BENTENG FORT MARBOROUGH
by: dpr.go.id
Pendidikan sejarah di bangku sekolah merupakan salah satu mata pelajaran yang tergolong penting bagi semua siswa. Mata pelajaran tersebut dapat dikatakan sebagai dasar pengenalan siswa akan sejarah bangsanya. Alur sejarah maupun tempat bersejarah Indonesia yang ada sejak zaman kerajaan hingga perjuangan merebut kemerdekaan tidak boleh hilang ditelan waktu.
Salah satu peninggalan bersejarah bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan adalah Benteng Fort Marborough di Bengkulu. Keberadaan benteng ini sampai sekarang jarang diketahui masyarakat meskipun perannnya sangat penting pada masa itu.
Tim Kunjungan Kerja (Kunker) Komisi X DPR yang membidangi Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Pariwisata, Perpustakaan serta Pemuda dan Olahraga dalam Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2007-2008 melakukan Kunker ke Provinsi Bengkulu. Tim yang dipimpin Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno menemukan kurangnya perhatian yang diberikan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah terhadap Benteng Fort Marborough.
Dalam Kunker tersebut, Ketua Tim Irwan Prayitno (F-PKS) menilai pendidikan di SD dan SMP di seluruh Indonesia harus ada pelajaran sejarah, termasuk sejarah kemerdekaan. Menurutnya salah satu daerah bersejarah dalam era merebut kemerdekaan dari penjajah adalah Bengkulu, terutama Benteng Fort Marborough.
Irwan berharap agar pendidikan untuk SD dan SMP perlu diinsentifkan juga kepada pelajaran yang berkaitan dengan sejarah dan perjuangan merebut kemerdekaan, sehingga dengan demikian Bengkulu akan menjadi satu tempat kunjungan bagi para pelajar dan juga masyarakat untuk melihat sejarahnya dan mengenang perjuangan para tokoh-tokoh pendahulu sebelumnya.
“Di Bengkulu banyak peninggalan-peninggalan sejarah,” kata Irwan.
Peninggalan sejarah di Bengkulu dapat terlihat sejak masa merebut kemerdekaan hingga zaman pemerintahan Soekarno. Irwan menilai tempat-tempat bersejarah tersebut jangan sampai hilang dan tidak diketahui generasi yang akan datang.
“Peninggalan sejarah di wilayah ini dapat terlihat sejak era perjuangan melepaskan dari penjajahan. Bahkan dari zaman abad 18 kolonial sampai kepada datangnya Soekarno untuk kemerdekaan merupakan sejarah yang sangat berharga bagi bangsa ini, ” ujarnya.
Hal senada diungkap Anggota Tim Kunker Aan Rohanah (F-PKS) yang menilai Benteng Fort Marborough merupakan bukti sejarah bagi Indonesia. Benteng tersebut menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan.
Ia meminta supaya keberadaan benteng ini dapat terus dijaga dan disosialisasikan melalui mata pelajaran sejarah yang diajarkan di bangku sekolah.
“Sebab ini ‘kan bukti sejarah perjuangan di Indonesia yang pernah dijajah oleh negara lain,” katanya.
Aan Rohanah berharap keberadaan Benteng Fort Marborough di Bengkulu dapat menjadi bagian sejarah dunia, tidak hanya bagi Indonesia. Selain menjadi bagian sejarah dunia, keberadaan benteng itu juga dapat memacu semangat perjuangan anak bangsa.
“Untuk bisa menjadi pemacu semangat perjuangan anak bangsa sekaligus juga untuk menunjukan perdamaian dunia, ini perlu juga dijadikan sebagai sejarah dunia untuk kalangan lain, tidak hanya untuk bangsa Indonesia,” tegasnya.
Dalam Kunker, Aan menyarankan supaya pemerintah daerah Bengkulu membuat terobosan-terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat. Dengan membuat terobosan yang dapat diakses pemerintah pusat maka secara otomatis akses ke dunia internasional juga terbuka sehingga potensi pariwisata diketahui masyarakat luas.
“Nanti pusat ikut membantu untuk melakukan hal-hal yang bisa diakses oleh dunia internasional dalam kepariwisataan,” katanya.
Potensi Pariwisata
Keberadaan Benteng Fort Marborough yang memiliki sejarah bagi Indonesia pada khususnya dan dunia pada umumnya mempunyai potensi pariwisata yang belum tergali. Promosi yang kurang dilakukan pemerintah setempat menjadikan keberadaan benteng bersejarah tersebut tidak diketahui masyarakat luas.
Menurut Anggota Tim Kunker Ruth Nina M. Kedang (F-PDS), perlu ada kiat-kiat yang dilakukan pemerinath pusat dan pemerintah daerah Bengkulu dalam mempromosikan tempat bersejarah yang ada di wilayahnya, khususnya Benteng Fort Marborough.
“Pertama harus ada komitmen dari pemerintah daerah menjadikan ini sebagai desinasi wisata nasional,” katanya.
Lebih jauh Ruth Nina menjelaskan bahwa pemerintah daerah harus giat melakukan promosi potensi pariwisata yang ada. Promosi tersebut dapat dilakukan melalui event-event yang dapat menarik minat wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Bengkulu.
“Pemerintah daerah juga harus giat melakukan event-event, harus melakukan pemasaran ke seluruh Indonesia ataupun ke dunia untuk menarik wisatawan mancanegara ataupun domestik untuk datang ke Indonesia, khususnya Bengkulu. Yang penting adalah pengembangan desinasinya melengkapi fasilitas dan event-event sebagai sarana promosi pariwisata,” ujarnya.
Nina menjelaskan bahwa daerah di Indonesia tidak seluruhnya pernah dijajah Inggris. Pendirian benteng pada masa itu juga menjadi daya tarik tersendiri dari sisi pariwisata saat ini.
“Tidak banyak daerah-daerah kita yang pernah dijajah oleh Inggris, apalagi mendirikan benteng pada zaman kolonial. Jadi sangat bagus, sangat baik untuk dijadikan potensi pariwisata nasional,” katanya.
