Minggu, 11 September 2011

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...

Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam


Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes) perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah Lebong.
Banyak perwira tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu, sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu, para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari, kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan, berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah hutan.
“Saat itu, sekitar tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam (Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke Muara Aman.

Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang, termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik, kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli, apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari, biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!” kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena, permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda, tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru) di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem (di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu, Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga menjadi satu.
“Baru saja perahu saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu, dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi, tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen) sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya, menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa penduduk lainnya.
Sebagai gambaran Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu 1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein yang ia panggil dengan sebutan mamak (paman) itu.
Rahmat dan kakaknya adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur Sumatera Selatan di Palembang.

Sumber:
1.      Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.      Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
3.      Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi Tanjungkarang, Lampung
4.      Serma (purn) Ngadiyo di Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.      dan beberapa sumber lainnya yang diwawancara antara tahun 1980—1985.

Lebong Tandai


 Jalur si Molek untuk Monas
Kabupaten Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu
   

Rel Lori Lebongtandai (Bengkulu)
Teman-teman, barusan kumpul2 artikel & informasi mengenai rel lori 33,5 km ex-tambang Belanda yang masih dipakai di daerah lebongtandai. wah asyik banget nih!!! Silakan disimak dan berkhayal nyoba naik nih lori...wassalam, intrias.

 Lebong Tandai
Jalur si Molek untuk Monas
Kabupaten Lebong Kebanggaan Masyarakat Bengkulu

Namanya si Molek. Bukan nama seorang gadis Bengkulu, melainkan kereta mini (lori) yang menempuh rute sejauh 33,5 km. Jalur ini sangat rawan longsor, karena diapit oleh dinding tebing setinggi 25 meter dan bibir sungai yang curam. Kengerian rute ini bisa ditebus dengan keindahan hutan yang masih asli yang dapat dinikmati sepanjang perjalanan. Rel ini menghubungkan Desa Lebong Tandai dengan Kota Kecamatan Napal Putih. Molek merupakan kendaraan yang dibuat oleh warga setempat pada tahun 1990-an. Dengan bahan bakar solar, Molek digunakan untuk menunjang aktivitas ekonomi warga Napal Putih. Antara lain untuk mengangkut hasil bumi.
Jalur lori yang dilewati si Molek sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Namun dulu yang lewat hanyalah loko uap. Peran loko uap dan jalur relnya ini sangat penting. Antara lain untuk mengangkut emas yang ditambang dari Lebong Tandai.
Emas dari sinilah yang pada tahun 1970-an mengalir ke Jakarta. Emas yang diangkut loko uap ini kini menancap di puncak Tugu Monas di Jakarta. Berat emas yang melapisi "api" Monas sekitar 35 kg. Dengan kilauan emas yang menggambarkan nyala api ini, Monas dikenal sebagai tugu api yang tak kunjung padam.
Loko uap itu kini telah tiada dan digantikan peran si Molek. "Dengan Molek ini kita juga bisa melihat goa-goa tambang peninggalan zaman kolonial yang menghasilkan emas," jelas staf Humas Pemkab Bengkulu Utara, M Saleh, kepada detikcom di Bengkulu Utara akhir pekan lalu.
Setelah Belanda pergi dari Indonesia, emas di Lebong Tandai masih ditambang secara tradisional oleh masyarakat setempat. Pada tahun 2006, Pemkab Bengkulu Utara mulai merencanakan pembukaan kembali industri tambang emas ini.
"Kami kerjasama dengan pihak asing. Lahan tambang yang disurvei termasuk yang berada di wilayah Kabupaten Muko-muko dan Kabupaten Lebong," kata Bupati Bengkulu Utara Imron Rosyadi.
Sumber: Kompas - Rafiqa Qurrata

Sarana Transportas Motor Lori
Lebong Butuh Perbaikan
Selasa, 02 Februari 2010
Bengkulu 14/1 (ANTARA) - Motor lori ekspres (Molek) yang merupakan satu-satunya sarana transportasi warga Desa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu, saat ini kondisinya amat memprihatinkan dan butuh perbaikan.
"Sebenarnya molek itu tidak layak pakai lagi karena banyak relnya yang hilang dan rusak sehingga membahayakan penggunanya," kata Anggota Komisi IV DPRD Provinsi Bengkulu Syafrianto Daud, Kamis.
Anggota DPRD dari daerah pemilihan Bengkulu Utara ini mengatakan hingga saat ini sekitar 600 jiwa warga desa tersebut masih menggunakan sarana transportasi Molek karena tidak ada pilihan lain.
Molek adalah alat transportasi peninggalan Belanda yang menggunakan mesin diesel yang gerbong relnya seperti rel kereta api. Kendaraan ini terus dipakai ketika perusahaan pertambangan emas beroperasi di daerah itu pada 1980-an dan hingga saat ini menjadi satu-satunya transportasi warga desa menuju Kecamatan Napal Putih yang berjarak sekitar 30 Km.
"Jadi tidak ada akses lain, semua peralatan diangkut menggunakan Molek, makanya  kalau terjadi longsor dan menutupi jalur desa itu akan terisolasi," katanya.
Menurut Syafrianto, sarana transportasi ini tidak dapat lagi diandalkan karena relnya sudah banyak yang putus atau rusak serta beberapa jembatan sudah tua atau hampir ambruk, di sekitar rel juga sudah tertutupi semak belukar. Molek tersebut dikelola oleh masyarakat setempat dan saat ini tidak lebih dari lima gerbong yang masih beroperasi untuk melayani penumpang satu kali pemberangkatan per hari. "Kalau dari Desa Lebong Tandai berangkat subuh, sedangkan dari Napal Putih berangkat sore selepas Maghrib," katanya.
Dari pengakuan warga desa sudah beberapa kali mengajukan perbaikan rel kepada Dinas Perhubungan Kabupaten Bengkulu Utara, namun hingga saat ini tidak ada tanggapan.
"Kalau tidak segera diperbaiki maka transportasi ke Desa Lebong Tandai akan terputus dan berdampak terhadap kehidupan warga di sana," ujarnya. Diposkan oleh ANTARA

Lebong Tandai Bengkulu, "Batavia Kecil" Lebong Tandai
"Perjalanan menuju "Batavia Kecil" (nama lain untuk kawasan Lebong Tandai yang digunakan Belanda waktu menguasai lokasi tambang emas di desa Lebong Tandai). Mengingatkan kita pada kejayaan masa lalu, dimana tempat ini pernah menjadi incaran banyak pihak, baik pada masa Belanda, Jepang maupun Investor pada masa kemerdekaan ini"....
Menuju lokasi penambangan emas didesa Lebong Tandai Kecamatan Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara Propinsi Bengkulu cukup mudah karena angkutan umum relatif lancar, karena kita dapat memilih apakah melalui rute Kota Bengkulu- Napal Putih atau melalui rute Muara Aman (Ibu Kota Kabupaten Lebong) – Napal Putih. Perjalanan dari kota Bengkulu memakan waktu sekitar 3, 5 jam dengan menggunakan angkutan umum menuju desa Napal Putih, dengan ongkos Rp 30.000, desa itu adalah desa terakhir yang kita singgahi sebelum melakukan perjalanan ke desa Lebong Tandai. Demikian juga jika kita memilih rute Muara Aman-Napal Putih kita akan menempuh perjalanan dengan angkutan umum sekitar 4 jam.
Setiba dipangkal desa Napal Putih Kecamatan Ketahun, sebaiknya kita turun terlebih dulu dari kendaraan, karena disana ada bekas rumah bersejarah yang dulu didiami oleh Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto (Pangeran terakhir Marga Ketahun) dan juga pernah dijadikan rumah atau markas oleh Dr. AK Gani Gubernur Militer Sumatera Bagian Selatan pada masa perang kemerdekaan.
Sekarang rumah tersebut berstatus cagar budaya dibawah tanggung jawab pemerintah. Karena ahli waris Pangeran Muhammad Ali Firman Alamsyah Gelar Rajo Mangkuto menyerahkan kepada Departemen Pariwisata dalam hal ini Dirjen Museum dan Kepurbakalaan Kantor Wilayah Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Disana kita diperbolehkan untuk masuk dan melihat bagian dalam ruangan rumah bersejarah itu. Dirumah yang terletak Desa Napal Putih inilah pada tahun 1947 roda pemerintahan Sumatera Bagian Selatan meliputi Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jambi dikendalikan oleh Dr. AK Ganie sebagai Gubernur Militer.
Setelah itu, kita kemudian menuju ‘Stasiun’ Molek (sebutan bagi kereta lori    
berukuran 5 x 1 m, bermesin diesel 10 PK yang bermuatan maksimal 10 penumpang). Ongkos perorang adalah Rp 20.000. Stasiun ini terletak diujung desa, dipinggir sungai ketahun. Banyak Molek yang menunggu penumpang namun rata-rata terminal ini ramai pada hari Senin dan Kamis karena pada hari itu para penambang dari luar Kabupaten Bengkulu Utara misalnya dari Kabupaten Lebong dan Rejang Lebong berdatangan menuju desa Lebong Tandai. Perjalanan dengan menggunakan Molek menuju Lebong Tandai dilakukan sore hari yaitu sekitar pukul 17.00 WIB hal ini guna menghindari terjadinya tabrakan dikarenakan Molek dari Lebong Tandai tiba di Napal Putih pukul 16.00 WIB. Meningat jalur rel hanya satu, jika terpaksa bertemu dengan Molek yang lain yang berlawanan arah atau ada Molek yang macet dijalan maka salah satu Molek dapat disingkirkan keluar rel, cukup hanya dengan tenaga 3 orang Molek itu dapat diangkat keluar rel.
Biasanya, para "Masinis" Molek memilih untuk berjalan beriringan, hal ini dimaksudkan untuk mempermudah perjalanan jika ada hambatan. Perjalanan menjelang hari mulai gelap ini, memberi kesan tersendiri bagi mereka yang menyukai wisata alam karena kita hanya bisa melihat hutan dikanan kiri dan Molek yang berjalan didepan atau dibelakang Molek yang kita tumpangi. Jangan lupa membawa bekal makanan dan minuman untuk bekal dijalan karena perjalanan ini cukup panjang karena menempuh 33 km panjangnya rel kereta ini. Untuk diketahui sejak jaman penjajahan hingga sekarang ini, baru ada 2 wilayah yang dilewati rute kereta api atau yang memiliki rel, yaitu disini dan di Kecamatan Kota Padang (Kabupaten Rejang Lebong berbatasan dengan Kota Lubuk Linggau Sumatera Selatan).
Setelah kita menyusuri rel yang membelah hutan sambil menikmati bunyi-bunyian binatang malam sebelum tiba di desa Lebong Tandai kita akan melewati 3 terowongan, yaitu terowongan lobang panjang (+ 300 m), lobang tengah (+ 100 m) dan lobang pendek (+ 50 m) sampailah kita didesa Lebong Tandai, pemandangan desa ini pada malam hari mengingatkan kita pada suasana kehidupan para penambang di film-film Hollywood yang mengambil latar kehidupan tambang . Warung-warung berjejer dengan rapi disepanjang jalan ditengah-tengah desa. Masyarakat sebagian duduk ngobrol, main kartu, dan menonton TV, tak sedikit pula yang bergegas menuju Molek yang baru tiba karena mengambil pesanan barang yang dibeli dari luar desa.
Semua orang pasti akan takjub bercampur kagum betapa tidak, setelah melewati perjalanan selama 3, 5 jam, yang pemandangannya hanya hutan, tiba-tiba didepan kita terbentang sebuah desa yang penuh dengan nuansa modern. Listrik yang terang benderang dan tak pernah mati memancar dari setiap rumah dan sudut desa, dan hampir ditiap rumah memiliki pesawat TV walaupun ukuran kecil. Alat elektronik seperti TV, Radio dan sejenisnya adalah salah satu hiburan bagi masyarakat yang hidup didaerah terpencil ini. Berbicara tentang hiburan memang tradisi itu sudah cukup lama tertanam dimasyarakat.
Pantas saja, dengan posisi terpencil dan jauh dari dunia luar, perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910 masuk ke Lebong Tandai dan menguasai tambang ini dibangun kamar bola (tempat bermain billyard), lapangan basket, lapangan tenis, rumah kuning (rumah bordil/lokalisasi) dan bioskop. Hanya bioskop dan rumah kuning yang bangunannya sudah tidak ada lagi. Perusahaan Belanda itu juga setiap tahun mendatangkan penari ronggeng dari Batavia (sekarang Jakarta). Hal ini dapat dibuktikan dengan nama sebuah jembatan menuju Lebong Tandai yaitu jembatan Dam Ronggeng I dan Ronggeng II. Dinamakan jembatan Dam Ronggeng karena pada saat peresmiannya mengundang penari-penari ronggeng dari Batavia.
Desa ini terletak 500 meter dari permukaan laut, disebelah selatan berbatasan dengan bukit Husin dan sebelah utara berbatasan dengan bukit Baharu. Tercatat penduduknya 120 KK atau sekitar 360 jiwa ini dibagi menjadi 3 RT dan 2 Dusun. Desa ini pernah mendapat predikat sebagai desa teladan pada masa Kepala Desa Parman memimpin. Penduduk disini cukup heterogen ada suku Jawa, keturunan Tionghoa, Sunda, Batak, Padang, Rejang dan penduduk Pekal yang sejak awal mendiami wilayah itu. Tak heran jika penduduk disini dalam percakapan sehari-hari menggunakan 2 bahasa yaitu bahasa Indonesia dan Bahasa Pekal. Namun walaupun heterogen dan sudah tersentuh modernisasi kegotong-royongan warga masih cukup kuat, termasuk keramah-tamahan jika bertemu dengan orang yang baru datang. Karena kita tiba didesa pada malam hari, rasanya tak sabar kita menunggu datangnya pagi. Rasa penasaran ingin menyaksikan desa ini disiang hari. Para penambang maupun perangkat desa akan membantu kita mengenal lebih dekat apa-apa saja yang ada di desa ini. Namun jangan lupa membawa kamera handycam dan kamera fhoto jika kita mengunjungi tempat ini. Karena banyak tempat wisata alam dan wisata sejarah yang bisa kita kunjungi antara lain :

