Senin, 01 Februari 2016
Persoalan di Jurukalang
Oleh Anton
System penguasaan tanah menjelaskan hak-hak yang dimiliki atas tanah,
hak atas tanah jarang di pegang oleh satu pihak saja. Pada saat yang sama di
bidang tanah yang sama, bisa saja terdapat sejumlah pihak yang memiliki hak
penguasaan atas tanah tersebut secara bersamaan tetapi dengan sifat hak yang
berbeda-beda (bundle of rights).
Di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu Bundle of Rights dapat dilihat
claim atas tanah antara Masyarakat Adat Khususnya Masyarakat Adat Jurukalang
dengan Tanam Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) dan Hutan Lindung, di mana kawasan
peruntukan konservasi (Taman Nasional dan Hutan Lindung) hak kepemilikan tanah
di pegang oleh negara, namun setiap warga negara memiliki hak untuk menjunjung
tinggi dan menikmati keindahan alam, sementara masyarakat adat yang berada di
sekitar (Buffer Zone) memiliki hak untuk memakai (right of use) secara
bersyarat sumber daya alam yang terdapat di atasnya untuk kesejahteraan mereka.
Disini terlihat betapa satu pihak yang memilki hak untuk menguasai tanah, belum
tentu memegang hak kepemilikan atas tanah tersebut sebaliknya kepemilikan
secara pasti merupakan sebentuk hak penguasaan.
Satu hal yang sangat penting sehubungan dengan sistem penguasaan tanah adalah jaminan kepastian terhadap hak penguasaan. Kepastian atas pengakuan ini hanya mungkin terjadi jika semua pihak mengakui dan mengaskan sistem hukum dan persfektif yang sama, klaim pengusan tanah antara Masyarakat Adat Jurukalang dengan basis argumen tenurial geneologis berbenturan dengan beberapa tata aturan sektoral seperti agraria dan kehutanan.
Salah satu hak adat yang terabaikan atas penguasaan tanah di Kabupaten
Lebong adalah keberadaan wilayah adat komunitas Jurukalang, dimana tanah ulayat
yang mereka kelola sejak lama ikut dimasukkan ke dalam kawasan Taman Nasional
Kerinci Sebelat (TNKS) tanpa ada kompromi.
Selain sejarah secara turun temurun terdapat beberapa dokumen tentang
pengakuan bahwa tanah tersebut adalah Tanah Adat, pernyataan J. Walland tahun
1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan
diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783, komunitas adat
Jurukalang yang dikenal dengan sistem Petulai ini adalah kesatuan kekeluargaan
yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang
patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami.
Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal
ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat
rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan
masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya
guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas
anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi
melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan
keamanan yang tinggi.
Anggapan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya kontak dan
konflik antar kelompok baik masyarakat dengan masyarakat (horizontal) maupun
dengan Masyarakat dengan Negara (vertikal). Akibat penerapan pola-pola lama
penguasaan atas tanah oleh Negara yang seharusnya lebih memperhatikan kebutuhan
masyarakat justru sebaliknya memberikan contoh buruk, bahkan masyarakat selalu
dijadikan stigma sebagai kambing hitam pelaku kejahatan dalam mengeksploitasi
sumber daya alam ataupun sebagai perusak hutan atau imbo adat.
Hal ini Sangat tidak adil dan keliru, namun demikianlah kenyataan yang
terjadi sehingga ditengah masyarakat terjadi konflik vertikal antara masyarakat
dengan Pemerintah dan konflik horizontal terjadinya saling tuduh antar
masyarakat, dimana masyarakat yang satu dituduh sebagai perusak hutan yang
berakibat pada kurangnya debit air yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat itu
sendiri. Begitupun dengan konflik vertikal saling tuding antara masyarakat dan
pemerintah atau sebaliknya, sementara yang lain ingin menjaga dan melestarikan
hutan dengan baik.
Dari kondisi yang ada tersebut, masyarakat Jurukalang yang diwakili
oleh beberapa tokoh masyarakat-nya mengharapkan bahwa masyarakat ingin agar
Pemerintah dan berbagai pihak lainnya mau mengakui keberadaan wilayah adat
komunitas Jurukalang yang kini berada dalam Kawasan Taman Nasional Kerinci
Sebelat tersebut.
