baik, hamba akan izinkan sahabat bila suatu saat akan ke Muara Bioa Ketawen dan melewati daerah kekuasaan hamba. Tapi, jangan sekarang,” pinta Buai Sakti. Keduanya memang sepakat berdamai, namun Buai Putiak harus membatalkan kunjungannya ke Muara Bioa Ketawen.
Menurut cerita rakyat Lebong, dalam perkelahian tanding antara Buai Putiak dan Buai Sakti di Tawen Blau—bagian Timur Danau Tes, air di daerah itu menjadi keruh, warna kuning sepanjang hari. Bahkan, hingga sekarang warna air di Tawen Blau itu tetap berwarna kuning, padahal Tawen Blau menyatu dengan Danau Tes yang airnya jernih dan bening.
Sampai sekarang juga, peristiwa perkelahian antara Buai Putiak dan Buai Sakti tetap menjadi cerita menarik orang-orangtua di Lebong kepada anak-anak mereka. Hanya, tidak diketahui persis, apakah Buai Kotong itu masih ada atau tidak. Sebab, Tawen Blau ( Tawen = Ketahun, Blau = Baru )makin lama makin mendangkal, akibat lumpur yang terbawa oleh anak sungai dari Bioa Tik, Bioa Tiket, Bioa Pacua Telai ( Pacua = pancuran, Telai = nama air/sungai) dan Bioa-Bioa Tik lainnya ( Bioa= air/sungai, tik = kecil ).
Hanya saja, setelah peristiwa itu, Buai Sakti memiliki sebutan lain dari nama aslinya menjadi Buai Kotong ( Buai = buaya, Kotong = sudah putus ekornya. Maksudnya ekor buaya sakti sudah putus).

Kesimpulan:
Dari cerita di atas, didapatlah pelajaran, bahwa kesombongan diri terhadap orang lain tidak perlu dijadikan sifat dan sikap hidup. Karena, orang hebat itu adalah orang yang berbuat baik dan mau mengerti keadaan orang lain, kapan dan di mana saja. Serta, kekuasaan di bumi ini ada batasnya, sebab makhluk yang ada hanya menjaga dan melestarikan apa yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Rabu, 01 Juni 2016

Butau Gesea



serial Cerita Rakyat Bengkulu (jilid 3)

DI Desa Kotadonok banyak didapati tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakatnya. Salah satu tempat yang dianggap mempunyai nilai misteri adalah Butau Gesea ( Batu Hampir Jatuh ). Letak batu itu memang menakjubkan, di samping berada di lereng bukit terjal, dan nampak hanya tertanam sedikit di tanah. Batu itu tidak pernah jatuh atau menggelinding ke bawah.
Batu yang aneh bin ajaib itu letaknya diseberang Desa Kotadonok atau tepatnya di lokasi yang dinamakan Teluk Lem ( Teluk Dalam ), yang tertanam di tanam sekitar 25 meter dari permukaan air Danau Tes. Konon ceritanya, batu yang permukaannya tidak lebih dari 8 meter persegi itu adalah tempat Raja Tepat Rukam mengadakan pertemuan membahas masalah-masalah penting.
Walau permukaan batu itu hanya selebar tikar berukuran 1,5 X 1,5 meter, tapi dapat menampung sekitar 30 orang yang duduk bersila. Bukankah itu hal yang aneh bagi manusia?
Tepat di bawah batu itu terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak ( Gua Ular Kepala Tujuh ). Di sisi kiri batu tersebut terdapat jalan setapak masyarakat yang pergi ke kebun. Tentunya, jalan setapak itu menaiki lereng bukit yang cukup terjal. Hanya saja masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Jadi, tidak kepanasan atau kepayahan untuk mendakinya.
Sampai sekarang Butau Gesea itu masih sering dikunjungi orang dari berbagai tempat, di atas batu itu mereka membakar kemenyan sebagai tradisi budaya masyarakat setempat. Batau Gesea itu memang berseberangan dengan bekas Istana Kerajaan Tepat Rukem atau dalam bahasa Rejangnya disebut Tepat Taukem. Tepat berarti keramat dan Taukem mempunyai arti Rukam, nama sebuah kerajaan di Lebong zaman dahulu kala.
Di lokasi Butau Gesea orang tidak sembarangan bicara, 
karena takut penunggu daerah keramat itu melakukan tindakan balas dendam. Apalagi bicara takabur seakan-akan diri adalah orang hebat.FOTO: NAIM EMEL PRAHANA
Pada suatu saat seorang raja Tepat Rukam pusing memikirkan kejadian-kejadian di negerinya, maka pergilah ia ke Butau Gesea untuk menenangkan pikiran dan mencari pemecahan masalah-masalah di dalam negerinya. Namun, ia tak lupa berpesan agar para penasehat, menteri kerajaan agar menghadap dirinya di Butau Gesea. Tentu saja kepergian Raja Tepat Rukam ke Butau Gesea itu tidak diketahui oleh rakyatnya. Sebab, kalau diketahui oleh rakyatnya dikhawatirkan akan diketahui oleh orang-orang yang akan berbuat jahat di negeri Tepat Rukam. Cukup diketahui oleh orang dekat dengan raja.
Pada suatu malam sang raja sudah duduk di atas Butau Gesea menghadap ke Danau Tes yang terletak di bawahnya, bertepatan diseberangnya istana kerajaan. Raja Tepat Rukam sudah dikelilingi oleh pembantu-pembantunya. Malam itu memang malam purnama. Dari celah dedaunan pohon – pohon besar mengelilingi Butau Gesea, sinar rembulan nampak seperti sutera menembus bumi. Keadaan saat itu hening, sunyi dan sepi sekali.
“Para penasihat dan menteri kerajaan, malam itu sengaja saya mengundang datang ke sini untuk membicarakan hal-hal penting di negeri kita,” ucap sang raja membuka pembicaraan. Malam itu memang hadir tiga penasihat dan 5 menteri raja.
“Saya ingin mendapatkan masukan-masukan untuk memecahkan persoalan yang menimpa rakyat Kerajaan Tepat Rukam,” kata raja lagi dengan bicaranya yang tenang dan duduknya yang tak bergeming sedikitpun. Sadarlah para penasihat dan menteri, kalau mereka dipanggil ke Butau Gesea itu karena urusan yang sangat penting. Mereka tak berani bicara sembarangan malam itu.
“ Kalaulah boleh hamba tahu Tuan Raja, gerangan apakah yang menjadi pikiran Tuan Raja tak bisa tenang,” tanya salah seorang penasihat dengan bahasa yang halus dan hati-hati. Sang raja menatap penasihatnya yang sudah agak tua itu. Lalu ia berkata, “ Begini, akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di negeri kita yang membuat rakyat tidak berani lagi ke sawah atau ke ladang. Sekiranya para penasihat dan menteri tahu, siapakah orang yang membuat kacau negeri ini?” kata sang raja. Semua yang hadir terdiam.
Setelah raja menyampaikan masalahnya, semua diam, termasuk sang raja sendiri. Seakan-akan mereka sedang mencari jawaban yang tepat dan pas, agar raja dapat memutuskan  kebijakannya yang akan diambil demi kepentingan rakyat banyak. Keadaan malam itu memang hening wajah-wajah mereka di atas Butau Gesea itu diterpa sinar rembulan yang menerobos dari celah dedaunan. Terlihatlah kalau wajah mereka begitu tegang, termasuk wajah sang raja.
“Tuan Raja yang mulia, menurut pengetahuan hamba ketakutan rakyat selama ini memang berasal dari sekelompok perampok yang berkeliaran di sekitar kampung-kampung. Mereka menakuti anak-anak dan orangtua,” seorang menteri menjelaskan apa yang ia ketahui tentang latarbelakang ketakutan rakyat untuk pergi ke sawah dan ladang mereka. Mendengar keterangan sang menteri itu, raja diam sejenak. “Dan, bagaimana pendapat para penasihat dan menteri lainnya?” tanya sang raja.
Semua penasihat dan menteri malam itu sependapat dengan menteri yang mengemukakan pendapat dan masukannya kepada sang raja.
