serial Cerita Rakyat Bengkulu (jilid 3)
DI Desa Kotadonok banyak didapati tempat-tempat yang
dianggap keramat oleh masyarakatnya. Salah satu tempat yang dianggap mempunyai
nilai misteri adalah Butau Gesea (
Batu Hampir Jatuh ). Letak batu itu memang menakjubkan, di samping berada di
lereng bukit terjal, dan nampak hanya tertanam sedikit di tanah. Batu itu tidak
pernah jatuh atau menggelinding ke bawah.
Batu
yang aneh bin ajaib itu letaknya diseberang Desa Kotadonok atau tepatnya di
lokasi yang dinamakan Teluk Lem ( Teluk Dalam ), yang tertanam di tanam sekitar
25 meter dari permukaan air Danau Tes. Konon ceritanya, batu yang permukaannya
tidak lebih dari 8 meter persegi itu adalah tempat Raja Tepat Rukam mengadakan
pertemuan membahas masalah-masalah penting.
Walau
permukaan batu itu hanya selebar tikar berukuran 1,5 X 1,5 meter, tapi dapat
menampung sekitar 30 orang yang duduk bersila. Bukankah itu hal yang aneh bagi manusia?
Tepat di
bawah batu itu terdapat Serawung Dung
Ulau Tujuak ( Gua Ular Kepala Tujuh ). Di sisi kiri batu tersebut terdapat
jalan setapak masyarakat yang pergi ke kebun. Tentunya, jalan setapak itu
menaiki lereng bukit yang cukup terjal. Hanya saja masih banyak ditumbuhi
pohon-pohon besar. Jadi, tidak kepanasan atau kepayahan untuk mendakinya.
Sampai
sekarang Butau Gesea itu masih sering dikunjungi orang dari berbagai tempat, di
atas batu itu mereka membakar kemenyan sebagai tradisi budaya masyarakat
setempat. Batau Gesea itu memang berseberangan dengan bekas Istana Kerajaan
Tepat Rukem atau dalam bahasa Rejangnya disebut Tepat Taukem. Tepat berarti keramat dan Taukem mempunyai arti
Rukam, nama sebuah kerajaan di Lebong zaman dahulu kala.
Di lokasi Butau Gesea orang
tidak sembarangan bicara,
karena takut penunggu daerah keramat itu melakukan
tindakan balas dendam. Apalagi bicara takabur seakan-akan diri adalah orang
hebat.FOTO: NAIM EMEL PRAHANA
Pada
suatu saat seorang raja Tepat Rukam pusing memikirkan kejadian-kejadian di negerinya,
maka pergilah ia ke Butau Gesea untuk menenangkan pikiran dan mencari pemecahan
masalah-masalah di dalam negerinya. Namun, ia tak lupa berpesan agar para
penasehat, menteri kerajaan agar menghadap dirinya di Butau Gesea. Tentu saja
kepergian Raja Tepat Rukam ke Butau Gesea itu tidak diketahui oleh rakyatnya.
Sebab, kalau diketahui oleh rakyatnya dikhawatirkan akan diketahui oleh
orang-orang yang akan berbuat jahat di negeri Tepat Rukam. Cukup diketahui oleh
orang dekat dengan raja.
Pada
suatu malam sang raja sudah duduk di atas Butau Gesea menghadap ke Danau Tes
yang terletak di bawahnya, bertepatan diseberangnya istana kerajaan. Raja Tepat
Rukam sudah dikelilingi oleh pembantu-pembantunya. Malam itu memang malam
purnama. Dari celah dedaunan pohon – pohon besar mengelilingi Butau Gesea,
sinar rembulan nampak seperti sutera menembus bumi. Keadaan saat itu hening,
sunyi dan sepi sekali.
“Para
penasihat dan menteri kerajaan, malam itu sengaja saya mengundang datang ke
sini untuk membicarakan hal-hal penting di negeri kita,” ucap sang raja membuka
pembicaraan. Malam itu memang hadir tiga penasihat dan 5 menteri raja.
