Senin, 31 Agustus 2009

‘Melanggengkan’ Pengkhianatan Terhadap Bangsa


Oleh Naim Emel Prahana

PADA hakekatnya, orang dalam pengertian ‘manusia’ (human) terlalu suka mengingkari kodratnya sebagi makhluk sosial (Social creature). Bahasa pembelaan yang sering diajukan kepada sesama manusia adalah kepentingan-kepentingan kehidupan. Pada umumnya, manusia sangat menyadari akan kesalahan, kekeliruan dan ambisi yang di luar jalur anatomi makhluk manusia tertsebut. Akan tetapi, kepahaman dan kesadaran itu sering dibungkus dengan logika dan retorika.

Logika dan retorik yang menjadi andalan untuk menyembunyikan tujuan kepentingan, sering menjebak seorang manusia ke dunia jiwa yang labil; temperamental, emosional dan membabi-buta melemparkan kesalahan diri sendiri kepada orang lain. Ada banyak contoh, terutama di era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini.

Padahal, ada konsep yang sangat brilian dan sederhana dalam kehidupan—di mana banyak orang menerapkan apa yang disebut dengan 3 sukses! Sukses cinta, sukses karir dan sukses organisasi. Ketiganya memiliki kaitan yang erat satu sama lainnya untuk menjadi satu kesatuan yang menyelaraskan kehidupan sosial seseorang. Maka, kesalahan yang dikerjakan merupakan format koreksi bagi kebenaran selanjutnya.

Ketika mengeja pernyataan informal seorang pejabat yang mengatakan, “setiap orang di sini melakukan korupsi, termasuk saya........!” Pernyataan itu mengisyaratkan tentang kesalahan; apa yang ia lakukan sebagai seorang pejabat dilemparkankan kepada orang lain dalam dimensi yang tidak cerdas. Ketika berbicara “pada umumnya” dalam konteks perkembangan peradaban manusia. Ada beberapa teori yang tidak pantas lagi dikutip atau dibawa-bawa dalam berbagai momentum pembelajaran dari manusia ke manusia lainnya.

Kerangka teori yang cenderung merupakan pameo orang-orang bijak—ahli pikir tempo dulu tentang “ masuk kandang kambing kita ikut mengembek, masuk kandang kerbau, kita ikut menguak dan seterusnya”. Secara psikologis pameo itu menvonis semua orang akan berlaku sama, di mana ia bertempat tinggal. Padahal, walaupun seluas tempat berpijak semuanya lumpur, keberadaan sebutir intan tetaplah intan yang berkilau.

Adakah suatu komunitas ideologi (agama) dianggap salah, karena ada orang yang menganut agama itu melakukan kejahatan (perbuatan) seperti teroris. Lalu, agama komunitas umat beragama dianggap sebagai kelompok radikal atau teroris—menurut teori negara adikuasa Amerika Serikat dan sekutunya. Kenapa harus agamanya yang menjadi perhatian, bukan kepada perbuatan seseorang yang melakukan kejahatan terhadap orang lain. Dalam kontek tersebut presiden bukanlah penguasa tunggal, melainkan melainkan pemegang amanat rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin sering membuat dia melakukan tindakan yang emosional dan menuding banyak pihak ‘yang’ akan melakukan kejahatan terhadap dirinya dan pemerintah. dengan tuduhan tersebut, ia leluasa memerintahkan TNI dan Polri untuk melakukan sweeping, pengamanan ekstra ketat dengan show power militer. Dengan show power kekuatan militer dan polisi itu, sudah barang tentu bertujuan untuk memberikan shock teraphy (warning) kepada masyarakat luas, agar jangan macam-macam. Dengan keheningan masyarakat yang mencekam akibat show kekuatan militer dan polisi itu, maka startegi mempertahankan kekuasaan dapat dilakukan dengan mudah. Walaupun (misalnya) dalam suatu pemilihan presiden diyakini banyak terjadi pelanggaran yang dapat membatalkan kemenangan pasangan capres.

Pada zaman Orde Baru atau zaman keemasan Partai Golongan Karya (Golkar), militer seperti punya mata seribu. Bayangkan saja, ketika seorang wartawan membuat berita tentang kecurangan pemilu, pihak Intel Kodim langsung memanggil si wartawan dengan metoda introgasi yang tidak lazim. Misalnya meraka mengatakan, “berita yang akan kamu buat besok, lusa atau minggu depan maupun bulan depan, kami sudah tahu..!” Begitu hebat introgasi demikian. Sementara wartawan yang diintrogasikan itu, belum tahu berita apa yang akan ia dapatkan besok atau lusanya. Kenapa militer sudah tahu?

Apakah sekarang ini akan terulang lagi zaman keemasan seperti zaman Orde Baru di bawah rezim Soeharto? Akibatnya demokrtasi kita terus menerus eror disebabkan oleh Leader eror (pemimpin yang eror). Demokrasi di Indonesia yang memasuki zaman kebebasan, ternyata tidak mampu mengembalikan wajah asli bangsa Indonesia. Dengan sistem pemilihan secara langsung, akan tetapi tidak mencerdaskan anak-anak bangsa, karena peraturan tentang pemilihan secara langsung di Indonesia belum dapat dijalankan sepenuhnya.

Misalnya menyangkut kasus pelanggaran dan kejahatan terhadap hak suara pemilih yang harus dijamin bebas diberikan kepada siapapun calon pemimpin yang sedang bertarung. Ketika terjadi kasus pelanggaran pemilihan, proses hukumnya tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai ‘berita acara’ pemilihan. Bahkan, kecenderungan anggota KPU yang condong kepada pihak tertentu, telah menghambat proses demokrasi yang akan dibangun di Indonesia pasca tumbangnya rezim orde baru.

Sistem dan pelaksanaan pemilihan di tingkat apapun di Indonesia merupakan potret pengkhianatan terhadap bangsa dan negara. Karena dalam proses dan pelaksanaan pemilihan langsung (pemilu, pilpres, dan pilkada) telah disuburkan kembali praktek suap, korupsi, kekerasan, pemitnahan orang lain, tidak adil, tidak jujur dan terlalu mengandalkan faktor uang, preemanisme, kekuasaan dan kewenangan.

