Senin, 03 Oktober 2022

Mencari Sebatang Rokok Di Jalanan Kota

 Oleh Naim Emel Prahana 


Pembakar Sampah

Aku adalah pembakar sampah

sumpah serapah

moncong kata-kata dahsyat

itu berita kita

di mata di mana-mana

aromanya melukai dunia

kejinya buzzer jalani sumpah setan

dengan bibir berginju

kutipan pasal-pasal buku

tak pernah kenal malu

semuanya harus dibakar

jangan dibiarkan liar

(1985)

KENDARAAN lalulang di jalanan kota ini tak terhitung membaur dengan pejalanan kaki dan penarik becak, gerobak barang dan pengayuh sepeda. Ada yang sempat bertegur sapa dan banyak sekali diam tak menyapa siapapun. Semua berjalan sesuai naluri, tujuan dan petunjuk peraturan.

Musim pun silih berganti dalam rotasi waktunya. Setiap rotasi memberikan dampak—jika hujan pedagang es gulung tikar. Sajian makanan yang serba hangat diburu bagai rindu nafsu tak terbendung. Jika dampaknya panas pada musimnya—orang miskin tak punya fasilitas kendaraan. Selalu kesusahan untuk mendapatkan udara dari kipas angin kecil guna menyejukkan anak-anak mereka di ruang rumah. Pemulung berharap barang bekas sudah dilumuri ulat-ulat atau belatung berserakan di pinggir-pinggir jalan di depan-depan rumah kaum elite. Agar karung-karung kumal yang dibawa dapat terisi harapan mendapatkan beberapa lembar uang kertas.

Masing-masing memperjuangkan kehidupan dengan cara mereka sendiri. Untuk mendapatkannya apakah mereka kuat menghadapi godaan keadaan dalam proses mempertahankan denyut nadi, atau tidak?


Betapa sulitnya mendapatkan sebatang rokok yang utuh di jalanan kota. Kontras dengan puntung-puntung rokok, ada di mana-mana. Sampai ke jalanan di tengah hutan pun berserakan puntung-puntung rokok. 

“Tidak ketemu sebatang rokok pun di jalanan!”

Kita hanya menemukan selonsongan alias puntung rokok di mana-mana di kota ini, di pot-pot kantor milik pemerintah. Tidak terpungutkan oleh pemulung barang-barang bekas. Apa mungkin racun puntung rokok itu menjadi penyebab banyaknya ruas jalan utama di kota berlubang? Siapa tahu ada teori konspirasinya bukan teori korelasi.

Beberapa kali saya melakukan perjalanan dengan Kereta Api (KA) di Sumatera apa di Jawa. Memang pelayanan perjalanannya sungguh menyenangkan. Sebagai perokok saya butuh waktu untuk merokok dimanapun berada yang diselangselingi keadaan tempat dan waktu untuk dapat mengisap rokok. Tetapi, di KA di Indonesia saat ini dilarang keras merokok di gerbang-gerbang kereta yang notabene sudah menggunakan air conditioner (AC).

Jika mau merokok saat KA berhenti di stasiun—memang ada area smoking dengan beberapa bangku. Tapi, itu hanya sesaat—mungkin tak lebih dari 5 kali isap, kita harus bergegas masuk kembali di gerbong—KA akan melanjutkan perjalanan. Untuk negeri yang sedang (dikatakan) berkembang pelayanan di KA Indonesia terbilang sudah cukup baik. Apalagi tidak adanya pedagang asongan yang arogan menjajakan makanan dan minuman di dalam gerbong atau di stasiun KA.

Dan, saya harus jujur mengakui bahwa saya mampu bertahan tidak merokok seperti di dalam pesawat terbang, ruang ber-AC atau tempat-tempat dan waktu yang memang dilarang untuk merokok. Termasuk paling utama pada bulan ramadhan. Apakah ada hubungannya tidak ditemukannya sebatang rokok di jalanan kota? Anda tidak perlu menjawab dengan ucapan atau kata-kata. Cukup di dalam hati, dinikmati dan disaksikan sendiri.

Ibarat seperti itu, maka sebatang rokok di jalanan kota tidak ditemukan adalah perkara kenyamanan seseorang atau warga tentang kebutuhan hidup di perkotaan—jangan hanya melihat kepentingan kaum (warga) kelas menengah atas saja. Tetapi kehidupan di akarnya rumput harus menjadi perhatian.

Rokok adalah simbol kebahagiaan bagi pengisapnya sama halnya dengan kasih sayang kepada warga miskin merupakan suatu kebutuhan riil yang harus dipenuhi oleh pemerintah sesuai dengan UUD 1945. Pemerintah tidak boleh menjadi produsen kata-kata ‘janji’, yang hanya menghasilkan sampah dan melahirkan generasi serapah. Tetapi, jadilah sebagai rumah besar tempat orang berteduh dengan nyaman.

