Di bawah kaki bukit (tebo) Diding itulah lokasi Tlang Macang, berada di pinggir Sungai Ketahun (Bioa Ketawen). Foto Naim Emel Prahana
Dari Cerita ke Cerita
Oleh Naim Emel
Prahana
SECARA persis tidak ada yang
dapat menjelaskan, kenapa nama tempat ini dengan Tlang Macang? Namun, populeritas nama Tlang Macang menyebar
seantero daerah Lebong. Khususnya daerah-daerah sekitar Desa Kotadonok. Tlang Macang berada di pinggir Bioa Ketawen (Bio Tawen)—yang dikenal
dengan nama Air (sungai) Ketahun, lebih kurang sekitar 700 meter dari Sadei Tiket—sekarang menjadi Desa
Sukasari (pemekaran dari Desa Kotadonok).
Tempat yang disebut
dengan Tlang Macang itu memang sangat
terkenal di tengah masyarakat. Boleh jadi dahulunya menjadi pintu gerbang
memasuki Kotadonok dari arah Topos. Kenpa demikian, setiap orang (warga) Topos (sekarang namanya Sukanegeri) yang
akan berbelanja ke Peken (pekan, pasar)
Kotadonok pada hari Rabu. Pasti melewati daerah yang namanya Tlang Macang.
Di situ dulunya ada
sebuah rumah Imansyah yang punya anak laki-laki namanya Hamadansyah. Tlang Macan dijadikan tempat tinggal,
mereka berternak unggas seperti ayam, itik, bebet (bebek) dan bercocok tanam
serta berkebung. Di lokasi itu dua pohon karet yang sangat rimbun sekali.
Seakan-akan menjadi pintu gerbang melintasi Bioa Ketawen menuju Kotadonok.
Yang lebih khusus
lagi, di lokasi itu memang ada banyak pohon Macang
atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan pohon Pakel dan buahnya disebut buah pakel. Sejenis tanaman sebangsa
dengn mangga. Namun, buahnya yang kuning jika masak (matang) aromanya sangat
harum sekali. Hanya, rasanya berbeda dengan buah mangga. Rasa buah Pakel atau
Macang itu asam (kecut, pen).
Adalah mungkin,
jika tempat itu disebut Tlang Macang karena banyak tumbuh pohon Macang (pakel).
Sebagaimana penamaan atau memberikan nama julukan tempat, orang di tengah
masyarakat Lebong ditandai dengan beberapa faktor. Di Tlang Macan itu ada
semaet (pelabuhan perahu). Dulunya, penyeberangan dari dan ke Tlang Macang
menggunakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda ketika
menjajah Lebong. Sayanganya jembatan itu sudah dirobohkan ketika terjadinya
class ke II dengan Indonesia.
Lokasi Tlang Macam
memang bukan dataran rendah yang memiliki luas dan lebar yang cukup, tetapi
lokasinya berada di kaki Tebo Diding (Bukit Diding) yang berada di atasnya. Ke
arah utara Tlang Macang ada beberapa areal sawah milik warga Kotadonok, yang
menurut catatan dipunyai keluarga Muhammad Said (alm), demikian juga
kebun-kebun di Tebo Diding.
Dulu kawasan itu
merupakan satu-satunya jalan penghubung antara Desa Kotadonok dan Topos. Jika
warga Topos harus melalui Rimbo Pengadang, maka jarak tempuh dan waktu begitu
lama, di sisi lain jalur tersebut sangat buruk keadaannya. Jalan yang melewati
Tlang Macang, jika mau ke Topos atau orang Topos ke Kotadonok memang merupakan
jalan Setapak beberapa kawasan harus dilalui seperti kawasan Tebo Sam, Tebo
Diding dan ada beberapa kawasan lainnyang namanya dijuluki oleh masyarakat
Topos dan Kotadonok dengan nama tertentu.
Sekitar tahun
1971-an Tlang Macang tidak ada lagi penghuninya, kemudian jalur lintas
Topos—Rimbo Pengadang sudah mulai terbuka. Maka, praktis Tlang Macang mati
total tanpa ada aktivitas.
Di bawah ini ada
cuplikan wawancara dengan Rahmatsyah bin Haji Aburuddin tentang riwayat Tlang
Macang. Menurut Rahmatsyah, nama itu sudah ada sejak lama. Seingatnya, ketika
ia masih bujang sering mengembalkan kerbau miliknya ke daerah itu.
“Pernah suatu kali
ketika saya menggiring kerbau-kerbau untuk menyeberangi Tlang Macang, saya
melihat beberapa ekor kerbau saya sedang dalam bahaya, karena ditarik oleh
pusaran air di depan Tlang Macang. Melihat itu, saya dengan sekuat tenaga
menggiring kerbau-kerbau saya, agar ke luar dari lokasi pusaran air di daerah
itu,” kenang Rahmatsyah.
Menurut Rahmatsyah,
memang di bawah areal Tlang Macang itu ada semacan serawung (gua di dalam air), tetapi apakah itu serawung dung (dung
= ular) atau bukan, saya tidak tahu persis.
“Namun daerah itu
cukup angker,” kata Rahmatsyah seraya mengatakan, keangkeran daerah itu
terbukti beberapa orang yang menyeberangi Bioa Ketawen di Tlang Macang
tenggelam dan hilang.
“Pernah suatu ketika
ada orang datang dan menyeberang di daerah itu, kemudian dengan ucapan
meremehkan daerah itu, karena lebarnya sungai yang harus diseberangi hanya
sekitar 20 meter menggunakan perahu, ia berkata sombong, tiba-tiba perahu yang
ditumpanginya terbalik,” ujar Rahmatsyah.
Di situ, katanya
tidak boleh bicara langguk (seperti angkuh, sombong) atau meremehkan
keadaannya. Jika itu dilakukan mungkin ada saja kejadian yang menimpa orang
yang langguk itu. Tapi, boleh percaya boleh tidak, kata Rahmatsyah.
Ketika penulis
masih duduk di bangku SD di Kotadonok antara tahun 1968—1970, daerah Tlang
Macang adalah tempat penulis dan kawan-kawan bermain, mandi dan terjun bebas
dari pohon karet yang rindang di Tlang Macang. Waktu itu memang kami tidak tahu
menahu soal cerita Tlang Macang itu. Alhamdulillah tidak mada kejadian apa-apa,
ituy semua kami selalu ingat pesan orang tua di Kotadonok.
Itulah sekelumit
cerita Tlang Macang, yang sekarang sudah dibangun jembatan besi yang permanen
sejak berdirinya Lebong menjadi kabupaten. Pembangunan jembatan itu
direncanakan untuk membuka jalur lintas antara Kotadonok—Topos. Sayangnya
sampai 2009, jhalur kendaraan yang sudah dibangun ruasnya itu masih
terbengkalai, karena diduga design bangunan jalannya terlalu sulit, karena
kondisi daerahnya merupakan tebing terjal.