Jika beberapa pasal di dalam UU pemilu dan KPU serta peraturan lainya tidak direvisi ditambah kurangkan, maka dalam perkembangan selanjutnya demokrasi di Indonesia akan mundur jauh ke belakang, karena menghidupkan kembali praktek-praktek pengkhianatan terhadap bangsa dan negara untuk kepentingan kelompok sendiri (kelompok tertentu) yang ingin berkuasa.

Bunga Rampai Penyair


Sepenggal Perjalanan Sastra di Kota Metro)
Oleh Naim Emel Prahana

Dengan sebuah buku antologi dan puisi-puisi yang dikirimkan ke sebuah radio swasta. Maka, terbitlah status, “aku adalah penyair!” Sebab, penyair bernama si X itu sudah lama tidak menulis puisi lagi. Potongan terjemahan di atas dikutip dari blog Dewan Kesenian Metro (DKM) yang ditulis seseorang yang mengaku sebagai penyair Metro yang saat ini mengklaim dirinya sebagai the best.

Untuk memperjelas kepahaman yang memang tidak dipahami lagi, akibat trend bahwa “aku adalah aku” yang dilahirkan oleh aku sendiri, tiada yang melahirkan dan tidak akan melahirkan penyair lagi. Padahal, penyair dalam dunia sastra adalah bagian dari warga yang sangat mencintai dan mempelajari sejarah. Tetapi, sekarang banyak yang tidak mau tahu soal sejarah.

Semuanya akibat banyaknya teori cekikikan di balik kamar-kamar kost dan ruang-ruang sindikat ‘aku’ dalam sastra. Namun demikian, saya tetap mengatakan, penyair ya penyair biarkan diri dan karyanya mengalir bagaikan air sungai sampai ke muaranya. Yang sudah barang tentu dalam perjalanannya mengalami berbagai bentuk intervensi sejak dari mata air yang bening, kemudian air yang kuning dan berlimbah serta banyaknya orang yang menebar bahan kimia maupun menggunakan alat setrum untuk mematikan anak-anak ikan yang berada di dasar sungai maupun yang berada di permukaan sungai. Itulah kehidupan. Ada kehidupan yang tidak hidup sama sekali dan ada kehidupan yang sangat lentur dan hidup elastis.

Buka dan baca lagi kliping-kliping koran Nasional dan Lampung serta buku-buka catatan para penggiat seni sastra di Lampung—khususnya di Metro. Maka, betapa menyejukkan perjalanan sastra (dan penyair di kota itu). Maka, sebut saja dekade tahun 1986—1998 denyut sastra di Kota Metro masih menyisakan catatan pahit dan getirnya, apa yang dialami para penggiat sastra di kota kolonisasi itu.

Metro telah mencatat sejarah sastra yang menasional kala itu. Di mana, ketika akan diadakan baca puisi se-Sumatera Bagian Selatan dengan menghadirkan Emha Ainun Najib dan Diah Hadaning (1992) dicekal aparat keamanan. Lalu, tidak beberapa lama kemudian, ketika Emha Ainun Najib diundang untuk memberikan orasi kebudayaan di Universitas Muhammadiyah Metro, ia pun dipaksa turun dari podium dan ke luar dari kampus UMM tersebut. Saat itu rektor UMM sebagai penggagas dan pengundang, tidak dapat berbuat apa-apa untuk mencegah pencekalan itu.

Tahun 1987 ketika kawan-kawan menjadi panitia lokal pementasan Teater Krakatoa (Bandarlampung), juga akan dicekal dengan berbagai alasan. Namun, saya tetap ngotot bahwa teater Krakatoa bukan kaum oposisi yang harus dicekal melalui Sospol Kabupaten Lampung Tengah. Alhamdulillah, pencekalan itu tidak jadi. Teater Krakatoa tetap pentas di Gedung Wanita Metro.

Apa yang terjadi di Metro, sebenarnya lebih keras dengan apa yang terjadi di Bandarlampung atau Jakarta. Ketika saya menjadi Pimpinan Harian (PH) Radio Deimarga Nusa (radio swasta tertua di Lampung Tengah waktu itu) dan satu-satunya radio di Kota Metro (1980—1989). Salah satu acara pavourit Sabtu malam Minggu adalah Apresiasi Sastra.

Salah satu penyair yang sering mengisi di acara itu adalah Muadin Efuari, Leo Marantika dan beberapa penyair lokal lainnya. Dunia teater pun di Metro begitu marak, tercatat ada sekitar 15 kelompok teater di Metro yang puncaknya adalah lomba penulisan puisi, lomba pentas teater dan baca puisi di Aula Depdikbud Lampung Tengah di Kampus (sekarang Kantor Dinas Pendidikan Kota Metro). Diah Hadaning, Iwan Nurdaya Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Dadang Ruhiyat, Isbedy Stiawan ZS hadir menjadi juri pada pestival seni sastra Metro saat itu.

Masih banyak lagi catatan sebagai realitas sejarah sastra di Kota Metro yang patut dihormati para penggiat sastra yang masih memiliki nilai nurani kemanusia di dalam mdirinya. Pertemuan dalam Dialog dan Baca Puisi Penyair Lampung di GOR Jurai Siwo memang gegap gempita. Semua penyair Lampung hadir dan membacakan karya-karyanya pada waktu itu.

Sebuat saja Iwan Nurdaya Djafar, Isbedi Stiawan ZS, Dadang Ruhiyat, Sugandhi Putra, Achmad Rich, Syaiful Irba Tanpaka, Juhardi Basri, Naim Emel Prahana, Thamrin Effendi, Rustam Effendi Damara, Zulqarnain Z, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Neneng Suryaningsih (isteri Emha Ainun Najib) dan masih banyak lagi. Karya-karya penyair Metro terus mengalir di media cetak ibukota dan Lampung. Ada seorang penggiat seni sastra yang getol berkarya—sekaligus mengasuh beberapa teater di Metro saat itu dari Bandarlampung adalah Pramudya Muchtar.

