Minggu, 11 September 2011

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam

TUN SADEI TE: Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam: Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok Rekaman Oleh Naim Emel Prahana SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong...

Sawah Mangkurajo: Markas Tentara Hitam


Kisah Heroik Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
Rekaman Oleh Naim Emel Prahana
SAWAH MANGKURAJO di tengah masyarakat Lebong lebih populer namanya dengan Saweakkrajo. Pada zaman class II dengan tentara NICA-Belanda dan zaman PRRI ketika Indonesia sudah merdeka, menjadi benteng yang sangat kuat bagi Tentara Nasional (TNI). Sawah Mangkurajo djadikan markas besar (mabes) perang gerilya melawan tentara Belanda dan gerombolan sempalan PRRI di daerah Lebong.
Banyak perwira tinggi dan menengah di tubuh Angkatan Darat yang bertugas di daerah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu, Jambi, Palembang dan Lampung), pernah mengenyam perang gerilya dari mabes mereka di Sawah Mangkurajo. Sebagaimana dituturkan oleh putra Kotadonok, Rakmatsyah bin H Aburudin (alm) beberapa tahun lalu, sebelum ia meninggal dunia tahun 2008 silam.
“Pada waktu itu, para penduduk Kotadonok yang bertani di Sawah Mangkurajo menjadi menyuplai bahan makanan Tentra Itam. Sebutan Tentra Itam (tentara hitam) itu ditujukan kepada prajurit-prajurit TNI yantg loyal dan setia kepada negara Indonesia, yang berjuang mempertahankan kedaulatan negara Republik Indonesia, khususnya di Lebong,” Pak Rahmat—panggilan akrabnya di Lebong memulai ceritanya.
Jika malam hari, kata beliau semua prajurit (tentra tam) ke luar dari tengah hutan, berkomunikasi dengan penduduk, sekaligus mengatur strategi setelah menerima informas dari penduduk. Dan, kalau siang hari mereka bersembunyi di tengah hutan.
“Saat itu, sekitar tahun 1948 di atas kawasan Sawah Mangkurajo hampir setiap jam melintas pesawat Mustang milik tentara Belanda. Sebenarnya, mereka sudah tahu kalau prajurit TNI bersembunyi di Sawah Mangkurajo. Namun, mereka kesulitan untuk memasuki daerah itu, karena kondisi jalan setapak yang ada, sangat berbahaya.
Tentra Itam (Tentara Hitam) sangat menguasai setiap jengkal atau wilayah di dalam hutan belantara dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan di daerah Lebong. Mereka mempunyai kekuasaan di tengah hutan itu sejak dari Air Dingin—daerah Topos—sampai ke Muara Aman.