“Kalau demikian, saya minta kelompok perampok itu segera diatasi dan hasilnya segera dilaporkan kepada saya,” pinta sang raja. Setelah para penasihat dan menteri menyatakan kesanggupan mereka, maka raja minta penyelesaiannya tidak boleh lebih dari tujuh hari. Permintaan itupun tidak dapat ditolak.
Demikianlah kisah awal tentang Butau Gesea yang dijadikan tempat menenangkan diri, tempat pertemuan raja Tepat Rukam untuk menyelesaikan hal-hal penting yang tidak boleh diketahui oleh rakyat Kerajaan Tepat Rukam. Butau Gesea itu dijadikan tempat pertemuan rahasia karena letaknya menghadap pusat kerajaan dan kalau berada di atas Butau Gesea akan nampak semua yang ada di seberangnya, yaitu di sekitar istana raja.
Kebetulan di dasar air Danau Tes yang dinamakan Teluk Lem, bertepatan lokasinya di bawah letak Butau Gesea terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak yang bagi penduduk setempat sudah paham betul situasi dan keadaannya. Sebab, untuk mencapai daerah itu dibutuh waktu sekitar 5—10 menit menggunakan perahu kayu. Menurut masyarakat Kotadonok, bila suatu saat kulit tubuh tersentuh air di Teluk Lem, kemudian terasa gatal-gatal berarti saat itu Ular Kepala Tujuh (Dung Ulau Tujuak) sedang berada di bawah air.
Kalau sudah demikian, cepatlah menyingkir dari air. Sebab, dalam kepercayaan yang sudah turun temurun disebutkan, Ular Kepala Tujuh itu dapat menjelma apa saja. Seperti menjelma jadi pohon kayu besar yang tidak tampak ujungnya, bisa juga menjadi ikan mas raksasa atau jelmaan lain yang memberikan peringatan kepada penduduk agar kalau melihat benda-benda atau binatang seperti itu di Danau Tes, supaya segera menyingkir.
Konon, bagi siapa yang pernah melihat kayu besar atau ikan mas raksasa beralamat ada orang yang akan meninggal dunia. Sampai sekarang legenda itu masih menjadi perhatian penduduk Kotadonok khususnya dan penduduk Lebong pada umumnya. Misteri di sekitar Danau Tes memang banyak, dan sampai saat ini dipercayai memiliki kekuatan ghaib yang sering membuat penduduk sekitarnya selalu berhati-hati bila berlayar di atas Danau Tes.
Di seberang Teluk Lem pada zaman kerajaan Tepat Rukam terdapat tempat permandian raja yang terbuat dari Eket ( rakit ) yang mengapung di atas permukaan air. Disanalah para raja dan keluarganya mandi. Di daerah itu sekarang terdapat tempat rekreasi yang dinamakan Podok Lucuk ( Pondok Runcing  ). Kenapa disebut dengan Podok Runcing? Karena bentuk bangunannya bundar dan atapnya seperti kubah masjid, meruncing ke atas.
Dan, tidak berapa jauh dari Podok Lucuk itu dibangun lokasi sekolah Tsanawiyah Negeri yang letaknya dipinggir Danau Tes—termasuk wilayah Desa Kotadonok. Dari lokasi itu setiap pengunjung dapat bebas melihat keramaian di permukaan Danau Tes para penduduk yang memiliki areal persawahan di Baten Kauk ( “Baten” adalah nama lokasi pertanian padi sawah, sedangkan “Kauk” artinya di bawah) dan Baten Daet ( “Daet” artinya darat atau di atas) hilir mudik dengan perahu kayu mereka. Atau penduduk yang pekerjaannya mencari ikan di Danau Tes. Sungguh suatu pemandangan yang sangat bagus sekali.
Cerita mengenai Butau Gesea terkenal ke mana-mana, tidak heran pula banyak penduduk keturunan Tionghoa yang melakukan semacam ziarah ke sana. Mereka beranggapan nenek moyang mereka juga berasal dari daerah Lebong. Penduduk keturuan Tionghoa juga menziarahi Tepat Taukem dan beberapa tempat lain yang dianggap keramat. Butau Gesea memang bukan istana raja Tepat Taukem, tetapi hanya sebagai tempat pertemuan tertutup dan semedi raja-raja Tepat Taukem.
Bila pikiran seorang raja Tepat Rukam mengalami keruwetan mengenai beberapa masalah di kerajaannya, biasanya ia pergi ke Butau Gesea menenangkan diri, berbincang dengan penasehat, hulubalang dan para menteri kerajaan. Butau Gesea itu sejak lama sudah ada di sana. Posisinya tetap seperti sediakala, tidak mengalami perubahan apa-apa. Hanya saja sekarang ini Butau Gesea jarang dikunjungi penduduk setempat. Namun, ceritanya tetap menjadi cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi penduduk disekitar Danau tes. Cerita itu menjadi pelengkap kehidupan sehari-hari di daerah sekitar Danau Tes dan terkenal ke berbagai pelosok di tanah Lebong maupun sampai ke Bengkulu. Walaupun demikian, tidak banyak yang mengetahui asal usul Butau Gesea tersebut.

Kesimpulan:
Cerita Butau Gesea mengandung dua pemahaman. Pertama untuk memberitahukan kepada masyarakat sekarang, agar tempat-tempat leluhur dahulu kala harus dijaga, dipelihara dan jangan sampai diper-Tuhan-kan. Kedua, mengajari kita agar tidak berlaku sombong, walau punya kedudukan dan jabatan. Berlaku hidup wajar-wajar saja, serta selalu menghargai pendapat orang lain, kendati pendapat itu salah.

Jumat, 12 Februari 2016

SERUNTING SAKTI ALIAS SI PAHIT LIDAH



Sejarah Puyang Serunting Sakti
Serunting, itu nama aslinya., ada juga yg menyebutnya serunting sakti.
Cerita kesaktiannya telah dibicarakan sejak dulu di daerah sumatera bagian selatan., tak hanya provinsi sumsel, daerah kekuasaannya sampai jambi, bengkulu dan lampung., menurut legendanya dia pendekar yg baik hati dan bijaksana.,
Berbagai versi asal muasal puyang serunting Sakti.
1. Versi dari Suku Serawai ( Semidang Alas Bengkulu Selatan )
Berdasarkan cerira tutur, Suku Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap. Sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab yang datang ke Bengkulu melalui Kerajaan Majapahit.
Asal-usul suku Serawai masih belum bisa dirumuskan secara ilmiah, baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk-bentuk publikasi lainnya. Asal-usul suku Serawai hanya diperoleh dari uraian atau cerita dari orang-orang tua. Sudah tentu sejarah tutur seperti ini sangat sukar menghindar dari masuknya unsur-unsur legenda atau dongeng sehingga sulit untuk membedakan dengan yang bernilai sejarah. Ada satu tulisan yang ditemukan di makam Leluhur Semidang Empat Dusun yang terletak di Maras, Talo. Tulisan tersebut ditulis di atas kulit kayu dengan menggunakan huruf yang menyerupai huruf Arab kuno. Namun sayang sekali sampai saat ini belum ada di antara para ahli yang dapat membacanya.
Berdasarkan cerita para orang tua, suku bangsa Serawai berasal dari leluhur yang bernama Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Asal-usul Serunting Sakti sendiri masih gelap, sebagian orang mengatakan bahwa Serunting Sakti berasal dari suatu daerah di Jazirah Arab, yang datang ke Bengkulu melalui kerajaan Majapahit. Di Majapahit, Serunting Sakti meminta sebuah daerah untuk didiaminya, dan oleh Raja Majapahit dia diperintahkan untuk memimpin di daerah Bengkulu Selatan. Ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti berasal dari langit, ia turun ke bumi tanpa melalui rahim seorang ibu. Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa Serunting Sakti adalah anak hasil hubungan gelap antara Puyang Kepala Jurai dengan Puteri Tenggang.
Di dalam Tembo Lebong terdapat cerita singkat mengenai seorang puteri yang bernama Puteri Senggang. Puteri Senggang adalah anak dari Rajo Megat, yang memiliki dua orang anak yakni Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Dalam tembo tersebut kisah mengenai Rajo Mawang terus berlanjut, sedangkan kisah Puteri Senggang terputus begitu saja. Hanya saja ada disebutkan bahwa Puteri Senggang terbuang dari keluarga Rajo Mawang.
