Rabu, 11 Februari 2009
Kotadonok 2009 dalam Album
Selasa, 27 Januari 2009
Terminal Metro
Terminal Metro
Cikal bakal terminal di wilayah Lampung Tengah
adalah terminal kota Metro. Pada waktu itu terminal Metro berdampingan dengan pasar yang dikelilingi rumput dan alang-alang, sekarang daerah itu adalah pusat perbelanjaan Shoping Centre. Di situ-lah terminal Metro berada atau tepatnya antara shoping dan pos polisi kota sekarang ini.
Salah seorang saksi sejarah terminal Metro adalah D Subandi, yang waktu itu adalah agen kendaraan angkutan sebelum tahun 1949. Menurut cata-tan kenangan Subandi, daerah sekitar terminal Metro pada waktu itu memang ditumbuhi alang-alang. Di depan kantor pos dan giro (sekarang ini) merupakan areal parkir kendaraan. Tapi, keadaannya tidak seperti parkir saat ini.
Di belakang masjid Taqwa sekarang, dulunya ada pohon besar. Saking besarnya pohon itu, walau empat orang saling bergandengan tangan, belum ju-ga mampu melingkari batangnya. Cerita pohon besar di pusat kota Metro tahun 1945-an memang menarik.
Seorang saksi sejarah kota Metro, RM Soenaryo yang tahun 1950 men-jabat Kepala Kantor Sosial Politik pertama di Metro, mengatakan pohon itu se-pertinya po-hon beringin besar. Sedangkan Subandi, lupa-lupa ingat nama pohon itu. Pada um-umnya saksi sejarah mengakui bahwa memang ada pohon besar di belakang masjid Taqwa sekarang ini.
Pada zaman pendudukan tentara Jepang, di batang pohon tersebut dibu-at tangga, maksudnya agar bisa dinaiki hingga bagian atas pohon besar itu. Ketika terjadi pe-ristiwa penurunan bendera Belanda di depan kantor Belanda (sekarang kantor Bupati Lamteng), pihak belanda memberondong para pejuang dari bawah pohon besar itu.
Peristiwa berdarah tersebut masih diingat jelas oleh Subandi, yang pada waktu itu anggota batalyon 24 seksi pertanian di Metro dengan komandannya Effendi. Pada saat tentara Belanda, yang anggotanya kebanyakan orang Ambon (Maluku, pen), para pejuang republik mendapat bantuan dari kompi Amir Bak-ri dari Baturaja.
Semua masih jelas di benak D Subandi, kendati umurnya sekarang su-dah ter-bilang manula. Menurut kenangan Subandi, kota Metro dengan termi-nal dan pasar ser-ta beberapa rumah di sekitar terminal pernah di bumi hangus-kan para pejuang. Dan kebakaran itu membuat tentara Belanda marah besar, la-lu mereka mengirim pasukan bantuan dari Tegineneng di bawah pimpinan Rompen. Pembumihangusan kota Metro menurut Subandi terjadi tahun 1949.
Saat itu banyak pemuda dan pejuang ditangkap, namun tak lama kemu-dian setelah diperiksa dilepaskan lagi. Tapi, ada syaratnya, pemuda dan pejuang itu harus me-nyingkirkan stomwalles yang dipasang dengan Landbauw (kini dengan kantor Ke-hutanan LT).
Setelah kebakaran, terminal pindah ke pasar Rajawali (kini pasar cend-rawasih) dan pasar ini juga sekarang sudah selesai dibangun oleh pemborong Pethok Chan (WNI Keturunan), salah seorang warga terkaya di Lampung Te-ngah. Pada awal ta-hun 1952 terminal dipindahkan lagi ke tempatnya yang se-karang ini. Dan diguna-kan khusus untuk angkutan umum mikrolet (oplet).
Perjalanan panjang terminal Metro, ketika terminal sekarang di reno-vasi, di-pindahkan ke kompleks pertokoan sumur bandung. Itulah cikal bakal terminal di Lam-pung Tengah.
Renovasi terminal Metro sudah dilakukan dua kali. Pada zaman Bupati Sukirno, dibangun pula terminal Induk Mulyojati 16.C di Kecamatan Bantul. Data hingga tahun 1997 menyebutkan jumlah terminal di Lampung Tengah ada tiga buah. Metro dua buah dan Bandarjaya satu buah.
Di samping itu, menurut keterangan LLAJ Lampung Tengah, ada bebe-rapa calon terminal yang sudah diuji-cobakan, tetapi belum diresmikan, jum-lahnya ada lima buah. Kelima terminal yang sudah diuji-cobakan itu adalah ter-minal di Simpang Sri-bawono (Labuhan Maringgai), Sukadana , Pekalongan, Kotagajah dan Wates.
Dari terminal kota Metro yang sekarang merupakan terminal angkutan kota jenis mikrolet (angkot) terpadat di Provinsi Lampung, dapat menghu-bungkan ke berbagai wilayah dengan trayek-trayek khusus.
Walaupun Kota Metro sekarang ini, berdasarkan UU No 12/1999 tentang pemekaran wilayah Kabupaten Lampung Tengah menjadi 3 (tiga) daerah tingkat II, yaitu Lampung Tengah, Lampung Timur dan Kota Metro sudah berdiri sendiri atau lepas dari wilayah Kabupaten Lampung Tengah. Namun, hingga tahun 2001 Terminal Kota Metro masih merupakan terminal angkot terbesar di tiga wilayah kabupaten/kota tersebut.
Dari terminal Kota Metro itu, ribuan mikrolet sebagai angkutan umum kota ( angkot ) melayani warga masyarakat yang akan bepergian, baik di dalam wilayah Kota Metro sendiri maupun ke luar Metro. Jurusan-jurusan angkot dari Terminal Kota Metro meliputi jurusan :
Untuk Dalam Kota, jurusan-jurusan angkutan umumya meliputi; (1) Jalan Ra-din Intan - Jalan Sosro Sudarmo - Jalan A Yani – Banjarejo Bd 38 -Batanghari – Sekampung - Mlaris - Pugung Rahardjo. Mobil angkutannya berwarna merah hati. (2) Banjarsari Bd 29 - Punggur - Kotagajah, dengan mobil warna krim kekuning-kuningan, (3) Purwosari Bd 28 – Kalibening dengan warna mobilnya hijau muda, (4) Jalan KHA Dahlan - Jalan KH Arsyad - Shoping Centre – Ja-lan Sudirman – Magelangan - Makam Pahlawan - Jalan Pahlawan – BD 20 Purwoadi, Untoro - Wates, dengan mobil warna kuning.
Kemudian jurusan (5) Jl KHA Dahlan, Jl Radin Intan-Jl Sosoro Sudar-mo-Jl Jend Sudirman (Yosodadi 21 A) - Pekalongan, mobil dengan warna abu-abu,(5) Pekalongan - Gedongdalem - Taman Sari - Purbolinggo, mobil warna merah. (6) Jalan Radin Intan - Sosro Sudarmo - Jalan A Yani - Jalan Subing - 15 Polos -Mulyojati 16C, mobil warna merah muda, (7). Jalan Radin Intan – Jalan Sosro Sudarmo - Jalan A Yani 15A -Jalan Lembayung - Kampus,mobil dengan warna merah hati (8) Jalan Imam Bonjol - Jalan Veteran - Jalan Pah-lawan -Ganjar Agung –Tem-puran -Simbarwaringin - Trimurjo, (9). Jalan Im-am Bonjol - Jalan Pahlawan –Gan-jaagung- Tempuran-Trimurjo - Pancur, (-10) Bd 29 - Gotong Royong, mobil dengan warna biru,(11) Raden Intan – Ra-wasari -Jalan Hasanuddin - Yosodadi 21B/21C.
Sedangkan dari terminal Induk Mulyojati BD 16 C dapat dilayani tra-yek jurusan (1) Rabajasa, (2) Kotagajah - Seputih Raman - Seputih Banyak – Rumbia dan Gayabaru, (3) Pekalongan - Gedongdalem - Sukadana - Way Jepara - Sribawono - Labuhan Ma-ringgai, (4) Batanghari - Sekampung – Mlaris - Mengandungsari - Pugung Rahardjo – Gunungsugih kecil dan Ja-bung, (5) Bandarjaya - Terbanggi Besar - Menggala – Rawajitu.
Terminal Bandarjaya yang terletak dibelakang pasar kota terbesar ke-dua di Lampung Tengah - sekaligus calon kota administratif, mempunyai ber-bagai trayek ju-rusan. Namun, terminal ini selalu ramai sepanjang hari, karena terletak di jalan lintas sumatera.
Di Metro dengan dua buah terminalnya, terdapat beberapa agen bus khusus antar kota, terutama ke Jawa. Seperti bus AC Putera Remaja, Muncul, Kramat Jati dan sebagainya. Disamping itu ada juga agen travel jurusan Jakarta dan Palembang yaitu travel Purnama, Bintang Mas, Wisata, Nugroho, taksi 4848 dan lainnya.
Sementara itu stasiun kereta api yang ada di wilayah Lampung Tengah terda-pat di Sulusuban (Padangratu), Bekri (Gunungsugih) dan beberapa stasiun kecil lain-nya. Untuk pelabuhan laut terdapat di Kuala Bom (Labuhan Maringgai), Cabang, Se-putih Surabaya dan sebagainya.
