BPOM Temukan Makanan Mengandung Boraks
JAKARTA, KOMPAS.com — Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) melakukan inspeksi mendadak di ketiga tempat itu, antara
lain, Pasar Swalayan Gelael di Jalan Tebet Barat IV, Jakarta Selatan;
Carrefour di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan; dan Pasar Bendungan
Hilir, Jakarta Pusat.
Dari ketiga tempat ditemukan makanan
terindikasi mengandung bahan berbahaya, makanan tidak berizin, dan
kemasan makanan tidak berbahasa Indonesia yang berhasil dirazia Badan
POM di tiga tempat. Di Pasar Swalayan Gelael ditemukan makanan yang
mengandung rhodamin di kemasan asinan, mi basah mengandung formalin, dan dua jenis makanan tidak ada izin edar.
Kepala BPOM Kustantinah mengatakan akan menyelidiki pihak yang memproduksi makanan-makanan tersebut.
"Kami
akan memanggil, tidak langsung disita. Kami akan teusuri produsen yang
tanggung jawab," ujarnya di Jalan Tebet Barat IV, Jakarta Selatan, Kamis
(11/8/2011).
Sementara di Carrefour Jalan MT Haryono, Jakarta
Selatan, pihak BPOM menemukan makanan tanpa izin edar. "Ditemukan
biskuit makanan China, yang di kemasannya tidak ada bahasa Indonesia dan
tanpa izin edar, serta permen tanpa izin edar," katanya.
Di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, pihak BPOM menemukan beberapa makanan yang mengandung rhodamin dan boraks.
"Hasil dari pasar Benhil ditemukan kerupuk asinan yang mengandung rhodamin begitu juga kue mangkok dan pacar cina. Sedangkan makanan yang mengandung formalin ditemukan di tahu siomay," katanya.
Sabtu, 11 Februari 2012
Sabtu, 08 Oktober 2011
DESA KOTADONOK
Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah Pangeran Kotadonok
Rumah Pangeran Kotadonok
Para Tokoh Masyarakat
Pasar Kotadonok
Kotadonok 1826
Keluarga Pangeran Kotadonok
Putra Mahkota Pangeran Kotadonok
Rumah-rumah di Kotadonok
Rumah Gubernur Sumatera Selatan, Husein di Kotadonok
Sejarah Singkat
Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini,
dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa
Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV
Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei
Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia
merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama
tersebut.
Kotadonok termasuk
salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama
desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman),
Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin
penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan
Hindia Belanda.
Kotadonok berjarak
40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari
Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan
kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem
pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani
Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.
Alasan kenapa
Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena
Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem
pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani
Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang
tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu
merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya
pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di
tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.
Tanda-tanda sebagai
desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon
kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat
ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang
sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan
ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di
Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar
Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok
diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan
penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di
desa/kampung Kotadonok.
Jika pada tahun
2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti
lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia
mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau
diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah
lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman
Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.
Desa Kotadonok
(sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang
mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua)
jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa
Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih
panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang
membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut
dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama
‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5
(lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga
Imansyah.
Perekonomian
Perekonomian di
desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa
lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan
sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa
Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan
beragam.
Harus diakui, sejak
lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak
ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian
padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat
Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak
tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di
bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten
Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan
tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan
penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok
sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI,
Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu,
semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni.
Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat
Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat
Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat.
Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun
Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun
antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan
areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber
airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa
Kotadonok.
Namun sejak tahun
1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah
satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar
daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke
luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang
Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota
tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun,
banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak
mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.
Minggu, 02 Oktober 2011
Pengeran Kotadonok
Hasan, Husein dan Harun
Desa Kotadonok
DESA Kotadonok sekarang ini,
dulunya bernama Kutei Donok (kampung yang berada di tengah). Diperkirakan Desa
Kotadonok (bisa ditulis dengan ‘Kota Donok’) sudah ada sekitar abad ke XV
Masehi atau jauh sebelumnya memang sudah ada. Perubahan nama desa dari Kutei
Donok menjadi Kotadonok terjadi sekitar tahun 1950-an (setelah Indonesia
merdeka). Namun, tahun pastinya belum ditemukan dokumen tentang perubahan nama
tersebut.
Kotadonok termasuk
salah satu desa tertua di daerah Rejang Lebong, khususnya di Lebong, bersama
desa tertua lainnya seperti Topos (Tapus), Semelako, Sadrei Amen (Muara Aman),
Pinang Belapis, Plabai, Tubai dan beberapa desa tua lainnya. Kotadonok semakin
penting ketika zaman penjajhan VOC yang di dalamnya terdapat pemerintahan
Hindia Belanda.
