Senin, 08 Februari 2016

Kampung Tua Kotadonok




Menciptakan Pembangunan Dan Memelihara Adat Istiadat
Oleh Naim Emel Prahana

MEMANG tidak semua kampung tua itu selalu terbengkalai. Namun, kenyataannya memang banyak kampung-kampung (desa) tua terbengkalai dan terjadi kemunduran di berbagai aspek kehidupan masyarakatnya. Tentu saja faktor ekonomi menjadi persoalan klasik yang sulit dipecahkan oleh masyarakat kampung itu sendiri.
Ekonomi masyarakat mempengaruhi aspek lainnya, seperti sosial, seni budaya – adat istiadat, pendidikan, pertanian dan akhirnya faktor pembangunan kampung menjadi terhambat akibat pola pikir yang berubah drastis sebagai akibat pengaruh global teknologi informasi dan lainnya.
Salah satu kampung tua di daerah legenda Lebong provinsi Bengkulu adalah Desa Kotadonok. Kampung ini semula bernama kutei Donok (bahasa Rejang berarti kampung/desa yang berada di tengah-tengah daerah lain). Kampung itu diperkirakan sudah berdiri pada abad 7 M ketika menyimak sejarah dan asal usul masyarakat Rejang di Lebong.
Pada zaman dahulu kala, kampung-kampung di daerah Lebong satu dengan kampung lainnya mempunyai jarak yang disebut dengan sawangan. ‘Sawangan’ itu diartikan sebagai kawasan/wilayah/daerah antara suatu tempat (kampung) dengan tempat lainnya yang ada penduduknya. Berbeda dengan kata sawang yang berarti berdekatan. Misalnya dalam obrolan masyarakat tercetus kata, “ sawah pak A itu sawang dengan sawahnya pak B” dan seterusnya.

Umeak Peken
Seperti kampung lainnya, pada awal berdiri Kotadonok dapat ditelusuri melalui jenis, bentuk dan ukuran rumah penduduknya. Rumah-rumah lama di Kotadonok berada di kawasan yang sampai sekarang masih disebut umeak peken. Nama umeak peken diambil karena di daerah kampung Kotadonok itu ada kegiatan pasar (pekan) seminggu sekali. Tepatnya pada hari Rabu setiap minggunya.   
Umeak Peken Kotadonok dulunya berdiri dua bangunan besar. Bangunan pertama membujur dari Timur – Barat yang panjang bangunannya sekitar 30 – 40 meter. Sementara bangunan kedua dengan bentuk dan ukuran yang sama membujur dari Selatan – Utara.
Dalam bangunan itu dibuat lapak-lapak (meja besar) berukuran antara lebar 2 meter dan panjang sekitar 3 meter. Kemudian dalam bangunan yang terbuka (umeak peken) itu ada gang – gang tempat lalulalang para pembeli setiap hari peken (pekan) untuk membeli kebutuhan sandang dan pangan.
 Gambar: rumah-rumah panggung berusia tua
di kawasan Umeak Peken Kotadonok
(FOTO: Naim EP)
Bangunan Umeak peken Kotadonok yang pertama membujur dari Timur ke Barat itu, dulu khusus untuk para pedagang bahan lauk pauk, barang pecah belah, tembakau, peralatan pertanian, peralatan pertukangan dan lainnya. Dalam perkembangannya, bangunan pertama tersebut, di dalamnya (bagian pinggir) dibuatlah beberapa warung (kios) permanen.
Warung yang terkenal saat itu adalah Warung Makan (WR) Sudi Mampir milik keluarga Yantut dan warung milik keluarga Naif. Kedua bangunan itu dibuat di pinggir sebelah timur (wr Sudi Mampir) dan sebelah Barat adalah warung milik Naif. Sedangkan bangunan umeak peken kedua, tidak ada bangunan warung. Semuanya terdiri dari lapak-lapak (kios) terbuka yang khusus menjual sandang; kebutuhan pakaian.
Gambar: Bangunan Umeak Peken yang berusia tua
kini sudah tidak ada karena dihancurkan kemudian
di bangun sebuah SD Negeri dan dua buah rumah
penduduk (FOTO: Naim EP)