Sampai saat ini sarana perhubungan di Lampung Tengah sangat bagus, sehingga hampir semua desa sudah dapat dihubungkan dengan jalan aspal, sehingga mudah untuk mengeluarkan hasil bumi dan masuknya barang sandang dan pangan lainnya.
Kotagajah
Kotagajah
Diperkirakan Desa Kotagajah dibangun sekitar tahun 1929 yang semula merupakan lintas kolonis dari Telukbetung-Gunungsugih ke Gedongdalem dan Sukadana. Karena menurut keterangan lisan para orang tua, seperti diungkapkan oleh Mbah Nadi dari Desa Suberrejo BD 43 Kecamatan Batanghari. Waktu itu, kenang Mbah Nadi, Metro dibuka pada tahun 1932 jalan tembus dari Adipuro (Trimurjo) atau Kotagajah ke Metro belum ada. Untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan kolonis di Metro didatangkan dari melalui jalan Kotagajah-Gedong dalam, Rancangpurwo dan baru memasuki Metro.
Jadi, ungkap Mbah Nadi, Kotagajah sudah ada sebelum bedeng (Bd) 15 di Metro dibuka secara resmi. Artinya Kotagajah tumbuh dan berkembang, karena terletak di jalur lintas. Namun, Kotagajah sebagai desa definitif diresmikan oleh Bupati KDH Lampung Tengah berdasarkan Surat Keputusan Nomor 25 Tahun 1973. Peresmiannya sen-iri dilakukan pada tahun 1974. Kotagajah merupakan potensial daerah Lampung Tengah. Semula statusnya adalah “desa”, kini tahun 1997 berkembang pesat menjadi kota strategis.Dan tahun 2001 berubah menjadi Kecamatan Definitif di bawah kepemimpinan Camat wanita, Dra Bahagiati.
Letak Kotagajah pun sangat strategis, berada dijalur persimpangan lalu-lintas yang sangat ramai sepanjang hari. Kotagajah memiliki luas wilayahnya 1.372 km2 terdiri dari 18 kebayan, 74 buah RT, 36 buah RW dan 18 LK. Sampai awal 1997 penduduk Kotagajah sebanyak 14.258 jiwa.
Kotagajah telah memiliki berbagai sarana dan prasarana. Di bidang pendidikan terdapat 6 buah Taman kanak-kanak, 7 buah SD, 1 buah SD swasta, 1 SMP Ne-geri, 6 SMP swasta serta 2 buah pondok pesantren. Juga, terdapat kantor pemerintah seperti Kantor Camat, Pos dan Giro, KUA, Kantor Transmigrasi dan Mess Transmigrasi, Puskesmas, Kantor P3A, Balai Desa, Kantor PU, BRI, gedung bioskop, balai desa, serta toko-toko besar. Dan, terdapat sebuah rumah sakit swasta Mardi Maluyo. Tenaga medis rmah sakit swasta itu terdiri dari 2 orang dokter, 1 orang bidan, seorang perawat dan 6 orang dukun.
Kotagajah juga memiliki 2 buah gedung bioskop dan di persimpangan lima, tepatnya di tengah Kotagajah dengan arus lalulintas padat, berdiri Kantor Sektor Pos Polisi Kotagajah. Dibidang perbankan telah berdiri bebebrapa bank, antara lain BRI Unit Kotagajah, BPR Tata Artha, BPR Kotaliman dan BPR Bina Swadaya. Dan terdapat 5 buah koperasi antara lain KUD Karya Tani, Kopas Balak, AJB Bumi Putera, Kopas dan Koveri.
Fasilitas lain yang dimiliki antara lain, terdapat PDAM, sarana telepon serta listrik dari KLP Siwo Mego yang berpusat di Kotagajah. Sebagai kota potensial yang berkem-bang pesat di sini juga sudah ada 4 buah rumah makan masing-masing RM Waras RM Ma’il, RM Padang. Kotagajah kian waktu kian berkembang jadi kota. Keadaan terminal ke berbagai jurusan seperti jurusan Labuhanmeringgai, Menggala, Bandarjaya, Kotabumi, Bandarlampung, Ra-man Utara, Gayabaru dan Metro.
Menurut kepala desa Busryo pada tahun 1997 Kotagajah sudah memi-liki 10 buah pabrik penggilingan padi (huller) dan bebebrapa pabrik yang bers-tatus industri kerajinan rumah tangga. Pasar Kotagajah setiap harinya cukup ra-mai, karena pembeli di Pasar Kotagajah setiap harinya kerajinan rumah tangga. Pasar Kotagajah setiap ha-rinya cukup ramai, karena pembelinya di pasar Ko-tagajah datang dari berbagai daerah sekitarnya. Kelancaran lalulintas melalui Kotagajah didukung oleh kondisi jalan yang bagus dan ditambah dengan SPPBU (pom bensin).
Diperkirakan Desa Kotagajah dibangun sekitar tahun 1929 yang semula merupakan lintas kolonis dari Telukbetung-Gunungsugih ke Gedongdalem dan Sukadana. Karena menurut keterangan lisan para orang tua, seperti diungkapkan oleh Mbah Nadi dari Desa Suberrejo BD 43 Kecamatan Batanghari. Waktu itu, kenang Mbah Nadi, Metro dibuka pada tahun 1932 jalan tembus dari Adipuro (Trimurjo) atau Kotagajah ke Metro belum ada. Untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan kolonis di Metro didatangkan dari melalui jalan Kotagajah-Gedong dalam, Rancangpurwo dan baru memasuki Metro.
Jadi, ungkap Mbah Nadi, Kotagajah sudah ada sebelum bedeng (Bd) 15 di Metro dibuka secara resmi. Artinya Kotagajah tumbuh dan berkembang, karena terletak di jalur lintas. Namun, Kotagajah sebagai desa definitif diresmikan oleh Bupati KDH Lampung Tengah berdasarkan Surat Keputusan Nomor 25 Tahun 1973. Peresmiannya sen-iri dilakukan pada tahun 1974. Kotagajah merupakan potensial daerah Lampung Tengah. Semula statusnya adalah “desa”, kini tahun 1997 berkembang pesat menjadi kota strategis.Dan tahun 2001 berubah menjadi Kecamatan Definitif di bawah kepemimpinan Camat wanita, Dra Bahagiati.
Letak Kotagajah pun sangat strategis, berada dijalur persimpangan lalu-lintas yang sangat ramai sepanjang hari. Kotagajah memiliki luas wilayahnya 1.372 km2 terdiri dari 18 kebayan, 74 buah RT, 36 buah RW dan 18 LK. Sampai awal 1997 penduduk Kotagajah sebanyak 14.258 jiwa.
Kotagajah telah memiliki berbagai sarana dan prasarana. Di bidang pendidikan terdapat 6 buah Taman kanak-kanak, 7 buah SD, 1 buah SD swasta, 1 SMP Ne-geri, 6 SMP swasta serta 2 buah pondok pesantren. Juga, terdapat kantor pemerintah seperti Kantor Camat, Pos dan Giro, KUA, Kantor Transmigrasi dan Mess Transmigrasi, Puskesmas, Kantor P3A, Balai Desa, Kantor PU, BRI, gedung bioskop, balai desa, serta toko-toko besar. Dan, terdapat sebuah rumah sakit swasta Mardi Maluyo. Tenaga medis rmah sakit swasta itu terdiri dari 2 orang dokter, 1 orang bidan, seorang perawat dan 6 orang dukun.
Kotagajah juga memiliki 2 buah gedung bioskop dan di persimpangan lima, tepatnya di tengah Kotagajah dengan arus lalulintas padat, berdiri Kantor Sektor Pos Polisi Kotagajah. Dibidang perbankan telah berdiri bebebrapa bank, antara lain BRI Unit Kotagajah, BPR Tata Artha, BPR Kotaliman dan BPR Bina Swadaya. Dan terdapat 5 buah koperasi antara lain KUD Karya Tani, Kopas Balak, AJB Bumi Putera, Kopas dan Koveri.
Fasilitas lain yang dimiliki antara lain, terdapat PDAM, sarana telepon serta listrik dari KLP Siwo Mego yang berpusat di Kotagajah. Sebagai kota potensial yang berkem-bang pesat di sini juga sudah ada 4 buah rumah makan masing-masing RM Waras RM Ma’il, RM Padang. Kotagajah kian waktu kian berkembang jadi kota. Keadaan terminal ke berbagai jurusan seperti jurusan Labuhanmeringgai, Menggala, Bandarjaya, Kotabumi, Bandarlampung, Ra-man Utara, Gayabaru dan Metro.
Menurut kepala desa Busryo pada tahun 1997 Kotagajah sudah memi-liki 10 buah pabrik penggilingan padi (huller) dan bebebrapa pabrik yang bers-tatus industri kerajinan rumah tangga. Pasar Kotagajah setiap harinya cukup ra-mai, karena pembeli di Pasar Kotagajah setiap harinya kerajinan rumah tangga. Pasar Kotagajah setiap ha-rinya cukup ramai, karena pembelinya di pasar Ko-tagajah datang dari berbagai daerah sekitarnya. Kelancaran lalulintas melalui Kotagajah didukung oleh kondisi jalan yang bagus dan ditambah dengan SPPBU (pom bensin).