Metro, 14 Februari 2021.

Misteri Teluk Dalam

Naim Emel Prahana

 





Foto : Naim Emel Prahana

BANYAK misteri di tanah Rejang dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang Rejang di Lebong, pada akhirnya menjadi cerita yang mengandung misteri, mistis, legenda, mithe,mitos dan dongeng. Karena minat untuk menuangkan cerita itu ke dalam teks (bentuk tertulis) pada masyarakat Rejang masih rendah sekali dan selalu menjadi “cerita tak tertulis”. Padahal, ceritanya begitu banyak.

Sukubangsa Rejang di Lebong sebagai salah satu sukubangsa tertua di Indonesia mempunyai banyak cerita lisan, terkadang cenderung ke mithe, mitos, mistik, legenda sampai ke sejarah tertulis (yang sudah ditulis maupun yang masih banyak belum ditulis)

Salah satu cerita rakyat di Lebong yang populer sejak dahulu kala adalah cerita tentang Tluk Lem (bahasa Indonesia = Teluk Dalam). Cerita itu turun temurun dikisahkan, apalagi bagi masyarakat di ruak Bermani Jurukalang. Cerita Tluk Lem dengan pernak perniknya, sudah banyak mengundang peminat dari berbagai media menstream (media Nasional), baik media cetak maupun media televisi dengan beragam programnya. Sayangnya pihak akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Bengkulu belum tertarik untuk melakukan penelitian seperti di daerah-daerah lainnya.

Misalnya TransTv pernah melakukan petualangan di Bioa Tebet (Danau Tes) untuk menelusuri cerita Dung Ulau Tujuak (Ular Kepala Tujuh) yang bukunya sudah saya tulis dalam kumpulan Cerita Rakyat Bengkulu yang diterbitkan Gramedia – Grasindo Jakarta tahun 1988. Semua petualang para Pencari Jejak Misterius sudah ditayangkan semua di YouTube.

Anak-anak di Desa Kotadonok—Topos—Talangratu—Tes dan desa lainnya di sekitar Danau Tes, era tahun 60—70—an telinga dan bibir mereka sangat akrab dengan cerita Danau Tes yang melekat, juga cerita tentang Tluk Lem, Pondok Lucuk, Buwai Putiak, Kan Mas Lai, juga melegendanya cerita tentang Bioa Tamang dengan Tebingnya dan Bioa Tiket dengan cerita mistis tentang Hantu Air di bawah jembatan tersebut.

Masyarakat yang dulu sangat dikenal dengan kearifan lokalnya menyebut apa-apa tentang cerita seputar keberadaan desa mereka adalah sebagai sejarah peninggalan ninik puyang (nenek moyang) sejak dahulu kala. Masyarakatnya yang fanatik menganut agama Islam terhadap peninggalan dan cerita kuno cukup dihormati sebagai bentuk karya sejarah masyarakatnya. Bukan dijadikan sarana media beribadah, kendati dalam beberapa kegiatan / hajatan masih ada sisa-sisa kebiasaan penganut agama lain.

Sebagai contoh acara taler (kirim do’a atau yassinan) masih menggunakan media bakar kemenyan. Maksud dan tujuannya hanya sekedar dialog kepada para arwah agar acara mereka berjalan lancar. Demikian pula bedu’o (arti teksnya ‘berdo’a atau syukuran) setelah hasil panen sangat baik atau panen kopi melimpah ruah. Namun, beberapa tahun silam ritual tersebut sudah jarang diadakan. Nampaknya telah terjadi pergeseran filosofi “kearifan lokal” di tengah masyarakat di Lebong.

Kembali ke cerita Tluk Lem yang berada di seberang pondok lucuk ada keterkaitannya dengan cerita Ular kepala Tujuh, Butau Gesea (Batu Hampir Jatuh) dan kerajaan Kutai Rukam. Lokasi Tluk Lem berada di dinding Bioa Tebet yang kawasannya berada di sebuah Teluk. Teluk Lem mengandung banyak kisah, sejak kerajaan Kutai Rukam, zaman penjajah Hindia Belanda, Indonesia Merdeka dan sampai sekarang masih menyimpan misteri yang belum ada yang mampu mengungkapkannya.


Ceritanya masih dari ‘konon’ ke konon dan dari cerita lisan turun temurun. Kawasan Tluk Lem oleh masyarakat Kotadonok dipercayai adalah daerah yang mengerikan. Aura mistis di daerah Tluk Lem cukup kuat di pandangan masyarakat Kotadonok. Di daerah itu, dipercayai ada sebuah goa yang dihuni oleh seekor ular raksasa yang disebut dengan Ular Kepala Tujuh sebagai jelmaan seorang raja kejam dengan para pengawalnya yang juga sadis dan kejam.

Menariknya, tahun 60-an banyak orang mengakitkan goa yang ada di bawa permukaan air Bioa Tebet (Ketebet) dengan penemuan-penemuan kemanyuak kiyeu biduk (pendayung sampan) yang ditemukan di sebuah lubuk di belakang Desa Topos. Cerita itu ditambahkan kalimat menarik dengan mengatakan bahwa di lubuk dekat Topos itu ada goa yang tembus langsung ke Tluk Lem.

Ada lagi cerita tentang hubungan Bioa Tebet (Danau Tes) dengan Desa Semelako dan sebuah danau kecil di dekat Desa Tes. Bagaimana runtut ceritanya secara tarkait langsung, belum ada. Hanya cerita penghubung masalah mistis di daerah tersebut oleh masyarakat Kotadonok, Topos dan Semelako.

Profil Danau Tes itu sendiri ya seperti kebanyakan danau lainnyadi seluruh Indonesia. Di bagian Utara sepanjang Jalan antara Kotadonok—Tes banyak ditumbuhi peak (bambu air), pohon sagu, dukut selet (rumput air/rawa), dan enceng gondok. Sementara di pinggir danau sebelah Selatan memang banyak ditumbuhin pohon-pohon, baik pohon kayu yang ukuran besar maupun sedang dan kecil. Danau Tes sendiri posisinya membujur dari Timur ke Barat walaupun bentangannya tidak horizontal benar.

Posisi Tluk Lem memang berada di tengah-tengah Danau Tes pinggiran bagian Selatan. Kalau ditarik garis lurus bentangannya lurus dengan kawasan Pondok Lucuk sekitar 20—30 meter sebelum Pondok Lucuk kalau perjalanan dari arah Kotadonok.

Diceritakan, karena kawasan Tluk Lem ada sma’et biduk (dermaga perahu) orang Kotadonok yang membuka perkebunan di lereng bukit Barisan kawasan itu. di Tluk Lem itu airnya sangat bersih, dingin dan banyak ikan serta kersip. Akan tetapi, jika saat mengambil ikan atau kersip, tiba-tiba airnya membuat kulit badan gatal. Maka, segeralah meninggalkan kawasan Tluk Lem atau berhentilah mencari ikan atau kersip di daerah itu.

Konon kabarnya, itu pertanda penghuni goa yang dipercayai adalah Ular kepala Tujuh dan Ikan Mas raksasa meminta agar pergi dari daerah di sana, jika tidak kemungkinan orang yang mengambil ikan di lokasi itu akan mendapat musibah. Itulah kisah dan ceritanya. Dan, jika ke Tluk Lem dianjurkan untuk tidak bicara sombong atau takbur.

Lalu, apa hubungannya Goa Tluk Lem dengan Butau Gesea yang berada di lereng bukit di atas posisi goa Tluk Lem itu?. Dari dulu jarang ada cerita kalau Butau Gesea itu punya ikatan yang erat dengan goa Tluk em. Walau lokasi Butau Gesea berada pas di atas posisi goa Tluk Lem.

Cerita Butau Gesea pun cukup populer di masyarakat Rejang, khususnya di Lebong, apalagi di Kotadonok dan sekitarnya. Beragam versi diceritakan tentang Butau Gesea itu, antara lain misteri yang disebutkan bahwa dari kelihatannya, di atas Butau Gesea itu hanya muat sekitar 2—3 orangsaja. Tetapi, ketika naik ke atasnya puncak Butau Gesea mampu menampung sekitar 19—12 orang dengan leluasa di atas batu itu.

Era 60-an Butau Gesea hampir sama depat Tepat Taukem (Kramat Rukam) sering dijadikan tempat ziarah atau ritual tertentu. Ada keanehannya, orang-orang yang sering ziarah ke kedua tempat itu, kebanyakan dari orang-orang Tionghoa (China). Kenapa aneh? Keanehannya, kenapa justru orang-orang keturunan China-lah yang melakukan ziarah ke Tepat Taukem dan Butau Gesea itu, kenapa bukan orang Indonesia asli atau setidak-tidaknya orang Rejang?

Semoga pertanyaan di atas akan menambah keimanan kita terhadap Sang Pencipta alam semesta ini sebagaimana diajarkan oleh Islam yang dibawakan oleh Rasul Allah Nabi Agung Muhammad SAW. Artinya, manusia beriman tidak boleh melakukan hal-hal syirik kepada Allah sebab, syirik adalah doa besar yang tidak ada ampunannya dari Allah SWT.