Sabtu, 20 September 2008

Usia kota Curup lebih 190 tahun, bukan 128 tahun
at Saturday, June 14, 2008

Berapa tahun sih usia Kota Curup yang sebenarnya?
Baru-baru ini kota Curup merayakan HUT ke-128. Namun kisah kelahirannya 128 tahun lampau itu bak jadi mistery publik. Bahkan orang-orang Curup sendiri yang berada di kota itu banyak yang tidak tahu, anak-anak sekolah, penduduk, karyawan, bila di tanya juga menjawab tidak tahu, mereka hanya tahu Curup merayakan ulang tahun ke 128 tahun ini. Wah wah piye toh mas, tahu umur tapi gak tahu gimana lahirnya he he he.. . .

Konon, ada yang bilang kalau usia ke 128 tahun itu ada perda-nya, maksudnya dibuat undang-undangnya berdasarkan temuan arsip lama yang paling tua, yang menceritakan keberadaan kota Curup, admin sendiri tidak jelas dokumen yang mana yang di maksud itu. Bila merunut ke angka 128 tahun itu, maka dokumen yang mencantumkan nama kota Curup berangka tahun 1880. Apakah masih ada dokumen lain yang signifikan selain itu? Jawabnya ada!

Apakah bila ada dokumen lain yang lebih akurat Pemdanya akan konsukwen dan bijak mengganti perdanya, untuk pelurusan sejarah? Artikel berikut ini adalah bukti nyata pada tahun 1818 kota Curup yang waktu itu di tulis dengan Churup telah lama ada dan di publikasi secara luas di media masa barat. Bila merunut dokumen yang berbentuk jurnal dalam diary perjalanan Kapten F. Salmond dari Benteng Fort Marlborough menuju Residensi Palembang, beliau tiba di Curup tengah hari setelah sebelumnya mampir di Suro pada tanggal 26 juni 1818. Ini adalah dokumen paling tua yang admin temui, yang menulis dengan jelas keberadaan kota Curup, bila pemda akan merujuk ke artikel ini, usia kota Curup adalah 190 tahun pada tanggal 26 Juni ini, jadi bertambah umur 62 tahun dalam beberapa hari saja setelah ulang tahun kota Curup ke 128 bulan kemarin.

Dokumen ini di tulis di jurnal yang di terbitkan Mission Press Fort Marlborough:

Malayan miscellanies
Published 1822
Original from Oxford University
Digitized May 9, 2007

dan tersimpan baik di Universitas ternama itu, hasil di digitalisasinya di berikan ke Google untuk di manfaatkan Publik, inilah peran perusahaan raksasa Google untuk berkolaborasi dengan dunia pendidikan dan blogosphere. Diskusi dengan salah satu author blog ini yaitu blog Curup kami, akhirnya kami putuskan untuk mempublikasi ulang artikel ini untuk pencerahan bagi Pemda Rejang-Lebong, mudah mudahan bermanfaat.

Cuplikan artikel bisa di baca di bawah ini, tulisan tentang kota Curup berada pada sesion tanggal 26 juni 1818 dari catatan diary tersebut.

