Kenangan Jalan Kaki
Ke Tambang Emas
Di atas Pegunungan
di Sawah Mangkurajo itulah letaknya Tambang Emas Lebong Simpang. Di dalam foto
ini terlihat ditutup kabut. Memang cuaca di Sawah Mangkurajo sangat dingin
sekali. FOTO NAIM EMEL PRAHANA
SEBELUM aku tuliskan kenangan
masa kecil ini, aku merasa berat untuk meneruskan tulisan masa silam ini.
Karena, foto-foto yang harusnya memperkuat tulisan ini, tidak ada. Maklum pada
zaman itu memang foto masih barang langka. Namun kenangan masa silam ini ada
suatu kenyataan hidup di tanah Lebong.
JUJUR saja aku
katakan, keluarga kami memang asli penduduk Kotadonok ( Kota Donok, juga
boleh), yang mata pencaharian keluarga 100% dari bertani, sementara kebun
adalah pendukung mata pencaharian bercocok tanam tadi. Aku sangat bangga dengan
orangtuaku, kampungku, daerahku, sukubangsaku.
Bapak ibuku
memiliki areal pertanian di lembah Pegunungan Bukit Barisan yang sudah dikenal
dengan nama Sawah Mangkurajo. Areal itu jaraknya dari Kotadonok sekitar 12 km.
Pada zaman aku sampai tamat SD tahun 1971, untuk sampai ke Sawah Mangkurajo
harus menempuh jalan di tengah hutan belantara—jalan setapak dan harus berjalan
kaki. Sangat melelahkan, tapi begitu mengasyikkan berada di dalam hutan
seharian penuh.
Sekitar 7 km atau 9
km dari Sawah Mangkurajo ke arah Utara terdapat kawasan tambang emas Lebong
Simpang yang sangat populer disaat penjajahan Belanda dan pada awal kemerdekaan
RI sampai sekitar tahun 1969. untuk sampa ke tambang emas Lebong Smpang, juga
harus menempuh perjalanan berat dengan berjalan kaki. Tambang emas Lebong
Simpang, juga dengan dengan Arga Makmur di Bengkulu Utara. Namun, medan jalan
yang harus dilalui sangat sulit, karena harus mendaki gunung yang terjal.
Demikian pula dari
Kotadonok atau dari Sawah Mangkurajo kami harus berjalan kaki, ada satu kawasan
yang jalannya tegak lurus di tebing pegunungan Bukit Barisan. Namanya Tebing
Pulus, setelah melewati jalan tebing yang terjal itu, kami atau siapa saja yang
mau ke tambang emas Lebong Simpang harus berhenti di Pudau Pulus. Entah kenapa
dinamakan ‘Pulus’ kawasan itu.
Konon yang aku
dengar semasa kecil itu, nama tebing pulus dan pudau pulus itu diambil dari
nama pohon di kawasan tersebut. Kondisi jalan tebing pulus tidaklah jauh, kalau
diukur secara mendatar mungkin tidak lebih dari 200 meter. Akan tetapi, karena
jalan setapaknya berada di tebing yang tegak berdiri. Membuat para pejalan kaki
harus berjuang penuh untuk bisa mencapai pudau pulus yang ada di atasnya. Jalan
setapak mendaki tebing pulus harus melewati akar-akar kayu yang berserakan di
tebing itu.
Tebing pulus hanya
dilalui pendulang (pencari emas), pedagang dan penambang musiman yang datang
dari arah Kotadonok dan Tes. Sementara kalau melewati Rimbo Pengadang, jalan ke
tambang emas Lebong Simpang sangat datar. Karena, sejaka lokasi tambang emas
Lebong Simpang dibuka kolonial Hindia Belanda dahulu kala. Merupakan jalan lori
(kereta kecil) pengangkut batu emas, barang dan orang dari dan ke Lebong
Simpang.
Usai melewati jalan
setapak mendaki di Tebing Pulus, selanjutnya perjalanan ke Lebong Simpang cukup
datar. Namun, masih tetap di tengah hutan belantara yang masih lebat. Suasana
tambang emas mulai terasa ketika memasuki jembatan air merah yang membentang
sekitar 25 meter di atas sungai merah. Aku belum tahu persis, sungai besar itu
namanya apa. Kenapa disebut jembatan dan sungai merah? Karena, airnya selalu
berwarna kuning akibat air limbah yang mengalir dari perusahaan tambang dan
pondok-pondok pendulang yang menggiling tanah dan batu emas yang hampir 24 jam
nonstop.
