Senin, 07 April 2014

Lampung Today In Action



Oleh Naim Emel Prahana

MENCARI alasan, kenapa ejaan bahasa Indonesia “yang disempurnakan” (EYD) menyebutkan kalimat berbasis baik dan benar. Perdebatanpun tidak ada, penggunaan bahasa dalam bentuk penulisan dan pengucapannya terus berlanjut dan berkembang di antara praduga-praduga konstruktif  di mata akademisi dan publik sastra.

Hal di atas mengingatkan semua peranan yang bermuara di tengah kehidupan bangsa dan negara (masyarakat), ternyata sentilan bahasa yang baik da benar dalam kehidupan dewasa ini, sudah terkooptasi oleh kepentingan besar, yaitu kepentingan kekuasaan dan pengusaan kepentingan.

Mungkin disitulah peran politik sebagai “kebohongan yang disahkan” semakin dominan mengalahkan kepentingan keseimbangan masyarakat yang digambarkan seperti publik. Padahal, jika ‘publik’ tadi dikonotasikan dengan sebutan ‘masyarakat’—‘rakyat’—‘warga’—‘bangsa’ yang kemudian diasumsikan sebagai pilar utama demokrasi, maka tidak ada ruang pertemuan yang mencapai titik penyelesaian (solusi).
Sebab, politik semakin boros semakin tidak beraturan penggunaan dan pengucapannya dalam kenyataan kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di provinsi Lampung ini.hal itu sangat mengingatkan saya pada tahun 1984—1985, diberitahu oleh Bang Bismar Siregar (alm) dengan pertanyaan sederhana, “Adinda mau jadi hakim, sudah pernah berbuat apa?”, kata Bismar Siregar.

Sudah barang tentu, aku belum berbuat apa-apa, jika dibandingkan perjalanan hidup sampai saat itu. Namun, pertanyaan itu masih utuh dan sangat relevan dipertanyakan kembali di tengah hiruk pikuknya kepentingan dan politik di Tanah Lada, Lampung Say Wawai ini.
Persoalan Pemilihan Gubernur (pemilgub) yang bukan hanya ‘katanya’, akan tetapi telah menyita berbagai aktivitas pembangunan di daerah ini. Sebagai catatan, jabatan gubernur Lampung sejak berada di tangan Sjachroedin Zainal Abidin Pagar Alam selalu ramai diperdebat-dibincangkan bahkan selalu digugat secara politis maupun secara yuridis.

Sayangnya, semua persoalan yang diajukan dan hampir semua pembelaan yang dikedepankan terlalu berat ke politik. Sehingga sulit ditemukan keinginan bersama; dari dan untuk rakyat Lampung. Padahal, Lampung membutuhkan pemecahan persoalan signifikan lainnya yang tidak boleh ditunda seperti, penanggulangan berbagai aksi kejahatan, korupsi, peningkatan kesejahteraan rakyat, menertibkan pengelolaan pendapatan asli daerah, termasuk menertibkan pelayanan publik semisal masalah PLN yang “tidak jelas” komitmennya terhadap penerangan dan sebagainya.

Masih banyak dan masih sangat jauh dari apa yang diharapkan selama ini dan semuanya menjadi korban politik dari segelintir orang, apakah di jajaran pemerintahan maupun di KPU serta para politisi Lampung. Negara ini (termasuk daerah Lampung) adalah negara hukum, tetapi penegakan hukumnya sangat lemah. Semuanya menjadi lelah, letih dan lusuh akibat para komisioner KPU bermain politik kepentingan yang terlalu dramatisir.

Lampung today in action masih tetap sama dengan kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, hari ini di media massa cetak, media elektronik audia visual, di media jejaring sosial dan realitas kehidupan masyarakatnya. Kepentingan-kepentingan didorong sedemikian rupa melalui person-person yang secara membabi buta melemparkan bahasa kritik, saran dan masukan yang TIDAK baik dan TIDAK benar sebagaimana dianjurkan dalam EYD.

Artinya masihkan ada maknanya nilai-nilai kesantunan dalam prilaku berbahasa dan berkata di kancah perpolitikan. Baik pada politisi Parpol, KPU, elemen tertentu masyarakat, dan penggunan media “jejeraing sosial?” sebaiknya, menghadapi persoalan kepentingan itu selalu mengedepankan azas manfaat dan azas legalitas yang pro realitas.

*) penulis peminat masalah sosial dan budaya.