Sementara itu Ferdiansyah (F-PG) meminta pemerintah daerah Bengkulu untuk serius menggarap potensi pariwisata yang ada diwilayahnya. Hal ini juga sebagai pendukung tahun kunjungan wisata Indonesia atau Visit Indonesia Year 2008.
“Kalau memang Bengkulu dijadikan salah satu obyek wisata apalagi menjadi salah satu kunjungan wisatawan mancanegara dalam konteks Visit Indonesia Year 2008 memang yang harus segera dipersiapkan adalah bagaimana mengemas semua potensi yang ada sehingga menarik untuk dikunjungi,” ungkapnya.
Ferdiansyah menilai potensi pariwisata yang ada di Bengkulu tidak kalah dengan yang ada di wilayah ataupun negara lain. Guna menunjang potensi pariwisata Bengkulu maka perlu disiapkan sumber daya manusia yang sangat memadai.
Ferdiansyah berharap pemerintah daerah setempat dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang memadai. Kemampuan tersebut diharapkan dapat menarik wisatawan lokal dan asing untuk berkunjung ke obyek-obyek wisata yang ada di Provinsi Bengkulu. Menurutnya dengan adanya sumber daya manusia yang kompeten dapat meninggalkan kesan yang baik bagi wiatawan yang datang sehingga ketika mereka kembali ke negaranya akan menceritakan betapa terkesannya tempat wisata dan pelayanan yang diberikan di Bengkulu.
“Kalau soal obyek wisata yang ada di Indonesia tak kalah bagusnya dengan negara lain, bahkan melebihi daripada obyek-obyek wisata yang ada di dunia,” tegas Ferdiansyah. (iw)
Minggu, 21 September 2008
BENTENG FORT MARBOROUGH
Analysis of Rice Market Integration in Bengkulu
Analysis of Rice Market Integration in Bengkulu
Feb 09, 2008 at 01:39 PM
Author : Andi Irawan and Dewi Rosmayanti
Abstract :The goal of this research is to analyze spatial integration and vertical integration in Bengkulu rice markets dan its implication for policy application. Four rice markets were evaluated including Bengkulu Municipality, Rejang Lebong Regency, North Bengkulu Regency and South Bengkulu Regency. Weekly series data of 2001 to 2005 were used as sample data in analyzing spatial integration test. The vertical integration used weekly data of the period of 2002 to 2005 for Kota Bengkulu. Series data of 2001 to 2005 were used for Rejang Lebong, 2004 to 2005 for South Bengkulu and 2002 to 2005 for North Bengkulu. Quantitative methods used in this study were Johansen Cointegration Test, Vector Error Correction Model, and Granger Causality Test. The results indicate that: 1) Rice market in Bengkulu is imperfect on its spatial integration market, from which a shock in Bengkulu Municipality market could be transmited to South Bengkulu Regency and North Bengkulu markets, but not to Rejang Lebong market. Policy implication of this result give indication that to stabilize local rice markets in Bengkulu Province, priority intervention of local government is to stabilize in Bengkulu Municipality Market, because price stabilization in Bengkulu Municipality could be transmitted to other market in most districts in Bengkulu Province. 2) Vertical market integration in Bengkulu Municipality and South Bengkulu is imperfect, but statistically such integration is proved significantly in Rejang Lebong Regency and North Bengkulu.
Key words : rice markets, spatial integration, vertical integration, Johansen cointegration test, vector errror correction model, Granger causality test
The paper is written in Indonesian language. For those who require the paper, please contact us at publikasi_psekp@yahoo.co.id
Feb 09, 2008 at 01:39 PM
Author : Andi Irawan and Dewi Rosmayanti
Abstract :The goal of this research is to analyze spatial integration and vertical integration in Bengkulu rice markets dan its implication for policy application. Four rice markets were evaluated including Bengkulu Municipality, Rejang Lebong Regency, North Bengkulu Regency and South Bengkulu Regency. Weekly series data of 2001 to 2005 were used as sample data in analyzing spatial integration test. The vertical integration used weekly data of the period of 2002 to 2005 for Kota Bengkulu. Series data of 2001 to 2005 were used for Rejang Lebong, 2004 to 2005 for South Bengkulu and 2002 to 2005 for North Bengkulu. Quantitative methods used in this study were Johansen Cointegration Test, Vector Error Correction Model, and Granger Causality Test. The results indicate that: 1) Rice market in Bengkulu is imperfect on its spatial integration market, from which a shock in Bengkulu Municipality market could be transmited to South Bengkulu Regency and North Bengkulu markets, but not to Rejang Lebong market. Policy implication of this result give indication that to stabilize local rice markets in Bengkulu Province, priority intervention of local government is to stabilize in Bengkulu Municipality Market, because price stabilization in Bengkulu Municipality could be transmitted to other market in most districts in Bengkulu Province. 2) Vertical market integration in Bengkulu Municipality and South Bengkulu is imperfect, but statistically such integration is proved significantly in Rejang Lebong Regency and North Bengkulu.
Key words : rice markets, spatial integration, vertical integration, Johansen cointegration test, vector errror correction model, Granger causality test
The paper is written in Indonesian language. For those who require the paper, please contact us at publikasi_psekp@yahoo.co.id
Legenda Ular Kepala Tujuh
Legenda Ular Kepala Tujuh
Lebong adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Konon, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kutei Rukam. Pada suatu hari, keluarga kerajaan ini dilanda kepanikan luar biasa, karena putra mahkota menghilang pada saat melakukan prosesi upacara mandi bersama dengan calon istrinya di Danau Tes. Hilang kemanakah putra mahkota dengan istrinya? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Ular Kepala Tujuh berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.
Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara
Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. Anonim. “Kabupaten Lebong,”
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses tanggal 27 Mei 2008.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan pengem-bangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://www.melayuonline.com
ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
geinte said...
pasoak sesamo tunjang..
keep up a good work..
klo bukan kito siapo lagi yg meliharo asal-usul budaya rejang.
salam kenal dari aku, geinte..
anak rejang yg kuliah dibandung..
klo butuh bantuan info atau apapun hubungi aku di einte2hipmetal@yahoo.com
2008-03-13
Lebong adalah salah satu nama kabupaten di Provinsi Bengkulu, Indonesia. Konon, di daerah ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kutei Rukam. Pada suatu hari, keluarga kerajaan ini dilanda kepanikan luar biasa, karena putra mahkota menghilang pada saat melakukan prosesi upacara mandi bersama dengan calon istrinya di Danau Tes. Hilang kemanakah putra mahkota dengan istrinya? Temukan jawabannya dalam cerita Legenda Ular Kepala Tujuh berikut ini!
* * *
Alkisah, di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano.
Raja Bikau Bermano mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun, ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana hilangnya pasangan itu.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana.
“Ampun, Baginda! Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang hulubalang.
“Apa katamu?” tanya sang Raja panik.
“Benar, Baginda! Kami sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat.
“Ke mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik.
“Ampun, Baginda! Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak.
Mendengar jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.
“Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara.
“Baik, Baginda!” jawab bendahara sambil memberi hormat.
Beberapa saat kemudian, seluruh hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana.
“Wahai, rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano.
Tidak seorang pun peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua) kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat bicara.
“Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan sesuatu.”
“Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran.
“Ampun, Baginda! Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi hormat.
“Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya.
“Benarkah yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja.
“Benar, Baginda!” jawab tun tuai itu.
“Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,” ujar sang Raja.
“Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang hulubalang.
Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular di dasar Danau Tes.
“Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu raja.
“Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan pandangannya ke arah putranya.
“Izinkanlah Ananda pergi membebaskan abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya.
Semua peserta sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang cukup besar.
“Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang Raja.
“Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Apa yang akan kamu lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik.
Mendengar cerita Gajah Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
“Baiklah! Besok kamu boleh pergi membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik.
Keesokan harinya, berangkatlah Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air.
Semula Gajah Merik berniat kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam salah satu dari ular itu.
“Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang.
“Kamu tidak boleh masuk!” cegat ular itu.
Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari. Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik.
Setelah itu, Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun, Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian.
Ketika akan melewati pintu ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak.
“Ha... ha... ha..., anak manusia, anak manusia!”
“Hei, Raja Ular! Keluarlah jika kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah.
Merasa ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor ular raksasa.
“Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?” tanya Raja Ular itu.
“Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik.
“Lepaskan abangku dan istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha... ha.... ha...., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu, tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular.
“Apa syarat itu?” tanya Gajah Merik.
“Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil tertawa berbahak-bahak.
“Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru Gajah Merik menantang.
Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap, ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian anak kecil itu.
“Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular.
“Tapi, kamu tidak akan mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha... ha... ha....!!!” tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak.
“Tunjukkanlah kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik.
Tanpa berpikir panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik. Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang itu berjalan seimbang.
Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi, namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga. Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang ke arah perut Raja Ular.
“Aduuuhh... sakiiit!” jerit Raja Ular menahan rasa sakit.
Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba kembali menyerangnya.
“Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku kalah,” kata Raja Ular.
Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah ruangan.
Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun, sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes datang dengan tergesa-gesa.
“Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang.
“Ah, bagaimana mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya baginda heran.
“Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang itu.
“Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum.
Tidak berapa lama kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh keluarga istana.
Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu.
“Ampun, Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik. Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram.
“Baiklah, jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik.
“Ampun, Ayahanda! Ananda bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab Gajah Merik memberi syarat.
“Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya sang Raja penasaran.
“Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?” pinta Gajah Merik.
Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja. Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi hulubalang Kerajaan Kutei Rukam.
Kisah petualangan Gajah Merik ini kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong tidak berani berkata sembrono.
* * *
Demikian cerita Ular Kepala Tujuh dari Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, Indonesia. Cerita rakyat di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu sifat rendah hati dan tahu diri.
Pertama, sifat rendah hati. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Merik. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak pernah pamer dan menyombongkan diri. Sifat ini dapat memupuk ikatan tali persaudaraan. Sebagaimana dikatakan dalam untaian syair berikut ini:
wahai ananda kekasih bunda,
janganlah engkau besar kepala
rendahkan hati kepada manusia
supaya kekal tali saudara
Kedua, sifat tahu diri. Sifat ini tercermin pada perilaku Gajah Meram. Semestinya dialah yang berhak dinobatkan menjadi raja, namun karena menyadari bahwa adiknya memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari pada dirinya, maka ia pun menyerahkan tampuk kekuasaan Kerajaan Kutei Rukam kepada adiknya, Gajah Merik. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa dengan memahami kekurangan dan kelebihan dirinya, seseorang akan tahu menempatkan diri dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
apa tanda tahu dirinya:
hamba tahu akan Tuhannya
anak tahukan orang tuanya
raja tahukan daulatnya
alim tahukan kitabnya
hulubalang tahukan kuatnya
cerdik tahukan bijaknya
guru tahukan ilmunya
tua tahukan amanahnya
muda tahukan kurangnya
lebih tahukan kurangnya
(SM/sas/77/05-08)
Sumber:
* Isi cerita diadaptasi dari Prahana, Naim Emel. 1998. Cerita Rakyat Dari Bengkulu 2. Jakarta: Grasindo. Anonim. “Kabupaten Lebong,”
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Lebong, diakses tanggal 27 Mei 2008.