Tambang Emas Tradisional
Perusahaan yang pertama kali melakukan eksploitasi emas secara besar-besaran dengan peralatan modern adalah Mijnbouw Maatschappij Simau milik Belanda tahun 1910. Disini ada 3 lokasi tambang emas, yaitu di Air Nuar, Lebong Tandai dan Karang Suluh.
Disini kita dapat menyaksikan ‘Gelundung’ (alat memisahkan emas dengan batu) berbentuk silender, terbuat dari plat baja, diameter 30 cm, jumlahnya perlokasi proyek sampai 40 buah berjejer rapi. Hal ini berbeda dengan pertambangan rakyat yang terletak di Tambang Sulit, Tambang Kacamata, Tambang, Sawah, Tambang Lebong Simpang (semuanya terletak di Kebupaten Lebong) yang jumlah Gelundungnya paling banyak setiap proyek hanya 10 buah, ditempat lain Gelundung itupun hanya terbuat dari kayu. Saat ini pajak yang dipungut oleh pemerintah desa sebesar Rp 1.000./Gelundung/bulan.
Kita juga dapat melihat serombongan pekerja tambang tambang pulang mendorong lori yang melaju kencang yang penuh berisi batu emas. Mereka mendorong lori sambil berteriak-teriak sebagai isyarat kepada orang-orang yang berdiri direl agar minggir agar jangan tertabrak. Nyaris hanya mata dan giginya saja yang tidak terkena lumpur. Sepantasnya kita belajar banyak dari semangat yang mereka tunjukkan oleh penambang ini.
Jika ingin ‘menguji nyali’, kita juga dapat mencoba menyusuri lobang terowongan utama bekas tambang Belanda. Lobang terowongan itu menghubungkan antara tambang Air Nuar dengan Tambang Lebong Tandai yang menembus perut bumi sepanjang + 5 Km, menaiki 16 buah tangga dengan ketinggian tangga rata-rata 6 m, perjalanan memakan waktu sekitar 2 jam, didalam lobang terowongan itu juga masih tersisa bekas rel lori peninggalan Belanda.(Data LPAP FISIP UNIB, 2003)
Di lokasi Tambang Lebong Tandai ini perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau membuat 16 level terowongan yang jarak satu level dengan level yang lainnya rata-rata 50 meter kebawah tanah. Pada waktu itu dibuat tangga lip untuk pekerja masuk ke terowongan itu. Sampai sekarang tiang-tiang lip itu masih dapat kita jumpai. Setelah
masuknya PT Lusang Mining terowongan-terowongan ini kembali dikelola. Namun itupun hanya sampai level 11 karena level 12-16 sudah penuh dengan air dan tertimbun tanah.
Pasca bangkrutnya PT Lusang Mining tahun 1994, terowongan sebagai lokasi tambang dikelola oleh rakyat, namun karena keterbatasan alat, para penambang hanya mampu masuk sampai level 6. Tak jarang para penambang harus berdiam didalam lobang terowongan selama berhari-hari jika menemukan ‘or’ (batu yang banyak mengandung emas). Untuk mengetahui perubahan waktu siang atau malam mereka cukup dengan melihat apakah kelelawar keluar atau masuk keterowongan. Kalau kelelawar masuk artinya siang begitu juga sebaliknya.
Saat ini, setiap saat para penambang dapat mengetahui pasaran harga emas dunia, dengan memonitor berita keluar negeri, misalnya BBC London. Dengan rumus tertentu mereka dapat mengetahui harga emas dunia dengan standar dolar. Bahkan ada juga yang memiliki pesawat telepon satelit. Penggunaan alat elektronik seperti TV, kulkas atau radio komunikasi ditunjang oleh tersedianya aliran listrik dari tenaga air terus menyala siang-malam tak pernah mati.

Eks Rumah Sakit Belanda
Lokasi rumah sakit ini terletak dibukit barisan sebelah barat desa Lebong Tandai. Rumah sakit ini menampung para pekerja perusahaan Mijnbouw maatschappij simau yang sakit. Kebanyakan pekerja itu sakit paru-paru (TBC) disebabkan kondisi dan alat kerja yang tidak menjamin keselamatan pekerja. Misalnya alat bor yang digunakan masih sangat manual, tanpa semprotan air, bentuknya seperti senapan mesin dan bagian belakang alat bor itu ditempelkan didada, pekerja bor beraktifitas tanpa masker sehingga debu yang keluar dari batu yang dibor langsung terhisap.
Paling lama 6 bulan pekerja ini sudah terserang penyakit. Kalaupun ada rumah sakit itupun tidak banyak membantu. Menurut cerita warga bagi pekerja bagian pengeboran yang sakit maka diberi 2 pilihan apakah akan dikirim pulang kekampung halamannya (kebanyakan pekerja dari pulau Jawa tepatnya Banten) atau tetap dirawat dirumah sakit itu sambil menunggu ajal tiba. Tak heran dibagian belakang rumah sakit terdapat lokasi kuburan yang sebagian besar adalah ‘korban’ perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau.
Untuk menuju ke lokasi eks rumah sakit ini ada 2 jalan. Yang pertama melalui jalam setapak, dulunya ini adalah jalan aspal yang dipakai untuk jalan mobil oleh perusahaan Belanda. Seperti dituturkan warga bahwa sekitar tahun 1960an masih ada bekas mobil sedan Ford didesa ini. Yang kedua melalui jalan tangga semen yang sampai saat ini masih cukup terjaga. Dikiri-kanan tangga ini masih banyak sekali tanaman bambu China dan bermacam jenis bunga. Dapat disimpulkan bahwa dulunya ini adalah taman yang indah menuju rumah sakit itu.

Kamar Bola
Tempat ini khusus disiapkan oleh Belanda sebagai sarana hiburan bagi para pekerja tambang. Letaknya dikaki bukit barisan dibawah eks rumah sakit jaman Belanda. Kita dapat membayangkan waktu tahun 1900an ditempat ini sudah ada permainan yang yang sebenarnya permainan itu lazim dimainkan oleh kelas menengah Eropa waktu itu. Saat ini yang tersisa hanya gedungnya saja meja, stik dan bola billyard sudah tidak ada lagi. Tapi walaupun demikian bagi yang ingin mencoba bermain billyard dilokasi ini sambil membayangkan kehidupan waktu itu, kita masih bisa bermain billyard karena beberapa warga membangun sarana billyard sendiri.

Rumah Simau
Bangunan kayu ini mirip rumah panjang khas suku Dayak Kalimantan, tapi dibuat seperti bedeng-bedeng terdiri dari 13 pintu, tingginya sekitar 12 meter dari tanah, panjangnya sekitar 70 meter. Ruangan bagian atas dan bawah bisa ditempati sebagai tempat tinggal. Dinamakan Rumah Simau atau Pondok Baru karena bangunan yang didirikan sekitar tahun 1940 ini merupakan bangunan terakhir yang didirikan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau, sebelum tambang ini dikuasai oleh Penjajah Jepang Tahun 1942-1945. Awalnya bangunan ini diperuntukkan bagi para pekerja perusahaan Belanda itu.
ingga saat ini bangunan ini tidak ada perubahan bentuk termasuk dinding, lantai hanya atap yang bocor yang diperbaiki oleh warga yang menempatinya. Selain rumah Simau masih ada beberapa rumah lagi yang asli peninggalan Belanda, misalnya rumah yang ditempati oleh Bik Lis (40) ciri-ciri jendela yang besar dan bekas-bekas taman masih relatif terpelihara.

Pemakaman Belanda
Pemakaman ini berada disebelah selatan Desa Lebong Tandai yaitu sekitar 1 jam berjalan kaki, banyak orang asing khususnya Belanda yang bekerja di Perusahaan Mijnbouw Maatschappij Simau dikuburkan disini. Sebagian diantara orang asing itu meninggal karena dibunuh oleh pekerja kontrak yang tidak tahan dengan penderitaan. Menurut cerita disana dimakamkan juga tuan Smith yang dibunuh oleh seorang inang (perempuan) dengan cara ditusuk dengan paku yang telah dipipihkan sebagai senjata ke bagian leher tuan Smith. Ada juga orang Belanda yang meninggal karena kepalanya di bor oleh pekerja tambang.

Pemakaman China
Lokasinya berada sekitar 3 km dari arah Lebong Tandai menuju Desa Napal Putih. Berada disebuah bukit kecil disebelah kanan rel kereta Molek. Sampai sekarang setiap hari raya Tionghoa maupun acara keagamaan Konghucu, ahli waris masih melakukan upacara atau ritual keagamaan dilokasi ini. Beberapa diantara warga desa Lebong Tandai dan Napal Putih adalah keturunan Tionghoa.

Makam Pahlawan
Terletak dibelakang eks rumah sakit jaman Belanda. Mereka yang dimakamkan disini adalah para pejuang yang tergabung dalam laskar-laskar rakyat dan sebagian memang tentara. Mereka gugur karena ledakan bom, saat Belanda bermaksud menguasai kembali lokasi tambang ini tahun 1947-1949. Rakyat yang tergabung dalam laskar-laskar itu diberi pangkat setelah gugur sebagai penghargaan atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan. Desa Lebong Tandai juga pernah dijadikan basis gerilya pada waktu perang mempertahankan kemerdekaan.

Gedung Bulu Tangkis Belanda
Bentuk bangunan masih relatif asli, dulu dipergunakan untuk tempat olahraga bagi para pekerja tambang. Saat ini hanya dipergunakan sebagai gudang oleh warga. Bangunan ini bersebelahan dengan bekas bioskop jaman Belanda.

Air Panas Alami
Lokasinya terletak dibawah jembatan sungai Kelumbuk sekitar 8 km dari Desa Napal Putih. Air panas ini mengandung belerang. Dipercaya oleh masyarakat setempat bahwa airnya bermanfaat untuk mengobati berbagai macam penyakit kulit. Tidak jauh dari air panas ini juga terdapat air terjun yang indah, masyarakat menyebutnya air terjun Kelumbuk.

Alat tambang kuno
Alat tambang peninggalan perusahaan Belanda Mijnbouw Maatschappij Simau masih cukup banyak, diantara bor manual dan lori. Belum terlambat jika pemerintah mengumpulkan barang-barang ini sebagai sebuah peninggalan sejarah. Bisa saja dibuat museum yang khusus menyimpan barang-barang kuno ini.

Sungai Lusang
Nama PT Lusang Mining diambil dari nama sungai ini. Sungai ini membelah desa Lebong Tandai, airnya cukup deras dan sangat jernih serta penuh dengan bebatuan besar. Sangat cocok jika dijadikan lokasi olahraga air seperti arung jeram. Beraneka macam ikan langka khususnya ikan Putih atau ikan Semah (disebut ikan putih karena warna sisiknya keputih-putihan) masih banyak terdapat disungai ini. Kelebihan ikan ini dibanding ikan lainnya adalah sisiknya bisa dikonsumsi karena terdiri dari tulang rawan.
Masyarakat menangkap ikan ini dengan cara dijala, jaring, pancing dan panah. Ada kepercayaan jika masyarakat mencari ikan dengan menggunakan bahan peledak atau racun maka sungai ini akan meluap menyebabkan banjir. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat masih mempercayai mitos itu. Secara tak sengaja, ikan langka ini juga diternakkan didalam kolam-kolam warga, karena anak-anak ikan itu masuk kekolam warga melalui pipa-pipa besi yang airnya berasal dari sungai.

Hutan TNKS
Hutan ini masih relatif terjaga, karena warga Lebong Tandai juga berperan sebagai penjaga hutan. Mereka sadar bahwa mata pencaharian mereka yaitu menambang emas sangat tergantung pada hutan ini. Karena jika hutan ini rusak maka akan berpengaruh pada sungai dan dam yang mereka gunakan untuk memutar Gelundung atau memutar turbin listrik. Selain itu, jika hutan ini gundul maka dapat mengakibatkan longsor, jika terjadi longsong maka akan tertimbunlah desa ini mengingat desa ini diapit oleh 2 bukit barisan yang masuk kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat).
Hasil pendataan yang dilakukan oleh Komunitas Konservasi Indonesia WARSI April 2004 ditemukan tidak kurang 128 tanaman obat, diantaranya Aka beluru (Etanda Phascoloides) obat untuk demam menahun, Akar ali-ali (Tinospora crispa) obat malaria, Antanan (Centella Asiatica) obat mengeringkan luka pasca melahirkan, Inai Aia (Impatiens Balsamina) obat bengkak perut dll, semuanya ada disekitar wilayah TNKS ini.

Kerajinan Perak
Kerajinan perak ini masih diusahakan secara sederhana dan dalam skala kecil. Bermacam-macam perhiasan yang terbuat dari perak seperti cincin, gelang dan kalung dapat dibeli atau dipesan disini. Yang berbeda disini adalah kita dapat langsung melihat proses sejak awal dari penambangan sampai proses perak dijadikan perhiasan. Pengrajin juga menjamin perhiasan perak yang dibuat disini walaupun dipakai sampai lama warnanya tidak akan berubah kehitam-hitaman. Karena kwalitas bahan perak benar-benar dijaga alias perak murni. Pemasaran perhiasan ini sebagian dijual ke luar Lebong Tandai dan sebagian dibeli oleh mereka yang berkunjung ke sini.
Umat, 18 April 2008. Sumber : Firnandes Maurisya