Sabtu, 20 Desember 2008
Kotadonok My Village
KOTADONOK
Ada cerita menarik ketika aku masih sekolah d SDN 1 Kotadonok sekitar tahun 1970. waktu itu di daerah Lebong akan dipasang listrik di hampir setiap desa, termasuk Kota Donok. Pada suatu siang, iring-iringan mobil truk membawa tiang beton listrik dengan bangga, dalam hati mereka berkata, “Wah sebentar lagi sampai di Kota Donok!” Hal itu terungkap ketika mereka sampai di Jembatan Bioa Tiket (Jembatan Air Tiket) membaca plang papan bertuliskan “Selamat Datang di Desa Kota Donok!”
Pikir mereka, desa dari Kota Donok sudah mereka masuki, tinggal Kota Donoknya lagi. Setelah mereka melintasi Desa Kota Donok dan akhirnya sampai di daerah Pondok Lucuk merasa heran, kenapa Kota Donok or Central of City belum mereka temui, padahal desanya aja sudah dilewati.
Akhirnya, ketika ada beberapa penduduk yang berjalan kaki di daerah itu. Mereka pun bertanaya.
“Pak, numpang tanya. Kota Donok masih jauh nggak?” tanya mereka. Tentu saja yang ditanya merasa heran, apalagi bahasa Indonesianya agak berbelok-belok.
“Sudo lewat, Pak!” kata penduduk yang ditanya tentang Kota Donok. Kini giliran pembawa tiang beton listrik itu yang bengong.
“Kok sudah lewat, yang baru kami lewati tadi ‘desa’ Kota Donok,” kata mereka.
“Ya, Desa Koto Donok itulah ‘Kota Donok’” jawab penduduk itu.
Maka, setelah mendapat jawaban itu, makin bingunglah rombongan rekanan PLN tersebut. Bingungnya bukan apa-apa, tetapi, untuk kembali ke Desa Kota Donok mereka mengalami kesulitan, karena jalan yang ada sempit dan tak mungkin truk besar mereka bisa memutar arah.
Sejarah
Dulunya, Kotadonok bernama Kutei Donok yang artinya Desa Tengah-Tengah. Beberapa analisa sejarah menyebutkan, maksud ‘tengah-tengah’ atau Donok itu, karena letak desa Kota Donok berada di antara Curup dan Muara Aman. Kalau dari Curup jaraknya 40 Km dan kalau dari Muara Aman berjarak sekitar 30 Km.
Hanya saja pergantian nama dari Kutei Donok menjadi Kotadonok, belum ada yang dapat menjelaskannya, kapan? (tahun berapa?). Di dalam dokumen-dokumen orang Belanda tempo dulu, sudah tertulis nama “Kotadonok”. Diperkirakan nama Kutei Donok itu terjadi antara abad ke 9 hingga abad 14 M.
Sebab, dalam ensikplodia Amerika tahun 1560 disebutkan pengaruh Islam sudah masuk ke daerah Sumatera Bagian Selatan (Palembang, Bengkulu, Lampung dan Jambi) sekitar tahun 700 M. Berarti, suku bangsa Rejang sudah mendiami lembah Air Ketahun (lembah Bukit Barisan) sebelum tahun 700 M.
Sejarah sukubangsa Rejang yang ramai ditulis, itu berkisar antara tahun 1415 sampai 1800 M pada masa jayanya para Bikau (Biku). Padahal sebelumnya, di daerah Pinang Belapis atau Renah Sekalawi dan kemudian berganti nama menjadi Lebong (berasal dari kata ‘telebong’ artinya berkumpul.
Sementara orang belanda melalui VOC-nya mulai masuk ke Indonesia tahun 1610 dan sampai tahun 1799. Penguasa Hindia-Belanda, dari masa VOC, pemerintahan Belanda, Inggris hingga masa pendudukan Jepang dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Di masa penjajahan Belanda, para penguasa ini biasanya memiliki gelar Gubernur-Jenderal. Perioderisasi penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, termasuk daerah Bengkulu dengan urutan sebagai berikut: (1). Masa VOC (1610 -1799), (2) Masa kekuasaan Belanda Idi bawah kekuasaan Napoleon di Perancis (1800-1811), (3). Masa kekuasaan Inggris (1811-1816), (4). Masa kekuasaan Belanda kedua (1816-1949) dan (5). Masa kekuasaan Jepang (1942-1945)
Desa Kotadonok yang sekarang dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, yaitu Kotadonok dan Desa Suka Sari dalam sejarah sukubangsa Rejang merupakan salah satu desa (kutai) tertua setelah Topos (Tapus; yang juga sudah dimekarkan menjadi dua desa). Desa Tua lainnya seperti Semlako (Semelako), Desa Muara Aman, Tubai, Tlang Blau (Talangbaru), desa Tanjung. Sebagai desa tua sudah pasti memiliki sejarah yang cukup panjang dengan dampak untuk daerah sekitarnya.
Kotadonok seperti lazimnya desa-desa di Lebong berada di lembah Bukit Barisan, yang sebagian besar tempat pemukiman penduduknya berada di lereng-lereng bukit. Seperti hal Kotadonok sepanjang Bio Tiket (Air Tiket) sampai Tepat Taukem (Tepat Rukam)—perbatasan dengan desa Tes. Letak geografis desa ini berada di lereng bukit dan di bawahnya terhampar Danau Tes termasuk anak danau seperti Danau Tawen Blau (Ketahun Baru), Teluk Buluak (Teluk Bambu), Tlang Macan beserta pulau kecil yang sering disebut dengan nama Jungut Benei (Tanjung Pasir) dan Tanjung.
Berdasarkan cerita orang-orangtua di Kotadonok menyebutkan pada umumnya penduduk desa itu berasal dari Topos dan Tlang Blau. Tidak heran jikalau masyarakat Kota Donok yang sering membayar nazar atau disebut misaim niat, itu tempat di Topos atau Tlang Blau. Pertalian antara penduduk Kotadonok dengan Topos, Tlang Blau merupakan pertalian geneologis, bukan berdasarkan territorial. Begitu pula dengan penduduk desa baru Tlang ratau (Talang Ratu) merupakan hubungan geneologis. Karena desa Tlang Ratau merupakan pengembangan masyarakat dari Desa Kotadonok.
Arsitektur asli Rejang
Seperti di desa tua lainnya di Lebong, bentuk dan ornament yang ada di bangunan rumah-rumah penduduknya hamper sama. Tentang ornament yang terdapat pada rumah-rumah penduduk asli orang Rejang terdiri dari 2 (dua) kelompok. Jenis (kelompok) pertama merupakan bangunan rumah berornamen dan memiliki sifat arsiterktur bernilai tinggi yang erat kaitannya dengan ststus social dan keberadaan pemiliknya.
Di desa Kotadonok pun demikian. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terdiri dari bahan kayu (papan) tersebut bertahan lama sampai ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, kendati terlihat sangat sederhana.
Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan symbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan lain yang kemudian ditempelkan dinding (menyatu).
Cirri khas lain ornamen klasik penuh dengan arsitektur benrilai tinggi pada rumah orang Rejang yang yang mengisyaratkan memiliki status social yang lebih baik adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri dan di bagian dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup besar.
Untuk ruang tamu demikian, di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya. Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Kemudian, rumah-rumah seperti itu hampir semuanya mempunyai kamar mandi di bagian belakang lengkap dengan pancurannya dan juga tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan).
Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan). Paran itu juga dianyam dengan tambahan ukiran sedemikian rupa.
Kemudian rumah-rumah itu memiliki plapon yang juga terbuat dari bahan kayu (papan) pilihan, sehingga di atasnya dimanfaatkan untuk tempat menjemur atau mengeringkan biji kopi. Menyimpan hasil perkebunan lainnya, seperti pisang, nangka dan buah-buahan lainnya.
Bangunan rumah asli orang Rejang memang sudah sedemikian maju dan itu menandakan pengetahuan orang Rejang terhadap design bangunan rumah sudah demikian tinggi. Karena, sebuah bangunan rumah mereka, sudah lengkap dengan ruang-ruangnya. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermusyawarah, kamar tidur, kamar gudang (tempat beras dan lainnya), dapur, kamar mandi (ruang kamar mandi), ruang menyimpanan berbagai hasil pertanian dan sebagainya. Semuanya, satu dengan lain dipisahkan oleh dinding papan yang dibuat sedemikian rupa.
Oleh karenanya, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut ruang-ruang atau kamar di dalam struktur rumah asli Rejang. Misalnya brendo (beranda, teras rumah), smigo (ruang utama yang letaknya paling depan sesudah bredo), bilik (kamar tidur), dopoa (dapur), palai (ruang di atas plapon rumah), ndea (tangga), kemdan (jendela0, bang (pintu).
Untuk menyebut bilik (kamar tidur) biasanya ditambah dengan nama siapa yang sering tidur di kamar tersebut. Misalnya kamar tidur nenek maka disebut bilik sebei dan seterusnya. Dalam arsitektur orang Rejang sudah mengenal model-model daun jendela dan pintu. Untuk pintu utama, biasanya selain pintu lapisan pertama terbuat dari kayu. Kemudian pada lapisan kedua ada pintu yang terbuat dari kaca yang dibingkai dengan kayu. Sementara untuk pintu kedua (di dalam rumah) tidak demikian. Cukup dengan daun pintu terbuat dari papan.