Apabila kita simak cerita tentang kelahiran Serunting Sakti, diduga ada hubungannya dengan kisah Puteri Senggang ini dan ada kemungkinan bahwa Puteri Senggang inilah yang disebut oleh orang Serawai dengan nama Puteri Tenggang. Dikisahkan bahwa Puyang Kepala Jurai yang sangat sakti jatuh cinta kepada Puteri Tenggang, tapi cintanya ditolak. Namun berkat kesaktiannya, Puyang Kepala Jurai dapat melakukan hubungan seksual dengan puteri Tenggang, tanpa disadari oleh puteri itu sendiri. Akibat dari perbuatan ini Puteri Tenggang menjadi hamil. Setelah Puteri Tenggang melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Puteri Tolak Merindu barulah terjadi pernikahan antara Putri Tenggang dengan Puyang Kepala Jurai, itupun dilakukan setelah Puteri Tolak Merindu dapat berjalan dan bertutur kata.
Setelah pernikahan tersebut, keluarga Puyang Kepala Jurai belum lagi memperoleh anak untuk jangka waktu yang lama. Kemudian Puyang Kepala Jurai mengangkat tujuh orang anak, yaitu: Semidang Tungau, Semidang Merigo, Semidang Resam, Semidang Pangi, Semidang Babat, Semidang Gumay, dan Semidang Semitul. Setelah itu barulah Puyang Kepala Jurai memperoleh seorang putera yang diberi nama Serunting. Serunting inilah yang kemudian menjadi Serunting Sakti bergelar Si Pahit Lidah. Serunting Sakti berputera tujuh orang, yaitu :
Serampu Sakti, yang menetap di Rantau Panjang (sekarang termasuk marga Semidang Alas), Bengkulu Selatan;
Gumatan, yang menetap di Pasemah Padang Langgar, Lahat;
Serampu Raye, yang menetap di Tanjung Karang Enim, Lematang Ilir Ogan Tengah LIOT);
Sati Betimpang, yang menetap di Ulak Mengkudu, Ogan;
Si Betulah, yang menetap di Saleman Lintang, Lahat;
Si Betulai, yang menetap di Niur Lintang, Lahat;
Bujang Gunung, yang menetap di Ulak Mengkudu Lintang, Lahat.
Putera Serunting Sakti yang bernama Serampu Sakti mempunyai 13 orang putera yang tersebar di seluruh tanah Serawai. Serampu Sakti dengan anak-anaknya ini dianggap sebagai cikal-bakal suku Serawai. Putera ke 13 Serampu Sakti yang bernama Rio Icin bergelar Puyang Kelura mempunyai keturunan sampai ke Lematang Ulu dan Lintang.
2. Versi Suku Gumay Besemah.
Diantara beragam versi tentang Legenda Puyang Si Pahit Lidah, maka kami ber inisiatif untuk membuka sedikit wacana ini menurut catatan / tambo sejarah yang ada pada silsilah keluarga kami.
Maka Beliau yang namanya kami ambil sebagai Nickname di KWA ini (Pangeran Sukemilung ) menurut tambo / sejarah GUMAY adalah keturunan dari seseorang yang bernama DIWE GUMAY.Kisah itu sebagai berikut….
Bahwa GUMAY adalah nama seorang DIWE yang turun kedunia dan mulai betapak di Padang Selase ( Bukit Siguntang ) di palembang. Ngawak Diwe mule-mule :
Diwe Gumay beristrikan anak Ratu Bengkulu. Waktu tersebut hampir bersamaan dengan terjadinya perang antara Bengkulu dan Aceh.Menurut ceritanya, Diwe Gumaylah yang dipanggil oleh bakal istrinya untuk menyudahi perang tersebut. Sehingga membuat perang tersebut berakhir dengan istilah : Atjeh kalah-Bengkulu Silah.
Dari pernikahan itu, Diwe Gumay mempunyai dua anak :
Ratu Iskandar Alam
Ratu Selibar Alam.
Ratu Selibar Alam pergi ke Pagaruyung-Minangkabau dan keturunannya ada dipagaruyung )
Ratu Iskandar Alam, berputra :
Ratu Djemenang Sakti, berputra :
Ratu Gandjaran, berputra :
Ratu Menggale ( Semenggale ), berputra :
Ratu Semenggali, berputra :
Ratu Berdjunjang Sakti, berputra :
Ratu Radje Kuase ( Meradje Mengkuse ), berputra :
Ratu Radje Mude ( Ratu Kebuyutan ), yaitu Ratu terakhir.
Ke sembilan Ratu ini disebut “ RATU SEMBILAN DJUNDJANG “ ( Gilir ). Dari keturunan yang kesembilan ini, Ratu Radje Mude ( Ratu Kebuyutan ) mempunyai dua orang anak.
Raden Simbang Gumay ( Pangeran Sukemilung ) disebut juga Puyang Sukemilung
Putri Renik Debung. Beliau menjadi istri Puyang Saing Nage didalam laut.
Pangeran Sukemilung sendiri mempunyai 9 orang anak dari 2 istri. Anak-anak beliau ini disebut PUYANG SEMBILAN BERADEK. Nama anak-anak beliau adalah :
Puyang Remandjang Sakti, napak BALAI BUNTAR-Lubuk sepang, Lahat.
Puyang Intan permata Djagat,ngadekan ds.Prabu menang. Puntang Suku Merapi.
Puyang Pandjang,di Panda Enim.
Puyang Endang, di Lintang Kanan.
Puyang Remindang, ditangga Rase ( Manna )
Puyang Limpak, di Air Balui ( Musi Ulu )
Puyang Limparan, di Lubuk – Kayu Are
Puyang Untu, di Niru / Rambang Prabumulih
Puyang Remuntu, di Tjinte Mandi ( Redjang Bengkulu )
Dan keturunan selanjutnya sampai sekarang adalah anak cucu dari Puyang Remandjang Sakti. Kembali pada Kisah Puyang Si Pahit Lidah ( Pangeran Sukemilung ), beliau mempunyai nama dan gelar yang banyak. Masyarakat Palembang dan sekitarnya mengenal beliau dengan nama-nama- antara lain dibawah ini :
Diwe Sekilung / Sukemilung / Semidang : Nama Saat Sedang Musafir
Diwe Serunting : Nama Asli
Diwe Rakuan : Nama Saat Berperang
Diwe Lenggang Pati : Nama Keramat Bisa Mendatangkan Ribuan Angin Berdengung
Diwe Lian Pati : Nama Budi Pekerti Lemah Lembut Dan Shabar
Diwe Malin Pati : Nama Kebesaran Pemimpin
Ini sekilas sejarah dan silsila dari Serunting Sakti dari berbagai versi daerah.
Artikel ini hanya sekedar sharing saja, bukan untuk di perdebatkan. Jika ada pembaca yang lebih paham tentang Legenda ini, kami persilahkan untuk mengkoreksinya dan meluruskan. Sepanjang hal itu dapat menambah nilai-nilai kebersamaan, serumpun dan seketurunan guna menjaga nasab dari pelaku sejarah yang menjadi Legenda Sumatera Selatan ini.
Jika merujuk dari kisah-kisah yang dituturkan masyarakat, menggambarkan bahwa si Serunting Sakti ini memiliki jiwa satria dan ilmu yang sangat sakti mandraguna.
Jejak – Jejak Si Serunting Sakti / Si Lidah Pahit.
Berikut beberapa tempat yang menjadi lokasi yang diduga pernah disinggahi oleh Serunting Sakti alias silidah pahit.
1. Gua Putri dan Batu Putri
Bila Anda sudah mencapai Baturaja, sempatkanlah untuk mengunjungi Wisata Goa Putri yang terkenal dengan cerita mengenai seorang putri dengan perangkat istananya yang sudah menjadi stalagtit dan stalagmit ini. Goa Putri terletak di Desa Padang Bindu, Kecamatan Pengandonan, sekitar 35 km dari kota Baturaja.