Gerombolan Ngik Sempalan PRRI
Waktu itu, ujar beliau (Pak Rahmat), muncul gerombolan sempalan PRRI yang dipimpin Ngik. Ngik adalah nama yang menakutkan bagi masyarakat Lebong, khususnya masyarakat di daerah Air Dingin—Turun Lalang, termasuk Topos dan sekitarnya. Ngk nama aslinya adalah Musa, putra asli Kotadonok yang menjadi kepala gerombolan mengatas namakan PRRI. Markas Ngik, kata Rahmat berada di Teluk Lem—seberang Desa Kotadonok. Dari daerah itulah gerombolan Ngik menteror masyarakat dengan melakukan penculikan-penculikan dengan meminta tebusan uang dan emas dengan jumlah yang sangat besar.
Rumah orangtua Ngik berada di sekitar Masjid Nurul Iman Kotadonok, yang sekarang sudah tidak ada lagi, karena terjadi musibah kebakaran puluhan tahun silam, menghanguskan rumah keluarga Ngik. Dalam catatan perjalanan masa perlawanan mempertahankan daerah Lebong dari cengkraman penjajah Belanda, termasuk huru-hara yang diciptakan Ngik. Penduduk Lebong memang hidup dalam cengkraman ketakutan luar biasa.
Gerombolan Ngik yang selalu menculik dengan meminta tebusan uang dan emas, juga tidak segan-segan melakukan bumi hangus rumah penduduk yang menentang dirinya. Tidak peduli, apakah saudaranya atau bukan.
Kekejaman gerombolan Ngik sangat ditakuti masuayakat Lebong. Kalau ia masuk kampung siang hari, biasanya gerombolan Ngik berada di rumah penduduk yang ada di atas jalan raya. Dari rumah-rumah tersebut, Ngik dan gerombolannya dengan mudah memantau lalulalang tentara NICA atau Belanda yang ada di Lebong.
Pada suatu saat cerita Pak Rahmat, Ngik masuk desa dan datang ke rumah Masteman. Ketika berada di rumah itu, ia melihat konvoi truk tentara Belanda. Waktu itu Ngik berkata, “Gen Maco, ite temibak bae stom Blando o!” kata Ngik dalam bahasa Rejang yang sengaja ia ucapkan agar keluarga Masteman mendengar. Kalau Ngik menembaki mobil tentara Belanda, maka Kotadonok akan digeledah habis, bahkan akan dibakar oleh Belanda. Termasuk penangkapan orang-orang yang dicurigai memihak gerombolan Ngik.
Padahal, ucapan Ngik itu hanyalah untuk menakut-nakuti penduduk Kotadonok, agar makin lama penduduk tidak berani melawan gerombolan Ngik.
Ada beberapa anak Kotadonok—yang juga masih kerabat dekat Ngik, yang ditangkap Ngik dajn di bawa ke daerah Teluk Lem—yang terkenal dengan serawung dung ulau tujuak (gua ular kepala tujuh di Danau Tes) dan legenda Butau Gesea (Batu Hampir) yang terkenal itu. Berbagai acara telah ditempuh oleh tokoh-tokoh masyarakat untuk membeaskan anak-anak mereka dari cengkaraman penculikan gerombolan Ngik. Semua gagal. Karena, permintaan Ngik agar penduduk datang ke Teluk Lem dengan membawa harta benda, tidak ada penduduk yang berani. Takut ditembak oleh Ngik yang terkenal dengan kekejamannya.
Adalah Rahmatsyah putra Haji Aburuddin Kotadonok yang kala itu baru menikah, merasa terpanggil untuk membebaskan sandera Ngik. Di sisi lain kenekatan Rahmat yang kemudian dikenal dengan Pak Gu’au (Pak Guru) di Lebong itu, karena salah satu sandera Ngik adalah keponakaannya. Anak dari adeknya Zahra bernama Syaiful Tohir termasuk yang diculik Ngik.
Rahmat muda yang juga memiliki rasa takut, akhirnya mendatangi markas Ngik di daerah Teluk Lem (di atas pegunungan yang langsung mengarah ke wilayah Topos).
“Saya benar-benar takut,” kata Rahmat seraya menambahkan, namun saya harus memberanikan diri menemui Ngik. Saya kenal dengan dia.
Dengan naik perahu, Rahmat mendayung perahunya ke arah Teluk Lem. Perasaannya saat itu berkecamuk antara takut yang luar biasa dengan perasaan membela kehormatan keluarga menjadi satu.
“Baru saja perahu saya tambatkan di semaet Teluk Lem, saya sudah dihadang oleh anak buah Ngik. Badan saya digeledah, pakaian saya dilucuti. Pokoknya menakutkan,” kenang Rahmat.