* Effendy, Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian dan pengem-bangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa.
http://www.melayuonline.com
ShareThis
Labels: Folk Tale
1 comments:
geinte said...
pasoak sesamo tunjang..
keep up a good work..
klo bukan kito siapo lagi yg meliharo asal-usul budaya rejang.
salam kenal dari aku, geinte..
anak rejang yg kuliah dibandung..
klo butuh bantuan info atau apapun hubungi aku di einte2hipmetal@yahoo.com
2008-03-13
Arachnis flosaeris from Rejang Land
Arachnis flosaeris from Rejang Land
(Sumatra Highland)
Found on the Malaysian pennisula as well as Sumatra, Java, Borneo and the Philippines in mangroves and along rivers at elevations of sea level to 1000 meters as a as a large to giant sized, warm growing monopodial, climbing epiphyte or scrambling lithophyte often over 15' tall, with terete, elongate, scandent stems carrying ligulate or linear-oblong, curved, slightly twisted, notched and gradually narrowing towards the apex, basally clasping leaves that are pierced below at intervals by roots and blooms on a simple or branched, axillary, to 4' [120 cm] long, ascending to drooping inflorescence with many widely spaced flowers with a strong musky to sweet scent occuring in humid environments almost continuously but most in the fall.
Synonyms Aerides arachnites Sw. 1799; Aerides flosaeris (L.) Sw. 1799; Arachnis flosaeris (L.) Schltr. 1911; Arachnis flosaeris var. gracilis Holttum 1935; Aerides matutinum Willd. 1805; Arachnis moschifera Blume 1826; Arachnanthe flos-aeris Rchb.f 1905; Arachnanthe moschifera Blume 1848; Epidendrum aerosanthum St.-Lag. 1880 ; *Epidendrum flos-aeris L. 1753; Limodorum flos-aeris Sw. 1799; Renanthera arachnites Lindley 1833; Renanthera flos-aeris Rchb.f 1858; Renanthera moschifera [Bl.] Hassk. 1848;
In Rejang Land especially sumatera highland, people call this flowers as Anggrek Kalajengking in mean as scorpion orchid in english, some literatur say in other place call as spider orchid. In Curup Town, with lied abaut 700 - 800 metres from level sea, the orchid grow rapidly with good condition, even in wild rainforest of heart Sumatrahigland. In this area I have found two varian, one of them as u can see below. The photo taken by Arga in Curup town, the other varian little bit more bigger than this one, and more dark brown color if we compare with this one.
Lets take alook the Anggrek kala jengking species from Rejang Land: Now we compare with species from other area, let see below : This is from Philipines :
This one below very rare is called as Arachnis flosaeris Insignis Photo :
http://www.tropicalexotica.com/c1.htm
Source : http://www.rv-orchidworks.com/orchidtalk/orchids-other-genera-bloom/10885-arachnis-flosaeris.html. http://www.orchidspecies.com/arachflos-aeris.htm
http://www.orchidsasia.com/arachnis.htm. http://www.tropicalexotica.com/c1.htm
(Sumatra Highland)
Found on the Malaysian pennisula as well as Sumatra, Java, Borneo and the Philippines in mangroves and along rivers at elevations of sea level to 1000 meters as a as a large to giant sized, warm growing monopodial, climbing epiphyte or scrambling lithophyte often over 15' tall, with terete, elongate, scandent stems carrying ligulate or linear-oblong, curved, slightly twisted, notched and gradually narrowing towards the apex, basally clasping leaves that are pierced below at intervals by roots and blooms on a simple or branched, axillary, to 4' [120 cm] long, ascending to drooping inflorescence with many widely spaced flowers with a strong musky to sweet scent occuring in humid environments almost continuously but most in the fall.
Synonyms Aerides arachnites Sw. 1799; Aerides flosaeris (L.) Sw. 1799; Arachnis flosaeris (L.) Schltr. 1911; Arachnis flosaeris var. gracilis Holttum 1935; Aerides matutinum Willd. 1805; Arachnis moschifera Blume 1826; Arachnanthe flos-aeris Rchb.f 1905; Arachnanthe moschifera Blume 1848; Epidendrum aerosanthum St.-Lag. 1880 ; *Epidendrum flos-aeris L. 1753; Limodorum flos-aeris Sw. 1799; Renanthera arachnites Lindley 1833; Renanthera flos-aeris Rchb.f 1858; Renanthera moschifera [Bl.] Hassk. 1848;
In Rejang Land especially sumatera highland, people call this flowers as Anggrek Kalajengking in mean as scorpion orchid in english, some literatur say in other place call as spider orchid. In Curup Town, with lied abaut 700 - 800 metres from level sea, the orchid grow rapidly with good condition, even in wild rainforest of heart Sumatrahigland. In this area I have found two varian, one of them as u can see below. The photo taken by Arga in Curup town, the other varian little bit more bigger than this one, and more dark brown color if we compare with this one.
Lets take alook the Anggrek kala jengking species from Rejang Land: Now we compare with species from other area, let see below : This is from Philipines :
This one below very rare is called as Arachnis flosaeris Insignis Photo :
http://www.tropicalexotica.com/c1.htm
Source : http://www.rv-orchidworks.com/orchidtalk/orchids-other-genera-bloom/10885-arachnis-flosaeris.html. http://www.orchidspecies.com/arachflos-aeris.htm
http://www.orchidsasia.com/arachnis.htm. http://www.tropicalexotica.com/c1.htm
Aksara Ka Ga Nga
Oleh tanah rejang
Aksara KA GA NGA terdiri dari 27 buah tua (19 huruf tunggal dan 8 huruf pasangan atau huruf ngibang), dan 13 tanda baca.
TATA CARA PENULISAN HURUF
1. Kemiringan huruf 45 º sampai dengan 50 º.
2. Menulis dari arah kiri ke kanan, dari sudut bawah kiri kesudut kanan atas, kecuali
huruf memakai garis tegak lurus permulaan atau penutupan. Garis tegak berukuran
setengah dari tinggi huruf.
3. Penulisan huruf KAGANGA memiliki garis halus dan kasar, garis yang ditarik keatas
halus sedangkan garis kebawah kasar atau tebal.
4. Untuk keseragaman penulisan dan agar tidak terjadi salah baca, maka penulisan harus dengan bantuan kotak-kotak pola persegi empat, contoh lihat pada halaman 52 (Aksara Rejang).