Pada kurun waktu
1960—1969 merupakan masa jaya tambang emas Lebong Simpang setelah Indoesia
merdeka atau setelah ditinggal penjajah Belanda dan Inggris dan kemudian oleh
Jepang. Pengusaha yang terkenal saat itu adalah H Lukman dan Chang E (panggilan
akrab mereka). Kedua pengusaha tambang emas keturunan Cina itu sudah begitu
jaya. Diperkirakan saat itu keduanya memiliki karyawan masing-masing tidak
kurang dari 100 orang.
Oleh karena itu,
setiap hari ada saja anak buah keduanya naik
(istilah pendulang) ke Lebong Simpang membawa bahan bakar solar dan bahan
makanan di tambang emas Lebong Simpang. Mengangkut bahan solar ke Lebong
Simpang itu menggunakan sistem upahan. Satu tangki khusus tempat minyak solar
di bawa oleh satu orang. Dapat dibayangkan, berapa banyak tenaga yang naik
turun dari dan ke Lebong Simpang mengangkut bahan minyak untuk mesin pengolah
biji emas berupa tanah dan batu.
Ayahanda (bakku)
dulunya, juga pernah punya sebuah tambang yang bekerjasama dengan salah
keluarga kerabat. Namun, ketika saya mash kecil tambang itu dijual. Oleh
karenanya sesekali ayahanda kami datang ke Lebong Simpang dari Sawah Mangkurajo
(dalam bahasa kampungnya disebut Saweakkrajo).
Aku pernah diajak ke sana ketika aku duduk di kelas 3 atau 4 SDN 1 Kotadonok,
sekitar tahun 1968. tapi tahun pastinya aku lupa.
Ketika ke Lebong
Simpang, ayahku membawa sayuran, antara lain pucuk po’ong (pakis), daun
slada dan kan putiak beberapa
ekor. Waktu itu juga untuk mendapatkan kan putiak (ikan putih seperti ikan
tawes, namun ukurannya besar) sangat gampang di Saweakkrajo. Hanya membutuhkan
beberapa saat memancing ikan di Bioa Putiak (Ar/sungai Putih) yang ada di
lembah Saweakkrajo, sudah mendapatkan ikan cukup banyak. Makanan pancingnya
cukup dengan bunga pohon dadap
(bungai Dap). Mungkin, sekarang tidak akan bisa lagi seperti itu.
Du Lebong Simpang,
sayuran dan ikan yang kami bawa dibeli para pendulang atau pedagang makanan dan
roti di Lebong Simpang. Yang membuat aku kecil terperanggah waktu itu, sistem
jual beli di Lebong Simpang tidak menggunakan uang seperti sekarang ini. Akan
tetapi menggunakan emas. Sayuran dan ikan diharga dengan beberapa sagai emas. (‘sagai’ itu pecahan dari
gram).
Demikian pula kalau
kita mau membeli roti di warung-warung di Lebong Simpang, kita juga membelinya
dengan kepingan emas yang baru ke luar dari glundungan.
Sebutan ‘glundungan’ itu adalah sebuah besi bundar (seperti untuk
gorong-gorong) berdiameter 50-cm sampai 100 cm. Besi glundungan itulah yang
akan menghancurkan bebatuan dan tanah yang mengandung emas. Kemudian setelah ke
luar dari glundung, aantara perak dan emas dipisahkan dengan daun khusus yang
dicampur dengan sesuatu zat (aku lupa namanya).
Bahkan, aku kecil
yang datang ke Lebong Simpang, karena memang di sana tidak ada anak kecil sebab
tidak ada perempuan atau keluarga yang bermukim. Banyak sekali diberikan emas
dengan ukuran sagai tadi. Kebetulan
ayah kami adalah salah satu tokoh d Lebong Simpang waktu-waktu sebelumnya.
Semua kenangan itu
masih sangat melekat dalam benak pikiranku sampai sekarang. Walaupun tempat
kami Kotadonok atau Sawah Mangkurajo dekat dengan lokasi tambang emas Lebong
Simpang, sejak tamat SD aku sudah tidak lagi mengunjungi tambang emas itu. Aku
rindu ingin ke sana?