Lebong dan Masyarakat Adat


 LINK:http://rejanglang.htm

Jika mengacu pada sistem kelembagaan lokal atau local community masyarakat adat yang ada di Kabupaten Lebong adalah komunitas kampung yang di sebut dengan dengan istilah lokal Kutai atau Dusun yang berdiri sendiri yang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami, aplikasi sistem lokal ini kemudian di terjemahkan dengan sistem kelembagaan Marga, sebuah sistem adopsi dari sistem pemerintahan Kesultanan Pelembang. Ada beberapa kesatuan kekeluargaan yang relatif masih tegas asal usul, wilayah tata aturan lokal di Kabupaten Lebong masing-masing kekeluargaan tersebut kemudian di sebut dengan Marga. John Marsden, Residen Inggris di Lais (1775-1779) menceritakan tentang adanya empat Petulai Rejang diantaranya Jekalang (Joorcalang), Selupuak (Selopoo), Manai (Beremani), Tubey (Tubay) di sisi lain Dr. J.W. Van Royen dalam Laporannya “adat-Federatie in de Residentie’s Bengkoelen en Palembang” menyatakan bahwa Marga-Marga tersebut merupakan kesatuan Rejang yang paling murni.
Intervensi kebijakan negara dengan regulasi UU No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang seragam membuat sistem kelembagaan lokal ini menjadi ‘perahu yang kehilangan darmaga’ demikian disebut oleh Bapak Salim Senawar Tokoh Masyarakat Adat Jurukalang Tapus, sehingga aplikasi sistem lokal ini kemudian dilakukan proses marjinalisasi peran dan fungsi yang di miliki oleh masyarakat adat tidak hanya di lakukan oleh Pemerintah secara fisiologis melalui kewilayahan adat, akan tetapi juga dilakukan melalui penghancuran secara terstruktur melalui sistem dan tata aturan kelembagaan adat, yang secara langsung secara struktural dan paktual menghilangkan identitas dan integritas komunitas adat sebagai satu persekutuan masyarakat yang pada dasarnya telah terbukti mampu mengelola dan mengatur wilayah dan tertib sosialnya secara demokratis dan berkelanjutan.
UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang sedikit memberi peluang bersyarakat kepada komunitas lokal untuk meng-implementasi sistem lokal ini membuat seperti memakai bahasanya Bapak Yakub, Tokoh Masyarakat Adat Marga Suku IX bak ‘tanaman yang mau tumbuh namun bumi engan untuk menerimanya’. Secara umum komunitas adat yang ada di Kabupaten Lebong yang merupakan masyarakat warga Petulai ini kemudian beberapa tokoh adatnya frustasi dan lebih banyak melibatkan diri pada sistem seremonial sosial seperti perkawinan, kematian dan ibadah.
Secara umum dalam tertib sosial dan adat kesatuan masyarakat ini di ikat dengan tata cara Adat Beak Nyoa Pinang/Adat Rian Cao yang sangat menghormati informed consent and negotiated agreements dan di dalam pengelolaannya tenurial dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi.
Sebagai bagian dari Komunitas Adat Suku Rejang masyarakatnya memegang teguh adat bersendi syara’ bersendi kitabullah, dan mengenal pembagian wilayah atau keruangan yang disebut untuk areal pemukiman (di sebut Sadei, Kutai), perladangan (disebut Talang) dan hutan (di sebut imbo). Sesekali masyarakatnya mengunjungi Pasara Desa (Peken) untuk menjual hasil panen pertaniannya dan membeli kebutuhan pokok bagi keluarga.
Pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan  jenis kayu tertentu  seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai).
Sebagian masyarakat sepenuhnya menyadari hidupnya yang ketergantungan dengan alam, berbagai larangan untuk menebang pohon tertentu misalnya pohon madu (Sialang) dianggap sama dengan menghilangkan nyawa seseorang, menebang pohon belum waktunya dan menebang pohon di sepanjang badan sungai  kiyeu celako demikian jenis kearifan yang ada merupakan strategi guna untuk mempertahankan keberlanjutan sumber daya alam. Ke 4 komunitas masyarakat tersebut mengenal kepercayaan bahwa ada kekuatan lain di luar kemampuan dan tanda-tanda alam yang harus dihormati sebagai ujut kebersatuan dengan alam  mereka mengenal dengan tuweak celako. Hingga saat ini upacara-upacara adat yang berkaitan dengan hal di atas masih sering dilakukan seperti Doa Tala Bala (Kedurai Agung) upacara di seputar tanaman padi (mundang biniak), membuka ladang (mengeges, kedurai), membangun rumah (temje bubung) dan lain-lain.
Sistem pemerintahannyapun mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.

Lebong dan Konservasi
Di Propinsi Bengkulu, secara administratif, wilayah Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) terdapat di 18 kecamatan, yaitu di Kabupaten Lebong, Kecamatan Lebong Utara, Lebong Atas, Lebong Tengah, Lebong Selatan, dan Rimbo Pengadang. Kabupaten Rejang Lebong, Kecamatan Curup, Selupu Rejang, Bermani Ulu, Sindang Kelingi, Padang Ulak Tanding. Kabupaten  Bengkulu Utara, Kecamatan Ketahun, Napal Putih, Putri Hijau, sedangkan di Kabupetan Muko-muko, Kecamatan Lubuk Pinang, Muko-muko Utara, Teras Terunjam, Pondok Suguh, Muko-muko Selatan. Dengan luasan di tiap kabupaten, yaitu Bengkulu Utara 72.171 Ha, Muko-muko 131.341 Ha, Lebong  109.548 Ha, dan  Rejang lebong 27.515 Ha.
Kabupaten Lebong merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong berdasarkan UU No 39 Tahun 2003 dan berada di sepanjang Bukit Barisan serta terklasifikasi sebagai daerah Bukit Range pada ketinggian 500-1.000 dpl dan secara Adminsitratif terdiri dari 77 Desa dan Kelurahan dan 5 Kecamatan dengan Luas wilayah keseluruhan 192.424 Ha dari total luas ini seluas 134.834,55 Ha adalah Kawasan Konservasi dengan peruntukan untuk Kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat 111.035,00 Ha, Hutan Lindung 20.777,40 Ha dan Cagar Alam 3.022,15 Ha. Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No 736/Mentan/X/1982 kemudian dipekuat berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 901/kpts-II/1999 sebagai kawasan konservasi dan di wilayah lain juga di kukuhkan sebagai kawasan Hutan Lindung Rimbo Pengadang Register 42 dan kawasan lindung Boven Lais yang awal pengukuhan kawasan ini ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Pemerintahan Kolonial Belanda sekitar tahun 1927 yang dikenal sebagai hutan batas Boszwezen (BW).
Dari total luas kawasan hutan tersebut diperkirakan laju kerusakan mencapai 50.999,82 Ha (40%) yang mengancam kelestarian lingkungan, bencana alam maupun berkurangnya pasokan untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tes. Sebagian besar laju kerusakan ini diakibatkan oleh aktivitas ekonomi maupun aktivitas illegal logging.
Pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Lebong sangat kuat dipengaruhi oleh faham konservasi alam klasik (classic nature conservation). Faham ini menekankan solusi terhadap kawasan-kawasan yang dilindungi, dimana setiap orang dilarang masuk, guna melindungi species-species yang terancam punah.
Tanam Nasional dan Kawasan Lindungpun dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan alam yang ketat tapi dalam waktu yang bersamaan tidak menaruh perhatian yang cukup terhadap masyarakat yang bermukim didalam atau disekitar kawasan tersebut. Akibatnya perlindungan alam seolah-olah merupakan tindakan yang berdiri sendiri dan harus dibenturkan dengan kepentingan masyarakat di sekitarnya. Konsep konservasi semacam ini mulai berkembangan di negara-negara Barat, dimulai ketika Yellow Stone ditetapkan sebagai tanam nasional tahun 1872 model ini dilakukan dengan pendekatan perlindungan alam yang ketat yang tidak memperkenalkan adanya kegiatan manusia baik untuk kebutuhan subsistem maupun untuk pemanfaatan sumber daya alam demi tujuan komersial.
Penetapan wilayah Taman Nasional dan Lindung sebagai daerah yang di proteksi dengan tujuan penyelamatan kawasan  guna keberlangsungan kehidupan masyarakat adalah upaya yang dilakukan secara sepihak dengan tidak melibatkan masyarakat secara utuh dalam penetapannya, penetapan yang berdasarkan pentingnya pengelolaan secara terpadu, holistik dan integralistik  ini dalam pelaksanaannya membawa dampak negatif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat warga di Kabupaten Lebong.
Wacana yang dikembangkan oleh Pemerintahan Kabupaten Lebong untuk menjadikan Kabupaten Lebong sebagai Kabupaten Konservasi, disatu sisi secara luasan hutan yang dimiliki tanpa embel-embel kebijakan konservasi kabupaten ini sudah layak disebut sebagai kabupaten konservasi, tetapi ada persoalan lain bagi masyarakat,  terutama yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat adalah kelompok korban yang pertama akibat penetapan wilayah ini menjadi wilayah taman nasional. Sampai sekarang tidak upaya konkrit yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan baik oleh Balai Taman Nasional maupun oleh kelompok lainya untuk menengahi permasalahan ini. Hal ini berlangsung terus-menerus dan semakin membuat carut-marutnya pengelolaan Taman Nasional secara keseluruhan.
Persoalan ini muncul ketika penetapan kawasan ini dilakukan sepihak oleh pemangku kebijakan tanpa belibatkan secara utuh dan holistik masyarakat yang bersingungan dengan kawasan hutan, dalam struktur lokal mereka merupakan bagian yang terintegrasi ke dalam ekosistem hutan, bundle of right, tumpang tindih kepemilikan atas objek tanah yang sama menjadi problem utama disamping pertambahan jumlah penduduk yang berimplikasi langsung dengan kebutuhan akan lahan.  
Dari informasi masyarakat yang bersingungan langsung dengan Kawasan Taman Nasional dan Hutan Lindung diketahui bahwa akibat tidak partisipatifnya penetapan Taman Nasional masyarakat menyebabkan luasan kebun dan sawah yang berada di Taman Nasional semakin luas. Kondisi seperti akan terus berlangsung karena masyarakat tidak merasa memiliki Taman Nasional dan belum memandang arti penting keberadaanya selain menjadi penyebab kemiskinan karena kehilangan tanah sebagai satu-satu media pemenuhan kebutuhan untuk hidup.
Dalam mendukung di jadikannya Kabupaten Lebong ini Bupati Lebong telah membentuk team pemberantasan illegal logging dalam aktivitasnya mengaplikasikan metode konservasi alam klasik (classic nature conservation),  ini terlihat seringnya team ini melakukan represif terhadap masyarakat, Pembacokan antara Masyarakat dengan Kepala KESBANGLINMAS Kabupaten Lebong di Tapus, Pembongkaran pondok masyarakat di Mangku Rajo, Penyitaan Kayu tanpa melakukan investigasi lebih jauh.
Dari kejadian ini dapat ditarik kesimpulan ada pemahaman tentang bias konservasi di masing-masing pihak, Pemerintah melihat secara utuh bahwa kawasan konservasi ini harus dijaga dan jika mengacu pada konsef classic nature conservation faktor perusak utama kelestarian kawasan adalah manusia. Disatu sisi masyarakat adat mengangap bahwa ada banyak kearifan dan metode lokal yang membahas tentang konservasi Imbo Keramat, Hutan Sarang Macan, Larangan pada Spadan Sungai dll merupakan sistem lokal dalam mengelola atas konservasi kawasan.   
Dari analisas AKAR teridentifikasi beberapa kelemahan dalam pengelolaan, yang selanjutnya menimbulkan permasalahan-permasalahan dan kerusakan di dalam kawasan Taman Nasional, Hutan Lindung dan Cagar Alam seperti perambahan hutan, penebangan liar, penyerobotan hutan, perburuan liar, dan penambangan emas. Kelemahan-kelemahan tersebut meliputi: 1) Bentuk (form) bentang alam kawasan TNKS yang memanjang (narrow elongated shape), keadaan kawasan dengan garis dan daerah batas yang panjang dan luas membuka kemungkinan dan kesempatan yang luas bagi terjadinya tekanan dan gangguan dari luar kawasan ke pusat-pusat hutan yang merupakan zona inti. 2) Terjadi gangguan dan tekanan dari masyarakat sekitar kawasan yang didorong oleh kondisi sosial, ekonomi, dan budaya mereka, terlebih pada kondisi krisis saat ini. 3) Adanya aktivitas pertambangan di dalam kawasan TNKS. 4) Kerusakan hutan lindung dan hutan produksi yang merupakan daerah penyangga perluasan habitat dan sosial dari Taman Nasional. 5) Masih lemahnya koordinasi dengan pihak dan instansi terkait, terutama di tingkat daerah yang mendorong terjadinya benturan kebijaksanaan. 6) Pemekaran kabupaten, terutama kabupaten yang memiliki sumberdaya alam terbatas menjadi ancaman dan potensi dilakukannya eksploitasi TNKS.

Lebong, Masyarakat Adat dan Konservasi
1.                 Pemerintahan Kabupaten Lebong perlu memberikan penjelasan secara akademik mengenai perlunya isu-isu pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan kepada masyarakat luas yang diatur secara khusus di dalam peraturan daerah yang dibuat secara partisifatif dengan melibatkan masyarakat yang secara langsung bersentuhan dengan kawasan konservasi, yang berasaskan:
•   Asas Kelestarian dan Keberlanjutan yang tidak hanya mengacu pada konsef konservasi alam klasik tetapi lebih jauh mengakomodir sistem lokal
•    Asas Pengakuan dan Kepemilikan Masyarakat Adat
•    Asas Keadilan dan Demokrasi
•    Asas Transparansi, Partisipasi dan Akuntabilitas Publik
•    Asas Holistik
•    Asas Kehati-hatian dini
•    Asas Eko-Efisiensi
•    Asas Perlindungan Optimal dan Keanekaragaman Hayati
•    Asas Pluralisme Hukum

2.  Secara konprehensif dan integralistik melakukan penataan antara kepentingan masyarakat adat/lokal, dunia usaha dan pemerintah dalam pemanfaatan, akses dan kontrol terhadap kawasan konservasi termasuk penyelesaian kontroversi tata batas kawasan, penyelesaian yang dimasud harus mengacu pada metode Pelaksanaan Implementasi Free, Prior and Informed Consent and Negotiated Agreements FPIC mempunyai implikasi pada berbagai hal baik secara politik, hukum maupun secara sosial, dimana secara politis implementasi FPIC menunjukan bahwa kekuasaan paling tinggi adalah suara rakyat. Sementara secara hukum adanya kesamaan hak (equality before law) di antara stekeholders dan secara sosial adanya hak dan otoritas masyarakat adat atas tanah dan wilayah adatnya untuk mencegah konplik dan kontroversi di kemudian hari.
3.  Sistem pengelolaan dan managemen kawasan konservasi di Kabupaten Lebong harus berdasarkan nilai-nilai lokal (local wisdom) yang masih berkembangan dan dihormati oleh masyarakat adat sekaligus sangsi atas pelangarannya yang di akui dalam bentuk kebijakan daerah
4.   Mendorong Pemerintah Daerah dan para pihak terkait di Kabupaten Lebong untuk lebih memperhatikan peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa-desa tertinggal sebagai basis bagi pembangunan kabupaten Konservasi dengan cara membangun model-model percepatan pembangunan desa tertinggal
5.  Diperlukan kampanye multimedia sistematik yang diperuntukkan bagi para pihak untuk mempengaruhi paradigma pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat tersebut.