Goa Putri
Konon menurut legenda, Dahulu disini pernah hidup seorang putri bernama Puteri Dayang Merindu bersama keluarganya. Pada suatu hari Sang Puteri sedang mandi di muara sungai Semuhun, sungai OKU.  Jaraknya kurang lebih 1 km dari Gua ini.  Lewatlah seorang pengembara ditempat itu. Tatkala melihat Sang Puteri timbul perasaan ingin menyapa, namun saat itu tidak mendapat perhatian sama sekali sehingga dia merasa gusar. “Sombong sekali puteri ini, diam seperti batu” ujarnya. Tiba-tiba saja tubuh Puteri Dayang Merindu berubah menjadi batu.
Inilah Batu yang disebut –sebut sebagai Batu Putri
“Pada saat banjir melanda daerah ini tahun 1982, jembatan penghubung desa ke seberang hancur dihantam air. Air sudah sangat tinggi, tapi anehnya Batu Putri ini tidak tenggelam ataupun roboh. Percaya atau tidak, kalau batu putri sampai tenggelam atau roboh maka dunia kiamat”.
Itu hanya sedikit dari banyak komentar masyarakat pribumi tentang batu putri yang dinilai mengandung hal yang mistis bagi penduduk sekitarnya.
Batu ini berdiri anggun ditengah air, bagian atasnya diselimuti oleh tumbuh-tumbuhan dan rumput. Dipercaya sebagai penjelmaan Putri Dayang Merindu, Puyang terdahulu bagi masyarakat ogan ulu yang menurut legenda dikutuk oleh Pendekar Serunting Sakti (Puyang Pahit Lidah) menjadi batu saat tengah mandi.
Kemudian Sang Pengembara memasuki desa, ketika tampak desa yang sepi karena penduduk sedang bekerja disawah dia kembali berkata “Katanya desa tetapi sepi seperti goa batu”. Dan seperti tadi desa tersebut berubah menjadi goa batu. Ternyata Pengembara tersebut adalah Si Serunting Sakti yang dijuluki Si Pahit Lidah, yang bila menyumpah semua yang terkena akan menjadi batu. Ternyata si Pahit Lidah tidak hanya menyumpah sang Putri saja. Ia juga mendatangi Gua kediaman sang Putri beserta keluarganya. Konon kabarnya semua yang berada di dalam Gua ikut disumpahnya menjadi batu. Dan kini beberapa bentuk batu gua yang ada didalam bisa diceritakan oleh Guide.
Dayang Merindu yang dikutuk Serunting Sakti atau Sipahit Lidah, diyakini warga sekitar berasal dari Sunda. Keyakinan mereka berdasarkan penerawangan dari sejumlah paranormal yang pernah melakukan penerawangan di gua Putri, di Desa Padangbindu Kecamatan Semidangaji Kabupaten OKU. Keyakinan bahwa Putri Dayang Merindu berasal dari pulau Jawa dikuatkan dengan pernah datangnya salah seorang keturunan sunan yang mengaku, bahwa sang putri masih memiliki keturunan dengan salah satu sunan. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, mereka memperkirakan bahwa Putri Dayang Merindu merupakan istri dari salah satu raja yang ada di pulau Jawa pada saat itu.
Saat anda akan memasuki Goa Putri anda akan menemukan sebuah suguhan menarik yang dapat membuat anda meresapi nilai Historis Goa Putri. Didalam Gua terdapat ruang tamu, pemandian putri, pembaringan putri, pendapuran ( dapur ), balai pertemuan, lumbung padi, singgasana sang Raja dan dua ekor sang penjaga Gua yaitu patung Harimau. Nah, biar gak makin penasaran, ayo mulai menelusuri Gua yang terlihat dari luar sangat besar dan indah. Untuk memasuki Gua, Kita harus naiki puluhan anak tangga yang diapit oleh dua batu besar. Mendekati Gua terdapat Stalaktit ukuran sedang menjulang dari atas sampai pinggang orang dewasa di tengah jalan setapak yang dilewati.
Saat melewati stalaktit itu pak Jafri  ( Guide ) memukul satu kali batu itu.  kenapa harus memukul batu yang menghasilkan suara berdengung. Menurutnya, itu adalah salah satu tanda sebagai salam untuk masuk ke dalam gua. Kita pun mengikuti memukul batu itu sebagai salam untuk masuk ke dalam gua. Sesampainya di mulut Gua, pemandangan sangatlah menakjubkan. Beberapa batu ukuran raksasa menyambut kedatangan kita. Memasuki dalam Gua, suasana sejuk tapi lembab mulai terasa dengan aroma tanah khas sebuah Gua pada umumnya.
Gua  ini memiliki panjang kurang lebih 180 meter yang bisa ditelusuri. Tapi menurut sang Guide masih panjang lagi namun belum terbuka untuk umum. Lokasi ini juga sudah ada jalan setapak yang terbuat dari semen yang di cor dan pagar sebagai pengaman. Untuk penerangan Gua telah dipasangi lampu di beberapa titik oleh pengelola, jadi buat para pengunjung tidak usah khawatir gelap-gelapan.
Setelah memasuki Gua, pada bagian tengah terdapat kumpulan stalaktit yang patah didasar Gua. Konon batu ini adalah Kembang dadar hiasan sebagai pintu masuk rumah sang Putri. Masuk kedalam lagi terdapat ruang tamu yang cukup luas berada diatas batu ukuran raksasa yang sangat lebar. Disamping ruangan itu terdapat  kolam nya sang putri. Kolam ini berfungsi sebagai taman air yang kalau ini seperti kolam ikan. Nah tepat di tengah kolam itu terdapat pendapuran ( dapur ) yang pada ujung dalamnya terdapat bak penampungan air dari batu alami yang berbentuk cekungan dan airnya tidak pernah kering.
Dari tempat ini  menuruni anak tangga dan menemukan balai pertemuan yang terbuat dari batu lempengan ukuran raksasa juga. Menurut cerita, dahulu kala berfungsi sebagai panggung atau balai pertemuan. Dari tempat ini ada juga anak tangga yang menuju ke lantai dua yang berfungsi sebagai ruangan istrihat. Namun sayang tangga untuk naiknya sudah keropos. Menuju lokasi lain, berikutnya adalah pembaringan sang Putri yang berada diatas batu yang lumayan agak tinggi.
Nah, dibawahnya terdapat kolam pemandian sang Putri yang terkenal menurut mitos masyarakat disini, jika mandi atau mencucui muka di pemandian ini maka akan terlihat awet muda.  Air yang melintasi gua ini adalah muara air dari perbukitan yang di sebut aliran air Sumuhun ( permohonan ). Ternyata airnya sangat dingin dan segar sekali sewaktu membasuh muka.
Banyak juga para wisatawan yang datang untuk mandi di lokasi ini setiap harinya. Airnya yang jernih dengan dasar batu kali kecil yang dangkal seukuran betis orang dewasa menjadikan tempat ini sangat diminati orang-orang. Masih menurut pak Jafri, pada tahun 1825 sampai 1835, Gua ini juga pernah menjadi persembuyian masyarakat desa dari penjajahan Belanda. Dan Gua ini juga dikenal dengan Shoman Dusun yang berarti Gua Desa.
Penelusuran kelokasi berikutnya. Untuk melihat patung sang Harimau ternyata kita harus menaiki tangga menuju tempat yang cukup luas dengan bebatuan besar dibagian belakangnya. Patung dua Harimau penjaga itu terdapat di mulut lubang yang tidak terlalu besar di seberang berjarak kurang lebih 40 meter, sekilas memang dua batu di mulut lubang itu seperti Harimau yang sedang duduk berjaga-jaga.  Dari tempat kita berdiri ternyata masih bisa menuju ke dalam Gua lebih dalam. Namun saat ini akses kedalam masih gelap dan tertutup batu besar. Asiknya, diatas batu besar itu terdapat juga lobang besar menuju ke atas bukit. Lubang ini juga menjadi salah satu penerangan Gua yang besar ini.
Usai melihat dua patung Harimau, kita bisa menuju pintu keluar yang dinamakan pintu Ajaib. Diberi nama Pintu Ajaib dikarenakan sebesar apapun orang yang akan keluar dari Gua ini pasti bisa melewati pintu ini. Padahal, celah batu sempit yang dinamakan pintu Ajaib ini tergolong lumayan kecil. Oh ya, untuk melewati pintu ini ternyata ada caranya. Saat melewati, bahu kiri harus berada di depan. Usai keluar dari pintu ajaib, terdapatkan pemandangan teras luar gua sangat luas. Di bagian ini juga terdapat lumbung padi dan singasana sang raja.