Melihat seni arsitek ‘ukir’ pada dinding, pintu, jendela dan dinding-dinding ruang rumah orang Rejang kemungkinan dipengaruhi oleh seni kaligrafi dalam agama Islam dan aliran naturalisme. Sebab, melihat dari lika-liku ukiran, simbol yang dilukis dan rangikaian-rangkaian ukirannya, memang demikian.
Kedatangan Sukubangsa Lain dan Konsep Pembauran
Orang Rejang terkenal dengan sikap ramah dan tamahnya kepada siapapun. Sampai-sampai penghormatan dan penghargaannya kepada orang lain selain suku Rejang sangat tinggi. Pada akhirnya timbul kesan mengabaikan sesama orang Rejang sendiri. Di desa Kota Donok (saya menulisnya dengan suku kata ‘Kotadonok’) sejak lama sudah terjadi pembauran dengan warga sukubangsa lainnya. Baik sukubangsa yang ada di Indonesia maupun orang asing (sukubangsa di luar Indonesia).
Pembauran yang begitu harmonis tersebut sering diakhiri dengan ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam adat Rejang dan hukum perkawinan Indonesia (sekarang dikenal dengan UU No 1/1974 tentang perkawinan). Alasan menyebut orang rejang terutama di Kotadonok sudah lama mengenal konsep kehidupan pembauran adalah datang, menetap dan adanya pernikahan antara orang Kotadonok dengan orang luar tersebut.
Baik dengan orang Belanda, Jerman, Tiongkok, India dan Persia (untuk orang luar Indonesia) dan untuk orang di luar orang Rejang seperti dengan orang Bengkulu, Palembang, Padang, Kerinci, Lampung, Jawa dan Sunda. Dan itu dapat dibuktikan sampai dengans ekarang ini. Di Kotadonok sekarang berdiam sukubangsa Rejang (99%), selebihnya ada suku Jawa, terutama di lokasi Transmigrasi Pemangkuraja, Bali (Islam), Padang, Bengkulu, Palembang, Sunda, Lampung dan selebihnya orang Rejang di luar Lebong.
Mata Pencaharian
Mata pencarian orang Kotadonok meliputi bertani (termasuk berkebun) hampir 95%, kemudian swasta, PNS, TNI, Polri, profesi dan berdagang (supir atau buruh). Pola pertanian yang dijalankan adalah pola pertanian tradisional dengan kepercayaan-kepercayaan yang melekat pada sanubari orang Rejang di Kotadonok.
Hasil utama pertanian adalah padi sawah (dulu ada padi darat/ladang), sayur-mayur. Sedangkan hasil perkebunan seperti kopi (utama), kemiri, dan hasil perkebunan lainnya seperti pisang, coklat (komoditi baru), serei dan beberapa lagi. Namun pada umumnya hasil perkebunan yang dikelola hanyalah kopi. Masyarakat desa Kotadonok dahulu kalanya adalah masyarakat yang sangat sejahtera dengan hasil pertanian, perkebunan, perikanan yang melimpah ruah. Namun, sejak tahun 80-an, kondisi hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan desa ini sangat merosot.
Kemerosotan itu diakibatkan oleh makin terbukanya isolasi daerah Lebong, sehingga pengaruh dari luar tersebut sangat besar. Banyak anak muda di desa itu sudah enggan mengelola pertanian, perkebunan atau mencari ikan atau sebangsanya. Mereka lebih suka nongkrong di kampung menjadi pengangguran. Belakang—sekitar tahun 2000-an banyak anak-anak desa Kotadonok (termasuk Sukasari) yang pergi merantau serta bekerja di luar Bengkulu. Misalnya ke Riau, Batam, Tangerang, Cilegon, Jakarta, Bandung dan Palembang.
Mata Pencaharian Alternatif
Sejak zaman dahulu kala masyarakat Kotadonok memiliki mata pencaharian alternatif jikalau sedang musim paceklik atau pasca panen. Mata pencaharian alternatif itu seperti mendulang (mencari emas) di Lebong Simpang, mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti jala, jaring, tajua, serapang, kewea dan tubo. Atau mereka mencari luken, kijing, sebkoa, kersip dan kemudian dipajang di pinggir jalan.
Namun, saat ini—setidak-tidaknya 10 tahun terakhir, mata pencaharian alternatif itu sudah jarang dikerjakan masyarakat Koatdonok. Kuat dugaan hal itu akibat pengaruh masuknya beberapa perusahaan besar di bidang perkebunan, seperti perkebunan kopi arabica, kembang edelwis milik keluarga Cendana (era almh Bu Tien Soeharto) dan banyaknya penduduk Kotadonok mencari nafkah di luar daerah.
Pendidikan
Dunia pendidikan di Kotadonok berdasarkan sejarah dan fakta merupakan salah satu basis pendidikan di Lebong. Tidak heran kalau beberapa pejabat di Sumatera Bagian Selatan saat itu dan sekarang, berasal dari Kotadonok. Seperti mantan Gubernur Sumatera Bagian Selatan, Moh Husein—yang saat ini namanya diabadikan sebagai nama RSU Palembang dengan nama RSUD Moch Husein.
Moch Husein adalah putra asli Kotadonok dan rumahnya saat ini masih berdiri tegak dan bagus di Kotadonok dibangun ketika ia menjabat sebagai Gubernur Sumbagsel. Demikian pula putra Kotadonok lainnya, seperti Jamaan Nur, H Zulkarnain (almh) yang sekarang keturunan atau putranya yang cukup berhasil adalah Kurnia Utama yang biasa dipanggil Kukun. Keluarga Pangeran (bukan pangiran), seperti Rully (salah satu ketua DPP Golkar di Jakarta) dan lainnya.
Saat ini sarana pendidikan di Kotadonok tidak begitu menonjol, karena berdirinya sekolah-sekolah di ibukota kecamatan Lebong Selatan di Tes. Di Kotadonok ada 4 (empat) buah Sekolah Dasar (SD) Negeri, sebuah Taman Kanak-Kanak dan sebuah Tsanawiyah Negeri (MTsAIN) yang berada tepat di pinggir Danas Tes—di ujung desa Kotadonok.
Bangunan Tua
Di desa Kotadonok—karena salah satu desa tertua di Lebong, terdapat banyak bangunan rumah tua sebagai aset budaya Rejang. Rumah-rumah tua di desa Kotadonok, seperti di Desa lainnya di Lebong dan di Tanah Rejang merupakan rumah panggung. Rumah-rumah itu dapat dilihat dengan jelas di dekat SDN 2 Kotadonok sampai ke Masjid lama Kotadonok.
Sayangnya, banyak di antara rumah-rumah tua itu, ditinggalkan oleh penerus pemiliknya, kalau pun masih ditunggu—keadaannya cukup memprihatinkan. Walau bahan bangunan rumahnya masih bisa bertahan 50 tahun ke depan dalam kondisi baik. Seharusnya, rumah-rumah tua di Kotadonok harus diperhatikan dengan baik. Pemerintah harus menjadikan itu sebagai aset budaya Rejang.
http://anokjang.multiply.com via nep_prahana@plasa.com by Naim Emel Prahana, Senin (15/12-2008)
Jumat, 19 Desember 2008
Kotadonok
KOTADONOK
Ada cerita menarik ketika aku masih sekolah d SDN 1 Kotadonok sekitar tahun 1970. waktu itu di daerah Lebong akan dipasang listrik di hampir setiap desa, termasuk Kota Donok. Pada suatu siang, iring-iringan mobil truk membawa tiang beton listrik dengan bangga, dalam hati mereka berkata, “Wah sebentar lagi sampai di Kota Donok!” Hal itu terungkap ketika mereka sampai di Jembatan Bioa Tiket (Jembatan Air Tiket) membaca plang papan bertuliskan “Selamat Datang di Desa Kota Donok!”
Pikir mereka, desa dari Kota Donok sudah mereka masuki, tinggal Kota Donoknya lagi. Setelah mereka melintasi Desa Kota Donok dan akhirnya sampai di daerah Pondok Lucuk merasa heran, kenapa Kota Donok or Central of City belum mereka temui, padahal desanya aja sudah dilewati.
Akhirnya, ketika ada beberapa penduduk yang berjalan kaki di daerah itu. Mereka pun bertanaya.
“Pak, numpang tanya. Kota Donok masih jauh nggak?” tanya mereka. Tentu saja yang ditanya merasa heran, apalagi bahasa Indonesianya agak berbelok-belok.
“Sudo lewat, Pak!” kata penduduk yang ditanya tentang Kota Donok. Kini giliran pembawa tiang beton listrik itu yang bengong.
“Kok sudah lewat, yang baru kami lewati tadi ‘desa’ Kota Donok,” kata mereka.
“Ya, Desa Koto Donok itulah ‘Kota Donok’” jawab penduduk itu.
Maka, setelah mendapat jawaban itu, makin bingunglah rombongan rekanan PLN tersebut. Bingungnya bukan apa-apa, tetapi, untuk kembali ke Desa Kota Donok mereka mengalami kesulitan, karena jalan yang ada sempit dan tak mungkin truk besar mereka bisa memutar arah.