Tumpang Tindih Atas Kepemilikan Tanah (Bundle Of Rights)


Di Marga Jurukalang Kabupaten Lebong”
 Posted by Tuntopos on 19/01/2011 in Tuntopos News | 0 Comment

Konflik pengelolaan lahan di Indonesia bukanlah barang baru lagi, pada Zaman Hindia Belanda pun hal ini telah berlansung dimulai semenjak ditetapkannya Agrarische Wet 1870 yang mengatur tentang Domainverklering (tanah Negara) oleh Pemerintah Hindia Belanda, kemudian pada tahun 1927 ditetapkannya Bosch Ordonantie 1927 (mengatur masalah kehutanan) yang isinya mengikuti Domeinverklaring yakni penguasaan pemerintah terhadap sumber daya alam.
Didalam Bosch Ordonantie ini pemberlakuannya hanya di Jawa dan Madura sedangkan Agrarische Wet 1870 berlaku di daerah-daerah yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaan lansung Pemerintah Hindia Belanda dengan ditetapkannya batas hutan BW di setiap wilayah hutan di Indonesia.
Didalam doktrin Res Nullius yang memiliki ajaran bahwa kepemilikan terhadap bumi tidak bisa di kelompokkan didalam kepemilikan seseorang atau kelompok tertentu, dalam artian seluruh tanah berada pada posisi absente atau tanah tak berpenghuni dan tak berpunya, maka menjadi alasan yang jelas bagi pemerintah  hindia belanda untuk mencaplok seluruh kawasan hutan, tanah ulayat yang berada dan menjadi semacam identitias kelompok tertentu untuk dijadikan sebagai kawasan milik Negara karena tidak memiliki alat bukti atau dapat dibuktikan secara tertulis didepan hukum Pemerintah Hindia Belanda (Domeinverklaring).
Pasca Indonesia merdeka,seiring dengan semangat kemerdekaan, pemerintah Indonesia mulai mengembangkan dan menasionalkan peraturan-peraturan yang ditinggalkan oleh pemerintah hindia belanda, namun secara substansi yang menyangkut arah pengaturan, kemudian penguasaan Negara dalam hal proses regeler khususnya pada permasalahan tanah dan penguasaan Negara kejadiannya hampir sama, dimana didalam agrarische wet 1870 yang mengatur tentang domainverklaring, maka didalam UUPA 1960, Domainverkalring Cuma berganti nama menjadi Hak Menguasai Negara.
Begitupun dengan penetapan kawasan hutan dan penguasaan serta pengaturan terhadap kawasan hutan berikut dengan proses peruntukannya, melalui UU 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kehutanan yang secara jelas mencabut Bosc Ordonantie 1927 yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda, berusaha untuk menjamin keberadaan masyarakat adat beserta entititas pendukungnya, namun yang menjadi patokan dalam proses permasalahan tentang pengakuan hak masyarakat adat dalam UU ini masih mengikuti prilaku UU ibunya (Bosc Ordonantie 1927) yakni dimana  pengakuan Negara masih terbatas dalam bentuk yang terbatas yang menggantungkan diri didalam kebijakan umum pemerintah dalam hal ini Pemerintah Daerah.
Tentu mengenai proses pengakuan ini tetap menjadi semacam ancaman pokok yang melandasi seluruh konflik tenurial di Indonesia, termasuk di Kabupaten Lebong, khususnya pada masyarakat eks marga juru kalang.
Dalam tinjauan sejarah masyarakat eks juru kalang dalam menempatkan posisi kepemilikan komunitas terhadap tanah yang sekarang menjadi kawasan TNKS (taman nasional kerinci sebelat) adalah berdasarkan pada kebutuhan akan ruang penghidupan untuk masyarakat berladang, kebutuhan akan wilayah hunian, dan kebutuhan komunitas, dalam hal penempatan suatu kawasan sebagai tanah marga.
Pola penyebaran masyarakat adat Jurukalang hingga menjadi desa bermula dari tempat yang bernama Talang-Talang atau pemukiman-pemukiman penduduk yang berada di wilayah  perkebunan, dimana sekumpulan kecil orang-orang membangun pondok-pondok yang digunakan untuk menjaga kebun dari ancaman hama serta dilatarbelakangi juga oleh jarak wilayah perkebunan dengan desa asal yang memiliki jarak tempuh yang cukup jauh.
Maka dari proses pemukiman yang bernama talang ini pada  kemudian hari mengalami  perkembangan secara kuantitas jumlah jiwa yang menghuni suatu daerah talang sampai pada bertambahnya kuantitas lahan yang menjadi kawasan areal perkebunan masyarakat. Maka atas perkembangan tersebut, beberapa kelompok masyarakat yang berada di talang berinisiatif untuk menjadikan talang tersebut menjadi desa.
Pada tahun 1971 Pemerintahan Marga maka tanah marga yang selama ini menjadi milik mareka beralih menjadi tanah Negara, salah satunya adalah Bukit Dinding (Tebo Dinding) menjadi area Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS), hal ini terjadi ketika diperbaharui kembali patok hutan BW oleh Pemerintah Indonesia.
Jika ditarik kebelakang lagi mengenai sejarah keberadaan hutan BW ini, maka pada pra kolonialis hadir ditanah Rejang, kondisi Masyarakat Rejang pada waktu itu merupakan satu kesatuan, yang egaliter tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lainnya, dimana dalam proses pengolahan tanah atau kawasan setiap masyarakat memiliki hak yang sama dengan proses regelernya diserahkan kesetiap tetua yang dipercayai sebagai orang yang bijaksana, adil.
Kemudian pada masa kolonial, Pemerintah Kolonial dalam hal ini Pemerintah Hindia Belanda, memperbaharui seluruh sistem penguasaan tanah, termasuk dalam menetapkan batasan kawasan berdasarkan kebutuhan belanda dengan jalan memecah kesatuan masyarakat dalam bentuk marga-marga.
Pada zaman marga-marga ini, proses regelernya dibawah kondisi kompromis antara  kepentingan masyarakat adat dalam lingkup suatu marga dan kepentingan pemerintah kolonial dalam menjamin kekuasaannya di tanah jajahan.
Proses pengklasifikasian jenis hutan sudah mulai berlansung atas dasar kesepakatan antara Marga dengan Pemerintah Kolonial (Wedana), yang merupakan cikal bakal dari kelahiran dari hutan BW (Boscweissen) dengan menetapkan jenis hutan kedalam tiga bentuk yakni hutan marga, hutan rakyat dan hutan cadangan, dengan memberikan sedikit keluasan bagi masyarakat dengan jarak 500 meter setelah batas BW untuk tetap bisa dikelola oleh masyarakat.
Baru kemudian pada tahun 1983 Sistem Pemerintahan Marga dicabut oleh Pemerintah Indonesia. Dengan pencabutan sistem marga ini berimbas secara lansung dengan proses pengelolaan kawasan hutan, dan pada tahun inipulalah bisa dikatakan bahwa seluruh klaim tanah adat, tanah marga, dihapus oleh Pemerintah Indonesia, kemudian menggantinya dengan patok Tata Guna Hutan Kesepepakatan (TGHK, 1984).
Dari laporan assesment yang dilakukan oleh Yayasan Akar pada wilayah Eks Marga Jurukalang ini, jika dipriodeisasikan proses pengelolaan masyarakat pada lahan yang diklaim oleh pemerintah sebagai Hutan Negara adalah sebagai berikut[1]:

1. Zaman Sebelum Penjajahan
Masyarakat sudah mulai membuka hutan untuk berkebun di daerah Bukit Pedinding dan Mudik Keligai dengan bertanam padi darat.  Pemukiman masyarakat masih berbentuk Kutai di pinggir Sungai Ketahun, pada waktu itu belum ada sistem pengairan irigasi tekhnis, masyarakat hanya mengandalkan hasil panen dari Padi Darat (Padi Siam) yang dipanen setahun sekali.  Kondisi hutan di sekitar Bukit Serdang masih memiliki kerapatan yang tinggi, maka dari kondisi ini pola interaksi masyarakat ke hutan tidak hanya sebatas berburu,dan meramu hasil hutan tapi mempunyai dimensi lain, kepercayaan terhadap gaib, dengan mengukuhkan bahwa hutan sebagai pusat pertahanan komunitas, dengan pandangan bahwaa perwujudan dari kedaulatan mereka berasal dari tanah yang mereka atur sendiri keberfungsiannya menurut system yang mereka miliki.
Masyarakat juru kalang pada masa ini memiliki mitologi sendiri tentang fungsi hutan yang berada di sekitar mereka yang mereka wariskan secara turun temurun (mitologi disini adalah perangkat khusus bagi masyrakat jurukalang untuk menyajikan kebijaksanaan tentang keselarasan alam dimana manusia juga berada didalamnya), yakni Masyarakat warga Petulai menyebut tanah yang di kuasai secara komunal ini dengan penyebutan Imbo Adat/Taneak Tanai yang dikelola secara lokal (adat rian ca’o) di dalam pengelolaannya dilaksanakan berdasarkan atas kebutuhan masyarakat itu sendiri sehingga sumber daya alam dan hutan akan mempunyai daya guna dan manfaat ekologis, ekonomi, sosial dan budaya. Karena di dasari atas anggapan bahwa tanah (Imbo Adat/Taneak Tanai) bukan saja persoalan ekonomi melainkan juga mempunyai dimensi sosial, budaya, politik serta pertahanan dan keamanan yang tinggi[2]
2.  Zaman Penjajahan Belanda
Pada era tahun 1927 hingga 1932 Penjajah Belanda memasang patok BW di wilayah hutan masyarakat juru kalang, dan menetapkan kawasan hutan ini sebagai kawasan hutan lindung.  Pada masa ini masyarakat sudah mengenal tanaman kopi yang ditanam di kebun mereka (jenis kopi lokal/kopi rejang). Sebelumnya pemerintah hindia belanda mulai memberlakukan system domainverklaring melalui agrarische wet tahun 1870, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang berada dibawah pemerintah hindia belanda secara lansung dikuasai oleh pemerintah hindia belanda dalam proses regelernya.
Posisi ini mendudukkan masyarakat jurukalang pada posisi yang kompromis, dimana system kutai yang diganti oleh pemerintah hindia belanda dengan system kerasidenan (wedana), dan memposisikan dan membagi tanah masayrakat juru kalang ke dalam tiga cluster seperti yang telah diceritakan diawal tulisan ini.

3.  Zaman Penjajahan Jepang
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan pemukiman masih di pinggir sungai Danau Pada masa ini masyarakat sudah ada yang membuka hutan di sekitar pitok nutus (bukit pedinding) untuk berkebun.
Pada masa penjajahan jepang ini tidak banyak perubahan kebijakan pemilikan dan pengolahan tanah, karena pemerintah jepang sendiri masih menggunakan system hokum yang tellah di buat oleh pemerintah hindia belanda
4.  Zaman Orde Lama
Masyarakat masih berkebun di Bukit Pedinding dan Bukit Mangkurajo, pada era ini pembukaan lahan untuk penanaman tanaman kopi semakin meluas di daerah sekitar bukit serdang.

5.  Zaman Orde Baru
Pada masa ini pemukiman masyarakat semakin meluas di pinggir sungai ketahun, masyarakat sudah mulai bertanam padi sawah dengan pengairan berasal dari aliran DAS Ketahun dan beberapa sub DAS yang berada di sepanjang DAS Ketahun.  Pertanian masyarakat masih bertumpu di wilayah Hutan adat Jurukalang dengan alasan kesuburan tanahnya.
Pembukaan lahan di ke dua bukit ini semakin meluas, khususnya untuk bertanam kopi. Kemudian pada tahun 1995, desa ini mengalami musibah banjir yang mengakibatkan dusun terpecah menjadi dua yaitu dusun bawah dan dusun atas.  Banyak lahan persawahan masyarakat di pinggir sungai ketahun rusak dan tidak termanfaatkan, begitu juga beberapa lahan yang ada di sekitar desa yang mengakibatkan lahan tidur semakin luas.
Pada masa ini pemerintah merubah status Bukit Pedinding menjadi kawasan hutan lindung dan konservasi sebagai TNKS dan HL Rimbo Pengadang Reg.43 yang pada akhirnya memicu konflik tenurial wilayah kelola tradisional masyarakat.  Pada tahun 1997 terjadi kebakaran besar yang menghanguskan sebagian hutan dan lahan budidaya masyarakat di Bukit Pedinding dan diikuti oleh program reboisasi dan rehabilitasi lahan melalui penanaman beberapa tanaman pelindung seperti sengon.

6. Zaman Sekarang
Pada masa sekarang, walaupun wilayah kelola tradisional mereka di bukit Pedinding telah diklaim menjadi hutan negara (TNKS), namun sebagian masyarakat masih tetap berkebun disana.  Ketidakjelasan tata batas dan kesuburan tanah menjadi Alasan mereka untuk tetap berkebun di sana. Di sisi lain tingkat pembukaan lahan pada kawasan hutan ini semakin luas untuk memenuhi kebutuhan lahan baru bagi masyarakat.
Apalagi volume tanah terlantar (lahan kritis/tidak produktif) semakin meningkat, pada posisi lain juga semenjak bergeraknya pola desentralisasi dan otonomi daerah, pemerintah kabupaten lebong semakin memperketat pengawasannya terhadap kawasan hutan, dan kembali menggunakan streotif masyarakat perambah kepada masyarakat jurukalang  


Kuli Kontrak Menjadi Penduduk Bengkulu


 Sejarah Bengkulu 1908-1941
Dr Lindayanti  MHum

Dari hasil penelitian A.M.P.A. Scheltema [1] disebutkan bahwa 48% dari kuli yang diberangkatkan pada tahun 1928 berasal dari daerah-daerah Banyumas Barat, daerah Bagelen, yaitu Purworejo, Kutoarjo, dan Kebumen, dan Jawa Timur, yaitu Ponorogo, Tulungagung, Blitar, Kediri, Nganjuk,  Jombang, dan  Malang. [2] Mereka berasal dari kabupaten-kabupaten di Pulau Jawa yang kepadatan penduduknya di atas 500 orang/km2, seperti Tegal, Karanganyar, Banyumas, Purbolinggo,    Purworejo,    Kebumen,   dan   beberapa     daerah      di Vorstenlanden.[3] 
Para  kuli kontrak bekerja di perusahaan-perusahaan yang berada di Luar Pulau Jawa, salah satunya adalah di Bengkulu. Sehabis kontrak sebagian dari kuli kontrak tidak kembali ke daerah asal tetapi menetap di Bengkulu. Kehidupan bekas kuli kontrak setelah menetap di Bengkulu akan dibahas dalam bab ini, dari terbentuknya desa migran kuli di sekitar lahan milik perusahaan, bekas kuli kontrak yang mengikuti prgram kolonisasi,  dan kuli kontrak  yang terjebak  di lahan milik perusahaan akibat terjadi kemelut politik tahun 1942.      
A. Desa-desa pionir  di Rejang dan Lebong
Orang dari Jawa yang bekerja sebagai kuli kontrak direkrut dengan berbagai cara.  Sebagian dari mereka ada yang mendaftar langsung pada agen tenaga kerja di kota, mendaftar kerja melalui werek, mengikuti jejak saudara atau teman sedesa yang telah lebih dahulu menjadi kuli kontrak. Sebagian lain terpaksa menjadi kuli karena diculik, dibohongi oleh werek ataupun dijual oleh keluarganya.
Selanjutnya, calon kuli dibawa ke agen besar,  misalnya  Deli Planters Vereeniging ( D.P.V.) atau Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra (A.V.R.O.S). Setelah calon kuli didaftar oleh agen dan diperiksa kesehatannya oleh dokter perusahaan maka kuli kontrak diberangkatkan ke  berbagai perkebunan di Sumatera.  Menurut pengalaman beberapa orang kuli, saat mereka mendaftar, mereka hanya mengetahui akan dipekerjakan di perkebunan Deli-Sumatera. Sampai mereka diberangkatkan   kuli kontrak tidak mengetahui, dimana mereka akan ditempatkan.
Para kuli ini bekerja berdasarkan kontrak yang dilengkapi peraturan poenale sanctie. Setelah habis kontrak,  sebagian besar kuli kembali ke daerah asal dan sebagian lain menetap di Bengkulu. Para bekas kuli kontrak yang kembali ke Jawa sebagian mendaftar kembali menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar pada agen tenaga kerja. Selanjutnya, mereka akan diberangkatkan kembali sebagai kuli kontrak ke perusahaan perkebunan ataupun pertambangan lain.
Untuk mendapat gambaran mengenai jumlah kuli yang menetap di Bengkulu dapat dilihat dari  perbandingan jumlah kuli yang masuk dan keluar. Misalnya,   pada  tahun  1917  kuli masuk ke Bengkulu berjumlah  718 orang,   sedangkan   kuli   keluar   hanya   berjumlah   365 orang. (Gambar 6.1). Perbedaan   jumlah  kuli   ini  dapat disebabkan  kuli  meninggal dunia, memperpanjang  kontrak kerja, ataupun menetap  di Bengkulu. Bekas kuli kontrak  yang memutuskan untuk menetap dapat disebabkan karena terjerat hutang pada perusahaan  ataupun mereka memang berminat menetap.   Migran bekas kuli yang memutuskan  menetap di Bengkulu dapat menempuh jalan sebagai  berikut:
1)     menetap di desa penduduk asli orang Rejang dan menikah dengan seorang wanita Rejang
2)     membuka sebuah perkampungan baru  di lahan milik perusahaan  ataupun di tanah milik  marga setempat
3)     menetap  di desa kolonisasi yang dibuka oleh pemerintah.
Sebagian dari bekas kuli memilih bertempat tinggal di luar tanah konsesi perusahaan, sebagian lain menetap dan mendirikan pemukiman baru di tanah konsesi perusahaan. Menurut laporan aspirant kontrolir Lebong pada tahun 1905, banyak bekas  kuli kontrak  bertempat tinggal di desa-desa orang Rejang dan migran menikah dengan seorang wanita Rejang. [4] 
Bekas kuli kontrak yang menetap di tanah konsesi perusahaan berkaitan dengan kebijakan perusahaan untuk mengatasi kekurangan kuli. Perusahaan mengalami kekurangan tenaga kerja karena sebagian besar kuli setelah habis kontrak tidak memperpanjang kontrak, kuli meninggal dunia ataupun kuli sakit.  Biaya mendatangkan kuli, baik dari Singapura maupun dari  Jawa,   sangat   mahal,[5] sedangkan usaha perusahaan mengambil kuli  dari dusun   sekitar   tidak   berhasil [6]  maka  perusahaan      mengambil
kebijakan menyediakan lahan bagi kuli yang bersedia tetap bekerja di perusahaan.  Bagi kuli yang telah berkeluarga dan kadangkala  membawa serta anak dan isterinya,  perusahaan menyediakan pondok dan makan bagi anak dan isteri kuli.
Sebagian bekas kuli kontrak  berminat dengan tawaran perusahaan, mereka  mendirikan pemukiman di tanah konsesi milik perusahaan. Misalnya, pada tahun 1905 pada tanah konsesi milik Perusahaan Tambang di Lebong Donok terdapat kampung migran kuli bernama Kampung Jawa  dan dihuni 40 orang Sunda dan   orang   Jawa    bekas   kuli  kontrak. Pada tahun 1907 jumlah penduduk di Kampung Jawa meningkat menjadi 80 orang seiring dengan semakin banyaknya bekas kuli kontrak yang menetap.[7] 
Pemukiman kuli lainnya adalah   Ladang Palembang,[8]  tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang telah dibuka menjadi perladangan  oleh orang-orang  Palembang.  Semula Ladang Palembang  dijadikan  tempat tinggal  bagi kuli yang tidak dapat bekerja lagi, karena sakit ataupun  sudah tua.  Dalam perkembangan selanjutnya,  Ladang Palembang  menjadi tempat tinggal bekas kuli kontrak yang masih muda dan sehat. Mereka membuka ladang, disamping tetap bekerja sebagai kuli  lepas di perusahaan tambang.   
Pemukiman orang-orang dari Jawa dipimpin  oleh seorang kepala kampung pribumi, terlepas dari  kekuasaan Datuk Pasar Muara Aman.  Akan tetapi kampung  berada dalam  pemerintahan marga yang dikepalai oleh seorang pasirah.   Para bekas kuli kontrak ini disamakan kedudukannya dengan penduduk marga setempat, yaitu Marga Suku IX. Oleh sebab itu mereka diwajibkan mengikuti kerja wajib marga dan  membayar pajak sebesar f. 8/tahun.
Selain di Lebong,  pemukiman bekas kuli kontrak terdapat di sekitar perkebunan di Rejang.  Misalnya, Kampung Jawa, yaitu sebuah perkampungan bekas kuli kontrak yang berada di dekat dusun Curup.  Pada tahun 1903, Kampung Jawa dihuni oleh sekitar 86 orang bekas kuli kontrak perkebunan.  Selanjutnya, di sekitar Perkebunan  Soeban Ajam  terdapat beberapa perkampungan bekas kuli, pada tahun 1907  penduduk di kampung-kampung tersebut berjumlah antara 300 sampai 400 orang dan beberapa orang dari mereka menikah dengan seorang wanita dari suku Rejang.[9] Selanjutnya, di Kepahiang terdapat  pemukiman bekas kuli kontrak bernama Kampung Pensiunan. Pada tahun 1903 Kampung Pensiunan (Kepahiang)  berpenduduk 86 orang dan bertambah menjadi 118 orang pada tahun 1907.
Para bekas kuli ini  menetap atas kemauan sendiri,  tidak mendapat bantuan dari pemerintah. Mereka  membuka lahan persawahan dan kebun di tanah marga, sebagian dari mereka masih tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan perkebunan. Sebagian bekas kuli hanya bekerja di ladang dan berkebun. Mereka menanami  kebun dengan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.)  dan hasilnya dijual ke Curup, atau Kepahiang. Perkampungan bekas kuli kontrak di Rejang maupun di Lebong memiliki seorang kepala kampung dari Jawa. Meskipun demikian kampung tetap berada di dalam pemerintahan marga.[10] Pertumbuhan pemukiman-pemukiman bekas kuli kontrak di sekitar perkebunan telah mengubah Curup, dari sebuah dusun kecil  menjadi  pusat perekonomian daerah Rejang. Status Dusun Curup meningkat menjadi Pasar Curup dan dipimpin oleh seorang datuk.

B.  Kuli dan  Kolonisasi
B.1. Kolonisasi Kuli di Lebong
Sebelum pemerintah melaksanakan program   kolonisasi,  perusahaan-perusahaan tambang telah memberikan sebagian tanah konsesi bagi kuli yang bersedia menetap. Oleh sebab itu saat pemerintah membuka daerah kolonisasi di Lebong  maka tujuan kolonisasi bukan hanya untuk membuka lahan pertanian tetapi  untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan tambang. Di Lebong terdapat dua macam  desa migran kuli, yaitu desa migran kuli  yang berdiri dengan bantuan pemerintah dan  tanpa bantuan pemerintah. Desa migran kuli yang dibantu pemerintah, misalnya Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur,  sedangkan desa migran kuli tanpa bantuan pemerintah, antara lain  Ladang  Palembang,  Kampung  Jawa  Baru,  Ajer Dingin,  Lebong Supit.
Pemerintah melakukan pencarian penduduk baru ke Pulau Jawa untuk menambah penduduk di desa kolonisasi kuli. Misalnya, pada bulan Mei  tahun 1911 pemerintah  mengutus orang Banten ke Pandeglang untuk mencari orang-orang yang bersedia pindah  ke Lebong. Penduduk baru yang berhasil dibawa berjumlah  77 orang dan ditempatkan di tiga desa migran kuli, Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur. Kedatangan mereka menambah penduduk  Desa  Sukaraja, Sukabumi, dan Kotamanjur sehingga penduduk di ketiga desa tersebut berjumlah 268 orang pada tahun 1912. (Gambar. 2)
Di luar desa migran kolonisasi, menurut laporan kontrolir Rejang Lebong, pada tahun 1912 di Lebong terdapat sekitar 257 orang bekas kuli kontrak yang menetap. Mereka    berada    di   perkampungan yang terletak di tanah milik perusahaan tambang, misalnya  Ladang Palembang, Kampung Jawa   Baru,    Ajer   Dingin,  Lebong   Supit,  dan   Ajer Pulang.  Sebagian lain, yaitu sekitar 20 orang bertempat tinggal di kampung-kampung orang Lebong.[11] Para bekas kuli kontrak yang menetap selain  bekerja di perusahaan tambang, juga berladang dan menjual berbagai produk pertanian, dan hasil  hutan, antara lain kayu  ke  perusahaan.    
Ketiga desa kolonisasi kuli yang mendapat bantuan pemerintah, yaitu Sukaraja, Kotamanjur, dan Sukabumi berada dekat  dengan perusahaan dan pusat pemerintahan di Muara Aman.[12] Desa dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda bekas kuli kontrak dan peserta kolonisasi yang didatangkan langsung dari Jawa. Perkampungan  terletak di dataran cocok untuk persawahan, sehingga mereka selain bekerja sebagai kuli dapat bertani. Diantara ketiga desa tersebut, lahan sawah beririgasi hanya terdapat di Kotamanjur, sedangkan lahan di Sukabumi dan Sukaraja adalah sawah tadah hujan. Kebanyakan dari mereka mencari tambahan penghasilan dengan bekerja di perusahaan, menjual kayu bakar, ataupun hasil padi mereka.         
Jumlah penduduk di ketiga desa migran kolonisasi kuli dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, dari sekitar 282 orang pada tahun   1914   menjadi    496  orang pada tahun 1918. (Gambar. 6.3)   
Akan tetapi desa-desa  migran ini mengalami permasalahan kekurangan penduduk wanita. Misalnya, pada tahun 1918 jumlah  penduduk  wanita   dewasa  hanya   113  orang, sedangkan penduduk laki-laki dewasa berjumlah  245 orang.  (Gambar. 6.4)  Hal ini   menyebabkan  angka kelahiran  anak  pun   rendah.  Ketimpangan komposisi penduduk  bertambah karena banyak  migran laki-laki yang masih lajang menikah dengan wanita Lebong. Laki-laki migran setelah menikah meninggalkan desa kolonisasi dan menetap  di  desa  isteri.  Oleh  sebab  itu  pemerintah  di  Bengkulu
mengeluarkan kebijakan mengutamakan  perekrutan wanita lajang  untuk ditempatkan di desa-desa kolonisasi di Lebong.
 Pada tahun 1919  pemerintah membuka desa kolonisasi baru, yaitu Desa Magelang Baru. Penduduk di Desa  Magelang Baru berasal dari regentschap Magelang.  Dilaporkan bahwa pada tahun 1924  penduduk di Magelang Baru   berjumlah 147 orang dengan perincian:  64 orang laki-laki, 43 orang wanita, dan 40 anak.[13]  Setelah ini pemerintah Bengkulu tidak menambah penduduk desa kolonisasi dengan cara mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa, tetapi pemerintah  mengutamakan program kolonisasi  bekas kuli kontrak  yang sudah berkeluarga. Misalnya, pada tahun 1924 pemerintah merekrut bekas kuli  dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong sebanyak 18 orang dan 12 migran spontan yang datang atas biaya sendiri, [14] untuk ditempatkan di Desa Magelang Baru. Meskipun demikian, pada tahun 1925 penduduk Desa Magelang Baru berkurang  menjadi 136 orang,  dengan perincian: 59 orang laki-laki, 36 orang wanita,  dan  41 anak..[15]  Hal ini disebabkan penduduk meninggal dunia ataupun mereka meninggalkan desa kolonisasi.
Penduduk hidup dari  bertanam padi dan palawija,  memelihara ternak: ayam dan bebek. Di samping sebagai petani,  mereka memiliki pilihan kerja lain, misalnya bekerja sebagai kuli di Dinas Pekerjaan Umum ataupun bekerja pada perusahaan tambang emas perak milik pemerintah di Tambang Sawah dan Lebong Simpang.           

B.2  Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Tanah Konsesi Milik
       Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
Di bekas tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, sampai saat penelitian berlangsung (tahun 2005), dihuni oleh bekas kuli dan keturunan kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong. Mereka adalah keturunan kuli kontrak dan lahir di Bengkulu. Kebanyakan mereka pun bekerja sebagai kuli tambang, akan tetapi hanya sebagian kecil bekas kuli perusahaan tambang yang masih hidup, misalnya Sukarjo dan Jumat. Para keturunan kuli kontrak ini memberi nama dusun dan desa mereka sesuai dengan nama tempat di perusahaan tambang. Misalnya, mereka yang tinggal di bekas lokasi rumah sakit perusahaan menamai dusun mereka Dusun Rumah Sakit, sedangkan mereka yang menempati bekas lokasi pemondokan kuli orang Cina menamai dusun mereka Dusun Pondok Cina. Selain dusun-dusun di bekas kompleks perusahaan tambang, keturunan kuli kontrak juga bertempat tinggal di dusun yang telah lama dibuka di tanah milik perusahaan, misalnya Dusun Ladang Palembang.
Di Dusun Ladang Palembang terdapat satu keluarga keturunan kuli kontrak yang dapat memberi keterangan tentang orangtua mereka, yaitu keluarga Sofyan. Ayah Sofyan bernama Suwanda, seorang kuli kontrak berasal dari Cirebon.[16]  Suwanda berangkat menjadi kuli kontrak dengan cara mendaftar langsung ke agen tenaga kerja. Pada sekitar tahun 1930-an dia berangkat sebagai kuli kontrak untuk Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah  habis kontrak, Suwanda dan beberapa kawannya tidak pulang ke Jawa, melainkan mendirikan pemukiman di lahan konsesi tambang milik Perusahaan Redjang-Lebong, yaitu di Ladang Palembang. Ladang Palembang saat itu masih berupa hutan dan berpenduduk sedikit. Mereka  membuka ladang sambil  tetap bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan tambang. Kemudian Suwanda menikah dengan Hindun, seorang kuli kontrak wanita dan memiliki 12 orang anak,  salah satunya bernama Sofyan. (Gambar. 6.5)
Setelah  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong ditutup tahun 1940,   Suwanda  bekerja  sendiri   sebagai  penambang tradisional di  bekas   lahan   tambang  milik perusahaan.[17]  Suwanda bersama kawan-kawannya pergi menambang ke berbagai bekas  penambangan,  misalnya    Lebong Simpang,     Lebong Sulit[18]   bahkan  sampai ke  Lebong Tandai.  Hal  ini disebabkan  kandungan emas di Lebong Tandai lebih besar dibandingan dengan  bekas penambangan  lainnya. Mereka bekerja  kelompok, sekitar delapan sampai 10 orang.           
Sofyan  hanya  sempat  sekolah sampai kelas lima Sekolah Rakyat   yang letaknya di desa Lebong Tambang.[19]  Setelah itu Sofyan    mengikuti  ayahnya  bekerja sebagai penambang tradisonal. Kemudian  Sofyan  menikah  dengan   Aisyah,  cucu dari seorang kuli  kontrak    yang     bernama  Rodiah   dari   Bogor. [20] Dari hasil perkawinannya Sofyan memiliki  lima orang anak. Tiga orang anaknya   bekerja   menjadi   petani,   di samping   itu   mereka   juga   bekerja sebagai penambang tradisional.[21]
Selain itu, di lokasi bekas kompleks perusahaan tambang masih dapat ditemui beberapa orang keturunan  kuli kontrak yang pernah bekerja sebagai kuli bebas di perusahaan, misalnya Sukarjo dan Jumat. (Gambar. 6.6)  Jumat   adalah   anak  dari   kuli  kontrak yang bernama   Kanta  yang  berasal dari Cimahi (Jawa Barat).[22]  Kanta berangkat kerja menjadi kuli kontrak, sekitar tahun 1920-an, dan dipekerjakan sebagai kuli tambang di Perusahaan Tambang Redjang Lebong. Setelah kontrak habis Kanta memilih menetap di Lebong Donok dan menikah dengan Marni, seorang kuli kontrak di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong.[23]  Marni dan Kanta memiliki 4 orang anak, yaitu Jumat, Sumi, Rasih, dan Mikan. Kanta adalah kuli tambang dalam yang nasibnya seperti kebanyakan kuli tambang dalam lainnya, Kanta terserang sakit TBC (tuberculose) dan meninggal dalam usia relatif muda di bawah usia 50 tahun.
Sebagai anak kuli tambang, Jumat  bersekolah hanya sampai kelas 3 di sekolah desa.   Pada   saat    itu   anak-anak   kuli tambang masih sedikit  yang  bersekolah,  satu  kelas  hanya    berisi  20 anak laki-laki, dan lima orang murid wanita.[24]  Setelah dewasa  Jumat mengikuti jejak ayahnya menjadi kuli  tambang  dan  setelah Perusahaan Tambang  Redjang-Lebong ditutup Jumat bersama kawan-kawannya melanjutkan bekerja sebagai penambang tradisional. Dari hasil pernikahannya Jumat memiliki  6 orang anak. Keenam anaknya bertempat tinggal menyebar di berbagai daerah dan tidak satupun yang menjadi penambang.
Sebelum tentara Jepang masuk  ke Indonesia tahun 1942,  Perusahaan Tambang Redjang-Lebong telah berhenti beroperasi dan sebagian kuli pindah kerja ke Tanjung Enim dan Perusahaan Tambang Simau di Lebong Tandai, sedangkan sebagian kuli lain tetap tinggal di area penambangan milik perusahaan. Mereka bekerja bersawah, berkebun, dan melakukan penambangan di bekas area penambangan. Pada saat  tentara  Jepang masuk ke Bengkulu  perusahaan tambang diduduki oleh tentara Jepang. Tentara mengangkut besi-besi, mesin perusahaan dengan bantuan para kuli yang masih berada di sekitar perusahaan.[25] Bekas kuli perusahaan diwajibkan bertanam padi (Oryza sativa L.)  dan jagung (Zea mays L.),  hasilnya diserahkan pada tentara Jepang.
Selanjutnya, pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia (tahun1945-1950) tanah konsesi milik Perusahaan Tambang Redjang-Lebong  diduduki oleh tentara Indonesia. Untuk membiayai perjuangan mereka, para tentara menjual atap  seng bekas pondok kuli perusahaan kepada penduduk yang mampu. Saat terjadi nasionalisasi perusahaan tahun 1950-an,  tanah bekas Perusahaan Tambang Redjang-Lebong yang berada  di marga Suku IX  secara resmi diambil alih oleh pemerintah Indonesia.
Para bekas kuli yang bertempat tinggal di  bekas penambangan diberi kesempatan membeli tanah dengan harga murah. Pembelian itu dimulai dari pengukuran tanah pekarangan dan sawah dan selanjutnya untuk  menebus surat tanah itu, mereka  membayar dengan  dua setengah gram emas. Penggantian itu tidak memberatkan karena para kuli dengan mudah bisa memperoleh emas tersebut dengan cara menggali di bekas penambangan. Oleh karena itu, setelah nasionalisasi perusahaan tambang ini, di sekitar bekas penambangan   milik   Perusahaan  Tambang   Redjang-Lebong telah berdiri  desa-desa migran bekas kuli.
Bekas kuli dan keturunannya yang tinggal di sekitar penambangan selain hidup dengan bersawah, mereka juga masih melakukan penggalian tambang di bekas lahan penambangan, misalnya di Lebong Tambang dan Lebong Sulit. Bekas-bekas kuli tambang, misalnya Sukarjo, Jumat, dan Sofyan masih tetap bekerja menambang emas di bekas lahan penambangan di Lebong Tambang, Lebong Sulit di bekas konsesi tambang Perusahaan Tambang Redjang-Lebong, bahkan  di Lebong Tandai  yang terletak di Bengkulu Utara.   
B.3. Kolonisasi Kuli di Rejang
Sejak awal program kolonisasi dilaksanakan pengusaha swasta  Barat   di   Rejang   tidak   keberatan dengan kolonisasi yang akan diselenggarakan oleh pemerintah.[26] Malahan, pengusaha perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij memanfaatkannya sebagai penyedia tenaga kerja bagi perkebunan.  Program     kolonisasi   di   Bengkulu  dapat   terlaksana   atas    perjuangan    Kontrolir     Rejang  D.G.  Hooijer.[27]   Pada   tahun   1908  percobaan kolonisasi dimulai di daerah Rejang dengan bantuan dana dari para kepala  Marga Selupu Rejang,  Merigi, dan Bermani Ilir. Migran kolonisasi yang datang pada tanggal 1 Maret 1908, sebanyak 66 orang dewasa dan 56 anak-anak, [28] yang ditempatkan di  dekat perkebunan Algemeen Tabak Maatschappij berjumlah 26 orang dewasa dan 18 anak-anak. Para peserta kolonisasi selain bertani, mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan  Algemeen Tabak Maatschappij.
Migran kolonisasi yang ditempatkan di dekat perkebunan sejak tanggal 3 Maret 1908 sudah harus bekerja membersihkan lahan belukar muda yang dipenuhi alang-alang (Imperata cylindrica L.)  untuk dijadikan lahan perkebunan tembakau. Setelah itu, lahan ditanami  tembakau (Nicotania tabacum L.),  tetapi penanaman pertama ini mengalami kegagalan karena  tanah yang  belum cukup asam sehingga belum siap untuk ditanami. Di samping berkebun tembakau,  mereka juga harus mempersiapkan lahan untuk membangun rumah dan memotong batang pohon untuk dijadikan kayu bakar dan dijual pada penduduk asli, sehingga  mereka bisa mendapat penghasilan tambahan sebesar 50 sen/hari. 
Pada bulan pertama kedatangannya,  migran mendapatkan jatah makanan,  misalnya beras, teh, garam, ikan, sabun, dan minyak. Di samping itu mereka mendapat uang sebesar 25 sen/ minggu/kepala keluarga. Bulan berikutnya mereka hanya mendapat jatah beras dan ikan karena keperluan lain  sudah dapat dibeli sendiri dari hasil menjual kayu ataupun bekerja di perusahaan. Setelah empat setengah bulan  kebun tembakau sudah dapat dipanen. Mereka menyetorkan daun tembakau (Nicotania tabacum L.)  ke perusahaan dan sebagai gantinya mereka mendapatkan surat bukti yang dapat ditukarkan dengan bahan kebutuhan hidup melalui Kontrolir.   Pemerintah sengaja mengatur agar administratur perkebunan tidak memberikan bayaran uang bagi daun tembakau dari para migran  karena dikhawatirkan mereka akan membelanjakan uang tersebut untuk membeli barang yang tidak perlu. Uang kontan hanya dapat mereka terima apabila mereka  bekerja di perkebunan tembakau.
Saat kaum lelaki mengurus kebun tembakau dan membuka lahan untuk berladang, kaum wanita dan anak-anak bekerja di gudang perusahaan. Akan tetapi, dalam praktiknya perusahaan kebun tetap mengalami kesulitan mendapatkan kuli karena migran kolonisasi lebih suka berladang daripada kerja di perusahaan. Misalnya, setelah lima  bulan kedatangannya,  migran orang Sunda yang mau bekerja di gudang hanya tiga orang dan itu pun hanya untuk beberapa hari.
Kelangkaan kuli terutama terjadi pada bulan Agustus ketika mereka sibuk membersihkan ladang untuk menanam padi. Pada saat itu  tidak ada migran kolonisasi yang bekerja di gudang,  baik laki-laki, wanita, maupun anak-anak. Setelah masa tanam,  biasanya para wanita dan  anak-anak  yang berusian sembilan sampai 14 tahun kembali bekerja di gudang. Dalam satu minggu pekerja wanita dan anak bisa mendapatkan penghasilan sebesar f. 6,90. Biasanya  migran laki-laki hanya bekerja di perusahaan selama dua hari dengan upah sebesar f. 1, setelah itu mereka kembali bekerja di ladang.
Enam bulan setelah kedatangan migran di Dusun Air Sempiang telah berdiri  15  rumah migran kolonisasi dan lahan seluas sepertiga bau sudah ditanami padi ladang.[29]   Mereka telah memiliki uang sendiri untuk membeli padi seharga f. 2,50/pikul.  Untuk  membuka persawahan, mereka harus membangun saluran irigasi terlebih dahulu. Selain bertanam padi, migran menanami pekarangannya dengan  sayuran. Hasil sayur mereka jual ke Pasar Kepahiang.
Berdasarkan pengalaman keberhasilan menggabungkan kolonisasi kuli dan pertanian itu maka  pemerintah Bengkulu lebih memilih merekrut bekas kuli kontrak daripada mendatangkan penduduk langsung dari Pulau Jawa. Kolonisasi model ini adalah salah satu cara untuk mengatasi kekurangan kuli di perusahaan-perusahaan swasta Barat di Bengkulu. Dalam rangka menjalankan program kolonisasi bagi bekas kuli kontrak, pemerintah memberikan  pinjaman uang sebesar f. 15/kepala keluarga bagi bekas kuli yang bersedia menetap.
Program kolonisasi kuli yang dilaksanakan pada tahun 1920  diikuti  19 orang  bekas kuli kontrak dari Perusahaan Tambang Redjang-Lebong dan Perkebunan Kopi Soeban Ajam. Mereka ditempatkan di desa-desa migran kolonisasi yang telah ada di daerah Rejang dan Lebong. Selanjutnya, pada tahun 1921 sejumlah orang bekas kuli kontrak dari   perkebunan  tembakau  Nederlandsch-Indie  Landbouw  Syndicaat (N.I.L.S.), dan Perkebunan Ajer Sempiang  yang mengikuti kolonisasi ditempatkan di areal persawahan Lubuk Blimbing (Marga Suku Tengah Kepungut-Rejang). [30]   Desa migran Lubuk Belimbing terletak di tanah beririgasi yang disiapkan  oleh Dinas Pekerjaan Umum, sehingga migran tidak mengalami kesulitan menggarap lahan. Tujuan pembukaan desa kolonisasi ini adalah para  migran dari Jawa dapat memberi contoh bagi penduduk pribumi  dalam menggarap sawah.[31]
Pembukaan desa kolonisasi bekas kuli  Lubuk Belimbing menelan biaya f. 16.000 untuk membangun saluran irigasi. Akan tetapi, program ini gagal karena saluran irigasi tidak dapat berfungsi baik. Akibat kesulitan hidup di desa kolonisasi  Lubuk Belimbing, pada tahun 1923  banyak penduduk  meninggalkan  desa. Sampai dengan tahun 1928 areal persawahan yang dibuka tahun 1923 belum menghasilkan padi yang mencukupi  untuk hidup sehingga mereka masih harus berladang. Di samping itu, mereka hidup dari
hasil kebun kopinya.[32] Oleh sebab  itu, jumlah penduduk pada tahun 1928 makin berkurang,  yaitu  tahun  1921  Desa   Lubuk   Blimbing  berpenduduk sebanyak 94 orang, pada tahun 1928 desa hanya dihuni  60 orang karena sebagian penduduk pindah ke desa kolonisasi lain.[33]
Selain itu, masih  banyak  bekas kuli kontrak yang menetap dan membuka pemukiman baru tanpa bantuan pemerintah. Misalnya, Desa Suro Muncar (Pulau Geto), Desa Pekalongan (Merigi Kelubak). Desa Pekalongan  adalah desa-desa yang didirikan atas inisiatif bekas kuli kontrak dan migran spontan dari Pulau Jawa dengan cara meminta izin untuk mendapatkan tanah pada kepala marga setempat. Oleh karena mereka penduduk pendatang, maka diwajibkan membayar uang yang disebut “Sawah Bukit” ke kas marga [34] dan  dengan sendirinya desa ini tergabung dalam ikatan marga dan  mereka mempunyai hak dan kewajiban sama dengan penduduk asli. Menurut laporan kontrolir Rejang, pada tahun 1928 di Rejang terdapat sekitar 29 desa yang dibuka atas inisiatif para bekas kuli kontrak. Desa-desa ini terdapat di Marga Merigi,  Desa Pekalongan di dekat Desa Suro Muncar dan  Pulau  Geto,  Desa Karanganyar  yang terletak di dekat Kepahiang, dan Kampung Jawa di Curup.[35]

B.4 Kehidupan Bekas Kuli Kontrak di  Perkebunan Soeban Ajam
Bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, pada saat penelitian ini berlangsung (tahun 2005) dihuni oleh orang-orang Jawa, Rejang, dan suku lainnya. Komposisi penduduk Desa Suban Ayam tahun 2005 adalah 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. [36] Orang Jawa di Desa Suban Ayam pun tidak semua merupakan keturunan kuli kontrak perkebunan, karena pada tahun 1960an desa menerima transmigrasi pindahan dari  Pekik Nyaring (Bengkulu Utara),  dan transmigrasi  swakarsa dari Bengkulu Utara.[37]  Keturunan kuli kontrak perkebunan dan pernah bekerja di perkebunan,  hanya bersisa sekitar 4 orang, antara lain Rohid dan Husen.
Rohid, adalah anak seorang kuli kontrak  asal Subang yang bernama Ampai. Ampai sebelum bekerja dan menetap di Suban Ayam,  selalu berpindah-pindah kerja dari satu perkebunan ke perkebunan lain. Dimulai dari Jawa, Ampai berangkat kerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek.[38]  Pada mulanya Ampai  menjadi kuli kontrak karena bujukan seorang werek. Werek menawarkan upah  sekitar f.1/hari untuk bekerja di perkebunan Sumatera. Hal ini menarik bagi remaja yang belum memiliki pekerjaan. Akhirnya Ampai mendaftar menjadi kuli kontrak dan dipekerjakan di sebuah perkebunan di Aceh.
Selama Ampai bekerja sebagai kuli  kontrak tidak pernah mengalami kekerasan fisik meskipun upah tidak  sebesar yang dikatakan oleh werek.  Setelah habis masa kerja Ampai tidak memperpanjang kontrak, dia pulang ke  Jawa. Sesampai di Jawa Ampai mendaftar ke agen tenaga kerja dan diberangkatkan sebagai kuli kontrak untuk  perkebunan di  Deli. Akhirnya, pada tahun 1925 Ampai bekerja sebagai kuli kontrak di Perkebunan Soeban Ajam. Selanjutnya, dia menikah dengan seorang kuli kontrak wanita perkebunan Suban Ajam.  dan  memiliki anak bernama Rohid.[39] Oleh karena kedua orangtuanya bekerja sebagai kuli,  Rohid bersama anak-anak lain diasuh oleh seorang babu yang disediakan perusahaan. Saat berumur kurang lebih 12 tahun Rohid mulai bekerja di perkebunan.
Rohid bersama beberapa anak bekas kuli kontrak yang menetap di sekitar perkebunan, bekerja menjadi penyadap karet. Upah yang diterima tergantung dari hasil getah yang didapat setiap harinya. Para penyadap karet mulai pukul 04.00 sampai pukul 09.00 menyadap karet, setelah itu mereka pulang ke rumah untuk makan.[40]   Baru pada pukul 12.00 mereka kembali ke kebun untuk mengambil getah hasil sadapan. Berbeda dari para kuli kontrak, kuli-kuli harian tidak mendapatkan santunan  dari perusahaan.  Sebagai kuli bebas, tentu saja Rohid tidak memperoleh  fasilitas dari perkebunan, misalnya pemondokan, perawatan rumah sakit, atau memperoleh pensiun dari perusahaan. Dalam sehari, seorang kuli bisa mendapatkan  kurang lebih 15 liter getah dan mendapatkan upah sebesar 45 sen.[41]
Setelah dewasa, Rohid menikah dengan Painah dari Desa Tangsi Baru  di Perkebunan Kaba Wetan. Painah juga anak seorang kuli kontrak.  Ayah Painah bekerja di Perkebunan Kaba Wetan yang kemudian  setelah habis masa kontraknya menetap di lokasi perkebunan dan menjadi kuli bebas, sedangkan isterinya berhenti menjadi kuli kontrak dan bekerja sebagai penjual makanan di lokasi perusahaan. [42] Demikian halnya dengan Rohid dan Painah, setelah menikah Rohid tetap bekerja di perkebunan dan isterinya menjadi penjual makanan di lokasi Perkebunan Soeban Ajam, seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Bekas   kuli   kontrak    lain    yang   menetap  di  lahan   milik Perkebunan Soeban  Ajam adalah Anirang.[43]  Anirang yang berasal dari Banten berangkat menjadi kuli kontrak sekitar tahun 1920-an.  Anirang bekerja menjadi kuli kontrak melalui jasa seorang werek   dan ditempatkan di Perkebunan Dempo. Setelah kontrak habis, Anirang mendaftar lagi menjadi kuli kontrak dan ditempatkan di Perkebunan Soeban Ajam.  Setelah kontrak habis Anirang menetap di lahan perkebunan dan tetap bekerja menjadi kuli bebas.  Kemudian Anirang menikah dengan Sawinah dan memiliki seorang anak bernama Husen. (Gambar. 6.7)
Pada tahun 1941 Perkebunan Soeban Ajam tutup, kebanyakan  kuli perkebunan pindah kerja ke Perkebunan Kaba Wetan, termasuk Anirang.  Di perkebunan Kaba Wetan Anirang  menjadi mekanik  pabrik, dan menjadi mandor pada pembangunan jalan perkebunan. Sekitar setahun bekerja, Anirang meninggalkan perkebunan, selanjutnya dia menetap di desa migran Permu.   Pada tahun 1943, saat tentara Jepang menduduki Perkebunan Soeban Ajam, Anirang  pulang ke Suban Ayam.   
Pada saat itu kebun-kebun kopi dibongkar dan diganti tanaman jagung (Zea mays L.)  dan jarak (Ricinus communis L.).  Para bekas kuli perkebunan dipekerjakan oleh Jepang untuk menanam jagung dan rami (Boehmeria nivea L.).  Perkebunan dibagi menjadi dua, yaitu separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Pondok Seng (Sambirejo)  ditanami jarak, jagung, dan rami,  sedangkan separuh dari afdeeling Suban Ayam sampai dengan afdeeling Kali Padang hanya ditanami jagung.  Apabila seorang kuli dapat menyetor jagung 3 ton/sekali panen, maka akan dibebaskan dari kerja paksa, sedangkan mereka yang tidak sanggup akan dibawa Jepang untuk ikut kerja paksa.[44]
Setelah Indonesia merdeka,  perkebunan diambil alih oleh pemerintah RI, dan pemerintah membagikan tanah perkebunan  kepada bekas kuli perkebunan dengan pembayaran ganti rugi yang murah.[45]  Desa-desa pun terbentuk, misalnya Desa Kali Padang, Air Duku, dan Suban Ayam.  Masing-masing  desa   memiliki   kepala desa   sendiri, dan Anirang diangkat menjadi kepala desa pertama  Desa Suban Ayam.[46] Selanjutnya, pada tahun 1946 diadakan pemilihan kepala desa, Paimun, seorang bekas kuli kontrak yang menetap di perkebunan Soeban Ajam terpilih sebagai kepala desa. Sampai tahun 2005   desa Suban Ayam telah memiliki 10 orang  kepala desa, kebanyakan  orang Jawa. [47]

C.  Perubahan Politik dan Nasib Kuli di Perkebunan Kaba Wetan
Nasib bekas kuli bekerja di Perkebunan Kaba Wetan berbeda dengan mereka di Suban Ayam maupun di Lebong Donok. Mereka dapat menempati lahan bekas perusahaan dengan membayar ganti rugi yang murah karena setelah Indonesia merdeka perusahaan tidak dioperasikan lagi. Akan tetapi bekas kuli Perkebunan Kaba Wetan mengalami sengketa tanah setelah berhasil mengambil alih lahan perusahaan. Hal ini disebabkan setelah Indonesia merdeka perusahaan dioperasikan kembali, sehingga pemerintah mengambil kembali lahan perusahaan yang telah diduduki oleh para bekas kuli.  Di lahan bekas perkebunan berdiri desa-desa yang dihuni oleh keturunan kuli perkebunan, antara lain  Kolonisasi Air Sempiang yang sekarang bernama Kampung Bogor dan perluasan dari Kampung Bogor diberi nama Kampung Babakan Bogor, Air Sempiang atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lambou, Barat Wetan, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren.  Diantara keturunan kuli kontrak tersebut masih terdapat beberapa orang bekas kuli perkebunan, misalnya Jamal dan Maeran.
Jamal, (Gambar. 6.8)    adalah salah satu kuli kontrak periode terakhir sebelum Perkebunan Kaba Wetan jatuh ke tangan tentara Jepang. Jamal yang berasal dari desa  Salam (Yogyakarta), sebelum berangkat menjadi kuli kontrak bekerja sebagai pemain ketoprak keliling   yang  tidak  memiliki  tanah.[48] Selanjutnya,    Jamal  mengikuti pamannya  yang  sudah.bekerja di Perkebunan Kaba Wetan bekerja sebagai kuli di Perkebunan Kaba Wetan dengan kontrak selama  tiga tahun.   Pada tahun 1935 Jamal beserta calon kuli lainnya diberangkatkan naik  kereta api dari Yogyakarta menuju Jakarta,  kemudian  mereka diangkut dengan kapal menuju Bengkulu. Sampai di Pelabuhan Bengkulu mereka dijemput truk milik perusahaan perkebunan dan  dibawa ke Perkebunan Kaba Wetan di Kepahiang
Jamal  menandatangi  kontrak  kerja  untuk  masa  3 tahun   dengan bayaran  3000  rupiah uang putih (f. 30)[49] dan mendapatkan upah harian  sebesar 30 sen.[50]  Akan tetapi, upahnya setiap  hari  dipotong  sebanyak satu sen untuk biaya makan. Setiap bulan perusahaan memberikan bahan makanan berupa beras, minyak, gula dan lain-lain. Selain upah, perusahaan juga memberi fasilitas berupa pemondokan kuli; alat kerja untuk   berladang,   misalnya    pacul  dan  parang;  penanganan kesehatan gratis di rumah sakit perusahaan.[51]  Saat  bekerja  menjadi kuli, Jamal mendapatkan peningkatan status menjadi  mandor kecil dan kemudian meningkat lagi menjadi mandor besar.
Penghapusan poenale sanctie, bukan berarti tidak terjadi lagi kekerasan terhadap kuli. Misalnya, menurut cerita yang berkembang pada kalangan kuli di Perkebunan Suban Ayam,  di afdeeling Kali Padang (Suban Ayam) pernah ada kuli  digantung sampai mati oleh mandor besar Musa (orang Banten). [52]Di samping itu, hukuman ringan pada kuli yang mangkir kerja oleh mandor masih sering terjadi.  Pengalaman menjadi kuli kontrak ini  tidak berlangsung lama. Oleh karena nasib Jamal dan para kuli kontrak lainnya  di Perkebunan Kaba Wetan berubah saat  tentara Jepang mengambil alih perkebunan.
 Pada tanggal 23 Februari 1943 Keresidenan Bengkulu secara resmi jatuh ke tangan Jepang dan dengan gerak cepat tentara Jepang menuju ke dataran tinggi Rejang dan Lebong.[53] Rejang Lebong memiliki posisi strategis bagi Jepang, sebagai daerah lumbung beras dan pusat perusahaan perkebunan dan pertambangan. Perusahaan-perusahaan milik pengusaha swasta Barat diambilalih. Nasib perusahaan beserta kuli yang ditinggalkan Belanda tidak sama satu dengan yang lain. Perkebunan yang tidak menguntungkan dirombak menjadi  kebun tanaman pangan, sedangkan perkebunan yang menguntungkan tetap dipertahankan.  Misalnya, pada pertengahan April 1943 Perkebunan teh Kaba Wetan dibongkar karena hasil teh tidak dapat diekspor ke luar negeri.[54] Selanjutnya, para bekas kuli dikerahkan untuk mengganti dengan tanaman palawija, seperti jagung, kacang (Arachis hypogeae L.), dan umbi-umbian.
Selama masa pendudukan  Jepang, kegiatan perkebunan terhenti. Para bekas kuli  dibiarkan mengambil alih tanah perkebunan. Jamal mendapatkan kesempatan memperoleh tanah dan dia mendirikan rumah dan membuka   ladang   di lahan perkebunan.[55]  Sejak   itu,   para   bekas    kuli  memiliki   tanah   pekarangan  dan  lahan   pertanian. Di bekas lahan perkebunan itu para bekas kuli mendirikan rumah yang di sekitarnya ditanami jagung  dan sayuran. Kehidupan menjadi sulit karena mereka tidak mendapatkan upah kerja lagi. Mereka hidup hanya dari hasil pertanian  yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kehidupan semacam ini berjalan terus sampai Indonesia merdeka.
Pada tahun 1949 dilaksanakan perjanjian Konferensi Meja Bundar yang berisi antara lain bahwa perkebunan swasta asing harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sedangkan perkebunan milik pemerintah Hindia  Belanda   diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia, termasuk perusahaan milik swasta asing yang sudah tidak beroperasi.[56]  Perkebunan Kaba Wetan sejak tahun 1950, diputuskan menjadi milik pemerintah Indonesia, dan pelaksanaannya diserahkan kepada daerah masing-masing. Oleh karena setelah merdeka Bengkulu dimasukkan dalam pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, maka pengelola perkebunan adalah pemerintah daerah di Palembang. Selanjutnya, Perkebunan Kaba Wetan dikelola oleh perusahaan swasta  N.V. Kenawen Palembang,[57] Saat itu keadaan tanaman teh (Camellia sinensis L.)  di perkebunan sudah rusak. Sebagian lahan perkebunan  telah menjadi lahan pertanian dan terdapat rumah-rumah yang dihuni oleh bekas kuli perkebunan.          
Sebelum perkebunan dapat berfungsi dengan baik pada tahun 1957 meletus peristiwa PRRI. Saat itu pada pertengahan bulan Agustus 1957 Mayor Nawawi beserta pasukannya yang menjadi pendukung gerakan PRRI di Sumatera Barat dan melakukan desersi ke Bengkulu. Pada saat pasukan melewati areal perkebunan, mereka melakukan pembakaran pabrik dan kebun, dan membunuh sekitar 11 orang di Kaba Wetan.  Setelah peristiwa PRRI ini seluruh aktivitas perkebunan teh terhenti. Dalam masa vakum ini lahan perkebunan dijadikan kebun dan sawah oleh penduduk setempat  dengan status hak pakai yang artinya penduduk  hanya memiliki hak untuk menggunakan lahan, tidak dapat memilikinya, ataupun menjualnya.
Selanjutnya, pada tahun 1986 mantan Gubernur Bengkulu Abdul Chalik (Gubernur Bengkulu 1974-1979) berencana membuka kembali perkebunan Kaba Wetan. Saat  perkebunan didata ulang hanya lahan seluas 1.900 ha dapat digunakan karena selebihnya adalah dataran perbukitan. Akhirnya ditetapkan tanah seluas 1.000 ha diserahkan kepada P.T. Sarana Mandiri Mukti sebagai lahan perkebunan. Dari lahan seluas 1.000 ha,   kurang lebih 250 ha.  terdapat lahan milik empat desa, yaitu Desa Tangsi Baru, Desa Tangsi Duren, Desa Barat Wetan, dan Desa Aer Sempiang, pekuburan umum, jurang, sungai, dan jalan,  sehingga kegiatan pertama dari perusahaan adalah memberi ganti rugi untuk tanaman penduduk.
 Pada masa peralihan ini terjadi ketegangan antara penduduk dan perusahaan, karena  masalah ganti rugi yang dirasa terlalu kecil. Akhirnya pada pertengahan tahun 1989 warga mulai pindah ke dalam batas-batas desa, dan pada sekitar tahun 1990-an perusahaan perkebunan mulai beroperasi. Di bekas lahan Perkebunan Kaba Wetan ini sejak tahun 1990-an terdapat dua perkebunan teh : Perkebunan Teh  Trisula milik pengusaha Taiwan dan Perkebunan Teh  Sarana Mandiri Mukti milik Pemerintah Daerah Bengkulu.  Kedua perkebunan ini  lebih suka mempekerjakan orang dari Jawa dibandingkan dengan pekerja orang Rejang, karena pekerja orang Jawa dan orang Sunda  dianggap lebih tekun bekerja.[58]
Orang-orang dari Jawa yang bermukim di Barat Wetan dan Babakan Bogor kebanyakan bekerja di Perkebunan Trisula, sedangkan orang-orang dari Jawa   yang berada di desa Air Sempiang, yang lebih dikenal dengan sebutan desa Lambou, Tangsi Baru, dan Tangsi Duren bekerja di Perkebunan Sarana Mukti Mandiri .[59]  
              Para bekas kuli dan keturunannya yang menetap di Bengkulu, memiliki kehidupan baru yang berbeda-beda. Misalnya, desa-desa migran kuli di bekas penambangan Lebong Donok merupakan pemukiman  homogen yang hanya dihuni oleh orang Jawa dan orang Sunda keturunan kuli tambang.  Kebanyakan dari keturunan kuli tambang masih  bekerja sebagai penambang.
 Desa migran Suban Ayam, yang berada di  bekas lahan Perkebunan Soeban Ajam, merupakan  pemukiman yang dihuni oleh bermacam-macam suku, selain keturunan kuli perkebunan. Hal ini dapat terjadi karena letak  desa yang berdekatan dengan desa penduduk asli Rejang dan berada di sepanjang jalan propinsi. Kebanyakan keturunan kuli perkebunan bekerja sebagai petani, baik bertanam padi maupun sayuran.
 Desa-desa migran kuli yang berada di  Perbukitan  Kaba, sangat berbeda dari desa migran dari Jawa lainnya. Desa-desa mereka terletak di perbukitan dan  terpisah jauh dari desa-desa penduduk asli, sehingga kehidupan desa migran kuli ini terkesan eksklusif.  Pada saat  perkebunan Kaba Wetan berhenti berproduksi, terjadi peralihan status dari kuli kontrak menjadi petani bebas. Setelah bertahun-tahun mereka dan keturunannya hidup bertani dan berkebun, tetapi saat perkebunan teh pada tahun 1990-an  diaktifkan kembali,  banyak dari  keturunan kuli  yang menjadi pekerja perkebunan. Karena hidup  bertani dan bekerja sebagai pekerja upahan di perkebunan lebih baik daripada hanya bekerja sebagai petani.
             
