Senin, 23 Mei 2016

Opini: 'Lampung Post' dan Keberaksaraan Berkesenian

 Iswadi Pratama

August 16, 2008

SAYA tidak mengerti bagaimana harus memastikan peran penting Lampung Post bagi perkembangan dunia kesenian (kebudayaan) di Lampung selain membangun tradisi keberaksaraan di kalangan seniman maupun publik seni di daerah ini, baik pada masa 34 tahun yang telah dilalui maupun pada masa mendatang.

Pada periode 90-an, melalui rubrik Opini yang ketika itu diasuh Bung Heri Wardoyo atau halaman Seni di edisi Minggu, saya termasuk salah seorang yang turut menimba pengetahuan, wawasan, dan wacana bidang seni dan kebudayaan baik dalam konteks lokal, nasional, maupun global. Demikian juga karya sastra, prosa dan puisi, yang secara khusus mendapat "jatah tetap" hadir di harian ini.

Pada masa ketika teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang serta jumlah buku kesenian dan kebudayaan yang ada di satu-satunya toko buku besar di Lampung ketika itu masih sangat terbatas, pergaulan dan perjumpaan saya dengan teks-teks seni juga masih sangat miskin, tulisan-tulisan seni-budaya di halaman Opini Lampung Post dan di rubrik Seni Minggu adalah menu utama dan wajib untuk belajar. Minat saya terhadap seni dan kebudayaan tumbuh seiring dengan isu-isu, gagasan, wacana, yang berkembang di koran yang kini berada dalam payung Media Group ini.

Saya "membaca" Iwan Nurdaya Djafar, Prof. Hilman Hadikusuma, Ir. Anshori Djausal, Ir. Yoke Moelgini, Asrian Hendi Caya, Isbedy Stiawan Z.S., Oyos Saroso H.N., Taufik Wijaya, Pramudya Mukhtar, Maspriel Aries, Naim Emel Prahana--sekadar menyebut beberapa nama penulis dari Lampung. Saya pun bertamasya ke masa lalu dan kini melalui artikel-artikel juga ulasan tentang sejarah orang Lampung, makam Patih Gajah Mada di Skala Bekhak, sastra kontekstual, pentas Teater Koma, Bengkel Teater Rendra, Teater Sae, pentas tari di Gedung Kesenian Jakarta, pameran lukisan tiga sekawan (Edi Suherli, Subardjo, Djoko Irianta), pergelaran jazz Bill Saragih.

Saya juga membaca esai tentang Surat untuk Bidadari karya Garin Nugroho yang menyentak perfilman nasional dari tidur panjang. Mereguk segarnya tulisan Mohamad Sobari, mencucup hikmah dari tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib. Khusyuk mengikuti perdebatan generasi lama dan generasi baru dalam dunia sastra di Lampung, mengeja wacana post-modernisme yang masih jadi makhluk asing bagi seniman di Lampung ketika itu.

Saya juga merekam kegelisahan para seniman terhadap ancaman kepunahan seni tradisi Lampung. Saya membaca cerita bersambung Maria Delgado yang teka-tekinya mirip Edgar Alan Poe, tapi bahasanya ringan dan cerdas. Saya membaca sekian banyak teks dan jaringan teks seni dan kebudayaan di koran ini. Dan semua itu, saya kira, telah ikut menyusun biografi pengetahuan yang kini ada di kepala saya.

Berbarengan dengan proses "membaca" itu, saya pun mulai belajar menuliskan, mentransformasikan gagasan-gagasan, permenungan, kegelisahan atau sekadar "gerundelan" yang saya pikir layak disosialisasikan. Saya pun, perlahan-lahan "dibaca". Dan barangkali juga telah ikut memengaruhi segelintir "pembaca" lainnya. Dan dari segelintir itu, saya ketahui ada pula yang mulai menulis dan tentu saja "dibaca". Begitu seterusnya.

Membangun tradisi keberaksaraan dalam seni semacam inilah yang telah dipelihara Lampung Post selama ini melalui rubrik Opini atau halaman-halaman Seni yang muncul setiap Minggu.