Adalagi acara pentas seni di Balai Serba Guna Hadimulyo 22 Metro, hadir waktu itu penyair Moelya Poetra (saat itu lebih banyak berkecimpung di Jakarta)—yang dibuka secara resmi oleh Walikota Administratif Metro, Drs Mulyadi. Masih ada pentas seni sastra di Balai Desa Mulyojati 16C, Balai Desa Yosodadi Jalan Jendral Sudirman dan sebagainya. Aktivitas seni sastra demikian menggaung saat itu dan melibatkan penyair-penyair Nasional di Metro sepanjang perjalanan 1980—2000 mungkin tidak akan terulang lagi, kendati sekarang ada lembaga DKM.

Khususnya mengenai Dewan kesenian Metro—pada awalnya dibentuk oleh Naim Emel Prahana, Rustam Effendi Damara, Anton Saputra, Rini yang anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya sengaja kami ikuti format AD/ART Dewan Kesenian Jakaera (DKJ) yang saya bawa dari Forum Puisi 1987 di Tim—DKJ Jakarta. Saya minta sama Bang Leon Agusta dan Mas Abdul Hadi WM.

Ketika kemudian Dewan Kesenian Lampung (DKL) berdiri, maka DKM menjadi koordinat DKL Lampung untuk Lampung Tengah. Kebetulan saya yang memimpinnya saat itu. Dan saya juga yang terlibat mendesign DKL bersama Iwan Nurdaya Djafar, Isbedy Stiawan ZS, Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, Christian Heru Nurcahyo, Khairil Anwar, Zulqarnain Z, Andy Achmad Sampurnajaya yang saat itu didukung sepenuhnya oleh Kadis Pendidikan, Indra Bangsawan.
Yang bertamu ke Metro dalam rangka baca puisi dan penerbitan antologi juga datang dari Palembang seperti, Anwar Putra Bayu, Taufik Wijaya, Thomas Heru Sudrajat, Koko Bae dan JJ Polong, dan dari Jambi seperti Dimas Arika Miharja, Ari Setya Ardhi, dan beberapa penyair Jambi lainnya. Termasuk WS Rendra yang memberikan pencerahanh sastra di sekolah-sekolah yang ada di Metro, juga Adi Kurdi.

Beberapa buku puisi yang diterbitkian dari Metro, juga bisa dijadikan acuan dan referensi tentang perjalanan seni sastra di Metro. Misalnya para penyair Metro yang tergabung dalam antologi puisi Kodrat (Radi Deimarga Nusa), Malam Kembang Kelam (Metro, 1986), Poros (Metro, 1986), Bruckkenschlag—Naim Emel Prahana (Koln Jerman, 1988, diterbitkan dalam bahasa Jerman), Solidaritas (1991, bersama penyair Lampung), Puisi Selatan (1992, bersama penyair Sumatera Bagian Selatan). Sedangkan buku cerita rakyat yang lahir dari bumi Metro antara lain Cerita Rakyat Lampung—Naim Emel Prahana (jilid 1, 2 dan 3 Grasindo-Kompas Jakarta, 1988), Cerita Rakyat Bengkulu –Naim Emel Prahana (jilid 2 dan 3, Grasindo-Kompas Jakarta, 1988). Dan. Masih banyak lagi.

Sepenggal catatan perjalanan ini masih sangat sedikit dibandingkan dengan kenyataannya, termasuk keikutsertaan penyair Metro di forum nasional dan internasional sepanjang kurun waktu itu. Seperti yang dijalani saya dan Muadin Efuari. Dalam sastra harus ada kejujuran dan keberanian melakukan koreksi kritik yang membangun atau yang memvonis. Untukmu generasi penerus penyair Metro jangan sungkan-sungkan menghormati sejarah sebagai cikal bakal kehidupan saat ini

Agustusan Mencari Roman Indonesia
Oleh Naim Emel Prahana

SUATU ketika aku menyurui pantai Barat Sumatera dari Bengkunat—Krui—Lemong—Bintuhan (Kaur)—Manna sampai ke Bengkulu. Saat itu baru pertama melakukan perjalanan lewat pantai Barat. Kalau dari Lampung sepanjang jalan bagian kanan terhampar pepohonan lebat dan besar, mulai menjelang malam selalu berpapasan dengan trenggiling, babi hutan, harimau dahan (macan loreng) dan binatang liar lainnya, termasuk ular yang sering melintasi jalan dengan damai, bebas dan tenang.

Itu terjadi sekitar tahun 1999—2000-an, serangkaian perjalanan yang sangat menarik. Pesona alam, debur ombak dengan warna putih bersih menerpa bibir pantai sepanjang pantai yang dilewati. Kampung-kampung yang ada masih begitu asli. Di tengah jalan bila malam menjelang, banyak berpapasan dengan sapi, kerbau atau kambing—yang menjadikan ruas jalan tempat mereka tidur.

Tidak ada hiruk pikuk, tidak ada toko-toko yang besar atau permanen, apalagi rumah makan seperti sekarang yang men jamur di jalan lintas di seluruh Indonesia. Selepas Lemong, memasuki perbatasan dengan daerah provinsi Bengkulu masih di daerah Bintuhan, Bengkulu Selatan yang kini menjadi kabupaten Kaur. Saat melintas desa-desa yang ada. Betapa indahnya kehidupan yang penuh dengan kedamaian, keharmonisan dan keakraban antara penduduk dan alam sekitarnya.

Waktu itu, aku berpikir daerah itu apakah masih masuk wilayah Republik Indonesia? Itulah pertanyaan yang menggelegak di benakku saat melihat pemandangan sepanjang kiri kanan jalan di perkampungan yang dilewati. Benar-benar tradisionil, rukun dan damai. Mata-mata yang curigai melihat pendatang nyaris tidak ada sama sekali, yang ada adalah mata penduduk yang begitu ramah, senyum di bibir begitu menyejukkan bagi pelintas daerah itu. Apalagi suara debur ombak Samudera Indonesia yang dahsyat itu.

Di mana Jakarta, di mana Bandarlampung, di mana Bandung, di mana surat kabar, di mana televisi dan di mana akan ditemukan rumah-rumah makan besar dengan karyawannya yang lincah dan berseragam. Semuanya tidak ada. Nyaris sunyi senyap, sepi sekali, walau banyak orang yang duduk-duduk di depan halaman rumah bila malam hari tiba. Penerangan dengan menggunakan lampu petromak menjadi sinar yang gemerlapan di malam hari.