Pemkab Lebong Beri Lahan Gratis Bagi Investasi Hotel

Lahan Gratis Hotel dari Pemkab Lebong
September 20, 2008 oleh emel
(Minggu, 02 Maret 2008 12:39:00 Republika Online)–
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebong, Bengkulu, berjanji memberikan lahan secara gratis bagi pengusaha yang berminat berinvestasi membangun hotel dengan jumlah kamar lebih dari 30 unit di daerah itu.
“Kita telah hitung, untuk pembangunan hotel dengan kamar diatas 30 unit membutuhkan lahan sekitar lima hektare. Kami akan memberikan lahan itu secara cuma-cuma, pengusaha tinggal membangun saja,” kata Bupati Lebong, Dalhadi Umar di Bengkulu, Minggu (2/3).
Mengenai lokasi, diserahkan kepada pengusaha untuk mencari yang strategis. Pemkab akan membebaskan lahan itu dengan menggunakan anggaran dari APBD.
Menurut Dalhadi, harga lahan di Lebong masih relatif murah. Untuk lima hektare, maksimal hanya Rp500 juta.
Ia mengaku keinginan memberikan fasilitas bagi investor itu, karena prihatin hingga saat ini di daerahnya tidak ada penginapan representatif untuk tamu yang berkunjung ke Lebong.
“Banyak tamu, baik dari Jakarta ataupun pejabat provinsi yang berkunjung ke Lebong. Saya kadang bingung, mau ditempatkan dimana para tamu itu, karena tidak ada penginapan yang layak,” katanya.
Selama ini, jika ada tamu yang datang dan menginap di Lebong, hanya ditempatkan di rumah-rumah yang memang sengaja disewakan.
“Ada pengusaha lokal yang membangun tujuh unit rumah, masing-masing dua kamar di tanah saya. Itulah yang selama ini ditempati para tamu,” katanya.
Dalhadi juga mengaku keinginannya untuk memberikan lahan gratis bagi investor mendapat tentangan dari sebagian anggota DPRD, karena menilai kebijakan itu tidak berpihak pada rakyat.
Padahal, keinginan itu memberikan dampak positif bagi masyarakat, sebab akan membuka lapangan kerja baru, disamping juga menyediakan penginapan layak bagi para tamu.
Ia menjelaskan, ukuran hotel atau penginapan di lahan lima hektare, lebih kurang sama dengan Hotel Pasir Putih di kawasan wisata Pantai Panjang, Kota Bengkulu.
“Hotel Pasir Putih kini memiliki 132 pegawai. Berarti jika hotel itu dibangun di Lebong akan ada 132 warga yang mendapatkan pekerjaan,” katanya.
Karena itu, ia menyatakan tidak akan menarik kebijakannya itu. Bagi investor yang bersedia membangun hotel, akan tetap diberikan fasilitas itu.
“Silahkan kalau ada yang berminat membangun, datang pada saya, pasti saya beri lahan gratis. Urusan dengan DPRD, biar saya yang tanggungjawab,” katanya.
Sebagai kepala daerah, Dalhadi mengaku siap mengambil resiko guna membangun Lebong yang berada di kaki Bukit Barisan itu. antara/abi
Changes in Land Use and Economy in Upper Lebong by Thomas Psota
at Sabtu, September 20, 2008





Read More......
0 comments ShareThis
Labels: Journal
Rejang - Weapons and Fighting Arts of Indonesia Oleh Donn F. Draeger
at Friday, September 19, 2008