Berangkat dari permasalahan yang di hadapi Masyarakat (Jurukalang),
maka diperlukan ketersediaan berbagai data dan informasi yang menyangkut
keberadaan masyarakat Jurukalang dan pengelolaan wilayah adatnya. Kejelasan
data dan informasi tentang kondisi faktual secara fisik dan sosial keberadaan
masyarakat adat Jurukalang akan di gali dengan sistem pengalian data dasar.
Data dan informasi ini akan menjadi salah satu bahan bagi upaya mendorong
pengakuan oleh multi stakeholders terhadap eksistensi, hak akses dan kontrol
masyarakat adat Jurukalang atas wilayah adatnya. oleh erwin
Kabupaten Lebong merupakan salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi
Bengkulu.
Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105?-108? Bujur Timur dan 02?,65’-03?,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl.
Kabupaten Lebong beribukota di Muaraaman. Kabupaten Lebong dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No.39 Tahun 2003.
Kabupaten ini terletak di posisi 105?-108? Bujur Timur dan 02?,65’-03?,60’ Lintang Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl.
Secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 6
Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas
134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman
Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar
Alam 3.022,15 Ha.
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)
Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen. (Ditulis/ Diposkan oleh Anton)
Propil Singkat Jurukalang
John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang
adanya empat Petulai Rejang salah satunya adalah Joorcallang (Jurukalang), di
sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de
Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga Jurukalang
merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
Secara fisik komunitas adat Jurukalang berada di sepanjang Hulu Sungai Ketahun dan berada di sepanjang Bukit Barisan dengan dataran tinggi yang subur yang merupakan lereng Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range yang berada pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 10 Desa Administratif dan masuk ke dalam dua Kecamatan (Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan) dan secara geografis terletak di 3º40’-3º60 LS dan 100º20’-104º30 BT, Komunitas ini memiliki luas wilayah adat ± 43.300 Ha dengan jumlah penduduk 12.767 jiwa.
Secara fisik komunitas adat Jurukalang berada di sepanjang Hulu Sungai Ketahun dan berada di sepanjang Bukit Barisan dengan dataran tinggi yang subur yang merupakan lereng Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range yang berada pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 10 Desa Administratif dan masuk ke dalam dua Kecamatan (Kecamatan Rimbo Pengadang dan Kecamatan Lebong Selatan) dan secara geografis terletak di 3º40’-3º60 LS dan 100º20’-104º30 BT, Komunitas ini memiliki luas wilayah adat ± 43.300 Ha dengan jumlah penduduk 12.767 jiwa.
Di bagian kawasan adat Jurukalang terdapat kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di sisi lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang atau Register 42 yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Kawasan adat yang berada di paling ujung bagian Timur Kabupaten Lebong ini mempunyai jarak tempuh 75 Km dari Pusat ibu kota Kabupaten, dan memiliki satu-satunya Desa yang belum masuk jaringan Pembangkit Listrik Negara (PLN) yaitu Desa Bandar Agung. Dengan kondisi wilayah pegunungan yang subur masyarakat Jurukalang mengandalkan hidupnya pada sektor kehutanan dengan strategi dan pola pertanian tradisional yakni menggabungkan perladangan Kopi dengan Kayu Manis, tanaman Jahe, Nilam serta persawahan. Bahkan ada beberapa penduduknya mengumpulkan hasil-hasil hutan non kayu seperti rotan, madu untuk di gunakan dan di jual. Di kawasan hutan ini juga ditemui beberapa tumbuhan hutan yang diketahui khasiatnya untuk pengobatan yang belum terdokumetasikan karena sebagian besar tumbuhan ini tidak muncul dalam transaksi pasar resmi.
Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang
teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah
atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai),
perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya
mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan
membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta
turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei,
kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu
seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan
adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan
dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon
madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang
pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai kiyeu celako
demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan
keberlanjutan sumber daya alam. Masyarakat Jurukalang mengenal kepercayaan
bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus
dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam mereka mengenal dengan tuweak
celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas
masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar
tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun
rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang
berdasarkan falsafah bejenjang kenek
betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari
strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU No 5 tahun 1979,
pola begilia diganti dengan pemilu. (Ditulis/
Diposkan oleh Anton)
Karakteristik dan Kreativitas Perekonomian
Masyarakat Redjang Di Lebong
Oleh Naim Emel Prahana
SEIRING kemajuan zaman dan kecepatan berubahnya bidang peradaban
masyarakat dunia. Bukan hanya karena pengaruh glasnot atau globalsasi. Akan
tetapi dipengaruhi oleh akibat ulah manusia yang membuat tatanan kehidupan di
muka bumi ini menjadi irreguler (tidak teratur) dalam regulerisasitas yang
dikembangkan melalui berbagai teori dan kemjauan ilmu pengetahuan.