5. Setiap penulisan kata harus diatur jarak satu atau dua huruf ke kata berikutnya.
6. Awal penulisan yang menggunakan huruf Ē, E, I, O dan U harus menggunakan huruf A dengan merubah bunyinya.
7. Huruf latin yang tidak terdapat pada huruf Rejang adalah : F, V, Q, X, Z. untuk menggantinya dipergunakan huruf : F dan V dipergunakan huruf = PA Q dipergunakan huruf = KA X dan Z dipergunakan huruf = SA
8. Dalam huruf KAGANGA, tidak dikenal istilah huruf besar dan huruf kecil
HURUF TUNGGAL :
1. KA 5. DA 9. MA 13. SA 17. WA
2. GA 6. NA 10. CA 14. RA 18. HA
3. NGA 7. PA 11. JA 15. LA 19. A
4. TA 8. BA 12. NYA 16. YA
HURUF PASANGAN/NGIBANG :
1. MBA 3. NDA 5. NCA 7. NGGA
2. MPA 4. NTA 6. NJA 8. NGKA
TANDA BACA :
1. Mengubah bunyi huruf buah tua menjadi : I, E, O, U dan bunyi vokal rangkap : AI dan
AU.
2. Mengganti beberapa konsonan : NG, N, R, M dan H.
3. Tanda bunuh atau pemati konsonan bagi yang tidak mendapat tanda pengganti yaitu :
KA bunuh menjadi = K DA bunuh menjadi = D
GA bunuh menjadi = G PA bunuh menjadi = P
CA bunuh menjadi = C BA bunuh menjadi = B
JA bunuh menjadi = J SA bunuh menjadi = S
TA bunuh menjadi = T LA bunuh menjadi = L
KEDUDUKAN TANDA BACA :
1. Kiri atas untuk bunyi : I, Ē, O
2. Kiri bawah untuk bunyi : U, E, AU
3. Kanan atas untuk bunyi : NG, N, M, R, AI
4. Belakang untuk bunyi : H dan pemati konsonan
PENGEJAAN TANDA BACA :
Buah tua yang belum mendapat tanda baca, atau masih berbunyi = A disebut Bayang KA, GA, NGA dan seterusnya
Tanda baca gabung
Tanda baca gabung ini merupakan gabungan tanda baca I, E, O, U, Ē, AU dan AI dengan NG, N, M, R dan H atau tanda baca dengan tanda baca konsonan.
Tanda baca Tulang (NG), Ratau (N) dan Rating (M), dipergunakan hanya diujung saja.
Bila bunyi tersebut ditengan kata dan huruf berikutnya berbunyi K, G, S, depan NG, I, D, depan N, P, B, depan M, maka dipergunakan huruf pasangan yaitu : NGK, NGG, NT, ND, MP, MB, NJ.
KA Ga nGA
The Redjang or Kaganga alphabet is descended ultimately from the from Brahmi script of ancient India by way of the Pallava and Old Kawi scripts. Some linguists claim that there is are connections between the Redjang alphabet, Egyptian hieroglyphs and various Semitic languages such as Hebrew.
Redjang is a syllabic alphabet - each letter has an inherent vowel /a/. Other vowels can be indicated using a variety of diacritics which appear above or below the consonants.
Redjang/Rejang, an Austronesian language spoken by about a million people in Sumatra. The Redjang alphabet is used mainly to write magic spells and medical incantations and some poetry.
Consonants
Vowel diacritics with ka
Thanks to T. R. Carlton of the University of Alberta for corrections to the script chart and for additional information.
Rejang Alphabet
The Rejang script, sometimes spelt Redjang and locally known as Aksara Kaganga ('Ka Ga Nga alphabet') after its first three letters, is an abugida of the Brahmic family, and is related to other scripts of the region, like Batak, Buginese, and Kerinci. The script was in use prior to the introduction of Islam to the Rejang area; the earliest attested document appears to date from the mid-18th century CE.
The script was used to write Rejang, which is now spoken by about 200,000 people living in Indonesia on the island of Sumatra in the southwest highlands, north Bengkulu Province, around Argamakmur, Muaraaman, Curup, and Kepahiang, and also in the Rawas area of South Sumatra Province, near Muara Kulam. There are five major dialects of Rejang: Lebong, Musi, Kebanagung, Pesisir (all in Bengkulu Province), and Rawas (in South Sumatra Province). Most of its users live in fairly remote rural areas, of whom slightly less than half are literate.
The traditional Rejang corpus consists chiefly of ritual texts, medical incantations, and poetry.
Rejang abugida, with transliterations rejang ka ga nga alphabet OriginThe Redjang or Kaganga alphabet is descended ultimately from the from Brahmi script of ancient India by way of the Pallava and Old Kawi scripts. Some linguists claim that there is are connections between the Redjang alphabet, Egyptian hieroglyphs and various Semitic languages such as Hebrew.Notable featuresRedjang is a syllabic alphabet - each letter has an inherent vowel /a/. Other vowels can be indicated using a variety of diacritics which appear above or below the consonants.Used to write:Redjang/Rejang, an Austronesian language spoken by about a million people in Sumatra. The Redjang alphabet is used mainly to write magic spells and medical incantations and some poetry.ConsonantsVowel diacritics with kaThanks to T. R. Carlton of the University of Alberta for corrections to the script chart and for additional information.
Kabupaten Bengkulu Selatan
Kabupaten Bengkulu Selatan
Bengkulu Selatan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu.
Kabupaten Bengkulu Selatan berdiri berdasarkan Keputusan Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan pada tanggal 8 Maret 1949 Nomor GB/ 27/ 1949, tentang pengangkatan Baksir sebagai Bupati Bengkulu Selatan (sebelumnya bernama Kabupaten Manna Kaur 1945 – 1948 dan Kabupaten Seluma Manna Kaur 1948 – 1949). Pada perkembangan selanjutnya dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 14 November 1956 dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1956 (Tambahan Lembaran Negara 109).