Berdampingan dengan Goa Putri terdapat Goa Harimau, tempat ditemukannya situs kerangka manusia yang berumur ± 3.000 tahun yang lalu oleh Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Goa ini terletak di desa Padang Bindu Kecamatan Semidang Aji yang berjarak ± 500 meter dari Goa Putri. Dari hasil penelitian Tim Arkeologi, di Goa ini ditemukan dua kerangka manusia yang masih utuh dan beberapa kerangka yang tidak utuh lagi, serta serpihan-serpihan bebatuan yang diduga sebagai peralatan yang digunakan mereka. Selain itu pada dinding Goa Harimau terdapat beberapa gambar lukisan yang sampai sekarang masih diteliti.
2. Danau Ranau, OKU.
Danau Ranau berjarak kira2 342 km dari kota palembang, 130 km dari kota Baturaja
Keindahan Danau Ranau tak terbantahkan lagi. Namun, letaknya yang jauh dari pusat kota, Palembang, membuat objek wisata ini ibarat “misteri”. Keindahannya tersaput kabut. Oleh karena itu, meskipun indah, wisatawan yang berkunjung ke sini masih bisa dihitung dengan jari. Sama seperti awal terbentuknya danau itu yang dilingkungi misteri. Kendati secara ilmiah terbentuk melalui sebuah proses alam, masyarakat setempat percaya ada misteri yang melatarbelakangi terciptanya danau ini.
Mencapai lokasi ini, selain dari Palembang, juga bisa dijangkau dari Provinsi Lampung. Danau Ranau merupakan danau terbesar dan terindah di Sumatera Selatan yang terletak di Kecamatan Banding Agung, Kabupaten OKU Selatan (dahulu masuk dalam wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu). Berjarak sekitar 342 kilometer (km) dari Kota Palembang, 130 km dari Kota Baturaja, dan 50 km dari Muara Dua, ibu kota OKU Selatan, dengan jarak tempuh dengan mobil sekitar tujuh jam dari Kota Palembang. Sementara itu, dari Bandar Lampung, danau ini bisa ditempuh melalui Bukit Kemuning dan Liwa.
Konon kabarnya hidup seorang yang sangat sakti yaitu Si Pahit Lidah, karena saking lidahnya pahit dapat mengkutuk orang, binatang, atau benda apapun menjadi batu. Hal ini dipercaya karena adanya situs peninggalan zaman dahulu kala yaitu BATU KEBAYAN (candi sepasang pengantin) yang puing-puingnya masih tersisa di dekat Desa Jepara, kecamatan Buay Pematang Ribu Ranau Tengah, kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan. Dan konon dipercaya banyaknya situs (arca atau patung) di daerah Ranau seperti: Batu Lesung, di Subik dan sebagainya adalah akibat sumpah dari Si Pahit Lidah.
 Batu Kebayan ( Batu sepasang Pengantin ).
konon kabarnya pula, ada seorang yang sangat sakti dari daerah lain yaitu Si Mata Empat, yang ingin menguji kesaktian Si Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat adalah dua jawara gagah berani yang menjadi legenda terkenal bagi masyarakat Banding Agung. Mereka amat disegani lawan-lawannya. Baik si Pahit Lidah maupun si Mata Empat, keduanya merasa paling hebat di antara keduanya.
Si Mata Empat pun menjadi geram dan rasanya ingin segera menghajar si Pahit Lidah. Dia mengetahui kelemahan dari si Serunting yaitu tidak kebal dengan batang Bambu Kuning yang telah jadi jemuran ( dalam bahasa daerah setempat disebut ” BembanAur Kuning” ). Namun niatnya tersebut diurungkan karena kalau berkelahi secara langsung tentu dia akan kalah dengan kutukan lidahnya yang pahit itu.
Akhirnya, karena ingin membuktikan siapa yang benar-benar lebih hebat di antara mereka berdua, mereka sepakat untuk bertemu dan mengadu kekuatan masing-masing.
Maka tibalah pada hari yang sangat menentukan itu. Mata Empat menggunakan permainan licik yang hanya menguntungkan dirinya sendiri. Caranya, secara bergiliran keduanya harus tidur menelungkup di bawah rumpun bunga aren. Lalu, bunga aren di atas akan dipotong oleh salah satu di antara mereka. Siapa bisa menghindar dari bunga dan buah aren yang lebat dan berat itu, dialah yang akan disebut jawara sakti. Setiap orang diberi kesempatan memotong tiga kali bila buah yang di jatuhkan belum mengenai musuh. Si Pahit Lidah tidak mengetahui kalau Mata Empat telah berbuat licik terhadapnya. Didalam tandan buah enau telah di pasangi bambu runcing dari batang Bambu Kuning ( Bemban Aur Kuning ) yang merupakan kelemahan dari ilmu kebalnya. Tapi si Pahit Lidah menerima saja tantangan Mata Empat tersebut.
Lalu dengan sistem undian yang telah mereka sepakati si Mata Empat mendapat giliran pertama. Sesuai namanya, si Mata Empat juga memiliki dua mata lain, yakni di belakang kepalanya.
Dengan secepat kilat si Pahit Lidah lalu memanjat pohon aren yang ada di tepi danau tersebut.
Dengan tenangnya si Mata Empat menelungkup di bawah pohon. Cring…byar…buah aren berhasil di potong dan di jatuhkan oleh si Pahit Lidah.
Tentu saja si Mata Empat bisa melihat arah jatuhnya buah aren tersebut. mata di kepala mata empat bisa melihat ketika bunga aren jatuh meluncur ke ke arah Mata Empat. Dengan mudahnya si Mata Empat bisa menghindar dari runtuhan buah aren tersebut.
Dengan kesal si Pahit Lidah memotong buah aren yang lebih besar. Tapi si Mata Empat dapat menghindar lagi dari jatuhan buah aren tersebut.
Mata Empat dengan sombongnya mempersilahkan Si Lidah Pahit untuk melakukan sekali lagi. Dengan perasaan hampir putus asa, Pahit Lidah memotong buah aren yang lebh besar dari yang ketiga. Tapi dengan kemempuan yang dimilikinya, Mata Empat bisa menghindar untuk ketiga kalinya dari jatuhan buah aren tersebut.
Dengan perasaan kecewa Pahit Lidah turun dari pohon aren tersebut. Kini giliran si Pahit Lidah untuk manjat pohon aren. Dengan secepat kilat juga si Mata Empat memanjat dan si Pahit Lidah sudah menelungkupkan badannya di bawah rumpun pohon itu.
Mata empat pun dengan alat yang telah di siapkannya memotong buah aren tersebut. Clazzz…gugusan buah are itu meluncur deras ke bawah.
Si pahit lidah tak bisa mengetahui hal itu. Badannya tetap berada persis di bawah luncuran itu. Ia tak menghindar.
Pahit Lidah berteriak kesakitan sejadi-jadinya. Buah aren yang besar dan berat serta bambu runcing dari Bemban Aur Kuning tersebut mengenai tubuh si Pahit Lidah. Tubuhnya bersimbah darah dan ia tewas seketika secara mengenaskan.
Si Mata Empat senang, dan merasa puas. Ia bisa membuktikan pada semua orang, dirinyalah yang lebih sakti dari si Pahit Lidah.
Namun rasa ingin tahunya muncul, mengapa lawannya itu mendapat julukan si Pahit Lidah? Benarkah lidahnya memang pahit? Lalu karena penasaran, ia cucukkan jarinya ke dalam mulut si pahit lidah yang sudah mati itu. Setelah itu, dijilatnya jarinya sendiri yang sudah terkena liur di Pahit Lidah.
Ternyata, rasanya pahit sekali. Rasanya lebih pahit dari akar empedu.
Rupanya itu racun yang mematikan. Si Mata Empat pun mengerang-erang kesakitan memegangi tenggorokannya. Tapi apa mau dikata. Racun tersebut telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Dan seketika itu juga tubuhnya membiru. Maka si Mata Empat pun juga tewas di tempat yang sama. Akibat terlalu sombong dan angkuh. Merasa dirinya paling hebat di dunia ini, padahal masih ada yang lebih hebat sejagat raya ini yaitu Allah SWT.