Namun perkembangan masyarakat dunia di berbagai belahan bumi ini tidak
merata. Ada yang super maju dan ada yang super terisolir dengan peradaban tradisionalnya.
Seperti yang terjadi di beberapa negara di benua Asia, Afrika, Australia dan
kepulauan di Samudera Pasifik. Banyak negara dengan masyarakatnya yang
terkebelakang. Ketika masyarakat terkebelakang itu sedikit mengalami kemajuan,
khususnya pengaruhi globalisasi teknologi. Maka, akan muncul arus pemberontakan
yang akan menghabiskan tenaga, pikiran dan harta benda.
Kondisi daerah Lebong yang luas keseluruhannya wilayahnya 192.424
hektar menempati posisi 105º-108º Bujur Timur dan 02º,65’-03º,60’ Lintang
Selatan di sepanjang Bukit Barisan serta masuk dalam klasifikasi daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000
dpl (di atas permukaan laut), terbagi
ke dalam 6 wilayah kecamatan adminsitratif, 77 desa dan luas total keseluruhan
wilayah Lebong seluas 134.834,55 hektar yang berada pada kawasan Konservasi
dengan perincian: (1) Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 hektar,
(2) Hutan Lindung 20.777,40 hektar, (3) Cagar Alam 3.022,15 hektar dan (4)
wilayah pemukiman penduduk seluas 192.424 hektar.
Kabupaten Lebong berdiri hasil pemekaran wilayah Kabupaten Rejang
Lebong berdasarkan UU No 39 tahun 2003. Namun, Surat keputusan (SK) Menteri
Pertanian No 736/Mentan/X/1982 yang menetapkan luasnya areal kawasan Taman
Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) seluas 111.035,00 hektar. Kawasan TNKS itu
kemudian ditegaskan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI melalui SK No
901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi.
SK Menhutbun itu mengokohkan kawasan hutan di Reimbo Pengadang sebagai
“kawasan hutan lindung” Register 42 dan Kawasan Lindung Boven Lais yang semula
pengukuhan kawasan Hutan Lindung itu merupakan produk Pemerintahan Kolonial
Belanda tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW). Pada umumnya, daerah Lebong merupakan daerah yang
subur, bukan hanya terletak pada sepanjang dataran tinggi pegunungan Bukit
Barisan. Akan tetapi, struktur tanah di daerah Lebong memang subur sekali
dengan curah hujan sepanjang tahun sangat tinggi.
Seharusnya masyarakat Lebong lebih makmur dibandingkan masyarakat
lainnya di provinsi Bengkulu. Kenyataan yang ada sangat kontorvresi antara
kondisi sosial masyarakat Lebong dengan kesuburan daerah tersebut. Tentu, ada
beberapa hal yang salah dalam perkembangan dan pembangunan di daerah Lebong.
Hal itu mengingatkan kita semua, bahwa masyarakat Lebong sejak zaman Bikau,
Ajai-Ajai dan zaman penjajahan adalah masyarakat yang sejahtera, makmur dan
berkeadilan dalam menerapkan norma-norma hukum adat masyarakatnya. Walaupun
areal pertanian (padi) di Lebong tidak cukup luas, akan tetapi karena jumlah
penduduknya yang relatif lamban pertumbuhannya, pada umumnya masyarakat Lebong
bermata pencaharian dari sektor pertanian padi (sawah dan ladang). Secara
perlahan-lahan penggarapan dan pengolahan pertanian bidang pada ladang, ditinggalkan.
Pertanian padi sawah masih tetap menjadi primadona.
Aktivitas pertanian masyarakat Lebong tersebut, memang masih
menggunakan pola tradisional. Artinya, mereka bercocok tanam padi sawah hanya
sekali setahun menggunakan bibit padi usia enam bulan lebih. Masyarakat petani
di Lebong yang beberapa kawasan persawahannya mereka sudah mengenal sistem
irigasi. Sekali lagi mereka belum memanfaatkan teknologi pertanian untuk
meningkatkan hasil pertanian mereka.