Berdasarkan Kesepakatan Masyarakat Rakyat tanggal 7 Juni 2005, dikuatkan oleh Perda No. 20 tanggal 31 Desember 2005 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah No. 13 Tanggal 2 Januari 2006 Seri C maka tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bengkulu Selatan. Berdasarkan Undang- undang Nomor: 03 Tahun 2003 Kabupaten Bengkulu Selatan mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Kaur, Seluma dan Bengkulu Selatan.
Kabupaten Bengkulu Selatan juga dikenal dengan sebutan Seraway. Asal nama Seraway dikaitkan dengan dua pendapat yaitu :
1. Seraway berasal kata sauai yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang.
2. Seraway berasal kata dari seran yang artinya celaka (celako). Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja dari hulu karena menderita penyakit menular lalu dibuang (dihanyutkan) ke sungai dan terdampar dimana anak raja inilah yang mendirikan kerajaan ini.
Kerajaan Seraway terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu). Kerajaan ini ditemui antara daerah sungai Jenggalu sampai ke muara sungai Bengkenang namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi beberapa desa/ dusun. Marga- marga di Kabupaten Bengkulu Selatan itu adalah Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang, Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa.
Bahasa di Kabupaten Bengkulu Selatan terdiri dari dua bahasa asli yaitu bahasa Pasemah yang banyak dipakai dari muara sungai Kedurang sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur sedangkan mayoritas menggunakan bahasa Seraway yang merupakan turunan dari bahasa Melayu. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000 suku bangsa di Kabupaten Bengkulu Selatan adalah Serawai 76,87 persen, Pasemah 13,39 persen, Jawa 2,89 persen, Minangkabau 2,21 persen, Melayu 1,06 persen, Sunda 0,95 persen, Batak 0,73 persen dan lainnya 1,89 persen.
Bengkulu Selatan adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu.
Kabupaten Bengkulu Selatan berdiri berdasarkan Keputusan Gubernur Militer Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan pada tanggal 8 Maret 1949 Nomor GB/ 27/ 1949, tentang pengangkatan Baksir sebagai Bupati Bengkulu Selatan (sebelumnya bernama Kabupaten Manna Kaur 1945 – 1948 dan Kabupaten Seluma Manna Kaur 1948 – 1949). Pada perkembangan selanjutnya dikuatkan dengan Surat Keputusan Presiden RI tanggal 14 November 1956 dengan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1956 (Tambahan Lembaran Negara 109).
Berdasarkan Kesepakatan Masyarakat Rakyat tanggal 7 Juni 2005, dikuatkan oleh Perda No. 20 tanggal 31 Desember 2005 dan diundangkan dalam Lembaran Daerah No. 13 Tanggal 2 Januari 2006 Seri C maka tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Bengkulu Selatan. Berdasarkan Undang- undang Nomor: 03 Tahun 2003 Kabupaten Bengkulu Selatan mengalami pemekaran wilayah menjadi Kabupaten Kaur, Seluma dan Bengkulu Selatan.
Kabupaten Bengkulu Selatan juga dikenal dengan sebutan Seraway. Asal nama Seraway dikaitkan dengan dua pendapat yaitu :
1. Seraway berasal kata sauai yang maksudnya cabang dua buah sungai yaitu sungai Musi dan Sungai Seluma yang dibatasi oleh Bukit Capang.
2. Seraway berasal kata dari seran yang artinya celaka (celako). Ini dihubungkan dengan suatu legenda dimana seorang anak raja dari hulu karena menderita penyakit menular lalu dibuang (dihanyutkan) ke sungai dan terdampar dimana anak raja inilah yang mendirikan kerajaan ini.
Kerajaan Seraway terpisah dengan Kerajaan Bengkulu (Bangkahulu). Kerajaan ini ditemui antara daerah sungai Jenggalu sampai ke muara sungai Bengkenang namun kerajaan ini akhirnya terpecah- pecah menjadi kerajaan kecil yang disebut margo (marga). Marga dipimpin oleh seorang datuk dan membawahi beberapa desa/ dusun. Marga- marga di Kabupaten Bengkulu Selatan itu adalah Pasar Manna, VII Pucukan, Anak Lubuk Sirih, Anak Dusun Tinggi, Kedurang, Ulu Manna Ilir, Ulu Manna Ulu, Anak Gumay dan Tanjung Raya. Namun mereka bersatu atas dasar satu kesatuan dan satu keturunan dan satu rumpun bahasa.
Bahasa di Kabupaten Bengkulu Selatan terdiri dari dua bahasa asli yaitu bahasa Pasemah yang banyak dipakai dari muara sungai Kedurang sampai dengan perbatasan Kabupaten Kaur sedangkan mayoritas menggunakan bahasa Seraway yang merupakan turunan dari bahasa Melayu. Berdasarkan Sensus Penduduk 2000 suku bangsa di Kabupaten Bengkulu Selatan adalah Serawai 76,87 persen, Pasemah 13,39 persen, Jawa 2,89 persen, Minangkabau 2,21 persen, Melayu 1,06 persen, Sunda 0,95 persen, Batak 0,73 persen dan lainnya 1,89 persen.
Kabupaten Bengkulu Utara
Kabupaten Bengkulu Utara
Lambang
Bengkulu Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 9.585,24 km² dan populasi 380.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Arga Makmur. Wilayah Bengkulu Utara yang mencakup Pulau Enggano merupakan kabupaten paling luas di provinsi Bengkulu.
[sunting] Sumber daya alam
Tanah Bengkulu Utara subur dan cocok untuk perkebunan. Kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi adalah andalan kabupaten ini, selain pernah menjadi tempat pendulangan emas oleh bangsa Inggris mendulang emas dan hingga kini masih didulang secara tradisional. Komoditas kayu gelondongan dan rotan juga dihasilkan di sini.
Sumber daya manusia
Mayoritas suku Rejang bersikap terbuka terhadap kedatangan masyarakat dari Jawa, Bali, Minang, Sunda, dan Batak. Program transmigrasi rutin diberlakukan sejak Gunung Agung di Bali meletus pada tahun 1963.