Sejarah
Dulunya, Kotadonok bernama Kutei Donok yang artinya Desa Tengah-Tengah. Beberapa analisa sejarah menyebutkan, maksud ‘tengah-tengah’ atau Donok itu, karena letak desa Kota Donok berada di antara Curup dan Muara Aman. Kalau dari Curup jaraknya 40 Km dan kalau dari Muara Aman berjarak sekitar 30 Km.
Hanya saja pergantian nama dari Kutei Donok menjadi Kotadonok, belum ada yang dapat menjelaskannya, kapan? (tahun berapa?). Di dalam dokumen-dokumen orang Belanda tempo dulu, sudah tertulis nama “Kotadonok”. Diperkirakan nama Kutei Donok itu terjadi antara abad ke 9 hingga abad 14 M.
Sebab, dalam ensikplodia Amerika tahun 1560 disebutkan pengaruh Islam sudah masuk ke daerah Sumatera Bagian Selatan (Palembang, Bengkulu, Lampung dan Jambi) sekitar tahun 700 M. Berarti, suku bangsa Rejang sudah mendiami lembah Air Ketahun (lembah Bukit Barisan) sebelum tahun 700 M.
Sejarah sukubangsa Rejang yang ramai ditulis, itu berkisar antara tahun 1415 sampai 1800 M pada masa jayanya para Bikau (Biku). Padahal sebelumnya, di daerah Pinang Belapis atau Renah Sekalawi dan kemudian berganti nama menjadi Lebong (berasal dari kata ‘telebong’ artinya berkumpul.
Sementara orang belanda melalui VOC-nya mulai masuk ke Indonesia tahun 1610 dan sampai tahun 1799. Penguasa Hindia-Belanda, dari masa VOC, pemerintahan Belanda, Inggris hingga masa pendudukan Jepang dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Di masa penjajahan Belanda, para penguasa ini biasanya memiliki gelar Gubernur-Jenderal. Perioderisasi penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, termasuk daerah Bengkulu dengan urutan sebagai berikut: (1). Masa VOC (1610 -1799), (2) Masa kekuasaan Belanda Idi bawah kekuasaan Napoleon di Perancis (1800-1811), (3). Masa kekuasaan Inggris (1811-1816), (4). Masa kekuasaan Belanda kedua (1816-1949) dan (5). Masa kekuasaan Jepang (1942-1945)
Desa Kotadonok yang sekarang dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, yaitu Kotadonok dan Desa Suka Sari dalam sejarah sukubangsa Rejang merupakan salah satu desa (kutai) tertua setelah Topos (Tapus; yang juga sudah dimekarkan menjadi dua desa). Desa Tua lainnya seperti Semlako (Semelako), Desa Muara Aman, Tubai, Tlang Blau (Talangbaru), desa Tanjung. Sebagai desa tua sudah pasti memiliki sejarah yang cukup panjang dengan dampak untuk daerah sekitarnya.
Kotadonok seperti lazimnya desa-desa di Lebong berada di lembah Bukit Barisan, yang sebagian besar tempat pemukiman penduduknya berada di lereng-lereng bukit. Seperti hal Kotadonok sepanjang Bioa Tiket (Air Tiket) sampai Tepat Taukem (Tepat Rukam)—perbatasan dengan desa Tes. Letak geografis desa ini berada di lereng bukit dan di bawahnya terhampar Danau Tes termasuk anak danau seperti Danau Tawen Blau (Ketahun Baru), Teluk Buluak (Teluk Bambu), Tlang Macan beserta pulau kecil yang sering disebut dengan nama Jungut Benei (Tanjung Pasir) dan Tanjung.
Berdasarkan cerita orang-orangtua di Kotadonok menyebutkan pada umumnya penduduk desa itu berasal dari Topos dan Tlang Blau. Tidak heran jikalau masyarakat Kota Donok yang sering membayar nazar atau disebut misaim niat, itu tempat di Topos atau Tlang Blau. Pertalian antara penduduk Kotadonok dengan Topos, Tlang Blau merupakan pertalian geneologis, bukan berdasarkan territorial. Begitu pula dengan penduduk desa baru Tlang ratau (Talang Ratu) merupakan hubungan geneologis. Karena desa Tlang Ratau merupakan pengembangan masyarakat dari Desa Kotadonok.
Arsitektur asli Rejang
Seperti di desa tua lainnya di Lebong, bentuk dan ornament yang ada di bangunan rumah-rumah penduduknya hamper sama. Tentang ornament yang terdapat pada rumah-rumah penduduk asli orang Rejang terdiri dari 2 (dua) kelompok. Jenis (kelompok) pertama merupakan bangunan rumah berornamen dan memiliki sifat arsiterktur bernilai tinggi yang erat kaitannya dengan ststus social dan keberadaan pemiliknya.
Di desa Kotadonok pun demikian. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terdiri dari bahan kayu (papan) tersebut bertahan lama sampai ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, kendati terlihat sangat sederhana.
Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan symbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan lain yang kemudian ditempelkan dinding (menyatu).
Ciri khas lain ornamen klasik penuh dengan arsitektur benrilai tinggi pada rumah orang Rejang yang yang mengisyaratkan memiliki status social yang lebih baik adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri dan di bagian dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup besar.
Untuk ruang tamu demikian, di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya. Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Kemudian, rumah-rumah seperti itu hampir semuanya mempunyai kamar mandi di bagian belakang lengkap dengan pancurannya dan juga tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan).
Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan). Paran itu juga dianyam dengan tambahan ukiran sedemikian rupa.
Kemudian rumah-rumah itu memiliki plapon yang juga terbuat dari bahan kayu (papan) pilihan, sehingga di atasnya dimanfaatkan untuk tempat menjemur atau mengeringkan biji kopi. Menyimpan hasil perkebunan lainnya, seperti pisang, nangka dan buah-buahan lainnya.
Bangunan rumah asli orang Rejang memang sudah sedemikian maju dan itu menandakan pengetahuan orang Rejang terhadap design bangunan rumah sudah demikian tinggi. Karena, sebuah bangunan rumah mereka, sudah lengkap dengan ruang-ruangnya. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermusyawarah, kamar tidur, kamar gudang (tempat beras dan lainnya), dapur, kamar mandi (ruang kamar mandi), ruang menyimpanan berbagai hasil pertanian dan sebagainya. Semuanya, satu dengan lain dipisahkan oleh dinding papan yang dibuat sedemikian rupa.
Oleh karenanya, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut ruang-ruang atau kamar di dalam struktur rumah asli Rejang. Misalnya brendo (beranda, teras rumah), smigo (ruang utama yang letaknya paling depan sesudah bredo), bilik (kamar tidur), dopoa (dapur), palai (ruang di atas plapon rumah), ndea (tangga), kemdan (jendela0, bang (pintu).
Untuk menyebut bilik (kamar tidur) biasanya ditambah dengan nama siapa yang sering tidur di kamar tersebut. Misalnya kamar tidur nenek maka disebut bilik sebei dan seterusnya. Dalam arsitektur orang Rejang sudah mengenal model-model daun jendela dan pintu. Untuk pintu utama, biasanya selain pintu lapisan pertama terbuat dari kayu. Kemudian pada lapisan kedua ada pintu yang terbuat dari kaca yang dibingkai dengan kayu. Sementara untuk pintu kedua (di dalam rumah) tidak demikian. Cukup dengan daun pintu terbuat dari papan.
Melihat seni arsitek ‘ukir’ pada dinding, pintu, jendela dan dinding-dinding ruang rumah orang Rejang kemungkinan dipengaruhi oleh seni kaligrafi dalam agama Islam dan aliran naturalisme. Sebab, melihat dari lika-liku ukiran, simbol yang dilukis dan rangikaian-rangkaian ukirannya, memang demikian.
Kedatangan Sukubangsa Lain dan Konsep Pembauran
Orang Rejang terkenal dengan sikap ramah dan tamahnya kepada siapapun. Sampai-sampai penghormatan dan penghargaannya kepada orang lain selain suku Rejang sangat tinggi. Pada akhirnya timbul kesan mengabaikan sesama orang Rejang sendiri. Di desa Kota Donok (saya menulisnya dengan suku kata ‘Kotadonok’) sejak lama sudah terjadi pembauran dengan warga sukubangsa lainnya. Baik sukubangsa yang ada di Indonesia maupun orang asing (sukubangsa di luar Indonesia).
Pembauran yang begitu harmonis tersebut sering diakhiri dengan ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam adat Rejang dan hukum perkawinan Indonesia (sekarang dikenal dengan UU No 1/1974 tentang perkawinan). Alasan menyebut orang rejang terutama di Kotadonok sudah lama mengenal konsep kehidupan pembauran adalah datang, menetap dan adanya pernikahan antara orang Kotadonok dengan orang luar tersebut.
Baik dengan orang Belanda, Jerman, Tiongkok, India dan Persia (untuk orang luar Indonesia) dan untuk orang di luar orang Rejang seperti dengan orang Bengkulu, Palembang, Padang, Kerinci, Lampung, Jawa dan Sunda. Dan itu dapat dibuktikan sampai dengans ekarang ini. Di Kotadonok sekarang berdiam sukubangsa Rejang (99%), selebihnya ada suku Jawa, terutama di lokasi Transmigrasi Pemangkuraja, Bali (Islam), Padang, Bengkulu, Palembang, Sunda, Lampung dan selebihnya orang Rejang di luar Lebong.
