Rabu, 14 Juli 2010

Mengelola Teknologi

TEKNOLOGI yang merambah di semua sektor kehidupan, tidak semua elemen masyarakat dapat memanfaatkan, menggunakan dan mengelolanya sesuai fungsi dan tujuan diciptakannya produk teknologi. Karena itulah, banyak penggunaan produk teknologi menghancurkan tatanan kehidupan itu sendiri. Bukan hanya salah kaprah mengelola teknologi yang menyebabkan hancurnya unsur-unsur sumber daya manusia dan sumber daya alam. Akan tetapi, produk kebijakan atau slogan yang dibuat oleh pemerintah pun (juga swasta) sering menjadi penyebab rusak—hancurnya SDM dan SDA.
Sebagai contoh di antara salah kaprah mengelola produk teknologi dalam penggunaannya, seperti pemanfaatan teknologi digital yang secrba praktis, otomatis dan akhirnya menjadi alat yang berfungsi sebagai pembunuhan yang sadis tehadap sendi-sendi kehidupan umat manusia dan funa flora. Karena mudah dan gampang menggunakan kamera digital yang dapat merekam aktivitas rutin seseorang, lahirlah video-video mesum alam Maria Eva, Ariel ‘Peterpan’—Luna Maya—Cut Tari dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan menggunakan televisi dengan acara tertentu, mampu mempengauhi kehidupan seseorang. Yang semula alim, taat agama, dan menjaga moralitasnya. Kemudian melahirkan seseorang yang ‘liar’ dan mengalalkan segala cara. Juga, seperti pemanfaatan handphone yang berkamera. Penggunaan tanpa panduan dan pengawasan menjadikan pemilik atau pemegang handphone (HP) melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak memberi manfaat bagi dirinya sendiri.
Namun, demikianlah perkembangan peradaban umat manusia. Yang pintar belum tentu cerdas menghadapi persoalan dalam hidupnya, yang cerdaspun belum menjamin kalau seseorang itu mampu mengatasi pengaruh-pengaruh negatif kepada dirinya. Maka, pendidikan untuk manusia diabad tekinologi sekarang ini seyogyanya diarahkan kepada pendidikan moral, etika, adab kesopanan yang intinya memberikan panduan untuk orang agar ia terus menjadi baik.
Sama halnya penggunaan kendaraan jika tidak disesuaikan dengan fungsi dan manfaat kendaraan itu, biasanya akan melahirkan musibah atau kecelakaan. Seharusnya kendaraan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan-kepentingan strategis bagi pemilik dan penggunanya. Bukan untuk dipakai kepada kegiatan-kegiatan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Misalnya untuk kebut-kebutan, keluyuran dan membuat gang bagi anak-anak sekolah atau remaja dan pemuda. Bila itu mereka lakukan, maka lahirlah berbagai bentuk kriminalitas yang mereka sendiri tanpa disadari mengkriminalisasikan diri mereka sendiri.
Masih banyak contoh kasus yang tidak menggembirakan terhadap kesinambungan kehidupan umat manusia di muka bumi ini. Termasuk persoalan senjata yang diproduksi oleh negara-negara industri persenjataan, yang bila disalahgunakan penjualan dan penyebaran senjata tersebut. Akan melahirkan berbagai konflik bertsenjata di banyak negara. Itu semua, akibat memproduksi senjata hanya dilihat dari sisi ekonomi belaka.
Sebelum semuanya menjadi terlambat karena tidak mampu mengendalikan diri pada saat bersinggungan dengan teknologi, maka tidak ada kata lain yang lebih baik dilakukan manusia dewasa ini. Kecuali menyadari betapa pentingnya unsur baik dalam dri masing-masing.