Pariwisata
Bengkulu Utara memiliki banyak tempat wisata alam dan budaya, di antaranya Tapak Balai di Palik, Batu Layang, Pantai Kota Agung, Sungai Suci, Makam Panglima Ratu Samban, Tebing Kaning, Sawah Kemumu, dan Palak Siring, yang merupakan salah satu habitat bunga Rafflesia.
Lambang
Bengkulu Utara adalah sebuah kabupaten di provinsi Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 9.585,24 km² dan populasi 380.000 jiwa. Ibu kotanya ialah Arga Makmur. Wilayah Bengkulu Utara yang mencakup Pulau Enggano merupakan kabupaten paling luas di provinsi Bengkulu.
[sunting] Sumber daya alam
Tanah Bengkulu Utara subur dan cocok untuk perkebunan. Kelapa sawit, kakao, karet, dan kopi adalah andalan kabupaten ini, selain pernah menjadi tempat pendulangan emas oleh bangsa Inggris mendulang emas dan hingga kini masih didulang secara tradisional. Komoditas kayu gelondongan dan rotan juga dihasilkan di sini.
Sumber daya manusia
Mayoritas suku Rejang bersikap terbuka terhadap kedatangan masyarakat dari Jawa, Bali, Minang, Sunda, dan Batak. Program transmigrasi rutin diberlakukan sejak Gunung Agung di Bali meletus pada tahun 1963.
Pariwisata
Bengkulu Utara memiliki banyak tempat wisata alam dan budaya, di antaranya Tapak Balai di Palik, Batu Layang, Pantai Kota Agung, Sungai Suci, Makam Panglima Ratu Samban, Tebing Kaning, Sawah Kemumu, dan Palak Siring, yang merupakan salah satu habitat bunga Rafflesia.
Kabupaten Seluma
Kabupaten Kaur
Kabupaten Muko-Muko
Kabupaten Muko-Muko
Nama Kabupaten Muko-Muko
PEMEKARAN kabupaten dan kota telah menyapa hampir seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Pada awal tahun 2003, provinsi ini bertambah tiga kabupaten baru yang ditetapkan dengan UU No 3/2003:
Kabupaten Bengkulu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.
Penduduk suku Jawa, Sunda, Minang
Bengkulu sejak zaman kolonial Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu. Belanda mulai mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1930.
Pengiriman transmigran ke Bengkulu marak lagi sejak 1967. Bahkan, Keppres RI No 2/ 1973 menetapkan Provinsi Bengkulu dan sembilan provinsi lainnya sebagai daerah transmigrasi di luar Pulau Jawa. Salah satu kabupaten tujuan transmigran adalah Bengkulu Utara dan kebijakan itu berlanjut hingga sekarang. Tahun 2004 Bengkulu masih mendapat tambahan transmigran.
Kecamatan 1. Lubuk Pinang
2. Teras Terunjam
3. Pondok Suguh
4. Mukomuko Selatan
5. Mukomuko Utara.
Produksi pertanian palawija
Perkebunan
Penduduk 2000, 137.994 jiwa
1. Terdiri dari 37,4 % suku Jawa
2. 6,3 % suku Sunda
3. 5, 4 % Minangkabau
4. sisanya suku Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai,
Lembak, dan lainnya.
Setiap keluarga migran disediakan tanah dua hektar. Mayoritas transmigran dari Jawa adalah petani. Kini sentra-sentra penduduk migran itu tumbuh menjadi sentra ekonomi.
Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian kabupaten baru ini. Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.
Tahun 2002, ketika masih menjadi wilayah Bengkulu Utara, Mukomuko menghasilkan 39.532 ton padi, terdiri atas 34.689 ton padi sawah dan 4.843 ton tadah hujan. Produksi padi tersebut 29 persen berasal dari Bengkulu Utara. Palawija yang dihasilkan wilayah ini merupakan 50 persen produksi Bengkulu Utara.
Produksi jagung 21.529 ton (69 persen), ubi kayu 24.608 ton (61 persen), kedelai 646 ton (64 persen), dan kacang hijau 763 ton (52 persen). Adapun ubi jalar dan kacang tanah di bawah 50 persen.
Penghasilan petani tiga tahun ke depan diramalkan meningkat bila pembangunan proyek irigasi bendungan Air Manjunto Kanan selesai sesuai rencana. Bendungan yang menaikkan air Sungai Air Manjunto ini akan melewati Desa Lalangluas, Salatiga, Lubuk Pinang, Lubuk Gedang, dan membasahi ladang-ladang tadah hujan di permukiman para transmigran yang ada di sana.
Konon, bendungan yang dananya berasal dari bantuan Jepang ini akan mampu mengairi sawah 4.919 hektar. Petani yang tadinya panen sekali setahun bisa menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun.
Lahan kering yang tadinya hanya mengandalkan air hujan akan terjangkau saluran irigasi teknis. Bulan Oktober 2003 Japan Bank International Corporation (JBIC) menyetujui untuk mengucurkan dana Rp 112 miliar selama tiga tahun anggaran dan pelaksanaannya dimulai akhir 2004 dan perkiraan selesai pertengahan 2008.
Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh, karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.
Bagi penduduk Mukomuko, perkebunan ini sangat berarti karena asap dapur 30.711 rumah tangga penggarap selalu mengepulkan asap.
Produksi 1. Sawit tahun 2002 108.089 ton (62%) dari produksi
seluruh Bengkulu Utara.
2. Klapa 3.395.800 ton (52 %)
3. karet 36.571 ton (32%)
4. lada 79 ton (26 %)
5. kayu manis 936 ton (68%,
6. kopi 1.765 ton (18 %).
7. ikan 52.869 ton senilai Rp 158,6 miliar
Nelayan sebanyak 2.134 rumah tangga nelayan (2002)
Perikanan darat 173 ha
dipastikan mengalami peningkatan bila bendungan irigasi Air Manjunto terealisasi. Tahun 2002, dari kolam ikan petani dihasilkan 279 ton ikan yang bernilai sekitar Rp 2 miliar.