Lokasi yang diyakini makam dari Si Lidah Pahit dan Si Mata Empat
Kedua jawara ini lalu dimakamkan oleh penduduk setempat di tepi Danau Ranau yang menjadi saksi sejarah pertarungan antara si Pahit Lidah dan si Mata Empat. Menurut juru kunci kuburan, H Haskia, di sini terdapat dua buah batu besar. Satu batu telungkup diyakini sebagai makam Si Pahit Lidah dan satu batu berdiri sebagai makam Si Mata Empat.
Makam keduanya terletak di kebun warga Sukabanjar bernama Maimunah. Untuk menuju ke lokasi, selain naik perahu motor dari Lombok, bisa juga dengan berkendaraan.
Makam Puyang Serunting
Batu Lesung Bintang
merupakan peninggalan sejarah dari Marga Bindung Langit Lawang Kulon sebagai asal mula Baturaja. Ada beberapa peninggalan sejarah sebagai bagian dari BatuLesung Bintang ini, antara lain batu berukir (berbentuk sandi & peta wilayah) dan batu berbentuk tapak kaki.
3. Batu Macan.
 Batu Macan
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Sepertinya pribahasa ini cocok digunakan sebagai ungkapan bahwa di mana pun kita berada harus menaati peraturan-peraturan yang telah diterapkan masyarakat sekitar tempat kita tinggal. Begitu juga dengan Batu Macan. Objek wisata yang tak hanya bernilai seni tapi juga sarat makna dan pesan.
Batu Macan tepatnya adalah simbol yang diyakini masyarakat sebagai wujud nyata paraturan adat (perdat) yang harus dipatuhi. Diperkirakan, Batu Macan yang terdapat di Desa Pagar Alam Kecamatan Pulau Pinang Kabupaten Lahat ini, sudah ada sejak zaman Majapahit pada abad 14 lalu. Sebagai simbol, Batu Macan ini merupakan bentuk penjagaan atau pagar terhadap perzinahan dan pertumpahan darah dari empat daerah, yakni Pagar Gunung, Gumay Ulu, Gumay Lembah, dan daerah Gumay Talang.
Ketika koran ini mengunjungi peninggalan bersejarah tersebut, diperoleh keterangan dari Jurai Tue Adat (Sesepuh. red) Idrus (62). Dituturkan Idrus, kisah adanya Batu Macan erat kaitannya dengan legenda Si Pahit Lidah yang beredar di masyarakat. Kisah berawal dari adanya seekor macan yang kerap kali mengganggu masyarakat desa di empat wilayah tersebut.
Keganasan macan yang semakin merajalela kepada penduduk, membuat Si Pahit Lidah memperingati macan untuk tidak meneruskan kelakuannya, namun sampai tiga kali teguran tidak pernah dipatuhinya dan macan terus saja mengganggu penduduk.
Ketika Si Pahit Lidah sedang bersantai dan berjemur di batu penarakan sumur tinggi, dari jauh dilihatnya seorang wanita sedang menjemur padi sambil menggendong anaknya, dan pada saat yang sama datang seekor macan dari arah belakang wanita secara mengendap-endap untuk menerkam wanita bersama anak yang ada di gendongannya.
Melihat itu, kembali Si Pahit Lidah memperingati macan, namun sayangnya teguran itu tidak juga membatalkan niatnya untuk menerkam wanita tersebut, sampai akhirnya Si Pahit Lidah berucap “Aii, dasar batu kau nii!” dan tiba-tiba macan tersebut berubah menjadi batu.
Anehnya, bukan hanya macan yang menerima kutukkan dari Si Pahit Lidah, wanita berserta anak yang sedang digendongnya turut menjadi batu. Setelah diselidiki, ternyata wanita tersebut adalah wanita pezinah dan anak yang sedang digendongnya adalah anak hasil perzinahan.
Dari kisah itu, lanjut Idrus, apabila seseorang diketahui berzinah, maka terdapat hal-hal yang harus dilakukan oleh si pelaku yakni menyembelih kambing sebagai basoh rumeh (pembersih rumah. red), dan apabila si wanita mengandung dan melahirkan, maka harus menyembelih kerbau sebagai basoh marge (pembersih lingkungan. red). Hanya saja, sebelum kedua hewan tersebut disembelih maka pelaku harus dikucilkan dan tidak boleh bergaul seperti diungsikan di daerah lain atau di pegunungan, dan akan dapat diterima di masyarakat kembali setelah memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut.
4. Tari Kebagh.
Konon katanya, sejarah tarian ini berkaitan dengan Puyang Serunting Sakti.
Dikisahkan bahwa Serunting Sakti atau Si Lidah Pahit alias Puyang Semidang sedang melewati hutan lebat, dia mendengar suara ramai di suatu sungai yang ada air terjunnya. Ternyata ada ternyata ada tujuh orang perempuan cantik sedang mandi smbil bersenda-gurau. Dia yakin ini bukan perempuan biasa, karena tidak mungkin manusia berani mandi di tengah hutan yang lebat. Sebagai laki-laki ia jatuh cinta pada para perempuan itu, seperti kisah jaka tarub, dicurilah salah satu selendang para gadis itu.
benar dugaannya, selesai mandi para gadis tersebut mengambil selendang lalu terbang menghilang ke angkasa.
Sambil menyembunyikan selendang tsb, dia menghampiri gadis yg sedang menangis karena ditinggalkan teman-temannya.
Singkat cerita, sang gadi diajak kekampungnya, dan dipersuntingnya. Sementara itu selendang sang gadis ia sembunyikan di atas lumbung padi.
Setelah menikah, mereka dikaruniahi seorang putra yang di beri nama Dirut.
Pada suatu hari dikampung diadakan acara pesta panen yang sangat meriah dan turut dihardiri oleh Serunting Sakti dan istrinya.
Diadakanlah acara tari-tarian oleh muda-mudi kampung tersebut.
Istri Puyang Serunting Sakti yang konon adalah seorang bidadari ( Betari ) , diminta ikut turun menari. Permintaan ini disetujui istrinya dengan syarat hanya bisa menari bila menggunakan selendang miliknya. Dia tahu selendang tersebut  disembunyikan oleh Puyang Serunting Sakti.  Atas permintaan dari warga kampung agar selendang tersebut dikembalikan pada istrinya untuk dipakai menari.
Karena terus didesak banyak orang, akhirnya dengan berat hati, Puyang Serunting Sakti mengizinkan istrinya menari dengan selendang yang diambilnya dari atas lumbung padi. Selendang tersebut disembunyikan di dalam ruas bambu yang lazim disebut tepang.
Dengan beralaskan dampar (nampan) kayu maka menarilah istri Puyang Serunting Saksti dengan lemah gemulai. Kecantikan dan kemahirannya menari membuat semua mata terpana.Hingga tanpa disadari oleh semua orang, istri Puyang Serunting Sakti tak lagi menginjak bumi, melayang-layang, semakin tinggi. Tersadar istrinya mau terbang ke kayangan, Serunting Sakti mengejarnya, namun istrinya sudah terbang setinggi kepalanya, merasa tidak bisa menangkapp istrinya , Serunting mencabut golok dan membacok lutut istrinya.
Sambil menjerit kesakitan,  istrinya mendarat di pelepah pohon kelapa gading.
Sambil menangis sedih bercampur marah sang istri meneriakan kutukan :
– Bila ada anak cucuku yang makan nyiur ini tidak akan selamat hidupnya.
– Bila ada anak cucuku kencantikan dan rambutnya panjangnya melebihi aku akan celaka.
Serunting Sakti menyesali tindakanya, namun nasi sudah jadi bubur, sang istri menghilang kembali kekayangan.
untuk mengenang sang bidadari maka setiap acara diadakan tarian Kebagh yang berarti tarian terbang.
5. Batu Gajah
  Batu gajah yang di duga di sumpah Si Lidah Pahit
Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Batu ini berada di aliran sungai pengabuan tepatnya di wilayah Dusun Mudo, konon katanya batu tersebut berubah berbentuk seperti gajah karena di sumpah Pahit Lida. Batu itu di sumpah karena saat si Pahit Lidah mencuci beras tiba tiba air yang mengalir menjadi keruh yang sebabkan gajah menyebrangi sunagai pengabuan di hulunya.