Sistem Lokal Jurukalang dalam Pengelolaan SDA

Sistem Lokal Jurukalang dalam Pengelolaan SDA
at Sabtu, September 20, 2008
diposting oleh emel
Jurukalang adalah salah satu Komunitas Geneologis yang berada di Kabupaten Lebong Propinsi Bengkulu, secara Administratif Jurukalang berada di Kecamatan Rimbo Pengadang dan Sebagian Kecamatan Lebong Selatan. Komunitas Jurukalang merupakan kesatuan kekeluargaan yang timbul dari sistem unilateral dengan sistem garis keturunan yang patrilineal dan dengan cara perkawinan yang eksogami .
Jurukalang dalam bahasa Lokal di sebut Jekalang adalah salah satu komunitas adat tertua dalam sejarah suku Rejang (Jang), keterangan ini tidak hanya di dapat dari cerita secara turun temurun namun dari beberapa dokumen tentang pengakuan ini salah satunya pernyataan J. Walland tahun 1861 menyatakan bahwa telah terdapat Marga-Marga teritorial di wilayah ini dan diperkuat oleh J Marsden dalam “The History of Sumatera” 1783.
Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat Jurukalang memiliki norma-norma yang kemudian di atur dalam sistem Adat Tiang Pat Lemo Magea Rajo , pada tataran aplikatif sering disebut dengan Adat Beak Nyoa Pinang atao Adat Neak Kutai Nated, dan sampai saat ini masih memegang teguh Adat Bersendi Syara’ dan bersendikan kitabullah . Dalam sejarah Jurukalang disebutkan bahwa sebelum ditetapkan kelembagaan Jurukalang (berasal dari kata Galang ), diwilayah ini sudah terdapat sistem pemerintahan yang di pimpin oleh Ajai, Ajai ini adalah gelar seseorang Pemimpin Komunitas yang diambil dari Kata Majai (dalam bahasan Sangsekerta berarti Pimpinan suatu Kumpulan manusia).
Sejarah tentang Jurukalang ini sendiri dimulai ketika peristiwa Penebangan Kayu Benuang Sakti, dimana ketika proses penebangan tersebut Komunitas Jurukalang kebagian tugas sebagai juru Galang, Kemudian komunitas ini di kenal dengan sebutan Jurukalang yang di pimpin oleh Bikau Bermano dan berkedudukan awalnya di Kutai Suko Negerai, dan kemudian pindah ke Desa Tapus, beberapa priode pemerintahan Adat Jurukalang di bawah Pimpinan Pesirah atau Depati ini tetap di Desa Tapus.
Sistem-sistem lokal di Jurukalang di Kenal Arif yang tidak hanya mengatur hubungan dengan sesama tetapi hubungan dengan Tuhan, Gaib dan Alam. Hubungan antar sesama biasanya adalah hubungan komunal antar Sukau (kesatuan clan/keluarga) yang biasanya di ketuai oleh Ketua Sukau atau Kutai yang dipilih oleh clan tersebut. Hubungan dengan Tuhan dalam sistem Rejang sering disebut dengan istilah So Samo Kamo Bamo (So artinya Satu), ada kepercayaan Esa terhadap Tuhan. Di Jurukalang sendiri masih mempercayai adanya kekuatan gaib diluar kemampuan manusia, penyebutan Diwo Duwate, keramat, wali, Diwo Pat Jemnang Kutai adalah aplikasi dan apresiasi terhadap jenis-jenis makluk gaib. Pada tataran implementasi ini melekat erat dalam sistem kelola wilayah adat, Kedurai Agung, Kedurai Madeak Turuak biasanya adalah jenis dialogis dengan makluk gaib di wilayah-wilayah tertentu.
Kedurai Mundang Miniak adalah sistem lokal ketika masyarakat akan turun kesawah, Temje Bubung sistem gotong royong untuk menegak rumah, Pantangan dalam mengelolan sumber daya alam diwilayah tertentu disebut dengan Tuwea Celako misalnya menebang pohon-pohon tertentu, "lahan yang ketika ditebang membentuk jembatan di atas sungai atau anak sungai biasanya akan menimbulkan musibah kepada orang yang mengelolan lahan tersebut" disebut oleh Bapak Salim tokoh adat Desa Tapus, biasanya ketika akan membuka lahan perkebunan ada ritual khusus seperti Kedurai, Mengeges, sampai sedelah bumi kami menyebutnya dengan bedu’o , ditambah Bapak Salim. Demikian juga dengan jenis-jenis kayu tertentu yang akan digunakan untuk rumah, di Jurukalang ada kretaria, Kayu Sialang biasanya apabila dipaksanakan digunakan akan menimbulkan bencana kematian bagi penunggu rumah karena kayu tersebut ada yang gemuyan (makluk gaib penunggu pohon dalam bahasa Lokal di sebut tunggau ) di sambung Bapak H. Tuhir (tokoh masyarakat Jurukalang Tapus).
"Mungkin inilah akibat banyaknya bencana yang terjadi saat ini karena kita melangar adat yang telah diturunkan oleh leluhur kita" di sambung oleh Bapak Salim, Ketika Panen jenis-jenis tertentupun di Jurukalang ada bagian khusus yang harus diberikan ke pada penguasa gaib, misalnya ketika Panen Ikan di Salah Satu Sungai maka ada bagian khusus yang harus diberikan kepada Puyang dan Ninik (penyebutan Harimau), "ini menunjukan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya yang ada tidak boleh berlebihan" dijelaskan oleh Pak Salim, "dulu ketika ada kelembagaan adat Marga, pemanfaatan kayu itu hanya boleh untuk kebutuhan membangun rumah dan tidak boleh di jual, berburu hewan tertentu hanya boleh dilakukan pada masa tertentu" ditambah Pak Salim. Sampai saat ini sistem lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagian besar masih di taati namun sebagian besar banyak dilanggar,misalnya pengetahuan tentang batas wilayah adat di berikan secara lisan serta turun-temurun dan mengacu pada batas-batas alam tertentu (pacang balei-balei, kes tages) atau mantal map seperti sungai, mata air dan jenis kayu tertentu seperti pohon seluang abang dan pinang. Untuk areal pemukiman di tandai dengan adanya makam leluhur dan tanda alam lainnya (gais pigai) masih sangat dihormati. Namun beberapa hal dilakukan proses modefikasi seperti sistem pemerintahan masyarakat Jurukalang mengenal istilah begilia (bergiliran memimpin) yang berdasarkan falsafah bejenjang kenek betanggo tu’un dalam sistim pemerintahan desa. Pola ini bagian dari strategi untuk menyingkapi intervensi pemerintah melalui UU NO 5 Tahun 1979, pola begilia diganti dengan pemilu.