Mata Pencaharian
Mata pencarian orang Kotadonok meliputi bertani (termasuk berkebun) hampir 95%, kemudian swasta, PNS, TNI, Polri, profesi dan berdagang (supir atau buruh). Pola pertanian yang dijalankan adalah pola pertanian tradisional dengan kepercayaan-kepercayaan yang melekat pada sanubari orang Rejang di Kotadonok.
Hasil utama pertanian adalah padi sawah (dulu ada padi darat/ladang), sayur-mayur. Sedangkan hasil perkebunan seperti kopi (utama), kemiri, dan hasil perkebunan lainnya seperti pisang, coklat (komoditi baru), serei dan beberapa lagi. Namun pada umumnya hasil perkebunan yang dikelola hanyalah kopi. Masyarakat desa Kotadonok dahulu kalanya adalah masyarakat yang sangat sejahtera dengan hasil pertanian, perkebunan, perikanan yang melimpah ruah. Namun, sejak tahun 80-an, kondisi hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan desa ini sangat merosot.
Kemerosotan itu diakibatkan oleh makin terbukanya isolasi daerah Lebong, sehingga pengaruh dari luar tersebut sangat besar. Banyak anak muda di desa itu sudah enggan mengelola pertanian, perkebunan atau mencari ikan atau sebangsanya. Mereka lebih suka nongkrong di kampung menjadi pengangguran. Belakang—sekitar tahun 2000-an banyak anak-anak desa Kotadonok (termasuk Sukasari) yang pergi merantau serta bekerja di luar Bengkulu. Misalnya ke Riau, Batam, Tangerang, Cilegon, Jakarta, Bandung dan Palembang.
Mata Pencaharian Alternatif
Sejak zaman dahulu kala masyarakat Kotadonok memiliki mata pencaharian alternatif jikalau sedang musim paceklik atau pasca panen. Mata pencaharian alternatif itu seperti mendulang (mencari emas) di Lebong Simpang, mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti jala, jaring, tajua, serapang, kewea dan tubo. Atau mereka mencari luken, kijing, sebkoa, kersip dan kemudian dipajang di pinggir jalan.
Namun, saat ini—setidak-tidaknya 10 tahun terakhir, mata pencaharian alternatif itu sudah jarang dikerjakan masyarakat Koatdonok. Kuat dugaan hal itu akibat pengaruh masuknya beberapa perusahaan besar di bidang perkebunan, seperti perkebunan kopi arabica, kembang edelwis milik keluarga Cendana (era almh Bu Tien Soeharto) dan banyaknya penduduk Kotadonok mencari nafkah di luar daerah.
Pendidikan
Dunia pendidikan di Kotadonok berdasarkan sejarah dan fakta merupakan salah satu basis pendidikan di Lebong. Tidak heran kalau beberapa pejabat di Sumatera Bagian Selatan saat itu dan sekarang, berasal dari Kotadonok. Seperti mantan Gubernur Sumatera Bagian Selatan, Moh Husein—yang saat ini namanya diabadikan sebagai nama RSU Palembang dengan nama RSUD Moch Husein.
Moch Husein adalah putra asli Kotadonok dan rumahnya saat ini masih berdiri tegak dan bagus di Kotadonok dibangun ketika ia menjabat sebagai Gubernur Sumbagsel. Demikian pula putra Kotadonok lainnya, seperti Jamaan Nur, H Zulkarnain (almh) yang sekarang keturunan atau putranya yang cukup berhasil adalah Kurnia Utama yang biasa dipanggil Kukun. Keluarga Pangeran (bukan pangiran), seperti Rully (salah satu ketua DPP Golkar di Jakarta) dan lainnya.
Saat ini sarana pendidikan di Kotadonok tidak begitu menonjol, karena berdirinya sekolah-sekolah di ibukota kecamatan Lebong Selatan di Tes. Di Kotadonok ada 4 (empat) buah Sekolah Dasar (SD) Negeri, sebuah Taman Kanak-Kanak dan sebuah Tsanawiyah Negeri (MTsAIN) yang berada tepat di pinggir Danas Tes—di ujung desa Kotadonok.
Bangunan Tua
Di desa Kotadonok—karena salah satu desa tertua di Lebong, terdapat banyak bangunan rumah tua sebagai aset budaya Rejang. Rumah-rumah tua di desa Kotadonok, seperti di Desa lainnya di Lebong dan di Tanah Rejang merupakan rumah panggung. Rumah-rumah itu dapat dilihat dengan jelas di dekat SDN 2 Kotadonok sampai ke Masjid lama Kotadonok.
Sayangnya, banyak di antara rumah-rumah tua itu, ditinggalkan oleh penerus pemiliknya, kalau pun masih ditunggu—keadaannya cukup memprihatinkan. Walau bahan bangunan rumahnya masih bisa bertahan 50 tahun ke depan dalam kondisi baik. Seharusnya, rumah-rumah tua di Kotadonok harus diperhatikan dengan baik. Pemerintah harus menjadikan itu sebagai aset budaya Rejang.
http://anokjang.multiply.com via nep_prahana@plasa.com by Naim Emel Prahana, Senin (15/12-2008)
Ada cerita menarik ketika aku masih sekolah d SDN 1 Kotadonok sekitar tahun 1970. waktu itu di daerah Lebong akan dipasang listrik di hampir setiap desa, termasuk Kota Donok. Pada suatu siang, iring-iringan mobil truk membawa tiang beton listrik dengan bangga, dalam hati mereka berkata, “Wah sebentar lagi sampai di Kota Donok!” Hal itu terungkap ketika mereka sampai di Jembatan Bioa Tiket (Jembatan Air Tiket) membaca plang papan bertuliskan “Selamat Datang di Desa Kota Donok!”
Pikir mereka, desa dari Kota Donok sudah mereka masuki, tinggal Kota Donoknya lagi. Setelah mereka melintasi Desa Kota Donok dan akhirnya sampai di daerah Pondok Lucuk merasa heran, kenapa Kota Donok or Central of City belum mereka temui, padahal desanya aja sudah dilewati.
Akhirnya, ketika ada beberapa penduduk yang berjalan kaki di daerah itu. Mereka pun bertanaya.
“Pak, numpang tanya. Kota Donok masih jauh nggak?” tanya mereka. Tentu saja yang ditanya merasa heran, apalagi bahasa Indonesianya agak berbelok-belok.
“Sudo lewat, Pak!” kata penduduk yang ditanya tentang Kota Donok. Kini giliran pembawa tiang beton listrik itu yang bengong.
“Kok sudah lewat, yang baru kami lewati tadi ‘desa’ Kota Donok,” kata mereka.
“Ya, Desa Koto Donok itulah ‘Kota Donok’” jawab penduduk itu.
Maka, setelah mendapat jawaban itu, makin bingunglah rombongan rekanan PLN tersebut. Bingungnya bukan apa-apa, tetapi, untuk kembali ke Desa Kota Donok mereka mengalami kesulitan, karena jalan yang ada sempit dan tak mungkin truk besar mereka bisa memutar arah.
Sejarah
Dulunya, Kotadonok bernama Kutei Donok yang artinya Desa Tengah-Tengah. Beberapa analisa sejarah menyebutkan, maksud ‘tengah-tengah’ atau Donok itu, karena letak desa Kota Donok berada di antara Curup dan Muara Aman. Kalau dari Curup jaraknya 40 Km dan kalau dari Muara Aman berjarak sekitar 30 Km.
Hanya saja pergantian nama dari Kutei Donok menjadi Kotadonok, belum ada yang dapat menjelaskannya, kapan? (tahun berapa?). Di dalam dokumen-dokumen orang Belanda tempo dulu, sudah tertulis nama “Kotadonok”. Diperkirakan nama Kutei Donok itu terjadi antara abad ke 9 hingga abad 14 M.
Sebab, dalam ensikplodia Amerika tahun 1560 disebutkan pengaruh Islam sudah masuk ke daerah Sumatera Bagian Selatan (Palembang, Bengkulu, Lampung dan Jambi) sekitar tahun 700 M. Berarti, suku bangsa Rejang sudah mendiami lembah Air Ketahun (lembah Bukit Barisan) sebelum tahun 700 M.
Sejarah sukubangsa Rejang yang ramai ditulis, itu berkisar antara tahun 1415 sampai 1800 M pada masa jayanya para Bikau (Biku). Padahal sebelumnya, di daerah Pinang Belapis atau Renah Sekalawi dan kemudian berganti nama menjadi Lebong (berasal dari kata ‘telebong’ artinya berkumpul.