Kotadonok berjarak
40 km dari Kota Curup ibukota Kabupaten RejangLebong dan berjarak 30 km dari
Kota Muara Aman ibukota Kabupaten Lebong (sekarang ini). Zaman pemerintahan
kolonil Hindia Belanda, struktur kepemimpinan di Kotadonok menggunakan sistem
pemimpin Pangeran. Kotadonok juga pernah menjadi ibukota Marga Bermani
Jurukalang, akan tetapi tidak bertahan lama.
Alasan kenapa
Kotadonok tidak mampu mempertahankan kedudukan Pasirah di desa itu, karena
Kotadonok dimiliki oleh 2 (dua) marga, yaitu Bermani dan Jurukalang. Sistem
pemerintahan marga terakhir kalinya di Lebong atau khususnya di Bermani
Jurukalang sekitar tahun 1977/1978, waktu itu Pasirahnya adalah Ilin (orang
tes) dan kedudukan ibukota marga Bermani Jurukalang berada di Tes. Dan itu
merupakan kekalahan telak masyarakat Marga Jurukalang. Karena, sebelumnya
pemerintahan Marga Bermani Jurukalang kedudukan ibukotanya selalu berada di
tanah Jurukalang, seperti di Kotadonok dan Rimbo Pengadang.
Tanda-tanda sebagai
desa tertua, salah satunya dapat dilihat dari jenis tumbuhan berupa pohon
kelapa pada gambar tahun 1926 sudah memiliki ketinggian sekitar 10—20 meter. Saat
ini pohon-pohon kelapa tua itu sudah jarang dijumpai lagi, karena usianya uang
sudah terlalu tua dan tidak menghasilkan buah lagi, banyak yang mati dan
ditebang. Kelapa yang umurnya sekitar 86 tahun, sudah sangat jarang dijumpai di
Kotadonok, kalaupun masih ada satu dua, kelapa-kelapa tua itu berada di sekitar
Masjid Nurul Iman, belakang kawasan perumahan Peken. Desa Kotadonok
diperkirakan sudah berdiri sejak abad ke XV. Perkiraan itu memungkinkan
penelusuran usia desa melalui usia warga masyarakat (orang tertua) di
desa/kampung Kotadonok.
Jika pada tahun
2009 di Kotadonok masih terdapat penduduknya yang berumur 90 tahun yang berarti
lahir pada tahun 1919 di atas mereka (orangtuanya) yang juga diperkirakan usia
mereka mencapai 90 tahun dengan kelahiran tahun 1829, maka orangtua mereka kalau
diperkirakan usia rata-rata 90 tahun. Mestinya, abad XVII Desa Kotadonok sudah
lama berdiri. Dan, mereka itu masih jauh jarak waktu generasi dengan zaman
Ajai-ajai atau zaman Bikau di tanah Lebong.
Desa Kotadonok
(sebelum dimekarkan menjadi 3 desa definitif) memiliki ciri khas yang
mengandung kharismatik tersendiri bagi desa itu. Kotadonok memiliki 2 (dua)
jembatan yang kuat dugaannya memiliki nilai sejarah. Pertama, jembatan Bioa
Tiket (sebelah Timur). Jembatan itu membentang di atas Bioa Tiket kurang lebih
panjangnya 15 meter. Kedua, sebelah Barat ada jembatan Bioa Tamang yang
membentang di atas Bioa (sungai) Tamang. Di dua lokasi jembatan tersebut
dulunya merupakan lokasi tempat penggilingan padi yang dikenal dengan nama
‘mesin’. Kalau di Bioa Tiket jumlah mesinnya sekitar tahun 1971 sebanyak 5
(lima) buah, namun di Bioa Tamang jumlahnya hanya 1 (satu) buah milik keluarga
Imansyah.
Perekonomian
Perekonomian di
desa Kotadonok mulai terasa merosot sekitar tahun 1975 dan saat itu beberapa
lahan pertanian dan perkebunanan ditinggalkan, demikian juga lahan persawahan
sepanjang aliran Sungai Ketahun, dari Jungut Benei sampai Tlangratau (Desa
Talang Ratu) banyak yang ditinggalkan pemilik/penggarapnya dengan alasan
beragam.
Harus diakui, sejak
lama penduduk Kotadonok bidang perekonomian dan kesejahteraannya banyak
ditopang oleh usaha perkebunan kopi secara tradisional. Kedua, hasil pertanian
padi sawah memegang kendali utama klasifikasi sumber kehidupan masyarakatnya. Masyarakat
Kotadonok sudah meninggalkan pekerjaan menggarap lahan pertanian ladang sejak
tahun 1970. Areal tanaman ladang masyarakat Kotadonok sejak lama berada di
bukit di atas Kotadonok menuju kawasan Sawahmangkurajo, di Tapat Taukem, Baten
Daet, Tebo Diding, lokasi Daet Tiket sampai Bioa Tamang. Tingkat kesuburan
tanahnya sangat cocok untuk bercocok tanam padi ladang.