Seratus Ribu Lima Tahun

Oleh Naim Emel Prahana
USAI. Usai sudah perhelatan pesta demokrasi di 6 (enam) kabupaten—kota di Lampung, hasil penghitungan suara sementara (terakhir) di tingkat Komisi Pemilihan Umum (KPU) kabupaten—kota, sudah rampung. Perolehan suara sudah diketahui dan sudah diinformasikan secara luas ke tengah masyarakat. Hanya sekian persen saja masyarakat yang menggunakan hak pilihnya yang membaca informasi hasil penghitungan akhir suara pemilukada itu. Namun, masyarakat secara berantai dari mulut ke mulut sudah mengetahui, siapa memperoleh suara terbanyak.
Dari perhelatan pemilukada itu, beberapa catatan sudah dapat disimpulkan, antara lain; (1) uang faktor utama perolehan suara, (2) Mobilisasi mesin parpol tidak berjalan optimal (atau memang begitulah profile parpol di Indonesia ini), (3) materi kampanye dan sosialisasi belum tepat menyentuh kebutuhan masyarakat, (4) figur calon tidak jadi jaminan perlehan suara (pemenang), (5) trik licik dan penipuan—janji-janji manis masih jadi faktor pendukung perolehan suara banyak, (6) peranan KPPS, petugas TPS, PPK dan KPU masih menjadi penentu utama perolehan suara. Membaca kesimpulan di atas, menjadi evaluasi semua elemen masyarakat terutama pemerintah dan KPU untuk membaca, menyimak dan mengkritisi ulang UU Pemilu dan Peraturan KPU. Banyak hal yang tidak tercantum di dalam peraturan-peraturan tersebut, yang di lapangan banyak terjadi. Sehingga, persepsi dan penyelesaian sengketa dan kasus—pelanggaran yang muncul. Akhirnya hanya menjadi bagian tidak penting dari sah atau tidaknya pasangan calon ditetapkan sebagai pemenang.
Artinya, apapun bentuk kejahatan dan pelanggaran pemilukada, tidak akan menggugurkan pasangan yang (mungkin) memperoleh suara ada trik kejahatan dan pelanggaran. Sebab, kualifikasi Penegak Hukum (Gakkum) pemilukada sangat diragukan independensi—netralitasnya untuk menegakkan aturan yang sebenarnya. Khususnya menyangkut hasil pemilukada. Keraguan atau kecurigaan terhadap eksistensi oknum anggota KPU, Panwas, PPS, KPPS dan PPK masih menggayut dalam benak warga masyarakat. Banyak hasil pemilukada yang memunculkan banyak masalah urgent, tetapi penetapan dan pelantikan pasangan yang memperoleh suara terbanyak tetap berjalan (sesuai tahapan pemilukada). Sedangkan kejahatan dan pelanggaran berjalan di sisi lain, seperti tidak ada kaitannya sama sekali. Keprihatinan kita memang sangat dalam. Apalagi, dalam praktek pemilukada soalo money politic tidak ada definisi yang jelas--detail dalam aturannya. Oleh karena itu, pemilukada di suatu kabupaten—kota atau di provinsi, tetap saja meninggalkan bekas luka yang mendalam. Bila kita diajak untuk hitung-hitung, satu suara dihargai Rp 100.000,- untuk waktu lima tahun. Jika, dibagikan, maka seorang yang menjual suaranya dengan harga Rp 100.000,- per lima tahun, ia sebenarnya hanya mendapatkan uang Rp 20.000 per tahun atau Rp 166,- per bulan atau hanya Rp 5,5,- per hari.
Itulah perhitungannya, namun menurut beberapa tokoh masyarakat, maternya warga masyarakat dalam pemiulukada memang hanya sekian persen. Namun, situasi dan tradisi itu memang sudah dirusak ketika berlangsungnya pemilu legislatif—yang serba uang. Akhirnya, warga masyarakat sudah terbiasa. Warga akan memberikan suaranya, jika ada yang membayar. Bayaran itupun akan dibading-bandingkan antara pemberian pasangan A dengan pasangan lainnya.

