Senin, 01 Februari 2016

Persoalan di Jurukalang



Oleh Anton
 
System penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah, hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang berbeda-beda (bundle of rights).
Di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Bundle of Rights dapat dilihat claim atas tanah antara Masyarakat Adat Khususnya Masyarakat Adat Jurukalang dengan Tanam Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Hutan Lindung, di mana kawasan peruntukan konservasi (Taman Nasional dan Hutan Lindung) hak kepemilikan tanah di pegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk menjunjung tinggi dan menikmati keindahan alam, sementara masyarakat adat yang berada di sekitar (Buffer Zone) memiliki hak untuk memakai (right of use) secara bersyarat sumber daya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka. Disini terlihat betapa satu pihak yang memilki hak untuk menguasai tanah, belum tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut sebaliknya kepemilikan secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan.

Satu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan. Kepastian atas pengakuan ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan mengaskan sistem hukum dan persfektif yang sama, klaim pengusan tanah antara Masyarakat Adat Jurukalang dengan basis argumen tenurial geneologis berbenturan dengan beberapa tata aturan sektoral seperti agraria dan kehutanan.
Salah satu hak adat yang terabaikan atas penguasaan tanah di Kabupaten Lebong adalah keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang, dimana tanah ulayat yang mereka kelola sejak lama ikut dimasukkan ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) tanpa ada kompromi.
Selain sejarah secara turun temurun terdapat beberapa dokumen tentang pengakuan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Adat, pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783, komunitas adat Jurukalang yang dikenal dengan sistem Petulai ini adalah kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami.
Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak dan konflik antar kelompok baik masyarakat dengan masyarakat (horizontal) maupun dengan Masyarakat dengan Negara (vertikal). Akibat penerapan pola-pola lama penguasaan atas tanah oleh Negara yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu dijadikan stigma sebagai kambing hitam pelaku kejahatan dalam mengeksploitasi sumber daya alam ataupun sebagai perusak hutan atau imbo adat.
Hal ini Sangat tidak adil dan keliru, namun demikianlah kenyataan yang terjadi sehingga ditengah masyarakat terjadi konflik vertikal antara masyarakat dengan Pemerintah dan konflik horizontal terjadinya saling tuduh antar masyarakat, dimana masyarakat yang satu dituduh sebagai perusak hutan yang berakibat pada kurangnya debit air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat itu sendiri. Begitupun dengan konflik vertikal saling tuding antara masyarakat dan pemerintah atau sebaliknya, sementara yang lain ingin menjaga dan melestarikan hutan dengan baik.
Dari kondisi yang ada tersebut, masyarakat Jurukalang yang diwakili oleh beberapa tokoh masyarakat-nya mengharapkan bahwa masyarakat ingin agar Pemerintah dan berbagai pihak lainnya mau mengakui keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang yang kini berada dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat tersebut.
Berangkat dari permasalahan yang di hadapi Masyarakat (Jurukalang), maka diperlukan ketersediaan berbagai data dan informasi yang menyangkut keberadaan masyarakat Jurukalang dan pengelolaan wilayah adatnya. Kejelasan data dan informasi tentang kondisi faktual secara fisik dan sosial keberadaan masyarakat adat Jurukalang akan di gali dengan sistem pengalian data dasar. Data dan informasi ini akan menjadi salah satu bahan bagi upaya mendorong pengakuan oleh multi stakeholders terhadap eksistensi, hak akses dan kontrol masyarakat adat Jurukalang atas wilayah adatnya. oleh erwin
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Bengkulu.
Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105?-108? Bujur Timur dan 02?,65’-03?,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl.
Secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha.
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)

Propil Singkat Jurukalang



John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang salah satunya adalah Joorcallang (Jurukalang), di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga Jurukalang merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
Secara fisik komunitas adat Jurukalang berada di sepanjang Hulu Sungai Ketahun dan berada di sepanjang Bukit Barisan dengan dataran tinggi yang subur yang merupakan lereng Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range yang berada pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 10 Desa Administratif dan masuk ke dalam dua Kecamatan (Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan) dan secara geografis terletak di 3º40’-3º60 LS dan 100º20’-104º30 BT, Komunitas ini memiliki luas wilayah adat ± 43.300 Ha dengan jumlah penduduk 12.767 jiwa.

Di bagian kawasan adat Jurukalang terdapat kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di sisi lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang atau Register 42 yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).