Itulah suatu kenyataan Indonesia di tengah negara Indoneia ini yang kalau tidak orang Belanda atau Inggris yang membangun dan mengembangkan daerah itu tempo hari, entah apa jadinya kampungku di Indonesiaku ini.

Beberapa tahun kemudian, ketika aku kembali menempuh jalur itu. Giliranku yang terpana dan kaget. Kenapa tidak, dulunya sepanjang areal TNBBS pohon besar di pinggir jalan hingga memenuhi perut alam di situ. Ternyata 2004-an sudah lenyap sama sekali. Binatang yang menemani perjalanan panjang seperti simpai, monyet, beruk, siamang, kera, babi hutan, rusa, trenggiling atau lainnya sudah sangat jarang ditemukan sepanjang jalan yang dilewati. Pada kemanakah mereka semua, termasuk pohon-pohon besar yang menjadi paru-paru dunia itu? Semua lenyap.

Beberapa meter dari pinggir jalan ketika melongok ke dalam hutan, ternyata tidak ada lagi pepohonan dengan batang-batang kayunya yang berdiameter besar. Yang tersisa adalah kayu-kayu kecil dan semak belukar. Bulu romaku berdiri menyaksikan realitas hutan rimba kita itu. Sementara penduduk yang hidup di kampung-kampung sepanjang pantai barat itu, tidak ada yang begitu drastis menjadi penduduk (orang) kaya.

Apalagi sekarang, deru mesin pemotong kayu besar, hamparan kebun kelapa sawit, kebun – kebun karet dan sebagainya telah memaksa kita selama perjalanan mengusap keringat terus menerus karena terik panas yang menyengat. Di beberapa bibir pantai, sudah berdiri rumah-rumah makan gaya lintas Sumatera. Di beberapa muara sungai sudah ada tempat cucian mobil dan usaha penambangan batu dan pasir secara bnesar-besaran.

Bila malam hari anak-anak remaja berlalulalang antar kampung dengan motor baru mereka. Sangat cepat pengaruh gaya hidup kaum selebritis merambah ke kampung-kampung yang berada nun jauh di bibir pantai dan bibir hutan Sumatera itu. Suasana pun sudah berubah banyak. Cata berpakaian anak-anak muda di kampung-kampung yang jauh itu, tidak ubahnya seperti ditampilkan para artis sinetron di televisi.

Tapi, ketika berada di sana pertanyaan tetap muncul walau aku tahum bahwa di sana masih menjadi bagian dari kampung-kampung di Indonesia yang tidak pernah disentuh ban-ban mobil para pejabat, apalagi kelas menteri apalagi presiden. Wajar kalau mereka bermimpi terus menerus, bahwa mereka inginkan suasana seperti zaman penjajahan Inggris atau Hindia Belanda.

Atau mungkin kalau diterjemahkan, mereka ingin merdeka sendiri, mereka ingin menjadi bagian dari diri mereka sendiri. Padahal, mereka pernah mengeyam hidup pada saat revolusioner Bung Karno. Karena Bung Karno, Bung Hatta atau Sutan Syahrir memang pernah mendatangi daerah itu.

Persoalannya kini, ketika semaraknya Agustusan 2009 di mana banyak pemerintah daerah menggelar peringatan HUT RI ke 64 dengan semua kemewahan, termasuk pesta kembang api yang nilainya puluhan juta rupiah itu. Tapi, roh Indonesia di dalam kegiatan-kegiatan peringatan itu nyaris tidak ada sama sekali. Kegiatan pameran pembangunan, kegiatan pawai pembangunan dengan lendaraan hiasnya sudah sesak dengan muatan politik masing-masing daerah.

Bendera Indopnesia “Merah Putih” memang ada dan di luar, banyak dijual di pinggir-pinggi jalan, akan tetapi tidak ditempelkan roh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sehingga bendera-bendera itu tinggal menjadi pemanis hiasan bagi pemiliknya atau pemasangnya. Bahkan, dijadikan simbol (icon) iklan-iklan ucapan atau kegiatan lainnya di media massa. Sungguh kronis jiwa kebangsaan masyarakat Indoneia saat ini.

Pantau Tayangan TV


Kolom Naim Emel Prahana
MAJELIS Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Depkominfo selama bulan Ramadhan melakukan pemantauan terhadap tayangan-tayangan tak pantas di media televisi maupun di media cetak, yang diduga jauh dari koridor pendidikan.
Pemantauan itu menurut KH Ma`ruf Amin bersifat kerjasama yang nantinya tidak hanya sebatas himbauan seperti tahun lalu. Namun, akan ada tindakan sanksi. MUI, KPI dan Depkominfo nantinya jika ada yang melanggar, akan direkomendasikan untuk diambil langkah-langkah selanjutnya, seperti sanksi dan sebagainya.
Pihak KPI, MUI dan Depkominfo akan mengamati dan melihat tayangan-tayangan di televisi serta media cetak. Tentang kriterianya yang tidak diperkenankan adalah yang mengandung kekerasan, baik fisik maupun psikis, mistik, horor, pornografi dan pornoaksi.
Apa yang akan dilakukan MUI itu patut kita dukung, sebab selama ini banyak tayangan acara di televise swasta di Indonesia sudah jauh menyimpang dari norma-norma kebiasaan, maupun norma agama, social dan pendidikan masyarakat Indonesia. Barangkali, apa yang akan dilakukan MUI cs situ—walau dinilai terlambat, karena memfokuskan pada bulan ramdhan. Tetapi, patut mendapat dukungan seluruh masyarakat di Indonesia.
Persoalan yang akan muncul adalah sanksi yang akan diberikan atau dijatuhi nantinya, apakah dapat menjadi dampak jera atau tidak akan diulangi lagi oleh televise? Itu yang menjadi pertanyaan besar di masyarakat saat ini. Karena, khususnya tayangan film sinetron yang ada di televise beberapa tahun terakhir ini, sudah tidak mengindahkan banyak norma yang dipatuti dan dihormati di Indonesia.
Misalnya fil m sinetron Hareem yang kini diganti judulnya Inayah yang ditayangkan di Indosiar. Sinetron Manohara, lalu acara The Master atau acara-acara hipnotis seperti yang diisi oleh paranormal tersebut. Sementara tayangan acara bermaterikan pendidikan sudah mulai terkikis. Apalagi, film-film sinetron di televise sawsta yang mengeksploatasi dan mendramatisir pergaulan-pergaulan bebas para remaja.
Tayangan-tayangan yang sudah ke luar dari koridor norma-norma yang hidup dalam masyarakat di Indonesia, termasuk tayangan iklan yang sebenarnya tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan di media massa (elektronik dan cetak).
Masyarakat Indoneia harus mewaspadai beberapa acara yang ditayangkan di televise, karena siapa tahu tayangan-tayangan acara itu, seperti film, iklan dan acara lainnya tersebut merupakan paket pesanan pihak-pihak luar (asing) atau pihak tertentu yang akan menghancurkan nilai budaya masyarakat Indonesia.
Artinya, pengawasan dan sanksi bagi yang melanggar yang akan dijatuhkan oleh MUI, KPI dan Depkominfo jangan hanya sebatas pada bulan Ramadhan saja, tetapi harus terus dilanjutklan secara berkesinambungan. Sehingga beberapa tayangan di televise dan media massa tidak dijadikan publikasi dan propaganda anti norma agama, anti norma social, anti norma budaya dan normal lainnya termasuk norma adapt istiadat tang berlaku dan dipatuti oleh masyarakat di daerah-daerah tertentu.
Kita dukung upaya MUI, KPI dan Depkominfo itu untuk melestarikan masyarakat Indonesia yang benar-benar adalah masyarakat Indonesia dengan aktrivitasnya.