Akhrnya, kata Rahmat dirinya digiring menaiki tebing di daerah Teluk Lem dan sekitar 1 jam barulah ia bisa bertemu dengan Ngik.
“Saya hanya membaca Bismillah, Cuma itu saja,” ungkap Rahmat.
Menurut Rahmat saat itu ia hanya membawa sedikit emas, namun ia mewakili masyarakat Kotadonok, Talangratu, dan Tes ingin membertahu Ngik, bahwa masyarakat tidak memusuhinya. Jadi, tolonglah sandera dilepaskan.
Untuk membujuk Ngik butuh waktu yang sangat lama, saya bahkan sampai menginap di markas Ngik di daerah pegunungan Teluk Lem itu. Namun, saya memang tidak diapa-apakan, walau wajah dan kata-kata Ngik sangat bengis dan kejam.
Ia (Ngik, pen) sebenarnya kenal baik dengan saya, tapi saat saya ingin membebaskan ponakan saya, ia seperti seorang jenderal bintang empat.
“Pokoknya, menakutkan sekali. Di samping bedil (senjata) tidak pernah jauyh dari tempat duduknya dan dikelilingi beberapa ajudannya yang berwajah seram,” urai Rahmat.
Setelah melalui diplomasi (perundingan) yang alot, akhirnya Rahmat dapat memebaskan beberapa sandera. Yang lainnya tidak mau dilepaskan Ngik, sebelum uang tebusan diberikan. Menurut cerita, ada beberapa sandera Ngik, akhirnya ditembak mati di tengah hutan belantara itu.
Perjalanan heroik Rahmat memang patut kita jadikan tauladan untuk generasi mendatang. Sebab, pada saat yang sama ia menjadi spionasenya prajurit TNI yang disebut Tentra Itam yang bermrkas di Sawah Mangkurajo, di sana jugalah Rahmat membuka usaha pertaniannya bersama keluarga dan bapaknya Haji Aburudin beserta beberapa penduduk lainnya.
Sebagai gambaran Sawah Mangkurajo pada saat itu sudah sedemikian maju. Diperkirakan kurun waktu 1942—1955. Di sana sudah ada sekolah rakyat, rumah-rumah penduduk dibangun dengan teratur di atas tebing Air Pauh (Bioa Putiak) yang termasuk Tebo Mbuwea. Yang sekarang ini menjadi areal perkebunan PT Indo Rabika.
Mesin penggiling padi ada tiga buah, kemudan hasil padi sawahnya melimpah ruah, demikian juga hasil perkebunan seperti jeruk, jambu, nenas dan sayuran. Namun kampung penduduk di sawah Mangkurajo, akhirnya di bumi hanguskan Belanda, untuk melemahkan posisi Tentra Itam.
Saat perjuangan melawan tentara Belanda, Rahmat muda berperan sebagai kurir dari Sawah Mangkurajo ke Kotadonok, Tes dan kampung (desa) sekitarnya. Di samping itu juga ia menjadi guru di Sawah Mangkurajo dan Kotadonok. Rahmat adalah anak didik guru Stiari yang terkenal di masa itu. Nama guru Stiari sangat disegani di daerah Lebong. Salah satu muridnya adalah Rahmatsyah.
Rahmat-lah yang sering memberikan informasi kalau tentara Belanda akan naik ke Sawah Mangkurajo atau ke Lebong Simpang. Dengan nformasi itu, Tentra Itam menghadang tentara Belanda di Tebo Buwea yang strategis itu. Penghadangan seperti itulah yang sangat ditakuti tentara Belanda.
Walaupun apa yang diperbuat Rahmat muda saat itu, jasanya sangat besar bagi masyarakat. Dia salah satu pelaku sejarah di daerah Bermani Jurukalang. Ia bersahabat baik dengan pasirah Gulam ketika tahun 70-an, ia juga menjadi kepercayaan Gubernur Hussein yang ia panggil dengan sebutan mamak (paman) itu.
Rahmat dan kakaknya adalah dua pemuda Kotadonok yang ikut merintis pembangunan jalan raya dari Kotadonok ke Sawah Mangkurajo ketika Mochammad Hussein mash menjabat gubernur Sumatera Selatan di Palembang.

Sumber:
1.      Kakek Haji Aburuddin Kotadonok
2.      Rahmatsyah bin H Aburudin Kotadonok
3.      Kapten TNI (purn) Arsyad Alwi Tanjungkarang, Lampung
4.      Serma (purn) Ngadiyo di Talangpadang, Tanggamus, Lampung
5.      dan beberapa sumber lainnya yang diwawancara antara tahun 1980—1985.