Sementara orang belanda melalui VOC-nya mulai masuk ke Indonesia tahun 1610 dan sampai tahun 1799. Penguasa Hindia-Belanda, dari masa VOC, pemerintahan Belanda, Inggris hingga masa pendudukan Jepang dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Di masa penjajahan Belanda, para penguasa ini biasanya memiliki gelar Gubernur-Jenderal. Perioderisasi penjajahan Belanda dan Jepang di Indonesia, termasuk daerah Bengkulu dengan urutan sebagai berikut: (1). Masa VOC (1610 -1799), (2) Masa kekuasaan Belanda Idi bawah kekuasaan Napoleon di Perancis (1800-1811), (3). Masa kekuasaan Inggris (1811-1816), (4). Masa kekuasaan Belanda kedua (1816-1949) dan (5). Masa kekuasaan Jepang (1942-1945)
Desa Kotadonok yang sekarang dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, yaitu Kotadonok dan Desa Suka Sari dalam sejarah sukubangsa Rejang merupakan salah satu desa (kutai) tertua setelah Topos (Tapus; yang juga sudah dimekarkan menjadi dua desa). Desa Tua lainnya seperti Semlako (Semelako), Desa Muara Aman, Tubai, Tlang Blau (Talangbaru), desa Tanjung. Sebagai desa tua sudah pasti memiliki sejarah yang cukup panjang dengan dampak untuk daerah sekitarnya.
Kotadonok seperti lazimnya desa-desa di Lebong berada di lembah Bukit Barisan, yang sebagian besar tempat pemukiman penduduknya berada di lereng-lereng bukit. Seperti hal Kotadonok sepanjang Bioa Tiket (Air Tiket) sampai Tepat Taukem (Tepat Rukam)—perbatasan dengan desa Tes. Letak geografis desa ini berada di lereng bukit dan di bawahnya terhampar Danau Tes termasuk anak danau seperti Danau Tawen Blau (Ketahun Baru), Teluk Buluak (Teluk Bambu), Tlang Macan beserta pulau kecil yang sering disebut dengan nama Jungut Benei (Tanjung Pasir) dan Tanjung.
Berdasarkan cerita orang-orangtua di Kotadonok menyebutkan pada umumnya penduduk desa itu berasal dari Topos dan Tlang Blau. Tidak heran jikalau masyarakat Kota Donok yang sering membayar nazar atau disebut misaim niat, itu tempat di Topos atau Tlang Blau. Pertalian antara penduduk Kotadonok dengan Topos, Tlang Blau merupakan pertalian geneologis, bukan berdasarkan territorial. Begitu pula dengan penduduk desa baru Tlang ratau (Talang Ratu) merupakan hubungan geneologis. Karena desa Tlang Ratau merupakan pengembangan masyarakat dari Desa Kotadonok.
Arsitektur asli Rejang
Seperti di desa tua lainnya di Lebong, bentuk dan ornament yang ada di bangunan rumah-rumah penduduknya hamper sama. Tentang ornament yang terdapat pada rumah-rumah penduduk asli orang Rejang terdiri dari 2 (dua) kelompok. Jenis (kelompok) pertama merupakan bangunan rumah berornamen dan memiliki sifat arsiterktur bernilai tinggi yang erat kaitannya dengan ststus social dan keberadaan pemiliknya.
Di desa Kotadonok pun demikian. Pada umumnya, rumah asli penduduk Rejang terbuat dari bahan kayu yang berkualitas tinggi. Rumah yang terdiri dari bahan kayu (papan) tersebut bertahan lama sampai ratusan tahun dan sampai sekarang masih utuh. Rumah-rumah tua itu selalu dihiasi dengan ornament seni yang tinggi, kendati terlihat sangat sederhana.
Misalnya di bagian risplang rumah. Selalu dihiasi dengan ukiran penuh dengan symbol-simbol flora seperti daun, bunga atau lainnya. Demikian pula di bagian dinding rumah—terutama di bagian depan selalu dihiasi dengan ukiran dari papan lain yang kemudian ditempelkan dinding (menyatu).
Ciri khas lain ornamen klasik penuh dengan arsitektur benrilai tinggi pada rumah orang Rejang yang yang mengisyaratkan memiliki status social yang lebih baik adalah pemasangan papan pada dinding dilakukan secara berdiri dan di bagian dinding depan rumah biasanya hanya ada dua jendela dan sebuah pintu berukuran besar. Rumah orang Rejang seperti itu, biasanya memiliki ruang tamu di bagian depan yang cukup besar.
Untuk ruang tamu demikian, di samping jendela di bagian depan. Masih ada dua jendela di sisi kiri dan kanan. Kecenderungan seperti itu hampir pada semua rumah asli orang Rejang. Pada ruang kedua, biasa merupakan ruangan keluarga yang berukuran separuh dari ruangan tamu yang ada di depannya. Di ruangan kedua itu, sebagian ruangnya digunakan untuk kamar tidur utama. Sementara dipan tempat tidur bagi yang mampu bisa saja diletakkan di salah satu sudut ruang tamu, ruang keluarga pertama dan ruang keluarga kedua.
Ciri khas lainnya rumah asli orang Rejang adalah bertingkat dan mempunyai karakter tinggi dengan tiang-tiangnya disertai bentuk rumahnya yang membujur (empat persegi panjang). Ada yang memanfaatkan tingkat bawah sebagai temat kumpul-kumpul keluarga sehari-hari dan ada yang tidak memanfaatkannya. Artinya dibiarkan kosong dan biasanya dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya untuk menyimpan bahan kayu bakar, kandang sapi, kandang ayam atau menyimpan bahan-bahan bangunan lainnya.
Kemudian, rumah-rumah seperti itu hampir semuanya mempunyai kamar mandi di bagian belakang lengkap dengan pancurannya dan juga tempat menyimpan berbagai alat-alat pertanian dan menggantung pakaian kerja. Karena, kalau diletakkan di ruang kamar mandi yang serbaguna itu, akan mudah untuk dicuci (dibersihkan).
Dulunya, rumah-rumah asli Rejang itu, walau papan lantainya sudah demikian mengkilat karena selalu di-pel, sebagian pemiliknya yang mampu akan menambahkan alas lantainya berupa paran (tikar anyaman dari rotan atau kulit bambu yang tua dan pilihan). Paran itu juga dianyam dengan tambahan ukiran sedemikian rupa.
Kemudian rumah-rumah itu memiliki plapon yang juga terbuat dari bahan kayu (papan) pilihan, sehingga di atasnya dimanfaatkan untuk tempat menjemur atau mengeringkan biji kopi. Menyimpan hasil perkebunan lainnya, seperti pisang, nangka dan buah-buahan lainnya.
Bangunan rumah asli orang Rejang memang sudah sedemikian maju dan itu menandakan pengetahuan orang Rejang terhadap design bangunan rumah sudah demikian tinggi. Karena, sebuah bangunan rumah mereka, sudah lengkap dengan ruang-ruangnya. Ruang tamu, ruang keluarga, ruang bermusyawarah, kamar tidur, kamar gudang (tempat beras dan lainnya), dapur, kamar mandi (ruang kamar mandi), ruang menyimpanan berbagai hasil pertanian dan sebagainya. Semuanya, satu dengan lain dipisahkan oleh dinding papan yang dibuat sedemikian rupa.
Oleh karenanya, ada beberapa istilah yang dipakai untuk menyebut ruang-ruang atau kamar di dalam struktur rumah asli Rejang. Misalnya brendo (beranda, teras rumah), smigo (ruang utama yang letaknya paling depan sesudah bredo), bilik (kamar tidur), dopoa (dapur), palai (ruang di atas plapon rumah), ndea (tangga), kemdan (jendela0, bang (pintu).
Untuk menyebut bilik (kamar tidur) biasanya ditambah dengan nama siapa yang sering tidur di kamar tersebut. Misalnya kamar tidur nenek maka disebut bilik sebei dan seterusnya. Dalam arsitektur orang Rejang sudah mengenal model-model daun jendela dan pintu. Untuk pintu utama, biasanya selain pintu lapisan pertama terbuat dari kayu. Kemudian pada lapisan kedua ada pintu yang terbuat dari kaca yang dibingkai dengan kayu. Sementara untuk pintu kedua (di dalam rumah) tidak demikian. Cukup dengan daun pintu terbuat dari papan.
Melihat seni arsitek ‘ukir’ pada dinding, pintu, jendela dan dinding-dinding ruang rumah orang Rejang kemungkinan dipengaruhi oleh seni kaligrafi dalam agama Islam dan aliran naturalisme. Sebab, melihat dari lika-liku ukiran, simbol yang dilukis dan rangikaian-rangkaian ukirannya, memang demikian.
Kedatangan Sukubangsa Lain dan Konsep Pembauran
Orang Rejang terkenal dengan sikap ramah dan tamahnya kepada siapapun. Sampai-sampai penghormatan dan penghargaannya kepada orang lain selain suku Rejang sangat tinggi. Pada akhirnya timbul kesan mengabaikan sesama orang Rejang sendiri. Di desa Kota Donok (saya menulisnya dengan suku kata ‘Kotadonok’) sejak lama sudah terjadi pembauran dengan warga sukubangsa lainnya. Baik sukubangsa yang ada di Indonesia maupun orang asing (sukubangsa di luar Indonesia).
Pembauran yang begitu harmonis tersebut sering diakhiri dengan ikatan perkawinan sebagaimana diatur dalam adat Rejang dan hukum perkawinan Indonesia (sekarang dikenal dengan UU No 1/1974 tentang perkawinan). Alasan menyebut orang rejang terutama di Kotadonok sudah lama mengenal konsep kehidupan pembauran adalah datang, menetap dan adanya pernikahan antara orang Kotadonok dengan orang luar tersebut.