Untuk menopang (mendukung) hasil pertanian pada saat vacumnya kegiatan
bercocok tanam. Itulah masyarakat Lebong menggarap usaha perkebunan secara
tradisional yang menanam jenis tanaman seperti kopi, jenis-jenis jambu, jeruk,
kemiri, nangka, kulit manis dan sebagainya. Hanya yang dijadikan komoditas unggulan
adalah tanaman kopi. Di sisi lain, dukungan sektor pertanian oleh masyarakat
Lebong terlihat pada kegiatan usaha dan upaya mereka untuk menggenapkan
kebutuhan rumah tangga seperti mencari ikan sepanjang aliran Sungai Ketahun.
Hanya saja, kegiatan itu belum memberikan kontribusi komoditas yang baik
hasilnya untuk kebutuhan rumah tangga sehari-hari.
Ada beberapa daerah yang melakukan aktivitas pertanian secara khusus,
seperti masyarakat di Topos yang sejak zaman dahulu kala menggemari usaha
berkebun tembakau. Tidak heran kalau tembakau asal Topos begitu terkenal di
daerah Sumatera Bagian Selatan. Dan, sekarang kegiatan pertanian sektor itu
sudah banyak ditinggalkan, bahkan nyaris dilupakan generasi masyarakat sekarang
di Topos.
Waktu Kecil Di Kampung
SEKEDAR RENUNGAN
‘Mungkin’ tidak pantas membandingkan zaman dahulu kala dengan zaman
sekarang ini. Akan tetapi, sebagai ‘renungan’, itu sangat pantas. Di era tahun
1975 ke bawah (1974, 1973, 1972 dst) kehidupan masyarakat di Lebong, di mana
saja tempat tinggalnya, dalam keadaan harmonis, damai, sejahtera dan makmur
(dalam sisi ekonomi keluarga).
Masing-masing keluarga sudah biasa memiliki simpanan padi di Tuwoa
(rumah temat menyimpan hasil panen) yang biasanya di setiap Desa itu ada
lokasinya. Rata-rata Tuwoa itu berukuran sekitar 3 X 5 meter. Dbangun dengan
sederhana, tetapi kekuatan bahan bangunannya cukup bagus, walau terbuat dari
Plupuak (bamboo yang dibelah dan dicacah), beratap rumbia atau ijuk dan ada yang
sudah beratap seng. Lantainya terbuat dari papan.
Dari musim ke musim panen, Tuwoa Orang Rejang di Lebong (dan di daerah
lain di Tanah Rejang), jarang yang kosong. Kendati sedikit isinya, tetapi tetap
cukup. Yang lebih mengesankan lagi adalah, tidak pernah ada aksi pencurian padi
di dalam Tuwoa. Walaupun pintunya hanya dikunci dengan kunci merek Diamond.
Masyarakat Rejang d Lebong memiliki manajemen usaha pertanian dengan
baik, walau sederhana. Artinya, mereka mampu meminit waktu pengerjaan sawah,
menggarap dan memelihara kebun dan melakukan pekerjaan tambahan sebagai sumbrer
mata pencarian lain untuk memenuhi kebutuhan skundair keluarga masing-masing.
Sudah tidak asing lagi, anak0anak usia sekolah (khususnya SD) di
Lebong sepanjang waktu banyak ditinggalkan di Kampung/desa. Sementara itu orang
tua mereka menginap di sawah atau kebun/lading atau melakukan pencarian usaha
sampingan lainnya. Anak-anak di rumah hanya ditinggalkan beras, dan ada garam
secukupnya.
Yang paling indah dalam kehidupan zaman itu adalah bagaimana anak-anak
usia SD ditinggal di kampong memenuhi kebutuhan makan, minum dan lainnya selama
orangtua mereka di sawah, lading atau kebun.
Itulah, anak-anak seusia SD itu di zaman tersebut, sudah terbiasa
mencari bahan lauk pauk dengan cari memancing ikan, memasang Tajua, menjala,
menjaring, betekoa, nyeuyuk, mencar sayuran di pinggir-pinggir sungai. Kemudian
mereka secara berkelompok mencari kayu baker dengan menggunakan pane atau bobot
kecil.
Tidak ada yang terlihat mondar-mandir siang hari dan malam hari di
jalanan kampong. Dan ketika malam tiba, mereka pergi ke rumah guru ngaji. Biaya
mengaji diukur dengan beras, bukan uang atau dengan minyak tanah.