Namun, dalam perkembangan berikutnya di ujung sebelah Utara bangunan umeak peken kedua dipinjam pakai oleh keluarga Ramli (eks TNI) untuk dibangunkan rumah tokoh. Walaupun ada perjanjian khususnya dengan pemerintahan desa (kampung). Namun, sampai saat ini keluarga (alm) Ramli tidak mau pindah dari lokasi umeak peken. Akibatnya menjadi buah bibir masyarakat.
Para pedagang yang menggelar dagangannya di umeak peken Kotadonok pada umumnya adalah pedagang berasal dari suku Padang (Minangkabau) dan orang-orang Bengkulu. Sementara itu, hasil perkebunan, pertanian, perikanan dan makan ringan dijajakan di sekitar kedua bangunan umeak peken tersebut. Terutama sepanjang jalan raya Kotadonok.
Bangunan umeak peken dan kawasannya dulunya jika malam hari atau siang adalah tempat bermainnya anak-anak kampung Kotadonok usai pulang sekolah atau usai dari mengaji di rumah Ninik Bulek (Haji Abdullah).

Bangunan Dihancurkan
Sekitar tahun 1975 bangunan kedua umeak peken sudah dirubuhkan dan diganti dengan bangunan rumah penduduk yang berdampingan dengan rumah keluarga alm Ramli. Sementara bangunan umeak peken pertama akan didirikan SDN Kotadonok. Praktis dengan keadaan demikian umeak peken di Kotadonok yang dulunya megah dan sangat ramai. Sudah tidak ada lagi.
Padahal peken Kotadonok adalah satu-satunya pasar mingguan yang ada di Bermani Jurukalang. Wajar kalau hari peken suasananya ramai sekali. Para pedagang dan pembeli berdatangan dari Topos, Tlang Blau, Tlang Donok, Plabuak (Talangratu), Tes, Taba Anyar sampai Turun Lalang. Semua ke peken Kotadonok.
Sebagai kampung (desa) tua di daerah Lebong, bahkan di Bengkulu, Kotadonok banyak menyimpan peninggalan yang ada kaitannya dengan pemerintah Sumatera Bagian Selatan dan zaman kolonial Hindia Belanda. Beberapa peninggalan sejarah berbentuk bangunan rumah, antara lain:
1.      Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah besar Pangeran Kotadonok, kediaman keluarga besar Muhammad Husin (Husen) mantan Gubernur Sumatera Selatan diperkirakan dibangun pada abad ke 17 atau 18. Letaknya berada di tengah kampung Kotadonok. Rumah tersebut menghadap ke Utara, persis di depannya Jalan Raya Kotadonok ke Muara Aman.
 Gambar: Rumah Keluarga Pangeran Kotadonok
(FOTO: Naim EP)

Rumah bercat putih berarsitektur Rejang itu sudah lama sekali tidak dihuni. Bahkan cerita dari mulut ke mulut, rumah keluarga Pangeran Kotadonok itu banyak misterinya. Rumah bersejarah itu menyatu dengan sebuah rumah bagian Baratnya dan menyatu pula dengan rumah kediaman mantan pemberang (kepala Desa) M Yusuf.


Antara tahun 1968 – 1970 rumah yang berada di tengah antara rumah keluarga pangeran Kotadonok dan M Yusuf dijadikan tempat tinggal seorang guru bernama Thamrin yang menikahi gadis desa Kotadonok bernama Rusma. Dan, rumah itu dijadikan tempat mengaji anak-anak desa. Sebelum, akhirnya guru Thamrin membuat rumah di dekat Pacua Telai (pancuran besar). Dan, akhirnya karena tugas, guru Thamrin pindah ke Kota Curup.
Rumah pangeran Kotadonok memang tidak ada yang membukanya. Rumah tersebut terdiri banyak kamar, ruang pertemuan, ruang dapur dan berdiri di atas pondasi semen. Di belakang rumah sejarah itu, sekitar 5 – 8 meter terdapat danau baru yang disebut dengan nama Tawen Blau – yang menyatu dengan Danau Tes.

2.      Rumah M Husein
Rumah peninggalan sejarah ini dibuat saat gubernur Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Lampung, Jambi dan Sumatera Selatan) dijabat oleh putra asli Kotadonok, M. Husein. Lokasi rumah mantan gubernur Sumbagsel itu berada di depan rumah keluarga pangeran Kotadonok. Namun, berada di lereng tebing di seberang rumah keluarga pangeran Kotadonok.
 Gambar: Rumah Gubernur Sumatera Bagian Selatan
, M Husein di Kotadonok, Lebong (FOTO: Naim EP)

Bangunan yang terbuat dari tembok itu sudah berarsitektur modern seperti rumah-rumah para pembesar zaman tempoe doeloe. Rumah itu menghadap ke arah Selatan ke sebagian kawasan danau Tes, Bukit Barisan dan di belakang bukit itu ada kampung tua bernama Topos.