Baik dengan orang Belanda, Jerman, Tiongkok, India dan Persia (untuk orang luar Indonesia) dan untuk orang di luar orang Rejang seperti dengan orang Bengkulu, Palembang, Padang, Kerinci, Lampung, Jawa dan Sunda. Dan itu dapat dibuktikan sampai dengans ekarang ini. Di Kotadonok sekarang berdiam sukubangsa Rejang (99%), selebihnya ada suku Jawa, terutama di lokasi Transmigrasi Pemangkuraja, Bali (Islam), Padang, Bengkulu, Palembang, Sunda, Lampung dan selebihnya orang Rejang di luar Lebong.
Mata Pencaharian
Mata pencarian orang Kotadonok meliputi bertani (termasuk berkebun) hampir 95%, kemudian swasta, PNS, TNI, Polri, profesi dan berdagang (supir atau buruh). Pola pertanian yang dijalankan adalah pola pertanian tradisional dengan kepercayaan-kepercayaan yang melekat pada sanubari orang Rejang di Kotadonok.
Hasil utama pertanian adalah padi sawah (dulu ada padi darat/ladang), sayur-mayur. Sedangkan hasil perkebunan seperti kopi (utama), kemiri, dan hasil perkebunan lainnya seperti pisang, coklat (komoditi baru), serei dan beberapa lagi. Namun pada umumnya hasil perkebunan yang dikelola hanyalah kopi. Masyarakat desa Kotadonok dahulu kalanya adalah masyarakat yang sangat sejahtera dengan hasil pertanian, perkebunan, perikanan yang melimpah ruah. Namun, sejak tahun 80-an, kondisi hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan desa ini sangat merosot.
Kemerosotan itu diakibatkan oleh makin terbukanya isolasi daerah Lebong, sehingga pengaruh dari luar tersebut sangat besar. Banyak anak muda di desa itu sudah enggan mengelola pertanian, perkebunan atau mencari ikan atau sebangsanya. Mereka lebih suka nongkrong di kampung menjadi pengangguran. Belakang—sekitar tahun 2000-an banyak anak-anak desa Kotadonok (termasuk Sukasari) yang pergi merantau serta bekerja di luar Bengkulu. Misalnya ke Riau, Batam, Tangerang, Cilegon, Jakarta, Bandung dan Palembang.
Mata Pencaharian Alternatif
Sejak zaman dahulu kala masyarakat Kotadonok memiliki mata pencaharian alternatif jikalau sedang musim paceklik atau pasca panen. Mata pencaharian alternatif itu seperti mendulang (mencari emas) di Lebong Simpang, mencari ikan dengan peralatan sederhana, seperti jala, jaring, tajua, serapang, kewea dan tubo. Atau mereka mencari luken, kijing, sebkoa, kersip dan kemudian dipajang di pinggir jalan.
Namun, saat ini—setidak-tidaknya 10 tahun terakhir, mata pencaharian alternatif itu sudah jarang dikerjakan masyarakat Koatdonok. Kuat dugaan hal itu akibat pengaruh masuknya beberapa perusahaan besar di bidang perkebunan, seperti perkebunan kopi arabica, kembang edelwis milik keluarga Cendana (era almh Bu Tien Soeharto) dan banyaknya penduduk Kotadonok mencari nafkah di luar daerah.
Pendidikan
Dunia pendidikan di Kotadonok berdasarkan sejarah dan fakta merupakan salah satu basis pendidikan di Lebong. Tidak heran kalau beberapa pejabat di Sumatera Bagian Selatan saat itu dan sekarang, berasal dari Kotadonok. Seperti mantan Gubernur Sumatera Bagian Selatan, Moh Husein—yang saat ini namanya diabadikan sebagai nama RSU Palembang dengan nama RSUD Moch Husein.
Moch Husein adalah putra asli Kotadonok dan rumahnya saat ini masih berdiri tegak dan bagus di Kotadonok dibangun ketika ia menjabat sebagai Gubernur Sumbagsel. Demikian pula putra Kotadonok lainnya, seperti Jamaan Nur, H Zulkarnain (almh) yang sekarang keturunan atau putranya yang cukup berhasil adalah Kurnia Utama yang biasa dipanggil Kukun. Keluarga Pangeran (bukan pangiran), seperti Rully (salah satu ketua DPP Golkar di Jakarta) dan lainnya.
Saat ini sarana pendidikan di Kotadonok tidak begitu menonjol, karena berdirinya sekolah-sekolah di ibukota kecamatan Lebong Selatan di Tes. Di Kotadonok ada 4 (empat) buah Sekolah Dasar (SD) Negeri, sebuah Taman Kanak-Kanak dan sebuah Tsanawiyah Negeri (MTsAIN) yang berada tepat di pinggir Danas Tes—di ujung desa Kotadonok.
Bangunan Tua
Di desa Kotadonok—karena salah satu desa tertua di Lebong, terdapat banyak bangunan rumah tua sebagai aset budaya Rejang. Rumah-rumah tua di desa Kotadonok, seperti di Desa lainnya di Lebong dan di Tanah Rejang merupakan rumah panggung. Rumah-rumah itu dapat dilihat dengan jelas di dekat SDN 2 Kotadonok sampai ke Masjid lama Kotadonok.
Sayangnya, banyak di antara rumah-rumah tua itu, ditinggalkan oleh penerus pemiliknya, kalau pun masih ditunggu—keadaannya cukup memprihatinkan. Walau bahan bangunan rumahnya masih bisa bertahan 50 tahun ke depan dalam kondisi baik. Seharusnya, rumah-rumah tua di Kotadonok harus diperhatikan dengan baik. Pemerintah harus menjadikan itu sebagai aset budaya Rejang.
http://anokjang.multiply.com via nep_prahana@plasa.com by Naim Emel Prahana, Senin (15/12-2008)
Senin, 01 Desember 2008
Kereta Api
Jalur Kereta Api 'Lori' Lebong Donok, Muara Aman, Lebong, Bengkulu, 1932
LEBONG SIMPANG
Geology)
http://anokjang.multiply.com
Diposting oleh Naim Emel Prahana
The Lebong Simpang thermal area is about 23 km NE, along the Sumatera Fault Zone, from the regional capital of Curup. Only one spring is present in the area and it has a temperature of 95oC with a flow of 0.25 l/s and a pH of 3.87. The ground is hydrothermally altered surrounding the spring but the total natural heat flow from the field will be very small.
Directly to the south is the inactive volcano of Bukit Daun which has had two periods of andesitic volcanism in the Plio-Pleistocene and upper Quaternary. The pumice breccia and lithic tuff breccia sequence through which the spring emerges is considered to be the youngest erupted material from Bk.Daun (Akbar & Hasan, 1986). 3 km to the SE of the spring is an obsidian flow and pyroclastics which was erupted in the period between the phases of andesitic volcanism on Bk.Daun. Tertiary volcanics, sandstones and fine grained carboaceous volcanogenic sediments underlie the Plio-Pleistocene andesites.
Several semi-continuous NW-SE trending Sumatera Fault Zone faults cut the area near Lebong Simpang and the permeability of the area may also be affected by the N-S to NE-SW faults which occur to the north (Akabar & Hasan, 1986).
Positive factors indicating a possible resource in the area are the proximity of young Quaternary volcanics including silicic lithologies and the high temperatures of the spring. The field however is situated in an active tectonic zone and more surface feature would be expected if a major resource was present but the permeability may also be affected by the presence of the fine grained sediments at depth.
REFERENCES
Bachri, S., 1972. Inventarisasi dan penyelidikan pendahuluan terhadap gejala-gejala panasbumi di Provinsi Bengkulu. Unpublished Report, Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan Dan Energi, Bandung Indonesia.
Van Padang, N., 1951.
http://anokjang.multiply.com
Diposting oleh Naim Emel Prahana
The Lebong Simpang thermal area is about 23 km NE, along the Sumatera Fault Zone, from the regional capital of Curup. Only one spring is present in the area and it has a temperature of 95oC with a flow of 0.25 l/s and a pH of 3.87. The ground is hydrothermally altered surrounding the spring but the total natural heat flow from the field will be very small.
Directly to the south is the inactive volcano of Bukit Daun which has had two periods of andesitic volcanism in the Plio-Pleistocene and upper Quaternary. The pumice breccia and lithic tuff breccia sequence through which the spring emerges is considered to be the youngest erupted material from Bk.Daun (Akbar & Hasan, 1986). 3 km to the SE of the spring is an obsidian flow and pyroclastics which was erupted in the period between the phases of andesitic volcanism on Bk.Daun. Tertiary volcanics, sandstones and fine grained carboaceous volcanogenic sediments underlie the Plio-Pleistocene andesites.
Several semi-continuous NW-SE trending Sumatera Fault Zone faults cut the area near Lebong Simpang and the permeability of the area may also be affected by the N-S to NE-SW faults which occur to the north (Akabar & Hasan, 1986).
Positive factors indicating a possible resource in the area are the proximity of young Quaternary volcanics including silicic lithologies and the high temperatures of the spring. The field however is situated in an active tectonic zone and more surface feature would be expected if a major resource was present but the permeability may also be affected by the presence of the fine grained sediments at depth.
REFERENCES
Bachri, S., 1972. Inventarisasi dan penyelidikan pendahuluan terhadap gejala-gejala panasbumi di Provinsi Bengkulu. Unpublished Report, Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan Dan Energi, Bandung Indonesia.
Van Padang, N., 1951.
Langganan:
Postingan (Atom)