Pemersatu Bangsa-Bangsa

Oleh Naim Emel Prahana
HAMPIR sebulan penuh masyarakat dunia memfokuskan perhatiannya ke Afrika Selatan—negara yang sekian ratus tahun dijajah Belanda—sang kolonial. Afrika Selatan seakan tenggelam dipojok benua Afrika. Akan tetapi, gejolak yang membawa negara itu merdeka dan maju dari teriakan, perjuangan dan pengorbanan Nelson Mandela beberapa tahun silam. Kini, makin bersinar. Siapa yang tahu, negara kaya emas, tembaga dan hasil tambang lain itu mampu membelalakkan mata masyarakat dunia.
Moment Kejuaraan sepakbola dunia dari tanggal 17 Juni sampai 17 Juli 2010, benar-benar memukau. Ratusan juta pasang mata tertuju ke stadion-stadion sepakbola di Afrika yang dibangun sangat bagus, kalau tidak mau dibilang spektakuler. Olahraga benar-benar fair play. Olahraga tidak mengenal suku, rasa, kaya, miskin atau negara adikuasa, negara berkembang dan negara miskin. Olahraga yah ‘olahraga’
Itu dibuktikan, ketika pertandingan final kejuaraan dunia 2010. dunia negara Eropa yang sama-sama ingin menjadi juara “dunia baru”, bertanding menguras tenaga, ketrampilan olah-bola, kecerdikan, dan ketahanan mental yang membela nama bangsa masing-masing. Permainan sedikit keras tidak melunturkan sportivitas olahraga. Yang menang wajar meluapkan kegembiraannya. Yang kalah, juga tidak terpuruk. Spanyol perkasa, Belanda “luar biasa”.
Dengan sepuluh pemain melawan sebelas pemain Spanyol. Mental calon juara patut dibanggakan. Kalau ada riak protes di lapangan terhadap kepemimpinan wasit, itu masih standar normal. Juara Dunia Baru lahir lagi untuk ke delapan kalinya. Sepanjang sejarah kejuaraan sepakbola dunia, beberapoa negara menjadi “juara baru” dalam siatuasi yang penuh fair play. Inilah juara-juara baru yang dilahirkan sepanjang sejarah piala dunia; (1) 1930 Uruguay (vs Argentina 4-2), (2).
1934: Italia (vs Cekoslowakia 2-1), (3). 3-1954: Jerman Barat (vs Hongaria 3-2), (4). 1958: Brasil (vs Swedia 5-2), (5). 1966: Inggris (vs Jerman Barat 4-2), (6). 1978: Argentina (vs Belanda 3-1), (7). 1998: Prancis (vs Brasil 3-0) dan (8) Spanyol (vs Belanda 1-0).
Tidak tanggung, RCTI yang menytiarkan secara langsung pertandingan-pertandingan kejuaraan dunia bersama Global TV, mendatangkan Presiden SBY, untuk memberi komentar. Dapat dibayangkan, presiden Indonesia saja yang sepakbolanya morat-marit, rileks semalaman untuk menonton pertandingan final antara Spanyol dan Belanda yang disiarkan langsung. La Furia Roja julukan Spanyol akhirnya menjadi juara mengikuti jejak Brasil, Italia, Jerman, Argentina, Uruguay, Inggris, dan Prancis. dari stadion.
Luar biasa dunia olahraga yang mampu menjadi pemersatu bangsa-bangsa di dunia. Sementara di Indonesia, sepakbola—salah satu olahraga yang mulai digemari. Seringkali pertandingan diakhiri dengan amuk massa dan berujung tindakan anarkis. Mungkin baik sekali kalau pelaksanaan pertandingan piala dunia di Afrika Selatan dijadikan momentum membangun karakter damai di dunia olahgraga di Indonesia.