3.      Kubua Lai
Kubua Lai atau bahasa Indonesianya Makam Besar terletak tidak jauh dari Pacua Telai sekitar 150 meter – berada di belakang rumah keluarga dr Juni. Makam Besar tersebut menurut cerita dari mulut ke mulut sejak dulu merupakan makam para tokoh kampung Kotadonok (Kuteidonok). Namun, tidak ada yang tahu persis, siapa yang dimakamkan di Makam besar itu. Karena, tidak ada batu nisan. Hanya berupa tanah gundukan berdiamter cukup besar.
Di makam Besar itu sering sekali orang berziarah – merekapun tidak tahu persis siapa yang dikuburkan dalam Makam Besar Kotadonok itu.

4.      Pacua Telai
Desa Kotadonok yang panjangnya sekitar 6 kilometer itu banyak sekali ditemukan air sungai kecil, yang disebut Bioa Tik (Air Kecil). Ada dua sungai besar, yaitu Bioa Tiket dan Bioa Tamang. Selebihnya hanya Bioa Tik, salah satunya adalah Bioa Tik yang berada di deket Umeak Peken Kotadonok.
Gambar: Pacua Telai (tidak nampak) tidak jauh
dari warung Amin (yang ada spanduknya itu)
(FOTO: Naim EP)
Konon cerita, di Bioa Tik itu sejak zaman pangeran Kotadonok sudah dibangun tempat permainan umum yang disebut Pacua Telai (Pancuran besar). Pacua Telai berupa tempat mandi yang dibuat dari semen terdiri dari dua ruang. Ruang mandi sebelah Barat untuk kaum pria dan ruang mandi sebelah Timur untuk kaum perempaun. Kedua ruang itu dibatasi oleh tembok setinggi 2 meter.
Setiap pagi dan sore jika kita berkunjung ke Desa Kotadonok dapat melihat warga setempat mendatangi Pacua Telai, untuk mandi dan mencuci pakaian. Airnya memang jernih karena berasal dari atas pegunungan.

5.      Meriam dan Peluru Besi di Tepat Taukem
Daerah kramat ini disebut oleh masyarakat Kotadonok, Lebong dengan nama Tepat Taukem (Kramat Taukem – Rukam). Letaknya di atas bukit jalan raya antara Kotadonok dan Tes. Posisi Tepat Taukem ini persis menghadap ke Danau Tes.
Hal itu, ada kemungkinan besar berkaitan dengan sejarah asal usul suku bangsa Rejang di Lebong. Di daerah itu berdasarkan sejarah adalah pusat kerajaan Bermani.
Sayangnya, lokasi Tepat Taukem tidak terurus. Termasuk peninggal meriam besi kuno dan pelurunya. Mungkin, perlu perhatian pemerintah Kabupaten Lebong untuk menganggarkan dalam APBD anggaran perawatan dan pemeliharaan peninggalan sejarah yang tersebar di daerah Lebong.
Konon ceritanya di Tepat Taukem itu, soal peluru meriam berbentuk besi bundar itu sangat misteri. Bagi anak yang dilahirkan karena hamil sebelum nikah atau bahasa Rejangnya anok haram. Peluru besi tak bisa diangkat. Tapi, bagi mereka yang bukan masuk anok haram, peluru besi itu tidaklah terlalu berat untuk digenggam dan diangkat.

6.      Tlapok Kramat
Tlapok Kramat (telapak sakti) itu berupa bekas telapak kaki berukuran besar di lereng Tebo Diding seberang Desa Kotadonok atau di jalan menuju ke Topos pada zaman dulu. (jalan kaki).
Bekas telapak kaki tersebut diduga adalah bekas telapak kaki seorang raja tempoe doeloe, apakah dari Juru Kalang atau dari Bermani atau dari daerah lainnya. Bekas telapak itu memang tidak ditumbuhi rumput. Disitulah keanehannya. Semua warga di Kotadonok dan sekitar desa Kotadonok percaya kalau bekas telapak kaki besar yang masih ada sekarang ini adalah bekas telapak kaki orang sakti zaman dulu.

Di samping peninggalan sejarah itu, di Kotadonok banyak sekali cerita misteri, seperti Dung Ulau Tujuak, Butau Gesea, Smat belkat, Siamang Bioa, Sebei Seblekeu, kan mas lai, buwai kotong dan sebagainya.

Desa (Kampung) Kotadonok perlu direhabilitasi dengan pembangunan infrastrukturnya dengan memelihara adat istiadatnya yang termasuk adat istiadat sukubangsa Rejang. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? (Naim Emel Prahana)