Senin, 01 Oktober 2012

Kalangan: Dunia Kritik Tamtama Yang Tajam


-   Kado HUT Lampung Ekspres Plus ke 44 2012.
Oleh Naim Emel Prahana

PADA umumnya media massa cetak, punya rubrik kolom atau yang paling formalnya adalah rubrik Tajuk Rencana (Tajuk, red). Misi rubrik seperti kolom (yang khusus atau yang umum sifatnya) hampir sama, yaitu mengkritisi suatu masalah atau situasi kondisi yang sedang berlangsung. Baik menyangkut orang banyak (publik) maupun menyangkut komunitas tertentu dalam kehidupan masyarakat.

Surat Kabar Umum (SKU) Tamtama—boleh jadi telah membaca hal tersebut sebagai suatu papan demokrasi, ruang curhat publik, ruang kritik sosial dan politik dan ruang bidang lainnya. Sudah lazim, jika pemerintah dengan kekuasaannya kuat, maka kritik pun akan menjadi peluru yang sangat tajam dan berkualitas. Sebalik, jika pemerintah lemah dan rakyat yang lebih kuat, maka kritik semakin melemah.

Dari situlah kita belajar demokrasi belajar menerima kritik dan belajar menulis kritik yang benar dan baik. Da, pembaca dapat mencernahnya dengan tingkat intelektual semakin hari semakin meningkat, karena bahasa kritik yang dilontarkan media massa cetak.

Tamtama—sebagai media massa cetak di Lampung pada saat itu, menetapkan rubrik kritiknya yang diberi nama “Kalangan’. Tidak jauh berbeda dengan kolom, catatan kaki atau Tajuk rencana. Kalangan merupakan rangkuman analisa, kesimpulan dari siatuasi dan kondisi atau dari suatu peristiwa/kejadian yang dikemas dalam bahasa “orang Kalangan”. Dalam kritik di Kalangan SKU Tamtama yang biasa ditulis oleh HM Harun Muda Indrajaya (Bang Harun), di banyak sisi sangat cerdas melontarkan kritik dan memberikan saran—kalau sekarang kolom Numpang Liyu sudah jelas arah materinya.

Namun, Kalangan sangat luas, ia tidak terbatas oleh daerah Lampung, ia tidak terbatas oleh satu masalah. Lagi-lagi, materinya memang berasal dari Negeri kalangan. Suatu negeri yang keberadaannya entah di mana. Yang jelas ada. Siapapun yang mengisi rubrik Kalangan kala itu, materi, kritik, gaya dan cara pandangnya sama. Kadangkala Andrian Troe Sangaji yang mengisi, kadang aku, kadang pernah minta tolong kepada wartawan Tamtama yang punya integritas dan intelektual yang baik.

Ada kalimat yang sering dipakai dalam Kalangan, “..........menurut orang-orang di negeri Kalangan, bahwa di negeri itu tidak ada yang namanya kebal hukum. Semua harus tunduk dengan aturan hukum...dst”. di situ jelas, bahwa yang bicara itu adalah penduduk Negeri Kalangan. Semacam aspirasi rakyat yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Posisi tulisannya jelas kepada penguasa. Siapa saja penguasanya, baik di bidang ekonomi, politik, pers, pemerintahan, dan sebagainya.

Menurut hemat saya, materi Kalangan sangat berbakat dan sangat cerdas. Ia lahir dari prajurit-prajurit surat kabar daerah yang selalu mengalami hambatan dalam penerbitannya. Tapi, perasaan tanpa takut, membuat isi Kalangan banyak disukai pembaca. Isi Kalangan, juga bisa mengkritik sesama prajurit Tamtama. Tinggal bagaimana suasananya atau persoalannya. Kalangan sudah tiada, namun rohnya masih sangat jelas pada Lampung Ekspres Plus (LE) yang kini memasuki usia ke 44.

Hanya inilah kado yang bisa aku berikan, semoga tulisan ini tidaklah ada artinya dibandingkan tulisan lainnya yang sangat publisitas. Selamat Hari Ulang Tahun ke 44 LE, semoga tetap menjadi prajurit pers yang teguh, tangguh dan kokoh. (Naim Emel Prahana)