Legalitas Dalam Ilegalisme

Oleh Naim Emel Prahana
FENOMENA apa yang dipertontonkan para pejabat tinggi dan mantan pejabat tinggi dari berbagai unsur, sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Semuanya merupakan implementasi dari karakteristik pegawai pemerintah. Yang selalu dualisme dalam berpijak, termasuk mengeluarkan pendapat. Sepanjang sejarah kemerdekaan republik ini, para abdi negara pada umumnya tidak memiliki identitas yang ‘pasti’. Ibarat ilalang, ke mana angin bertiup, ke sanalah mereka mencenderungkan kehidupannya. Kendati harus mengorbankan keyakinan atau ideologi pribadi dan keluarga.
Seandainya mereka sudah pensiun atau ‘dipensiunkan’, maka secara pasti pula pada umumnya mengeluarkan identitas diri sebagaimana mestinya. Koreksi, kritik, sampai ocehan kepada pejabat dan pegawai pemerintah atau kepada kebijakan pemerintah mengalir bagaikan air bah! Jika kita mengingat masa silam—disaat Orde Baru dikuasai oleh Golkar. Nyaris tidak satupun PNS atau pejabat yang bertindak netral—walau ketentuannya harus netral, terutama dalam pemilu, pemilihan kepala daerah dan sebagai.
Kenyataannya sangat kontroversial. Mengerti atau tidak, paham atau tidak, sejalan atau tidak, korban atau tidak, menderita atau tidak dan sebagainya. Mereka tetap membela panji-panji Golkar yang menjadi tulang punggung utama penguasa orde baru, era keemasan Soeharto sebagai presiden republik ini. Oleh karena itu, kendati seorang atasan meniduri isterinya—si pegawai negeri tetap diam (maaf!). semua serba ketakutan akan dicopot status kepegawaiannya atau dipindahkan ke lokasi tempat jin buang anak (sebuah istilah).
Mungkin demikian pula dengan apa yang terjadi dengan mantan Menteri Depkum dan HAM, Prof DR Yusril Ihza Mahendra. Yang secara terang-terangan mengatakan status Hendarman Supanji (Jaksa Agung) tidak sah. Sehingga, ia tidak mau diperiksa atas sangkaan melakukan korupsi ketika ia menjabat sebagai menteri. Mungkin pula, apa yang dilakukan Susno Duadji yang menentang keras atasannya ketika ia hendak diperiksa. Toh, akhirnya Sausno Duadji ditahan. Yang diprediksi, pada akhirnya persoalan itu penuh dengan deal-deal di balik layar.
Dari fenomena-fenomena yang dipertontonkan para penguasa dan mantan penguasa (petinggi dan mantan petinggi pemerintah) masuk dalam koridor legalitas pada illegaliisme. Artinya, sesuatu yang dilegalkan padahal tidak legal, namun hukum kita menganut ilegalisme penerapan. Sebab, penerapan hukum kita dikombinasikan dengan unsur politik. Politik sendiri selalu menekankan kepada kepentingan tujuan (mempertahankan status quo kekuasaan).
Sementara itu, pilar – pilar politik di Indonesia sangat rapuh, tidak mendasar dan betul-betul menjalankan politik kepentingan. Ketika lembaga legislatif disanjung-sanjung sebagai forum politik. Maka, apapun keputusannya, termasuk pengesahan berbagai UU (produk hukum) maupun peraturan daerah (perda) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Selalu “bongkar pasang”, selalu diingkari ketika berbenturan dengan kepentingan mereka (walau mereka sendirilah yang membuat peraturan itu).
Legalitas dalam ilegalisme dapat dilihat dan dirasakan hampir semua warga masyarakat, seperti perjudian. Undang-undang yang dibuat dan dijadikan acuan aparat penegak hukum, pada kenyataannya perjudianpun tetap berjalan. Baik yang benar-benar liar dan ilegal maupun yang dibungkus dengan praktek-praktek sosial, semacam kuis berhadiah dan sebagainya. Termasuk masalah narkoba dan miras yang masuk dalam paket UU Narkotika.
Yang paling spektakuler tentu masalah ilegalisme korupsi yang dilegalkan dengan berbagai bungkus kamuflase. Terutama UU Narkotika yang baru (2009). Pengguna atau lazim disebut sebagai orang yang menyalahgunakan narkotika sekitar 80% dimasukkan ke dalam daftar ‘korban’. Ketika bicara soal korban, maka kita harus membongkar bahasa Indonesia kembali. Definisi ‘korban’ dalam bahasa Indonesianya itu, apa? Apakah seorang yang ketagihan minuman keras, dianggap sebagai korban? Korban itu sediri apa. Tolong dijelaskan.
Tetapi, siapakah yang mampu menjelaskan, kendati banyak pakar hukum, pakar bahasa sampai pakar-pakaran di Indonesia ini. Tetapi, tetap saja belum mampu melahirkan sebuah teori sendiri. Kecuali teori-teori yang mengutip teori-teori lama dari orang asing. Orang Indonesia sangat bangsa dalam bukunya, dalam tesisnya, dalam tulisannya mengutip dan menulis bahasa asing. Bahasa ibu pertiwinya sendiri diabaikan, dianggap tidak ‘bertuah’—tidak bermakna. Oleh karena itu, mari kita lanjutkan pepatah yang mengatakan “katakan YA kalau benar, katakan TIDAK kalau memang salah”