Pertumbuhan
penduduk Desa Kotadonok, juga lamban. Hal itu dikarenakan orang-orang Kotadonok
sangat suka merantau dengan ragam profesi seperti jadi anggota ABRI/TNI,
Polisi, pendidik, PNS dan sedikit sekali yang wiraswasta. Oleh karena itu,
semakin hari semakin banyak rumah-rumah tua di Kotadonok tidak berpenghuni.
Apalagi sistem penggarapan dan pengolahan kebun oleh kebanyakan masyarakat
Kotadonok, tidak menjadi bagian utama dari sumber mata pencaharian mereka.
Masyarakat
Kotadonok memiliki lahan pertanian sawah yang luas dan berada di banyak tempat.
Yang paling luas adalah di Baten—di seberang Desa Tes, Taba Anyar dan Turun
Tinging, di Baten Daet. Kepmudian sepanjang sisi kiri kanan Sungai Ketahun
antara Kotadonok dan Talang Ratu. Kemudian di daerah persawahan Bioa Putiak dan
areal persawahan yang menjanjikan, baik luasnya, kondisi tanah dan sumber
airnya sangat prosfektif berada di Sawahmangkurajo sekitar 12 km dari Desa
Kotadonok.
Namun sejak tahun
1975 kemerosotan perekonomian masyarakat Kotadonok sangat terasa yang salah
satu dampaknya, semakin banyaknya anak-anak muda desa itu mengadu nasib di luar
daerah seperti ke Jakarta, Bandung, Curup, Bengkulu, Palembang, Riau bahkan ke
luar negeri. Kepergian mereka tersebut berbeda dengan kepergian orang-orang
Kotadonok sebelumnya. Sebab, anak-anak muda desa Kotadonok merantau ke kota
tanpa ikut dengan sanak keluarganya, tetapi mereka berupaya secara mandiri. Namun,
banyaknya mereka bekerja di sektor swasta di daerah di luar Bengkulu, tidak
mampu mendongkrak perekonomian masyarakat Kotadonok secara umum.
Minggu, 18 September 2011
Tlang Macang
Di bawah kaki bukit (tebo) Diding itulah lokasi Tlang Macang, berada di pinggir Sungai Ketahun (Bioa Ketawen). Foto Naim Emel Prahana
Dari Cerita ke Cerita
Oleh Naim Emel
Prahana
SECARA persis tidak ada yang
dapat menjelaskan, kenapa nama tempat ini dengan Tlang Macang? Namun, populeritas nama Tlang Macang menyebar
seantero daerah Lebong. Khususnya daerah-daerah sekitar Desa Kotadonok. Tlang Macang berada di pinggir Bioa Ketawen (Bio Tawen)—yang dikenal
dengan nama Air (sungai) Ketahun, lebih kurang sekitar 700 meter dari Sadei Tiket—sekarang menjadi Desa
Sukasari (pemekaran dari Desa Kotadonok).
Tempat yang disebut
dengan Tlang Macang itu memang sangat
terkenal di tengah masyarakat. Boleh jadi dahulunya menjadi pintu gerbang
memasuki Kotadonok dari arah Topos. Kenpa demikian, setiap orang (warga) Topos (sekarang namanya Sukanegeri) yang
akan berbelanja ke Peken (pekan, pasar)
Kotadonok pada hari Rabu. Pasti melewati daerah yang namanya Tlang Macang.
Di situ dulunya ada
sebuah rumah Imansyah yang punya anak laki-laki namanya Hamadansyah. Tlang Macan dijadikan tempat tinggal,
mereka berternak unggas seperti ayam, itik, bebet (bebek) dan bercocok tanam
serta berkebung. Di lokasi itu dua pohon karet yang sangat rimbun sekali.
Seakan-akan menjadi pintu gerbang melintasi Bioa Ketawen menuju Kotadonok.
Yang lebih khusus
lagi, di lokasi itu memang ada banyak pohon Macang
atau dalam bahasa Indonesianya dikenal dengan pohon Pakel dan buahnya disebut buah pakel. Sejenis tanaman sebangsa
dengn mangga. Namun, buahnya yang kuning jika masak (matang) aromanya sangat
harum sekali. Hanya, rasanya berbeda dengan buah mangga. Rasa buah Pakel atau
Macang itu asam (kecut, pen).
Adalah mungkin,
jika tempat itu disebut Tlang Macang karena banyak tumbuh pohon Macang (pakel).
