Rabu, 01 Juni 2016

Butau Gesea



serial Cerita Rakyat Bengkulu (jilid 3)

DI Desa Kotadonok banyak didapati tempat-tempat yang dianggap keramat oleh masyarakatnya. Salah satu tempat yang dianggap mempunyai nilai misteri adalah Butau Gesea ( Batu Hampir Jatuh ). Letak batu itu memang menakjubkan, di samping berada di lereng bukit terjal, dan nampak hanya tertanam sedikit di tanah. Batu itu tidak pernah jatuh atau menggelinding ke bawah.
Batu yang aneh bin ajaib itu letaknya diseberang Desa Kotadonok atau tepatnya di lokasi yang dinamakan Teluk Lem ( Teluk Dalam ), yang tertanam di tanam sekitar 25 meter dari permukaan air Danau Tes. Konon ceritanya, batu yang permukaannya tidak lebih dari 8 meter persegi itu adalah tempat Raja Tepat Rukam mengadakan pertemuan membahas masalah-masalah penting.
Walau permukaan batu itu hanya selebar tikar berukuran 1,5 X 1,5 meter, tapi dapat menampung sekitar 30 orang yang duduk bersila. Bukankah itu hal yang aneh bagi manusia?
Tepat di bawah batu itu terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak ( Gua Ular Kepala Tujuh ). Di sisi kiri batu tersebut terdapat jalan setapak masyarakat yang pergi ke kebun. Tentunya, jalan setapak itu menaiki lereng bukit yang cukup terjal. Hanya saja masih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Jadi, tidak kepanasan atau kepayahan untuk mendakinya.
Sampai sekarang Butau Gesea itu masih sering dikunjungi orang dari berbagai tempat, di atas batu itu mereka membakar kemenyan sebagai tradisi budaya masyarakat setempat. Batau Gesea itu memang berseberangan dengan bekas Istana Kerajaan Tepat Rukem atau dalam bahasa Rejangnya disebut Tepat Taukem. Tepat berarti keramat dan Taukem mempunyai arti Rukam, nama sebuah kerajaan di Lebong zaman dahulu kala.
Di lokasi Butau Gesea orang tidak sembarangan bicara, 
karena takut penunggu daerah keramat itu melakukan tindakan balas dendam. Apalagi bicara takabur seakan-akan diri adalah orang hebat.FOTO: NAIM EMEL PRAHANA
Pada suatu saat seorang raja Tepat Rukam pusing memikirkan kejadian-kejadian di negerinya, maka pergilah ia ke Butau Gesea untuk menenangkan pikiran dan mencari pemecahan masalah-masalah di dalam negerinya. Namun, ia tak lupa berpesan agar para penasehat, menteri kerajaan agar menghadap dirinya di Butau Gesea. Tentu saja kepergian Raja Tepat Rukam ke Butau Gesea itu tidak diketahui oleh rakyatnya. Sebab, kalau diketahui oleh rakyatnya dikhawatirkan akan diketahui oleh orang-orang yang akan berbuat jahat di negeri Tepat Rukam. Cukup diketahui oleh orang dekat dengan raja.
Pada suatu malam sang raja sudah duduk di atas Butau Gesea menghadap ke Danau Tes yang terletak di bawahnya, bertepatan diseberangnya istana kerajaan. Raja Tepat Rukam sudah dikelilingi oleh pembantu-pembantunya. Malam itu memang malam purnama. Dari celah dedaunan pohon – pohon besar mengelilingi Butau Gesea, sinar rembulan nampak seperti sutera menembus bumi. Keadaan saat itu hening, sunyi dan sepi sekali.
“Para penasihat dan menteri kerajaan, malam itu sengaja saya mengundang datang ke sini untuk membicarakan hal-hal penting di negeri kita,” ucap sang raja membuka pembicaraan. Malam itu memang hadir tiga penasihat dan 5 menteri raja.