Dengan sedikit ilustrasi di atas, saya hendak lebih menegaskan bahwa keberaksaraan bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya akan dialami seorang seniman manakala ia mulai melakoni kerja keseniannya. Tidak ada jaminan untuk itu.

Tradisi keberaksaraan adalah sesuatu yang harus dikonstruk dalam realitas hidup masyarakat. Ia bukanlah sebentuk kebiasaan membaca berita di koran atau menulis puisi/prosa bagi seorang sastrawan.

Sudah lumrah adanya apabila media massa cetak memiliki produk berupa tulisan (berita), sebagaimana seorang sastrawan (modern) yang harus menuliskan karyanya. Tradisi keberaksaraan yang saya maksud adalah bagaimana kita mengonstruk gagasan, sudut pandang, ide, pengamatan dengan bersandar pada teks atau jaringan teks yang telah ada sebelumnya sehingga merangsang lahirnya sebuah teks (tertulis) baru. Lalu, pada gilirannya memperkaya atau melengkapi teks-teks yang sudah ada.

Kehadiran Lampung Post bagi perkembangan kesenian dan kebudayaan di Lampung menjadi amat penting bukan dalam konteknya sebagai "industri-informasi" yang berorientasi melulu pada pasar. Melainkan lebih dari itu, sebagai salah satu media pendidikan, pembelajaran, dan pencerdasan masyarakat. Hanya apabila prinsip ini dipertahankan-lah kita bisa menyebut Lampung Post sebagai salah satu pilar pembangunan masyarakat Lampung.

Namun, sejak era 90-an--era saat saya mulai menjadikan keberaksaraan sebagai bagian dari proses kreatif yang harus dijalani--hingga kini, saya masih jarang membaca tulisan-tulisan di seputar seni rupa, film, musik, dan terlebih lagi tari. Apa problemnya?

Selama ini, dan banyak sekali pendapat mengenai hal ini; cuma karya-karya (bukan wacana) sastra yang bisa menjadi "teman dekat" sebuah media massa cetak. Hampir di seluruh koran Minggu di Indonesia selalu ada rubrik untuk puisi dan prosa. Sementara itu, film, musik, tari, teater atau seni rupa hampir tidak punya tempat.

Sastra yang bentuknya berupa tulisan tentu saja akan lebih mudah dipilih menjadi salah satu rubrik di sebuah koran. Artinya, karya sastra itu sendiri langsung bisa dapat tempat dipublikasikan. Namun, cabang-cabang seni lain yang produknya bukan berupa tulisan masih membutuhkan "tangan kedua" yang bisa mentransformasikan karya rupa, film, tari, musik, teater dalam bahasa tulisan agar karya tersebut bisa diapresiasi.

Tentu saja yang pertama kali berhadapan dengan masalah ini adalah media massa bersangkutan. Masalahnya, amat sulit mendapatkan seorang jurnalis yang bisa melangkah lebih jauh dari sekadar menulis berita. Sehingga, manakala ada pameran lukisan, pemutaran film, pergelaran musik, pentas tari, festival teater, akan "lumrah" bila tidak ada tulisan mendalam mengenai hal itu.

Masalah kedua, dari cabang-cabang seni yang produknya bukan tulisan itu, keberaksaraan belum menjadi tradisi sebagian besar senimannya. Bahkan, ada semacam rasa risi yang menghinggapi kebanyakan seniman apabila harus menuliskan konsepnya berkarya, gagasan artistiknya atau permenungan estetiknya. Rasa risi ini boleh jadi benar karena para seniman mengharapkan partisipasi "kreator lain" yang dapat membantunya menuliskan semua itu.

Tapi rasa risi itu juga bisa berarti pembenaran atas keberjarakannya dengan keberaksaraan. Ini bisa dilihat dalam hal masih kurang dipedulikannya katalog atau buku kecil pertunjukan sebagai media sosialisasi tertulis yang sangat penting bagi masyarakat, pers, dan kalangan seniman sendiri. Bahkan, ada banyak event atau cabang kesenian yang setiap menggelar acara hampir tidak pernah memiliki katalog, booklet atau sekadar selembar informasi tertulis.