Kawasan adat yang berada di paling ujung bagian Timur Kabupaten Lebong ini mempunyai jarak tempuh 75 Km dari Pusat ibu kota Kabupaten, dan memiliki satu-satunya Desa yang belum masuk jaringan Pembangkit Listrik Negara (PLN) yaitu Desa Bandar Agung. Dengan kondisi wilayah pegunungan yang subur masyarakat Jurukalang mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan strategi dan pola pertanian tradisional yakni menggabungkan perladangan Kopi dengan Kayu Manis, tanaman Jahe, Nilam serta persawahan. Bahkan ada beberapa penduduknya mengumpulkan hasil-hasil hutan non kayu seperti rotan, madu untuk di gunakan dan di jual. Di kawasan hutan ini juga ditemui beberapa tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk pengobatan yang belum terdokumetasikan karena sebagian besar tumbuhan ini tidak muncul dalam transaksi pasar resmi.
Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Masyarakat Jurukalang mengenal kepercayaan bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU No 5 tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)

Karakteristik dan Kreativitas Perekonomian



Masyarakat Redjang Di Lebong
Oleh Naim Emel Prahana

SEIRING kemajuan zaman dan kecepatan berubahnya bidang peradaban masyarakat dunia. Bukan hanya karena pengaruh glasnot atau globalsasi. Akan tetapi dipengaruhi oleh akibat ulah manusia yang membuat tatanan kehidupan di muka bumi ini menjadi irreguler (tidak teratur) dalam regulerisasitas yang dikembangkan melalui berbagai teori dan kemjauan ilmu pengetahuan.
Namun perkembangan masyarakat dunia di berbagai belahan bumi ini tidak merata. Ada yang super maju dan ada yang super terisolir dengan peradaban tradisionalnya. Seperti yang terjadi di beberapa negara di benua Asia, Afrika, Australia dan kepulauan di Samudera Pasifik. Banyak negara dengan masyarakatnya yang terkebelakang. Ketika masyarakat terkebelakang itu sedikit mengalami kemajuan, khususnya pengaruhi globalisasi teknologi. Maka, akan muncul arus pemberontakan yang akan menghabiskan tenaga, pikiran dan harta benda.
Kondisi daerah Lebong yang luas keseluruhannya wilayahnya 192.424 hektar menempati posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta masuk dalam klasifikasi daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl (di atas permukaan laut), terbagi ke dalam 6 wilayah kecamatan adminsitratif, 77 desa dan luas total keseluruhan wilayah Lebong seluas 134.834,55 hektar yang berada pada kawasan Konservasi dengan perincian: (1) Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 hektar, (2) Hutan Lindung 20.777,40 hektar, (3) Cagar Alam 3.022,15 hektar dan (4) wilayah pemukiman penduduk seluas 192.424 hektar.
Kabupaten Lebong berdiri hasil pemekaran wilayah Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39 tahun 2003. Namun, Surat keputusan (SK) Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang menetapkan luasnya areal kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) seluas 111.035,00 hektar. Kawasan TNKS itu kemudian ditegaskan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI melalui SK No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi.
SK Menhutbun itu mengokohkan kawasan hutan di Reimbo Pengadang sebagai “kawasan hutan lindung” Register 42 dan Kawasan Lindung Boven Lais yang semula pengukuhan kawasan Hutan Lindung itu merupakan produk Pemerintahan Kolonial Belanda tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW). Pada umumnya, daerah Lebong merupakan daerah yang subur, bukan hanya terletak pada sepanjang dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan. Akan tetapi, struktur tanah di daerah Lebong memang subur sekali dengan curah hujan sepanjang tahun sangat tinggi.
Seharusnya masyarakat Lebong lebih makmur dibandingkan masyarakat lainnya di provinsi Bengkulu. Kenyataan yang ada sangat kontorvresi antara kondisi sosial masyarakat Lebong dengan kesuburan daerah tersebut. Tentu, ada beberapa hal yang salah dalam perkembangan dan pembangunan di daerah Lebong. Hal itu mengingatkan kita semua, bahwa masyarakat Lebong sejak zaman Bikau, Ajai-Ajai dan zaman penjajahan adalah masyarakat yang sejahtera, makmur dan berkeadilan dalam menerapkan norma-norma hukum adat masyarakatnya. Walaupun areal pertanian (padi) di Lebong tidak cukup luas, akan tetapi karena jumlah penduduknya yang relatif lamban pertumbuhannya, pada umumnya masyarakat Lebong bermata pencaharian dari sektor pertanian padi (sawah dan ladang). Secara perlahan-lahan penggarapan dan pengolahan pertanian bidang pada ladang, ditinggalkan. Pertanian padi sawah masih tetap menjadi primadona.
Aktivitas pertanian masyarakat Lebong tersebut, memang masih menggunakan pola tradisional. Artinya, mereka bercocok tanam padi sawah hanya sekali setahun menggunakan bibit padi usia enam bulan lebih. Masyarakat petani di Lebong yang beberapa kawasan persawahannya mereka sudah mengenal sistem irigasi. Sekali lagi mereka belum memanfaatkan teknologi pertanian untuk meningkatkan hasil pertanian mereka.
Untuk menopang (mendukung) hasil pertanian pada saat vacumnya kegiatan bercocok tanam. Itulah masyarakat Lebong menggarap usaha perkebunan secara tradisional yang menanam jenis tanaman seperti kopi, jenis-jenis jambu, jeruk, kemiri, nangka, kulit manis dan sebagainya. Hanya yang dijadikan komoditas unggulan adalah tanaman kopi. Di sisi lain, dukungan sektor pertanian oleh masyarakat Lebong terlihat pada kegiatan usaha dan upaya mereka untuk menggenapkan kebutuhan rumah tangga seperti mencari ikan sepanjang aliran Sungai Ketahun. Hanya saja, kegiatan itu belum memberikan kontribusi komoditas yang baik hasilnya untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Ada beberapa daerah yang melakukan aktivitas pertanian secara khusus, seperti masyarakat di Topos yang sejak zaman dahulu kala menggemari usaha berkebun tembakau. Tidak heran kalau tembakau asal Topos begitu terkenal di daerah Sumatera Bagian Selatan. Dan, sekarang kegiatan pertanian sektor itu sudah banyak ditinggalkan, bahkan nyaris dilupakan generasi masyarakat sekarang di Topos.