“Saya ingin mendapatkan masukan-masukan untuk memecahkan persoalan yang menimpa rakyat Kerajaan Tepat Rukam,” kata raja lagi dengan bicaranya yang tenang dan duduknya yang tak bergeming sedikitpun. Sadarlah para penasihat dan menteri, kalau mereka dipanggil ke Butau Gesea itu karena urusan yang sangat penting. Mereka tak berani bicara sembarangan malam itu.
“ Kalaulah boleh hamba tahu Tuan Raja, gerangan apakah yang menjadi pikiran Tuan Raja tak bisa tenang,” tanya salah seorang penasihat dengan bahasa yang halus dan hati-hati. Sang raja menatap penasihatnya yang sudah agak tua itu. Lalu ia berkata, “ Begini, akhir-akhir ini banyak kejadian aneh di negeri kita yang membuat rakyat tidak berani lagi ke sawah atau ke ladang. Sekiranya para penasihat dan menteri tahu, siapakah orang yang membuat kacau negeri ini?” kata sang raja. Semua yang hadir terdiam.
Setelah raja menyampaikan masalahnya, semua diam, termasuk sang raja sendiri. Seakan-akan mereka sedang mencari jawaban yang tepat dan pas, agar raja dapat memutuskan  kebijakannya yang akan diambil demi kepentingan rakyat banyak. Keadaan malam itu memang hening wajah-wajah mereka di atas Butau Gesea itu diterpa sinar rembulan yang menerobos dari celah dedaunan. Terlihatlah kalau wajah mereka begitu tegang, termasuk wajah sang raja.
“Tuan Raja yang mulia, menurut pengetahuan hamba ketakutan rakyat selama ini memang berasal dari sekelompok perampok yang berkeliaran di sekitar kampung-kampung. Mereka menakuti anak-anak dan orangtua,” seorang menteri menjelaskan apa yang ia ketahui tentang latarbelakang ketakutan rakyat untuk pergi ke sawah dan ladang mereka. Mendengar keterangan sang menteri itu, raja diam sejenak. “Dan, bagaimana pendapat para penasihat dan menteri lainnya?” tanya sang raja.
Semua penasihat dan menteri malam itu sependapat dengan menteri yang mengemukakan pendapat dan masukannya kepada sang raja.
“Kalau demikian, saya minta kelompok perampok itu segera diatasi dan hasilnya segera dilaporkan kepada saya,” pinta sang raja. Setelah para penasihat dan menteri menyatakan kesanggupan mereka, maka raja minta penyelesaiannya tidak boleh lebih dari tujuh hari. Permintaan itupun tidak dapat ditolak.
Demikianlah kisah awal tentang Butau Gesea yang dijadikan tempat menenangkan diri, tempat pertemuan raja Tepat Rukam untuk menyelesaikan hal-hal penting yang tidak boleh diketahui oleh rakyat Kerajaan Tepat Rukam. Butau Gesea itu dijadikan tempat pertemuan rahasia karena letaknya menghadap pusat kerajaan dan kalau berada di atas Butau Gesea akan nampak semua yang ada di seberangnya, yaitu di sekitar istana raja.
Kebetulan di dasar air Danau Tes yang dinamakan Teluk Lem, bertepatan lokasinya di bawah letak Butau Gesea terdapat Serawung Dung Ulau Tujuak yang bagi penduduk setempat sudah paham betul situasi dan keadaannya. Sebab, untuk mencapai daerah itu dibutuh waktu sekitar 5—10 menit menggunakan perahu kayu. Menurut masyarakat Kotadonok, bila suatu saat kulit tubuh tersentuh air di Teluk Lem, kemudian terasa gatal-gatal berarti saat itu Ular Kepala Tujuh (Dung Ulau Tujuak) sedang berada di bawah air.
