Iswadi Pratama
August 16, 2008
SAYA
tidak mengerti bagaimana harus memastikan peran penting Lampung Post
bagi perkembangan dunia kesenian (kebudayaan) di Lampung selain
membangun tradisi keberaksaraan di kalangan seniman maupun publik seni
di daerah ini, baik pada masa 34 tahun yang telah dilalui maupun pada
masa mendatang.
Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.
Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.
Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.
Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.
Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.
Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.
Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.
Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.
Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.
Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.
Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.
Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?
Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.
Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.
Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.
Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.
Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.
Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!
Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n
* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008
Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.
Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.
Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.
Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.
Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.
Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.
Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.
Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.
Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.
Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.
Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.
Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?
Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.
Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.
Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.
Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.
Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.
Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!
Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n
* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008