Selasa, 29 Mei 2012

Siapa Yang Dapat Membahagiakan Lebong

















 
Aku adalah putra Kuteidonok (Kotadonok), sebuah desa di jalur Bukit Barisan yang terletak di provinsi Bengkulu. Kotadonok merupakan salah satu desa tertua di daerah Rejang dan Lebong. Namun, perkembangan di berbagai aspek kehidupan sangat tidak menggembirakan.
Sejak beberapa tahun silam Desa (kampong) Kotadonok dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, (1) Desa Kotadonok dan (2) Desa Sukasari. Walaupun dimekarkan, persoalan yang ada tetap tidak terpecahkan, kendati Lebong sudah resmi jadi Kabupaten sendiri, lepas—hasil pemekaran Kabupaten Rejang Lebong.
Aku sebenarnya sudah ingin sekali pulang ke kampung di Lebong, namun belum ada waktu dan belum memiliki banyak bekal (uang). Aku ingin mengabadikan beberapa kawasan yang sangat bersejarah, indah dan perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Namun, tiba-tiba aku pulang karena kakak iparku meninggal dunia pada hari Kamis, 24 Mei 2012 sekitar pukul 09.45 WIB. Kabar itu membawa aku pulang dengan terburu-buru, karena musibah meninggalnya kakak ipar tadi.
Aku menempuh Jalur Lintas Barat dengan menggunakan kendaraan roda empat bersama putra sulungku, kami berangkat dari Kota Metro sekitar pukul 16.30 WIB. Sekitar 30 km dari Metro tepatnya di Poncowati, Bandarjaya, Lampung Tengah kami mengisi bensin diantara antrian kendaraan, kami hanya dibatasi membeli bensin Rp 100.000,- dengan harga bensin Rp 4.500,- per liter di sebuah SPBU. Bersikeras untuk full tanks mobil, tetap kami ditolak.
Sejak Poncowati sampai Kota Bengkulu kami tidak menemukan sebuah SPBU (POM Bensin) yang menjual BBM, dan sepanjang jalanpun BBM khususnya bensin sulit ditemui. Kami membeli bensin di kota kecil Bukit Kemuning, Lampung Utara dengan harga Rp 9.000,- per liter. Bensin sebanyak itu kami pergunakan untuk perjalanan sampai kota kecil di Pantai Lampung Barat, Krui. Di Krui sebuah SPBU buka, namun antrian panjang terlihat dengan memprihatinkan. Aku tak mungkin antri, karena harus secepatnya sampai Kotadonok, Lebong provinsi Bengkulu.
Tapi, apa yang kami alami sejak Krui (Lampung Barat) sampai Kota Bengkulu, tidak ada satupun SPBU yang buka. Kami membeli bensin eceran yang hanya beberapa liter dengan harga bervariasi antara Rp 9.000,- sampai Rp 10.000,- per liter. Itu harus kami beli, karena kami harus terus berjalan sampai kampung halaman. Begitu sulit memperoleh bensin, dalam benakku berkata, “Sudah saatnya Sumatera ini merdeka, lepas dari negara Indonesia!”

Jalan Rusak
Sepanhang perjalanan dari Lampung ke Bengkulu, kami melewati ruas jalan yang rusak di mana-mana. Kerusakan itu diakibatkan (1) proyek perbaikan jalan dan (2) memang jalannya rusak—yang tidak mendapat perhatian serius pemerintah untuk membantu sosial dan perekonomian rakyat di sepanjang Jalan Lintas Barat yang kami lalui.
Ketika hendak ke luar dari Kota Bengkulu menuju Curup, keadaan jalan di Bengkulu Tengah begitu parah rusaknya dan itu terus berlanjut sampai Kota Bengkulu setelah melewati kota Kepahiang, Kabupaten Kepahiang.
Bensin kami peroleh di sebuah SPBU di Bengkulu Tengah, tidak jauh dari Kota Bengkulu. Perasaan lega menyelimuti aku dan putraku. Kami semakin tenang melanjutkan sisa perjalanan.
Akan tetapi, sampai di daerah wisata antara Bengkulu dan kepahiang, kami menemui masalah, karena kanvas rem roda depan mobil kami habis total dan terpaksa harus kami ganti baru di Kota Kepahiang. Setelah itu kami melaju kembali ke Curup dengan melewati jalan yang rusak parah dan terus menuju daerah Lebong dengan kondisi ruas jalan yang sama.
Dengan perjalanan yang berat akibat jalan rusak di provinsi Lampung dan Bengkulu, akhirnya kami sampai di kampung halaman di Kotadonok dan langsung menuju kediaman rumah kakak kami, yang di sana sudah berkumpul semua keluarga besar Prahana dan warga lainnya di Kotadonok dan Kotadonok II.
Hari Minggunya, aku berkesempatan sebentar melihat kondisi lingkungan kampung tempat aku dilahirkan. Keindahan panoraman alam masih tetap seperti dulu, namun kondisi hutan dan desa semakin tidak terkendali, mengalami kemerosotan di banyak aspek kehidupan. Siapa yang dapat membahagiakan Lebong?