“Saya ingin
mendapatkan masukan-masukan untuk memecahkan persoalan yang menimpa rakyat
Kerajaan Tepat Rukam,” kata raja lagi dengan bicaranya yang tenang dan duduknya
yang tak bergeming sedikitpun. Sadarlah para penasihat dan menteri, kalau
mereka dipanggil ke Butau Gesea itu karena urusan yang sangat penting. Mereka
tak berani bicara sembarangan malam itu.
“ Kalaulah
boleh hamba tahu Tuan Raja, gerangan apakah yang menjadi pikiran Tuan Raja tak
bisa tenang,” tanya salah seorang penasihat dengan bahasa yang halus dan
hati-hati. Sang raja menatap penasihatnya yang sudah agak tua itu. Lalu ia
berkata, “ Begini, akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di negeri kita yang
membuat rakyat tidak berani lagi ke sawah atau ke ladang. Sekiranya para
penasihat dan menteri tahu, siapakah orang yang membuat kacau negeri ini?” kata
sang raja. Semua yang hadir terdiam.
Setelah
raja menyampaikan masalahnya, semua diam, termasuk sang raja sendiri.
Seakan-akan mereka sedang mencari jawaban yang tepat dan pas, agar raja dapat
memutuskan kebijakannya yang akan
diambil demi kepentingan rakyat banyak. Keadaan malam itu memang hening
wajah-wajah mereka di atas Butau Gesea itu diterpa sinar rembulan yang
menerobos dari celah dedaunan. Terlihatlah kalau wajah mereka begitu tegang,
termasuk wajah sang raja.
“Tuan Raja
yang mulia, menurut pengetahuan hamba ketakutan rakyat selama ini memang
berasal dari sekelompok perampok yang berkeliaran di sekitar kampung-kampung.
Mereka menakuti anak-anak dan orangtua,” seorang menteri menjelaskan apa yang
ia ketahui tentang latarbelakang ketakutan rakyat untuk pergi ke sawah dan
ladang mereka. Mendengar keterangan sang menteri itu, raja diam sejenak. “Dan,
bagaimana pendapat para penasihat dan menteri lainnya?” tanya sang raja.
Semua
penasihat dan menteri malam itu sependapat dengan menteri yang mengemukakan
pendapat dan masukannya kepada sang raja.
“Kalau
demikian, saya minta kelompok perampok itu segera diatasi dan hasilnya segera
dilaporkan kepada saya,” pinta sang raja. Setelah para penasihat dan menteri
menyatakan kesanggupan mereka, maka raja minta penyelesaiannya tidak boleh
lebih dari tujuh hari. Permintaan itupun tidak dapat ditolak.
Demikianlah
kisah awal tentang Butau Gesea yang dijadikan tempat menenangkan diri, tempat
pertemuan raja Tepat Rukam untuk menyelesaikan hal-hal penting yang tidak boleh
diketahui oleh rakyat Kerajaan Tepat Rukam. Butau Gesea itu dijadikan tempat
pertemuan rahasia karena letaknya menghadap pusat kerajaan dan kalau berada di
atas Butau Gesea akan nampak semua yang ada di seberangnya, yaitu di sekitar
istana raja.
Kebetulan
di dasar air Danau Tes yang dinamakan Teluk Lem, bertepatan lokasinya di bawah
letak Butau Gesea terdapat Serawung Dung
Ulau Tujuak yang bagi penduduk setempat sudah paham betul situasi dan
keadaannya. Sebab, untuk mencapai daerah itu dibutuh waktu sekitar 5—10 menit
menggunakan perahu kayu. Menurut masyarakat Kotadonok, bila suatu saat kulit
tubuh tersentuh air di Teluk Lem, kemudian terasa gatal-gatal berarti saat itu
Ular Kepala Tujuh (Dung Ulau Tujuak)
sedang berada di bawah air.
Kalau
sudah demikian, cepatlah menyingkir dari air. Sebab, dalam kepercayaan yang
sudah turun temurun disebutkan, Ular Kepala Tujuh itu dapat menjelma apa saja.