Sebagaimana penamaan atau memberikan nama julukan tempat, orang di tengah
masyarakat Lebong ditandai dengan beberapa faktor. Di Tlang Macan itu ada
semaet (pelabuhan perahu). Dulunya, penyeberangan dari dan ke Tlang Macang
menggunakan jembatan yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda ketika
menjajah Lebong. Sayanganya jembatan itu sudah dirobohkan ketika terjadinya
class ke II dengan Indonesia.
Lokasi Tlang Macam
memang bukan dataran rendah yang memiliki luas dan lebar yang cukup, tetapi
lokasinya berada di kaki Tebo Diding (Bukit Diding) yang berada di atasnya. Ke
arah utara Tlang Macang ada beberapa areal sawah milik warga Kotadonok, yang
menurut catatan dipunyai keluarga Muhammad Said (alm), demikian juga
kebun-kebun di Tebo Diding.
Dulu kawasan itu
merupakan satu-satunya jalan penghubung antara Desa Kotadonok dan Topos. Jika
warga Topos harus melalui Rimbo Pengadang, maka jarak tempuh dan waktu begitu
lama, di sisi lain jalur tersebut sangat buruk keadaannya. Jalan yang melewati
Tlang Macang, jika mau ke Topos atau orang Topos ke Kotadonok memang merupakan
jalan Setapak beberapa kawasan harus dilalui seperti kawasan Tebo Sam, Tebo
Diding dan ada beberapa kawasan lainnyang namanya dijuluki oleh masyarakat
Topos dan Kotadonok dengan nama tertentu.
Sekitar tahun
1971-an Tlang Macang tidak ada lagi penghuninya, kemudian jalur lintas
Topos—Rimbo Pengadang sudah mulai terbuka. Maka, praktis Tlang Macang mati
total tanpa ada aktivitas.
Di bawah ini ada
cuplikan wawancara dengan Rahmatsyah bin Haji Aburuddin tentang riwayat Tlang
Macang. Menurut Rahmatsyah, nama itu sudah ada sejak lama. Seingatnya, ketika
ia masih bujang sering mengembalkan kerbau miliknya ke daerah itu.
“Pernah suatu kali
ketika saya menggiring kerbau-kerbau untuk menyeberangi Tlang Macang, saya
melihat beberapa ekor kerbau saya sedang dalam bahaya, karena ditarik oleh
pusaran air di depan Tlang Macang. Melihat itu, saya dengan sekuat tenaga
menggiring kerbau-kerbau saya, agar ke luar dari lokasi pusaran air di daerah
itu,” kenang Rahmatsyah.
Menurut Rahmatsyah,
memang di bawah areal Tlang Macang itu ada semacan serawung (gua di dalam air), tetapi apakah itu serawung dung (dung
= ular) atau bukan, saya tidak tahu persis.
“Namun daerah itu
cukup angker,” kata Rahmatsyah seraya mengatakan, keangkeran daerah itu
terbukti beberapa orang yang menyeberangi Bioa Ketawen di Tlang Macang
tenggelam dan hilang.
“Pernah suatu ketika
ada orang datang dan menyeberang di daerah itu, kemudian dengan ucapan
meremehkan daerah itu, karena lebarnya sungai yang harus diseberangi hanya
sekitar 20 meter menggunakan perahu, ia berkata sombong, tiba-tiba perahu yang
ditumpanginya terbalik,” ujar Rahmatsyah.
Di situ, katanya
tidak boleh bicara langguk (seperti angkuh, sombong) atau meremehkan
keadaannya. Jika itu dilakukan mungkin ada saja kejadian yang menimpa orang
yang langguk itu. Tapi, boleh percaya boleh tidak, kata Rahmatsyah.
Ketika penulis
masih duduk di bangku SD di Kotadonok antara tahun 1968—1970, daerah Tlang
Macang adalah tempat penulis dan kawan-kawan bermain, mandi dan terjun bebas
dari pohon karet yang rindang di Tlang Macang. Waktu itu memang kami tidak tahu
menahu soal cerita Tlang Macang itu. Alhamdulillah tidak mada kejadian apa-apa,
ituy semua kami selalu ingat pesan orang tua di Kotadonok.
Itulah sekelumit
cerita Tlang Macang, yang sekarang sudah dibangun jembatan besi yang permanen
sejak berdirinya Lebong menjadi kabupaten. Pembangunan jembatan itu
direncanakan untuk membuka jalur lintas antara Kotadonok—Topos. Sayangnya
sampai 2009, jhalur kendaraan yang sudah dibangun ruasnya itu masih
terbengkalai, karena diduga design bangunan jalannya terlalu sulit, karena
kondisi daerahnya merupakan tebing terjal.
Sabtu, 17 September 2011
Langganan:
Postingan (Atom)