Ternak 1. 8.295 ekor sapi (2002)
2. 5.550 kerbau
3. 12.985 kambing
Kecamatan 5 kecamatan
1. Lubuk Pinang
2. Muko-Muko Selatan
3. Muko-Muko Utara
4. Pondok Suguh
5. Teras Terunjam
Nama Kabupaten Muko-Muko
PEMEKARAN kabupaten dan kota telah menyapa hampir seluruh provinsi, tidak terkecuali Provinsi Bengkulu. Pada awal tahun 2003, provinsi ini bertambah tiga kabupaten baru yang ditetapkan dengan UU No 3/2003:
Kabupaten Bengkulu Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Bengkulu Utara dan Kabupaten Mukomuko.
Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi Bengkulu Selatan, Seluma, dan Kaur.
Penduduk suku Jawa, Sunda, Minang
Bengkulu sejak zaman kolonial Belanda dijadikan "tanah harapan" bagi penduduk luar Bengkulu. Belanda mulai mendatangkan transmigran dari Pulau Jawa sejak tahun 1930.
Pengiriman transmigran ke Bengkulu marak lagi sejak 1967. Bahkan, Keppres RI No 2/ 1973 menetapkan Provinsi Bengkulu dan sembilan provinsi lainnya sebagai daerah transmigrasi di luar Pulau Jawa. Salah satu kabupaten tujuan transmigran adalah Bengkulu Utara dan kebijakan itu berlanjut hingga sekarang. Tahun 2004 Bengkulu masih mendapat tambahan transmigran.
Kecamatan 1. Lubuk Pinang
2. Teras Terunjam
3. Pondok Suguh
4. Mukomuko Selatan
5. Mukomuko Utara.
Produksi pertanian palawija
Perkebunan
Penduduk 2000, 137.994 jiwa
1. Terdiri dari 37,4 % suku Jawa
2. 6,3 % suku Sunda
3. 5, 4 % Minangkabau
4. sisanya suku Bali, Bugis, Melayu, Rejang, Serawai,
Lembak, dan lainnya.
Setiap keluarga migran disediakan tanah dua hektar. Mayoritas transmigran dari Jawa adalah petani. Kini sentra-sentra penduduk migran itu tumbuh menjadi sentra ekonomi.
Sektor pertanian yang meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, dan perikanan menjadi tulang punggung perekonomian kabupaten baru ini. Dari sensus yang sama diketahui penduduk yang bekerja 63.494 jiwa. Sebesar 77,8 persen atau 49.399 jiwa menggeluti pertanian. Sisanya menggantungkan hidup di sektor industri pengolahan, perdagangan, angkutan, jasa, dan sektor lainnya.
Tahun 2002, ketika masih menjadi wilayah Bengkulu Utara, Mukomuko menghasilkan 39.532 ton padi, terdiri atas 34.689 ton padi sawah dan 4.843 ton tadah hujan. Produksi padi tersebut 29 persen berasal dari Bengkulu Utara. Palawija yang dihasilkan wilayah ini merupakan 50 persen produksi Bengkulu Utara.
Produksi jagung 21.529 ton (69 persen), ubi kayu 24.608 ton (61 persen), kedelai 646 ton (64 persen), dan kacang hijau 763 ton (52 persen). Adapun ubi jalar dan kacang tanah di bawah 50 persen.
Penghasilan petani tiga tahun ke depan diramalkan meningkat bila pembangunan proyek irigasi bendungan Air Manjunto Kanan selesai sesuai rencana. Bendungan yang menaikkan air Sungai Air Manjunto ini akan melewati Desa Lalangluas, Salatiga, Lubuk Pinang, Lubuk Gedang, dan membasahi ladang-ladang tadah hujan di permukiman para transmigran yang ada di sana.
Konon, bendungan yang dananya berasal dari bantuan Jepang ini akan mampu mengairi sawah 4.919 hektar. Petani yang tadinya panen sekali setahun bisa menanam padi dua kali dan palawija sekali setahun.
Lahan kering yang tadinya hanya mengandalkan air hujan akan terjangkau saluran irigasi teknis. Bulan Oktober 2003 Japan Bank International Corporation (JBIC) menyetujui untuk mengucurkan dana Rp 112 miliar selama tiga tahun anggaran dan pelaksanaannya dimulai akhir 2004 dan perkiraan selesai pertengahan 2008.
Sebagian luas bumi Mukomuko juga diusahakan untuk perkebunan. Paling tidak di sana terdapat 63.669 hektar lahan perkebunan rakyat yang ditanami kopi, lada, cengkeh, karet, kayu manis, kelapa, kelapa sawit, kemiri, dan kapuk. Andalan utamanya adalah kelapa sawit, kelapa, kopi, karet, kayu manis, dan lada.
Bagi penduduk Mukomuko, perkebunan ini sangat berarti karena asap dapur 30.711 rumah tangga penggarap selalu mengepulkan asap.
Produksi 1. Sawit tahun 2002 108.089 ton (62%) dari produksi
seluruh Bengkulu Utara.
2. Klapa 3.395.800 ton (52 %)
3. karet 36.571 ton (32%)
4. lada 79 ton (26 %)
5. kayu manis 936 ton (68%,
6. kopi 1.765 ton (18 %).
7. ikan 52.869 ton senilai Rp 158,6 miliar
Nelayan sebanyak 2.134 rumah tangga nelayan (2002)
Perikanan darat 173 ha
dipastikan mengalami peningkatan bila bendungan irigasi Air Manjunto terealisasi. Tahun 2002, dari kolam ikan petani dihasilkan 279 ton ikan yang bernilai sekitar Rp 2 miliar.
Ternak 1. 8.295 ekor sapi (2002)
2. 5.550 kerbau
3. 12.985 kambing
Kecamatan 5 kecamatan
1. Lubuk Pinang
2. Muko-Muko Selatan
3. Muko-Muko Utara
4. Pondok Suguh
5. Teras Terunjam
Langganan:
Postingan (Atom)