Masalah ketiga, belum terdapat kritikus atau setidaknya pengamat seni yang mau suntuk menulis di media massa dengan alasan-alasan yang sering amat pragmatis: Honor yang kecil. Atau menganggap koran lokal kurang sepadan dengan gelar akademis, prestise, dan seabrek atribut tidak esensial lain. Tetapi, di koran nasional yang dianggap bergengsi pun tulisannya tidak kunjung muncul!

Saya juga masih sangat merindukan, tulisan-tulisan tentang seni dan budaya yang ditulis para cendekiawan atau dari sudut pandang lintas disiplin keilmuan. Banyak event seni dan budaya baik berupa festival, pergelaran, pameran, yang pernah diselenggarakan di daerah ini, tapi cukup sedikit tulisan yang bisa membuatnya memiliki "wibawa", "pamor", seperti halnya tulisan tentang isu atau peristiwa politik. Di mana letak masalahnya? n

* Iswadi Pratama, Pimpinan Teater Satu Lampung dan Anggota Litbang DKL

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Agustus 2008

TUN SADEI TE: Asal Usul Kota Metro

TUN SADEI TE: Asal Usul Kota Metro: Posted by blog mahasiswa lampung UNJ Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunaka...

Asal Usul Kota Metro

Bangsa Indonesia sudah lama dijajah Belanda. Banyak hasil bumi yang dibawa ke sana dan digunakan untuk membangun negeri Kincir Angin tersebut. Tidak mengherankan ketika pemuda pemudi Indonesia mulai mendirikan perkumpulan untuk Indonesia merdeka, orang Belanda Tidak suka.
Akan tetapi, bagaimana pun kejamnya kaum penjajah itu, ternyata mereka juga meninggalkan banyak kenangan. Misalnya, perpindahan penduduk dari daerah padat dan miskin di Pulau Jawa, yang sekarang dikenal dengan nama transmigrasi. Program itu pada zaman penjajahan Hindia Belanda disebut kolonisasi. Tujuannya disamping pemerataan penduduk, orang-orang yang dipindahkan itu akan dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan milik pemerintah Hindia Belanda yang berada di luar Pulau Jawa. Sebagian lagi ditempatkan di daerah-daerah baru untuk membuka lahan pertanian dan perkebunan baru.
Program kolonisasi itu dimulai tahun 1905. Pada awalnya hanya dilakukan di dalam Pulau Jawa, kemudian berkembang di luar Pulau Jawa, yaitu ke Pulau Sumatera, tapatnya di daerah Lampung.
Menjelang tahun 1932 sudah banyak keluarga Jawa yang dikirim ke Lampung dan ditempatkan di daerah Gedongtataan, Kota Agung, Wonosobo, dan sekitarnya. Baru pada tahun 1932 pemerintah Hindia Belanda mulai mengirimkan para kolonis (penduduk) itu ke daerah utara. Mereka ditempatkan di daerah Trimurjo, tepatnya di desa Adipuro yang dikenal dengan sebutan bedeng 1 atau BD 1. Salah seorang yang ikut program kolonisasi itu adalah Mbah Sumohadi (sekarang usianya sekitar 80 tahun), yang tinggal di BD 41 Desa Batangharjo, Kecamatan Batanghari, Kabupaten Lampung Tengah. Menurut Mbah Sum, panggilan akrabnya, waktu itu mereka ditempatkan di rumah-rumah yang dinamakan “bedeng”. Setiap orang mendapatkan alat-alat pertanian.
Lalu, kenang Mbah Sum, lahan pertanian yang disuruh kerjakan itu diberi patok=patok sebagai batas. Rumah atau bedeng itu dibuat dengan menggunakan tiang karena daerah itu masih berupa hutan lebat dan banyak binatang buas. Untuk setiap beberapa bedeng ditempatkan pengawas. Ada pula mantra kesehatan yang memberikan obat bila ada orang yang sakit. Penyakit yang diderita umumnya malaria.