Bantuan Hibah


Kolom Naim Emel Prahana
BANYAK cara pemerintah daerah untuk memperdayai masyarakatnya dengan aneka ragam jenis bantuan sosial, rumah ibadah, kemasyarakatan dan lainnya. Tentu saja bantuan-bantuan tersebut sangat menggiurkan masyarakat atau kelompok masyarakat yang ditetapkan sebagai penerima.
Namun, lebel atau merek bantuan yang dikucurkan itu sering menipu dan menjebak masyarakat penerimanya. Di Metro, Pemerintah Kota (Pemkot) itu sejak 3 (tiga) tahun silam mengucurkan apa yang disebut produk bantuan Kelompok Masyarakat (Pokmas), pada tahun pertama diluncurkannya produk Pokmas. Ternyata banyak kelemahan dan kekurangan yang akihirnya membuat lumbung oknum-oknum tertentu di Pokmas menjadi kaya raya.
Lama kelamaan apa karena kekecewaan produk Pokmas yang tidak berjalan sebagaimana mestinya itu. Maka, sejak 2008 ayau mulai ditintis sejak 2007, Pemkot Metroi meluncurkan dana bantuan kepada kelompok masyarakat dalam organisasi kemasyarakatan, rumah ibadah, pendidikan dan sebagainya.
Produk itu bernama HIBAH, yang kalau kita definisikan kata ‘hibah’ maka terjadi suatu pemberian tanpa pamrih, tanpa ikatan, tanpa laporan pertanggungjawaban sebagaimana mestinya kalau menggunakan anggaran APBD. Produk bantuan hibah, ternyata hanyalah lebel yang menjerat masyarakat untuk bersusah payah menghabiskan dana bantuan itu hanya untuk urusan birokrasi pewngurusan administrasi yang bertele-tele.
Menghabiskan waktu, menghabiskan dana dan menghabiskan kesabaran akibat rumitnya birokrasi mendapatkan bantuan dana hibah itu. Ada dua bagian yang mengurus dana bantuan hibah itu. Pertama di bagian Kesra dan kedua langsung di bagian BPKD sub unitnya.
Anehnya, birokrasi pengurusan dana bantuan hibah di kedua unit kerrja masing-masing itu tidak seragam. Persyaratan umum pada unit kerja bagian pertama di atas (Kesra) untuk mendapatkan dana bantuan hibah yang penerimanya sudah ditetapkan oleh Walikota, cukup berat. Misalnya NPHD (naskah perjanjian Hibah Daerah) antara Kabag Kesra an Walikota dengan penerima. Yang membuat si penerima dan bebas memalsukan kop surat Sekretariat Daerah Kota Metro.
Kemudian, syarat yang aneh lagi. Siapapun yang menerima dana hibah dari bagian Kesra Pemkot Metro, semua surat-menyurat sampai kepada stempel dan rekening bank harus bernama POKMAS. Walaupun bantuan itu diberikan kepada masjid, langgar, vihara, gereja, guru-guru honor di TPA. Semuanya harus pakai kop Pokmas dan bukan hanya kop surat, stempel. Namun, prosedur yang harus dilalui si penerima, juga harus minta tandatangan kepada ketua Pokmas dan tim pengawas Pokmas. Walaupun dana bantuan itu bukan digunakan untuk proyek fisik.
Aneh lagi, bantuan honor guru TPA yang cuma Rp 300 ribu itu, ternyata uangnya hanya habis untuk masalah administrasi. Bayangkan, buat stempel guru TPA Pokmas, kop surat pokmas, stempel pokmas, rekening bank pokmas, materai 6000 lima lembar, map dan membuat proposal masing-masing dijilid 10 bundel.
“Perasaan kita bagaimana itu bisa dikategorikan kepada dana hibah?” Kalau unsur hibah yang dicantumkan, tidak melekat sama sekali. Kemudian, apa hubungannya sebuah langgar yang dibangun secara pribadi dengan Pokmas yang harus menandatangani semua berkas surat?