6. Batu Jung.
Pantai Wayhawang yang terletak di kecamatan Maje kabupaten Kaur sudah lama dijadikan tempat pariwisata. Wisata pantai Wayhawang yang terletak di desa Wayhawang, setiap tahunnya di saat hari-hari tertentu ramai dikunjungi orang untuk berlibur dan bersantai bersama keluarga, maupun orang terdekat di hati. Keindahan pantai ini sudah lama tersohor di Bengkulu, dengan keindahan alam yang dimilikinya. Berbagai cerita sejarah terdapat di pantai Wayhawang, di antaranya cerita Si Pahit Lidah. Keindahan Batu Jung, seperti halnya tanah lot di Bali, Batu Jung memiliki secarah tersendiri. Konon cerita asal mula terbentuknya Batu Jung dari sebuah kapal yang disumpah oleh si Pahit Lidah menjadi batu.Selain batu jung, ada lagi cerita menarik lainnya, sehingga pantai Wayhawang memiliki kenangan tersendiri di masa lampau. Namun, keindahan alam di Pantai Wayhawang sudah jauh menurun jika dibandingkan dengan puluhan tahun sebelumnya. Semoga pantai yang dahulu menjadi tujuan utama pariwisaata di kaur dapat kembali menjadi tujuan wisata di Bengkulu, khususnya di Kaur.
Menurut mitos batu ini berasal dari sebuah kapal, mengapa terjadinya kutukan si pahit lidah karena pada saat itu di sekitar kapal ada seseorang yang sedang mencari ikan, lalu datanglah seorang bapak-bapak( si pahit lidah ) yang sedang berjalan disekitar tepi pantai.
Dia meminta api pada sang pemilik kapal itu dia memanggil-mangil tapi seperti sama kali tak dihiraukan, sebenarnya bukan karena tak dihiraukan tetapi jarak kapal itu cukup jauh dari tepi pantai sehingga tidak terdengar oleh pemilik kapal itu. Sipahit lidah murka dan dikutuknya lah kapal itu menjadi batu, maka berubahlah kapal itu menjadi batu.
Kalau dilihat bentuk batu itu mirip sekali dengan sebuah kapal/perahu. Sangat pas buat berlibur bersama keluarga di akhir pekan sambil menghilangi penat setelah satu minggu menjalani aktifitas.
7. Batu Titian.
Mendengar nama Sipahit Lidah, pikiran kita secara tidak langsung tertuju ke daerah Sumatera Selatan. Siapa sangka, legenda Sipahit Lidah juga ada di wilayah Merangin Propinsi Jambi. Salah satu daerah Merangin yang menurut cerita juga menjadi tempat petualangan Sipahit lidah adalah daerah Tabir Ulu. Menurut cerita yang berkembang di tengah masyarakat, di Tabir Ulu Sipahit lidah mempunyai musuh bebuyutan seorang Raja yang bernama Rajo Banting. Salah satu bukti permusuhan tersebut ditandai dengan adanya sebuah batu titian Rajo Banting yang berasal dari kayu sungkai yang kini telah menjadi batu disumpah oleh Sipahit Lidah.. Batu titian tersebut saat ini berada di anjungan rumah adat Sarko di Taman Rimba Kota Jambi.
Jadi jangan salah, legenda Sipahit lidah tidak hanya ada di daerah Sumatera Selatan, tetapi juga berkembang di Merangin Propinsi Jambi. Di Jambi, legenda Sipahit lidah tersebar di beberapa daerah Kabupaten antara lain Kabupaten Merangin, Muara Bungo dan Kabupaten Sarolangun..
8. Asal mula danau Tes.
Alkisah, di Dusun Kutei Donok, Tanah Ranah Sekalawi (atau daerah Lebong sekarang ini), hidup seorang sakti bersama seorang anak laki-lakinya. Oleh masyarakat Kutei Donok, orang sakti itu dipanggil si Lidah Pahit. Ia dipanggil demikian, karena lidahnya memiliki kesaktian luar biasa. Apapun yang dikatakannya selalu menjadi kenyataan. Meski demikian, ia tidak asal mengucapkan sesuatu jika tidak ada alasan yang mendasarinya.
Pada suatu hari, si Lidah Pahit berniat untuk membuka lahan persawahan baru di daerah Baten Kawuk, yang terletak kurang lebih lima kilometer dari dusun tempat tinggalnya. Setelah menyampaikan niatnya kepada para tetangganya dan mendapat izin dari Tuai Adat Kutei Donok, ia pun segera menyiapkan segala peralatan yang akan dipergunakan untuk membuka lahan persawahan baru.“Anakku, kamu di rumah saja! Ayah hendak pergi ke daerah Baten Kawuk untuk membuka lahan persawahan baru,” ujar si Lidah Pahit kepada anaknya. “Baik, Ayah!” jawab anaknya.
Setelah berpamitan kepada anaknya, si Lidah Pahit pun berangkat dengan membawa kapak, parang, dan cangkul. Sesampainya di daerah Baten Kawuk, ia pun mulai menggarap sebuah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Sungai Air Ketahun. Si Lidah Pahit memulai pekerjaannya dengan menebangi pohon-pohon besar dengan kapak dan membabat semak belukar dengan parang. Setelah itu, ia pun segera mencangkul lahan kosong itu. Tanah-tanah cangkulannya ia buang ke Sungai Air Ketahun.
Setelah dua hari bekerja, si Lidah Pahit telah membuka lahan persawahan seluas kurang lebih setengah hektar. Bagi masyarakat Kutei Donok waktu itu, termasuk si Lidah Pahit, untuk membuka lahan persawahan seluas satu hektar dapat diselesaikan dalam waktu paling lama satu minggu, karena rata-rata mereka berbadan besar dan berotot. Alangkah senang hati si Lidah Pahit melihat hasil pekerjaannya itu.
Pada hari ketiga, si Lidah Pahit kembali ke Baten Kawuk untuk melanjutkan pekerjaannya. Ia bekerja dengan penuh semangat. Ia tidak memikirkan hal-hal lain, kecuali menyelesaikan pekerjaannya agar dapat dengan segera menanam padi di lahan persawahannya yang baru itu.Namun, tanpa disadari oleh si Lidah Pahit, para ketua adat dan pemuka masyarakat di kampungnya sedang membicarakan dirinya. Mereka membicarakan tentang pekerjaannya yang selalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun, sehingga menyebabkan aliran air sungai itu tidak lancar. Kekhawatiran masyarakat Kutei Donok yang paling besar adalah jika si Lidah Pahit terus membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun akan menyumbat air sungai dan mengakibatkan air meluap, sehingga desa Kutei Donok akan tenggelam.
Melihat kondisi itu, ketua adat bersama tokoh-tokoh masyarakat Kutei Donok lainnya segera bermusyawarah untuk mencari alasan agar pekerjaan si Lidah Pahit dapat dihentikan. Setelah beberapa jam bermusyawarah, mereka pun menemukan sebuah alasan yang dapat menghentikan pekerjaan si Lidah Pahit. Maka diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan alasan itu kepada si Lidah Pahit. Sesampainya di tempat si Lidah Pahit bekerja, mereka pun segera menghampiri si Lidah Pahit yang sedang asyik mencangkul.
“Maaf, Lidah Pahit! Kedatangan kami kemari untuk menyampaikan berita duka,” kata seorang utusan. “Berita duka apa yang kalian bawa untukku?” tanya si Lidah Pahit. “Pulanglah, Lidah Pahit! Anakmu meninggal dunia. Kepalanya pecah terbentur di batu saat ia terjatuh dari atas pohon,” jelas seorang utusan lainnya. “Ah, saya tidak percaya. Tidak mungkin anakku mati,” jawab si Lidah Pahit dengan penuh keyakinan.
Beberapa kali para utusan tersebut berusaha untuk meyakinkannya, namun si Lidah Pahit tetap saja tidak percaya. Akhirnya, mereka pun kembali ke Dusun Kutei Donok tanpa membawa hasil. “Maaf, Tuan! Kami tidak berhasil membujuk si Lidah Pahit untuk kembali ke kampung ini,” lapor seorang utusan kepada ketua adat. “Iya, Tuan! Ia sama sekali tidak percaya dengan laporan kami,” tambah seorang utusan lainnya.