Setiap calon desa waktu itu terdiri atas beberapa rumah bedeng. Makin lama derah yang ditempati makin ramai karena sudah banyak hutan yang dibuka, sedangkan penduduk ditempatkan di daerah yang dikenal dengan nama Metro. Untuk dapat ke lokasi BD 15 mereka harus menempuh perjalanan panjang melalui Kotagajah, Gedongdalem, kemudian terus ke Metro. Antara tahun 1932 – 1935 belum ada jalan yang bisa dilewati kendaraan dari Trimurjo ke Metro, walaupun jaraknya sekitar 10 km.
Akan tetapi, menurut beberapa cerita, jalan dari Trimurjo ke Metro dirintis oleh Kolonis atas perintah dari penjajah Belanda. Karena banyak tanah rawanya, di atas jalan itu diletakkan kayu-kayu bulat agar dapat dilalui gerobak dan kendaraan milik orang Belanda.
Akhirnya, daerah sekitar Kota Metro dapat dijangkau dalam waktu singkat. Setelah jalan tembus dibuka, kemajuan kolonis di BD 15 begitu cepat. Kolonis di daerah Sukadana pun mengalami perkembangan pesat bahkan melebihi perkembangan daerah kolonis pertama di Gedongtataan, Lampung Selatan. Desa induk yang dibuat Belanda tanggal 5 Juni 1937 dipindahkan secara resmi ke Metro sebagai desa induk pengganti. Itu dilakukan melihat perkembangan Metro yang sangat pesat.
Tentang asal nama Metro itu sendiri ada dua cerita. Pertama, diambil dari bahasa Belanda, yaitu centrum yang berarti pusat. Kedua, Kota Metro diberikan oleh para kolonis dari Jawa. Pada waktu itu, orang-orang Jawa yang ditempatkan di BD 15 merasa senasib sepenaggungan, memiliki bahasa yang sama. Jadi, semua kolonis menanggung susah dan senang bersama-sama.
Dari perasaan itulah mereka semula menyebutkan tempat itu sebagai Mitro, berarti rekan. Lama-kelamaan pengucapannya berubah menjadi Metro. Sampai sekarang daerah itu dinamakan Metro. Menutu buku Dari Kolonisasi ke Transmigrasi pada tahun 1939 di Metro terdapat seorang kontrolir Belanda, seorang insinyur, dan seorang dokter pemerintah. Metro sebagai ibukota kolonisasi Sukadana bahkan telah memiliki pasar besar, kantor pos, pesanggrahan, masjid, dan penerangan listrik.
Sampai tahun 1941 di Metro sudah ada 2 orang dokter, 13 orang mantri dan juru rawat, 1 orang mantri malaria, 80 orang pembagi kinina (?), 2 orang pembantu klinik, dan 1 orang bidan. Di samping itu ada berbagai sekolah khususnya sekolah yang dikelola misi Katolik. Sejak tahun 1941 saluran irigasi dari Trimurjo terus diperpanjang dan tahun 1942 saluran yang dikenal oleh masyarakat Lampung Tengah dengan sebutan ledeng sudah mencapai Batanghari. Dengan perkembangan yang begitu pesat, dengan sendirinya derah sekitar Metro juga ikut berkembang dan tetap menggunakan nama bedeng.
Ilustrasi
Tidak mengherankan kalau di sekitar Metro dibuka lagi bedeng-bedeng baru sampai bedeng 67 yang kini berada di Kecamatan Sekampung. Di kota Metro sendiri bedeng-bedeng itu dipecah lagi, seperti bedeng 15 polos, bedeng 15 A, bedeng 15 B Barat, bedeng 15 B Timur, bedeng 15 Kauman, bedeng 21 polos, bedeng 21 B, bedeng 21 C, bedeng 21 D, bedeng 22, bedeng 16, bedeng 16 A, dan sampai bedeng 16 C.
Biasanya, di belakang nomor bedeng ditulis nama desanya, misalnya bedeng 16 C Mulyojati. Demikian pula penamaan bedeng lainnya yang sampai sekarang terbatas pada bedeng 67. Namun satu bedeng tidak semua menjadi satu desa. Ada juga satu bedeng dibagi menjadi dua desa, tergantung luas desa dan jumlah penduduknya.
Demikianlah asal usul Kota Metro yang sampai saat ini sudah berusia 73 tahun. Saat ini Metro merupakan kota administratif kedua di Lampung setelah Bandar Lampung. Kota Metro terdiri kecamatan Metro Raya dan Bantul.
Kesimpulan
Dari asal usul Kota Metro, sangat terasa bahwa masyarakat Indonesia memiliki sifat gotong royong, saling menolong, serta sangat menghargai jasa-jasa dan karya cipta orang-orang yang lebih dahulu berbuat untuk orang banyak