Seperti menjelma jadi pohon kayu besar yang tidak tampak ujungnya, bisa juga
menjadi ikan mas raksasa atau jelmaan lain yang memberikan peringatan kepada
penduduk agar kalau melihat benda-benda atau binatang seperti itu di Danau Tes,
supaya segera menyingkir.
Konon,
bagi siapa yang pernah melihat kayu besar atau ikan mas raksasa beralamat ada
orang yang akan meninggal dunia. Sampai sekarang legenda itu masih menjadi
perhatian penduduk Kotadonok khususnya dan penduduk Lebong pada umumnya.
Misteri di sekitar Danau Tes memang banyak, dan sampai saat ini dipercayai
memiliki kekuatan ghaib yang sering membuat penduduk sekitarnya selalu
berhati-hati bila berlayar di atas Danau Tes.
Di
seberang Teluk Lem pada zaman kerajaan Tepat Rukam terdapat tempat permandian
raja yang terbuat dari Eket ( rakit )
yang mengapung di atas permukaan air. Disanalah para raja dan keluarganya
mandi. Di daerah itu sekarang terdapat tempat rekreasi yang dinamakan Podok Lucuk ( Pondok Runcing ). Kenapa disebut dengan Podok Runcing?
Karena bentuk bangunannya bundar dan atapnya seperti kubah masjid, meruncing ke
atas.
Dan,
tidak berapa jauh dari Podok Lucuk itu dibangun lokasi sekolah Tsanawiyah
Negeri yang letaknya dipinggir Danau Tes—termasuk wilayah Desa Kotadonok. Dari
lokasi itu setiap pengunjung dapat bebas melihat keramaian di permukaan Danau
Tes para penduduk yang memiliki areal persawahan di Baten Kauk ( “Baten” adalah nama lokasi pertanian padi sawah,
sedangkan “Kauk” artinya di bawah) dan Baten
Daet ( “Daet” artinya darat atau di atas) hilir mudik dengan perahu kayu
mereka. Atau penduduk yang pekerjaannya mencari ikan di Danau Tes. Sungguh
suatu pemandangan yang sangat bagus sekali.
Cerita
mengenai Butau Gesea terkenal ke mana-mana, tidak heran pula banyak penduduk
keturunan Tionghoa yang melakukan semacam ziarah ke sana. Mereka beranggapan nenek moyang mereka
juga berasal dari daerah Lebong. Penduduk keturuan Tionghoa juga menziarahi Tepat Taukem dan beberapa tempat lain yang
dianggap keramat. Butau Gesea memang bukan istana raja Tepat Taukem, tetapi
hanya sebagai tempat pertemuan tertutup dan semedi raja-raja Tepat Taukem.
Bila
pikiran seorang raja Tepat Rukam mengalami keruwetan mengenai beberapa masalah
di kerajaannya, biasanya ia pergi ke Butau Gesea menenangkan diri, berbincang
dengan penasehat, hulubalang dan para menteri kerajaan. Butau Gesea itu sejak
lama sudah ada di sana.
Posisinya tetap seperti sediakala, tidak mengalami perubahan apa-apa. Hanya
saja sekarang ini Butau Gesea jarang dikunjungi penduduk setempat. Namun,
ceritanya tetap menjadi cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi
penduduk disekitar Danau tes. Cerita itu menjadi pelengkap kehidupan
sehari-hari di daerah sekitar Danau Tes dan terkenal ke berbagai pelosok di
tanah Lebong maupun sampai ke Bengkulu. Walaupun demikian, tidak banyak yang
mengetahui asal usul Butau Gesea tersebut.
Kesimpulan:
Cerita
Butau Gesea mengandung dua pemahaman. Pertama untuk memberitahukan kepada
masyarakat sekarang, agar tempat-tempat leluhur dahulu kala harus dijaga,
dipelihara dan jangan sampai diper-Tuhan-kan. Kedua, mengajari kita agar tidak
berlaku sombong, walau punya kedudukan dan jabatan. Berlaku hidup wajar-wajar
saja, serta selalu menghargai pendapat orang lain, kendati pendapat itu salah.