Mendengar keterangan itu, ketua adat segera menunjuk tokoh masyarakat lainnya untuk menyampaikan berita duka itu kepada si Lidah Pahit. Namun, lagi-lagi si Lidah Pahit tidak percaya jika anaknya telah mati. Ia terus saja mencangkul dan membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun.Melihat keadaan itu, akhirnya ketua adat bersama beberapa pemuka adat lainnya memutuskan untuk menyampaikan langsung alasan itu kepada si Lidah Pahit. Maka berangkatlah mereka untuk menemui si Lidah Pahit di tempat kerjanya.
“Wahai si Lidah Pahit! Percayalah kepada kami! Anakmu benar-benar telah meninggal dunia,” kata ketua adat kepada si Lidah Pahit. Oleh karena sangat menghormati ketua adat dan pemuka adat lainnya, si Lidah Pahit pun percaya kepada mereka. “Baiklah! Karena Tuan-Tuan terhormat yang datang menyampaikan berita ini, maka saya sekarang percaya kalau anak saya telah meninggal dunia,” kata si Lidah Pahit dengan suara pelan.
“Kalau begitu, berhentilah bekerja dan kembalilah ke kampung melihat anakmu!” ujar ketua adat. “Iya, Tuan! Saya akan menyelesaikan pekerjaan saya yang tinggal beberapa cangkul ini,” jawab si Lidah Pahit.
Mendengar jawaban itu, ketua adat beserta rombongannya berpamitan untuk kembali ke Dusun Kutei Donok. Setelah rombongan itu pergi, si Lidah Pahit baru menyadari akan ucapannya tadi. Dalam hati, ia yakin betul bahwa anaknya yang sebenarnya tidak meninggal kemudian menjadi meninggal akibat ucapannya sendiri. Maka dengan ucapan saktinya itu, anaknya pun benar-benar telah meninggal dunia.
Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Ucapan si Lidah Pahit tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan perasaan kesal, ia pun melampiaskan kemarahannya pada tanah garapannya. Berkali-kali ia menghentakkan cangkulnya ke tanah, lalu membuang tanah cangkulannya ke Sungai Air Ketahun. Setelah itu, ia pun bergegas kembali ke Dusun Kutei Donok hendak melihat anaknya yang telah meninggal dunia. Sesampainya di rumah, ia mendapati anaknya benar-benar sudah tidak bernyawa lagi.
Konon, tanah-tanah yang dibuang si Lidah Pahit itu membendung aliran Sungai Air Ketahun dan akhirnya membentuk sebuah danau besar yang diberi nama Danau Tes.
9. Batu Badak.
Batu yang menyerupai Badak hasil kutukan Si Lidah Pahit
Dari kisah legenda cerita rakyat sumatra bagian selatan, inilah salah satu jejak kisah si Si pahit Lidah di tanah rejang. Jejak lain kisah ini ada di desa batu belarik, bagian tanah rejang di kabupaten kepahiang.
Bisa di capai dengan mudah dari jalan raya, situs megalith ini berada di pinggir jalan, di desa Lawang agung, kecamatan Sindang Beliti Ulu. Lokasinya dinamakan tebing batu badak. Batu batu ini berada tepat di samping rumah penduduk.
Batu batu dekat batu badak yang di percaya orang rejang lembak sebagai anak anak badak yang di kutuk oleh Si Pahit Lidah.
Dikisahkan bahwa si pahit lidah melewati kawasan ini dan bertemu dengan segerombolan badak sumatra, beserta anak anaknya. Si pahit lidah bertanya arah jalan ke gerombolan badak yang menghalanginya. Karena tidak di jawab oleh Badak, Si pahit lidah marah dan berkata, “Jadilah kalian semuanya batu”. Karena kesaktianya, badak badak sumatra itu berikut anak anaknya menjadi batu.
10. Batu Jantan.
Di Kabupaten Tebo Propinsi Jambi, tepatnya Desa Sungai Landai. Ceritanya sedikit sekali, biasanya orang kampung menyebut “Batu Jantan” dan batu lainnya adalah perempuan “Batu Betino” Batu Betino tidak dapat di photo karena jaraknya jauh (1km ke utara). Menurut masyarakat setempat ini terkait dengan kisah Si Lidah Pahit.
11. Batu Berputar.
Wisata batu berputar ini terletak diarel perkebunan karet rakyat tepatnya di daerah Desa Batu Raja Bungin Kec. Bunga Mayang 11 KM dari Martapura, menurut cerita rakyat setempat batu ini jatuh dari langit dan sewaktu – waktu memancarkan cahaya seperti percikan api yang disebabkan oleh perputaran dua buah batu yang berlawanan arah. Sedangkan Tala Batu yang terletak di Kec.Buay Madang Timur 40KM dari Martapura. Menurut cerita masyarakat setempat merupakan sumpahan sipahit lidah, karena pada saat itu masyarakat setempat mengadakan pesta menyambut musim tanam padi dengan membawa alat – alat kesenian, karena penduduk lagi bepesta dan kurang perhatian dengan si pahit lidah maka dia murka dan disumpahnya menjadi batu.
Masih banyak lagi peninggalan yang dianggap bekas atau singgahi oleh serunting Sakti atau Si Lidah Pahit, semua berdasarkan kisah yang dihimpun dari berbagai versi daerah masing-masing.
Menurut legenda Kesaktian beliau ada di lidahnya. Diantara berbagai macam keramatnya adalah beliau mempunyai Ucapan ( Kalimat Sakti ) yang bisa membuat apapun yang disumpahnya menjadi seperti yang di ucapkannya. Keluarga keturunanya mengenal kalimat itu dengan nama “ UCAP GUMAI .“ Sejauh yang di ketahui, ilmu ini menjadi semacam tradisi yang terus menyambung sampai ke anak cucu. Tanpa harus dipelajari pun, beberapa orang dikeluarga keturunanya mempunyai kemampuan Ucap Gumai tersebut. Apalagi jika terdesak kedalam suatu persoalan yang membahayakan, terkadang tanpa sengaja keluar ucapan sumpah tersebut. Saking berbahayanya ilmu itu, para Tetua  menyembunyikan ilmu itu rapat-rapat sampai sekarang. Yang masih menyimpannya kemungkinan besar hanyalah Para Jurai Kebale’an ( Tetua Adat suku Gumai, Keturunan dari Puyang Tuan Radje ). Kami mendapatkan sebuah SERAPAH / KALIMAT yang sumbernya disebutkan berasal dari Puyang Si Pahit Lidah. Kalimat ini di tulis oleh KH. Bahri bin Pandak, Tanjung Atap-Komering Ilir Palembang didalam kitabnya yang berjudul Aurodul Hakiim. Dan beliau menyebutkan, mendapatkan Kalimat ini dari Ujo’ Agus, Air Pedaro. Redaksi Kalimat itu begini :
Bismillahir rahmaanir rahiim…
Assalamu’alaikum kang malih jati
Wa’alaikum salam warohmatullahi wa barakaatuh
Ingkang pangeran akulah pangeran pati
Biso tedong biso si pahit lidah
Biso dibisakan kau oleh Allah ta’alaa
Aku dikuasakan aku waliyullah
Berkat laa ilaha ilallah muhammadur rasulullah…( sebut hajat kita )
Disebutkan bahwa kalimat itu berguna sebagai sambatan / wasilah tawasul atas sesuatu keperluan yang kita butuhkan. Selama kita meyakini dan tulus dalam ucapan, kalimat sederhanapun bisa menjadi mantra mujarab untuk jalan keluar yang kita butuhkan. Terlebih disaat kepepet.
Demikianlah Sepenggal kisah dari Serunting Sakti alias Si Pahit Lidah Alias Puyang Semidang, bila ada kekurangan harap di maklum karena penyusunan kisah ini di ambil dari berbagai sumber yang berbeda sesuai dari versi daerah yang bersangkutan.
Namun satu hal yang pasti, legenda Si Serunting atau Si Lidah Pahit menjadi salah satu legenda yang termasyur di belahan Sumatera bagian selatan, terutama di Bumi Besemah Libagh.