GOR Saburai Bandarlampung

Kolom Naim Emel Prahana
WALAUPUN rumah pengasingan Bung Karno yang aslinya di Bengkulu sudah dirombak total. Akan tetapoi, tulisan anak-anak Kampung Anggut di Bengkulu terakhir masih bisa dibaca tahun 1984 yang berbunyi, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan dan menghormati sejarah bangsanya!”
Tetapi, kalimat di dinding rumah pembungan Bung Karno yang ditulis dengan arang itu masih tetap mengiang di telinga kita dan menjadi beban pikiran rakyat Indonesia. Banyak sekarang ini generasi muda yang tidak memahami sejarah dan apalagi untuk dijadikan referensi kehidupan pembangunan di kemudiannya.
Seakan-akan generasi sekarang terputus dengan generasi sebelumnya. Padahal, rakyat Indonesia adalah rakyat yang cinta akan adat istiadat, patuh, menurut dan taat akan nilai-nilai adat istiadat itu. Sebab, hukum nasional kita berpijak dan berdasarkan nilai-nilai tradisional yang hidup dan terus hidup di tengah masyarajatnya.
Berkaitan dengan itu, apa yang dilontarkan dalam gagasan Gubernur Lampung, Syachroedin ZP atau lebih dikenal dengan sapaan Kiyai Oedin yang tidak main-main untuk membangun dan mengembangkan Lampung dalam periode kedua masa jabatannya sebagai gubernur Lampung, untuk menukar-gulingkan GOR Saburai dengan mendirikan Mal besar di kawasan tersebut.
GOR Saburai sendiri akan dipindahkan ke Kemiling. Nampaknya, itu ide yang tidak populer dan tidak bijak. GOR Saburai di Enggal sudah menjadi icon dunia seni dan olahraga di Lampung. Sudah sangat akrab dengan masyarakat Lampung, di samping letaknya yang sangat strategis.
Kenapa harus dipindahkan? Bagaimana dengan roh GOR Saburai itu sendiri selama ini? Apakah setelah GOR Saburai dipindahan karena sudah disetujui oleh DPRD Lampung, akan bisa menjadi icon dengan kekuatan sihirnya terhadap masyarakat luas?
Membangun daerah bukan bebrati merobohkan bangunan-bangunan yang bernilai sejarah dan juga bukan berarti menghilangkan bangunan yang sudah memiliki icon dan mengandung filosofi dan nilai sejarah. Masih banyak kawasan lain yang bisa untuk dijadikan kawasan perdagangan.
GOR Saburai harus tetap ada di Enggal, karena GOR itu adalah lambang keperkasaan Kota Tanjungkarang, Telukbetung, Panjang dan kedaton bahkan kekuatan magis masyarakat yang tinggal di kota lainnya di Lampung. Kiyai Oedin harus membatalkan niatnya untuk m,emindahkan GOR Saburai itu, walaupun sudah disetujui oleh DPRD Lampung. Karena, anggota DPRD Lampung belum tentu mewakili rakyat Lampung. Hal itu dapat dibuktikan.
Filosofi sebuah kota (seperti Bandarlampung), tidak harus dipenuhi oleh toko-toko, pusat-pusat perbelanjaan modern. Tetapi, harus diperhatikan ekosistem yang akan melindungi kehidupan masyarakat kotanya. Misalnya dengan hutan kota seperti yang ada di sekitar GOR Saburai.
Masyarakat seniman dan kebudayaan di Lampung harus menggugat Kiyai Oedin dalam kasus tukar guling GOR Saburai itu dengan pusat perbelanjaan modern. Kalau semua pusat perbelanjaan didirikan di tengah kota, bagaimana pengembangan pembangunan kota selanjutnya, terutama di pinggiran kota yang rakyatnya masih butuh toko-toko kebutuhan sandang pangan dan papan. Dan, perlu diingatkan bahwa keinginan Kiyai Oedin itu belum tentu menjadi keinginan pemerintah Lampung.

Pengecut


Kolom Naim Emel Prahana
STATEMEN Juru bicara Departemen Luar Negeri Teuku Faizasyah tentang kasus pelecehan Lagu Indonesia Raya beberapa hari lalu dan kembali disiar ulang oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, yang meminta agar agar publik tidak terpancing dan mencampuradukkan apa yang dilakukan oleh orang-orang iseng (individual) dengan pemerintahan karena hal itu dapat mengganggu hubungan dwipihak yang lebih luas.
Kendati Teuku Faizasyah atas nama pemerintah agar situs yang memuat lirik pelecehan lagu kebangsaan Indonesia Raya dicabut. Namun, pernyataan meredamkan rakyat Indonesia adalah sikap pengecut. Teuku Faizasyah yang menghatakan atas nama pemerintah. Pemerintah mana yang diwakilinya dalam konteks tersebut.
Yang jelas, pemerintah maupun rakyat Malaysia sudah secara rutin melakukan pelecehan, penghinaan dan pengambilan paksa harta benda masyarakat Indonesia. Apakah pantas mengatakan jangan terpancing?
Ada dua perbuatan antar negara yang tidak dapat dimaafkan, pertama pembakaran bendera kebangsaan dan menghancurkan lirik lagu kebangsaan suatu negara dan kedua adalah intervensi untuk merebut wilayah kekuasaan negara lain dengan cara paksa maupun secara tidak langsung menggunakan berbagai pola, termasuk politik.
Hukum yang berlaku di dunia internet, jika suatu tulisan sudah dimuat dan ditayangkan, maka kemungkinan akan menyebar ke berbagai situs, sudah pasti. Bahkan, akan diprint untuk dinyatakan dalam bentuk teks. Kendati situs Topix Forum World Malaysia yang memuat persoalan tersebut sudah ditutup, tapi akses sebelumnya sudah berjalan. Apalagi pelecehan itu diketahui pertama kalinya pada tanggal 28 Juli 2009 lalu.
Sebagai contoh pembelaan terhadap rakyat, bendera, lagu kebangsaan seperti apa yang dilakukan oleh AS (Amerika Serikat). Pemerintah AS, kalau sudah menyangkut nyawa seorang warganya, mereka akan mengerahkan semua kemampuan militer, untuk menghancurkan pihak yang mensandera atau menyakiti rakyatnya. Walaupun yang akan diselamatkan itu hanya satu orang.
Bagaimana dengan Indonesia, sudah berapa banyak TKI—TKW kita yang mati, disiksa—dianaiyai, diperkosa dan diperlakukan semena-mena oleh rakyat negara lain, termasuk Malaysia, Singapura, Hongkong dan Asrab Saudi. Apa pernah Indonesia bertindak? Pemerintah bertindak hanya sebatas mengembalikan mayat TKI—TKW yang sudah mati yang disebabkan penganiayaan oleh rakyat negara asing. Upaya itupun banyak gagalnya, karena kualitas diplomasi pemimpin Indonesia sangat rendah di forum Internasional. Apalagi pemimpin di era presiden SBY, yang Cuma bisa marah kalau ada rakor kalau ada kepala daerah yang ngantuk.
Rakyat Indonesia tidak boleh dilarang untuk membela bangsa dan negaranya dengan berbagai ekspresi sampai kepada keinginan untuk menyerang Malaysia. Itu, hak rakyat Indonesia. Pemerintah harus mendukungnya.
Andaikan pemerintah Indonesia menarik semua TKI—TKW di malaysia dan Singapura, maka kedua negara itu akan menerima akibat kekurangan tenaga kerja yang selama ini banyak dikerjakan oleh orang Indonesia. Dengan kekurangan itu, besar kemungkinan ekonomi Malaysia dan Singapura akan berubah menjadi krisis ekonomi.
Kita berharap kepada presiden Sby dan para menteri serta anggota DPR-RI, agar benar-benar berani bertindak, tidak perlu banyak basa-basi. Karena basa-basi itu adalah pengecut dan tidak mempunyai keberanian apapun, kecuali kelicikan.

