Sabtu, 17 September 2011
Minggu, 11 September 2011
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...
Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam
Kisah Heroik
Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah
masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan
zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat
bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes)
perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah
Lebong.
Banyak perwira
tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera
Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam
perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan
oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu,
sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu,
para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai
bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra
Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan
setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara
Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di
Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari,
kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan,
berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima
informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah
hutan.
“Saat itu, sekitar
tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat
Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI
bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah
itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam
(Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan
belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai
kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke
Muara Aman.
Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar
beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan
bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang,
termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli
Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik,
kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah
gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan
dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik
berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada
lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah
keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah
Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan
Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik
yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan
melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli,
apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan
Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari,
biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari
rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang
tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat
cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada
di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!”
kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman
mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan
digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan
orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan
Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama
penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak
Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa
ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung
dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal
itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan
anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena,
permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda,
tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan
kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah
putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil
untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian
dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru)
di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari
adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang
juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem
(di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar
takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri
menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu,
Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk
antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga
menjadi satu.
“Baru saja perahu
saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan
saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata
Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam
barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca
Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat
itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu,
dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi,
tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik
butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di
daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau
wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen)
sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan
saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya,
menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat
duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui
diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa
sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan
diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di
tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik
Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada
saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam
yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha
pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa
penduduk lainnya.
Sebagai gambaran
Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu
1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan
teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi
areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling
padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga
hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung
penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk
melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan
melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah
Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga
ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik
guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah
Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang
sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo
atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara
Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang
sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang
diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah
satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan
pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein
yang ia panggil dengan sebutan mamak
(paman) itu.
Rahmat dan kakaknya
adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari
Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur
Sumatera Selatan di Palembang.
Sumber:
1.
Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.
Rahmatsyah bin H Aburudin
Kotadonok
3.
Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi
Tanjungkarang, Lampung
4.
Serma (purn) Ngadiyo di
Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.
dan beberapa sumber lainnya yang
diwawancara antara tahun 1980—1985.
Langganan:
Postingan (Atom)