PLN Gagal Meminit Listrik
Oleh Naim Emel Prahana
Budayawan, peminat masalah sosial kemasyarakatan dan praktisi pers
Krisis listrik di Indonesia sejak tahun 2004 telah menambah beban krisis perekonomian hingga menjadi krisis multidimesional. Padahal, pertumbuhan konsumsi listrik delapan tahun lalu itu hanya 7 persen per tahunnya. Namun, pemerintah tetap gagal menyediakan listrik untuk kebutuhan konsumen. Salah satu faktornya lambannya mengantisipasi kebutuhan listrik dengan tidak adanya percepatan pembangunan pembangkit listrik yang baru.
Di sisi lain, hubungan PT PLN (pesero) dengan departemen lainnya yang terkait dengan keuangan tidak ada jaminan kerjasama yang utuh. Terkesan lembaga atau badan pemerintah lainnya menyangkut BUMN berdiri masing-masing, walau menyangkut kepentingan masyarakat luas. Dampak paling buruk akibat ketidaktersediaannya listrik oleh pemerintah, banyak industri gulung tikar dan perusahaan asing maupun investor atau calon investor asing meninggalkan Indonesia.
Sikap prihatin atas krisis listrik di Indonesia itu diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofyan Wanandi belum lama ini. Apindo mendesak agar pemerintah bergerak cepat dan memberikan kepastian kepada para investor dan rakyat. Sebagai gambaran, pihak Apindo atau Komite Tetap Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (Kadin) panjang lebar mengungkapkan kesesalan mereka kepada pemerintah.
Sesalnya mereka terhadap pemerintah akibat krisis listrik yang berkepanjang tanpa solusi dan penyebab yang jelas itu, menyebabkan sekitar 400 perusahaan yang tergabung dalam Jakarta Japan Club (JJC) mengalami kerugian mencapai Rp 48 miliar dan para pengusahanya berniat hengkang ke Tiongkok. Dapat dibayangkan kerugian lanjutan akibat ketidaktersediaannya listrik di Indonesia itu. Ditambah lagi krisis listrik dengan pemadaman-pemadaman listrik yang irreguler (tidak teratur).
Hitungan global lainnya akibat krisis listrik adalah turunnya omzet produk-produk industri kecil hingga menengah yang bertebaran di pelosok tanah air. Hal itulah yang menjadi sikap prihatin mendalam ketua Kadin, MS Hidayat belum lama ini. Kendati pernyataan Kadin dan JJC itu dibantah keras pemerintah melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), toh kenyataannya listrik tetap misteri bagi kehidupan bangsa ini.
Pada gilirannya persoalan listrik sebagaimana persoalan BBM merupakan persoalan buruknya manejemen perusahaan negara itu sendiri. Cerminan buruknya manajemen itu merupakan gambaran umum tentang pelaksanaan roda pemerintahan Indonesia.
Sangat disayangkan, krisis listrik secara Nasional itu telah menghilangkan makna 100 tahun kebangkitan Nasional. Berdasarkan analisis banyak pihak, diperkirakan krisis listrik baru dapat diatasi pada tahun 2010, pada saat pembangunan pembangkit listrik baru berkekuatan 10.000 MW dioperasikan. Menjelang 2010 kalau benar krisis listrik dapat diatasi telah hancur pula perusahaan berskala mikro, kecil, menengah, hingga besar, sampai kepada industri orientasi ekspor gagal memenuhi order sebagaimana kontrak mereka.
Untuk direnungkan pemerintah, bahwa listrik merupakan infrastruktur paling penting selain jalan raya, telepon, BBM dan pelabuhan. Kalau pemerintah menskala perioritaskan pembangunan pembangkit listrik, itu suatu konsekuensi yang harus dihadapi. Apalagi, di Indonesia sumber untuk membangun pembangkit listrik cukup besar, tinggal bagaimana jaminan pendanaannya. Baik dari Departemen Keuangan maupun dari dunia perbankan.