TUN SADEI TE: Sejarah Kota Metro: Dari Kolonisasi ke Transmigras...

TUN SADEI TE: Sejarah Kota Metro: Dari Kolonisasi ke Transmigras...:  Een perceel met aanplant Landbouwkolonie van het  Indo Europeesch Verbond Giesling Z. Sumatra 1930  Gebouw, met vermoedelijk Ja...

Sejarah Kota Metro: Dari Kolonisasi ke Transmigrasi


 Een perceel met aanplant Landbouwkolonie van het 
Indo Europeesch Verbond Giesling Z. Sumatra 1930
 Gebouw, met vermoedelijk Javaanse kolonisten, in een 
landbouwkolonie nabij Metro in  de Lampoengsche Districten 1940
 Javaanse kolonist voor een woning in een landbouwkolonie 
nabij Metro in  de Lampoengsche Districten 1940
 Javaanse koloniste dorst rijst in een landbouwkolonie 
nabij Metro in  de Lampoengsche Districten 1940
 Kinderen, vermoedelijk te Metro, het centrum van de Javaanse landbouwkolonies in  de Lampoengsche Districten 1940
 
Patung Polwan : Lokasinya di perbatasan Metro - Tempuran, Trimurjo, 
Lampung Tengah dibangun 2009
PENATAAN KOTA: Penataan trotoar di depan RSU A Yani tahun 2008
SAYURAN: Tanaman sayur kol para kolonis di Metro tahun 1940

Dansen in Metro Lampung 1932

PAGUYUBAN: Para kolonis bersatu untuk hidup 
di tanah baru di Metro, Lampung tahun 1937
DIALOG: Pejabat pengawas kolonis sedang berdialog dengan kolonis 1935

PULANG: Para kolonis pulang dari tanah garapan mereka tahun 1937
MANDI - Para kolonis kaum ibu sedang 
memandikankan anak-anak mereka di sungai 1940
MENCUCI - Para kolonis kaum ibu sedang 
mencuci pakaian mereka di sungai 1940
MENARA AIR - Menara air Kota Metro terletak di samping
depan RSU A Yani tahun 2000
POTONG KAYU - Kolonis memotong kayu tahun 1937
IRIGASI - Inilah pembuatan irigasi pertanian dari Tegineneng - Trimurjo tahun 1937
RUMAH - Rumah para kolonis di Metro tahun 1937
IRIGASI - Inilah pembuatan irigasi pertanian dari Tegineneng - Trimurjo tahun 1937
LAHAN BARU - Lahan baru milik kolonis 1937
BATAS - Batas kota Metro - Trimurjo di Tempuran dibuat sekitar tahun 2007
RINDANG - Jalan di samping masjid Taqwa yang rindang
Jalan Imam Bonjol depan Pasar Cenderawasih 2009
RUMAH -Rumah Kolonis 1939
KUSEN - Kolonis sedang membuat kusen untuk bangunan rumahnya tahun 1937
GADIS - Gadis kolonis di Metro tahun 1940
MASJID AGUNG - Inilah masjid Taqwa yang terletak dijantung Kota Metro tahun1995

RUMAH DINAS - Rumah pejabat Hindia Belanda tahun 1940
PASAR - Penempatan pasar rakyat di lokasi Masjid Agung
De nieuw aangelegde knuppelweg op de plaats waar de kolonie Metro moet komen, Lampongs 1935