Virus Indonesia


Kolom Naim Emel Prahana
DISAAT masyarakat Indonesia gila akan kecanggihan, kepraktisan dan efektivitas penggunaan komputer dan perangkat pendukung lainnya. Justru orang Indonesia di balik layar dunia maya meluncurkan produk virus yang diyakini lebih berbahaya dari virus manapun di dunia ini untuk dunia komputer dan teknologinya.
Virus Buatan Indonesia Lebih Berbahaya dari Asing! Itulah judul berita yang dilansir ANTARA News 23 Agustus 2009 lalu yang beritanya sudah dibaca sebanyak 3906 kali oleh penggemar dunia maya.
Virus buatan Indonesia dianggap berbahaya dari virus produksi asing, karena bisa menghilangkan data file pengguna. Sementara, virus asing tidak sampai menghilangkan file penting penggunanya. Produsen virus tersebut hanya ingin menunjukkan kelemahan windows yang ada saat ini.
Hal itu dijelaskan oleh Technical Security Consultant, ESET Indonesia (perusahaan di bidang keamanan digital), Yudhi Kukuh beberapa waktu lalu di Surabaya. Diuraikan oleh Yudhi, dari sejumlah virus yang menyebar di seluruh jaringan komputer di dunia, virus asal Indonesia hanya menyumbang 0,1 persen. Meski penguasaannya terbilang minim secara internasional, pengguna komputer perlu menyadari pentingnya antivirus untuk melindungi data.
Sampai saat ini, variasi virus di dunia sangat beragam. Akan tetapi, kini yang menjadi trend dan berbahaya adalah virus configure. Virus itu sifatnya bisa menggandakan diri, sehingga kini variannya bisa mencapai turunan ke 30 (configure varian AQ). Mayoritas, selama ini yang menyerang komputer di antaranya configure generic, configure` varian A, dan configure varian AA.
Ragam virus lokal yang juga membahayakan data pengguna komputer seperti babon, aksika, coolface & coolface MP3 player, W32/Kill AV, pendekar blank, pacaran, blue fantassy, Windx-Matrox. Selain itu, ada juga virus amburadul, FD Shield, Purwo C, dan Nadia Saphira.
Sementara itu pengguna antivirus ESET di Indonesia, Marketing Communications ESET Indonesia kata Chrissie Maryanto, saat ini pasar terbesar sebanyak 60 persen berada di Jakarta, 30 persen di Surabaya, dan 10 persennya menyebar di kota lain. Dari jumlah tersebut, segmentasi pasar kami terdiri dari 80 persen kalangan korporasi dan 20 persen pelaku usaha ritel.
Dari persoalan yang dihadapi, maka nilai-nilai Alqur’an sangat relevan terhadap apapun kejahatan yang makin berkembang dan makin hebat di muka bumi ini. Alqur’an mengajarkan, bahwa semua perbuatan pasti ada akibatnya dan semua penyakit pasti ada obatnya.
Terkait dengan hal itu, sangat dibutuhkan manajemen penggunaan dan pemanfaatkan sarana dan prasarana teknologi seperti komputer, foto digital dan sebagainya. Sehingga, pengguna mampu mengecilkan kemungkinan diintervensi oleh produk-produk jahat yang melepaskan produknya tanpa tanggungjawab.
Oleh karena itu, semua virus yang berhubungan dengan teknologi digital dewasa ini memang diciptakan demikian, karena adanya persusahaan yang ingin juga mengeruk keuntungan menjual produk anti virus. Itulah yang disebut oleh Islam, setiap penyakit pasti ada obatnya.