Kalau sudah demikian, cepatlah menyingkir dari air. Sebab, dalam kepercayaan yang sudah turun temurun disebutkan, Ular Kepala Tujuh itu dapat menjelma apa saja. Seperti menjelma jadi pohon kayu besar yang tidak tampak ujungnya, bisa juga menjadi ikan mas raksasa atau jelmaan lain yang memberikan peringatan kepada penduduk agar kalau melihat benda-benda atau binatang seperti itu di Danau Tes, supaya segera menyingkir.
Konon, bagi siapa yang pernah melihat kayu besar atau ikan mas raksasa beralamat ada orang yang akan meninggal dunia. Sampai sekarang legenda itu masih menjadi perhatian penduduk Kotadonok khususnya dan penduduk Lebong pada umumnya. Misteri di sekitar Danau Tes memang banyak, dan sampai saat ini dipercayai memiliki kekuatan ghaib yang sering membuat penduduk sekitarnya selalu berhati-hati bila berlayar di atas Danau Tes.
Di seberang Teluk Lem pada zaman kerajaan Tepat Rukam terdapat tempat permandian raja yang terbuat dari Eket ( rakit ) yang mengapung di atas permukaan air. Disanalah para raja dan keluarganya mandi. Di daerah itu sekarang terdapat tempat rekreasi yang dinamakan Podok Lucuk ( Pondok Runcing  ). Kenapa disebut dengan Podok Runcing? Karena bentuk bangunannya bundar dan atapnya seperti kubah masjid, meruncing ke atas.
Dan, tidak berapa jauh dari Podok Lucuk itu dibangun lokasi sekolah Tsanawiyah Negeri yang letaknya dipinggir Danau Tes—termasuk wilayah Desa Kotadonok. Dari lokasi itu setiap pengunjung dapat bebas melihat keramaian di permukaan Danau Tes para penduduk yang memiliki areal persawahan di Baten Kauk ( “Baten” adalah nama lokasi pertanian padi sawah, sedangkan “Kauk” artinya di bawah) dan Baten Daet ( “Daet” artinya darat atau di atas) hilir mudik dengan perahu kayu mereka. Atau penduduk yang pekerjaannya mencari ikan di Danau Tes. Sungguh suatu pemandangan yang sangat bagus sekali.
Cerita mengenai Butau Gesea terkenal ke mana-mana, tidak heran pula banyak penduduk keturunan Tionghoa yang melakukan semacam ziarah ke sana. Mereka beranggapan nenek moyang mereka juga berasal dari daerah Lebong. Penduduk keturuan Tionghoa juga menziarahi Tepat Taukem dan beberapa tempat lain yang dianggap keramat. Butau Gesea memang bukan istana raja Tepat Taukem, tetapi hanya sebagai tempat pertemuan tertutup dan semedi raja-raja Tepat Taukem.
Bila pikiran seorang raja Tepat Rukam mengalami keruwetan mengenai beberapa masalah di kerajaannya, biasanya ia pergi ke Butau Gesea menenangkan diri, berbincang dengan penasehat, hulubalang dan para menteri kerajaan. Butau Gesea itu sejak lama sudah ada di sana. Posisinya tetap seperti sediakala, tidak mengalami perubahan apa-apa. Hanya saja sekarang ini Butau Gesea jarang dikunjungi penduduk setempat. Namun, ceritanya tetap menjadi cerita dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi penduduk disekitar Danau tes. Cerita itu menjadi pelengkap kehidupan sehari-hari di daerah sekitar Danau Tes dan terkenal ke berbagai pelosok di tanah Lebong maupun sampai ke Bengkulu. Walaupun demikian, tidak banyak yang mengetahui asal usul Butau Gesea tersebut.

Kesimpulan:
Cerita Butau Gesea mengandung dua pemahaman. Pertama untuk memberitahukan kepada masyarakat sekarang, agar tempat-tempat leluhur dahulu kala harus dijaga, dipelihara dan jangan sampai diper-Tuhan-kan. Kedua, mengajari kita agar tidak berlaku sombong, walau punya kedudukan dan jabatan. Berlaku hidup wajar-wajar saja, serta selalu menghargai pendapat orang lain, kendati pendapat itu salah.