Demikianlah kenang-kenangan terindah di kampung swaktu kecil di masa
itu. Dan sekarang apakah tradisi itu masih ada? Astaqfirullah……semoga tanah
kelahiranku tetap jaya, subur dan makmur dengan masyarakatnya yang guyup bukan
bersifat patembayan (materi)
Desa Kotadonok
Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini, dulunya bernama Kutei
Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa Kotadonok (bisa
ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV Masehi atau jauh
sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei Donok menjadi
Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia merdeka). Namun,
tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama tersebut.
Kotadonok termasuk salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong,
khususnya di Lebong, bersama desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus),
Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman), Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa
desa tua lainnya. Kotadonok semakin penting ketika zaman penjajhan VOC yang di
dalamnya terdapat pemerintahan Hindia Belanda.
Kotadonok berjarak 40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten
RejangLebong dan berjarak 30 km dari Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong
(sekarang ini). Zaman pemerintahan kolonil Hindia Belanda, struktur
kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem pemimpin Pangeran. Kotadonok juga
pernah menjadi ibukota Marga Bermani Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan
lama.
Alasan kenapa Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah
di desa itu, karena Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan
Jurukalang. Sistem pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya
di Bermani Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin
(orang tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan
itu merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya
pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di
tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.
Tanda-tanda sebagai desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari
jenis tumbuhan berupa pohon kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki
ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah
jarang dijumpai lagi, karena usianya uang sudah terlalu tua dan tidak
menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan ditebang. Kelapa yang umurnya
sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di Kotadonok, kalaupun masih ada
satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar Masjid Nurul Iman, belakang
kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok diperkirakan sudah berdiri sejak abad
ke XV. Perkiraan itu memungkinkan penelusuran usia desa melalui usia warga
masyarakat (orang tertua) di desa/kampung Kotadonok.
Jika pada tahun 2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang
berumur 90 tahun yang berarti lahir pada tahun 1919 di atas mereka
(orangtuanya) yang juga diperkirakan usia mereka mencapai 90 tahun dengan
kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau diperkirakan usia rata-rata 90
tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah lama berdiri. Dan, mereka itu
masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman Ajai-ajai atau zaman Bikau di
tanah Lebong.
Desa Kotadonok (sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki
ciri khas yang mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok
memiliki 2 (dua) jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama,
jembatan Bioa Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket
kurang lebih panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang
yang membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut
dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama
‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5
(lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga
Imansyah.
Perekonomian
Perekonomian di desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975
dan saat itu beberapa lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian
juga lahan persawahan sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai
Tlangratau (Desa Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya
dengan alasan beragam.
Harus diakui, sejak lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan
kesejahteraannya banyak ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional.
Kedua, hasil pertanian padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber
kehidupan masyarakatnya. Masyarakat Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan
menggarap lahan pertanian ladang sejak tahun 1970. Areal tanaman ladang
masyarakat Kotadonok sejak lama berada di bukit di atas Kotadonok menuju
kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten Daet, Tebo Diding, lokasi Daet
Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan tanahnya sangat cocok untuk
bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan
orang-orang Kotadonok sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi
anggota ABRI/TNI, Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta.
Oleh karena itu, semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak
berpenghuni. Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan
masyarakat Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian
mereka.
Masyarakat Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada
di banyak tempat. Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba
Anyar dan Turun Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan
Sungai Ketahun antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan
Bioa Putiak dan areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah
dan sumber airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km
dari Desa Kotadonok.
Namun sejak tahun 1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok
sangat terasa yang salah satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa
itu mengadu nasib di luar daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu,
Palembang, Riau bahkan ke luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan
kepergian orang-orang Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa
Kotadonok merantau ke kota tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka
berupaya secara mandiri. Namun, banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di
daerah di luar Bengkulu, tidak mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok
secara umum.
Orangtua (Orang Tua)
Pemanggilan (panggilan), penyebutan (sebutan) nama ‘orangtua’
mempunyai fungsi, status dan makna yang luas. Di samping perbedaan-perbedaan
memanggil berdasarkan waktu, tempat dan keadaan.
Panggilan orangtua, dimaksudkan:
1.
untuk
menyebut dan memanggil orang-orang yang memang usianya lebih tua dari usia
orang yang memanggil atau menyebutnya;
2.
untuk
mengatakan bahwa ‘orangtua’ itu adalah bapak dari seseorang. Misalnya anak
sekolah. Orang akan menyebut dengan “orangtua si anu namanya Badu..” (naim emel prahana)
Langganan:
Postingan (Atom)