Kriminalitas Lebaran


kolom Naim Emel Prahana
KETIKA kebutuhan seseorang harus ada dan terpenuhi, kemudian pada saat yang sama mereka tidak memiliki apa-apa, maka tindak kejahatan (kriminalitas) cenderung akan dilakukan untuk mengantisipasi kebutuhan tersebut.
Sebagai momentum kebutuhan yang membuat banyak orang kalangkabut adalah momentum lebaran, tahun baru atau hajatan keluarga. Kejahatan seperti slogan Bang Napi di televisi, bukan hanya karena niat, tetapi kesempatan akan menjadikan perbuatan itu terjadi.
Seperti tahun sebelumnya di Indonesia, sebentar lagi masyarakat masyoritas dari penduduk di Indonesia yang beragama Islam akan menghadapi hari yang fitri yaitu Hari Raya Idul Fitri atau populer diakrabkan pengucapannya oleh masyarakat dengan lebaran. Yang kemudian dipelesetkan menjadi waktu ‘berhabis-habisan’—yang mengambil dari imbuhan kata lebaran berarti ‘lebar’ dengan akhiran ‘an’ maka lebar (habis-habisan).
Segala sesuatu yang dimiliki dimunculkan, semua pakaian berbau baru, semua makan masuk dalam kelompok ‘wah’ dan sebagainya bernafas ‘baru’. Walaupun sebenarnya makna lebaran bukan itu. Yang paling utama adalah mengisi haris kemenangan setelah berjuang dan berkorban selama puasa bulan ramadhan. Kemudian harus membersihkan diri dengan sholat Idul Fitri dan membayar zakat.
Sekali lagi, karena masyarakat Indonesia dalam keadaan bimbang dan bingung akibat lamanya dijajah bangsa asing, maka banyak informasi yang diterima sering tidak disaring lagi, lalu ditelan mentah-mentah yang dianggap sebagai kewajiban. Pada kesempatan lain di pihak lain di tengah masyarakat, ada masyarakat yang serba kekurangan atau serba ingin bermewah-mewahan ketika lebaran.
Termasuk kelompok masyarakat yang biasa disebut dengan ‘penjahat’ atau kriminal. Mereka selalu mengambil kesempatan dalam kesempitan dan keriuhan pemenuhan kebutuhan. Misalnya menjelang lebaran, masyarakat antri belanja, masyarakat menghabiskan semua uangnya untuk lebaran.
Karena ‘kesempatan’ ada, maka kejahatan akan mengintai masyarakat lainnya setiap saat. Baik di pasar, jalan raya, di rumah atau di mana dan kapanpun kesempatan untuk melakukan kejahatan itu ada. Untuk itu, perlu dilakukan langkah antisipasi agar kejahatan tidak menimpa atau terjadi dengan kita sebagai warga.
Tentu hal itu mudah dilakukan, tetapi sulit diwaspadai, karena momentum lebaran biasanya orang pada lupa, karena otak sudah disesaki oleh keinginan yang baru serba baru, sehingga ketika bersilaturrahmi sesama tetangga ada kebanggaan. Walau kebanggan itu adalah semu.
Biasanya menjelang lebaran tingkat kriminalitas (kejahatan) akan meningkat. Korbannyapun meningkat dengan kerugianpun meningkat tajam. Masyarakat dan aparat penegak hukum harus bekerjasama mengantisipasi munculnya kejahatan musiman tersebut, sekaligus menandai pelaku kejahatan untuk dibasmi.
Terutama mewaspadai dan mengantisipasi kejahatan yang masuk kelompok sadis, bengis, kejam dan tidak berprikemanusiaan, hanya karena sebuah motor. Maka tak segan-segan membunuh korbannya dalam aksi kejahatan begal atau rampok di jalanan. Pemerintah adan aparat penegak hukum jangan bosan-bosan mengingat masyarakat akan bahaya kejahatan menjelang lebaran seperti sebentar lagi kita hadapi.

Latah Fatwa


Kolom Naim Emel Prahana
PEMERINTAH dan para pemimpin lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah yang berafiliasi dengan pemerintah cenderung sangat senang melihat masyarakat tidak tentram, ragu, bingung dan terkonflik. Berbagai isu dilontarkan untuk menutupi kelemahan-kelemahan pada kebijakan yang sudah diambil oleh pemerintah maupun lembaga, badan atau lembaga atau badan non pemerintah yang berafialiasi dengan pemerintah.
Masyarakat Indonesia sejak lama sudah diincar oleh kebodohan yang disengaja oleh pemerintah. Misalnya berbagai fatwa yang hukum dalam agama sudah dijelas, difatwakan seakan-akan hukum yang ada pada agama tidak perlu dianuti dan yang harus diaikuti adalah fatwa MUI.
Setelah golongan putih (Golput), merokok, facebook diharamkan oleh MUI. Kini, MUI Madura memfatwakan haramnya warga miskin yang melakukan kegiatan pengemisan di muka umum. Fatwa itu sontak mengagetkan masyarakat Indonesia yang dikenal dengan masyarakat yang miskin secara struktural.
Sementara kegiatan lain masyarakat yang tengah menunggu fatwa, nampaknya akan dikeluarkan oleh MUI atau lembaga kompetensi lainnya yang memiliki legilitas keberadaan mereka di tengah masyarakat Indonesia.
Dalam KUHP memang ada pasal yang menyebutkan perbuatan ‘pengemis’ itu dikategorikan perbuatan yang melanggar norma dan kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. Persoalannya sekarang bukan hanya mengeluarkan fatwa atau melarang. Tetapi, mengenai keberadaan kaum papa (pengemis) di mata pemerintah, sudah sejauhmana diupayakan untuk ditanggulangi dan diberi kehidupan yang layak di wilayah Indonesia yang luas, kaya potensi alam, sumber mineral, gemah ripah loh jinawi.
Sejauh itu pula selama ini belum ada upaya pemerintah merehabilitasi status miskin yang disandang kaum papa ‘pengemis’ itu. Seperti halnya upaya pemerintah melakukan pembinaan terhadap para pekerja seks komersil (PSK) yang ditangkap atau para narapidana yang dibina untuk mampu berkarya usai menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.
Tapi, terhadap pengemis nampaknya belum pernah ada upaya ke arah itu, kecuali penggarukan (penangkapan) dan kemudian dibawa oleh Pol PP atau Polisi ke kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Hanya untuk didata dan dipulangkan ke kampung asalnya tanpa bekal sedikitpun.
Pengemis, PSK, pengangguran perlu menjadi perhatian utama pemerintah, agar mereka akan menjadi sumberdaya manusia yang trampil, setidak-tidaknya mampu hidup mandiri walau dalam taraf kehidupan sosial ekonomi yang pas-pas saja. Nilai kemanusia dan pendidikan (pembinaan) dalam hal itu sangat dibutuhkan. Mereka adalah manusia juga seperti warga negara lainnya di tanah air ini.
Dengan catatan, pembinaan dan mendidik pengemis, pengangguran dan PSK atau napi jangan hanya ketika ada perlunya seperti menjelang pemilu, pilpres, pilkada atau pemilihan lainnya yang membutuhkan dukungan suara rakyat. Tetapi, tingkat kepedulian itu harus dilepaskan dari unsur politis. Sehingga orang miskin di Indonesia tidak tergiur hengkang bekerja sebagai TKI—TKW ke luar negeri yang pendapatannya belum tentu meningkatkan status sosial ekonomi keluarga mereka di kampung halaman para TKI—TKW.