Indonesia memiliki gas dan batubara berlimpah. Tapi, kedua komoditas strategis itu diekspor untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik negara lain. Sedangkan sekitar 23% pembangkit listrik dalam negeri masih menggunakan BBM. Pemerintah perlu segera mengatasi krisis listrik tanpa perlu menunggu 2010. Indonesia punya gas dan batu bara. Juga punya dana untuk mem- bangun pembangkit listrik. Yang tidak kita punyai hanya kemauan untuk mengakhiri masa kegelapan berkepanjangan ini.
Oleh sebab itu, di negara maju pembangunan pembangkit tenaga listrik itu dibangun oleh pemerintah dan pembangunan pembangkit listrik oleh perusahaan hanyalah dilakukan ketikda keadaan dalam keadaan darurat saja. Anehnya di Indonesia, malah pembangunan pembangkit listrik bahkan ada pembangkit listrik yang sedang dibangun, akan dijual. Aneh tapi nyata perilaku pemerintah Indonesia menghadapi gejolak dunia saat ini.
Sampai-sampai pemerintah berniat menghambat pertumbuhan ekonomi dengan jalan menaikkan pajak kendaraan, agar penghematan BBM dapat dilakukan. Sementara itu, pemerintah melalui PLN gencar menghimbau rakyat untuk melakukan penghematan energi. Sisi lain, instansi pemerintah gencar menghamburkan listrik di akntor-kantor, rumah dinas dan perusahaan pemerintah/daerah. Sangat kontras sekali. Itu sama dengan program pemerintah di zaman ordebaru yang minta rakyat untuk “mengencangkan ikat pinggang”, sementara para pejabat pemerintah berlomba-lomba membesarkan perut pejabat dan pegawai, memperbesar kekayaan pribadi mereka. Bukankah itu sesuatu hal yang tidak berimbas baik kepada rakyat?
Kita tidak mengerti lagi cara PLN meminit perusahaan listrik negara itu. Rakyat (konsumen) hanya diminta dengan disiplin untuk memberikan kewajibannya tepat waktu. Seperti denda pembayaran rekening listrik yang terlambat. Sementara, hak konsumen tidak diberikan dengan baik. Bahkan, tidak sama sekali oleh PLN selama ini. Sanksi itu hanya untuk konsumen, bukan untuk kesalahan besar PLN.
Kondisi yang kurang jelas di tengah krisis listrik itu, konsumen tiba-tiba dihentakkan dengan rencana penjualan 4 (empat) pembangkit listrik baru. Pembangkit listrik baru yang akan dijual oleh pemerintah itu adalah proyek listrik berkekuatan 10.000 MW yang akan dipercepat pembangunannya agar menghasilkan listrik sebanyak 12.000 MW.
Pembangkit itu adalah adalah pembangkit Listrik Tenaga Uap Suralaya, Paiton, Rembang, dan Labuan. (yang pembangunannya akan segera selesai pada 2008 ini). Rencana penjualan itu diungkapkan oleh Ketua Tim Percepatan Pembangunan Pembangkit, Yogo Pratomo beberapa hari lalu.
Dengan alasan, bahwa penjualan itu tujuannya untuk membiayai program percepatan tahap kedua, yang rencananya dimulai akhir 2008 atau awal 2009. dengan alasan itu, pemerintah menganggap penjualan itu merupakan jalan terbaik. Sebagaimana alasan peresiden SBY ketika menaikkan harga BBM.
Sampai tahun 2008 jumlah aset PLN yang ada mencapai Rp 200 triliun sedangkan pinjamannya mencapai Rp 100 triliun. PLN tengah gencar untuk mendapatkan jaminan pinjaman melalui Departemen keuangan. Yang diincar adalah dana sekitar 55 persen dari kebutuhan di atas. Padahal, percepatan pembangunan pembangkit listrik tahap kedua akan selesai pada tahun 2012. berarti, krisis listrik di Indonesia masih berjalan panjang. Dengan asumsi pembangunan pembangkit listrik memakan waktu antara 4, 5 tahun sampai 6 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar