Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah Pangeran Kotadonok
Para Tokoh Masyarakat
Pasar Kotadonok
Kotadonok 1826
Keluarga Pangeran Kotadonok
Putra Mahkota Pangeran Kotadonok
Rumah-rumah di Kotadonok
Rumah Gubernur Sumatera Selatan, Husein di Kotadonok
Sejarah Singkat
Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini,
dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa
Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV
Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei
Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia
merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama
tersebut.
Kotadonok termasuk
salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama
desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman),
Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin
penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan
Hindia Belanda.
Kotadonok berjarak
40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari
Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan
kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem
pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani
Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.
Alasan kenapa
Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena
Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem
pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani
Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang
tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu
merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya
pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di
tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.
Tanda-tanda sebagai
desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon
kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat
ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang
sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan
ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di
Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar
Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok
diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan
penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di
desa/kampung Kotadonok.
Jika pada tahun
2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti
lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia
mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau
diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah
lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman
Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.
Desa Kotadonok
(sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang
mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua)
jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa
Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih
panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang
membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut
dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama
‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5
(lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga
Imansyah.
Perekonomian
Perekonomian di
desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa
lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan
sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa
Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan
beragam.
Harus diakui, sejak
lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak
ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian
padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat
Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak
tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di
bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten
Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan
tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan
penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok
sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI,
Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu,
semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni.
Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat
Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat
Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat.
Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun
Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun
antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan
areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber
airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa
Kotadonok.
Namun sejak tahun
1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah
satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar
daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke
luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang
Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota
tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun,
banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak
mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.