Waktu Kecil Di Kampung



SEKEDAR RENUNGAN
‘Mungkin’ tidak pantas membandingkan zaman dahulu kala dengan zaman sekarang ini. Akan tetapi, sebagai ‘renungan’, itu sangat pantas. Di era tahun 1975 ke bawah (1974, 1973, 1972 dst) kehidupan masyarakat di Lebong, di mana saja tempat tinggalnya, dalam keadaan harmonis, damai, sejahtera dan makmur (dalam sisi ekonomi keluarga).
Masing-masing keluarga sudah biasa memiliki simpanan padi di Tuwoa (rumah temat menyimpan hasil panen) yang biasanya di setiap Desa itu ada lokasinya. Rata-rata Tuwoa itu berukuran sekitar 3 X 5 meter. Dbangun dengan sederhana, tetapi kekuatan bahan bangunannya cukup bagus, walau terbuat dari Plupuak (bamboo yang dibelah dan dicacah), beratap rumbia atau ijuk dan ada yang sudah beratap seng. Lantainya terbuat dari papan.
Dari musim ke musim panen, Tuwoa Orang Rejang di Lebong (dan di daerah lain di Tanah Rejang), jarang yang kosong. Kendati sedikit isinya, tetapi tetap cukup. Yang lebih mengesankan lagi adalah, tidak pernah ada aksi pencurian padi di dalam Tuwoa. Walaupun pintunya hanya dikunci dengan kunci merek Diamond.

Masyarakat Rejang d Lebong memiliki manajemen usaha pertanian dengan baik, walau sederhana. Artinya, mereka mampu meminit waktu pengerjaan sawah, menggarap dan memelihara kebun dan melakukan pekerjaan tambahan sebagai sumbrer mata pencarian lain untuk memenuhi kebutuhan skundair keluarga masing-masing.

Sudah tidak asing lagi, anak0anak usia sekolah (khususnya SD) di Lebong sepanjang waktu banyak ditinggalkan di Kampung/desa. Sementara itu orang tua mereka menginap di sawah atau kebun/lading atau melakukan pencarian usaha sampingan lainnya. Anak-anak di rumah hanya ditinggalkan beras, dan ada garam secukupnya.

Yang paling indah dalam kehidupan zaman itu adalah bagaimana anak-anak usia SD ditinggal di kampong memenuhi kebutuhan makan, minum dan lainnya selama orangtua mereka di sawah, lading atau kebun.

Itulah, anak-anak seusia SD itu di zaman tersebut, sudah terbiasa mencari bahan lauk pauk dengan cari memancing ikan, memasang Tajua, menjala, menjaring, betekoa, nyeuyuk, mencar sayuran di pinggir-pinggir sungai. Kemudian mereka secara berkelompok mencari kayu baker dengan menggunakan pane atau bobot kecil.

Tidak ada yang terlihat mondar-mandir siang hari dan malam hari di jalanan kampong. Dan ketika malam tiba, mereka pergi ke rumah guru ngaji. Biaya mengaji diukur dengan beras, bukan uang atau dengan minyak tanah.

Demikianlah kenang-kenangan terindah di kampung swaktu kecil di masa itu. Dan sekarang apakah tradisi itu masih ada? Astaqfirullah……semoga tanah kelahiranku tetap jaya, subur dan makmur dengan masyarakatnya yang guyup bukan bersifat patembayan (materi)

Desa Kotadonok



Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini, dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama tersebut.

Kotadonok termasuk salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman), Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan Hindia Belanda. 

Kotadonok berjarak 40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.

Alasan kenapa Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.

Tanda-tanda sebagai desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di desa/kampung Kotadonok.

Jika pada tahun 2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.

Desa Kotadonok (sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua) jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama ‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5 (lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga Imansyah. 

Perekonomian
Perekonomian di desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan beragam.
Harus diakui, sejak lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI, Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni. Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat. Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa Kotadonok.
Namun sejak tahun 1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun, banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.

Orangtua (Orang Tua)
Pemanggilan (panggilan), penyebutan (sebutan) nama ‘orangtua’ mempunyai fungsi, status dan makna yang luas. Di samping perbedaan-perbedaan memanggil berdasarkan waktu, tempat dan keadaan.
Panggilan orangtua, dimaksudkan:
1.      untuk menyebut dan memanggil orang-orang yang memang usianya lebih tua dari usia orang yang memanggil atau menyebutnya;
2.      untuk mengatakan bahwa ‘orangtua’ itu adalah bapak dari seseorang. Misalnya anak sekolah. Orang akan menyebut dengan “orangtua si anu namanya Badu..” (naim emel prahana)