( Dikutip dari dan seizin  Dr. Lindayanti. M.Hum “ (BAB VI) KEBUTUHAN TENAGA KERJA DAN KEBIJAKAN KEPENDUDUKAN: MIGRASI ORANG DARI JAWA KE BENGKULU  1908-1941” Disertasi untuk memperoleh derajat Doktor Ilmu Sejarah pada Universitas Gadjah Mada 9 Agustus 2007) Untuk kajian tentang Sejarah Perkebunan Teh di Bengkulu dapat dilihat dari Skripsi Sarjana Sastra bidang Ilmu Sejarah. Fak. Sastra Universitas Andalas Padang 1995. Ardiansyah.DSS “SEJARAH PERKEBUNAN TEH DI BENGKULU 1927-1988”

DAFTAR PUSTAKA
1.        A.M.P.A. Scheltema, “Eenige gegevens betreffende den economischen toestand in de regentscahppen, van waar in 1928 de meeste contractkoelies vertrokken” dalam Koloniale Studien, dertiende jrg. (Weltevreden: G. Kolff & Co., 1929), hlm. 411-429                
2.        Ibid., hlm.  412              
a.        Berdasarkan data dari Kantor Pusat Statistik bekerja sama dengan Kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) dan dari Kontrolir ketenagakerjaan ( Wervingscontroleurs), tahun 1928  dalam Indisch Verslag, 1930, hlm. 53
3.        Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476 afs. No: 1486/20. Adanya perkawinan antara laki-laki dari Jawa dengan perempuan Rejang maka hak dan kewajiban laki-laki dari Jawa itu akan sama dengan warga Rejang asli.  
4.        Disebutkan bahwa ongkos mendatangkan kuli setara dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengolah 1 ton batuan tambang, Verslag  van de Directie der Mijnbouwmaatschappij Ketahoen, 1905.
5.        Menurut laporan kontrolir onderafdeeling Rejang W.A. de Laat de Kantoor,  orang Rejang belum  terbiasa   memenuhi  kebutuhan hidup dengan kerja  upahan. Mereka beranggapan pekerjaan semacam ini  memalukan dan tidak terhormat. Akan tetapi hal ini tidak berlaku, apabila mereka bekerja di perkebunan milik orang pribumi yang dibayar dengan cara bagi hasil. Mvo. Onderafdeeling Redjang, KIT. 946, hlm. 44 
6.        Ibid.  Mgs. 17 Juni 1911 no. 1476, Afschrift No. 1486/20
7.        Ladang Palembang sampai sekarang dihuni oleh  orang Sunda keturunan dari kuli kontrak yang dahulu  bekerja di Perusahaan Tambang Redjang-Lebong
8.        Mgs. 17 Juni 1911, loc cit.
9.        Ibid.
10.     J. van Breda de Haan, “Kolonisatie op de Buitenbezittingen” dalam Teysmania, (Batavia: G. Kolff & Co., 1915),  hlm. 415
11.     Kotamanjur,  letaknya 3 ½ pal (5,25 km) dari Muara Aman, Sukabumi letaknya 5 pal (7,5 km) dari Muara Aman, dan Sukaraja yang berpenduduk orang Sunda letaknya hanya 1 ½ pal ( 3 km) dari Muara Aman
12.     Koloniaal Verslag tahun  1925
13.     Ibid
14.     Koloniaal Verslag 1926
15.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005
16.     Wawancara dengan Sofyan, anak  Suwanda kuli kontrak  Perusahaan Tambang Rejang –Lebong yang menetap di Desa Ladang Palembang,  tanggal 9 April 2005 
17.     Dari Desa Ladang Palembang menuju penambangan Lebong Sulit hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki selama satu malam perjalanan
18.     Jarak Ladang Palembang  dan Lebong Tambang sekitar dua km
19.     Rodiah , pada tahun 2005 telah berumur sekitar 95 tahun dan masih hidup, akan tetapi sudah tidak dapat melihat dan mendengar. Menurut cucunya, Aisyah, Rodiah mulai bekerja menjadi kuli kontrak wanita di Perusahaan Tambang Redjang Lebong pada sekitar tahun 1925. Rodiah menikah dengan seorang kuli kontrak dan menetap di desa Ladang Palembang. 
20.     Pada tahun 2000 salah seorang anak Sofyan meninggal dunia karena kecelakaan kerja sewaktu menambang emas di Gunung Pongkor (Bogor).
21.     Wawancara dengan Jumat, Pondok Cina-Muara Aman, tanggal 10 April 2005 
22.     Marni berasal dari Purworejo (jawa Tengah).  Marni  menjadi kuli kontrak karena diajak  adik perempuannya yang juga bekerja di perusahaan tambang  dan suami adiknya adalah jurutulis di kantor lobang. 
23.     Wawancara dengan Jumat,  Pondok Cina (Muara Aman), tanggal 10 April 2005
24.     Wawancara dengan Sukarjo, Lebong Tambang (Muara Aman), tanggal 9 April 2005
25.     Hal ini berlainan dengan asumsi umum bahwa para pemilik      perkebunan tidak setuju dengan kolonisasi karena  dianggap dapat  menyebabkan  kesulitan dalam    perekrutan  buruh dan akan menghabiskan tenaga kerja orang dari Jawa. Patrice Levang, op cit, hlm.36
26.     Percobaan kolonisasi di Kepahiang disetujui oleh  Menteri Jajahan Idenburg dan merupakan perkecualian dengan alasan karena tanah yang akan digunakan sebagai percobaan kolonisasi sangat subur maka  Menteri tidak keberatan asal dalam pelaksanaan tidak menyimpang dari tujuan  program emigrasi, Bijlagen 4 Januari 1909 no. 23/9 dalam  BT 25  Januari 1909 no. 17 
27.     Afs. No 158/20 10 September 1908
28.     Afs. No 158/20 loc cit.
29.     Mvo.  Onderafdeeling Redjang, KIT  946, op cit.,  hlm. 3
30.     Ibid., hlm. 2.
31.     Ibid., hlm. 3
32.     Mvo. Residentie Benkoelen, 1932, KIT 202, op cit.,  hlm.  67
33.     Mvo. Onderafdeeling Redjang, 1928, KIT. 936, op cit., hlm. 3
34.     Ibid., hlm. 2 
35.     Wawancara dengan Achmad Cholil, kepala desa Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
36.     Wawancara dengan Achmad Cholil
37.     Wawancara dengan Rohid, anak dari Ampai dan bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam, di desa Suban Ayam tanggal 3 April 2005
38.     Wawancara dengan Rohid, bekas kuli di Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di desa  Suban Ayam, tanggal  3 April 2005
39.     Wawancara dengan Paimin, bekas kuli harian Perkebunan Soeban Ajam, Tritunggal Curup, tanggal 5 April 2005
40.     Wawancara dengan Rohid, ibid.
41.      Wawancara dengan Painah, bekas kuli kontrak wanita dari Perkebunan Soeban Ajam dan menetap di Desa Suban Ayam,  tanggal 3 April 2005
42.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
43.     Wawancara dengan Husen, di Desa Suban Ayam, tanggal 5 April 2005
44.     Sejak tahun 1968 lahan perkebunan Soeban Ajam telah disertifikatkan  menjadi hak milik penduduk.
45.     Ibid. 
46.     Penduduk Suban Ayam tahun 2005  adalah: 60% orang Jawa, 30% orang Rejang, dan 10% campuran dari macam-macam suku. Wawancara dengan kepala desa Suban Ayam  Achmad Cholil, tanggal 5 April 2005  
47.     Wawancara dengan Jamal, bekas mandor perkebunan Kaba Wetan sehingga  menetap di Air Sempiang-Kepahiang, tanggal 1 April 2005
48.     Wawancara dengan Maeran, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Barat Wetan, tanggal 3 April 2005
49.     Upah seorang kuli kontrak wanita sebesar 25 sen/hari dan  dipotong sebanyak 1 sen untuk biaya makan, Wawancara dengan Jamal, bekas kuli kontrak  Perkebunan Kaba Wetan, Desa Air Sempiang, tanggal 3 April 2005
50.     Rumah sakit perusahaan untuk penyakit ringan terletak di afdeeling Tngsi Baru, sedangkan kuli yang menderita penyakit berat dikirim ke Rumah Sakit Pusat Waringin Tiga.  
51.     Wawancara dengan Rohid, anak kuli kontrak Perkebunan Soeban Ajam, Desa Suban Ayam, tanggal 7 April 2005
52.     Kementerian  Penerangan,  Propinsi Sumatera Selatan, 1955, hlm. 168
53.     Perjuangan Rakyat Tanah Rejang, Sebuah Fragmen Perjuangan Fisik Rakyat di Kota Curup dan Sekitarnya, (Pemerintah Kabupaten Rejang Lebong, 2000), hlm. 22
54.     Pada  tahun  1953 desa Air Sempiang diakui secara resmi oleh pemerintah dan jamal dipilih sebagai kepala desa yang pertama di desa Air Sempiang. Kepala desa Air Sempiang baru diganti pada tahun 1993 dan penggantinya adalah anak dari Jamal.
55.     Karl. J. Pelzer, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan melawan Petani (terj.),   
56.     (Jakarta: Sinar Harapan, 1991), hlm. 49
57.     Wawancara dengan Wakun Karyo, desa Tangsi Baru (Kaba Wetan), tanggal  2
58.     April 2005
59.     Wawancara dengan Wakunkaryo, di desa Tangsi Baru, tanggal 2 April 2005 
60.     Wawancara, Ibid.