Jumat, 05 Agustus 2011

Rara

Percepatan Pembangunan Lebong


Oleh Naim Emel Prahana

DAERAH Kabupaten Lebong yang mash muda belia, sudah harus mempercepat ketertinggalannya (bidang pembangunan) dari kabupaten/kota lainnya di Sumatera. Sebagai daerah yang dikelilingi oleh hutan lindung yang ditetapkan oleh pemerintah. Berbagai upaya dan kegiatan sudah harus dilakukan, bukan lagi berkutat dari polemik teoritis ke konflik pendapat dan komentar. Atau dari satu forum seminar ke lokakarya dan sejenisnya. Sekaligus untuk melakukan efisiensi anggaran pembangunan yang riil kepada rakyat.
Secara sepintas, pembangunan fisik dan non fisik di Kabupaten Lebong mash sangat lamban dan tidak tepat sasaran, sehingga ada kesan penggunaan anggaran yang ada tidak efektif dan tidak efisien. Dari catatan pinggir anak Lebong yang berserakan didaerah Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung dan daerah lain. Ada beberapa persoalan yang signifikan dan esensial untuk dikaji dan disosialisasikan. Termasuk rendahnya (kalau boleh menghaluskan persamaan makna dari kata ‘buruk’) pelayanan pemerintah daerah kepada masyarakat (baca ‘rakyat’).
Masyarakat Lebong yang secara keluarga atau individual melakukan perbaikan dan peningkatan kualtas ekonomi mereka dengan jalan meneruskan proses pendidikan anak-anak mereka ke daerah di luar Lebong. Nampaknya, tidak serta merta disiapkan generasi penerus masyarakat Lebong untuk memikirkan apa dan bagaimana membangun Lebong sekarang dan akan datang.
Berbagai tanda kelemahan tentunya merupakan bagian dari kelemahan pola pikir dan pandangan hidup masyarakat asli Lebong yang masih sangat tradisional sekali menghadapi perkembangan dan kemajuan zaman. Tidak proporsional dan sistimatisnya pola pembangunan yang dilakukan pemerintahan di Lebong, erat kaitannya dengan (meminjam kata kawan facebook) sumberdaya manusia (SDM) yang alakadarnya.
Rancunya pengertan dan pemahaman tentang kemajuan di tengah kehidupan masyarakat Lebong termasuk aparat pemerintahannya. Menjadikan proses pembangunan di Lebong sangat lamban. Dan, proses pembangunan itu tanpa adanya kritik dan saran yang sangat membantu melakukan evaluasi dan koreksi perjalanan pembangunan di Lebong. Secara pribadi saya melihat ada banyak kelemahan yang selama ini menjadi beban psikologis untuk mendesign pembangunan pro rakyat di Lebong.
Yang pertama adalah masalah pola pikir dan kedua masyarakal sumberdaya manusia. Keduanya saling berkaitan, satu dengan lainnya saling mengisi dan memberi serta membenahi kelemahan-kelemahan atau kelebihan-kelebihan yang ada. Di sini saya berusaha sesuai mengalaman dan apa yang saya lihat sendiri dengan mata kepala sendiri, apa yang terjadi sebenarnya di Lebong setelah menjadi kabupaten yang mandiri (baca otonom).
Grand Design pembangunan di Lebong tidak ada. Pembangunan, khususnya fisik dilakukan dengan asal jadi, yang penting proyek jalan dan bisa dilihat secara kasat mata. Untuk itu, pembuka grand strategi pembangunan Lebong memerlukan bantuan kritik dan saran dan melakukan dialogis dengan tokoh-tokoh masyarakat Lebong. Baik yang ada di Lebong maupun yang berada di daerah lain.
Pertama harus disadari kalau masyarakat Lebong memiliki tingkat emosional dan egosentris yang berlebihan yang mengarah kepada aliran sofisme (bahwa sayalah yang paling hebat, orang lain itu tidak ada apa-apanya). Dampak aliran (paham) yang demikian di tengah kehidupan orang-orang Lebong, menjadi kumulatif dengan kelemahan-kelemahan lannya. Mungkin dengan saran dan kritik, pemerintah Lebong dapat mengkaji ulang berbagai perencanaan pembangunannya.
Namun, sebelum membangun secara totalitas melalui tahapan dan perioritas pembangunannya, harus dipikirkan untuk mengembalikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa masyarakat mampu menjadi pendukung utama proses pembangunan di daerahnya sendiri. Oleh karena itu, alangkah arifnya jika pemerintah Lebong memperhatikan struktur pemerintahan masyarakat yang sejak lama mereka kenal dan pahami.
Pertama, kembalikan fungsi dan status nama Desa menjadi Kampung, agar masyarakatnya termasuk pemerintahan di desa dapat menjiwai dan menyatu dengan lingkungan kemasyarakatannya. Perlu diingat di Rejang termasuk Lebong, nama Desa tidak pernah dikenal. Yang ada adalah Kampung. Kampung dikepalai oleh seorang Pembarap. Teruskan sistem pemerintahan seperti itu. Seperti kebanyakan kabupaten lain yang mengembalikan harkat dan martabat komunitas rakyatnya. Padahal, zaman orde baru semua disama-ratakan dengan nama ‘Desa’.
Sebagai contoh, kabupaten Lampung Tengah (Lampung) sejak otonomi daerah melakukan pembenahan, yaitu mengembalikan nama Kampung dari nama Desa. Sekarang nama desa mereka dalam struktur pemerintahan tetap menggunakan nama ‘Kampung’. Contoh lain, Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus merubah kembali nama desa menjadi Pekon. Nama Pekon itulah yang mereka kenal sejak nenek moyang mereka.
Bagaimana di Lebong, bagaimana sikap para anggota legislatifnya? Bisakah memahami jiwa masyarakatnya? Hitamkan struktur masyarakat adanya seperti Tuai Kutai dan pedoman-pedoman atau aturan adat yang tidak bertentangan dengan hukum Indonesia, harus dikembalikan fungsi dan kegunaannya. Kenapa saya harus mengatakan demikian. Tentu dasarnya kuat. Masyarakat Lebong (Tun Jang) lebih takut dengan hukum adat ketimbang hukum positif (hukum Indonesia). Di sisi lain, penegakan supremasi hukum untuk memberikan rasa nyaman, adil dan terciptanya kebenaran di tengah masyarakat selama ini menggunakan hukum positif (KUHP, KUHAP, KUHPerd dll) sangat rancu.
Dan, itu terjadi hampir di seluruh pelosok di Indonesia. Apalagi Lebong, seorang mantri kehutanan saja menjadi momok yang menakutkan, seperti setan. Mereka ditugaskan, diberi wewenang untuk menjaga hutan, malah banyak kasus yang melibatkan mereka dalam praktek ilegal logging, penebangan liar, periznan pengelolaan hutan yang ‘aspal’ dan sebagainya.
Seharusnya praktek demikian sudah bisa ditekan sedemikian rupa, sehingga makin hari praktek “penegakan hukum dengan melanggar hukum” di Lebong sudah tidak ada lagi. Itu harus ada lembaga kritik yang aktif, seperti pers, lembaga swadaya masyarakat (LSM), paguyuban-paguyuban masyarakat, forum-forum adat istiadat masyarakat, para akademisi (termasuk pelajar dan mahasiswa). Dan akan lebih bagus lagi kalau para PNS mampu melihat ketimpangan proses pembangunan, kemudian melakukan revisi, kritik dan evaluasi secara transparan. Jangan takut, sebab PNS adalah abdi negara dan pemerintah.
Kemudian, Tun Jang yang berada di luar daerah, yang di antara mereka banyak yang berhasil, jadi pejabat dan pengusaha. Perlu autocritic bahwa kepentingan prbadi atau keluarga harus menyisihkan sekian persen untuk kepentingan masyarakatnya di Lebong. Namun, kepada mereka mungkin tidak bisa dipersalahkan, karena pemerintahan kabupaten Lebong tidak pernah menghargai mereka sebagai aset Lebong yang potensial sebagai faktor (pemicu) percepatan pembangunan. Semuanya harus kita tempatkan para proporsionalitas masing-masing peran, potensi dan kemampuan.
Sebagai contoh baik untuk dikaji, sepert masyarakat Padang dari Sulit Air Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang 80 persen warganya merantau, karena kondisi kampung mereka sulit sekali. Setiap tahun mereka memberikan sumbangan besar kepada kampung halaman mereka. Baik berupa materi maupun lainnya. Di rantau mereka sangat kompak melalui jaringan usaha masyarakatnya di rantau. Mungkin (saya melihat), forum Grup Tun Topos yang ada di internet (facebook), melalui wadah Amarta, Rejang Land dan sebagainya. Dapat menjadi salah satu ujung tombak pemberi kontribusi pemahaman pembangunan yang dibutuhkan Lebong dan masyarakatnya.
Dari rabaan ke mana-mana uraian saya di atas. Usulan pertama saya kepada pemerintah Kabupaten Lebong, supaya segera tanpa interval waktu;
Pertama: pengembangkan, peningkatkan kualitas pembangunan sarana dan prasarana perhubungan dari perbatasan dengan Kabupaten Rejang sampai pelosok Lebong, termasuk jalan penghubung Muara Aman ke Arga Makmur. Akses perhubungan itu akan membuka jalur lalulintas perdagangan dan ekonomi rakyat, tanpa hambatan dengan cost yang rendah (tidak seperti sekarang ini). Peningkatan kualitas sarana dan prasarana perhubungan itu harus disertai dengan kualitas pemeliharaan dan pengawasan yang terpadu dan bertaggungjawab dalam disiplin yang sudah diatur sedemikian rupa. Kemudian, buatlah trayek-trayek angkutan yang menghubungkan semua daerah yang ada di Lebong. Sehingga angkutan pedesaan (angdes atau angkot di kota) tidak liar seperti sekarang ini banyak dilakukan individu-individual warga Lebong saja.
Kedua: Pengembangan dan pembangunan dunia pendidikan harus benar-benar disosialisasikan (bukan hanya alakadarnya) dengan penignkatan SDM para pendidik serta jumlah sekolah yang dibutuhkan. Harus dijadikan sebagai pembangunan prioritas utama.
Ketiga: Pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana bidang kesehatan yang selama ini terbengkalai, harus dijadikan salah satu perioritas utama. Misalnya, Muara Aman sudah harus memiliki sebuah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) atau RSU yang komplits dan maju. Di samping itu Pemkab Lebong harus membangun Puskesmas-Puskesmas di tiap kecamatan atau di tiap desa yang representatif dibidang kesehatan.
Keempat: Melestarikan ada istiadat dan struktur pemerintahan adat yang ada di tengah masyarakat dan melestarikan alam lingkungan sebagai sumber kehidupan pokok rakyat Lebong. Seperti sungai, hutan lindung, satwa langka dan lainnya.
Kelima: Membangun komunikasi timbal-balik antara rakyat dan pemerintah secara dialogis, untuk memahami psikologis kehidupan masyarakat Rejang di Lebong yang sesungguhnya. Dengan penambahan pada peningkatan kualitas umat beragama, khususnya agama Islam. Sebab dengan agamalah orang mampu melihat secara jernih kebenaran dan keadilan yang sesungguhnya.
Keenam: Panggil semua para tokoh masyarakat Rejang dari Lebong dari berbagai profesi, untuk unrun rembug memecahkan persoalan percepatan pembangunan Lebong lima tahun ke depan. Dan, undang para lulusan universitas maupun akademi di luar Lebong, agar mereka mau kembali ke Lebong dan diangkat jadi PNS di Lebong. Jangan terbiasa mengimpor PNS dari daerah lain yang sesungguhnya tidak mencintai Lebong. Mereka dapat uang (gaji) di Lebong (uang rakyat Lebong), namun dibelanjakan di daerah di luar Lebong.
Ketujuh: Bangun pondasi dunia usaha dan pariwsata di Lebong yang profesional dengan mengundang para investor untuk menanamkan investasinya di Lebong. Dengan hidupnya objek-objek wisata di Lebong yang begitu banyak, maka pendapatan rakyat di sekitar objek wisata pun akan meningkat. Undang usahawan-usahawan muda untuk bermitra dengan pemkab Lebong membangun dunia pariwisata di Lebong. Kenapa tidak kita lakukan?. Kemudian jasa perhotelan harus ikut serta, sehingga wisatawan dalam negeri maupun luar negeri begitu muda, lancar dan tenang mengunjungi Lebong. Dengan demikian Lebong akan menjadi pusat perhatian dan menjadi pusat penelitian para ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. (ini tulisan pembuka, sfatnya sementara)